KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 Habibullah,

KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI

  (DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN)

  

ARTIKEL

HABIBULLAH

NPM. 0910018412029

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PASCASARJANA UNIVERSITAS BUNG HATTA

  

KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI DITINJAU DARI UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

  1

  1 Habibullah, Sofyan Muchtar, Yofiza Media

  Program Studi Ilmu Hukum, Pascasarjana Universitas Bung Hatta

  

Habibinasution65@yahoo.com

ABSTRAK

  Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa. Berbagai alasan, perkawinan dilakukan melalui berbagai model, diantaranya melalui perkawinan siri, yang dilakukan berdasarkan agama, tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Berdasarkan permasalahan di atas dirumuskan empat masalah : (1) bagaimana kedudukan perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ? (2)Bagaimana kedudukan anak hasil perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ? (3) Bagaimana kedudukan harta hasil perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ? (4) Bagaimana cara penyelesaian pembagian harta terhadap anak hasil perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan

  

yuridis normatif, pengumpulan data dilakukan dengan meneliti bahan pustaka lalu dianalisis secara

  kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan menurut Islam perkawinan apabila memenuhi rukun, syarat dinyatakan sah, sementara menurut hukum perkawinan Indonesia dicatatkan berdasarkan perundang-undangan. Perkawinan siri berakibat buruk bagi rumah tangga. Secara yuridis, suami,istri, anak yang dilahirkan dari perkawinan siri tidak dapat melakukan tindakan hukum keperdataan terkait rumah tangganya. Anak-anak diakui negara sebagai anak luar kawin, hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu, keluarga ibunya. Istri, anak yang ditelantarkan suami/ ayah biologisnya tidak dapat melakukan tuntutan hukum dalam hal pemenuhan hak ekonomi, harta kekayaan milik bersama.

  Kata kunci: Kedudukan, Perkawinan Siri, Anak, Harta.

  Pendahuluan

  Pada dasarnya manusia adalah mahkluk “zoon Hidup bersama dalam masyarakat

  politicon,hayawanun jam’iyyun” ( mahluk sosial)

  merupakan suatu gejala (fitrah) yang mendasar artinya manusia selalu ingin bersama manusia bagi setiap manusia. Salah satu bentuk hidup lainnya dalam pergaulan hidup dan kemudian bersama yang merupakan unit terkecil dalam bermasyarakat. bermasyarakat adalah keluarga. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak(keluarga inti) yang terbentuk karena perkawinan.

  Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa :

  “perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdararkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

  Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa : “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan kepercayaannya itu” . sedangakan ayat (2) menyebutkan bahwa: “ tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

  Pencatatan perkawinan pada lembaga yang berwenang sangatlah penting untuk mendapatkan akta nikah sebagai bukti bahwa suatu perkawinan telah dilakukan secara sah menurut peraturan yang berlaku dan memiliki kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang akan menimbulkan adanya ketidak pastian terhadap status perkawinan karena tidak adanya bukti otentik yang dapat menjelaskan dan membuktikan bahwa peristiwa perkawinan tersebut benar-benar terjadi.

  Dalam Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan bahwa : “perkawinan yang sah menurut hukum adalah perkawinan yang dapat dibuktikan dengan kutipan akta nikah yang dibuat dan dikeluarkan oleh pegawai pencatat nikah yang berwenang”.

  Hukum perkawinan di Indonesia masih menimbulkan permasalahan-permasalahan, salah satu diantaranya adalah dualisme payung hukum perkawinan yaitu hukum Islam dan hukum nasional. Masalah pencatatan perkawinan ini meskipun telah diatur dalam peraturan nasional, tetapi masih sering ditemui perkawinan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan perkawinan, yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA). Perkawinan ini disebut juga dengan perkawinan/ pernikahan siri ( perkawinan di bawah tangan ). menjadi pro dan kontra dalam masyarakat. Masalah nikah siri sering dipandang sebagai masalah fiqih biasa. Perkawinan siri juga diartikan dengan pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang (KUA).

  Peraturan mengenai perkawinan ini meskipun sudah ada dan jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan negara Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , namun masih ada perkawinan yang dilakukan secara di bawah tangan. Hal ini bukan disebabkan karena ketidak tahuan seseorang terhadap peraturan tersebut, akan tetapi karena kurangnya kesadaran hukum seseorang untuk mengikuti dan menjalankan peraturan yang sudah ada.

