PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI dairi

Kurikulum 2006/2013

Kel a s

XII

Sejarah
PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI BERBAGAI
DAERAH II
SEMESTER 1 KELAS XII SMA/MA/SMK/MAK –KURIKULUM KTSP 2006 & K-13
Standar Kompetensi
1.

Kompetensi Dasar

Menganalisis
perjuangan
bangsa 1.3. Menganalisis
perjuangan
bangsa
Indonesia sejak proklamasi hingga

Indonesia dalam mempertahankan
lahirnya Orde Baru
kemerdekaan dari ancaman disintegrasi
bangsa.
Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut.
1.
Mampu memahami Perundingan Linggarjati.
2.
Mampu memahami Agresi Militer Belanda I.
3.
Mampu memahami Perundingan Renville.
4.
Mampu memahami Agresi Militer Belanda II.
5.
Mampu memahami Pemerintah Darurat Republik Indonesia.

A. Perundingan Linggarjati
Kedatangan Sekutu yang diboncengi NICA pada 29 September 1945 menyebabkan

terjadinya ketegangan hubungan antara Sekutu-NICA dengan Indonesia. Hal ini berujung
pada kontak senjata antara kedua belah pihak. Untuk meredakan ketegangan, Sir
Philip Christison selaku Panglima Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI-Sekutu)

memprakarsai beberapa pertemuan antara pihak Belanda dengan pihak Indonesia
mengenai maksud kedatangan tentara asing ke Indonesia. Pertemuan atas prakarsa Sir
Philip Christison dilakukan dua kali sebagai berikut.
1.

Pertemuan Soekarno-Van Mook pada 25 Oktober 1945.

2.

Pertemuan Syahrir-Van Mook pada 17 November 1945.

Kedua pertemuan tersebut mengalami kegagalan karena pihak Belanda yang diwakili
Van Mook sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersikeras menjadikan
Indonesia sebagai negara persemakmuran Belanda.
Kegagalan prakarsa Sir Philip Christison membuat Inggris menugaskan Sir
Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris mengundang perwakilan Indonesia dan Belanda

untuk berunding di Hooge Veluwe, Belanda. Adapun delegasi yang berunding dalam
Perundingan Hooge Veluwe adalah sebagai berikut.
1.

Delegasi Indonesia: Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo.

2.

Delegasi Belanda: Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen,
Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Letkol. Surio Santosa.

3.

Pihak Sekutu sebagai penengah: Sir Archibald Clark Kerr.

Akan tetapi, perundingan ini gagal karena
Belanda hanya mau mengakui kedaulatan RI
atas Jawa dan Madura. Di samping itu, Belanda
mampu memainkan permainan politik dengan
menampilkan dua orang Indonesia dalam

delegasinya seakan-akan masalah yang terjadi
di Indonesia adalah perpecahan dalam negeri
Indonesia bukan disebabkan oleh Belanda.

Gambar 4.1 Perundingan Linggarjati, tampak
Soekarno dan Hatta.
Sumber: id.wikipedia.org

Pihak Inggris sekali lagi menawarkan bantuan sebagai perantara dan penengah
dalam menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda. Melalui Lord Killearn sebagai utusan
Inggris, perundingan pendahuluan antara Indonesia–Belanda dilaksanakan pada 7
Oktober 1946 di Jakarta.
Pihak Indonesia diwakili oleh Sudarsono, Jenderal Sudirman, dan Jenderal Urip
Sumoharjo. Pihak Belanda diwakili oleh Prof Schermercon. Perundingan selanjutnya
dilaksanakan pada 10 November 1946 di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat. Dalam
perundingan ini, Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Belanda diwakili
oleh Van Mook. Hasil Perundingan Linggarjati diumumkan pada 15 November 1946.

2


Hasil perundingan ditandatangani pada 25 Maret 1947. Isinya sebagai berikut.
1.

Belanda mengakui wilayah Indonesia secara de facto yang meliputi Sumatra, Jawa,
dan Madura.

