EKSISTENSI PURA PALUANG PURA MOBIL DALAM

i

EKSISTENSI PURA PALUANG (PURA MOBIL) DALAM
KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT HINDU DI BANJAR
KARANG DAWA, DESA PAKRAMAN DWI KUKUH LESTARI,
KEC. NUSA PENIDA, KAB. KELUNGKUNG, PROV. BALI

OLEH :
PUTU SOMIARTHA, SE., M.SI
NIP. 19850415 201101 1 010

KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU NEGERI
GDE PUDJA MATARAM
2016

ABSTRAK

ii

JUDUL : Eksistensi Pura Paluang (Pura Mobil) Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat

Hindu Di Banjar Karang Dawa, Desa Pakraman Dwi Kukuh Lestari, kec.
Nusa penida, Kab. Kelungkung, Prov. Bali
Pura Paluang yang sering disebut dengan Pura Mobil. Di mana terdapat dua
bangunan berbentuk mobil. Bangunan palinggih dengan bentuk mobil yang lengkap dengan
roda, kap yang terbuat dari batu padas. Palinggih mobil yang di sebelah timur adalah
berbentuk mobil Jimmy dengan ukuran dan desain modern zaman sekarang. Dan di tengahtengah areal palinggih ada juga bangunan berbentuk mobil namun mobilnya ini berukuran
kecil. Dengan reposisi mobil dibentuk seperti sedan Volkswagen Beetle (VW). Selain
bangunan itu ada palinggih yang biasa seperti taksu, padma, gedong dan palinggih lainnya.
Ida Bhatara yang berstana di Mobil Jimmy tersebut adalah Ida Bhatara Ratu Gede Ngurah
dan Hyang Mami. Diyakini sebagai leluhur dari krama Desa Karang Dawa yang berjumlah
sekitar 80 KK krama pangempon. Sementara di palinggih mobil yang bentuknya sedan itu
berstana Ida Bhatara yang malinggih yang tidak jelas diketahui diyakini leluhur dari krama.
Pada saat malam hari seringkali krama mendengar suara deru mobil dengan kecepatan tinggi
menuju arah barat laut. Namun deru itu hanya sepintas saja dan lari bagaikan pesawat jet
yang sudah tidak tampak lagi ke mana perginya. Mobil tersebut ke luar di saat ada grubug di
daerah lain yang mana tujuan keberangkatan ini adalah untuk memberikan bantuan
pengobatan oleh Ida Bhatara.Dari latar belakang masalah di atas maka peneliti ingin
mengetahui : (1) Bagaimana Eksistensi Pura Paluang, di Banjar Karang Dawan Desa
Pekraman Dwi Kukuh Lestari Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Kelungkung. ?, (2)
Apakah Fungsi Pura Paluang Bagi Umat Hindu di Banjar Karang Dawan Desa Pekraman

Dwi Kukuh Lestari Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Kelungkung ?, (3) Apakah Makna
Pelinggih Mobil Bagi Umat Hindu di Banjar Karang Dawan Desa Pekraman Dwi Kukuh
Lestari Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Kelungkung ?. Adapun teori yang digunakan
untuk mengkaji permasalahan diatas dengan menggunakan teori semoitika dan teori
fungsional.
Teknik Pengumpulan data melalui beberapa tahapan yaitu: observasi partisipan,
wawancara mendalam, studi kepustakaan dan dokumentasi, penyajian data dan pembahasan.
Adapun hasil yang didapatkan yaitu : (1) Bahwa eksistensi dari pura Paluang yang
terletak di dusun Karang Dawan ini sudah di akui keberadaanya. Tidak hanya masyarakat
atau warga yang berumat Hindu saja yang datang ke pura paluang bahkan sampai turis-turis
mancanegara sempat berkunjung ke pura Paluang Tersebut. (2) Bahwa Pura Paluang
berfungsi sebagai Pura Dalem dusun Karang Dawa. Itu dapat dilihat dari adanya setra
sebelum masuk kearea Pura Paluang, adanya pelinggi Merajepati, dan di areal Jeroan (Utama
Mandala) terdapat Arca Ratu Gede Sakti Hyang Mami (sebutan Dewi Durga) yang
ditempatkan di Gedong Utama, dan didukung dengan adanya pelinggih mobil yang berbentuk
JEEF yang dipercaya pengempon pura sebagai kendaraan Ida Bhatara Ratu Gede Sakti
Hyang Mami untuk melancaran. (3) Bahwa makna yang ada di dalam Pelinggih Mobil bagi
masyarakat Hindu di Dusun Karang Dawa sebagai perwujudan atau symbol kendaraan Ida
Batari Hyang Mami dan Batara Lingsir Paluang ketika hendak bepergian (Ida Batara Lunga)
untuk menemui Panjak/ masyarakatnya yang merantau ke daerah lain.

Kata Kunci : Pura Paluang (Pura Mobil), Eksistensi, Fungsi, dan Makna

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pulau Bali yang sangat dikenal di mata dunia sebagai pulau sorga atau pulau
Dewata, hal itu disebabkan karena di pulau Bali terdapat adanya beribu-ribu Pura,
sehingga sebutan itu tidaklah berlebihan, karena pada setiap desa pakraman terdapat
adanya Pura Keluarga, Pura Kahyangan Tiga sebagai penyungsungan Krama Desa
Adat dan beberapa desa di Bali ada kalanya terdapat Pura Kahyangan Jagat, sehingga
secara tak langsung memberikan kesan magis yang menambah terpesonanya pulau
Bali di mata dunia Internasional lebih-lebih para wisatawan baik domestik maupun
luar negeri, disamping itu yang juga tidak kalah pentingnya keinginan para wisatawan
mengunjungi pulau Bali karena umat Hindu di Bali hampir setiap hari melakukan
korban suci kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menimbulkan kesan magis
spiritual yang secara tak langsung memberikan ilustrasi yang sangat kokoh dan kental
kesan magis tersebut.
Hal ini diketahui bersama karena kehidupan masyarakat pulau Bali adalah

beragama Hindu yang mempunyai keyakinan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa (
Ida SangHyang Widhi Wasa). Keyakinan ini melahirkan konsep srada (kepercayaan)
yang dalam ajaran agama Hindu di kenal dengan Panca Sradha yakni (1) percaya
dengan adanya Ida SangHyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), (2) percaya dengan
adanya roh atau atman, (3) percaya dengan adanya karmaphala, (4) percaya dengan
adanya punarbhawa, (5) percaya dengan adanya moksa (Wardani: 1996: 43).
Dari yakin adanya Ida Sang Hyang Widi Wasa ini, muncul keyakinan bahwa
pura merupakan Stana Ida Sang Hyang Widi Wasa . Pura tersebut merupakan tempat
suci yang diyakini oleh umat Hindu sebagai tempat memohon tempat suci yang
diyakini oleh umat Hindu sebagai tempat memohon keselamatan, kesehatan,
kesejahtraan, baik lahir maupun bathin. Keyakinan adanya pura sebagai stana Ida
Sang Hyang Widi Wasa , dan tempat memohon keselamatan, kesejahtraan, kesehtan

