Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Wanita Usia Subur Yang Belum Menikah Tentang Tradisi Badapu Di Wilayah Kerja Puskesmas Singkil Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2013

  BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Tradisi Badapu Badapu berasal dari kata dapur yang artinya “naik dapur”. Pada masyarakat pinggiran (pedesaan), ibu setelah melahirkan akan ditempatkan di dapur, dengan membuatkan bale-bale berukuran 1x2m sebagai tempat tidur dan disampingnya dibuat tungku dengan bahan bakar dari kayu jenis tertentu. Pada masyarakat perkotaan, ibu nifas masih melaksanakan tradisi badapu dengan cara tidur di kamar dan tungku diganti dengan kompor.

  Tradisi Badapu merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan bagi seorang ibu setelah melahirkan dimulai dari hari ke tujuh sampai hari ke enam puluh (untuk kelahiran anak pertama ) dan hari ke empat puluh (untuk kelahiran anak selanjutnya ).

  2.1.1 Tahapan Tradisi Badapu.

  Beberapa ritual yang harus dijalankan oleh ibu nifas saat menjalakan tradisi Badapu , yaitu memanaskan tubuh ibu pada pagi dan sore hari dengan nyala api tungku atau kompor, memulihkan kondisi perut ibu pasca melahirkan dengan menggunakan batu bata atau kelapa muda yang sudah dipanaskan di tungku lalu dibungkus dengan kain dan daun mengkudu, lalu diletakkan di atas perut ibu, setelah dingin dipanaskan kembali demikian seterusnya, memulihkan alat genital ibu dengan menggunakan batu kecil kira-kira sebesar batu bola pimpong yang dipanaskan dalam abu tungku, lalu dibungkus dengan kain dan daun kunyit kemudian ditempelkan pada vagina, setelah dingin dipanaskan kembali demikian seterusnya.

  8 Pada saat menjalankan tradisi Badapu, ibu nifas dilarang mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan seperti : telur, kerang, udang, ikan tongkol, susu, pepaya , pisang, nenas, dan cabe. Sedangkan bahan makanan yang boleh dikonsumsi seperti : ikan segar, ikan teri dan ikan asin yang cara pengolahannya dengan cara digoreng kering, dibakar atau digongseng. Sedangkan jenis sayuran yang bisa dikonsumsi seperti : daun singkong, dan daun papaya yang dimasak dengan cara direbus. Karena adanya pembatasan terhadap konsumsi air, maka sayur yang direbus airnya diperas sehingga hanya mengandung sedikit air saja.

  Sehubungan dengan pembatasan konsumsi air ibu nifas tidak diperbolehkan minum air putih namun meminum air yang khusus diramu. Setiap pagi ibu nifas meminum “minuman mentah” yang terbuat dari campuran daun-daunan seperti : daun papaya, daun nenas, daun inay/pacar dan lain-lain kemudian diremas dan diambil airnya kemudian dicampur dengan kunyit, jahe, jeruk nipis dan madu. Jenis minuman mentah tersebut setiap tiga hari diganti dan dibuat minuman mentah yang baru yang terbuat dari jenis daun-daunan yang berbeda. Sebagai pengganti air putih ibu nifas diberikan “minuman periuk” yaitu rebusan beberapa macam daun-daun kayu yang dicampur dengan rempah-rempah. Minuman periuk tersebut hanya untuk tiga hari saja setiap dimasak dan kemudian diganti dengan air rebusan yang baru. Demikian hal ini dilakukan secara terus menerus sampai 60 hari untuk kelahiran pertama dan selama 40 hari untuk kelahiran selanjutnya.

  2.1.2 Beberapa Faktor Resiko Tradisi Badapu dari Sudut Pandang Gizi dan Kesehatan

  Pada saat melakukan tradisi Badapu ibu dipanaskan dengan menggunakan kayu bakar ataupun kompor serta melakukan pantang makan pada bahan makanan tertentu seperti : telur, kerang, udang, ikan tongkol, susu, papaya, pisang, nenas dan cabe serta hanya mengonsumsi jenis sayuran seperti daun singkong, daun papaya dan daun katu serta ikan asin, ikan teri dan ikan segar yang dianggap tidak menimbulkan efek gatal atua alergi pada ibu nifas. Bahan makanan tersebut diolah hanya dengan digoreng kering ataupun digongseng dan sayur hanya direbus dan diperas/dibuang airnya untuk mengurangi konsumsi cairan. Hal ini dapat memberikan beberapa dampak bagi kesehatan ibu, berikut adalah beberapa faktor yang mempunyai resiko pada kesehatan dilihat dari sudut pandang gizi dan kesehatan :