2.

Republik Indonesia bersama Belanda bekerja sama membentuk negara Republik
Indonesia Serikat (RIS).

3.

Bersama-sama membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai
ketuanya.

Gambar 4.2 Wilayah Indonesia (berwarna) setelah Perundingan Linggarjati.
Sumber: id.wikipedia.org

Perundingan Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di Indonesia. Bagi kelompok

kontra, Perundingan Linggarjati dianggap bentuk kegagalan Indonesia dalam menjaga
kedaulatan Indonesia, sedangkan di pihak pro, perundingan Linggarjati dianggap jalan
terbaik untuk menghindari perang dengan Belanda. Untuk menyelesaikan masalah ini,
pemerintah menambah jumlah anggota KNIP agar pemerintah mendapat dukungan
suara untuk menandatangani perundingan Linggarjati.
Perundingan ini dianggap tidak menguntungkan bagi Indonesia karena membuat
daerah Indonesia semakin sempit. Akan tetapi, Indonesia tetap menandatangani pada 25
Maret 1947 dengan pertimbangan sebagai berikut.
1.

Cara terbaik untuk menghindari jatuhnya korban jiwa karena kemampuan militer
Indonesia masih jauh di bawah militer Belanda.

2.

Cara untuk mengundang simpati dari dunia internasional.

3.

Perdamaian dengan gencatan sejata dapat memberi waktu bagi tentara Indonesia

untuk melakukan konsolidasi.

3

Dampak dari Perundingan Linggarjati adalah berkurangnya dukungan terhadap
Perdana Menteri Syahrir karena bertanggung jawab atas berkurangnya wilayah Indonesia
yang kemudian berujung pada kejatuhan Kabinet Syahrir. Meskipun dikatakan merugikan
bagi Indonesia, Perundingan Linggarjati berhasil mengundang simpati internasional
yang ditandai dengan adanya pengakuan kedaulatan dari Inggris, Amerika Serikat, Mesir,
Lebanon, Suriah, Afghanistan, Myanmar, Yaman, Saudi Arabia, dan Uni Soviet.

SUPER "Solusi Quipper"
Isi Perundingan Linggarjati bisa kita ingat melalui kumpulan kata kunci berikut.
Belanda menDEPAK (de facto) SUWARA (Sumatra, Jawa, Madura) RIS bersama UNI dan
Ratu Belanda.

B. Agresi Militer Belanda I
Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatra yang dimulai
27 Juli – 5 Agustus 1947.
Agresi Militer Belanda I dilatarbelakangi oleh perselisihan antara Belanda dan RI

akibat perbedaan penafsiran mengenai Perundingan Linggarjati, yaitu status RI. Belanda
menganggap RI adalah bagian dari negara persemakmurannya setelah Perundingan
Linggarjati. Hubungan RI-Belanda semakin memanas ketika 27 Mei 1947, Belanda
mengirimkan Nota Ultimatum yang harus dijawab dalam 14 hari. Berikut isi dari Nota
Ultimatum tersebut.
1.

Membentuk pemerintahan bersama.

2.

Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga bersama.

3.

Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah-daerah yang
diduduki Belanda.

4.


Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama (gendarmerie) termasuk
daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda.

5.

Menyelenggarakan pemilikan bersama atas impor dan ekspor.

Perdana Menteri Syahrir tidak menyetujui poin gendarmerie. Hal ini menyebabkan
Belanda tidak mengakui lagi Perundingan Linggarjati pada 20 Juli 1947 melalui pernyataan
dari Van Mook, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Adapun tujuan Agresi Militer Belanda
adalah sebagai berikut.

4

1.

Mengepung ibu kota Jakarta.

2.


Merebut daerah-daerah penghasil makanan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan daerah perkebunan tembakau di Sumatra Timur.

3.

Menghancurkan kekuatan tentara Indonesia.