2

dan lain sebagainya maka muncul rasa sujud dan bhakti, sebagai umat Hindu
berupaya untuk membuat stana Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam bentuk berbagai
pura yang berbeda-beda.
Konsepsi pura Kahyangan Jagat berdasarkan hasil Keputusan Tafsir terhadap
aspek-aspek agama Hindu di Besakih tanggal 27 Desember 1977 konsepsi Pura

Kahyangan Jagat dan Dang Kahyangan dibangun berdasarkan konsepsi yaitu :
1. Rwabhineda ( berdasarkan konsep dua yang berbeda yaitu Purusa
Pradana)
2. Catur Lokapala (berdasarkan empat petunjuk mata angin)
3. Sad Winayaka (berdasarkan konsepsi posisi letak pura ) (Dinas
Kebudayaan Bali, 2002 :6).
Sedangkan berdasarkan Hasil keputusan Kesatuan Seminar Kesatuan Tafsir
Terhadap Aspek Agama Hindu tahun 1981 konsepsi Kahyangan Jagat Bali didasarkan
atas Konsep Padmabhuwana.
Berdasarkan atas fungsi atau status Pura yang ada di Bali dikelompokkan
atas : (1) Pura Kahyangan Jagat Umum, yaitu tempat suci atau pura yang
menyungsung berasal dari semua lapisan masyarakat tidak terikat oleh garis
keturunan, kesatuan wilayah maupun profesi. (2) Pura Kahyangan Desa (triotorial),
adalah tempat suci atau pemujaan masyarakat desa dalam satu kesatuan wilayah desa
adat, (3) Pura Swagina, yaitu (Funghsional) tempat suci untuk memuja manifestasi
Tuhan Yang Maha Esa yang berhubungan dengan profesi dalam sistem mata
pencaharian, (4) Pura Kuluwarga (geneologis), adalah tempat suci untuk memuja
Tuhan Yang Maha Esa ditentukan oleh adanya ikatan garis keturunan/kelahiran atau
leluhur. (Dinas Kebudayaan, 2002:12).
Keberadaan pura bagi umat Hindu sangat penting dan bernilai, nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya telah mampu berfungsi menata sikap dan perilaku Umat
Hindu sehingga selalu berjalan ke jalan benar. Dalam konteks ini umat diharapkan
dapat memfungsikan pura tidak semata-mata untuk ngaturang ayah plus mabhakti,
namun lebih mengesankan dan merupakan pertanda kemajuan apabila umat sudah

3

bisa memfungsikan pura tidak saja sebagai tempat penyelenggaraan ritual, tetapi juga
bisa dipakai sebagai tempat peningkatan kualitas pengetahuan dan pemahaman
terhadap ajaran-ajaran agama. Seperti diungkapkan dalam Rg Weda X 192.2-4 yakni :
Sam gacchadhvam sam vadadhvan, sam namam si
Jahatam, deva bagan yatha purve samjanama upasate, samato
Mantrah samitih sumani, sumanam mantram abhi mantaraye vah
Samam ena va ivisa juh ami, sumani ya akitih hradayani vah,
Sumanam astu va mano yatha, vah susahasati.
Artinya:
Adanya pertemuan, berembuglah agar engkau mencapai kesepakatan seperti
para dewa bersama-sama men ikmati persembahan, capailah tujuan bersama,
kesepakatan bersama, satu pikiran, pikiran menuju satu tujuan. Aku
canangkan suatu tujuan bersama bagi engkau sekalian, dan adakanlah

pemujaan dengan persembahan bersama agar tujuanmu satu sehingga engkau
semua hidup berbagai bersama.
Tiga pura yang terdapat di desa adat merupakan simbul dari tiga lingkaran
hidup manusia, antara lain : Pura Desa sebagai simbul dari pemeliharaan hidup, Pura
Puseh sebagai simbol dari asal usul kelahiran, dan Pura dalem sebagai simbul dari
penguasa maut. Pengelompokan ketiga Pura tersebut, masing – masing Pura didasari
oleh nilai dasar Filosofi/tattwa, etika/susila dan upacara, ritual/upakara.
Di Nusa Penida banyak pura yang tersebar dari timur hingga barat. Yang salah
satunya adalah Pura Paluang yang sering disebut dengan Pura Mobil. Di mana
terdapat dua bangunan berbentuk mobil. Bangunan palinggih dengan bentuk mobil
yang lengkap dengan roda, kap yang terbuat dari batu padas. Palinggih mobil yang di
sebelah timur adalah berbentuk mobil Jimmy dengan ukuran dan desain modern
zaman sekarang. Dan di tengah-tengah areal palinggih ada juga bangunan berbentuk
mobil namun mobilnya ini berukuran kecil. Dengan reposisi mobil dibentuk seperti
sedan Volkswagen Beetle (VW). Selain bangunan itu ada palinggih yang biasa seperti
taksu, padma, gedong dan palinggih lainnya.
Dulunya bangunan berupa mobil tersebut dibuat dengan menggunakan kayu
yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai sebuah mobil. Namun karena kayunya

4


sudah mulai keropos dengan tidak menghilangkan ukuran, bentuk dan desainnya
bangunannya pun direhab ulang dengan menggunakan batu dengan tujuan agar lebih
awet dan tahan lama.
Ida Bhatara yang berstana di Mobil Jimmy tersebut adalah Ida Bhatara Ratu
Gede Ngurah dan Hyang Mami. Diyakini sebagai leluhur dari krama Desa Karang
Dawa yang berjumlah sekitar 80 KK krama pangempon.
Sementara di palinggih mobil yang bentuknya sedan itu berstana Ida Bhatara
yang malinggih yang tidak jelas diketahui diyakini leluhur dari krama. Pada saat
malam hari seringkali krama mendengar suara deru mobil dengan kecepatan tinggi
menuju arah barat laut. Bahkan krama setempat yang lain ketika ditanya juga
menyebutkan saat malam hari tampak seperti mobil yang lewat dengan suara deru
yang keras dengan sinaran lampu yang begitu terang. Namun deru itu hanya sepintas
saja dan lari bagaikan pesawat jet yang sudah tidak tampak lagi ke mana perginya.
Mobil tersebut ke luar di saat ada grubug di daerah lain yang mana tujuan
keberangkatan ini adalah untuk memberikan bantuan pengobatan oleh Ida Bhatara.
Dengan demikian disebutkan, di sini juga banyak orang yang datang secara diamdiam untuk mendapatkan merta, anugerah untuk menjadi seorang pengusada
mumpuni.
Yang menambah keangkeran dari Pura ini adalah bentuk patung-patung kuno.
Ada hanya tinggal kepalanya saja, ada tinggal badannya saja. Ini terjadi karena

pergerakan bumi yang terus mengikis benda-benda seperti ini. Sebagaimana purapura lainnya pastinya ada penjaga sebagai pengaman secara niskala dari Pura ini.
Disebutkan ratusan kera yang disebutkan di atas tadi adalah rerencangan beliau.
Namun tidak semuanya. Kera-kera tersebut tampak aneh, mereka tidak masuk ke
pelataran pura melainkan berdiam di sekeliling panyengker pura yang luasnya sekitar
50 are. Sambil mencari buah-buahan kecil, kera tersebut sepertinya terus mengawasi
gerak-gerik krama yang datang ke Pura.
Selain keangkeran dan keanehan pura tadi, juga terdapat di bawah sebelah
timur dari Pura ini terdapat sebuah gua yang aneh. Tidak sembarangan krama yang

5

bisa datang ke tempat ini.