  Perkawinan siri jika dilihat dari segi hukum jelas tidak mempunyai perlindungan hukum dari negara karena perkawinan tersebut tidak dan tidak dicatatkan. Pernikahan tersebut menurut negara adalah tidak sah karena tidak memiliki bukti otentik yaitu adanya buku nikah.

  Perkawinan siri ini dalam banyak hal sering merugikan pihak istri/perempuan dan anak-anak yang dilahirkan, baik dalam hal yang berkaitan dengan perkawinan maupun permasalahan yang muncul akibat perkawinan, seperti: hak waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.

  Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab IX Pasal 42 dan Pasal 43 bahwa status anak yang lahir di luar perkawinan (termasuk perkawinan siri) dianggap sebagai anak tidak sah, sehingga anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya”. Didalam akte kelahirannya hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya.

  Ketika perkawinan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia jadikan sebagai alat bukti sah di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan perkawinan maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.

  Atas dasar perlindungan kepentingan dan hak anak, istri dalam pernikahan siri dapat menuntut pertanggung jawaban suami. Undang- Undang Nomor

  23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 4 menyebutkan bahwa : “ setiap anak berhak untuk mendapat hidup, kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

  Dari segi hukum, negara tidak mengatur secara jelas tentang pembagian hak waris dan hak asuh anak yang tidak mempunyai surat atau bukti yang sah dalam pernikahan.Jika terjadi perceraian akan sulit untuk membuktikan hubungan darah atau keturunan, juga masalah harta antara suami istri, hak warisan antara harta anak dan orang tua serta menimbulkan beban pisikologis dan sosial.

  Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut

  1 Bagaimanakah kedudukan perkawinan siri menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ?

  2 Bagaimanakah kedudukan anak hasil perkawinan siri ditinjau menurut Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 ?

  3 Bagaimanakah kedudukan harta hasil perkawinan siri ditinjau menurut Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 ?

  4 Bagaimanakah cara penyelesaian pembagian harta terhadap anak hasil perkawinan siri menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ?

  Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan anak hasil perkawinan siri ditinjau menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan harta hasil perkawinan siri ditinjau menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, untuk pembagian harta terhadap anak hasil perkawinan dari peraturan perundang-undangan, bahan siri menurut Undang-undang Nomor 1 tahun hukum yang tidak dikodifikasi, yurisprudensi. 1974.

  Data yang bersumber pada perundang- undangan, di antaranya :

  Metodologi

  1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata Tipe penelitian yang digunakan dalam

  (KUH Perdata) penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian dalam menganalisa data 2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 didasarkan pada asas-asas hukum dan tentang penetapan berlakunya Undang- perbandingan-perbandingan hukum yang ada undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang

  1 dalam masyarakat .Aspek-aspek hukum,baik Pencatatan Nikah, Thalak dan Ruju’.

  undang-undang sebagai hukum yang tertulis 3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun hukum yang ada dalam masyarakat yaitu

  Tentang Perkawinan nilai-nilai atau norma yang ada dalam masyarakat. 4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Junto

  Penelitian ini menggunakan pendekatan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 junto perundang-undangan (statute approach), yakni Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 suatu penelitian dengan menggunakan legislasi tentang peradilan agama. dan regulasi yang bergantung pada bahan hukum

  5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 primer yang merupakan bahan hukum Autoritatif (mempunyai otoritas), bahan hukum sekunder dan tentang pelaksanaan perundang-undangan nomor 1 tahun 1975 bahan hukum tersier, dan pendekatan konseptual (conceptual approach) yang beranjak dari

  6) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang tentang Konpilasi Hukum Islam (KHI) berkembang dalam ilmu hukum.

  b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa buku, Dalam penelitian ini diperlukan sumber data majalah, makalah, pendapat pakar yang yang berasal dari literatur yang berhubungan berhubungan dengan perkawinan dan dengan penelitian, sebab penelitian ini merupakan perkawinan siri penelitian dengan pendekatan normatif yang

  c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus bersumber pada data sekunder hukum, ensklopedia hukum

  Data yang dipergunakan dalam penulisan ini Setelah data terkumpul (data sekunder ), adalah data sekunder yang terdiri dari: kemudian diolah dengan melakukan

  a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang pengklasifikasian data dan dianalisa secara mempunyai kekuatan mengikat yang terdiri

  kualitatif deskriptif yaitu sebagai prosedur orang dan prilaku yang diamati, atau sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental yang bergantung pada pengamatan manusia dalam wawasannya sendiri dan hubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya

  2

  , sehingga penemuan dalam penelitian ini akan dirumuskan menjadi kesimpulan penelitian Hasil dan pembahasan deskripsi hasil penelitian

A. Kedudukan Perkawinan Siri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

  Praktek Perkawinan siri yang banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh tradisi Islam di negara-negara Arab yang dilakukan pada masa setelah nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya.