  1. Anemia Dalam hal ini salah satu akibat dari tabu atau pantang makan yang sering terjadi adalah anemia dimana kadar hemoglobin ibu nifas berada dibawah batas normal. Hal ini terjadi karena kurangnya asupan zat gizi seperti protein, besi, asam folat dan Vitamin B12. Secara umum ada tiga faktor penting yang menyebabkan seseorang menjadi anemia, yaitu kehilangan darah karena perdarahan akut/kronis, pengrusakan sel darah merah, dan produksi sel darah merah yang tidak cukup (Adriani & Wirjatmadi, 2012).

  Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Deri (2009) di Kecamatan Singkil di temui pada ibu yang melakukan tradisi Badapu mengalami anemia dengan kadar hemoglobin 9,01 g/dl, jumlah ini berada dibawah standart yang ditetapkan oleh WHO sebesar 11 g/dl.

  Anemia terjadi karena ibu nifas kurang mengonsumsi Fe. Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi-hem seperti terdapat dalam hemoglobin makanan hewani, dan besi-nonhem dalam makanan nabati. Bentuk besi didalam makanan berpengaruh terhadap penyerapannya. Besi-hem dapat diserap dua kali lipat dari pada besi-nonhem. Kurang lebih 40% dari besi didalam daging, ayam dan ikan terdapat sebagai besi-hem dan selebihnya sebagai besi-nonhem. Besi-nonhem juga terdapat didalam telur, serealia, kacang-kacangan, sayuran hijau dan beberapa jenis buah-buahan (Almatsier, 2006). Ibu nifas yang melakukan tradisi Badapu sangat kurang mengonsumsi jenis bahan makanan yang mengandung besi-hem.

  2. Menghambat proses penyembuhan luka perineum.

  Pada proses penyembuhan luka perineum yang normal adalah 6-7 hari post partum . Setelah ditelusuri lebih lanjut, ibu nifas ternyata memiliki kebiasaan makanan yang kurang baik, seperti berpantang makan, makanan yang dimakan juga tertentu, khususnya lauk atau makanan yang berprotein (Rismawanti & Yulidawati 2012).

  Ibu nifas yang tidak terpenuhi gizinya pada masa nifas dapat menurunkan asupan gizi ibu yang akan berpengaruh terhadap penyembuhan luka perenium.

  Pantang makan pada tradisi Badapu tidak sesuai dengan anjuran untuk mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, sayuran dan buah yang mengandung vitamin dan mineral, protein hewani, protein nabati serta banyak minum (3 liter) setiap hari. Asupan gizi ibu yang tidak terpenuhi dalam waktu lama dapat berakibat buruk terhadap kesehatan dan angka kesakitan ibu. Kecukupan zat gizi sangat berperan dalam proses penyembuhan luka. Tahapan penyembuhan luka memerlukan protein sebagai dasar untuk pembentukan fibrolast dan terjadinya kolagen, disamping elemen-elemen lain yang diperlukan untuk proses penyembuhan luka seperti Vitamin C yang berperan dalam proses kecepatan penyembuhan luka. Vitamin A berperan dalam pembentukan epitel dan system imunitas. Vitamin A dapat meningkatkan jumlah monosit, makrofag di lokasi luka, mengatur aktifitas kolagen dan meningkatkan reaksi tubuh pada fase inflamasi awal. Zat gizi lain yang berperan yaitu Vitamin E yang merupakan antioksidan lipopilik utama dan berperan dalam pemeliharaan membrane sel, menghambat terjadinya peradangan dan pembentukan kolagen yang berlebih. Asam lemak esensial juga penting dalam proses penyembuhan luka karena tidak bisa disintesa dalam tubuh sehingga harus didapatkan dari makanan atau suplemen. Peranan asam lemak ini adalah mengurangi peradangan, mengurangi pengentalan sel-sel yang tidak normal.