Menurutnya goa yang ada di pinggang jurang ini tidak

bisa dilalui langsung turun dari pura ini, karena sebelah pura sudah langsung jurang,
hanya ditutupi semak dan juga pohon juwet dengan rindangnya, hingga pinggir
jurang pun tidak tampak. Untuk mendapatkan lokasi ini biasanya dilewati dengan
cara berjalan di pinggiran laut lewat barat dengan jarak tempuh hingga dua jam lebih
lamanya dari desa setempat.

Di goa ini menurutnya ada sebuah hal aneh di mana ada seperangkat
gambelan gong yang lengkap bahkan sangat lengkap. Yang dibentuk menggunakan
batu padas. Dia perkirakan benda tersebut sudah ada lebih dari 500 tahun lamanya.
Selain gong batu tersebut juga ada yang patung orang yang sedang memegang
gamelan layaknya mereka sedang megambel.
Dari latar belakang masalah di atas maka peneliti ingin mengetahui
bagaimana Eksistensi Pura Paluang ( Pura Mobil) terhadap kehidupan sosial
masyarakat Hindu di Desa Dawan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Kelungkung.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana Eksistensi Pura Paluang, di Banjar Karang Dawan Desa Pekraman
Dwi Kukuh Lestari Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Kelungkung. ?
2. Apakah Fungsi Pura Paluang Bagi Umat Hindu di Banjar Karang Dawan Desa
Pekraman Dwi Kukuh Lestari Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Kelungkung
?
3. Apakah Makna Pelinggih Mobil Bagi Umat Hindu di Banjar Karang Dawan
Desa Pekraman Dwi Kukuh Lestari Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten
Kelungkung ?


1.3 Tujuan Penelitian

6

1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini untuk mengetahui keberadaan dan peranan dari
Pura Paluang (Pura Mobil) terhadap kehidupan masyarakat yang ada di desa Dawan,
Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Kelungkung.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini memiliki tujuan anatara lain
a. Untuk Mengetahui Eksistensi Pura Paluang, di Banjar Karang Dawan Desa
Pekraman Dwi Kukuh Lestari Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten
Kelungkung. ?
b. Untuk Mengetahui Fungsi Pura Paluang Bagi Umat Hindu di Banjar Karang
Dawan Desa Pekraman Dwi Kukuh Lestari Kecamatan Nusa Penida,
Kabupaten Kelungkung ?
c. Untuk mengetahui Makna Pelinggih Mobil Bagi Umat Hindu di Banjar
Karang Dawan Desa Pekraman Dwi Kukuh Lestari Kecamatan Nusa Penida,
Kabupaten Kelungkung ?
1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian dapat memperoleh penjelasan yang terperinci akan
sejarah, eksistensi, fungsi dan makna Pura Paluang di Dusun Karang Dawan
Nusa Penida.
b. Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi
masyarakat tentang Pura Paluang secara menyeluruh baik dilihat berdasarkan
Bentuk, Fungsi, Makna dan eksistensi dari Pura Paluang di Desa Dawan,
Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Kelungkung.

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Relevan
Penelitian relevan merupakan suatu kajian pustaka atau penelitian- penelitian
terdahulu untuk menyatakan sumber asli dan sesuai dengan kenyataan atas fenomena
yang teijadi di masyarakat. Penelitian relevan dapat berupa Jurnal, Buku, tabloid,
majalah dan lain-lain (Sugiono : 2010). Dalam penelitian ini bahan pustaka yang

8

digunakan berhubungan dengan Eksistensi Pura Paluang (Pura Mobil) dalam
kehidupan masyarakat Hindu di Banjar Karang Dawa, Desa Pakraman Dwi Kukuh
Lestari, Kecamatan Nusa Penida.
Budiarta (2006), dalam skripsinya yang beijudul Eksistensi Pura Melanting
Cakranegara (Suatu Tinjauan Historis). Skripsi ini menjelaskan tentang Eksistensi Pura
Melanting Cakranegara ditinjau dari latar belakang kesejarahannya diperoleh
kesimpulan bahwa telah teijadi pergeseran fungsi dari sejak pertama kali pura ini
dibangun hingga sekarang dimana pada saat pertama kali pura ini dikenal oleh
masyarakat Hindu Mataram difungsikan oleh para pedagang sebagai tempat untuk
memohon rezeki dan kesejahteraan hidup. Eksistensi pengelolaan Pura Melanting
Cakranegara pada tataran ini juga telah teijadi perubahan bila dilihat dari aspek
kesejarahannya. Pada masa kerajaan Singosari (Karang Asem) pemanfaatan dan
pengelolaan Pura Melanting Cakranegara berada dan dikelola penuh oleh pihak
kerajaan, setelah diadakan pemindahan pembangunannya, pengelolaan Pura ini
sepenuhnya diserahkan kepada Yayasan Krama Pura Cakranegara yang pemanfaatan
serta tanggung jawab pengelolaannya disungsung oleh 33 banjar yang ada di bekas
wilayah Kerajaan
Singosari sebagaimana sesuai dengan jumlah pelinggih yang berada di Pura
Meru Cakranegara. Namun di luar kelompok 33 banjar tersebut, Pura Melanting
Cakranegara dimanfaatkan oleh golongan pedagang yang ada di kota Mataram
sehingga secara langsung para pedagang ikut serta sebagai pengelola Pura Melanting
Cakranegara. Pemanfaatan dan latar belakang sejarah menjadi acuan sebagai bahan
kajian peneliti untuk mengetahui eksistensi Pura Melanting. Hal yang membedakan
penelitian Budiarta dengan penelitian ini adalah fokus kajian dimana penelitian
Budiarta hanya mengkaji tentang fungsi, bentuk dan makna saja, sedangkan
penelitian ini juga difokuskan untuk mengkaji tentang eksistensi Pura Melanting
dalam menjalin komunikasi antar pedagang beragama Hindu di Kota Mataram.
Budiastini (2009) dalam skripsinya yang beijudul, “Bentuk, fungsi, dan
makna pelinggih di Pura Saranatha Dusun Babakan Desa Gerung Utara Kecamatan