  Hanya saja terdapat beberapa perbedaan apa yang dilakukan pada masa pensyi’aran agama Islam di negara Arab waktu itu dan di Indonesia kini. Bahkan istilah nikah siri berkembang dan diindonesiakan menjadi kawin bawah tangan, meski antara istilah kawin siri dan kawin bawah tangan tidak selalu sama.

  Namun demikian kedua istilah ini (kawin siri dan kawin bawah tangan) biasa dipahami sebagai suatu perkawinan yang mendasarkan dan melalaui tata cara pada agama dan kepercayaan serta adat istiadatnya tanpa dilakukan di hadapan dan dicatat pegawai pencatat nikah seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

  Adapun nikahsiriyang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan petugas pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai akta nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.

  2. Tata Cara Perkawinan Siri

1. Asal-Usul Kawin Siri

  Tata cara perkawinan siri itu sendiri perkawinan yang telah ditentukan dan diatur dalam hukum perkawinan Islam. Hal demikian tentunya berbeda dengan tata cara perkawinan yang telah ditentukan dan diatur dalam Undang- Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 12 yang menentukan tatacara pelaksanaan perkawinan untuk selanjutnya diatur dan dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

  Pernikahan siri dilakukan di hadapan tokoh agama atau di pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang kyai, ustadz, buya dengan dihadiri oleh beberapa orang yang berfungsi sebagai saksi. Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan siri ini cukup datang ketempattokoh agama yang diinginkan dengan membawa seorang wali bagi mempelai wanita dan dua orang saksi. Biasanya si tokoh agama setelah menikahkan pasangan kawin siri ini menyarankan pada mereka agar segera Dalam perkawinan siri ini yang bertindak 2) Untuk menghemat ongkos dan menghindari sebagai kadhi atau orang yang menikahkan adalah prosedur administratif yang dianggap berbelit- tokoh agama tersebut setelah menerima belit (seperti syarat-syarat administrasi dari RT, pelimpahan dari wali nikah calon mempelai Lurah dan KUA, ijin isteri pertama, ijin wanita.

  Pengadilan Agama, ijin dari atasan jika PNS/anggota TNI/Polri;

  Tidak semua prosesi perkawinan siri 3) Karena calon isteri terlanjur hamil di luar tersebut dilakukan memenuhi ketentuan, syarat nikah; dan rukun sahnya perkawinan menurut hukum

  4) Untuk melaukan pernikahan yang kedua kali perkawinan Islam. Penyimpangan itu biasanya

  4

  (Poligami); terjadi pada ketiadaan/ketidakhadiran orangtua 5) Untuk menghapus jejak, agar tidak diketahui atau wali dari calon pengantin perempuan, hal itu oleh isteri pertama, sekaligus untuk terjadi biasanya di kalangan mahasiswi yang jauh menghindari hukuman administratif yang akan dari orangtua atau walinya bahkan juga terjadi dijatuhkan oleh atasan, bagi mereka yang PNS karena perkawinan itu tidak disetujui terutama oleh orangtua pihak perempuan.

  5

  perkawinan untuk yang kedua kali;

3. Beberapa fakta Dan Alasan Kawin Siri

  6) Salah seorang dari calon pengantian (biasanya pihak perempuan) belum cukup umur untuk Beberapa fakta dapat ditemukan berkaitan melangsungkan perkawinan melalui KUA; perkawinan siri, yaitu;

  Alasan lain yang bersifat khusus seperti di

  a. Pernikahan siri yang dilakukan oleh beberapa daerah yang telah menjadi tradisi masyarakat umum tanpa adanya wali. melakukan perkawinan siri sebelum menikah di hadapan pegawai pencatat nikah (KUA), adanya b. Pernikahan yang sah secara agama (memenuhi sikap orangtua/wali yang menganggap bahwa ia syarat dan rukun) namun tidak dicatatkan memiliki hak dan kewajiban menikahkan anaknya dalam lembaga pencatatan negara dengan