Agresi Militer Belanda I dimulai malam hari pada 21 Juli 1947 di Jawa dan Sumatra.
Akan tetapi, kekuatan TNI belum cukup kuat menghadang serangan Belanda sehingga
TNI terpencar dan melakukan perang gerilya. Taktik gerilya cukup efektif karena berhasil
membatasi gerak tentara Belanda. Gerak pasukan Belanda hanya terbatas di kota-kota,
sedangkan TNI masih berkuasa di hutan dan desa-desa.
Agresi Militer Belanda I banyak memakan korban, beberapa tokoh nasional yang
menjadi korban dari Agresi Militer Belanda I adalah Adi Sucipto, Abdurahman Saleh,
dan Adi Sumarmo yang gugur setelah pesawat yang mereka tumpangi ditembak jatuh
di Yogyakarta.
Tindakan Agresi Militer Belanda
mengundang
berbagai
kecaman

internasional, seperti kecaman dari negaranegara Timur Tengah, Inggris, bahkan India
serta Australia meminta agar Agresi Militer
Belanda 1 dimasukkan dalam berita acara
Dewan Keamanan PBB. Pada 4 Agustus
1947, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
4.3 Iring-iringan pasukan Belanda dalam
resolusi gencatan senjata. Atas tekanan Gambar
agresi militer Belanda 1.
PBB, gencatan senjata untuk menghentikan
Sumber: id.wikipedia.org
agresi militer disetujui Belanda pada 15 Agustus 1947. Pada 25 Agustus 1947, PBB
membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) sebagai penengah penyelesaian konflik antara RI
dengan Belanda selanjutnya.

C. Perundingan Renville
Penyelesaian Agresi Militer Belanda 1 diprakarsai oleh KTN selaku wakil PBB di Indonesia.
Adapun anggota KTN adalah sebagai berikut.
1.

Richard Kirby dari Australia sebagai Wakil Indonesia.

2.

Paul van Zeeland dari Belgia sebagai Wakil Belanda.

3.

Frank Graham dari Amerika sebagai penengah.

5

Perundingan Renville merupakan salah
satu usaha KTN untuk mengakhiri konflik
Indonesia-Belanda. Adapun pelaksanaan
Perundingan Renville dihadiri oleh:
1.

Delegasi Indonesia dipimpin Perdana
Menteri Amir Syarifuddin;

2.

Delegasi Belanda dipimpin oleh Kolonel
KNIL Abdulkadir Widjojoatmodjo; dan

3.

Gambar 4.4 Suasana perundingan Renville.
Tampak Haji Agus Salim salah satu wakil Indonesia.

Delegasi KTN dipimpin oleh Frank Porter
Graham dari Amerika Serikat.

Sumber: id.wikipedia.org

Perundingan tersebut dilaksanakan di atas geladak Kapal Amerika Serikat, USS
Renville pada 8 Desember 1947 dan ditandatangani pada 17 Januari 1948 yang isinya
sebagai berikut.
1.

Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian
wilayah Republik Indonesia.

2.

Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan
daerah pendudukan Belanda.

3.

TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di
Jawa Barat dan Jawa Timur.

Gambar 4.5 Wilayah Indonesia (merah) setelah perundingan Renville.
Sumber: Wikipedia.org

SUPER "Solusi Quipper"
Untuk mengingat isi Perundingan Renville, kalian bisa ingat kumpulan kata kunci
berikut.
Belah Tengah Yoga Sumo Pisah Mundur (Belanda – Jawa Tengah – Yogya – Sumatra –
Memisahkan – Mundur)

6

Perundingan ini makin mempersulit posisi Indonesia karena wilayah RI makin sempit.
Kesulitan itu bertambah setelah Belanda melakukan blokade ekonomi terhadap Indonesia
dan Indonesia terpaksa harus menarik mundur TNI dari daerah-daerah gerilya kemudian
hijrah ke wilayah Indonesia yang paling dekat.
Walaupun Perundingan Renville merugikan, pemerintah Indonesia mempunyai
pertimbangan sebagai berikut.
1.