9

Gerung Kabupaten Lombok Barat”, berisikan tentang penjelasan mengenai fungsi
pura secara umum dan secara khusus. Secara umum, pura digunakan sebagai tempat
suci umat Hindu untuk melaksanakan kegiatan persembahyangan untuk memohon
waranugraha kehadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai
Ida Bhatara Gunung Rinjani untuk memohon hujan dan memberkahi semua tanaman
dan kehidupan yang ada di dunia agar tumbuh subur sehingga dapat membuahkan
hasil untuk kelangsungan hidup. Sedangkan fungsi khususnya adalah disamping
sebagai tempat suci, pura juga berfungsi sebagai tempat untuk mengadakan
pertemuan untuk membicarakan tentang hal-hal keagamaan atau diskusi agama, adat,
dan budaya Hindu sehingga diharapkan dapat mempererat tali simakrama dikalangan
umat Hindu di Dusun Babakan. Fungsi secara umum dan khusus inilah yang
kemudian menjadi fokus penelitian sebagai acuan dalam memahami tentang fungsi
Pura Fungsional.
Penelitian yang dilakukan oleh I Komang Arcana (2010) dengan judul Peran
Pura Muter Medain dalam mempersatukan umat Hindu di Pulau Lombok (Studi sosioantropologis) dengan rumusan permasalahan tentang bentuk, fungsi, makna, dan peran
Pura maka dapat disimpulkan
Bentuk, Fungsi dan Makna Pura Muter Medain Menurut Studi Sosio-antropologis
Keberadaan Pura secara teologis digambarkan dalam kitab Smrti (Purana), aturan
pelaksanaan berdasarkan konsep dharma siddhi artha, struktur dan tata ruang berdasarkan
asta bhumi/ asta kosala-kosali. Teori modem dipakai untuk berusaha mengidentifikasi Pura
dan perilaku manusia di dalamnya secara sosiologis.
Bentuk Pura
Bentuk Pura dipandang dari aspek: struktur horizontal, struktur vertikal, status
Pura, sistem upacara, dan sejarahnya Pura merupakan bangunan fisik yang masingmasing strukturnya memiliki fungsi tertentu. Dimana bila strukturnya berubah, maka
secara khusus dapat mengubah status dan fungsinya pula (fungsional struktural).
Struktur horizontal

10

Bangunan Pura tergolong tri mandala: jeroan, jaba tengah dan jaba pisan
Jeroan dengan tata ruang terdiri atas: palinggih pasimpangan. Remeneng (sebagai
sthana Bhatara Sakti Waurauh\ palinggih pasimpangan Bhatara

Gde Gunung Rinjani, palinggih

pasimpangan Bhatara Gde Jagat, bale banten, dua buah bale pawedan, bale penangkilan/bale gong,
dibatasi pagar tembok bata-asah. Jaba tengah dengan tata ruang tanpa dibatasi pagar
tembok dan pintu, hanya halaman berundak (terasering). Jaba sisi berupa halaman
kosong yang rata. Posisi di selatan terdapat Pura Pelawangan dengan satu palinggih
gedong yang di dalamnya terdapat tawulan, di sekitarnya terdapat tiga sumber mata air
(patirthan).
Struktur vertikal
Palinggih utama yang terdiri atas: palinggih pasimpangan Remeneng (sebagai
sthana Bhatara Sakti Waurauh), palinggih pasimpangan Bhatara Gde Gunung Rinjani,
palinggih pasimpangan Bhatara Gde Mutering Jagat. Secara umum ketiga palinggih
berbentuk gedong yang strukturnya terdiri atas: dasar tersusun dari bata, badan
berupa gedong dengan bahan kayu dan bata dan tiangnya dari kayu di dalamnya
terdapat tawulan dan puncaknya berbentuk limas dengan atap berbahan ijuk.
Status
Pura Muter Medain tergolong Pura Kahyangan Jagat dan Pura Dang
Kahyangan. Hal itu disebabkan karena secara konsep sebagai tempat pemujaan Tuhan
Yang Mahaesa, walaupun secara prakteknya hanya terbatas pada warga masyarakat
kalangan tertentu yang terkait secara sosio-historis. Berstatus sebagai Pura Dang
Kahyangan disebabkan karena merupakan
2.2 Konsep
2.2.1 Eksistensi

11

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Lengkap (Daryanto, 1997: 182) eksistensi
memiliki arti keberadaan, adanya kehidupan. Terkait dengan peneilitian ini peneliti
ingin mendeskripsikan tentang bagaimana keberadaan Pura Paluang (Pura Mobil)
dalam kehidupan masyarakat beragama Hindu yang ada di desa Dawan,Kecamatan
Nusa Penida disamping itu peneliti juga ingin mengkaji lebih dalam tentang bentuk,
fungsi dan makna dari pura paluang.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), eksistensi
diartikan sebagai keberadaan. Eksistensi menunjukkan bagaimana usaha untuk
mempertahankan keberadaan dalam waktu-waktu tertentu hingga saat ini.
2.2.2 Konsep Pura
Konsep bangunan Pura di Bali mengacu pada pemahaman umat Hindu Bali
terhadap Alam dan ajaran agama Hindu. Konsep pembuatan arsitektur Pura mengacu
pada Sastra /Lontar Asta Kosala-Kosali yang di dalamnya terdapat falsafah
perwujudan arsitektur Pura yaitu Tri Hita Karana, Panca Maha Bhuta, Nawa Sanga.
Ketiga falsafah tersebut menjadi dasar pembuatan arsitektur Pura yang di
dalamnya terdapat suatu pemahaman mengenai alam yang dikaitkan dengan
kepercayaan umat Hindu, seperti keterlibatan pengaruh Dewa- dewa yang terdapat
pada setiap penjuru mata angin. Selain itu, bangunan Pura juga memiliki satuan ukur
bangunan yang mengacu pada ukuran anatomi manusia itu sendiri.
Hal tersebut mengacu pada logika manusia sebagai pengguna bangunan.
Pemahaman tentang alam juga mempengaruuhi struktur Pura yang dilihat dari
denahnya juga mengacu pada pemahaman masyarakat Hindu Bali mengenai
pembagian alam.
Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu:
Jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan
(halaman dalam).
Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan
(halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh
halaman (tingkatan). Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi

12

makrokosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian
(halaman) itu adalah lambang dari “triloka”, yaitu: bhurloka (bumi), bhuvaaloka
(langit) dan svaaloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat)
melambangkan alam atas (urdhaa) dan alam bawah (adhaa), yaitu akauadan pativi.
Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan
“Saptaloka” yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhurloka,
bhuvaaloka, svaaloka, mahaoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan pura yang
terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari “ekabhuvana”, yaitu penunggalan
antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya
menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang pembagian (loka) pada
pelinggih-pelinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu
melambangkan prakati (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang
vertikal adalah simbolis puruua (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan
konsepsi prakati dengan puruua dalam struktur pura adalah merupakan simbolis dari
pada “Super natural power“.
Pemahaman masyarakat Hindu terhadap keyakinannya jelas tercermin ke dalam
konsep bangunan Pura. Dilihat dari struktur pembagian denah Pura maupun
bangunan yang ada di dalamnya merupakan cerminan dari pengertian alam yang di
pahami masyarakat Hindu Bali. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat Hindu Bali
menginginkan suatu keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia,
manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Hyang Widi Wasa agar kebahagiaan
dapat tercapai bagi seluruh manusia.
A. Sebagian besar pura-pura yang ada menggunakan struktur denah Pura Tri
Mandala, yaitu :
1) Nista Mandala
Nista Mandala atau yang biasa disebut jaba pisan adalah bagian terluar dari
arsitektur Pura. Bagian ini merupakan bagian Nista atau kotor dan tidak sakral dari
sebuah pura. Setiap orang dapat memasuki bagian ini. Bangunan yang terdapat pada
mandala ini diantaranya : Bale Kulkul, sebagai tempat kentongan digantung, Bale