  (perempuan) dengan pasangan yang dicarikan berbagai alasan dan pertimbangan. tanpa meminta persetujuan anaknya. Dari berbagai kasus nikah siri yang terjadi di berbagai daerah, ada banyak alasan yang

  4. Hubungan Perkawinan Siri Dengan

  menyebabkan perkawinan itu dilaksanakan yaitu;

  Pencatatan Perkawinan

  1) Untuk menghindari perselingkuhan dan perzinahan lebih baik melakukan nikah siri.Dalam kasus ini biasanya di antara calon 4 Leli Nurohmah. 2008. “Poligami” (Program pengantin salah satunya masih sekolah atau

  kajian Wanita,S2)”. Program Pascasarjana Universitas

3 Indonesia.

  kuliah; 5 Syarnubi Som ,Widyaiswara Madya , Nikah

  Siri Merugikan Pihak Perempuan, Menguntungkan Laki-laki, BDK Pada dasarnya istilah nikah siri tidak dikenal dalam hukum negara. Hukum Perkawinan Indonesia hanya mengenal istilah perkawinan yang dicatatkan dan tidak dicatatkan. Kawin siri adalah realita, yang dipopulerkan masyarakat Indonesia untuk menyebut perkawinan yang tidak dicatatkan dihadapan pihak berwenang (Islam di KUA dan non Islam di Catatan Sipil) meski dalam perkembangannya sering terjadi penyimpangan dalam proses perkawinannya (ada yang sesuai ketentuan agama dan ada yang tidak memenuhi syarat).

  Peraturan pencatatan perkawinan, seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Nikah,Thalak dan Ruju’ tetap dipertahankan oleh UUP yang menyatakan bahwa suatu perkawinan dianggap sah bila dicatat dihadapan petugas resmi pencatat perkawinan sesuai syarat dan ketentuan.

  Bagaimana hukum tidak mencatatkan perkawinan dalam lembaga pencatatan? Ada dua pendapat mengenai hal ini. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa hal ini merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan bukan suatu pelanggaran hukum/undang-undang.

  Perbedaan pendapat tentang menentukan atau tidaknya pencatatan perkawinan terhadap kesahan perkawinan bersumber pada pemisahan ketentuan tentang keharusan melakukan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan (agama) di satu pihak dan keharusan mencatatkan perkawinan di pihak lain pada ayat yang berbeda, meskipun sama-sama dalam Pasal 2

  UUP, kalangan Muslim menentang keras, seolah- olah pencatatan perkawinan lebih diutamakan daripada hukum agama.

  Pencatatan perkawinan memang tidak ditolak bahkan dianggap penting tetapi tidak dianggap sebagai syarat utama sahnya perkawinan. Ada kekhawatiran akan ada orang Islam awam yang terbiasa meremehkan hukum perkawinan Islam, yang berakibat perkawinan dengan pencatatan belaka akan dianggap sah oleh hukum sipil tetapi tidak sah menurut hukum Islam.

  6 Terdapat dua kelompok yaitu kelompok

  pertama pro kawin siri dengan demikian menolak (2). Kelompok kedua menentang kawin siri dengan demikian menerima semua pasal dalam UUP. Dua kelompok ini hingga kini masih melakukan silang pendapat berkaitan dengan kawin siri dan pencatatan perkawinan.

  Dari latar belakang historis itulah dapat diketahui bahwa adanya upaya negara untuk menertibkan perkawinan siri melalui pencatatan perkawinan yang diatur melalui hukum negara sehingga lahirlah UUP, terlepas dari pro dan kontra. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP inilah pemicu kontroversi perkawinan siri, yang sah secara agama dan kepercayaannya tetapi tidak dicatatkan melalui lembaga pencatatan (KUA bagi Muslim dan Catatan Sipil bagi non Muslim).

  Selain telah diatur dalam Pasal 2 UUP, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), keabsahan 6 Muhammad Kamal Hassan. 1987.

  Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim. perkawinan dan pencatatan perkawinan juga berlaku sampai anak itu kawin atau anak itu dapat diatur dalam pasal-pasal berikut: berdiri sendiri.