  Pada ibu nifas yang melakukan tradisi Badapu asupan proteinnya juga kurang karena ibu nifas hanya mengonsumsi bahan makanan sumber protein yang sangat terbatas yaitu biasanya hanya mengonsumsi ikan saja tanpa mengonsumsi sumber protein hewani lainnya dan jenis protein nabati. Padahal konsumsi protein sangat penting pada ibu nifas untuk mengganti jaringan yang telah rusak dan mengatur proses metabolism.

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rismawanti dan Yulidawati (2012) bahwa ibu nifas di Klinik Bersalin Khairunisa Riau yang mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang dapat mempercepat penyembuhan luka perenium, karena salah satu faktor yang mempengaruhi luka perenium adalah status gizi yang selain faktor lingkungan, tradisi, pengetahuan, sosial ekonomi dan penangan petugas kesehatan.

  3. Menghambat proses produksi ASI Ibu setelah melahirkan (nifas) secara fisiologis membutuhkan zat gizi yang lebih banyak dibandingkan dengan wanita dewasa. Hal ini karena ibu nifas membutuhkan gizi yang lebih yang berguna untuk melakukan aktivitas, metabolisme, cadangan dalam tubuh, proses produksi ASI serta sebagai ASI itu sendiri yang akan dikonsumsi bayi untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

  ASI merupakan pangan kompleks yang mengandung zat-zat gizi lengkap dan bahan-bahan bioaktif yang diperlukan untuk tumbuh kembang dan pemeliharaan kesehatan bayi (Almatsier, 2011)

  Energi dan bahan gizi yang dimakan oleh sebagian besar ibu menyusui dinegara-negara yang sedang berkembang berada jauh dibawah RDA. Sekarang terbukti bahwa rata-rata wanita dinegara-negara industri juga makan makanan yang kurang dari pemikiran yang secara teori harus ditemui (Adriani & Wirjatmadi, 2012 ).

  Akan tetapi karena diharuskan melakukan tradisi badapu, maka ibu nifas mengikuti aturan-aturan yang ada berupa pembatasan terhadap beberapa jenis makan yang boleh dimakan. Akibat pembatasan tersebut, makanan yang dikonsumsi ibu nifas tidak memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Hal ini mempengaruhi status gizi ibu yang secara tidak langsung akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan bayinya yang sangat membutuhkan ASI yang baik dan bergizi dari ibu untuk membantu proses optimal dari seribu hari pertama kehidupannya.

  4. Pengaruh asap terhadap kesehatan ibu dan bayi.

  Pada saat melaksanakan tradisi Badapu pemanasan yang dilakukan kepada ibu nifas dilakukan dengan menggunakan kayu bakar dan pada masyarakat perkotaan dilakukan dengan menggunakan kompor. Penggunaan kayu bakar dan kompor menghasilkan asap yang dapat membahayakan kesehatan bagi ibu dan bayi.

  Asap mengandung gas CO dan keberadaan gas CO sangat berbahaya jika terhirup oleh manusia karena gas tersebut akan menggantikan posisi oksigen yang berkaitan dengan hemoglobin dalam darah. Gas CO yang akan masuk kedalam jantung, otak serta organ vital. Ikatan antara CO dan hemoglobin membentuk karboksihemoglobin yang jauh lebih kuat 200 kali dibandingkan dengan ikatan antara oksigen dan hemoglobin (BPOM, 2012)

  WHO menganggap asap kompor yang kotor sebagai salah satu dari lima bahaya terbesar bagi kesehatan di Negara berkembang. Asap menewaskan hampir dua juta orang per tahun, dua kali jumlah orang yang meninggal akibat malaria (Antara, 2012).

  Pemerintah juga sudah mengantisipasi bahaya kesehatan disebabkan asap dengan mengelurkan Peraturan Mentri Kesehatan tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah. Permenkes No. 1077/Menkes/Per/V/2011 pasal 3 meliputi persyaratan kualitas udara dalam ruang rumah, faktor resiko dan upaya penyehatan udara dalam ruang rumah serta tata laksana pengawasan kualitas udara dalam ruang rumah.

  2.2 Budaya Pangan Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah, 2004). Pola konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis, dan frekuensi bahan makana yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu.

  Menurut Adriani dan Wirjatmadi (2012) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola konsumsi antara lain faktor budaya, agama dan kepercayaan, status sosial ekonomi, personal performance, rasa lapar, nafsu makan, rasa kenyang dan kesehatan.