13

Wantilan, yaitu balai tempat pementasan kesenian yang diadakan di dalam pura,
kemudian Bale Pawaregan yaitu bangunan yang digunakan sebagai dapur tempat
sesaji dibuat, dan Lumbung yaitu bangunan yang digunakan untuk menyimpan beras.
2) Madya Mandala
Madya Mandala atau biasa disebut jaba tengah, adalah bagian tengah dari
arsitektur Pura. Bagian madya mandala adalah bagian dalam pura yang sakral. Pada
bagian ini umat Hindu sudah mulai terfokus untuk menghadap Sang Hyang Widi
Wasa. Biasanya pada areal ini terdiri dari bangunan Bale Agung (Balai Panjang), Bale
Pagongan (Balai tempat gamelan), selain itu juga terdapat Bale Panyimpenan
(ruangan tempat menyimpan barang-barang berharga Pura) biasanya di atas pintu
masuk bale panyimpenan terdapat karang Bhoma,yang berfungsi untuk menjaga
barang-barang yang berada dalam ruangan tersebut.
3) Utama Mandala
Utama Mandala atau jeroan adalah bagian terdalam dan tersuci/tersakral dari
sebuah Pura. Pada bagian Utama ini, umat diharuskan benar-benar fokus untuk
menghadap Sang Hyang Widhi dengan meningggalkan nafsu keduniawiannya. Di
bagian ini terdapat pelinggih-pelinggih seperti padmasana untuk menstanakan Sang
Hyang Widhi (sebagai Trimurthi atau Tripurusa) atau pelinggih-pelinggih lain untuk
pemujaan roh leluhur. Selain bangunan pelinggih, juga terdapat bale Piasan, dan
bangunan Panglurah (bangunan yang menempatkan pangawal Sang Hyang Widhi).
Untuk memasuki jeroan, umat Hindu satu persatu masuk melalui pintu pada Kori
Agung yang dijaga oleh Karang Bhoma. Biasanya jika tidak ada upacara keagamaan,
umat Hindu memasuki jeroan lewat bebetelan.
B. Makna Bangunan yang terdapat di dalam Pura
1. Candi Bentar
Candi Bentar merupakan pintu masuk yang membatasi antara bagian Nista
Mandala dengan bagian luar Pura. Candi Bentar dianggap sebagai perwujudan dari
pangkal gunung Maha Meru, oleh karena itu dianggap kurang sakral daripada Kori
Agung. Biasanya area sirkulasi dari candi bentar dibuat lebar. Hal ini dimaksudkan

14

agar para umat Hindu datang dengan leluasa. Candi Bentar juga merupakan pintu
masuk yang membatasi Nista Mandala dengan Madya Mandala, biasanya area
sirkulasinya sama dengan Candi Bentar sebelumnya yang membatasi antara Nista
Mandala dengan bagian luar Pura. Ruangan/pintu candi bentar dibuat agak
lebar,dimaksudkan agar umat dapat lebih banyak masuk jaba tengah sekaligus. Juga
mengandung arti umat boleh dengan leluasa keluar masuk dari jaba sisi ke jaba
tengah atau sebaliknya. Bangunan ini merupakan sebagai pintu masuk penyaring atau
penanda dimana setelah melewati pintu masuk ini, umat Hindu sudah mulai
melepaskan keduniawiannya.
2. Kori Agung
Merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara jaba tengah (Madya Mandala)
dengan jeroan (Utama Mandala). Ruang/pintu tempat masuk sengaja dibuat kecil,
hanya cukup untuk satu orang. Diatasnya terdapat ornament berupa karang Boma,
dan dijaga oleh dua buah patung Dwara Pala. Hal ini mengandung pengertian untuk
masuk jeroan (Utama Mandala), tidak setiap orang bebas leluasa melainkan masuk
satu persatu,maksudnya agar mereka yang masuk ke dalam jeroan atau (Utama
Mandala)

benar-benar

orang

yang

satu

antara

bayu

(tenaganya),

Sabha

(perkataannya), Idep (pikirannya), dan bulat tertuju hanya untuk memuja Tuhan.
3. Padmasana
Padmasana yang dikembangkan oleh Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti
Wawu

Rauh.

Ia

seorang

sastrawan

Majapahit

sekaligus

pendeta

yang

memperkenalkan arsitektur pura. Beliau datang ke Bali untuk menyebarkan agama
Hindu Siwa Sidhanta pada abad ke-15 ketika kekuasaan kerajaan Majapahit mulai
memudar.
Ajarannya yang pertama adalah mendirikan padmasana di setiap komplek pura
maupun pamerajan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa. Pembangunan
padmasana ini dilakukan untuk memperbaiki kesalahan persepsi masyarakat terhadap
Sang Hyang Widhi. Sebelumnya masyarakat Bali membuat pelinggih dari bambu atau

15

pohon pinang yang tidak permanen dan biasanya dicabut kembali setelah upacara
selesai.
Hal tersebut menyababkan timbulnya pura-pura fungsional yaitu pura yang
memiliki fungsi khusus, sebagai contoh : Pura Ulun Siwi untuk menyembah-Nya
sebagai penguasa kemakmuran, Pura Melanting untuk menyembah-Nya sebagai
penguasa pasar dan sebagainya. Timbulnya pura-pura tersebut menyebabkan persepsi
bahwa Tuhan itu banyak. Maka Danghyang Nirartha menganjurkan pendirian
padmasana untuk memperbaiki persepsi yang salah tersebut.
Sebutan Padmasana berasal dari kata Padma yang berarti bunga Teratai, dan
Asana berarti sikap yang terbaik dalam memuja. Teratai/Padma adalah salah satu
simbol kesucian dalam agama Hindu, karena bunga Teratai ini dianggap dapat
bertahan hidup walaupun hidup dalam lumpur, tidak sedikitpun lumpur yang
menempel pada bunganya. Dengan tidak adanya kotoran yang melekat ini merupakan
simbol bahwa kesucian itu akan bebas dari segala kemelekatan atau noda.
Pada bagian kepala/sari terdapat Singghasana seperti kursi yang diapit oleh
Naga Tatsaka. Pada bagian belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya
terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya sebagai simbol perwujudan Ida Sang
Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut
dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.
Sebenarnya posisi Padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak
kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Hal ini
tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan bahwa pada puncak padmasana
terdapat Singghasana yang berupa kursi berkaki empat. Jadi nama Padmasana
sebenarnya digunakan karena isi dari pedagingan yang ditanamkan pada puncak
bangunan tersebut berupa padma yang terbuat dari emas. Sedangkan pada padmasana
yang menggunakan Bhedawang Nala, pedagingan berjumlah tiga buah, yang
ditanamkan pada dasar, tengah, dan puncak.
Fungsi utama padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha
Esa atau Sang Hyang Widhi Wasa sehingga tidak ada padmasana yang dijadikan