  Pasal 4 : Kewajiban mana berlaku terus meskipun Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan perkawinan kedua orang tua putus. Pasal 47 ayat menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2

  (1) anak yang belum mencapai 18 (delapan belas ) ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tahun atau belum pernah melangsungkan tentang Perkawinan. perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya

  Pasal 5 ayat (1) selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi (2) orang tua mewakili anak tersebut mengenai masyarakat Islam setiap perkawinan harus perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. dicatat.

  Pasal 5 ayat (2) Pasal 98 dan 99 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 ayat (1) menyatakan batas usia anak yang Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah maupun mental atau belum pernah undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang- melangsungkan perkawinan, ayat (2) menyatakan undang Nomor 32 Tahun 1954. orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai

  Pasal 6 ayat (1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan, ayat (3) pangadilan agama dapat setiap perkawinan harus dilangsungkan menunjuk salah satu kerabat terdekat yang mampu dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Pasal 99 ayat (1) :

  Pasal 6 ayat (2) anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam

  Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai atau akibat perkawinan sah, ayat (2) hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim kekuatan Hukum. yang dilahirkan oleh isteri tersebut.

B. Kedudukan Anak Hasil Perkawinan

  Seorang anak, dilihat dalam hukum

  Siri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

  perkawinan Indonesia secara langsung memiliki

  1974

  hubungan nasab dengan ibunya. Ini dapat Dalam hal kedudukan anak dapat dipahami dipahami dari Pasal 43 ayat (1) Undang-undang dari beberapa ketentuan, diantaranya Pasal 42 dan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa

  45 serta 47 Undang-undang perkawinan. Pasal 42 anak yang lahir di luar perkawinan hanya dinyatakan bahwa anak yang sah adalah anak memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat keluarga ibunya. perkawinan yang sah. Pasal 45 ayat (1) kedua

  Dapat dipahami dari peraturan tersebut, masih fifty-fifty. Artinya bisa diputuskan lewat bahwa seorang anak dapat dikategorikan sah, bila jalur hukum itu sehingga masing-masing pihak memenuhi salah satu dari 3 syarat sebagai berikut: merasa puas atau gagal lewat peradilan sehingga menjadi sengketa yang berkepanjangan. 1). Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang

  Menurut Rika Kurnia, dampak hukum yang sah, dengan dua kemungkinan; Pertama, timbul dari sebuah pernikahan siri akan terjadi

  Setelah terjadi akad nikah yang sah istri kalau ada perceraian, si isteri sulit untuk hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua, mendapatkan hak atas harta bersama mereka Sebelum akad nikah istri telah hamil terlebih apabila si suami tidak memberikan. Selain itu, jika dahulu, dan kemudian melahirkan setelah ada warisan yang ditinggalkan suami - karena akad nikah. suami meninggal dunia, isteri dan anak juga

  8 2). Anak yang lahir sebagai akibat dari sangat sulit mendapatkan hak dari harta warisan.

  perkawinan yang sah. Contoh, istri hamil dan Pada dasarnya penyelesaian masalah harta kemudian suami meninggal. Anak yang kekayaan dari perkawinan siri ini banyak

  7 dari adanya perkawinan yang sah.

  pendekatan secara persuasif dengan melibatkan keluarga pihak suami. 3). Anak yang dibuahi di luar rahim oleh pasangan suami istri yang sah, dan kemudian dilahirkan

  Harta Bersama Dalam Hukum Perkawinan

  oleh istrinya. Ketentuan ini untuk menjawab Indonesia kemajuan teknologi tentang bayi tabung.

  Istilah dan konsep harta bersama/gono-gini

C. Kedudukan Harta Hasil Perkawinan

  akhirnya digunakan dalam hukum positif di

  

Siri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun Indonesia, hal ini merupakan hasil kompromi

1974.

  antara tokoh-tokoh masyarakat (tokoh agama dan Adat) dengan memadukan antara hukum Islam

  Harta Bersama Dalam Perkawinan Siri

  dan hukum adat yang berkembang di masing- Uraian tentang harta bersama pada masing daerah. pembahasan sebelumnya mempertegas bahwa

  Dari kompromi itulah, beberapa klausul eksistensi harta gono-gini dalam perkawinan atau dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 1 rumah tangga muslim sebagian masih menemui Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Juga masalah baik dalam praktek sehari-hari maupun melalui kesepakatan para Ulama, istilah dan pembagiannya bila terjadi perceraian suami isteri konsep harta bersama dimasukkan dalam tersebut. Kompilasi Hukum Islam (KHI). Banyak kasus perebutan harta gono-gini harus diselesaikan lewat peradilan yang hasilnya 8 Paralegal Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI) Konsep harta bersama (gono-gini) ini adalah khas Indonesia yang dikembangkan oleh seorang ulama Indonesia terkemuka dari Banjarmasin, Syeikh Muhammad Arsyad al Banjari, penulis kitab “Sabilal Muhtadin”.