Persediaan amunisi TNI untuk perang semakin menipis. Apabila menolak
perundingan, dikhawatirkan timbul peperangan yang akan timbul korban besar di
pihak TNI.

2.

Dewan Keamanan PBB memberikan jaminan kepada Indonesia untuk menolong
dengan melakukan pemungutan suara yang akan dimenangkan oleh pihak
Indonesia.

Akibatnya, timbul reaksi keras di kalangan pemimpin-pemimpin RI yang
mengakibatkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin yang dianggap telah menjual negara
kepada Belanda. Pada 29 Januari 1948, Perdana Menteri Amir Syarifuddin menyerahkan
mandatnya kemudian digantikan oleh kabinet Hatta. Kerugian yang diterima Indonesia
akibat Perundingan Renville menyebabkan terjadinya beberapa pemberontakan dalam
negeri.
1.

Amir Syarifuddin yang kecewa akhirnya menjadi oposisi kabinet Hatta dan bersama
Muso mengadakan pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948.

2.

Kartosuwiryo sebagai pemimpin laskar Hizbullah enggan menarik mundur
pasukannya dari kantong gerilya di Jawa Barat dan mendirikan Negara Islam
Indonesia pada 4 Agustus 1949.

D. Agresi Militer Belanda II
Agresi Militer Belanda II dimulai 19 Desember 1947. Belanda memanfaatkan situasi
politik Indonesia yang sedang kacau karena pemberontakan PKI Madiun setelah
Perundingan Renville.
Perundingan Renville membawa dampak buruk bagi situasi politik Indonesia.
Indonesia terpaksa menarik mundur TNI dari daerah gerilya sehingga menimbulkan
kecaman dari kalangan pemimpin RI yang berujung jatuhnya Kabinet Amir Syarifudin.
Pada kelanjutannya, Amir Syarifudin menjadi oposisi bagi kabinet Hatta dan terlibat dalam
pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.

7

Belanda mengambil kesempatan untuk mengambil alih Indonesia. Adapun dalih
Belanda untuk melakukan Agresi Militer II adalah RI tidak menjalankan hasil perundingan
Renville karena terjadi pelanggaran gencatan senjata oleh RI. Hal ini menyebabkan
Belanda tidak mengakui lagi Perundingan Renville. Pernyataan ini disampaikan pada 18
Desember 1948.
Sebagai tindak lanjut dari pernyataan Belanda, pada 19 Desember 1948, pukul
06.00, Belanda melakukan serangan ke lapangan udara Maguwo. Dalam tempo singkat,
Belanda berhasil menguasai ibu kota RI, Yogyakarta. Selain menguasai Yogyakarta,
Belanda juga menangkap pemimpin RI, seperti Soekarno (presiden RI), Hatta (Perdana
Menteri RI), Syahrir (Penasihat Presiden), dan Agus Salim (Menteri Luar Negeri).
Keberhasilan Belanda menangkap para pemimpin RI karena para pemimpin RI bersikeras
tinggal di Yogyakarta agar tetap dekat dengan KTN.
Tujuan Belanda melakukan Agresi Militer II adalah menunjukkan pada dunia
pemerintahan RI dan kekuatan militernya sudah tidak ada lagi.

1.

Reaksi RI terhadap Agresi Militer Belanda II
a.

Bidang Politik
Sebelum penangkapan para pemimpin RI,
Presiden Soekarno berhasil mengirimkan
pesan kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) agar
pemerintahan RI tetap berjalan sebagaimana
mestinya.

Gambar 4.6 Pejuang Indonesia sedang
siaga di perbatasan Yogyakarta.
Sumber: Wikipedia.org

Apabila Syafruddin Prawiranegara tidak dapat menjalankan tugasnya, presiden
memerintahkan Sudarsono, L. N. Palar, dan A. A. Maramis yang ada di New Delhi,
untuk membentuk pemerintahan RI di India.
PDRI berhasil mengirimkan pesan kepada PBB pada 23 Desember 1948, RI
bersedia menghentikan peperangan dan berunding dengan Belanda. Tindakan RI
mendapatkan dukungan dari dunia internasional.
1.)