16

sebagai pemujaan roh leluhur. Pelinggih padmasana adalah simbol stana Sang Hyang
Widhi dengan berbagai sebutan, yaitu Sanghyang Siwa Raditya, dalam manifestasi
yang terlihat atau dirasakan manusia sebagai matahari atau surya dan Sanghyang Tri
Purusa dalam tiga manifestasi yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa. Oleh
karena itu, padmasana merupakan pelinggih yang digunakan oleh umat Hindu sekte
Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama
adalah sebagai Siwa.
Berdasarkan tata letak, padmasana dibedakan berdasarkan arah mata angin, yang
terbagi menjadi sembilan jenis, yaitu :
1. Padma Kencana, di timur (purwa) menghadap ke barat (pascima)
2. Padmasana, di selatan (daksina) menghadap ke utara (uttara)
3. Padmasari, di barat (pascima) menghadap ke timur (purwa)
4. Padma Lingga, di utara (uttara) menghadap ke selatan (daksina)
5. Padma Asta Sedhana, di tenggara (agneya) menghadap ke barat laut (wayaba)
6. Padma Noja, di barat daya (nairity) menghadap ke timur laut (airsaniya)
7. Padma Karo, di barat laut (wayabya) menghadap ke tenggara (agneya)
8. Padma Saji, di timur laut (airsanya) menghadap ke barat daya (nairity)
9. Padma Kurung, di tengah-tengah pura (madya) menghadap ke pintu
masuk/keluar (pemedal)
Pemilihan letak padmasana berdasarkan pertimbangan letak pura dan konsep
hulu-teben. Dikarenakan manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, maka Hyang
Widhi dianggap seperti organ tubuh manusia yaitu memiliki kepala, badan, dan kaki.
Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang
utama selalu berada di hulu. Hal tersebut mempengaruhi pembagian mandala pada
pura yang dibagi menjadi bagian nista, madya, utama. Hulu teben memakai dua acuan
yaitu timur sebagai hulu dan barat sebagai teben, atau gunung sebagai hulu dan laut
sebagai teben.
Sedangkan berdasarkan bentuk pepalihan (undakan) dan rong (ruang) bangunan
padmasana terdiri dari :

17

1. Padma Anglayang, bangunan padmasana yang memakai Bhedawang Nala,
bertingkat tujuh / berpalih tujuh dan di puncaknya terdapat tiga ruang.
Digunakan selain sebagai tempat distanakannya Sang Hyang Siwa Raditya
atau Sang Hyang Tripurusa, juga Trimurti
2. Padma Agung, memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih
lima dan di puncaknya terdapat dua ruang. Dipakai sebagai tempat
distanakannya Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga
stana Ardanareswari yaitu kekuatan/kesaktian Hyang Widhi sebagai pencipta
segala yang berbeda misalnya, lelaki-perempuan, siang-malam, kiri-kanan dan
seterusnya.
3. Padmasana, memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima
dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan selain sebagai stana Sang
Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga sebagai stana Sang
Hyang Tunggal yaitu Hyang Widhi/ Yang Maha Esa.
4. Padmasari, tidak memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat/ berpalih tiga
dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan hanya untuk stana Sang
Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa.
5. Padma Capah, tidak memakai dasar Bhedawang Nala bertingkat/berpalih dua
dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan sebagai Baruna (Dewa
Lautan)
4. Gedong
Bentuknya serupa dengan tugu hanya bagian kepalanya terbuat dari konstruksi
kayu, atapnya alang-alang, ijuk atau bahan-bahan penutup lain mengikut bentuk dan
fungsinya. Bagian badan dan kaki, pasangan batu halus tanpa atau sedikit perekat
siar-siar pasangan. Denah bujur sangkar dengan ukuran sisi dasar sekitar 1m dan
tinggi sekitar 3m.
Fungsi Gedong beragam sesuai dengan tempatnya di pamrajan, pura, kahyangan atau
dilain tempat tertentu. Tata letak gedong, bentuk konstruksi atap dan ketentuan lain

18

mengikut fungsi gedong tersebut. Pemakaian bahan, penyelesaian konstruksi dan
hiasannya sesuai dengan tingkatan utama, madya dan sederhana dari suatu pura yang
ditempatinya.
Terdapat juga gedong kembar dengan dua ruangan dan gedong tiga ruangan
atau rong telu untuk kemulan di sanggah atau pamerajan. Gedong dengan atap
bertumpang disebut gedong sari untuk kahyangan jagat dari suatu pura tertentu.Dasar
ukuran gedong, proporsi berbaturan dan rangka ruangnya didasarkan pada ketentuan
tradisional. Bentuk penyelesaian, bagian-bagian dan hiasannya bervarisi mengikuti
kreasi logika dan estetika perancangnya.
5. Meru
Bentuk Meru menonjolkan keindahan atap bertingkat-tingkat yang disebut
atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu ganjil, yaitu tumpang 3, 5, 7, 9, dan
tumpang 11 yang tertinggi. Keindahan banguanan meru timbul dari ketepatan
proporsi, teknik konstruksi dan hiasannya. Tata letak meru di suatu pura adalah di
halaman jeroan bagian utara. Meru umunya menghadap kearah barat di sisi timur
sebagai tempat pemujaan utama. Menurut mitologi Hindu, Meru merupakan nama
sebuah gunung di Sorgaloka. Salah satu puncaknya disebut Kailasa, yang merupakan
tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Gunung tersebut lalu diturunkan ke dunia
menjadi gunung Himalaya di India, Gunung Mahameru di Jawa, dan gunung Agung
di Bali.
6. Pelinggih-pelinggih Runtutan
Meru, Padmasana, Gedong dan Kemulan merupakan bangunan-bangunan
pelinggih tempat pemujaan utama.
Untuk bangunan pelengkap dengan fungsi tertentu di suatu Pura atau Pamerajan
dibuat bangunan-bangunan runtutan sebagai berikut :


Tajuk atau pepelik ; bentuk dan konstruksinya serupa bangunan gedong
terbuka tiga sisi ke depan dan sisi samping. Fungsinya untuk penyajian sarana
dan perlengkapan upacara.

19



Bangunan dan paliangan ; bentuk dan konstruksinya serupa dengan gedong,
sedikit lebih besar dan ada yang memakai tiang jajar. Fungsinya untuk
menstanakan symbol-simbol dan saran upacara.



Taksu nenggeng ; semacam gedong bertiang satu dan taksu nyangkil semacam
gedong ruang dua empat tiang, dua tiang gantung di tepi kanan.



Manjangan salu wang ; Serupa dengan gedong, terbuka tiga sisi, didepan
memakai tiang tengah dengan kepala manjangan.



Gedong Mas Catu dan Mas Sari ; bentuk dan konstruksinya sama dengan
gedong. Mas Catu puncak atapnya tumpul dan Mas Sari puncaknya kerucup
lancip. Fungsinya untuk tempat pemujaan Sri Sedana, harta kekayaan untuk
kesejahteraan.



Gedong Agung, Gedong Ibu dan Gedong Batu ; bangunan gedong besar
dengan dinding batu berhias ornament pepalihan. Fungsinya tempat pemujaan
leluhur di sanggah dan pamerajan. Terdapat juga di Pura Kahyangan Tiga.



Selain bangunan-bangunan itu terdapat juga bangunan-bangunan yang
digunakan sebagai pelengkap upacara, yaitu ;



Bale Piyasan :sebuah bangunan tipe sakepat, sakenem, astasari, atau sakaroras
sesuai dengan besarnya tingkatan pura. Fungsinya untuk tempat penyajian
sarana-sarana upacara. Terbuka pada keempat sisinya. Letaknya di sisi barat
halaman atau sisi lain menghadap meru, gedong atau padmasana. Atap dari
alang-alang dan bahannya dari klas khusus untuk bangunan pemujaan.



