TESTING PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA sepak

TESTING PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA

Kurniati Rahayuni
Universitas Negeri Malang

Abstrak: Psychological ASSESMENT IN SPORT actually is AN INTEGRAL PART IN SPORT
PSYCHOLOGY. Psychological assessments served as a consideration to selection and/or screening
decisions and program development and/or counselling. The need of psychological assessment cover
areas of : 1)general psychological testings that applied in sport field; 2) sport-specific psychological test;
and 3) sport-specific psychological test within one particular sport. In Indonesia, research to develop
and adopt sport specific psychological test is still need to conduct, with collaboration between
psychologist and sport psychology expertise.
Keywords : psychological assesment, testing, sport-specific psychological test, adaptation.

Sebagaimana sebuah ilmu, ilmu psikologi dan ilmu olahraga menuntut adanya suatu
obyektifitas. Salah satu usaha obyektifitas yang dilakukan adalah melalui pengukuran. Dalam
kaitannya dengan mengukur aspek psikologi pada pelaku olahraga, tidak mudah melakukan
pengukurannya karena jiwa manusia bersifat abstrak, namun berbagai usaha telah dilakukan para ahli
psikologi untuk mengkuantifikasikan aspek-aspek psikologis manusia, yang pada masa kini lazim
disebut sebagai pengukuran psikologis (psychological assessments).
Tidak seperti atribut fisik, atribut psikologis tidak dapat diukur secara langsung. Atribut

psikologis merupakan konstruk. Konstruk adalah konsepsi hipotetis hasil imajinasi ilmiah ilmuwan
yang memiliki eksistensi yang nyata, dan bisa menimbulkan gejala yang dapat diukur (Chaplin,
1981:108). Dalam Psikologi, konstruk adalah konsep hipotetis hasil imajinasi ilmiah ilmuwan yang
berusaha menjelaskan tingkah laku manusia (Noer, 1987:1). Konstruk bisa berupa respon-respon
tertentu (misalnya respon agresifitas), kodisi atau situasi (misalnya stress), atau suatu konsep yang
telah terjelaskan (misalnya ego) (Cronbach, 1990:702).
Pengukuran psikologis memiliki banyak metode, yaitu melalui observasi, wawancara, dan
yang paling umum digunakan adalah testing psikologis. Tes psikologi pada dasarnya adalah alat ukur
yang objektif dan dibakukan atas sampel perilaku tertentu (Anastasi dan Urbina, 1997:4) . Ini sesuai
dengan definisi Cronbach yang mendefinisikan tes sebagai: “systematic procedure for observing
behavior and describing it with the aid of numerical scale or fixed categories” (1990:32). Tes adalah
prosedur sistematik untuk mengobservasi perilaku dan mendeskripsikannya dengan bantuan skala
numerikal dan kategorikal dan definisi Anastasi dan Urbina (1997:4) “a psychological test is
essentially an objective of standardized measure of a sample of behavior”. Sebuah tes psikologis pada
dasarnya adalah alat ukur yang objektif dan dibakukan atas sampel perilaku tertentu. Sedangkan
menurut Noer (1987:2) tes dapat didefinisikan sebagai prosedur baku untuk mendapatkan sampel
tingkah laku dari domain tertentu.
Testing psikologis pada hakekatnya adalah alat ukur terhadap suatu konstruk, dan masingmasing konstruk memiliki testing sendiri-sendiri. Dengan kata lain, testing psikologis bersifat sangat

spesifik dan memiliki ruang lingkup yang terbatas untuk mengukur satu konstruk tertentu. Contohnya,

pengukuran minat hanya dapat dilakukan dengan tes minat, pengukuran kepribadian hanya bisa
dilakukan menggunakan piranti asesmen kepribadian. Testing psikologis memiliki banyak ragam
jenis, terbukti dari banyaknya testing psikologis yang dicantumkan dan direview dalam buku Mental
Measurement Year Book yang diterbitkan APA (American Psychological Acossiation) setiap tahunnya.
Namun sebelumnya, untuk menggolongkan jenis-jenis testing psikologis, sebelumnya harus dipahami
dahulu jenis-jenis atribut psikologis yang diukur oleh testing tersebut.
Suryabrata (2000:13-14) menggolongkan berbagai atribut psikologis menjadi empat
kelompok, yaitu: 1) kepribadian; 2) intelegensi; 3) potensi intelektual; 4) hasil belajar. Berdasarkan
golongan ini, maka berbagai tes psikologis yang ada dan yang bakal dikembangkan itu dapat
digolongkan menjadi empat, yaitu: 1) Tes kepribadian 2) Tes intelejensi; 3) Tes potensi intelektual; dan
4) Tes hasil belajar.
Tes psikologis, selain dibedakan berdasarkan atribut psikis yang diukurnya, juga memiliki
beberapa macam nama dan bentuk yang berbeda-beda, meskipun semuanya tidak terlepas dari lingkup
definisi “tes” yang telah disebutkan sebelumnya. Setidaknya terdapat tiga istilah dalam lingkup tes-tes
kepribadian yaitu: 1) Kuisioner atau inventori; 2) Skala; dan 3) Teknik proyektif.
Kuisioner atau juga disebut inventori digunakan untuk mengumpulkan data deskripsi-diri. Ada
inventori tentang kebiasaan, minat, sikap sosial, dan lain-lain. Inventori biografi dapat mengumpulkan
data diri seseorang mulai dari catatan saat masa dalam kandungan (prenatal) sampai perasaanperasaan dan pengalaman masa lalu hingga masa kini (Cronbach, 1990:43).
Skala yaitu sekumpulan item-item yang memiliki serangkaian lambang/simbol atau angka
yang disusun dengan cara tertentu sehingga simbol atau angka itu dengan aturan tertentu dapat

