TEORI TEORI BELAJAR fix Copy

TEORI-TEORI BELAJAR

1. Teori Belajar Gagne
Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian
mengenai fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam penelitiannya ia
banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk mengujipenerapan teorinya
(Depdiknas, 2005:13).
Gagne dalam Dimyati (2002:10) menyatakan belajar merupakan kegiatan yang kompleks.
Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikian
belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulus lingkungan, melewati
pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru.
Menurut Hudojo (1990:13) teori merupakan prinsip umum yang didukung oleh data
dengan maksud untuk menjelaskan suatu fenomena. Sedangkan belajar merupakan suatu usaha
yang berupa kegiatan hingga terjadi perubahan tingkah laku yang relatif/ tetap. Dari pengertian
teori dan belajar tersebut, secara ringkas dapatlah dikatakan, teori belajar menyatakan hukumhukum/ prinsip-prinsip umum yang melukiskan yang melukiskan kondisi terjadinya belajar.
Dalam teorinya, Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatu tindakan belajar (Dahar,
1991:141-143). Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distruktur oleh
siswa.
Kedelapan fese yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.


Fase Motivasi
Siswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa belajar
akan memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi
akan memenuhi keingintahuan merekatentang suatu pokok bahasan, akan berguna bagi
mereka atau dapat menolong mereka untuk memperoleh angka yang lebih baik.

2.

Fase Pengenalan
Siswa harus memberi perhatian pada bagian-bagian yang esensial dari suatu kajian
instruksional, jika belajar akan terjadi. Misalnya, siswa memperhatikan aspek-aspek yang
relevan tentang apa yang dikatakan guru, atau tentang gagasan-gagasan utama dalam buku
teks.

3.

Fase Perolehan
Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk menerima
pelajaran. Informasi tidak langsung terserap dalam memori ketika disajikan, informasi itu di
ubah kedalam bentuk yang bermakna yang dihubungkan dengan materi yang telah ada

dalam
memori
siswa.

4.

Fase Retensi
Informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori
jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (rehearsal), praktek
(practice), elaborasi atau lain-lainnya.

5.

Fase Pemanggilan
Mungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasi dalam memori jangkapanjang. Jadi bagian penting dalam belajar adalah belajar memperoleh hubungan dengan
apa yang telah dipelajari, untuk memangil informasi yang telah dipelajari sebelumnya.

6.

Fase Generalisasi

Biasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapat diterapkan di luar konteks dimana
informasi itu dipelajari. Jadi, generalisasiatau transfer informasi pada situasi-situasi baru
merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat ditolong dengan memintapara siswa
untuk menggunakan informasi dalam keadaan baru.

7.

Fase Penampilan
Siswa harus memperhatikan bahwa mereka telah belajar sesuatu melalui penampilan yang
tampak.

8.

Fase Umpan Balik
Para siswa memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka yang menunjukkan apakah
mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan.

Berdasarkan analisisnya tentang kejadian-kejadian belajar, Gagne (Dahar, 1991:143-145)
menyarankan adanya kejadian-kejadian instruksi yang ditujukan pada guru dalam menyajikan
suatu pelajaran pada sekelompok siswa. Kejadian-kejadian instruksi itu adalah:

1.

Mengaktifkan Motivasi
Langkah pertama dalam pembelajaran adalah memotivasi para siswa untuk belajar. Kerap
kali ini dilakukan dengan membangkitkan perhatian mereka dalam isi pelajaran, dan
mengemukakan kegunaannya.

2.

Memberitahu Tujuan-tujuan Belajar
Kejadian instruksi kedua ini sangat erat kaitannya dengan kejadian instruksi pertama.
Sebagiandari mengaktifkan motivasi para siswa ialah dengan memberitahu mereka tentang
mengapa mereka belajar, apa yang mereka pelajari, dan apa yang akan mereka pelajari.
Memberi tahu tujuan belajar juga menolong memusatkan perhatian para siswa terhadap
aspek-aspek yang relevan tentang pelajaran.

3.

Mengarahkan Perhatian
Gagne mengemukakan dua bentuk perhatian. Bentuk perhatian pertama berfungsi untuk

membuat siswa siap menerima stimulus-stimulus. Bentuk kedua dari perhatian disebut
persepsi selektif. Dengan cara ini siswa memperoleh informasi yang mana yang akan
diteruskan ke memori jangka pendek, cara ini dapat ditolong dengan cara mengeraskan
suara pada suatu kata atau menggaris bawah suatu kata atau beberapa kata dalam satu

kalimat.
4.