PBB mengeluarkan resolusi untuk menghentikan pertempuran. Pada 28 Januari
1949, KTN dibubarkan dan diganti dengan UNCI (United Nations Commisions for
Indonesia).

8

b.

2.)

India dan Pakistan yang melarang pesawat Belanda untuk mendarat di wilayah
India dan Pakistan.

3.)

Amerika Serikat yang menghentikan semua bantuan ke Belanda hingga
Belanda menghentikan permusuhan dengan RI.

Bidang Militer
Jatuhnya Ibu Kota Yogyakarta diperkirakan oleh Belanda akan membuat kekuatan TNI
hancur, namun perkiraan Belanda salah. TNI di bawah pimpinan Jenderal Sudirman masih
mampu melakukan perang gerilya dan pergerakan TNI cukup merepotkan Belanda.
Peran dari Kolonel A.H. Nasution juga patut diperhitungkan dengan gagasannya
dalam Perintah Siasat No. 1. TNI harus menyusup ke belakang garis musuh dan membentuk
kantong-kantong gerilya sehingga Pulau Jawa menjadi medan gerilya yang luas.
Puncak dari peranan TNI dalam Agresi Militer Belanda II adalah Serangan Umum 1
Maret 1949 yang ditujukan untuk merebut Ibu Kota Yogyakarta dari Belanda. Serangan
Umum 1 Maret 1949 meraih keberhasilan. TNI berhasil menduduki Yogyakarta selama 6
Jam dan berhasil menyiarkan ke seluruh dunia tentang keberhasilan Serangan Umum 1
Maret 1949.
Arti penting Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah TNI berhasil menunjukkan
pada dunia bahwa pemerintah RI masih memiliki kekuatan dan sanggup
mempertahankan kemerdekaannya.

2.

Dampak Agresi Militer Belanda II
Akhirnya, desakan dari Amerika Serikat pada 7 Februari 1949 dan negara-negara anggota
PBB membuat Belanda mau menerima resolusi PBB untuk menghentikan pertempuran.
Atas prakarsa UNCI, RI dan Belanda dipertemukan dalam Perundingan Roem-Royen yang
dimulai sejak 7 Mei 1949 untuk menyelesaikan konflik kedua negara tersebut. Pada 24-29
Juni 1949, Belanda mulai menarik mundur tentaranya dari Yogyakarta.

E.
1.

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Arti dan Definisi
PDRI kepanjangan dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. PDRI dibentuk oleh
Syafruddin Prawiranegara setelah jatuhnya ibu kota Yogyakarta dan ditangkapnya
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim.

9

Pembentukan PDRI mempunyai arti bahwa pemerintahan Indonesia tetap berfungsi
walaupun para pemimpin RI dan ibu kota RI telah jatuh ke tangan Belanda. Selain itu, adanya
PDRI membuat RI memperoleh dukungan internasional ketika Belanda memberitakan RI
sudah tidak ada. Ternyata, PDRI mampu menunjukkan pemerintahan RI masih ada dan
berfungsi. PDRI mampu mengirimkan pesan kepada PBB pada 23 Desember 1948 untuk
mengajukan gencatan senjata dan mengadakan perundingan dengan Belanda.

2.

Latar Belakang Pembentukan
Latar belakang pembentukan PDRI adalah tertangkapnya
Soekarno dan Hatta dalam aksi Agresi Militer Belanda II pada
19 Desember 1948. Sesaat sebelumnya, pemerintah sempat
mengirimkan pesan kawat pada Menteri Kemakmuran
Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi
untuk membentuk PDRI. Pesan kawat yang kedua bahwa apabila
usaha Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk PDRI gagal
di Sumatra maka mandat diserahkan pada Sudarsono, A. A.
Maramis, dan L. N. Palar untuk membentuk pemerintah pelarian
RI di India.