  Konsumsi Makanan Preferensi Makanan

  Karakteristik Karakteristik Karakteristik Individu Makanan Lingkungan a.umur a.rasa a.musim b.jenis kelamin b.rupa b.pekerjaan c.pendidikan c.tekstur c.mobilitas d.pendapatan d.harga d.perpindahan e.pengetahuan gizi e.tipe makanan penduduk f.keterampilan f.bentuk e.jumlah memasak g.bumbu rumah tangga g.kesehatan h.kombinasi f.tingkat sosial makanan pada masyarakat

Gambar 2.1 Model Studi Preferensi Konsumsi Makanan.

  Menurut Sanjur (1982) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi konsumsi makanan, yaitu : karakteristik individu, karakteristik makanan, dan karakteristik lingkungan. Suatu model atau kerangka pemikiran diperlukan untuk menelaah konsumsi makanan kaitannya dengan berbagai karakteristik tersebut, serta hubungan antar karakteristik itu sendiri.

  Dalam aspek gizi, tujuan mengkonsumsi makanan adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi makanan dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Pengukuran kualitatif dilakukan dengan melihat jenis-jenis makanan tersebut. Pengukuran kuantitatif dilakukan dengan menggunakan recall konsumsi makanan jangka waktu tertentu dan metode penimbangan, yaitu pengukuran secara langsung pada berat setiap jenis makanan yang dikonsumsi. Pola konsumsi makanan bermutu gizi seimbang mensyaratkan perlunya diverisifikasi makanan dalam menu sehari-hari. Ini berarti menuntut adanya ketersediaan sumber zat tenaga (karbohidrat dan lemak), sumber zat pembangun (protein), dan sumber zat pengatur (vitamin dan mineral). Makanan yang beraneka ragam sangat penting karena tidak ada satu jenis makanan yang dapat menyediakan gizi bagi seseorang secara lengkap (Khomsan, 2004). Konsumsi makanan yang beranekaragam, akan menghindari terjadinya kekurangan zat gizi, karena susunan zat gizi pada makanan saling melengkapi antara satu jenis dengan jenis lainnya, sehingga diperoleh masukan zat gizi seimbang (Depkes RI, 2003).

  Budaya pangan adalah kegiatan suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, suatu Negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat dan lestari trhadap apa, kapan dan bagaimana penduduk makan. Kebanyakan tidak hanya menentukan jenis pangan apa, tertuju untuk siapa, dan dalam keadaan bagaimana pangan tesebru dimakan (Suhardjo, 1988)

  Setiap masyarakat mengembangkan cara yang turun temurun untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan, menyajikan dan cara-cara makan. Adat tradisi merupakan dasar prilaku tersebut, yang biasanya sekurang-kurangnya dalam beberapa hal berbeda diantara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain. Nilai-nilai sikap, kepercayaan yang ditentukan budaya, merupakan kerangka kerja dimana cara makan dan daya terima terhadap makanan terbentuk, yang dijaga dengan seksama dan diajarkan dengan tekun kepada generasi berikutnya (Notoadmojo, 2005).

  Ada pula penduduk di Negara-negara Asia yang mempunyai kepercayaan bahwa makanan yang mengandung protein hewani menyebabkan ASI beracun bagi bayinya. Kepercayaan terhadap suatu pangan tertentu yang berpengaruh baik atau buruk pada manusia tidak saja ditemukan pada masyarakat di negara-negara yang sudah berkembang tetapi juga dijumpai di negara-negara maju yang teknologinya sudah berkembang. Olson (1958) yang dikutip oleh Suhardjo (1988) mengemukakan tentang adanya beberapa macam kebudayaan di Amerika antara lain :

  Percaya bahwa pangan tunggal seperti yogurt, gula, coklat, royal jelly mempunyai kekuatan dalam meningkatkan kesehatan dan vitalitas diluar nilai kandungan zat gizinya. Percaya bahwa pangan yang diproduksi dengan menggunakan pupuk kimia dapat menurunkan nilai gizi pangan yang bersangkutan.

  Percaya bahwa fortifikasi zat gizi pada pangan tertentu memberikan manfaat yang baik bagi tubuh.

Percaya makanan seperti pisang, tomat dan telur yang sangat baik bagi penyembuhan penyakit atritis, kanker, kencing manis, hipertensi, kegemukan

  dan penyakit lainnya. Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku dalam kelompok masyarakat itu, seperti nilai sosial, norma sosial dan norma budaya bertalian dengan makanan, makanan apa yang dianggap baik dan tidak baik (Sediaoetama, 1999).