  UUP dan KHI, telah mengadopsi pembagian waris gono gini yang disebut “harta bersama”. Ini adalah sebuah terobosan yang jarang ditemukan dalam perundang-undangan hukum keluarga di sejumlah negara Islam yang lain. Masyarakat muslim Indonesia telah menerima ketentuan ini, karena dipandang sejalan dengan nilai-nilai keadilan yang dirasakan masyarakatnya.

  Kenyataan penerimaan ketentuan ini terbukti tidak menjadi masalah dan tidak ada yang menyatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum Allah, bahkan justru mencerminkan tujuan penegakan hukum, yakni keadilan.

  Harta benda dalam Perkawinan ada tiga macam, yakni: 1) Harta gono-gini yaitu harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan (KHI Pasal

  91 ayat (1), ayat(2) 2) Harta bawaan yaitu harta benda milik masing- masing suami dan isteri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah (UUP Pasal 35 ayat 2 dan Pasal 36 ayat 2, KHI Pasal 87 ayat (2) ayat (3)

  3) Harta perolehan yaitu harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan (suami isteri) setelah terjadinya ikatan perkawinan (KHI Pasal 87 ayat (2).

  Seperti dijelaskan sebelumnya pembagian ayat (1) dan atau cerai hidup (UUP Pasal 37 dan KHI Pasal 97), masing-masing pihak dapat menyelesaikan secara musyawarah untuk memperoleh kesepakatan atau jika tidak terjadi kesepakatan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama (PP Nomor 9 Tahun 1975, KHI Pasal 95 ayat (1) dan Pasal 136 ayat (2).

  D. Upaya Penyelesaiyan Pembagian Harta Anak Hasil Perkawinan Siri Menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974

  Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam penyelesaiyan pembagian harta anak hasil perkawinan siri menurut Undang-Undang Nomor

  1 Tahun 1974, sebagai berikut:

  1. Itsbat Nikah

  Esensi Itsbat nikah adalah perkawinan yang semula tidak dicatatkan menjadi tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki kekuatan hukum.

  Itsbat nikah merupakan istilah baru dalam fiqh munakahat, yang secara harfiah berarti penetapan atau pengukuhan nikah. Secara substansial konsep ini difungsikan sebagai ikhtiar agar perkawinan tercatat danmempunyai kekuatan hukum.

  9 Dasar Itsbat nikahadalah pasal 7 ayat (1),(2),(3) KHI.

  (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

  (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

  (3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Perkawinan ulang dilakukan layaknya Pengadilan Agama terbatas mengenai hal- perkawinan menurut agama Islam (tajdid). Tajdid hal yang berkenaan dengan: ini bukan karena menganggap pernikahan pertama (a) Adanya perkawinan dalam rangka tidak sah akan tetapi, tajdid dilakukan untuk penyelesaian perceraian, hilangnya melengkapi kekurangan yang ada pada pernikahan

  Akta Nikah; pertama (siri), namun, perkawinan harus disertai (b) Adanya keraguan tentang sah atau dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang tidaknya salah satu syarat perkawinan; berwenang (KUA). Pencatatan perkawinan ini (c) Adanya perkawinan yang terjadi penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan sebelum berlakunya Undang-Undang suami isteri.

  Nomor 1 Tahun 1974; Apabila telah ada anak, status anak-anak (d) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang lahir dalam perkawinan siri (sebelumnya) yang tidak mempunyai halangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, perkawinan menurut Undang-Undang karena perkawinan ulang tidak berlaku (4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat perkawinan ulang dilangsungkan. nikah ialah suami atau istri, anak-anak Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak mereka, wali nikah dan pihak yang yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap berkepentingan dengan perkawinan itu. sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai Dari klausul Pasal 7 KHI tersebut di atas, anak sah yang lahir dalam perkawinan. permohonan Itsbat nikah bagi perkawinan siri

  Pasal 43 Undang-undang Perkawinan dan yang dilakukan pada saat sebelum pengesahan