Gambar 4.7 Syafruddin
Prawiranegara, Ketua PDRI.
Sumber: Wikipedia.org

Pada 22 Desember 1948, Syafruddin Prawiranegara, Teuku Mohammad Hasan, Kolonel
Hidayat, Lukman Hakim, Manati Sitompul, dan Sutan Muhammad Rusli mengadakan
rapat di Halaban, Payakumbuh, Sumatra Barat. Rapat ini menghasilkan keputusan PDRI
dibentuk dengan susunan pemerintahan sebagai berikut.

3.

a.

Ir. Syafruddin Prawiranegara: Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/ Menteri Penerangan/
Menteri Luar Negeri ad interim.

b.

Mr. T. M. Hassan: Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/ Menteri PPK/Menteri
Agama.

c.

Mr. Sutan Mohammad Rasjid: Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan,
Pemuda.

d.

Mr. Lukman Hakim: Menteri Keuangan/ Menteri Kehakiman.

e.

Ir. Mananti Sitompul: Menteri Pekerjaan Umum/ Menteri Kesehatan.

f.

Ir. Indracaya: Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Penyerahan Mandat Pemerintahan
Saat Agresi Militer Belanda II dilaksanakan, Soekarno dan beberapa pejabat negara
memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta agar tetap dekat dengan KTN walaupun dengan
risiko akan ditangkap Belanda.

10

Pada 19 Desember 1948 pagi, sebelum penyerangan Belanda ke Yogyakarta, Kabinet Hatta
melakukan sidang untuk memutuskan jika terjadi sesuatu terhadap pemimpin negara
maka pemerintah akan memberikan mandat pada Syafrudin Prawiranegara, Menteri
Kemakmuran untuk membentuk Pemerintahan Darurat.
Untuk menjaga kemungkinan pemerintahan RI tetap berfungsi, sebelum Soekarno
dan Hatta ditangkap oleh Belanda, pemerintah memberikan pesan kawat kepada
Syafruddin Prawiranegara dan perwakilan RI di India.
Isi kawat pesan tersebut sebagai berikut.
Pertama, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara
untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatra.
Kedua, jika usaha Syafruddin gagal maka mandat diberikan kepada Sudarsono, A. A.
Maramis, dan L. N. Palar yang sedang ada di India untuk mendirikan pemerintah dalam
pengasingan di New Delhi, India.
Ternyata, Syafruddin tidak pernah menerima
kawat itu. Akan tetapi, beliau tetap berinisiatif
untuk membentuk pemerintahan sendiri.
Inisiatif ini berdasarkan permintaan Hatta pada
November 1948 yang telah mengajak Syafruddin
ke Bukittinggi dan memintanya tetap di sana
untuk mempersiapkan berdirinya pemerintahan
darurat. Permintaan Hatta didasarkan pada
hubungan Belanda–RI yang memanas setelah
perundingan Renville. Menurut Hatta, akan ada Gambar 4.8 Rumah Syafruddin Prawiranegara
yang dijadikan kantor PDRI.
kemungkinkan serangan Belanda dan jika ibu
Sumber: Wikipedia.org
kota RI di Jawa jatuh. Oleh karena itu, Syafruddin
harus membentuk pemerintahan darurat agar
pemerintahan RI tetap berfungsi.
Pada 22 Desember 1948, setelah mendengar berita jatuhnya Yogyakarta, Syafruddin
Prawiranegara, Teuku Mohammad Hasan, Kolonel Hidayat, Lukman Hakim, Manati
Sitompul, dan Sutan Muhammad Rusli mengadakan rapat di Halaban, Payakumbuh,

11

Sumatra Barat. Rapat ini menghasilkan keputusan PDRI dibentuk dengan Syafruddin
Prawiranegara sebagai ketua.
Pembentukan PDRI juga mendapatkan dukungan dari Jenderal Sudirman beserta
TNI dan rakyat Indonesia terutama yang ada di Sumatra. Oleh sebab itu, berkat dukungan
rakyat dan pejabat pemerintahan, PDRI dapat menjalankan tugasnya untuk melanjutkan
perjuangan RI.