  • Masyarakat
  • Rumah tangga
  • Individu Apa yang dipikirkan, diketahui, dirasakan menjadi persepsi orang tentang makanan
  • Masyarakat
  • Rumah tangga
  • Individu

Gambar 2.2 Faktor-faktor sosial dan budaya yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan dalam masyarakat, rumah tangga dan individu.

  Kebiasaan makan juga dipengaruhi oleh lingkungan (ekologi, kependudukan, ekonomi) dan ketersediaan bahan makanan. Pola konsumsi makan yang dipengaruhi Kebiasaan makan dalam :

  Lingkungan ekologi Lingkungan kependudukan

  Apa yang dilakukan, mengapa dilakukan, dipraktekkan orang tentang makanan

  Pola konsumsi makanan didalam :

  Lingkungan ekonomi Status Gizi

  Ketersediaan Bahan kebiasaan makan memiliki hubungan yang erat dengan status gizi seperti terlihat pada kerangka diatas : (Susanto, dkk, 1987) Faktor sosial budaya yang berpengaruh terhadap kebiasaan makan dalam masyarakat, rumah tangga dan individu menurut Koentjaraningrat (1985) meliputi apa yang dipikirkan, diketahui dan dirasakan menjadi persepsi orang tentang makanan dan apa yang dilakukan, dipraktekkan orang tentang makanan.

  Tradisi Badapu sangat erat dengan budaya yang sangat menetukan jenis makanan yang harus dikonsumsi oleh ibu nifas. Kebudayaan sangat menetukan kapan seseorang boleh atau tidak boleh makan suatu makanan (food taboo). Oleh karena itu budaya mempengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis pangan, persiapan serta penyajian pangan. Apa bila konsumsi makanan sehari-hari kurang beraneka ragam maka akan timbul ketidak seimbangan antara masukan dan kebutuhan zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat. Dengan mengonsumsi salah satu jenis makanan akan memenuhi keunggulan susunan zat gizi jenis makanan yang lain, sehingga diperoleh zat gizi yang seimbang. Jadi untuk memenuhi zat gizi yang seimbang harus dipenuhi dari beragam jenis makanan yang bergizi.

  Ibu nifas yang melakukan tradisi Badapu sangat dibatasi juml;ah dan jenis konsumsi pangannya sehingga kebutuhan gizi seimbang ibu nifas tidak dapat terpenuhi dengan baik dan dapat mempengaruhi status gizi ibu.

  Tradisi Badapu yang dilakukan di kabupaten Aceh Singkil, ternyata juga dilakukan di daerah lain di provinsi Aceh yang disebut Madeung dan pada Negara lain seperti Malaysia, yang memiliki budaya hampir menyerupai Indonesia juga melakukan tradisi seperti ini ( Deri, 2009 ).

  Masyarakat suku Dayak Sanggau menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Suprabowo (2006) mengatakan bahwa makanan yang baik untuk ibu nifas adalah makan nasi dicampur garam dan sayur daun bungkal, selain itu dapat ditambah ikan asin atau ikan teri. Mereka juga minum minuman yang berupa ramuan-ramuan yang terbuat dari campuran tuak, liak (jahe) dan gula dengan tujuan agar badan hangat sehingga darah beku dapat cepat keluar dan air susu lancar, selain itu ada juga yang minum kopi agar badan hangat dan tidak lemah. Ibu nifas juga melakukan pemulihan dengan memberikan bedak pada perut ibu yang terbuat dari kunyit, liak dan kencur dengan tujuan agar kandungan cepat kembali muda.

  Berdasarkan pendapat Elroy dan Townsend yang dikutip oleh Deri (2009) yang membahas hasil studi Christi Wilson, seorang antropolog nutrisi yang melaukan studi di Rumuda, sebuah desa berpenduduk 600 orang di timur laut Malaysia, sesaat setelah melahirkan wanita melayu dianjurkan memulai membatasi makanan.

  Bukannya menghindari sumber protein hewani, mereka mengurangi konsumsi buah dan sayuran selama kira-kira enam minggu. Pola ini menggambarkan bahwa di Malaysia menganggap kualitas panas dan dingin dihubungkan dengan makanan, obat dan tingkat kerapuhan. Untuk melindungi kesehatan sang ibu mereka tidur di panggung kayu yang disebut dengan “ pembaringan perapian” berada diatas api kayu kecil. Sepanjang hari mereka istirahatbeberapa saaat di panggung juga tetap melakukan aktifitas seperti biasanya. Karena buah dan sayuran dianggap sebagai makanan “dingin” maka kalau dikonsumsi akan mengakibatkan ketidak seimbangan, jadi harus dihindari. Selama empat puluh ahri pemanasan, ibu diperbolehkan makan nasi dan ikan dengan lada hitam yang merupakan bahan pokok di desa-desa nelayan melayu.

  Pada penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi dan Arifah (2012) pada masyarakat di Kabupaten Sukoharjo bahwa ibu nifas dilarang mengonsumsi banyak air karena akan membuat luka jalan lahir menjadi basah dan lama sembuh, padahal untuk penyembuhan luka diperlukan banyak cairan. Ibu nifas juga dipantangkan untuk makan makanan yang berbau amis karena akan menyebabkan ASI berbau amis.

  Menurut Romana (2013) ada banyak mitos yang dipercayai oleh masyarakat yang sangat bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya, diantaranya bahwa ibu nifas tidak boleh makan telur, ikan dan daging agar luka jahitannya cepat sembuh, tidak boleh makan yang berkuah dan banyak minum air putih agar luka jahitan tidak basah, tidak makan buah-buahan selama menyusui agar bayi tidak diare, tidak boleh banyak makan agar ibu tetap langsing.

  Berdasarkan dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ibu nifas pada beberapa daerah di wilayah Indonesia dan beberapa daerah di Negara lain, ditemukan adanya larangan dan pantangan mengonsumsi beberapa jenis bahan makanan.

  Notoadmojo (2003) mendefinisikan pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

  Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.

  Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan :

  Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya (Wied Hary A, 1996 dalam Hendra AW, 2008)

  Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah pendidikan kesehatan. Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku sehingga perilaku individu, kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kesehatan (Notoadmojo, 2007).

  Pendidikan gizi merupakan suatu proses belajar tentang pangan, bagaimana tubuh kita menggunakannya dan mengapa diperlukan untuk kesehatan umumnya.

  Masalah kekurangan konsumsi pangan bukanlah merupakan hal yang baru yang mempunyai dampak sangat nyata terhadap timbulnya masalah gizi. Salah satu faktor yang menyebabkan keadaan ini adalah bertambahnya jumlah penduduk, disamping itu masalah gizi dapat timbul disebabkan oleh beberapa faktor yang mencakup aspek- aspek ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya serta agama (Suhardjo, 1996).

  Soekirman (2000) mengemukakan bahwa pada bagan penyebab kekurangan gizi oleh UNICEF 1998 tercantum bahwa meski secara tidak langsung namun tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi. Dari sudut sosial ekonomi, tingkat pendidikan ibu rumah tangga merupakan salah satu aspek yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Tingkat pendidikan formal seorang ibu seringkali berhubungan positif dengan peningkatan pola konsumsi makanan rumah tangga. Hal ini termasuk upaya mencapai status gizi yang baik pada anak-anaknya. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap informasi dan mengimplementasikan dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Atmarita, 2004).

  Pendidikan merupakan jalur yang ditempuh untuk mendapatkan informasi. Informasi memberikan pengaruh besar terhadap perilaku wanita usia subur. Apabila wanita usia subur diberikan informasi tentang bahaya pantang makanan dengan jelas, benar dan komprehensif termasuk akibatnya maka mereka tidak akan mudah terpengaruh atau mencoba melakukan pantang makanan atau dalam hal ini tradisi badapu .

  2. Pengalaman Pengalaman merupakan sumber pengetahuan dan tindakan seseorang dalam melakukan sesuatu hal. Adanya pengalaman dari wanita usia subur melihat seorang ibu yang melahirkan dan menjalani masa nifas maka ia akan mempunyai perilaku yang mengacu pada pengalaman yang telah dialami sebelumnya. Misalnya ibu nifas yang mengalami masalah baik pada dirinya dan bayinya karena pantang makanan maka wanita usia subur tidak akan melakukan pantang makanan pada masa nifas yang akan dialaminya kelak.

  3. Keyakinan Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun, baik keyakinan yang positif maupun keyakinan yang negatif, tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Tradisi Badapu adalah keyakinan yang telah diperoleh secara turun temurun dan ibu yang melakukan tradisi tersebut mempunyai keyakinan yang positif tentang tradisi tersebut. Demikian juga dengan wanita usia subur yang belum menikah apakah mereka mempunyai keyakinan yang positif atau negatif terhadap tradisi Badapu sehingga pada saat mereka akan mengalami masa nifas apakah merka akan melakukan tradisi tersebut atau tidak.

  4. Fasilitas Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah majalah, radio, koran, televisi, buku, dan lain-lain. Jika sejak dini wanita usia subur sudah mengetahui bagaimana anjuran gizi yang baik untuk masa nifas yang saat ini sangat mudah didapat melalui begitu banyak fasilitas informasi maka bisa saja dia tidak akan melakukan tradisi Badapu pada saat masa nifasnya nanti.

  5. Penghasilan Penghasilan tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun, jika seseorang berpenghasilan cukup besar, maka dia mampu menyediakan fasilitas yang lebih baik.

  6. Sosial budaya Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

  2.4 Sikap Sikap, yaitu tanggap bathin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar subjek atau lingkungan. Dengan demikian, berarti lingkungan akan berperan membentuk perilaku manusia yang hidup didalamnya. Lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang bersifat fisik yang akan mencetak perilaku manusia dengan sifat dan keadaan alam tersebut.

  Dengan kata lain sikap adalah tanggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi sikap tidak dapat dilihat langsung secara nyata tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku yang tertutup.menurut Allport (1954), seperti yang dikutip dalam Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu : 1.

  Kepercyaan (keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek) 2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.

  Tradisi Badapu adalah tradisi yang dilakukan secara turun temurun dan diharuskan terhadap ibu nifas sehingga terkadang ibu nifas melakukan hal ini karena suatu kebiasaan saja dan bisa saja begitu juga dengan wanita usia subur belum berpasangan sebenarnya sudah mendapatkan pengetahuan tentang gizi yang baik untuk masa nifas dan mempunyai sikap yang baik dalam hal ini tetapi tetap melakukan tradisi tersebut.

  Sikap yang positif terhadap nilai-nilai kesehatan terutama nilai gizi biasanya terwujud dalam suatu tindakan nyata. Namun tidak disetiap keadaan kita menjumpai sikap yang sesuai dengan tindakannya. Ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi wanita usia subur dalam melakukan suatu tindakan. Menurut teori yang ada sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu sebagai suatu penghayatan yang terdiri dari menerima, merespon, menghargai dan bertanggung jawab.

  Sikap membuat seseorang untuk dekat atau menjauhi sesuatu. Sikap akan diikuti atau tidak oleh suatu tindakan berdasarkan pada sedikit atau banyaknya pengalaman seseorang. Sikap mempunyai segi motivasi yang berarti segi dinamis menuju suatu tujuan, berusaha untuk mencapai suatu tujuan. Sikap dapat bersifat positif kecenderungan untuk mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan sikap negatif terdapat kecenderungan menjauhi, menghindari, membenci atau tidak menyukai objek tertentu.

  Sikap merupakan faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat mendorong atau menimbulkan perilaku tertentu. Jadi, jika seorang mempunyai sikap yang baik terhadap gizi akan melahirkan perilaku yang baik pula dalam meningkatkan status gizinya, namun kenyataannya sering kali sikap tidak sejalan dengan tindakan. Seperti dalam hal menyediakan kebutuhan makanan bagi keluarga, ibu yang mempunyai sikap positif belum tentu dapat menyediakan kebutuhan gizi keluarga dengan optimal, begitu pula sebaliknya ibu yang mempunyai sikap negatif, dapat menyediakan kebutuhan gizi kelurga dengan optimal.

  2.5 Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian diatas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

  Pengetahuan Tentang Tradisi

  Badapu Tindakan Anemia

  Tradisi Pada Masa Badapu Nifas

  Sikap Tentang Tradisi Badapu

  Gambar. 2.3. Kerangka Konsep Keterangan :

  Pengetahuan dan sikap tentang tradisi Badapu dapat mempengaruhi wanita usia subur nantinya untuk melakukan tradisi Badapu yang dapat menyebabkan anemia pada masa nifas.

  = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti

  2.6 Hipotesis Penelitian Ada hubungan antara pengetahuan dan sikap wanita usia subur yang belum menikah tentang tradisi Badapu.