diberikan kepada individu (atau pada perilaku individu) untuk mengkuantifikasikan suatu gejala yang
diukur oleh skala itu (Kerlinger, 1990:788, Chaplin, 1981:444). Pada umumnya skala digunakan untuk
mengukur sikap manusia, tapi juga memungkinkan untuk mengukur kepribadian, sikap, minat,
persepsi atau atribut psikologis lainnya.
Teknik proyektif adalah metode yang menanyakan suatu interpretasi dari stimulus yang
ambigous seperti misalnya bercak tinta. Interpretasi subyek dianggap mencerminkan aspek-aspek
kepribadian seperti pikiran, perhatian dan motif-motifnya (Cronbach, 1990:705, Anastasi dan Urbina,
1997:411). Teknik ini banyak digunakan dalam bidang psikologi klinis, namun jarang digunakan
dalam penelitian olahtaga karena cara penilaian dan interprestasinya membutuhkan keterampilan yang
rumit. Selain itu, ada keraguan terhadap validitas dan reliabilitasnya karena tes semacam ini rentan
terhadap bias.
Testing psikologis dalam berbagai bentuk dan bermacam-macam tujuan banyak digunakan
dalam bidang pendidikan, industri dan bisnis, klinis, serta dalam penelitian-penelitian psikologi.
Olahraga juga termasuk salah satu bidang yang mengambil manfaat adanya tes psikologi. Di amerika
serikat, testing psikologis adalah bagian integral dari penelitian dan pembinaan olahraga. Testing
psikologis dilakukan oleh psikolog atau psikolog olahraga dan biasanya dilakukan untuk dua tujuan,
yaitu : untuk seleksi dan/atau dasar pengambian keputusan dan 2) sebagai bagian dari pengembangan
program latihan (LeUnes, 2002: 259 dan Nideffer, 1981 dalam LeUnes, 2002: 236).
Sejarah pengembangan tes psikologi sendiri juga sebenarnya berkaitan dengan human
performance manusia dalam menghadapi situasi terpapar stress secara fisik dan psikologis. Prototipe

inventori kepribadian yang pertama yaitu Woodworth Personal Data Sheet (PDS) yang diperkenalkan

tahun 1917. PDS adalah tes tertulis yang mengukur simtom neurotik prajurit U.S. Army. Di awal
Perang Dunia I, Woodworth membuat daftar pertanyaan mengenai simtom-simtom neurotik yang
biasanya ditanyakan psikiater dalam wawancara psikiatris—dan mengubahnya menjadi sebuah
instrumen yang dapat diskor. Setiap jawaban memiliki skor tertentu. Prajurit yang diketahui memiliki
banyak simton neurotik kemudian dipisahkan untuk pemeriksaan lebih jauh. Skor tersebut lebih cepat
dan lebih hemat dalam mendeteksi sejumlah prajurit yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan
tekanan-tekanan dalam pertempuran (Cronbach, 1990:529, Anastasi & Urbina, 1997: 44, Butcher &
Nezami, 1994:414).
Dengan adanya tes psikologi, psikolog olahraga berusaha untuk mengkuantifikasikan atribut
psikologis menjadi teramati (observable) dan terukur (measureable) sehingga para atlit, pelatih,
manajer, dan ilmuwan-ilmuwan olahraga memiliki gambaran yang jelas mengenai atribut psikologis
yang ingin diukur. Manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan tes psikologis dalam olahraga antara
lain sebagai berikut: 1) Memberikan gambaran lengkap mengenai aspek psikologi seorang atlit atau
pelatih; 2) menjadi pedoman untuk menentukan intervensi psikologi yang sesuai bagi atlit tersebut; 4)
mendeteksi lebih awal keunggulan dan kelemahan seorang atlit dari aspek psikologinya, sehingga
dapat direncanakan secara efektif bagaiumana mengatasi hal tersebut 4) sebagai bagian dari proses
seleksi dan evaluasi untuk meramalkan performa olahraga secara keseluruhan; dan 5) sebagai
pertimbangan dalam memuat program latihan yang sesuai dengan kapasitas psikis atlet.