4.

Kecaman dari Internasional
Menjelang pertengahan 1949, posisi Belanda makin terjepit. Dunia internasional
mengecam agresi militer Belanda II. Sementara di Indonesia, pasukan Belanda tidak
pernah berhasil berkuasa penuh. Hal ini disebabkan oleh faktor berikut.
a.

TNI berhasil menerapkan strategi perang gerilya sehingga Belanda hanya berhasil
menguasai kota besar, sedangkan tempat selain kota, seperti desa dan hutan, tetap
menjadi daerah kekuasaan TNI.

b.

Pembentukan PDRI dan keberhasilan memancarkan berita tentang kelanjutan
perjuangan RI menunjukkan RI masih tetap ada walaupun para pemimpinnya telah
ditangkap.

Keberhasilan TNI dan pembentukan PDRI membuka mata dunia sehingga
menimbulkan kecaman di dunia internasional kepada Belanda. Bentuk kecamannya
ditunjukkan oleh beberapa negara berikut.
a.

Kecaman dari Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundan yang merupakan
boneka Belanda.

b.

Konferensi Asia yang diusulkan Myanmar dan India pada 20–23 Januari 1949 di
New Delhi, India. Konferensi ini dihadiri oleh negara Asia, Afrika, dan Australia untuk
membahas masalah Indonesia yang kemudian disampaikan ke PBB.

c.

PBB mengutuk tindakan Belanda karena tidak menghormati PBB dengan melanggar
perundingan Renville yang ditandatangani di depan KTN yang merupakan wakil dari
PBB.

d.

Kecaman Amerika Serikat berupa penghentian bantuan ekonomi kepada Belanda
hingga Belanda mau menghentikan agresinya.

PDRI juga melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda di Sumatra, yang
ditandai adanya pemerintahan daerah militer di Aceh, Tapanuli, Riau, Sumatra Barat, dan
Sumatra Selatan. Selain itu, adanya Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI yang berhasil
menduduki Yogyakarta selama 6 jam, membuat Belanda semakin tersudut di mata
internasional.

12

Arti Penting Serangan Umum 1 Maret 1949:
RI dan TNI berhasil menunjukkan pada dunia bahwa RI masih mempunyai kekuatan
yang cukup untuk mengadakan perlawanan dalam mempertahankan kemerdekaan.
Hal ini memaksa Belanda untuk mengadakan gencatan senjata dan perundingan
dengan RI. Adapun perundingan-perundingan tersebut, yaitu perundingan Roem-Royen,
Perundingan Inter Indonesia, dan Konferensi Meja Bundar.

5.

Pengembalian Mandat Pemerintahan
Pengembalian mandat dari PDRI ke Pemerintah Indonesia berkaitan erat dengan
Perundingan Roem-Royen. Hasil Perundingan Roem-Royen menyebabkan Belanda harus
mengembalikan para pejabat pemerintahan yang ditawan. Pada 6 Juli 1949, pemerintah
Republik kembali ke Yogyakarta. Kembalinya presiden dan wakil presiden beserta
pejabat lainnya ke Yogyakarta menyebabkan terjadinya dualisme pemerintahan RI. Untuk
mengatasi masalah tersebut, RI mengutus Dr. J. Leimena, Moh. Natsir, dan dr. Halim ke
Bukittinggi untuk meminta Syafruddin Prawiranegara datang ke Jakarta.
Awalnya, perundingan ini berjalan alot karena dalam Perundingan Roem-Royen,
PDRI tidak diundang untuk ikut-serta dan Perundingan Roem-Royen yang merugikan
Indonesia. Akan tetapi, untuk menjaga Indonesia dari perpecahan, Syafruddin mau
datang ke Yogyakarta untuk menyerahkan mandatnya ke pemerintah Indonesia dalam
sidang kabinet pada 13 Juli 1949.

13