Bale Pawedaan : bangunan sakepat atau lebih besar, letaknya di sisi
sehadapan dengan bangunan pemujaan. Bale Pawedaan dibangun di pura-pura
besar yang sering menyelenggarakan upacara tingkat utama.



Pewaregan Suci, letaknya di Jaba tengah atau jaba sisi. Bentuk bangunannya
memanjang deretan tiang dua-dua,luas bangunan tergantung keperluan dari
besarnya suatu pura. Fungsi bangunan untuk dapur mempersiapkan keperluan
sajian upacara di Pura yang jauh dari desatempat pemukiman.

20



Bale Gong, terletak di jaba tengah atau jaba sisi, bangunan tanpa balai-balai
jajaran tiang tepi tanpa tiang tengah. Fungsi bangunan untuk tempat menabuh
gamelan gong atau gamelan lainnya.



Bale Kul-kul, letaknya di sudut depan pekarangan pura. Fungsinya untuk
tempat kulkul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu pada upacara.



Penggunaan, letaknya dibagian selatan menghadap ke utara atau jabaan.
Bentuk bengunan sederhana, fungsinya untuk tempat penyajian banten
upacara.

C. Pura dapat dikelompokkan dalam berbagai jenis, namun walaupun
demikian,

tidak

mempengaruhi

bentuk

fisik

dari

pura

tersebut.

Pengelompokkan adalah sebagai berikut :
1.

Berdasarkan Fungsinya



Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang
Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya atau
dengan segala perwujudannya.



Pura Kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja roh suci leluhur.
Masyartakat Bali percaya bahwa setelah melalui upacara penyucian, roh
leluhur memasuki alam dewata. Secara fisik tidak terlihat perbedaannya,
tetapi hal tersebut dapat dibedakan dengan pedagingannya.

2. Berdasarkan pemuja pura


Pura yang penyungsungnya atau pemujanya berasal dari satu keluarga atau
mempunyai hubungan darah. Kelompok Pura ini adalah Sanggah, sebutan
untuk golongan jaba (diluar Tri Wangsa), Pemerajan (sebutan untuk golongan
Tri Wangsa), Dadia dan Kawitan.



Pura yang penyungsungnya atau pemujanya berasal dari satu wilayah atau
teritorial yang sama. Kelompok Pura ini pura Kahyangan Tiga (Pura Desa dan
Bale Agung, Pura Puseh, Pura Dalem). Pura Kahyangan Tiga memiliki tiga

21

macam Pura yang masing-masing merupakan tempat pemujaan Trimurthi
(perwujudan Sang Hyang Widhi), yaitu;
o

Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Brahma, yaitu
perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta alam semesta.
Pura ini letaknya di pusat desa dan biasa disebut sebagai Pura Desa.

o

Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Wisnu, yaitu
perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pemelihara alam semesta.
Pura ini disebut Pura Puseh dan letaknya berdekatan dengan Pura Desa
atau satu tempat dengan Pura Desa.

o

Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Siwa, yaitu perwujudan
Ida Sang Hyang Widhi sebagai Sang Pelebur. Pura ini disebut Pura
Dalem, dan biasanya terletak di dekat kuburan desa, di tepi, atau di
luar desa.



Pura yang penyungsungnya atau pemujanya mempunyai kepentingan yang
sama atau fungsional. Pura ini biasa disebut sebagai Pura Pengulu. Pura ini
diperuntukkan bagi umat Hindu yang memiliki profesi yang sama, sebagai
contoh petani, nelayan, dan lain-lain.



Pura yang penyungsungnya atau pemujanya mempunyai ikatan keagamaan
secara umum untuk seluruh umat tidak ada batasannya. Kelompok Pura ini
adalah Pura Sad Kahyangan (Pura Besakih, Pura Lempuyang, Goa Lawah,
Pura Luhur Uluwatu, Pura Bukit Pengelengan, Pura Watukaru), Pura
Kahyangan jagat (Pura Batur, Pura Andakasa, Pura Tanah Lot, Pura Pulaki,
dan lain – lain termasuk Pura Sad Kahyangan di atas) yang tersebar di seluruh
Bali. Biasanya Pura Sad Kahyangan dijadikan tempat untuk mengadakan
upacara yang diperuntukkan untuk alam, seperti hutan, kebun, ladang,
gunung, laut, danau, dan lain-lain.

6.

Pura Penunggu,

22

Pura yang sengaja dibangun di tempat-tempat yang dianggap angker atau ada
penunggunya, seperti goa,lokasi tempat terjadi kecelakaan, dekat pohon besar yang
dianggap angker, dan lain-lain.
Sebagai bagunan suci, Pura merupakan sarana peribadatan bagi umat Hindu
dalam usahanya melakukan penyerahan diri dan mendekatkan diri kehadapan Sang
Hyang Widhi Wasa sehingga dapat meningkatkan kualitas umat manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Di tempat suci seperti Pura, diharapkan
manusia dapat mengembangkan dirinya untuk saling mengenal diantara sesama umat
sehingga

kerukunan

intern

umat

Hindu

dapat

terwujud.

Pura digunakan oleh umat Hindu untuk melakukan upacara–upacara yang bersifat
keagamaan. Secara keseluruhan, kegiatan upacara dapat dibagi menjadi lima macam
upacara (Panca-Yadnya). Panca Yadnya merupakan lima pokok penuntun pelaksanaan
upacara yadnya di Bali.
2.2.3 Pura Paluang ( Pura Mobil)
Siapa yang tidak tahu jenis mobil Volkswagen Beetle atau yang lebih dikenal
VW Kodok dan mobil Jimny. Kedua jenis mobil lawas ini hingga saat ini masih
banyak digemari, terutama bagi para kolektor pecinta mobil klasik.Berdasarkan
sejarahnya, mobil Volkswagen Beetle yang berasal dari Jerman ini diproduksi mulai
tahun 1938 sampai 2003. Mobil ini dirancang oleh seorang insinyur otomotif
berkebangsaan Austria bernama Ferdinand Porsche.
Sedangkan mobil Jimny berasal dari Jepang yang dibuat pertama kali pada
tahun 1970 yang diproduksi oleh perusahaan industri otomotif Suzuki.Namun, di
Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali tepatnya di Banjar Karang Dawa,
Desa Pakraman Dwi Kukuh Lestari terdapat pelinggih yang terbuat dari batu padas
berbentuk mobil Volkswagen Beetle (VW Kodok) dan mobil Jimny di Pura Paluang.
Masyarakat setempat meyakini keberadaan kedua pelinggih mobil tersebut
sudah ada sejak zaman dahulu sebelum kedua jenis mobil tersebut diproduksi.
Keberadaan pelinggih mobil tersebut diketahui sudah ada pada awal tahun 1900-an.
“Pada tahun itu di Nusa Penida belum ada mobil, masyarakat disini tidak tahu bentuk

23

mobil itu seperti apa. Apalagi akses jalan disini dulu masih jalan setapak, tidak bisa
dilalui mobil..
Tidak ada prasasti terkait mengenai sejarah keberadaan Pura Paluang. Semua
informasi mengenai pura ini berdasarkan cerita para orang-orang tua terdahulu.
“Bahkan dari beberapa penuturan orang-orang yang sudah sepuh saya mendapat
informasi kalau pura ini diperkirakan ada sejak 300 tahun yang lalu,” jelasnya. Di
dalam pelinggih mobil Jimny terdapat dua arca lanang istri yang diyakini oleh
masyarakat setempat sebagai manifestasi Ida Bhatara yang melinggih. Masyarakat
setempat menyebutnya Ida Bhatara Ratu Gede Ngurah dan Hyang Mami.
Mitologi yang berkembang, warga setempat meyakini dahulu pada malammalam tertentu sering terdengar suara deru mobil dan suara klakson dari arah Pura.
Namun suara deru mobil itu hanya sepintas saja kemudian berlalu sangat cepat.Suar
menceritakan sekitar 50 tahun yang lalu, sebelum ada sepeda motor ketika warga
setempat berangkat ke pasar dengan berjalan kaki. Kira-kira pukul 02.00 WITA dini
hari salah satu warga setempat mendengar sebuah deru mobil dan suara klakson dari
arah Pura.
mobil tersebut dikendarai langsung oleh Ida Bhatara dengan damuh (kenek)
salah satu warga dari desa setempat. Namun, orang yang menjadi kenek tersebut kini
sudah meninggal. Sebelum meninggal sang damuh sempat bercerita bagaimana
dirinya menjadi kenek. Sebagaimana mobil biasa, penggunaan lampu sein, rem,
kopling, klakson dan sebagainya dilihat langsung oleh kenek yang mengikuti kemana
sang sopir mengarahkan setirnya.
Saat itu sang kenek yang bersaksi menuturkan ketika sedang melancaran
(bepergian secara niskala) bersama Ida Bhatara. Sang kenek sempat menjumpai
beberapa warga Nusa Penida yang dikenalnya sedang bekerja sebagai buruh di
Denpasar. Damuhnya yang melihat, tapi orang yang dilihatnya itu tidak melihat dia.
Padahal sudah dipanggil-panggil,” katanya. “Sekarang memang sudah hampir tidak
pernah lagi terjadi hal demikian. Warga disini meyakini saat itu Ida Bhatara sedang
lelunga, warga disini menyebutnya melancaran,” tambahnya.

24

Pura Paluang yang memiliki arti ‘berpeluang dalam segala hal’ hingga saat ini
sudah pernah direnovasi. Layaknya seperti mobil sungguhan yang dimodif, bentuk
pelinggih mobil Volkswagen Beetle pun sudah direnovasi seperti bentuk mobil
Volkswagen Beetle dengan tipe yang berbeda. Kedua pelinggih mobil di Pura
Paluang masing-masing terdapat nomer polisi (plat nomer). Plat nomer tersebut
menunjukkan waktu renovasi Pura.
“Yang di mobil Jimny plat DK 28703 itu maksudnya DK itu singkatan Dusun
Karang Dawa, kalau nomernya 28703 itu maksudnya tanggal selesai renovasi 28 Juli
2003. Sedangkan yang di VW Kodok, plat nomernya KD 013 itu maksudnya Karang
Dawa 2013.
Selain ramainya kunjungan para pemedek dari berbagai daerah di Bali. Pura
Paluang juga sering dikunjungi wisatawan mancanegara. “Turis asal Spanyol, Inggris,
Prancis, Australia, yang pernah datang kesini, ada juga yang rombongan,” kata Suar.
Para wisatawan mancanegara yang datang ke Pura Paluang, merasa takjub serta
keheranan dengan adanya pelinggih mobil yang diperkirakan sudah ada sejak zaman
sebelum mobil jenis Volkswagen Beetle dan Jimny diproduksi. “Bagi mereka itu
menarik, karena hanya di Nusa Penida satu-satunya Pura dengan pelinggih mobil di
dunia ini.
2.3 Teori
2.3.1 Teori Semiotika
Sebagai ilmu, semiotika berfungsi untuk mengungkapkan secara ilmiah
keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun non-verbal.
Sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap keberadaan tanda-tanda,
khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari- hari berfungsi untuk meningkatkan
kualitas kehidupan melalui efektifitas dan efisiensi energi yang harus dikeluarkan.
Menjahami sistem tanda, bagaimana cara kerjanya, berarti menikmati sesuatu
kehidupan yang lebih baik. Konflik, salah faham, dan berbagai perbedaan pendapat
diakibatkan oleh adanya perbedaan penafsiran terhadap tanda-tanda (simbol)

25

kehidupan. Dalam banyak tulisan teori semiotika ini kerap juga disebut dengan teori
makna (Ratna, 2004 : 10S).
Teori makna ini dekat sekali dengan apa yang disebut dengan Hermeneutika
(.Herneneutics), suatu teknik atau seni menafsirkan teks, untuk memahami makna
yang tersembunyi di baliknya (Piliang, 2003 : 17). Teori makna ini juga dekat sekali
dengan apa yang disebut semiotika (Semiotics), yaitu ilmu tentang “tanda dan kodekodenya” serta penggunaannya dalam masyarakat (Piliang, 2003 : 21). Menurut
Louise (2007 : 53) makna merupakan sebuah gagasan yang kompleks.
Kompleksitasnya tercermin dalam sejumlah disiplin akademik yang bermuara pada
kajian tentang gagasan ini.
Jadi dari uraian di atas maka, teori semiotika atau semiotik dipergunakan dalam
penelitian ini adalah untuk Mengkaji makna yang ada di pelinggih berbentuk mobil
yang ada di Pura Paluang di Banjar Karang Dawa, Desa Pakraman Dwi Kukuh
Lestari, Kec. Nusa Penida
2.3.2 Teori Fungsional
Fungsionalisme Struktural membahas tentang keterkaitan antara fungsi-struktur atau
institusi-institusi dalam masyarakat sehingga terbentuk suatu sistem yang bulat.
Dalam

tafsir

para

fungsionalis,

fungsionalisme

adalah

metodologi

untuk

mengeksplorasi saling ketertergantungan (Kaplan dan Manners, 2002 : 77). Teori
struktural ini menekankan kepada keteraturan (order) dan pengabaian konflik dan
perubahan-perubahan dalam masyarakat agama. Menurut masyarakat agama
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang satu sama lain
saling berhubungan, menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi dalam
satu bagian akan membawa perubahan bagian yang lainnya. Dasar pikirannya, setiap
struktur dalam sistem sosial fungsionalisme terhadap yang lain (Triguna, 1997 : 18).
Menurut teori fungsionalis ini masyarakat adalah “suatu sistem sosial yang terdiri
atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
kesimbangan. Perubahan yang terjadi satu bagian akan membawa perubahan pula
terhadap bagian lain. Menurut George Ritzer, asumsi dasar teori fungsionalisme

26

struktural adalah “setiap struktur dalam sistem sosial, juga berlaku fungsional
terhadap yang lainnya. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan
ada atau hilang dengan sendirinnya. Teori ini cenderung melihat sumbangan satu
sistem atau peristiwa terhadap sistem lain. Karena itu mengabaikan kemungkinan
bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dalam beroperasi menentang fungsi- fungsi
lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan
bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi masyarakat. Jadi
dari uraian di atas maka, Teori Fungsional dipergunakan dalam