  Pasal 100 KHI menyebutkan anak yang lahir di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UUP) luar pernikahan yang sah (menurut hukum positip) sepanjang memenuhi persyaratan, dalam hanya mempunyai hubungan nasab/ perdata prakteknya, Pengadilan Agama mengabulkan. dengan ibunya dan keluarga ibunya maka upaya

  Mengenai tingkat keberhasilan permohonan perkawinan ulang menjadi tidak berarti bagi itsbat nikah (dikabulkan atau ditolak) sepenuhnya kepentingan status hukum anaknya, kecuali belum menjadi kewenangan hakim yang menyidangkan ada anak yang dilahirkan sebelum perkawinan perkaranya setelah meneliti data persyaratan yang ulang. diajukan pemohon. Tentu saja hakim di setiap Pengadilan Agama berbeda dalam memberi

  3. Yurisprudensi

  ketetapan. Semua dikembalikan pada hati nurani Pengadilan Agama Jakarta Utara dalam para hakim dalam memberi rasa keadilan bagi

  Penetapan No.004/Pdt-P/1996/PA.JU tanggal 27 pemohon dan yang menjadi korban. Mei 1996M/9 Muharram 1417 H. Menetapkan sah

2. Perkawinan Ulang

  menurut hukum perkawinan antara Rahayu binti permohonan diajukan termohon telah meninggal akibat ketentuan Undang-Undang Perkawinan dunia) yang dilaksanakan pada tanggal 16 yang diskriminatif. Lebih dari itu, Putusan MK Pebruari 1972 di Tanjung Priok dengan wali telah mengakhiri diskriminasi yang dialami jutaan hakim bernama Kosim, Amil KUA Kecamatan anak di luar Perkawinan, sejak berlakunya Tanjung Priok. Mereka memiliki Akta Nikah yang Undang-undang Perkawinan. ternyata tidak terdaftar sesuai dengan Surat

  Simpulan

  Keterangan Kepala KUA Tanjung Priok No Dari uraian di atas, maka dapat ditarik

  K2/Mj-2/PW.01/906/96. Permohonan itsbat nikah diajukan oleh Rahayu karena diperlukan antara simpulan sebagai berikut: Kedudukan perkawinan siri menurut lain untuk mengurus harta peninggalan suaminya.

  1. Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam

  Penetapan No. 6/Pdt.G/1996/PA.JT tanggal 23 adalah sebagai berikut :

  a. Perkawinan siri menurut hukum Islam September 1996 M./10 Jumadil Awal 1417 H., adalah sah apabila telah memenuhi rukun menetapkan: menolak permohonan yang diajukan Pengadilan Agama mengesahkan perkawinannya dicatatkan. Menurut hukum perkawinan di

  Indonesia, perkawinan dianggap sah apabila dengan Sucipto bin Suprapto. telah dilaksanakan menurut ketentuan

  Mahkamah Agung RI dalam perkara agama dan terpenuhinya syarat dan rukun Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan dan dilakukan dihadapan pegawai pencatat Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara nikah. Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu

  b. Perkawinan siri dalam undang-undang mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil perkawinan tidak dikenal. Menurut Undang- hubungan kedua pasangan tersebut padahal undang perkawinan (UUP) perkawinan

  10 perkawinan mereka adalah perkawinan siri.

  dianggap sah apabila dilakukan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no hukum masing-masing agamanya dan

  46/PUU-VII/2010 atas perkara permohonan kepercayaannya itu dan dicatat menurut Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 peraturan perundang undangan yang tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang berlaku. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

  Perkawinan siri diidentikkan dengan pada 17 Februari 2012 yang lalu, melegalkan perkawinan secara agama dan adat, dimana

  Machica Mochtar dan Mohammad Iqbal selaku perkawinan ini tidak dilakukan dan dicatatkan di pemohon pengujian undang-undang (judicial hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN).

  review ) untuk memperoleh hak konstitusionalnya

  Perkawinan siri yang dijalankan sebagian umat dan mengakhiri diskrimimasi yang dialaminya, 10 Islam di Indonesia adalah mengadopsi

  Dampak Perkawinan Bawah Tangan rukun dan syarat dan memadukan akar tradisi poligami yang berkembang padamasyarakat

  feodalistik dimana seorang laki-laki yang kaya bisa menikahi wanita lebih dari satu.