Merangsang Ingatan
Menurut Gagne bagian yang paling kritis dalam proses belajar adalah pemberian kode
pada informasi yang berasal darimemori jangka pendek yang disimpan dalam memori
jangka panjang. Guru dapat berusaha untuk menolong siswa-siswa dalam mengingat atau
mengeluarkan pengetahuan yang disimpan dalam memori jangka panjang itu. Cara
menolong ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaanpada siswa, yang
merupakan
suatu
cara
pengulangan.

5.


Menyediakan Bimbingan Belajar
Untuk memperlancar masuknya infomasi ke memori jangka panjang, diperlukan
bimbingan langsung dalam pemberian kode pada informasi. Untuk mempelajari informasi
verbal, bimbingan itu dapat diberikan dengan cara mengkaitkan informasi baru itu dengan
pengalaman siswa.

6.

Meningkatkan Retensi
Retensi atau bertahannya materi yang di pelajari (jadi tidak terlupakan) dapat diusahakan
oleh guru dan siswa itu sendiri dengan cara sering mengulangi pelajaran itu. Cara lain
adalah dengan memberi banyak contoh, menggunakan tabel-tabel, menggunakan diagramdiagram dan gambar-gambar.

7.

Melancarkan Transfer Belajar
Tujuan transfer belajar adalah menerapkan apa yang telah dipelajari pada situasi baru.
Untuk dapat melaksanakan ini para siswa tentu diharapkan telah menguasai fakta-fakta,
konsep-konsep, dan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan.


8.

Mengeluarkan Penampilan dan Memberikan Umpan Balik
Hasil belajar perlu diperlihatkan melalui suatu cara, agar guru dan siswa itu sendiri
mengetahui apakah tujuan belajar telah tercapai. Untuk itu sebaiknya guru tidak menunggu
hingga seluruh pelajaran selesai. Sebaiknya guru memberikan kesempatan sedini mungkin
pada siswa untuk memperlihatkan hasil belajar mereka, agar dapat diberi umpan balik,
sehingga pelajaran selanjutnya berjalan dengan lancar. Cara-cara yang dilakukan adalah
pemberian tes atau mengamati prilaku siswa umpan balik bila bersifa positif menjadi
pertanda bagi siswa bahwa ia telah mencapai tujuan belajar.

2. TEORI BELAJAR MENGAJAR MENURUT JEROME S. BRUNER
A. Biografi J. S. Bruner
Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari
Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang
memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan
berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia,
bagaimana manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan.
Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta

informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan
manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang diberikan kepada dirinya.
B. Proses Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner
Pendirian yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah, bahwa setiap mata pelajaran
dapat diajarakan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara intelektual kepada setiap anak
dalam setiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya ini didasarkan sebagian besar atas
penelitian Jean Piaget tentang perkembangan intelektual anak. Berhubungan dengan hal itu,
antara lain:
1. Perkembangan intelektual anak
Menurut penelitian J. Piaget, perkembangan intelektual anak dapat dibagi menjadi tiga taraf.
1. Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak berkenaan
dengan anak sekolah. Pada taraf ini ia belum dapat mengadakan perbedaan yang tegas
antara perasaan dan motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena itu ia belum
dapat memahami dasar matematikan dan fisika yang fundamental, bahwa suatu jumlah
tidak berunah bila bentuknya berubah. Pada taraf ini kemungkinan untuk menyampaikan
konsep-konsep tertentu kepada anak sangat terbatas.
2. Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu “internalized”, artinya dalam
menghadapi suatu masalah ia tidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan
perbuatan yang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada taraf
operai kongkrit ini ia hanya dapat memecahkan masalah yang langsung dihadapinya

secara nyata. Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak dihadapinya secara nyata
atau kongkrit atau yang belum pernah dialami sebelumnya.
3. Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan
kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya
sebelumnya.

2. Tahap-tahap dalam proses belajar mengajar
Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap, yaitu:
1.

Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan
mengenai materi yang sedang dipelajari.

2.

Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah atau ditransformasikan
menjadi bentuk yang abstrakatau konseptual.


3.

Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah
ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau masalah yang
dihadapi.
3. Kurikulum spiral

J. S. Bruner dalam belajar matematika menekankan pendekatan dengan bentuk spiral.
Pendekatan spiral dalam belajar mengajar matematika adalah menanamkan konsep dan dimulai
dengan benda kongkrit secara intuitif, kemudian pada tahap-tahap yang lebih tinggi (sesuai
dengan kemampuan siswa) konsep ini diajarkan dalam bentuk yang abstrak dengan
menggunakan notasi yang lebih umum dipakai dalam matematika. Penggunaan konsep Bruner
dimulai dari cara intuitif keanalisis dari eksplorasi kepenguasaan. Misalnya, jika ingin
menunjukkan angka 3 (tiga) supaya menunjukkan sebuah himpunan dengan tiga anggotanya.
Contoh himpunan tiga buah mangga. Untuk menanamkan pengertian 3 diberikan 3
contoh himpunan mangga. Tiga mangga sama dengan 3 mangga.
B. Alat-Alat Mengajar
Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam 4 macam menurut fungsinya.
1. alat untuk menyampaikan pengalaman “vicarious”. Yaitu menyajikan bahan-bahan

kepada murid-murid yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman
langsung yang lazim di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suara dll.
2. Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala,
misalnya model molekul atau alat pernafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi,
juga program yang memberikan langkah-langkah untuk memahami suatu prinsip atau
struktur pokok.
3. Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film
tentang alam yang memperlihatkan perjuangan untuk hidup, untuk memberi pengertian
tentang suatu ide atau gejala.

4. Alat automatisasi seperti “teaching machine” atau pelajaran berprograma, yang
menyajikan suatu masalah dalam urutan yang teratur dan memberi ballikan atau feedback
tentang responds murid.
C. Aplikasi Teori Bruner Dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1.

Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan. Misal : untuk
contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh adalah
berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran.
2.
Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya berikan
pertanyaan kepada sibelajar seperti berikut ini ” apakah nama bentuk ubin yang sering
digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat digunakan?
3.
Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?
4.
Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat
memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya. (Anita W,1995
dalam Paulina panen, 2003 3.16)
Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika di
sekolah dasar.
1. Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang
Untuk tahap contoh berikan bangun persegi dengan berbagai ukuran, sedangkan bukan
contohnya berikan bentuk-bentuk bangun datar lainnya seperti, persegipanjang, jajar genjang,
trapesium, segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.
a. Tahap Enaktif.
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlihat
dalam memanipulasi (mengotak atik)objek.
Untuk gambar

a

b

ukurannya:

Panjang = 10 satuan , Lebar = 2 satuan

c

ukurannya:

Panjang = 5 satuan , Lebar

b. Tahap Ikonik

ukurannya:

Panjang = 20 satuan , Lebar

= 4 satuan

= 1 satuan

Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana
pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak,
berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
c. Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu.
Siswa diminta untuk mngeneralisasikan untuk menenukan rumus luas daerah persegi
panjang. Jika simbolis ukuran panjang p, ukuran lebarnya l , dan luas daerah persegi panjang L
maka jawaban yang diharapkan L = p x l satuan
Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar.
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1.
2.
3.
4.

Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan
intuisinya.Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan
yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.
5. Tidak semua materi yang ada dalam matematika sekoah dasar dapat dilakukan dengan
metode penemuan.

4.

TEORI BELAJAR AUSUBEL
Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk mencari hukum

belajar yang bermakna, berikut ini konsep belajar bermakna David Ausubel.
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan
(2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana
informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang
sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai
bahan yang diberikan oleh guru atau yang dibaca tanpa makna.
Ausubel

menaruh

perhatian

besar

pada

siswa

di

sekolah,

dengan

memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar melalui
bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi
verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan

prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya
proses belajar siswa menghasilkan sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri
semuanya.
Pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal
tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini
guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu
dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan
gurunya. Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh
Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur
kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi
barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Dua syarat untuk materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya.
a. Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan
tingkat

perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.

b. Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan
penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut
apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya.
Sehingga hal ini perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah
struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi
tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke
dalam skema yang telah ia punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari
dan ditekankan pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam
system pengertian yang telah dipunyainya.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa
melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat pendidikan dasar, akan
lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktivitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan
pembelajaran. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika
menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.

Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan
pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan
pengetahuan yang sudah ada.
2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan
sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia
hafalkan.
3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara
logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu
dikaitkan dengan pengetahuan yang ia miliki.
4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran yang telah
tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan
yang baru itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.
Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses
belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang
sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang
bermakna sesuai tingkat pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar
yang bermakna yang dipengaruhi oleh motivasi.
Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang
diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan
belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan
(reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta
didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.

5. Teori Belajar Eggen
Eggen dan Kauchak (1993: 319) mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai
sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar siswa saling -membantu dalam
mempelajari sesuatu. Oleh karena itu belajar kooperatif ini juga dinamakan “belajar teman

sebaya.”. Kooperatif adalah suatu gambaran kerjasama antara individu yang satu dengan lainnya
dalam suatu ikatan tertentu. Ikatan–ikatan tersebut yang menyebabkan antara satu dengan yang
lainnya merasa berada dalam satu tempat dengan tujuan–tujuan yang secara bersama–sama
diharapkan oleh setiap orang yang berada dalam ikatan itu.
Pemikiran tersebut hanya merupakan suatu gambaran sederhana apa yang tersirat tentang
kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran dengan siswa bekerja
dalam kelompok yang memiliki kemampuan heterogen. Pembelajaran kooperatif dapat
digunakan untuk mengajarkan materi yang agak kompleks, membantu mencapai tujuan
pembelajaran yang berdimensi sosial, dan hubungan antara manusia. Belajar secara kooperatif
dikembangkan berdasarkan teori belajar kognitif konstruktivis dan teori belajar social.
Menurut Arends (1997: 111), pembelajaran yang menggunakan model kooperatif
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.

Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menyelesaikan materi belajar.

b.

Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah

c.

Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbedabeda

d.

Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu.
Secara umum, pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mencipatakan ikatan yang kuat
antar siswa, membangun kecerdasan sosial dan emosional, sehingga pada akhirnya siswa bisa
berinteraksi terhadap lingkungannya dengan segala kemampuan dan potensi diri yang
berkembang dengan baik. Secara garis besar, tujuan tersebut bisa dicapai apabila memenuhi
indikator sebagai berikut:
a. Kemandirian yang positif
Kemandirian yang positif akan berhasil dengan baik apabila setiap anggota kelompok
merasa sejajar dengan anggota yang lain. Artinya satu orang tidak akan berhasil kecuali anggota
yang lain merasakan juga keberhasilannya. Apapun usaha yang dilakukan oleh masing-masing
anggota tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk semua anggota kelompok.
Kemandirian yang positif merupakan inti pembelajaran kooperatif.

b. Peningkatan interaksi
Pada saat guru menekankan kemandirian yang positif, selayaknya guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk saling mengenal, tolong menolong, saling bantu, saling
mendukung, memberi semangat dan saling memberi pujian atas usahanya dalam belajar.
Aktivitas kognitif dan dinamika kelompok terjadi pada saat siswa diikutsertakan untuk belajar
mengenal satu sama lain. Termasuk dalam hal ini menjelaskan bagaimana memecahkan masalah,
mendiskusikan konsep yang akan dikerjakan, menjelaskan pada teman sekelas dan
menghubungkan dengan pelajaran yang terakhir dipelajari.
c. Pertanggungjawaban individu
Tujuan kelompok dalam pembelajaran kooperatif adalah agar masing-masing anggota
menjadi lebih kuat pengetahuannya. Siswa belajar bersama sehingga setelah itu mereka dapat
melakukan yang lebih baik sebagai individu. Untuk memastikan bahwa masing-masing anggota
lebih kuat, siswa harus membuat pertanggungjawaban secara individu terhadap tugas yang
menjadi bagiannya dalam bekerja. Pertanggungjawaban individu akan terlaksana jika perbuatan
masing-masing individu dinilai dan hasilnya diberitahukan pada individu dan kelompok.
Dalam proses belajar mengajar, para siswa perlu dilatih untuk bekerja sama dengan
rekan-rekan sebayanya. Ada kegiatan belajar tertentu yang akan lebih berhasil jika dikerjakan
secara bersama-sama, misalnya dalam kerja kelompok, daripada jika dikerjakan sendirian oleh
masing-masing siswa. Latihan kerja sama sangatlah penting dalam proses pembentukan
kepribadian anak. Pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama
dan kolaborasi. Keterampilan ini amatlah penting untuk dimiliki siswa dalam rangka memahami
konsep-konsep yang sulit, berpikir kritis dan kemampuan membantu teman.
Para ahli psikologi umumnya sependapat bahwa siswa-siswa mudah memahami konsepkonsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan dikerjakan secara
bersama-sama. Dalam ranah pengembangan kepribadian dan konsep diri siswa, konselor di
sekolah dapat menerapkan pembelajaran kooperatif dalam konseling melalui teknik sebagai
berikut:
1.

Bimbingan kelompok

Dalam bimbingan kelompok sebaiknya dibentuk kelompok-kelompok kecil yang lebih
kurang terdiri dari 4-5 orang. Murid-murid yang telah tergabung dalam kelompok-kelompok
kecil itu mendiskusikan bersama sebagai permasalahan termasuk didalamnya permasalahan
belajar.
2.

Peer Konseling
Melalui peer konseling, hubungan sosial dan kecerdasan emosional siswa meningkat dan
menjadi lebih baik. Dalam hal ini siswa bisa saling bekerjasama untuk menyelesaikan
permasalahan.

3.

Organisasi murid dan kegiatan bersama
Kegiatan bersama merupakan teknik bimbingan yang baik, karena dengan melakukan
kegiatan bersama mendorong anak saling membantu sehingga relasi sosial positif dapat
dikembangkan dengan baik. Organisasi siswa dapat membantu dalam proses pembentukan anak,
baik secara pribadi maupun secara sebagai anggota masyarakat.
4. Sosiodrama
Sosiodrama adalah suatu cara dalam bimbingan yang memberikan kesempatan pada
murid-murid untuk mendramatisasikan sikap, tingkah laku atau penghayatan seseorang. Maka
dari itu sosiadrama dipergunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah.

TEORI BELAJAR PIAGET

Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif disebut dengan skemata atau struktur, yaitu
kumpulan dari skema-skema. Artinya seorang individu dapat mengikat, memahami, dan
memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata. Skemata ini
berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih
lengkap dibandingkan ketika masih kecil.

Perkembangan skemata berlangsung secara terus menerus melalui adaptasi dengan
lingkunganya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak.
Semakin baik kualitas skema ini, maka semakin baik pula pola penalaran dan tingkat intelegensi
anak tersebut, kondisi ini disebut dengan equilibrium, namun ketika anak menghadapi situasi
baru yang tidak bisa dijelaskan dengan pola penaralan maka akan mengalami disequilibrium.
Menurut Piaget, intelegensi terdiri dari tiga aspek yaitu:
1. Struktur (structure)
Terbentuk dari hubungan fungsional anak antara tindakan fisik, tindakan mental dan
perkembangan berpikir logis anak dalam berinteraksi dengan lingkungan, kemudian tindakan
tersebut menuju pada perkembangan operasi-operasi dan selanjutnya menuju perkembangan
struktur atau skemata. Diperolehnya skemata berarti telah terjadi perubahan dalam
perkembangan intelektual anak.
2. Isi (content)
Isi disebut juga dengan content, yaitu pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada
respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapi.
3.

Fungsi (function)
Fungsi adalah cara yang digunakan organisme dalam mencapai kemajuan intelektual.
Menurut piaget perkembangan intelektual anak terdiri dari dua fungsi yaitu

a.

Organisasi, yaitu kemampuan untuk mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses
psikologi menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan.

b. Adaptasi, yaitu penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan
dengan dua cara yaitu:Pertama asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus
baru ke dalam skemata yang telah terbentuk atau kemampuan individu untuk mengatasi masalah
dalam lingkungannya dengan menggunakan struktur kognitifnya. Kedua Akomodasi adalah
proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak
langsung/proses perubahan respons individu terhadap stimulus lingkungan.
2.1.1

Tahap-Tahap Perkembangan
Berdasarkan hasil penelitiannya, piaget menemukan empat tahapan perkembangan
kognitif yaitu:

1. Tahap sensori motor (0-2 tahun)
Merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat reaksi langsung dari rangsangan. Rangsangan
itu timbul karena anak melihat dan meraba obyek-obyek. Anak belum mempunyai kesadaran
adanya konsep obyek tetap. Jika obyek hilang anak tidak akan mencarinya. Pengalaman
diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra).
2. Tahap pra operasi (2-7 tahun)
Tahap pra operasi terbagi atas dua yaitu pertama pemikiran prakonseptual (sekitar usia 24 tahun),ciri anak pada tahap ini adalah anak mulai membentuk konsep sederhana, anak mulai
mampu mengklasifikasi benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya.
Kedua periode pemikiran intuitif (sekitar usia 4-7 tahun). Tahap ini adalah tahap persiapan untuk
pengorganisasian operasi konkrit. Operasi yang digunakan adalah tindakan-tindakan kognitif,
misalnya mengklasifikasikan sekelompok objek, menata letak benda-benda menurut urutan
tertentu. Pada tahap ini anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, pemikiran anak lebih
banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis. Pengalaman anak pada
tahap ini hanya sampai pada tahap operasional belum memahami konsep kekekalan dan belum
dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.
3. Tahap operasi konkrit (7-11 tahun)
Pada tahap ini umumnya anak sudah berada di Sekolah Dasar, sehingga semistanya guru
sudah mengetahui benar kondisi anak pada tahap ini. Guru-guru harus mengetahui apa yang telah
dimiliki anak pada tahap ini dan kemampuan apa yang belum dimilikinya.
Pada tahap ini anak telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit serta
sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika. Misalnya anak telah dapat
mengetahui simbol-simbol matematika. Akan tetapi anak belum dapat menghadapi hal-hal yang
abstrak (tak berwujud).
Piaget mengidentifikasi adanya enam jenis konsep kekalan yang berkembang selama anak
berada pada tahap operasi konkrit, yaitu:
a) Kekekalan banyak (6-7 tahun)
b) Kekekalan materi (7-8 tahun)
c) Kekekalan panjang (7-8 tahun)
d) Kekekalan luas (8-9 tahun)

e) Kekekalan berat (9-10 tahun)
f)

Kekekalan Volum (11-12 tahun)

4. Tahap operasi formal (usia 11 keatas)
Periode operasi formal ini disebut juga periode operasi hipotetik-deduktif yang merupakan
tahap tertinggi dari perkembangan intelektual.
Kemampuan Anak-anak pada periode ini yang perlu diperhatikan guru adalah:
a) Anak sudah dapat memberikan alasan dengan menggunakan lebih banyak simbul atau gagasan
dalam cara berpikirnya
b) Anak sudah mampu dapat mengoperasikan argumen-argumen tanpa dikaitkan benda-benad
empiris.
c) Anak mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik dan kompleks dari pada anak
yang berada dalam periode operasi konkrit.
d) Anak sudah mampu menggunakan hubungan-hubungan di antara objek-objek apabila ternyata
manipulasi objek-objek tidak memungkinkan.
e) Anak telah mampu melihat hubungan-hubungan abstrak dann menggunakan proposisi-proposisi
logic-formal termasuk aksioma dan defenisi-defenisi verbal.
f) Anak mampu berpikir kombinatorial, artinya bila anak dihadapkan kepada suatu masalah, ia
dapat mengisolasi factor-faktor tersendiri atau kombinasikan factor-faktor itu sehingga menuju
penyelesaian tadi.
Menurut Piaget, tahap-tahap berpikir itu adalah pasti dan spontan namun umur kronologis
yang diberikan itu adalah fleksibel, terutama selama masa transisi dari periode yang satu ke
periode berikutnya. Umur kronologis itu dapat saling tindih tergantung individunya. Piaget
berpendapat, tidak ada gunanya bila kita memaksa anak untuk cepat berpindah ke periode
berikutnya.

2.1.2

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan
Piaget mengidentifikasi lima faktor yang mempengaruhi transisi tahap perkembangan
anak, yaitu:

1. Kedewasaan atau kematangan
Proses perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi motorik, dan manifestasi fisik
lainnya mempengaruhi perkembangan kognitif.
2. Pengalaman fisik
Interaksi dengan lingkungan fisik digunakan untuk mengabstrak berbagai sifat fisik dari
benda-benda. Contoh, bila seorang anak menjatuhkan benda dan menemukan benda itu pecah,
atau bila anak menempatkan benda dalam air kemudian anak melihat benda tersebut terapung,
maka anak telah terlibat dalam proses abstraksi. Proses inilah yang disebut dengan pengalaman
fisik. Pengalaman fisik ini meningkatkan kecepatan perkembangan anak, sebab observasi bendabenda serta sifat benda-benda menolong timbulnya pikiran yang lebih kompleks.
3. Pengalaman logika-matematik
Interaksi dengan lingkungan dengan cara mengamati benda-benda disekililingnya atau
mengkonstruksi hubungan-hubungan antara objek-objek
Contoh. Anak yang sedang menghitung kelereng, kemudian anak tersebut menemukan
kelerengnya berjumlah sepuluh buah. Dalam proses ini anak tidak menemukan sifat dari
kelereng melainkan kontuksi dari pikiran anak tersebut.
4. Transmisi sosial
Interaksi dan kerja sama anak dengan orang lain atau dengan lingkungnya. Hal ini amat
penting bagi perkembangan mental anak. Perkembangan mental anak diperoleh melalui
pengaruh bahasa, intruksi formal, dan membaca.
5. Penyetimbangan (Equilibrium
Proses adanya kehilangan stabilitas di dalam struktur mental sebagai akibat pengalaman
dan informasi baru dan kembali setimbang melalui proses asimilasi dan akomodasi. Sebagai
hasil dari equilibrium, struktur mental berkembang dan menjadi matang.
2.1.3

Sikus Belajar
Prinsip belajar piaget adalah kontruktivis yaitu pengajaran efektif yang menghendaki
guru agar mengetahui bagaimana para siswa memandang fenomena yang menjadi subjeks
pengajaran. Pengajaran kemudian dikembangkan dari gagasan yang telah ada, melalui langkahlangkah intermediet dan berakhir degan gagasan yang telah mengalami modifikasi.
Strategi yang digunakan adalah

a. Fase deskriptif
Siklus belajar deskriptif menghendaki hanya pola-pola deskriptip (misalnya seriasi,
klasifikasi, konsurvasi). Dalam sisklus ini, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola
empiris dalam suatu konteks khusus (ekslopolari). Guru memberi nama pada pola itu
(pengenalan atau konsep); kemudian pola itu ditentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi
konsep). Untuk siklus belajar ini disebut deskriptif, sebab siswa dan guru hanya memberikan apa
yang mereka amati tanpa usaha melahirkan hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil
pengamatan mereka. Siklus belajar deskriptif menjawab pertanyaan, apa?, tetapi tidak
menimbulkan pertanyaan, mengapa?

b. Fase Empiris Deduktif
Yaitu, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks
khusus (eksplorasi), tetapi mereka selanjutnya mengemukakan sebab-sebab yang mungkin
tentang terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaaan penalaran analogi untuk
memindahkan atau mentransfer konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain
pada konteks baru ini (pengenalan konsep). Konsep-konsep itu dapat diperkenalkan oleh para
siswa, guru atau keduanya. Dengan bimbingan guru para siswa menganalisis data yang
dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk melihat apakah sebab-sebab yang dihipotesiskan ajek
dengan data dan fenomena lain yang dikenal (aplikasi-konsep). Dengan kata lain, pengamatanpengamatan dilakukan secara deskriptif, tetapi bentuk siklus ini menghendaki lebih jauh, yaitu
mengemukakan sebab dan menguji sebab itu. Oleh karena itu diberi nama empiris-induktif
c.

Fase Hipotesis-Deduktif
Yaitu dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab. Para siswa diminta untuk
merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis-hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu.
Selanjutnya para siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari
hipotetsis-hipotesis ini, dan merencanakan serta melakukan eksperimen-eksperimen untuk
menguji hipotesis-hipotesis (eksplorasi).

2.1.4

Implikasi Teori Belajar Piaget
Penerapan teori perkembangan kognitif Piaget di kelas adalah:

a) Guru harus mengerti cara berpikir anak, bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan guru.
b) Agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak meninggalkan anakanak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang dirancang untuk membimbing
para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri. Metode yang baik digunakan adalah
dengan menemukan (discovery).
c) Tidak menghukum siswa jika menjawab pertanyaan yang salah.
d) Menekankan kepada para siswa agar mau menciptakan pertanyaa-pertanyaan dari permasalahan
yang ada serta pemecahan permasalahannya.
e) Tidak meninggalkan anak pada saat di beri tugas.

f)

Membimbing siswa dalam menemukakan dan menyelesaikan masalahnya sendiri.

g) Menghindari istilah-istilah teknis.
h) Menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak karena Bahasa dan cara berpikir
anak berbeda dengan orang dewasa.
i)

Menganjurkan para siswa berpikir dengan cara mereka sendiri.

j)

Memilih pendekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

k) Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
l)

Memberi peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

m) Didalam kelas, anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan berdiskusi dengan
teman-temannya.

Teori Belajar Vygotsky
Nama lengkapnya adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia dilahirkan di
salah satu kota Tsarist, Russia, tepatnya pada pada 17 November 1896, dan
berkuturunan Yahudi. Ia tertarik pada psikologi saat berusia 28 tahun.
Seseorang yang belajar dipahami sebagai seseorang yang membentuk
pengertian/pengetahuan

secara

aktif

dan

terus-menerus.

Inti

teori

Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan
“eksternal” dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial
pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi
sosial masing-masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin
bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang
belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal
development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan
potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.

Vygotsky banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak
lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anakanak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan
untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak
tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan,
berpikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi
ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat
itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada anak-anak oleh
anggota-anggota

kebudayaan

yang

lebih

tua

selama

pengalaman

pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain

secara

berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin
anak tentang dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang
sama dengan anggota lain dalam kebudayaannya.
Aliran psikologi yang dipegang oleh Vygotsky lebih mengacu pada
kontruktivisme karena ia lebih menekankan pada hakikat pembelajaran
sosiokultural.

Dalam

analisisnya,

perkembangan

kognitif

seseorang

disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan
oleh

lingkungan

sosial

secara

aktif.

Oleh

karenanya,

konsep

teori

perkembangan kognitif Vygotsky berkutat pada tiga hal:
1.

Hukum Genetik tentang Perkembangan (Genetic Law of Development)
Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati
dua aturan, yaitu tataran sosial lingkungannya dan tataran psikologis yang
ada pada dirinya.
2. Zona Perkembangan Proksimal (Zone of Proximal Development)
Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa
konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan
jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak
akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan
orang lain. Vygotsky membedakan antara actual development dan potential

development pada anak. Actual development ditentukan apakah seorang
anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru.
Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa
atau kerjasama dengan teman sebaya.
3.

Mediasi
Mediator yang diperankan lewat tanda maupun lambang adalah kunci

utama memahami proses-proses sosial dan psikologis. Makanya, jika dikaji
lebih mendalam teori perkembangan kognitif Vygotsky akan ditemukan dua
jenis mediasi, yaitu metakognitif dan mediasi kognitif. Media metakognitif
adalah penggunaan alat-alat semiotic yang bertujuan untuk melakukan self
regulation (pengaturan diri) yang mencakup self planning, self monitoring,
self checking, dan self evaluation. Media ini berkembang dalam komunikasi
antar pribadi. Sedangkan media kognitif adalah penggunaan alat-alat
kognitif

untuk

memecahkan

masalah

yang

berhubungan

dengan

pengetahuan tertentu. Sehingga media ini dapat berhubungan dengan
konsep spontan (yang mungkin salah) dan konsep ilmiah (yang lebih
terjamin kebenarannya).
Vygotsky

lebih

menekankan

pada

peran

aspek

sosial

dalam

pengembangan intelektual atau kognitif anak. Vygotsky memandang bahwa
kognitif anak berkembang melalui interaksi sosial. Anak mengalami
interaksi

dengan

orang

yang

lebih

tahu.

Secara

singkat,

teori

perkembangan sosial berpendapat bahwa interaksi sosial dengan budaya
mendahului. Maksudnya dari relasi dengan budaya membuat seorang anak
mengalami kesadaran dan perkembangan kognisi. Jadi intinya Vygotsky
memusatkan perhatiannya pada hubungan dialektik antara individu dan
masyarakat dalam pembentukan pengetahuan.
Pengetahuan terbentuk sebagai akibat dari interaksi sosial dan budaya
seorang anak. Pengetahuan tersebut terbagi menjadi dua bentuk, yaitu

pengetahuan spontan dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan spontan
mempunyai sifat lebih kurang teridentifkasi secara jelas, tidak logis, dan
sistematis. Sedangkan pengetahuan ilmiah sebuah pengetahuan yang
diperoleh dari pendidikan formal dan sifatnya lebih luas, logis, dan
sistematis. Kemudian proses belajar adalah sebuah perkembangan dari
pengertian spontan menuju pengertian yang lebih ilmiah.

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15

UPAYA PENINGKATAN PROSES DAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENGGUNAAN ALAT PERAGA PADA MATA PELAJARAN IPA DI KELAS IV (EMPAT) SDN 3 TEGALSARI KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN PELAJARAN 2011/2012

23 110 52

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

PENGARUH MOTIVASI BELAJAR DAN PEMANFAATAN SARANA BELAJAR DI SEKOLAH TERHADAP HASIL BELAJAR MATA PELAJARAN AKUNTANSI KEUANGAN SISWA KELAS XI AKUNTANSI SMK WIYATA KARYA NATAR TAHUN PELAJARAN 2010/2011

10 119 78

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS VI SD NEGERI 1 SINAR MULYA KECAMATAN BANYUMAS KAB. PRINGSEWU

43 182 68

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

PENGARUH PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN SEKOLAH DAN MINAT BACA TERHADAP HASIL BELAJAR IPS TERPADU SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 WAY

18 108 89

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62