Tes-tes Psikologis Dalam Olahraga
Dalam bidang olahraga, tes psikologis dapat dikelompokkan ke dalam dua domain besar,
yaitu: 1) tes yang mengukur konstruk yang general digunakan dalam asesmen psikologis; 2) tes yang
mengukur konstruk psikologis khas pada olahraga; dan 3) tsting yang mengukur konstruk psikologis
yang spesifik pada satu cabang olahraga saja.
Pertama, tes yang mengukur konstruk yang general dalam asesmen psikologis. Tes-tes yang
digunakan adalah tes-tes yang sudah testandar dan baku, yang digunakan secara umum oleh khalayak
luas. Contohnya adalah tes kepribadian, tes minat, tes inmtelegensi, tes ketahanan kerja, dan
sebagainya. Khususnya penggunaan tes-tes kepribadian banyak dilakukan oleh psikolog olahraga di
luar negeri, yang bahkan menjadi salahsatu pertimbangan dalama seleksi atlet. Inventori-inventori
keperibadian yang sering dipakai antara lain 16 Personality Factor questionnaire, Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMPI), BigFive Inventory, eynsenck personality questionnaire
(EPQ), dan lain sebagaimnya (LeUnes, 2002-236). Selain itu beberapa inventori lain yang umum
digunakan untuk mengukur kondisi mental (state) seseorang ketika tampil berolahraga antara lain
Profile of Mood States (POMS) yang mengukur kondisi mood seseorang; State-Trait Anxienty
Inventory (STAI) yang mengukur kecemasan; Test of Atentional and Interpersonal Style (TAIS) yang
menngidentifikasi tipe atensi seseorang sehingga dapat disesuaikan dengan tipe atensi untuk cabang
olahraga tertentu; Task and Ego Orientation Questionnaire (TEOSQ) yang mengukur kemampuan
mental mengarahkan diri pada tujuan; dan lain-lain.
Tujuan digunakannya testing-testing semacam ini agar pelatih dan psikolog olahraga memiliki

gambaran lengkap mengenai profil kepribadian atlit sehingga mereka dapat menentukan metode
mental training dan metode melatih yang tepat bagi atlit tersebut. Ini berkaitan dengan prinsip
individual dalam latihan (Harsono, 1996), dimana suatu latihan haruslah menyesuaikan kapasitas fisik
setiap atlit. Demikian pula dalam hal perbedaan psikologis atlit seperti kepribadian, dengan adanya
gambaran lengkap dari hasil tes kepribadian, maka pelatih dalam memberikan motivasi atau rewardpunisment yang lebih efektif atau mengena terhadap atlit. Namun demikian, tes-tes ini sebenarnya
adalah tes psikologis yang bersifat general yang sampel standardisasinya adalah orang biasa dan bukan

atlit; sehingga interperestasinya pada subjek atlit haruslah memperhatikan konteks situasional olahraga
yang kondisinya selalu berubah-ubah (leUnes, 2002:251). Bapi para psikolog olahraga, analisa
interprestasi ini dianggap kurang efisien, terlalu umum dan tidak praktis sehingga pada dua dasawarsa
terakhir, para ahli psikologi olahraga mulai mengembangkan tes-tes psikologi dari dan untuk kalangan
olahragawan, yang juga disebut sport-specific test (leUnes, 2002; 251).
Kedua adalah tes yang mengukur konstruk yang ditujukan spesifik pada olahraga saja, atau
sport specific test. Tes ini hanya digunakan dalam setting olahraga saja; sampel standardisasinya
dikembangkan dari sampel atlit atau orang-orang yang terlibat olahraga, sehingga interprestasinya
lebih memudahkan. Mereka yang terlibat secara langsung dalam olahraga menemukan bahwa tes yang
dikembangkan secara sepesifik untuk mengukur kostruk dalam konteks olahraga jauh lebih praktis dan
membantu dariapa tes-tes psikologi yang umum digunakan (Smith et al, 1995 dalam Gill, 2000: 55),
karena lebih focus mengukur karakteristik yang dibutuhkan oleh pelaku olahraga. Testing psikologis
pertama kali dikembangkan adalah Athletic Motivation Inventory (AMI) oleh Ogilvie, lyon dan Tutko

(1969 dalam leUnes, 2002:251) untuk mengukur sikap, perilaku dan keterlibatan seseorang dalam
olahraga.
Kemudian juga berkembang tes-tes psikologis yang mengukur karakteristik-karakteristik
unggul yang diperlukan untuk berperforma maksimal dalam olahraga, antara lain Athletic Coping
Skills Inventory (ACSI) yang dikembangkan oleh Smith (1995) dan Psychological Skills Inventory for
Sports (PSIS) yang dikembangkan oleh Mahoney (1982). ACSI dan PSIS mengukur konstruk-konstruk
psikologis yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai performa olahraga yang unggul. Dalam ACSI,
aspek yang diukur adalah konsentrasi, anxiety control, kepercayaan diri, kesiapan mental, motivasi,
dan team emphasis (Mahoney, 1987 dalam Gill, 2000:52). Sedangkan ACSI mengukur dimensi
coping with adversity (mengatasi hambatan), peaking under pressure (beraksi di bawah tekanan), goal
– setting (penetapan tujuan), concentration (konsentrasi), freedom from worry (bebas dari
kekhawatiran), confidence and achievement motivation (kepercayaan diri dan motivasi berprestasi),
dan coachability (kesediaan dilatih). Tes lain yaitu Test Of Performance Strategies (TOPS) Dari
Thomas, Murphy Dan Hardy (1999) yang merupakan pengembangan mutakhir dari PSIS dan ACSI.
Setelah itu kemudian berkembang tes-tes yang mengukur kondisi mental pada situasi-situasi
khusus dalam olahraga, antara lain contohnya untuk mengukur kecemasan dalam berkompetisi yaitu
Sport Competition Anxiety Test (SCAT) dari Martens (1997 dalam Le Unes, 2002:256); Maslach
Burnout Inventory (MBI) yang mengukur kelelahan psikis bagi atlit dan pelatih; Sport Cohesiveness
Iventory (SCQ) untuk mengukur kekompakan tim; Sports Inventory For Pain (SIP) yang mengukur
persepsi terhadap rasa sakit dalam olahraga; Exercise Beliefs Questionnaire (EBQ) yang mengukur

ekspektasi seseorang dalam berlatih; Bedermeier Athletic Agression Inventory (BAAGI) yang
mengukur agresivitas dalam olahraga; dan banyak lagi contoh lainnya.
Yang ketiga, tes psikologis dalam olahraga semacam ini ada juga yang bersifat sport-specific
context, yang mana tes psikologis tersebut hanya secara khusus mengukur suatu konstruk psikologis
yang spesifik pada satu cabang olahraga. Contohnya adalah Motivations of Marathoners Scales
(MOMS) yang mengukur motivasi pelari marathon; Tennis-Attentional and Interpersonal Style Style
(T-TAIS) untuk mengetahui tipe atensi yang spesifik dalam cabang olahraga tenis; B-TAIS untuk
mengukur tipe atensi untuk olahraga baseball; dan mAsih banyak contoh-contoh lainnya.
Tes-tes psikologis dalam setting Olahraga di Indonesia.
Di negara-negara Asia, ilmu mengenai pengukuran psikologi adalah murni sebuah ilmu yang
berasal dari luar (imported discipline) yang mengikuti tradisi dan paradigma Barat dalam ilmu

psikologi. Karena itu kebanyakan tes psikologis yang digunakan di Asia adalah tes yang sudah
diterjemahkan dari bahasa Inggris. Contohnya, Minnesota Multiphasic Personality Inventory-2
(MMPI-2) memiliki versi Asia dalam bahasa Cina, Jepang, Korea, Thailand, Vietnam dan India;
Eynsenck Personal Questionnaire (EPQ) memiliki versi dalam bahasa Cina, Jepang, Korea dan
Thailand; State-Trait Anxiety Inventory memiliki versi dalam bahasa Cina, Jepang, Korea, India,
Bengali, Kannada dan Tamil (Cheung & Cheung, 2002, dalam www.ac.wwu.edu/culture/Cheung.htm). Sama halnya di Indonesia, hampir semua tes psikologis. yang ada merupakan
hasil adaptasi dari tes yang sebelumnya telah dikembangkan di luar negeri.
Tindakan menerjemahkan dan mengadaptasi tes-tes adalah tindakan yang lazim dilakukan.

Mengadaptasi tes prestasi, kemampuan atau kuisioner kepribadian yang ditulis dalam suatu bahasa ke
dalam bahasa dan budaya lain telah memiliki sejarah yang panjang dalam bidang pendidikan dan
psikologi; hal ini cukup umum diketahui di antara para peneliti pendidikan dan ahli-ahli psikometri
(Hambleton & Patsula, 1999:1). Namun demikian, terdapat berbagai hal yang harus dipertimbangkan
terlebih dahulu sebelum menggunakan tes kepribadian yang telah diadaptasi. Hambleton (2001),
Tanzer dan Sim (1999), van de Vivjer dan Hambleton (1996) dan Sireci (2001) menyebutkan beberapa
hal yang harus dipertimbangkan ketika menggunakan tes psikologis hasil adaptasi, yaitu: 1)
Memastikan ketercukupan dan kepantasan hasil terjemahan dan adaptasi tes tersebut bagi budaya
lokal; 2) memastikan kesepadanan (equivalence) tes hasil terjemahan dengan tes aslinya; 3) validitas
dan reliabilitas instrumen hasil adaptasi melalui penelitian lokal; 4) standardisasi instrumen yang
sudah diadaptasi dalam budaya lokal; 5) implikasi dalam menggunakan norma lokal atau norma
aslinya; 6) mempertimbangkan perbedaan budaya dalam menginterpretasi skor; 7) Standar etik budaya
lokal dan isu-isu hak cipta dalam menerbitkan dan menggunakan tes; 8) Perbedaan konstruk-konstruk
yang diukur karena perbedaan budaya (dalam Cheung & Cheung, 2002, www.ac.wwu.edu/culture/Cheung.htm).
Sebagaimana tes-tes lainnya, tes Psikologis dalam olahraga juga harus memenuhi kondisikondisi tes yang ideal agar bisa memenuhi syarat sebagai sebuah alat ukur yang objektif. Kondisi yang
ideal itu yaitu tes harus1) terstandar, 2) memiliki reliabilitas 3) memiliki validitas yang cukup, dan 3)
memiliki norma (Anastasi & Urbina, 1997:6, 84; Azwar, 2001:4; Cronbach, 1991:33; Suryabrata,
2000:29).
Syarat yang pertama adalah tes harus terstandar. Dalam definisi awal, tes psikologis
digambarkan sebagai alat ukur yang dibakukan, (standardized measure), sehingga implikasi

standardisasi adalah keseragaman cara dalam penyelenggaraan dan penskoran tes. (Anastasi & Urbina,
1997:6). Sedangkan menurut Cronbach (1991:33), suatu tes dikatakan terstandardisasi (standardized)
bila kata-kata dan tindakan tester, piranti yang digunakan dalam tes, dan aturan-aturan skoring telah
ditetapkan secara pasti, sehingga skor yang terkumpul pada waktu dan tempat yang berbeda dapat
cukup komparabel. Dengan kata lain, standardisasi menyangkut keseragaman prosedur. Dalam rangka
menjamin keseragaman prosedur, penyusun tes harus menyediakan petunjuk-petunjuk yang rinci bagi
penyelenggaraan setiap tes yang baru dikembangkan. Petunjuk itu meliputi jumlah materi yang
digunakan, batas waktu, instruksi-instruksi lisan, demonstrasi awal, cara-cara menjawab pertanyaan
dari peserta tes, cara melakukan scoring, dan setiap rincian lain dari situasi testing (Cronbach,
1991:33).
Kedua, memiliki reliabilitas. Reliabilitas adalah “sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya” (Azwar, 2001:4). Hasil pengukuran baru dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapakali
pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama
aspek yang diukur dalam diri subjek memang belum berubah. Reliabilitas merujuk pada konsistensi

skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka diuji ulang dengan tes yang sama pada
kesempatan yang berbeda, atau diuji dengan item-item yang ekuivalen, atau di bawah kondisi
pengujian yang berbeda (Anastasi & Urbina, 1997:84; Azwar, 2001:4). Secara empiris, tinggirendahnya reliabilitas ditunjukkan dengan suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Koefisien
Reliabilitas adalah koefisien korelasi (r) yang meyatakan derajat kesesuaian atau hubungan antara dua
perangkat skor (Anastasi & Urbina, 1997:85). Semakin tinggi koefisien korelasi termaksud berarti

konsistensi antara hasil pengenaan dua tes tersebut semakin baik dan hasil ukur kedua tes itu dikatakan
semakin reliabel. Koefisien reliabilitas selalu mengacu pada angka positif (+) dikarenakan angka yang
negatif tidak ada artinya bagi interpretasi reliabilitas hasil ukur (Azwar, 2000:8). Menurut prosedur
yang dilakukan dan sifat koefisien yang dihasilkannya, terdapat tiga macam pendekatan reliabilitas
yaitu: 1) pendekatan tes ulang (test-retest); 2) Pendekatan bentuk paralel (parallel-forms) dan 3)
pendekatan konsistensi internal (Internal consistency).
Keempat, memenuhi validitas. Definisi umum dari validitas adalah “validity of test is the
extent to which the test measures what it is proposed to measure”, yaitu sejauh mana tes itu
mengukur apa dimaksudkan untuk diukur. Atau dengan kata lain, validitas adalah keterandalan,
kecermatan, atau ketepatan tes tersebut dalam menjalankan fungsi ukurnya. (Anastasi & Urbina,
1997:113; Azwar, 2001:5-6; Suryabrata, 2000:41). Validitas dapat dilihat dari tiga arah, yaitu 1) dari
arah isi yang diukur; 2) dari arah atribut (konstruk) yang diukur, dan 3) dari arah kriteria alat ukur lain
yang relevan. Dari tiga arah itu maka validitas dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: 1) validitas isi
(content validity); 2) validitas konstrak (construct validity); dan 3) validitas berdasar kriteria
(criterion-related validity). (Anastasi dan Urbina, 1997:114-126; Cronbach, 1991:152-159; Suryabrata,
2000:41). Validitas isi atau content validity merupakan validitas yang diestimasi lewat analisis
rasional atau profesional judgement, dimana para ahli yang kompeten menelaah sejauh mana soal-soal
tes telah mengukur atribut yang diukurnya. Ada dua macam validitas isi yaitu validitas muka ( face
validity) dan validitas logik (logical validity). Validitas muka didasarkan pada penilaian terhadap
format penampilan tes. Sedangkan validitas logik—disebut juga validitas sampling (sampling validity),
menunjuk pada sejauh mana item-item tes merepresentasikan ciri-ciri atribut yang hendak diukur
(Azwar, 2001:17,47; Anastasi dan Urbina, 1997:115; Cronbach,1991: 157; Suryabrata,
2000:41).Validitas konstruk (construct validity) merupakan validitas yang menunjukkan sejauhmana
tes mengungkap suatu trait, atribut atau konstruk teoretik yang hendak diukurnya (Allen & Yen, 1979
dalam Azwar, 2001:48; Cronbach 1991:159). Pengujian validitas konstrak merupakan proses yang
terus berlanjut (fluid) sejalan dengan perkembangan konsep mengenai trait yang diukur. Walaupun
pengujian validitas konstrak biasanya memerlukan sejumlah prosedur yang rumit dan teknik analisis
statistika yang lebih kompleks (Suryabrata, 2000:45-46; Azwar, 2001:52-53).
Keempat, memiliki Norma. Performansi subjek pada suatu skala pengukuran atau tes
psikologis dinyatakan dalam bentuk angka yang disebut skor (score). Skor adalah harga suatu jawaban
terhadap pertanyaan dalam tes. Skor ini merupakan skor perolehan (obtained score atau observed
scores) yang sering disebut skor tampak atau skor mentah (raw score) (Azwar, 2001:15). Skor mentah
pada tes psikologis tidak memiliki arti bila tidak ada data interpretasinya. Skor-skor pada tes
psikologis paling umum diinterpretasikan dengan acuan pada norma-norma yang menggambarkan
kinerja tes dari sampel terstandardisasi. Dengan mengacu pada sampel standardisasi, skor mentah
diubah menjadi ukuran relatif. Skor mentah individu diacu pada distribusi skor yang diperoleh lewat
sampel standardisasi, untuk menemukan dimana tempatnya dalam distribusi itu. (Anastasi & Urbina,
1997:48). Dalam proses menstandardisasikan sebuah tes, tes diselenggarakan pada sampel yang luas
dan representatif dari jenis orang yang memang menjadi sasaran perancangan tes tersebut. Kelompok
ini dikenal sebagai sampel standardisasi (Standardized sample), berfungsi untuk menetapkan normanorma. Norma-norma itu mengindikasikan tidak hanya kinerja rata-rata tetapi juga frekuensi relatif

dari derajat penyimpangan yang bervariasi di atas dan di bawah rata-rata, jadi dimungkinkan untuk
mengevaluasi adanya superioritas dan inferioritas (Anastasi & Urbina, 1996:6).
Mengadaptasi tes-tes psikologis dalam olahraga
Tindakan menerjemahkan dan mengadaptasi tes-tes adalah tindakan yang lazim dilakukan.
Mengadaptasi tes prestasi, tes kemampuan atau kuisioner kepribadian ke dalam bahasa/budaya lain
telah memiliki sejarah yang panjang dalam bidang pendidikan dan psikologi; hal ini cukup umum
diketahui diantara para peneliti pendidikan dan ahli-ahli psikometri (Hambleton & Patsula, 1999:1).
Menurut Hambleton dan Patsula (1998:153-171), tindakan mengadaptasi atau menterjemahkan tes ke
dalam bahasa/budaya lain, pada umumnya disebabkan oleh alasan-alasan berikut: 1) Seringkali
mengadaptasi atau menerjemahkan tes lebih murah dan mudah daripada membuat tes yang baru dalam
bahasa lokal; 2) Bila tujuan pengetesan adalah mengukur aspek psikologis masyarakat lintas budaya
atau lintas negara, mengadaptasi tes adalah cara paling efektif untuk membuat tes dalam bahasa lokal;
3) Sedikitnya ahli-ahli dalam negara tersebut yang mampu membuat tes; 4) Terdapat rasa aman untuk
digunakan pada tes yang sudah teradaptasi daripada tes yang baru dibuat, terutama bila tes yang
diadaptasi adalah tes yang sudah terkenal; 5) Biasanya tetap muncul kesamaan atau kepercayaan yang
terhadap hasil pengukuran, meskipun tes itu berbeda bahasanya.
Tes hasil adaptasi belum tentu sepadan dengan tes aslinya. Telah ditekankan sejak lama bahwa
suatu tes yang diterjemahkan ke banyak bahasa bukan berarti tes tersebut sepadan/ekuivalen dengan
versi-versi alternatif dalam bahasa-bahasa itu (e.g. Geisinger, 1994; Hambleton, 1994; Reckase &
Kunce, 1999; Sireci, 1997; van de Vijver & Hambleton, 1996; van de Vijver & Portinga, 1997 dalam
Sireci, 1999:1). Suatu tes yang hanya semata-mata diterjemahkan saja akan menghasilkan tes yang
kualitas psikometriknya diragukan (Sireci 1999:1). Karena itu perlu dikembangkan langkah-langkah
strategis dalam proses mengadaptasi tes untuk menghasilkan tes dalam versi bahasa lain yang
memiliki kualitas psikometrik.
Dalam artikel Guidelines for Adapting Certication Tests for Use Across Multiple Languages,
Sireci (1999:1) mengemukakan langkah-langkah sederhana dalam adaptasi tes yang merupakan
kombinasi panduan adaptasi tes oleh ITC (International Test Comission), Geisinger (1999), Hambleton
dan Patsula (1999). Langkah-langkah adaptasi menurut Sireci yaitu: 1) Mengetahui budaya dan bahasa
dimana tes tersebut akan diadaptasikan. Tes lintas-bahasa juga melibatkan testing lintas-budaya.
Gambaran atau figur yang familiar pada suatu budaya yang terdapat didalam tes belum tentu juga
familiar dalam budaya lain. 2) Memilih penterjemah secara hati-hati dengan mempertimbangkan
beberapa faktor: a) fasih dan menguasai kedua bahasa, baik bahasa dimana tes tersebut berasal
maupun bahasa dimana tes tersebut akan diadaptasikan; b) memahami kedua budaya; c) mengetahui
isi subjek yang akan diteskan; d) memiliki keahlian menulis aitem-aitem soal. 3) Melibatkan sebanyak
mungkin orang dalam proses adaptasi. Semakin banyak orang yang terlibat proses adaptasi akan
semakin baik. 4) Memeriksa tes yang telah diadaptasi (pilot test). 5) Membuat analisis statistikal
mengenai kualitas tes dan membandingkannya.6) Mendokumentasikan proses adaptasi.
Berkaitan dengan proses penerjemahan, terdapat dua macam metode dasar dalam proses
penerjemahan tes, yaitu: 1) forward-translation atau penerjemahan satu arah. Dalam forward
translation, tes dalam bahasa aslinya diterjemahkan ke bahasa target, kemudian ahli bahasa melakukan
perbandingan antara tes hasil adaptasi dengan tes aslinya (Hambleton, 1993, 1994, dalam Chang,
http//aac.ncat.edu/newsnotes; dalam Magalhaes et al, 1999:1). 2) backward-translation atau
penerjemahan bolak-balik. Dalam backward translation, tes diterjemahkan ke bahasa target kemudian
diterjemahkan lagi ke dalam bahasa aslinya. Proses ini dapat dilakukan berulang kali. Setelah proses

terjemahan selesai, tes versi terjemahan final dibandingkan dengan tes dalam versi aslinya
(Hambleton, 1994 dalam Chang, http//aac.ncat.edu/newsnotes; dalam Magalhaes et al, 1999:1).
Tes hasil adaptasi juga harus diuji validitas dan reliabilitasnya. Tes hasil adaptasi sama seperti
sebuah instrumen yang baru dikembangkan (dalam Cheung & Cheung, 2002, www.ac.wwu.edu/culture/Cheung.htm). Selain itu perlu diadakan tes lapangan (field test) terhadap populasi lokal untuk
membuat norma-norma lokal yang sesuai dengan karakteristik wilayah dimana tes telah diadaptasikan.

Kesimpulan
Penggunaan testing psikologis dalam olahraga tampaknya belum banyak dilakukan di
indonesia, dan kalaupun dilakukan hanya terbatas untuk kepentngan penelitian. Hal ini antara lain
karena; 1) mahalnya biaya melakukan testing psikologis dan tidak tersedianya sumber daya yang
memadai untuk melakukan prosedur tersebut. Selain itu, kebijakan kode etik psikologi dari HIMPSI
(Himpunan Psikologi Indonesia) menyatakan untuk melakukan testing psikologis sangat terbatas pada
psikolog yang memiliki ijin praktek saja, sehingga testing psikologis sangat jarang dilakukan di
kalngan olahraga. Testing psikologis mash menjadi ranah ilmu psikologi saja; sementara psikologi
olahraga lebih banyak terfokus pada intervensi-intervensi untuk memaksimalkan performa atlit, tetapi
sayangnya dengan mengabaikan profil psikologis masing-masing atlet.
Di masa depan, perlu adanya kolaborasi antara ilmuwan psikologi dan olahraga untuk
merancang atau mengadaptasi tes-tes psikologis yang bersifat sport-specific, sehingga dapat digunakan
untuk kalangan olahraga. Dengan adanya gambaran objektif dari alat ukur psikologis yang valid dan
reliabel, para pelatih dan atlet dapat memahami area-area psikis yang harus dibenahi secara lebih
efektif.

Referensi
Anastasi. Anna & Urbina, Susana. 1997. Psychological Testing, Seventh Edition. New Jersey: Simon
& Schuster.
Alwisol. 2004. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
Azwar, Syaifuddin. 2001. Reliabilitas dan Validitas (Cetakan kesepuluh). Yogyakarta: Penerbit Andi
Butcher & Nezami, 1994. Handbook of Psychological Assesments. New York: Mc. Graw-Hill Book
Inc.
Chaplin, J. P. 1981. Kamus Lengkap Psikologi. Diterjemahkan oleh Dari. Kartini Kartono. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Chang, Chaterine Y. 1999. Cross-Cultural Assesments: A Call for Test Adaptation. Acossiation for
Assesments in Counseling and Education (AACE). http://aac.ncat.edu/newsnotes/y99sum1.html.
Download 16 Maret 2005.

Cheung, Fanny M.& Cheung, Shu Fai. 2002. Measuring Personality and Values Across Cultures:
Imported versus Indigeneous Measures. http://www.ac.wwu.edu/-culture/Cheung.htm.
Download 26 Maret 2005.
Cronbach, Lee J. 1990. Essentials of Psychological Testing, Fifth Edition. New York: Harper Collins
Publishers
Gill, Diane. 2000. Sport psychology. New York; HarperCollins.
Guilford. 1954. Psychometric Methods (Second Edition). New York: Mc Graw-Hill Book Company.
Harsono, 1996. Coaching dan Aspek-Aspek Psikologis Dalam Coaching. Bandung.
Hall & Lindzey. 1978. Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons.
Hambleton, R. K. 1993. Translating achievement tests for use in cross-national studies. European
Journal of Psychological Assessment, 9, 57-68. dalam Chang, Chaterine Y. 1999. Cross-Cultural
Assesments: A Call for Test Adaptation. Acossiation for Assesments in Counseling and
Education (AACE) (Online) (http://aac.ncat.edu/newsnotes/y99sum1.html. diakses 16 Maret
2005)
Hambleton, R. K. 1994. Guidelines for adapting educational and psychological tests: A progress
report. European Journal of Psychological Assessment, 10, 229-244. dalam Chang, Chaterine Y.
1999. Cross-Cultural Assesments: A Call for Test Adaptation. Acossiation for Assesments in
Counseling and Education (AACE). (Online) (http://aac.ncat.edu/newsnotes/y99sum1.html.
Diakses 16 Maret 2005)
Hambleton, R. K. & Patsula, Liane. 1999. Increasing the Validity of Adapted Test: Myth to be Avoided
and Guidelines for Improving Test Adaptation Practices. Journal of Applied Testing Psychology,
August 1999. Acossiation of Test Publishers (ATP).(Online) (www.testpublishers.org/jbook.htm.
Diakses 14 Maret 2005)
Hornby, A.S. 1984. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford: Oxford
University Press.
Kerlinger, Fred N. 1986. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
LeUnes, Arnold & Nation, Jack R. 2002. Sport Psychology: an Introduction. California: Wadsworth.
Magalhaes, Magalhaes, Sellers & Lewis.1999. The Translation of The MCMI-III into BarazilianPortuguese: Preliminary Findings. Paper presented at the XXVII Inter American Congress of
Psychology, Caracas, Venezuela, July 1999 (diakses 26 Maret 2005).
Noer, Mohammad. 1987. Pengantar Teori Tes. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Kenderal Perguruan Tinggi.
Sireci, Stephen G. 1999. Winter. Guidelines for Adapting Certification Tests for Use Across Multiple
Languages. PES News volume XIX, Number 2.
http://www.proexam.org/PESNews1999/1999empiricalstudies.html. Download 14 Maret 2005.
Suryabrata, Sumadi. 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Penerbit Andi.