  2. Kedudukan anak hasil perkawinan siri menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:

  Kedudukan anak dalam hukum Islam tetap memperoleh pengakuan yang sama dengan perkawinan yang dicatatkan. Akan tetapi menurut peraturan perundang-undangan perkawinan, dengan tidak adanya akte nikah orang tuanya, akte kelahiran anak tersebut tidak tercantum nama ayah melahirkan. Anak tersebut dianggap sebagai anak luar kawin sehingga tidak bisa melakukan hubungan hukum keperdataan dengan ayah biologisnya. Anak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal ini menimbulkan beban psikologis dan sosial bagi si anak. Ayah biologisnya dengan itikad tidak baik sewaktu-waktu bisa mengingkari bahwa ia adalah anaknya sehingga hakhaknya tidak didapatkan sebagaimana anak-anak yang lain.

  3. Kedudukan harta hasil perkawinan siri menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut:

  Akibat hukum perkawinan siri terhadap kedudukan harta kekayaan, menurut hukum Islam akan diperhitungkan sesuai ketentuan syari’at Islam. Akan tetapi menurut peraturan perundang- undangan perkawinan harta hasil perkawinan siri tidaklah dianggap sebagai harta bersama atau

  Bila salah satu pihak dengan itikad tidak baik melakukan pengingkaranterhadap harta dalam perkawinan siri tersebut, maka pihak yang menjadi korban (biasanya isteri) tidak mempunyai kekuatan hukum untuk memperoleh haknya bila dihadapkan hukum negara.

  4. Upaya hukum dalam penyelesaian pembagian harta anak hasil perkawinan siri adalah sebagai berikut:

  a. Itsbat nikah Melalui itsbat nikah (penetapan nikah), perkawinan siri bisa ditetapkan sebagai penikahan sah melalui penetapan pengadilan agama, selama perkawinan bercerai)

  b. Perkawinan ulang Perkawinan ulang ini dapat diajukan ke Kantor Urusan Agama (KUA), namun demikian cara ini tidak mempunyai arti bila telah ada anak dari perkawinan siri sebelumnya karena anak tetap tidak diakui sebagai anak sah dari kedua pasangan yang baru menikah (tidak berlaku surut).

  c. Yurisprudensi Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 46/PUU-VII/2010 atas perkara permohonan pengujian Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pada 17 Februari 2012 dalam kasus Machica Mochtar menyatakan bahwa Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan ayahnya yang dapat dibuktikan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 berdasarkan ilmu pengetahuan dan Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum teknologi dan/atau alat bukti lain menurut Islam hukum mempunyai hubungan darah,

  C. Website

  termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Adang Djumhur Salikin, Itsbat Nikah , Adjumhur.blogspot.com. diakses tanggal

DAFTAR PUSTAKA

  11 April 2014

  A. Buku-buku

  Abdul Kadir Muhammad, 1993, Hukum

  Perdata Indonesia, Citra Aditia Bakti,

  Alasan Kawin Siri Banyak Dikemukakan Oleh Bandung Mahasiswa, www.SuaraMerdeka.com.

  Diakses tanggal 3 Desember 2013. Leli Nurahmah, 2008, Poligami, Program

  Pascasarjana Universitan Indonesia, Syarnubi Som ,Widyaiswara Madya , Nikah

  Jakarta

  Siri Merugikan Pihak Perempuan, Menguntungkan Laki-laki, BDK

  Mohammad Khamal Hasan, 1987, Palembangwww.syarnubi.wordpress.com . Diakses tanggal 29 februari 2014

  Indonesia, Jakarta Soerdjono Soekanto.2001, Penelitian Hukum

  Paralegal Mitra Sejati Perempuan Indonesia

  Normatif Suatu Tinjauan Singkat . Raja

  (MiSPI) dalam penelitian Dampak

  Negatif Nikah Siri Bagi Perempuan dan

  Grafindo Persada, Jakarta Anak , www.idlo.int/bandaacehawareness. Sudarwan Danin, 2002, Menjadi Penelitian

  Diakses tanggal 25 Maret 2014 Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung.

  Dampak Perkawinan Bawah Tangan Terhadap Anak , http://www.lbh-apik.or.id. Diakses

  tanggal 26 April 2014

  B. Peraturan Perundang-undangan

  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

  Undang-undang Nomor

  7 Tahun 1989.TentangPeradilan Agama

  Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

  Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989

  Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang