Analisis Faktor Yang Memengaruhi Hubungan Seksual Pada Lanjut Usia (Lansia) Wanita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013

(1)

ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI HUBUNGAN SEKSUAL PADA LANJUT USIA (LANSIA) WANITA DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS TANAH LUAS KABUPATEN ACEH UTARA TAHUN 2013

SKRIPSI

OLEH :

NUVIAT ZUHRA 111021103

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI HUBUNGAN SEKSUAL PADA LANJUT USIA (LANSIA) WANITA DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS TANAH LUAS KABUPATEN ACEH UTARA TAHUN 2013

S K R I P S I

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh : NUVIAT ZUHRA

111021103

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Skripsi : ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI

HUBUNGAN SEKSUAL PADA LANJUT USIA (LANSIA) WANITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

TANAH LUAS KABUPATEN ACEH UTARA TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : NUVIAT ZUHRA

Nomor Induk Mahasiswa : 111021103

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Peminatan : Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi Tanggal Lulus : 11 Februari 2014

Disahkan Oleh Komisi Pembimbing

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes Asfriyati, SKM, M.Kes

NIP. 195812021991031001 NIP. 197012201994032001

Medan, Februari 2014 Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Dekan

Dr.Drs. Surya Utama, M.S NIP. 19610831 198903 1 001


(4)

ABSTRAK

Seiring proses penuaan, kemampuan seksualitas lanjut usia umumnya akan menurun, sehingga diperlukan suatu penelaahan masalah seksual pada lansia. Fenomena sekarang, tidak semua lansia dapat merasakan kehidupan seksual yang harmonis, ada banyak faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lansia.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode penerapan analisis faktor eksplanatory recearch dimana populasi seluruh lansia yang berusia di atas 60 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara adalah 1200 orang. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 105 orang lansia.

Dari hasil penelitian terdapat 9 (sembilan) variabel yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia (pendidikan, usia, pengetahuan, penyakit, tabu, budaya, daya tarik, kecemasan, dan bosan) setelah dianalisis terbentuk 2 (dua) faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia yaitu faktor 1 (satu) yaitu terdiri dari variabel pengetahuan, penyakit, usia, budaya dan pendidikan yang dinamakan dengan faktor karakteristik. Dan faktor 2 (dua) terdiri dari variabel daya tarik, tabu, kecemasan dan bosan dinamakan faktor psikologis.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan untuk meningkatkan pengetahuan lansia, dengan cara menyebarkan informasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi berdasarkan dengan faktor karakteristik dan faktor psikologis sehingga terbentuknya sikap positif terhadap seksualitas guna menjaga keharmonisan rumah tangga.


(5)

ABSTRACT

As the aging process running, the ability of elderly sexuality generally will decrease, so it is necessary to review of sexual problems of the elderly. In fact, not all of the elderly can experience a harmonious sexual life, there are many factors that influence sexual intercourse in the elderly .

Type of the research is descriptive using a method of applying explanatory factor analysis recearch where entire 1200 people elderly population aged over 60 years old in the Work Land Area of Community Health Center in North Aceh district. While the sample used in this study amounted to 105 elderly.

Based on the result of research, there are 9 (nine) variables that influence sexual intercourse in the elderly (education, age, knowledge, disease, taboos, culture, attractiveness, anxiety, and boredom) when analyzed formed two (2) factors that influence sexual intercourse advanced age is factor 1 (first) is composed of variable knowledge, disease, age, culture and education, called the characteristic factor. And factor 2 (second) consists of variable attractiveness, taboo, anxiety and boredom called psychological factors.

Based on the results of the research can be suggested to improve the knowledge of the elderly, by spreading out information about sexuality and reproductive health characteristics based on the factors and psychological factors so that made positive attitude towards sexuality in order to maintain harmony in family .


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Nuviat Zuhra

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/ 5 November 1979

Agama : Islam

Status Perkawinan : Kawin

Asal : Diploma III

Jumlah Anggota Keluarga : 4 Orang

Alamat Rumah : Jl. Medan-Banda Aceh Desa Alue Awe Buket Rata. Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe. Aceh

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1986 – 1992 : SD Negeri No. 22 Banda Aceh 2. Tahun 1992 – 1995 : MTsS Ulumul Quran Langsa 3. Tahun 1995 – 1998 : MAN 1 Banda Aceh

4. Tahun 1999 – 2002 : Akbid „Aisyiah Yogyakarta

5. Tahun 2011 – 2014 : Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan

Riwayat Pekerjaan

Tahun 2002 – 2003 : Akbid Muhamaddiyah Banda Aceh

Tahun 2003 – 2007 : Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2007 – sekarang : Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan kasih sayang-NYA penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul :

“Analisis Faktor yang Memengaruhi Hubungan Seksual pada Lanjut Usia (Lansia) Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013”

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materiil. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr.Drs.Surya Utama,MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Heru Santosa,MS, Ph.D selaku Ketua Departemen Kependudukan dan Biostatistik FKM USU.

3. Bapak Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing 1 dan Ibu Asfriyati,SKM, M.Kes selaku Dosen Pembimbing 2, yang telah banyak melakukan waktu serta dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan masukan serta saran kepada penulis.

4. Ibu Maya Fitria, SKM, M.Kes selaku Dosen Penguji atas saran dan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah banyak melakukan waktu serta dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan masukan serta saran kepada penulis.


(8)

6. Para Dosen dan Staff di Lingkungan FKM USU.

7. Kepala Dinas Kesehatan Aceh Utara yang telah membantu penelitian penulis.

8. Kepala Puskesmas dan seluruh staff Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara yang telah membantu penelitian penulis.

9. Seluruh para lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

10. Teristimewa untuk suami tercinta serta kedua buah hatiku Naiya dan Furqan yang telah mencurahkan doa serta kasih sayang kepada penulis.

11. Kedua orang tua penulis yang tak henti-hentinya memberikan dukungan dan doa. 12. Teman-teman peminatan Kependudukan dan Biostatistik terimakasih untuk semua

bantuannya.

13. Teman spesial Elisa dan Dijah yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga kebaikan semua pihak yang telah banyak membantu penulis mendapatkan rahmat dan hidayah dari Allah SWT.


(9)

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari semua pihak demi sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya untuk keluarga besar Universitas Sumatera utara.

Medan, Februari 2014 Penulis

NUVIAT ZUHRA 111021103


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Lanjut Usia ... 7

2.1.1 Seksualitas ... 8

2.1.2 Seksualitas pada Laki-laki... 13

2.1.3 Seksualitas pada Perempuan ... 13

2.1.4 Seksualitas pada Usia Lanjut ... 14

2.1.5 Pengaruh Penuaan terhadap Seksual Pria pada Lanjut Usia ... 14

2.1.6 Pengaruh Penuaan terhadap Seksual Wanita pada Lanjut Usia ... 17

2.1.7 Menopause ... 19

2.1.8 Perubahan Seksualitas pada Lanjut Usia... 20

2.2 Analisis Faktor ... 24

2.1.1 Pengertian ... 24

2.1.2 Model Analisis Faktor dan Statistik yang Relevan ... 26

2.2.3 Model Matematik dalam Analisis Faktor ... 28

2.2.4 Langkah-langkah Analisis Faktor ... 29


(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Lokasi dan Waktu Penelian ... 40

3.3 Populasi dan Sampel ... 40

3.3.1 Populasi ... 40

3.3.2 Sampel ... 40

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 42

3.5 Defenisi Operasional ... 42

3.6 Aspek Pengukuran ... 43

3.7 Teknik Analisis Data ... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 46

4.1 Gambaran Umum Puskesmas Tanah Luas ... 46

4.1.1 Lokasi Puskesmas Tanah Luas ... 46

4.1.2 Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas ... 46

4.2 Gambaran Responden ... 46

4.3 Analisis Faktor ... 47

4.3.1 Uji Kelayakan Faktor ... 48

4.3.2 Faktoring ... 49

4.3.3 Communalities ... 49

4.3.4 Total Variance Explained ... 50

4.3.5 Scree Plot ... 51

4.3.6 Component Matrix ... 52

4.3.7 Rotated Component Matrix ... 53

4.3.8 Component Transformation Matrix ... 55

4.3.9 Interpretasi dan Penamaan Faktor ... 56

BAB V PEMBAHASAN ... 58

5.1 Faktor Karakteristik ... 58

5.2 Faktor Psikologis ... 62

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

6.1 Kesimpulan ... 65


(12)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner ... 58

Lampiran 2 Surat Izin Penelitian ... 62

Lampiran 3 Surat Selesai Melakukan Penelitian ... 63

Lampiran 4 Master Data ... 64

Lampiran 5 Hasil Analisis Faktor ... 68

Lampiran 6 Tabel Distribusi Data Responden Lanjut Usia Wanita yang Berusia ≥ 60 tahun yang Berkunjung ke Puskesmas Tanah Luas dari Tanggal 8 s/d 18 Mei 2013 ... 75


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 46

Tabel 4.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 47

Tabel 4.3. Nilai Anti Image Matrix ... 48

Tabel 4.4. Communalities ... 49

Tabel 4.5. Total Variance Explained ... 51

Tabel 4.6. Component Matrix ... 52

Tabel 4.7. Rotated Component Matrix ... 54


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian ... 39 Gambar 4.3.5. Scree Plot ... 52


(15)

ABSTRAK

Seiring proses penuaan, kemampuan seksualitas lanjut usia umumnya akan menurun, sehingga diperlukan suatu penelaahan masalah seksual pada lansia. Fenomena sekarang, tidak semua lansia dapat merasakan kehidupan seksual yang harmonis, ada banyak faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lansia.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan metode penerapan analisis faktor eksplanatory recearch dimana populasi seluruh lansia yang berusia di atas 60 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara adalah 1200 orang. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 105 orang lansia.

Dari hasil penelitian terdapat 9 (sembilan) variabel yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia (pendidikan, usia, pengetahuan, penyakit, tabu, budaya, daya tarik, kecemasan, dan bosan) setelah dianalisis terbentuk 2 (dua) faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia yaitu faktor 1 (satu) yaitu terdiri dari variabel pengetahuan, penyakit, usia, budaya dan pendidikan yang dinamakan dengan faktor karakteristik. Dan faktor 2 (dua) terdiri dari variabel daya tarik, tabu, kecemasan dan bosan dinamakan faktor psikologis.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan untuk meningkatkan pengetahuan lansia, dengan cara menyebarkan informasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi berdasarkan dengan faktor karakteristik dan faktor psikologis sehingga terbentuknya sikap positif terhadap seksualitas guna menjaga keharmonisan rumah tangga.


(16)

ABSTRACT

As the aging process running, the ability of elderly sexuality generally will decrease, so it is necessary to review of sexual problems of the elderly. In fact, not all of the elderly can experience a harmonious sexual life, there are many factors that influence sexual intercourse in the elderly .

Type of the research is descriptive using a method of applying explanatory factor analysis recearch where entire 1200 people elderly population aged over 60 years old in the Work Land Area of Community Health Center in North Aceh district. While the sample used in this study amounted to 105 elderly.

Based on the result of research, there are 9 (nine) variables that influence sexual intercourse in the elderly (education, age, knowledge, disease, taboos, culture, attractiveness, anxiety, and boredom) when analyzed formed two (2) factors that influence sexual intercourse advanced age is factor 1 (first) is composed of variable knowledge, disease, age, culture and education, called the characteristic factor. And factor 2 (second) consists of variable attractiveness, taboo, anxiety and boredom called psychological factors.

Based on the results of the research can be suggested to improve the knowledge of the elderly, by spreading out information about sexuality and reproductive health characteristics based on the factors and psychological factors so that made positive attitude towards sexuality in order to maintain harmony in family .


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Penuaan adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, terus-menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam, 2008). Secara umum kondisi fisik seseorang yang telah memasuki usia lanjut mengalami perubahan, dan sebagian besar perubahan itu terjadi ke arah yang memburuk/ mengalami penurunan, misalnya, organ reproduksi lebih cepat usang dibanding organ yang lain, perubahan penampilan, perubahan panca indra, perubahan seksual (Hurlock, 1999).

Menurut Blanch dan Collier (1993) seksualitas adalah kenikmatan yang merupakan bentuk interaksi antara pikiran dan tubuh. Umumnya seksualitas melibatkan panca indra (aroma, rasa, penglihatan, pendengaran, sentuhan) dan otak (organ yang paling kuat terkait dalam seks dalam fungsi fantasi, antisipasi, memori, atau pengalaman). Tujuan seksualitas itu sendiri secara umum yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia, sedangkan tujuan seksualitas secara khusus, yaitu prokresi (menciptakan atau meneruskan keturunan) dan rekreasi (memperoleh kenikmatan biologis/ seksual) (Kusmiran, 2011).

Seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin disebut dengan seksualitas. Menurut Masters, Jonshon, dan Kolodny (1992), seksualitas menyangkut berbagai dimensi, diantaranya adalah dimensi biologis, psikologis, sosial dan kultur. Berdasarkan perspektif biologis (fisik), seksualitas berkaitan dengan anatomi dan fungsional alat reproduksi serta dampaknya bagi kehidupan fisik atau biologis manusia. Berdasarkan dimensi psikologis, seksualitas berhubungan erat dengan bagaimana manusia menjalani fungsi seksual


(18)

dan psikologis dalam kehidupan manusia. Dampak sosial melihat bagaimana seksualitas mensosialisasikan peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia. Dan dimensi kultur dan moral menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya dan moral mempunyai penilaian terhadap seksualitas yang berbeda dengan negara barat (Kusmiran, 2011).

Pada usia lanjut maka daya kemampuan seksual baik pada wanita maupun pada pria mengalami kemunduran, namun tidaklah berarti bahwa kenikmatan seks hilang sama sekali, hanya membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai orgasme, sedangkan orgasmenya sendiri berlangsung lebih pendek (Hurlock, 1999). Menurut Darmojo dan Martono, pada usia lanjut terdapat dua faktor yang mempengaruhi aktivitas seksual, yang dapat dibagi menjadi faktor internal, yaitu faktor fisik, penyakit dan psikologis (kesepian/ duka cita, depresi) serta faktor eksternal yang datangnya dari kebudayaan dan obat-obatan. Faktor fisik menyangkut faktor hormonal, biasanya pada pria lanjut usia terjadi penurunan sirkulasi hormon testosteron, membutuhkan waktu lebih lama untuk ereksi dan ejakulasi, membutuhkan stimulasi manual yang lebih banyak (Oktaviani, 2010). Sedangkan pada wanita menurut Hawton (1993) pengaruh utama seksualitas dihubungkan dengan perubahan yang terjadi pada saat menopause, terjadi perubahan stimulasi sensori dan aliran darah akibat penurunan hormon estrogen, vagina menjadi kurang fleksibel dan mungkin membutuhkan pelumas buatan (Papalia, 2008).

Faktor psikologis yang menyebabkan fungsi dan potensi seksualitas pada lanjut usia menurun meliputi rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksualitas pada lanjut usia, kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupan dan masalah kesehatan jiwa yang mungkin muncul. Menurut Pangkahila (2008) faktor psikologis yang menghambat fungsi seksualitas pada usia lanjut, meliputi perasaan jemu dengan situasi sehari-hari, khususnya dalam hubungan dengan pasangan, perasaan kehilangan kemampuan seksualitas


(19)

dan daya tarik, perasaan kesepian, dan perasaan takut dianggap tidak wajar bila masih aktif melakukan hubungan seksualitas (Ropei, 2010).

Perubahan psikologis dalam seksualitas ini tidak mengandung arti bahwa dalam keadaan normal orang tengah baya atau lanjut usia tidak dapat menikmati hubungan seks lagi. Dalam hal ini kebudayaan masyarakat ikut mempengaruhi, begitu pula faktor kesehatan juga menentukan. Pandangan bahwa hubungan seks pada usia lanjut tidak terpuji ataupun dapat menimbulkan penyakit perlu dihilangi lebih dulu, khususnya di Indonesia (Monks, 2004). Menurut Warsono (2010) yang mengutip pendapat Tamher, tingkat pendidikan juga merupakan hal terpenting dalam menghadapi masalah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin banyak pengalaman hidup yang dilaluinya, sehingga akan lebih siap dalam menghadapi masalah yang terjadi. Sedangkan menurut Papalia (2008), halangan utama mereka untuk memenuhi kehidupan seksual adalah kecenderungan ketiadaan pasangan.

Pria sehat yang lebih aktif secara seksual dapat terus melakukan beberapa bentuk ekspresi seksual aktif pada usia lanjut. Fungsi terpenting dalam mempertahankan seksual adalah aktivitas seksual yang konsisten dari tahun ke tahun (Papalia, 2008). Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) naluri seks dalam tubuh pria lebih nyata dan lebih kuat perangsangan dapat timbul secara tidak disadari pada tubuh dan perasaan, sehingga terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan seperti banyak pria lansia melakukan pelecehan seksual yaitu melakukan hubungan seksual dengan anak kecil sebanyak 55% yang menyangkut rendahnya frekuensi hubungan seksual di usia lanjut, persoalannya lebih terletak pada turunnya minat seksual istri (Oktaviani, 2010).

Menurut hasil penelitian Warsono (2010) tentang hubungan karakteristik usia lanjut dengan pemenuhan kebutuhan seksualitas usia lanjut di Kelurahan Karangroto Kecamatan


(20)

Genuk Kota Semarang sebagian besar mengatakan bahwa lansia dalam pemenuhan kebutuhan seksualnya mengalami penurunan, semua itu dipengaruhi oleh keadaan fisiknya, dan faktor-faktor lain.

Berdasarkan Database Usila Puskesmas Tanah Luas tahun 2012, wilayah kerja Puskesmas Tanah Luas mempunyai jumlah lansia berusia > 60 tahun sebanyak 1200 orang dengan rata-rata kunjungan lansia ke puskesmas adalah 400 orang. Dari survei awal penelitian melalui wawancara yang dilakukan pada tanggal 3 September 2012 di Puskesmas Tanah Luas kepada 7 orang lansia menunjukkan bahwa 4 responden yang berusia 60-63 tahun (1 laki-laki, dan 3 perempuan) mengatakan bahwa hubungan seksual pada usia lanjut tidak perlu dan malu terhadap cucu, dan 2 responden mengakui bahwasanya pihak wanita menolak dengan alasan sudah tua sehingga mereka cenderung untuk bersama cucu, sedangkan 1 responden mengakui faktor kesehatan.

Oleh karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lansia maka perlu dilakukan analisis dengan menggunakan analisis faktor. Analisis faktor merupakan salah satu teknik analisis multivariat yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan pemecahan masalah-masalah yang membutuhkan pengkajian secara menyeluruh terhadap suatu

hal yang dipelajari. Proses analisis faktor mencoba menemukan hubungan antar sejumlah variabel-variabel yang saling independen satu dengan yang lain, sehingga dibuat satu atau

beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal (Santoso, 2005).

Maka berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Analisis Faktor yang Memengaruhi Hubungan Seksual Lanjut Usia (Lansia) Wanita di Wilayah Kerja Puskesmas Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara Tahun 2013.


(21)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah karena banyaknya faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia (lansia), maka perlu diringkas faktor mana saja yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia (lansia) dengan cara/ menggunakan metoda analisis faktor.

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk meringkas beberapa variabel menjadi beberapa faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia (lansia) dengan metoda analisis faktor di wilayah kerja puskesmas tanah luas kabupaten Aceh Utara tahun 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk memilih variabel-variabel dominan yang mempengaruhi hubungan seksual pada lansia yang dimasukkan dalam analisis faktor.

2. Untuk mengelompokkan variabel faktor yang mempengaruhi hubungan seksual pada lansia menjadi satu atau beberapa faktor.

1.4Manfaat Penelitian 1. Bagi Lanjut usia

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan wawasan bagi para lanjut usia sehingga terbentuknya sikap yang positif terhadap seksualitas guna menjaga keharmonisan rumah tangga.


(22)

2. Bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan kepada pihak Puskesmas sebagai dasar untuk membuat suatu kebijakan terkait faktor-faktor yang memengaruhi hubungan seksual pada lanjut usia, guna meningkatkan pengetahuan lansia.

3. Bagi Peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan perbandingan serta data awal bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang sama.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lanjut Usia

Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan secara bertahap dalam jangka waktu tertentu. Menurut WHO, lansia dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu :

1. Usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun 2. Lansia (ederly) : usia 60-74 tahun 3. Lansia tua (old) : usia 75-90 tahun 4. Usia sangat tua (very old) : usia di atas 90 tahun

Departemen Kesehatan RI (2006) memberikan batasan lansia sebagai berikut :

1. Virilitas (prasenium) : Masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun).

2. Usia lanjut dini (sevescen) : kelompok yang memasuki masa usia lanjut dini (usia 60-64 tahun).

3. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif : Usia di atas 65 tahun.

Pengertian lansia dibedakan atas 2 macam, yaitu lansia kronologis (kelender) dan lansia biologis. Lansia kronologis mudah diketahui dan dihitung, sedangkan lansia biologis berpatokan pada keadaan jaringan tubuh. Individu yang berusia muda tetapi secara biologis dapat tergolong lansia jika dilihat dari keadaan jaringan tubuhnya. Lanjut usia merupakan proses alamiah dan berkesinambungan yang mengalami perubahan anatomi, fisiologis, dan biokimia pada jaringan


(24)

atau organ yang pada akhirnya mempengaruhi keadaan fungsi dan keadaan badan secara keseluruhan (Fatimah, 2010).

2.1.1 Seksualitas

Manusia adalah mahkluk seksual. Seksualitas diartikan sebagai :

a. Aktivitas, perasaan, dan sikap yang dihubungkan dengan reproduksi,dan

b. Bagaimana laki-laki dan perempuan berinteraksi dalam berpasangan dan di dalam kelompok.

Jika diterjemahkan ke dalam bahasa yang sederhana, seksualitas adalah bagaimana orang merasakan dan mengekspresikan sifat dasar dan ciri-ciri seksualnya yang khusus.

Aktivitas seksual adalah tindakan fisik atau mental yang menstimulasi, merangsang, dan memuaskan secara jasmaniah. Tindakan itu dilakukan sebagai cara yang penting bagi seseorang untuk mengeskpresikan perasaan dan daya tarik kepada orang lain (Masland, 2006).

Hubungan seksual dalam perkawinan memang sangat penting namun bukan segala-galanya. Hubungan seksual mempunyai banyak makna, antara lain:

a. Suami-istri saling memberikan maaf

b. Suami-istri saling mengucapkan terima kasih c. Suami-istri saling menyatakan cinta

d. Suami-istri saling memperbaharui janji perkawinan

e. Suami-istri saling melepaskan kecemasan dan kemarahannya f. Suami-istri saling membangun komunikasi

g. Suami-istri saling membuat hidup lebih dihayati h. Suami-istri saling menegur satu sama lain i. Suami-istri saling menentramkan


(25)

j. Cara untuk meneruskan keturunan (Tujan, 1994).

Seks berarti jenis kelamin. Segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin disebut dengan seksualitas. Menurut Masters, Jonshon, dan Kolodny (1992), seksualitas menyangkut berbagai dimensi, diantaranya adalah dimensi biologis, psikologis, sosial dan kultur.

a. Dimensi Biologis

Berdasarkan perspektif biologis (fisik), seksualitas berkaitan dengan anatomi dan fungsional alat reproduksi atau kelamin manusia, serta dampaknya bagi kehidupan fisik atau biologis manusia. Termasuk didalamnya menjaga kesehatannya dari gangguan seperti penyakit menular seksual, infeksi saluran reproduksi (ISR), bagaimana memfungsikan seksualitas sebagai alat reproduksi sekaligus alat rekreasi secara optimal, serta dinamika munculnya dorongan seksual secara biologis.

b. Dimensi Psikologis

Berdasarkan dimensi ini, seksualitas berhubungan erat dengan bagaimana manusia menjalani fungsi seksual sesuai dengan identitas jenis kelaminnya, dan bagaimana dinamika aspek-aspek psikologis (kognisi, emosi, motivasi, perilaku) terhadap seksualitas itu sendiri, serta bagaimana dampak psikologis dari keberfungsian seksualitas dalam kehidupan manusia. Misalnya bagaimana seseorang berperilaku sebagaimana laki-laki atau perempuan, bagaimana seseorang mendapatkan kepuasan psikologi dari perilaku yang dihubungkan dengan identitas peran jenis kelamin, serta bagaimana perilaku seksualnya dan motif yang melatar belakangi.

c. Dimensi Sosial

Dampak sosial melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana seseorang beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan tuntutan peran dari


(26)

lingkungan sosial, serta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia.

d. Dimensi Kultural dan Moral

Dimensi ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai budaya dan moral mempunyai penilaian terhadap seksualitas yang berbeda dengan negara barat. Seksualitas di negara-negara barat pada umumnya menjadi salah satu aspek kehidupan yang terbuka dan menjadi hak asasi manusia. Beda halnya dengan moralitas agama, menganggap bahwasanya seksualitas sepenuhnya adalah hak Tuhan sehingga penggunaan dan pemanfaatannya harus dilandasi dengan norma-norma agama yang sudah mengatur kehidupan seksualitas manusia secara lengkap.

Menurut Blanch dan Collier (1993), seksualitas meliputi lima area : 1. Seksualitas

kenikmatan yang merupakan bentuk interaksi antara pikiran dan tubuh. Umumnya seksualitas melibatkan panca indra (aroma, rasa, penglihatan, pendengaran, sentuhan) dan otak (organ yang paling kuat terkait dalam seks dalam fungsi fantasi, antisipasi, memori, atau pengalaman)

2. Intimacy

Ikatan emosional atau kedekatan dalam reaksi interpersonal. Biasanya mengandung unsur-unsur kepercayaan, keterbukaan diri, kelengketan dengan orang lain, kehangatan, kedekatan fisik, dan saling menghargai.

3. Identitas

Peran jenis kelamin yang mengandung pesan-pesan gender perempuan dan laki-laki, dan mitos-mitos (feminimitas dan maskulinitas), serta orientasi seksual. Hal ini juga


(27)

menyangkut bagaimana seseorang menghayati peran jenis kelamin sesuai dengan jenis kelaminnya.

4. Lingkaran kehidupan

Aspek biologis dari seksualitas yang terkait dengan anatomi dan fsiologi organ seksual. 5. Eksploitasi

Unsur kontrol dan manipulasi terhadap seksualitas, seperti kekerasan seksual, pornografi, pemerkosaan, dan pelecehan seksual.

Sementara itu, menurut Hidayat (1997), ruang lingkup seksualitas terbagi atas hal-hal berikut.

1. Seksual biologis

Komponen yang mengandung beberapa ciri dasar seks yang terlihat pada individu yang bersangkutan (kromosom, hormon, serta ciri seks primer dan sekunder). Ciri seks primer timbul sejak lahir, yaitu alat kelamin luar dan alat kelamin dalam. Ciri seks sekunder timbul saat seseorang meningkat dewasa, misalnya timbul bulu-bulu badan di tempat tertentu (ketiak, dada), berkembangnya payudara perempuan, dan perubahan suara laki-laki.

2. Identitas seksual

Identitas seksual adalah konsep diri pada individu yang menyatakan dirinya laki-laki atau perempuan. Identitas seksual dalam bentuknya banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan tokoh yang sangat penting (orang tua).

3. Identitas gender

Identitas gender adalah penghayatan perasaan kelaki-lakian atau keperempuanan yang dinyatakan dalam bentuk perilaku sebagai laki-laki atau perempuan dalam lingkungan


(28)

budayanya. Identitas budaya merupakan interaksi antara faktor fisik dan psikoseksual. Interaksi yang harmonis diantara kedua faktor ini akan menunjang perkembangan norma seorang perempuan atau laki-laki.

4. Perilaku seksual

Perilaku seksual yaitu orientasi seksual dari seorang individu, yang merupakan interaksi antara kedua unsur yang sulit dipisahkan, tingkah laku seksual didasari oleh dorongan seksual untuk mencari dan memperoleh kepuasan seksual, yaitu orgasmus.

Tujuan seksualitas

1. Tujuan umum : meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia. 2. Tujuan khusus :

a. Prokresi (menciptakan atau meneruskan keturunan). b. Rekreasi (memperoleh kenikmatan biologis/seksual)

(Kusmiran, 2011).

2.1.2 Seksualitas pada Laki-laki

Para ahli menemukan bahwa kadar testosteron mencapai puncaknya ketika masa remaja akhir, dan ini berlangsung ketika dorongan seks laki-laki biasanya mencapai tingkat yang tertinggi. Dorongan seks, bagaimanapun, merupakan istilah yang subjektif, dan apa yang sesungguhnya terjadi adalah bagaimana si pria yang bersangkutan merasa tertarik dalam aktivitas seksual. Berarti, menurunnya kadar testosteron pada usia-usia tua sebenarnya secara perlahan-lahan. Dengan kata lain dorongan seks laki-laki, sekurang-kurangnya diukur berdasarkan kadar testosteron, pada dasarnya menetap pada usianya 40-an atau 50-an.


(29)

2.1.3 Seksualitas pada Perempuan

Tidak diketahui atau tidak ada usia tertentu ketika seseorang mencapai puncak tingginya dorongan seksual atau kemampuan untuk merasakan nafsu seksual. Beberapa ahli telah mengidentifikasi bahwa puncaknya pada usia 35 tahun, tetapi tidak ada bukti ilmiah yang tepat untuk menentukan kapan saatnya bagi setiap orang khususnya perempuan. Para ahli telah menemukan bahwa kadar hormon perempuan biasanya meninggi sekitar usia 35 tahun, tetapi apa yang sebenarnya terjadi untuk mengukur dorongan seksual adalah dengan merasakan apa yang akan terjadi pada pikiran dan emosi seseorang.

Sama sekali tidak, perasaan terhadap seks dan minatnya mungkin sangat bervariasi, tetapi kemampuan seorang perempuan untuk melakukan hubungan intim sejauh ini, memiliki hasrat sehat, dan tentu saja mempunyai pasangan (Masland, 2006).

2.1.4 Seksualitas pada Usia Lanjut

Orang yang secara fisik sehat dan merasa sangat normal cenderung melakukan aktivitas seksual sepanjang hidup mereka, kira-kira mendekati usia 70-an. Ini berarti tidak ada waktu yang khusus kapan seseorang berhenti melakukan hubungan seks hanya karena beberapa pasangan menonaktifkan diri dari kegiatan itu (Masland, 2006).

Penyesuaian fisik yang paling sulit dilakukan oleh pria maupun wanita pada usia madya (40-60 tahun) terdapat pada perubahan-perubahan kemampuan seksual mereka. Wanita memasuki masa menopause atau perubahan hidup. Adapun pria mengalami masa klimaterik pria. Terdapat fakta yang berkembang bahwa perubahan tersebut merupakan bagian yang normal dari pola kehidupan dan juga diketahui bahwa perubahan-perubahan psikologis selama usia madya lebih merupakan akibat dari tekanan emosional dari pada gangguan fisik.


(30)

2.1.5 Pengaruh Penuaan Terhadap Seksual Pria pada Lanjut Usia

Tingkat puncak timbulnya kegairahan seksual kemungkinan terjadi lebih cepat pada pria dari pada wanita, semasa remaja atau awal usia dua puluhan. Pada masa tua tampaknya tidak terdapat perubahan hormon cepat yang sama pada pria sebagaimana yang terjadi semasa menopause pada wanita. Akan tetapi, terdapat reduksi secara bertahap dalam jumlah testosteron dengan meningkatnya usia (Hawton, 1993).

Laki-laki tidak kehilangan kemampuan mereka untuk melakukan hubungan intim pada usia tertentu. Hanya saja, kemampuan mereka untuk melakukannya secara berulang-ulang atau mengurangi ereksi dan ejakulasi biasanya mulai berkurang ketika berusia 40 atau 50-an.

Laki-laki tetap subur (mampu memproduksi sperma yang memadai) dan mampu melakukan hubungan intim sampai usia 60-an. Karena jumlah sperma laki-laki mulai berkurang, agak sulit dipercaya bahwa seorang laki-laki di masa lalu pada usia pertengahan 60-an atau memasuki usia 70-60-an ak60-an berhasil menghamili seor60-ang perempu60-an. Mem60-ang ada contoh laki-laki menjadi seorang ayah pada usia 70-an. Sejumlah laki-laki pada usia itu cukup subur, dapat ereksi, dan dapat ejakulasi. Pada usia berapa pun seorang laki-laki mungkin secara temporer atau permanen kehilangan kemampuannya untuk melakukan hubungan intim karena sakit atau menjalani penggobatan yang menganggu kemampuan seksual khususnya kemampuan ereksi penuh. Perubahan dalam ukuran penis selama ereksi kurang nyata, dan ketegangan ereksi kemungkinan lebih berkurang dibandingkan ketika berusia lebih muda. Sudut penis yang sedang berereksi biasanya meningkat. Lebih banyak rangsangan dibutuhkan sebelum terjadinya ejakulasi, ejakulasi berkurang dan air mani yang dihasilkan berkurang. Juga kebutuhan ejakulasi tampaknya berkurang dengan meningkatnya usia. Fase resolusi yang mengikuti ejakulasi menjadi lebih cepat. Periode penyusutan mungkin lebih lama hingga mencapai beberapa jam


(31)

atau bahkan beberapa hari. Sama seperti pada wanita, pengaruh umum proses menua yang lain, misalnya kegemukan (obesitas), atritis, penyakit dan pengobatannya juga relevan terhadap pria yang lebih tua (Masland, 2006).

Klimakterik pada pria sangat berbeda dengan menopause pada wanita. Klimaterik datang kemudian, biasanya pada usia 60 atau 70 tahunan, dan berjalan sangat lambat. Dengan datangnya penuaan secara umum pada seluruh tubuh, terjadi penurunan secara bertahap daya seksual dan reproduksi pria, yang berhubungan dengan ketidakseimbangan hormonal (Jahja, 2011). Jika hormon testosteron menurun tajam, maka dorongan seksual terhambat, fungsi ereksi/ relaksi otot polos vagina juga terhambat. Ini berarti aktivitas seksual, yang merupakan salah satu aspek dalam ranah hubungan sosial menjadi terganggu.

Disfungsi seksual pada pria dan usia lanjut dimanisfestasikan dalam keluhan sebagai berikut :

1. Menurunnya dorongan seksual

2. Memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai ereksi 3. Memerlukan rangsangan langsung pada penis

4. Berkurangnya intensitas ejakulasi 5. Berkurangnya rigiditas penis

6. Periode refrakter menjadi lebih lama

Penyebab disfungsi seksual pada pria usia lanjut ialah berkurangnya testosteron bebas, berkurangnya metabolisme secara umum, proses degeneratif pada semua organ, dan meningkatnya nilai ambang terhadap testosteron. Faktor lain yang menghambat fungsi seksual pada usia lanjut ialah faktor psikis, seperti kejenuhan seksual, hilangnya daya tarik pasangan, perasaan cemas dan takut gagal melakukan hubungan seksual. Keluhan seksual usia lanjut


(32)

menjadi lebih buruk bila terdapat gangguan penyakit atau gaya hidup yang berkaitan dengan fungsi seksual, antara lain diabetes, penyakit kardiovaskular, merokok dan alkohol berlebihan (Pangkahila, 2008).

Meskipun begitu, pria sering melaporkan kepuasan seksual yang besar di samping perubahan tersebut, dan kegiatan seksual tetap dipertahankan oleh banyak pria hingga usia tua. Sebagai contoh dalam telaah Person di Swedia, 46% dari 166 pria berusia 70 tahun, ditemukan aktif secara seksual, dengan angka sebesar 52% bagi yang menikah (Masland, 2006).

2.1.6 Pengaruh Penuaan Terhadap Seksual Wanita pada Lanjut Usia

Pengaruh utama proses menua pada seksualitas wanita dihubungkan dengan perubahan pada saat menopause. Faktor penting adalah reduksi yang menandai sirkulasi estrogen yang ditemukan pada wanita sesudah menopause. Hormon estrogen penting untuk mempertahankan keadaan normal vagina dan untuk tanggapan seksual. Selaput lendir vagina sesudah menopause mengalami penipisan. Di samping itu, terjadi pengurangan pelumasan selama bangkitnya gairah seksual. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan selama bersenggama. Terdapat beberapa bukti bahwa jika seorang wanita tetap aktif secara seksual, perubahan tersebut kurang nyata. Proses menua juga mengakibatkan beberapa penyusutan vagina dan labia minora. Kepekaan vagina berkurang (Hawton, 1993). Secara umum pengaruh penuaan fungsi seksual wanita sering dihubungkan dengan penurunan hormon,seperti berikut ini :

1. Lubrikasi vagina memerlukan waktu lebih lama

2. Pengembangan dinding vagina berkurang pada panjang dan lebarnya 3. Dinding vagina menjadi tipis dan mudah teriritasi

4. Selama hubungan seksual dapat terjadi iritasi pada kandung kemih dan uretra 5. Sekresi vagina berkurang keasamannya, meningkat kemungkinan terjadi infeksi


(33)

6. Penurunan elivasi uterus

7. Atrofi labia mayora dan ukuran klitoris menurun 8. Fase orgasme lebih pendek

9. Fase resolusi muncul lebih cepat

10. Kemampuan multipel orgasme masih baik.

Aktivitas seksual mungkin terbatas karena ketidakmampuan spesifik, tetapi dorongan seksual, ekspresi cinta, dan perhatian tidak mengalami penurunan yang sama. Dari pada penurunan fungsi seksual diasumsikan dengan sakit, lebih baik perhatian difokuskan pada sesuatu yang masih mungkin dilakukan. Mengembangkan kepercayaan diri dan membentuk ekspresi seksual yang baru dapat banyak membantu pada lansia yang mengalami ketidakmampuan seksual.

Atritis dengan deformitas pada sendi, kemungkinan terjadi kontraktur dan nyeri, kanker dengan nyeri dan komplikasi operasi, kemoterapi dan radiasi, gangguan neoromuskular yang menyebabkan atrofi otot, tonus yang tidak normal, dan gerakan yang tidak normal menyebabkan lansia merasa kurang menarik dan tidak mempunyai daya tarik seksual. Perasaan negatif ini menghambat pengembangan emosi dan fisik. Beberapa penyakit dihubungkan dengan daya tahan atau nyeri dapat menyebabkan gangguan seksual dan aktivitas. Penyakit kronis menyebabkan ketakutan dan menghalangi dorongan aktivitas seksual. Ketakutan dan persepsi negatif harus diatasi sehingga lansia dapat menikmati kehidupan/ hubungan seksualnya.

Pada beberapa lansia, kunci utama mempertahankan hubungan seksual secara penuh adalah kemampuan untuk mengubah pola lama ke pola baru dengan baik (Pudjiastuti, 2002). Akan tetapi, walaupun pengaruh proses menua sangat mengganggu seksualitas wanita, penemuan bahwa banyak wanita tetap aktif secara seksual dan menikmati hubungan seks hingga


(34)

usia 60 tahun, 70 tahun, dan bahkan 80 tahun sangat menggembirakan. Sebagai contoh, Persson (1980) di Swedia menemukan bahwa 16% dari 266 wanita berusia 70 tahun tetap aktif secara seksual. Dalam studi ini, 36% dari 91 wanita yang menikah masih tetap aktif (Hawton, 1993). 2.1.7 Menopause

Menopause adalah saat berhentinya siklus menstruasi dalam kehidupan seorang perempuan. Ini berarti, seorang perempuan berhenti ovulasi karena jumlah hormon estrogen yang diproduksi tidak cukup untuk menghasilkan periode menstruasi.

Menopause terjadi pada saat yang berbeda pada seorang perempuan. Masa tersebut dapat saja terjadi setiap saat usia awal 40-an sampai awal 50-an. Apabila perempuan dalam keluarga tertentu mengikuti pola menopause pada usia pertengahan 40-an kemungkinan besar seorang perempuan dalam keluarga itu mengalami menopause pada usia 45 atau 46. Apabila seorang perempuan menjalani operasi pengangkatan kandungan telur, atau jika ovarium telah diradiasi atau dikemoterapi, maka menopause akan terjadi lebih awal (Masland, 2006).

2.1.8 Perubahan Seksualitas pada Lansia

Seiring proses penuaan, kemampuan seksualitas juga akan mengalami penurunan. Kemampuan untuk mempertahankan seks yang aktif sampai usia lanjut bergantung pada beberapa faktor, diantaranya yaitu :

a. Usia

Pada usia 60 tahun ke atas mulai mengalami kemunduran dari tahun-tahun kreatif sebelumnya. Orang yang tua mulai cenderung merasa tidak berguna lagi. Masa lampau lebih dibanggakan. Terasa sekali kemunduran pesat di bidang kekuatan fisik dan daya tahan mental.


(35)

Masa tua bukan merupakan halangan untuk aktivitas seksual. Laki-laki dan wanita dalam kondisi fisik dan emosional yang baik masih mampu untuk melakukan aktivitas seksual sampai usia lanjut (Tukan, 1994).

Seiring dengan bertambahnya usia, keingginan seseorang untuk melakukan hubungan seks umumnya akan menurun. Hal ini biasanya dipicu karena adanya perubahan hormon dalam tubuh, khususnya pada perempuan (Kompas, 2012).

b. Pendidikan

Untuk dapat berkomunikasi dengan berhasil maka suami istri harus mempunyai taraf pendidikan yang relatif sama (Tukan, 1994). Orang yang berpendidikan, secara seksual akan mempunyai beberapa kualitas diri dan kecakapan tertentu misalnya, bertanggungjawab terhadap keputusan seksual yang diambil berkaitan dengan apa yang dibutuhkan dan keinginan.

c. Pengetahuan

Pada tingkat individu, pertumbuhan pemahaman seksualitas seseorang akan menambah perkembangan pribadinya, kepercayaan diri, kedewasaan, dan kecakapan mengambil keputusan (Halstead, 2006). Banyak pasangan yang masih menganggap bahwa hubungan seks hanyalah terbatas penyaluran kebutuhan biologis semata. Ini adalah pemahaman yang salah besar. Lebih jauh, hubungan seks haruslah dipahami sebagai sarana untuk refreshing dan rekreasi. Terlebih lagi, aktivitas seks merupakan suatu bentuk atau sarana untuk menjaga keharmonisan di dalam rumah tangga (waspada, 2012).

d. Penyakit

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes


(36)

millitus, vaginitis (Narsevhybuntu, 2012). Menurut Stanley & Beare (2006), obat-obatan berpengaruh terhadap aktivitas seksual lansia. Konsumsi berbagai obat yang berbeda dan metabolisme obat tersebut dipengaruhi oleh proses penuaan, sehingga efek dari obat-obat tersebut dapat mempengaruhi siklus respon seksual (Oktaviani, 2010).

e. Budaya

Menurut Darmojo dan Martono (2006), faktor eksternal yang mempengaruhi aktivitas seksual berupa budaya yang berkembang di masyarakat, menganggap aktivitas seksual tidak layak lagi dilakukan oleh para lansia, sehingga menyebabkan keinginan dalam diri mereka ditekan yang memberikan dampak penurunan aktivitas seksual.

f. Menopause

Perubahan tubuh dan emosi secara umum terjadi pada saat menopause, tetapi tidak berlaku disebabkan atau berhubungan dengan keadaan tersebut. Berhentinya menstruasi hanya merupakan salah satu aspek dari menopause. Sistem reproduksi menurun dan berhenti sebagai akibatnya, maka tidak lagi memproduksi hormon ovarium dan hormon progesteron (Jahja, 2011). Di samping itu, terjadi pengurangan pelumasan selama bangkitnya gairah seksual. Faktor-faktor ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan selama bersenggama (Hawton, 1993).

Menopause, yaitu masa berhentinya haid membawa banyak perubahan pada fisik seorang wanita. Akibat dari menopause adalah terjadi perubahan bentuk tubuh, buah dada wanita menjadi kurang menarik lagi, dan dinding vagina menjadi tipis. Menopause pada wanita tidak selalu mempengaruhi kepuasan kontak seksual, meskipun ada perubahan-perubahan biologis-fisiologis tersebut (Hurlock, 1999).


(37)

Perubahan-perubahan yang terjadi pada alat-alat seksual wanita dan faalnya karena proses menua, terutama disebabkan oleh menciutnya indung telur (dengan akibat menurunnya dan kemudian hilangnya hormon kewanitaan terutama estrogen. Perubahan-perubahan itu dapat diringkaskan sebagai berikut :

a. Menstruasi menjadi tak teratur dan semakin sedikit, lalu lama-kelamaan berhenti sama sekali.

b. Buah dada menipis, menjadi lembek dan menggantung.

c. Rahim dan indung telur menciut dan kemudian fungsinya sangat berkurang. Hal ini mengakibatkan vagina kehilangan elastisitasnya, kebasahannya, sehingga seringkali meradang. Lama-kelamaan mengecil juga dan pada persetubuhan menimbulkan rasa nyeri.

d. Rangsangan menurun, kemampuan reaksi terhadap rangsangan langsung semakin menurun pula, oleh karena itu ada kaitannya dengan kepekaan persyarafan alat kelamin (Marsetio, M. 1991).

g. Tabu, malu, bosan, dan kecemasan

Tabu bersangkut paut dengan larangan berbicara dan bertindak terhadap seks. Faktor psikologis yang mempengaruhi penurunan fungsi dan potensi seksual adalah rasa tabu dan malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya, misalnya cemas, depresi, pikun dsb (Anonim, 2012).

h. Pasangan hidup

Lanjut usia masih mempunyai harapan untuk menikah dan masih memiliki minat terhadap lawan jenis. Hal tersebut ditunjukkan dengan usaha berkunjung ke lawan jenis yang sudah


(38)

tidak memiliki pasangan. Adanya fenomena keinginan menikah, pengacuhan kebutuhan seksual lanjut usia yang berdampak pada kebahagiaan dan gangguan hemeostasis, teori-teori yang menunjukkan perlu adanya kebutuhan seksual dipenuhi, dan masih adanya anggapan yang keliru mengenai pemenuhan kebutuhan seksual pada lanjut usia.

Namun, kondisi hubungan seksual dan nonseksual dengan pasangan hidup memberi pengaruh besar. Makin baik hubungan, makin memuaskan kehidupan seksualnya. Maka, seks akan bertambah lama sampai tidak ada batasannya. Akhirnya salah satu penentu lainnya adalah tidak adanya pasangan. Wanita usia lanjut yang tidak mempunyai pasangan lagi umumnya akan menekan dorongan seksnya sampai habis. Sebaliknya, pria yang sudah kehilangan pasangan, sebagian akan menikah lagi (Warsono, 2010).

2.2Analisis Faktor 2.2.1 Pengertian

Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu prosedur, utamanya dipergunakan untuk mereduksi data atau meringkas dari variabel yang banyak diubah menjadi sedikit variabel, misalnya dari 15 variabel yang lama diubah menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut faktor dan masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variabel) (Supranto, 2004). Selain itu analisis faktor dapat juga berfungsi sebagai alat uji validasi internal dari alat ukur yang dipergunakan (Riduwan, 2002).

Analisis faktor merupakan salah satu teknik analisis statistik multivariat, dengan titik berat yang diminati adalah hubungan secara seksama bersama pada semua variabel tanpa membedakan variabel tergantung dengan variabel bebas atau disebut sebagai metode antar ketergantungan (interdependence methods). Proses analisis faktor mencoba menemukan hubungan antar variabel yang saling indenpendent tersebut, sehingga bisa dibuat satu atau


(39)

beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal sehingga memudahkan analisis statistik selanjutnya (Wibowo, 2006).

Analisis faktor merupakan sebuah analisis yang mencari hubungan interpedensi antar variabel, sehingga mampu mengidentifikasi dimensi-dimensi atau faktor-faktor yang menyusunnya. Oleh karena itu di dalam analisis faktor tidak terdapat variabel bebas atau variabel terikat, karena dalam analisis ini tidak mengklasifikasikan variabel bebas maupun variabel terikat.

Manfaat dari analisis faktor adalah melakukan peringkasan variabel berdasarkan tingkat keeratan hubungan antar variabel, sehingga akan diperoleh faktor-faktor dominan yang berpengaruh terhadap variabel lainnya (Rochaety, 2009).

Tujuan yang penting dari analisis faktor ini adalah menyederhanakan hubungan yang beragam dan kompleks pada beberapa variabel yang diamati dengan menyatukan faktor atau dimensi yang saling berhubungan pada suatu struktur data yang baru yang mempunyai beberapa faktor yang lebih kecil (Wibisono, 2003).

Analisis faktor dipergunakan di dalam situasi sebagai berikut (supranto, 2004)

1. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari (Underling dimensions) atau faktor yang menjelaskan korelasi antara satu set variabel.

2. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak berkorelasi (independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan suatu set variabel asli yang saling berkorelasi di dalam analisis multivariat selanjutnya.

3. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel yang penting dari suatu set variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan di dalam analisis multivariat selanjutnya.


(40)

2.2.2 Model Analisis Faktor dan Statistik yang Relavan

Secara matematis, analisis faktor agak mirip dengan regresi linier berganda yaitu bahwa setiap variabel dinyatakan sebagai suatu kombinasi linier dan faktor yang mendasari. Dimana analisis regresi linier berganda dapat mengetahui besarnya pengaruh dari setiap variabel bebas terhadap variabel tak bebas serta meramalkan nilai variabel yang tak bebas tersebut (Supranto, 2004).

Jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya yang tercakup dalam analisis disebut communality. Hubungan antara variabel yang diuraikan dinyatakan dalam suatu common factors yang sedikit jumlahnya ditambah dengan faktor yang unik untuk setiap variabel.

Faktor yang unik tidak berkolerasi dengan sesama faktor yang unik dan juga tidak berkolerasi dengan common factors. Common factors sendiri bisa dinyatakan sebagai kombinsi linier dari variabel-variabel yang terlihat/terobservasi (the observed variables) hasil penelitian lapangan. Model analisis faktor terbagi menjadi dua yaitu :

1. Analisis Faktor Eksploratori (Exploratory Factor Analysis)

Model Eksploratori meliputi regresi linier berganda (multiple regression analysis) dan principal componen analysis (PCA). Di dalam analisis regresi, umumnya mempunyai variabel tak bebas (dependent variable) Y yang diregresikan dengan satu atau lebih variabel bebas. Tidak secara khusus menyebutkan, sebelumnya dianalisis variabel mana diantara variabel bebas tersebut yang pengaruhnya signifikan. Pokoknya variabel bebas sebanyak mungkin di dalam persamaan regresi, kemudian berdasarkan data empiris (data dari lapangan) dilakukan pengujian hipotesis untuk menentukan variabel mana yang pengaruhnya signifikan untuk dipertahankan, dan mana yang tidak signifikan untuk


(41)

dikeluarkan dari persamaan. Secara a priori bahwa di dalam analisis faktor eksploratori tidak ada hipotesis yang berkenaan dengan komposisi atau struktur. Di dalam analisis eksploratori perhatian peneliti terfokus pada signifikasi statistik atau kontribusi variabel bebas terhadap variasi (naik turunnya) variabel tak bebas.

Langkah-langkah di dalam analisis faktor eksploratori yaitu : a. Memilih variabel.

b. Mengekstraksi faktor.

c. Mempertahankan faktor yang penting. d. Merotasi faktor.

e. Mengartikan (memberi arti) hasil penemuan (artinya faktor-faktor tersebut mewakili variabel yang mana saja).

2. Analisis Faktor Konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis)

Model Konfirmatori seperti analisis jalur, dan turunannya sangat ruwet (sophisticated), pertama-tama peneliti membuat struktur model yang dihipotesiskan (the hypothesized model structure) dan korelasi di dalam data asli/awal (original data). Secara explisit, analisis konfirmatori memerlukan formulasi atau perumusan hipotesis yang berkenaan dengan struktur yang mendasari (underlying structure). Struktur yang diusulkan (proposed), kemudian ditolak atau diterima berdasarkan pada the goodness-of-fit-statistic: seberapa jauh data konsisten dengan struktur faktor yang dihipotesiskan. Analisis faktor konfirmatori menggunakan pendekatan holistik (holistic approach). Ketika mengevaluasi ketepatan model konfirmatori (suitability of confirmatory model), peneliti umumnya berkenaan dengan seberapa bagus model yang dihipotesiskan cocok (tepat) dengan hubungan yang ada di


(42)

dalam data asal/ asli. Apakah model yang dibuat bisa mencerminkan keadaan yang sebenarnya (to reflect the reality).

Langkah-langkah dalam analisis konfirmatori yaitu : a. Memilih variabel.

b. Hubungan/ kaitkan variabel dengan kontak (contruct).

c. Uji ketepatan struktur faktor yang dihipotesiskan dengan menggunakan kriteria tertentu. Statistik kunci yang relevan dengan analisis faktor adalah sebagai berikut: Barlett’s test of sphericity yaitu suatu uji statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tidak saling berkorelasi (uncorrelated) dalam populasi.

2.2.3 Model Matematik dalam Analisis Faktor

Di dalam model analisis faktor, komponen hipotesis diturunkan dari hubungan antara variabel teramati. Model analisis faktor mensyaratkan bahwa hubungan antar variabel teramati harus linier dan nilai koefisien korelasi tak boleh nol, artinya benar-benar harus ada hubungan. Komponen hipotesis yang diturunkan harus memiliki sifat sebagai berikut :

1. Komponen hipotesis tersebut diberi nama faktor

2. Variabel komponen hipotesis yang disebut faktor bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu: common factor and unique factor. Dua komponen ini bisa dibedakan kalau dinyatakan dalam timbangan di dalam persamaan linier, yang menurunkan variabel terobservasi dari variabel komponen hipotesis. Common factor mempunyai lebih dari satu variabel dengan timbangan yang tidak nol terikat dengan faktor. Jadi hanya satu variabel yang tergantung pada satu faktor unik.


(43)

3. Common factor selalu dianggap tidak berkorelasi dengan faktor unik. Faktor unik biasanya juga dianggap saling tidak berkorelasi, akan tetapi common factor mungkin atau tidak mungkin berkorelasi satu sama lainnya.

4. Umumnya dianggap bahwa jumlah common factor lebih sedikit dari jumlah variabel asli. Akan tetapi banyaknya faktor unik biasanya dianggap sama dengan banyaknya variabel asli. 2.2.4 Langkah-langkah Analisis Faktor

1. Merumuskan Masalah

Merumuskan masalah meliputi beberapa kegiatan: a. Tujuan analisis faktor harus dikenali

b. Variabel yang tercakup dalam analisis harus disebutkan secara khusus berdasarkan penelitian sebelumnya (past research), teori, dan pertimbangan subjektif dari peneliti c. Variabel harus benar-benar diukur secara tepat diukur pada skala interval atau rasio d. Besarnya sampel (n) harus memenuhi, maka sebagai petunjuk menggunakan rumus :

n ≥

(Lemeshow, 1997).

2. Bentuk Matriks Korelasi

Proses analisis didasarkan pada suatu matriks korelasi agar variabel pendalaman yang berguna bisa diperoleh dari penelitian matriks ini. Agar analisis faktor bisa tepat dipergunakan, variabel-variabel yang akan dianalisis harus berkorelasi. Apabila koefisien korelasi antar variabel terlalu kecil, hubungannya lemah, analisis faktor menjadi tidak tepat.

Prinsip utama analisis faktor adalah korelasi, maka asumsi-asumsi akan terkait dengan metode statistik korelasi yaitu :


(44)

1. Besar korelasi atau korelasi independen variabel yang cukup kuat, misalnya diatas 0.5 atau bila dilihat tingkat signifikasinya adalah kurang dari 0.5.

2. Besar korelasi parsial, korelasi antar dua variabel dengan mengganggap variabel lain adalah tetap (konstan) harus kecil. Pada SPSS deteksi parsial diberikan pada Anti image Correlation.

Statistik formal tersedia untuk menguji ketepatan model faktor yaitu Barlett’s Test of Sphericity bisa digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tak berkorelasi di dalam populasi. Nilai yang besar untuk uji statistik, berarti hipotesis nol harus ditolak ( berarti korelasi yang signifikan diantara beberapa variabel). Kalau hipotesis nol diterima, ketepatan analisis faktor harus dipertanyakan.

Statistik lainnya yang berguna adalah KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) mengukur kecukupan sampling (sampling adequancy). Indeks ini membandingkan besarnya koefisien korelasi terobservasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial. Nilai KMO yang kecil menunjukkan korelasi antar pasangan variabel tidak bisa diterangkan oleh variabel lain dan analisis faktor mungkin tidak tepat.

a. Harga KMO sebesar 0.9 adalah sangat memuaskan. b. Harga KMO adalah 0.8 adalah memuaskan.

c. Harga KMO adalah 0.7 adalah harga menengah. d. Harga KMO adalah 0.6 adalah cukup.

e. Harga KMO adalah 0.5 adalah kurang memuaskan. f. Harga KMO adalah 0.4 adalah tidak dapat diterima.

Measure of Sampling Adequancy (MSA) ukuran dihitung untuk seluruh matriks korelasi dan setiap variabel yang layak untuk diaplikasikan pada analisis faktor. Nilai MSA yang rendah


(45)

merupakan pertimbangan untuk membuang variabel tersebut pada tahap analisis selanjutnya (Wibisono, 2003).

Angka MSA berkisar 0-1 menunjukkan apakah sampel bisa dianalisis lebih lanjut (Wibowo, 2006).

a. MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel lain. b. MSA> 0.5 variabel masih dapat diprediksi dan dapat dianalisis lebih lanjut. c. MSA < 0.5 variabel tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dianalisis lebih lanjut. 3. Menentukan Metode Analisis Faktor

Setelah ditetapkan bahwa analisis faktor merupakan teknik yang tepat untuk menganalisis data yang sudah dikumpulkan, kemudian ditentukan atau dipilih metode yang tepat untuk analisis faktor. Ada dua cara atau metode yang bisa dipergunakan dalam analisis faktor, khususnya untuk menghitung koefisien skor faktor, yaitu analisis komponen utama (Principal Component Analysis) dan analisis faktor umum (Common Factor Analysis).

Di dalam principal component analysis, jumlah varian dalam data dipertimbangkan. Principal component analysis direkomendasikan kalau hal yang pokok adalah menentukan bahwa banyaknya faktor harus minimum dengan memperhitungkan varian maksimum dalam data untuk dipergunakan di dalam analisis multivariat lebih lanjut. Faktor-faktor tersebut dinamakan Principal Components.

Di dalam Common Factor Analysis, faktor diestimasi didasarkan pada Common variance, communalities dimasukkan di dalam matriks korelasi. Metode ini dianggap tidak tepat kalau tujuan utamanya ialah mengenali/ mengidentifikasi dimensi yang mendasari dan Common variance yang menarik perhatian. Metode ini juga dikenal sebagai principal axis factoring (Supranto, 2004).


(46)

Communalities ialah jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu variabel dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis. Bisa juga disebut proporsi atau bagian variabel yang dijelaskan common factor, atau besarnya sumbangan suatu faktor terhadap varian seluruh variabel. Semakin besar Communalities sebuah variabel, berarti semakin kuat hubungannya dengan faktor yang dibentuknya.

Eigenvalue merupakan jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap faktor. Eigenvalue akan menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam menghitung varian yang dianalisis (Wibowo, 2006).

4. Menentukan Banyaknya Faktor

Sebetulnya bisa juga diperoleh, banyaknya faktor atau principal component sama dengan banyaknya variabel asli/ awal yaitu 7 buah, akan tetapi tidak didapat sifat hemat. Agar dapat meringkas informasi yang terdapat atau terkandung di dalam data asli/ awal, banyaknya faktor yang disarikan (to be extracted) dari variabel asli harus lebih sedikit daripada banyaknya variabel. Pertanyaan yang timbul kemudian, berapa faktor yang harus disarikan?. Ada beberapa prosedur yang diusulkan/ disarankan di dalam menentukan banyaknya faktor. Prosedur ini termasuk penentuan secara a priori (a priori determination) dan pendekatan berdasarkan pada eigen values, scree plot, percentage of variance accounted for, spil-half-releability dan significances test. Penentuan banyaknya faktor lebih bersifat subyektif daripada ilmiah (Supranto, 2010).

5. Melakukan Rotasi Faktor-faktor

Suatu hasil atau output yang penting dari analisis faktor ialah apa yang disebut matriks faktor pola (factor pattern matrix). Matriks faktor berisi koefisien yang dipergunakan untuk mengekspresikan variabel yang dibakukan dinyatakan dalam faktor. Koefisien-koefisien ini yang


(47)

disebut dengan muatan faktor, mewakili korelasi antar faktor dan variabel. Suatu koefisien dengan nilai absolut/ mutlak yang besar menunjukkan bahwa faktor dan variabel berkorelasi sangat kuat. Koefisien dari matriks faktor bisa dipergunakan untuk menginterpretasikan faktor.

Meskipun matriks faktor awal yang belum dirotasi menunjukan hubungan antar faktor masing-masng variabel, jarang menghasilkan faktor yang bisa diinterpretasikan (diambil kesimpulannya), oleh karena faktor-faktor tersebut berkorelasi atau terikat dengan variabel (lebih dari satu).

Di dalam melakukan korelasi faktor, kita menginginkan agar setiap faktor mempunyai muatan atau koefisien yang tidak nol atau yang signifikan atau beberapa variabel saja. Dimana gunanya rotasi adalah untuk mengontrol/ memeriksa variabel yang belum layak dimasukkan menjadi layak dimasukkan dalam buat penamaan. Demikian halnya kita juga menginginkan agar setiap variabel mempunyai muatan yang tidak nol atau signifikan dengan beberapa faktor saja, kalau mungkin dengan satu faktor saja. Kalau terjadi bahwa beberapa faktor mempunyai muatan tinggi dengan variabel yang sama, sangat sulit untuk membuat interpretasi tentang terhadap seluruh varian (dari seluruh variabel asli) mengalami perubahan.

Ada dua metode rotasi yang berbeda yaitu :

1. Orthogonal rotation, kalau sumbu dipertahankan tegak lurus sesamanya (bersudut 90o). Metode rotasi yang banyak dipergunakan yaitu variamax prosedur. Karena varimax adalah solusi awal yang terbaik dimana gamma = 1 yang menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi. Prosedur ini merupakan metode Orthogonal yang berusaha meminimumkan (membuat sedikit mungkin) banyaknya variabel dengan muatan tinggi (high loading) pada satu faktor, dengan demikian memudahkan pembuatan interpretasi mengenai faktor rotasi


(48)

orthogonal menghasilkan faktor-faktor yang tidak berkorelasi satu sama lain (uncorreclated each other) antara lain none, equimax, varimax, quartimax, orthomax.

- None adalah pilih tidak untuk melakukan rotasi equimax solusi awal.

- Equimax adalah pilih untuk melakukan rotasi equimax solusi awal (gamma=jumlah faktor/2).

- Varimax adalah pilih untuk melakukan rotasi varimax solusi awal (gamma = 1) - Quartimax adalah pilih untuk melakukan rotasi quartimax solusi awal (gamma = 0) - Orthomax adalah pilih untuk melakukan rotasi orthomax solusi awal, kemudian

masukkan gamma nilai antara 0 dan 1.

2. Oblique rotation, kalau sumbu tidak dipertahankan harus tegak lurus sesamanya (bersudut 90o) dan faktor-faktor tidak berkorelasi. Kadang-kadang dengan membolehkan korelasi antar-faktor bisa menyederhanakan matriks faktor pola (factor pattern matrix). Oblique rotation harus dipergunakan kalau faktor dalam populasi berkorelasi sangat kuat (Supranto, 2004).

6. Membuat Interpretasi Hasil Rotasi

Interpretasi mengenai faktor bisa dipermudah dengan mengenali (mengidentifikasi) variabel yang mempunyai nilai loading yang besar pada faktor yang sama. Faktor tersebut kemudian bisa diinterpretasikan menurut variabel-variabel yang mempunyai nilai loading yang tinggi dengan faktor tersebut. Bantuan di dalam interpretasi yang berguna lainnya ialah mengeplot variabel dengan menggunakan factor loading sebagai titik koordinat.

Variabel yang berada pada ujung atau akhir suatu sumbu ialah, variabel-variabel yang nilai loadingnya tinggi hanya pada faktor tersebut, katakan faktor 1, 2 atau 3 dan oleh karena itu variabel-variabel tersebut akan memberikan inspirasi tentang nama yang tepat dari


(49)

faktor yang bersangkutan (Supranto, 2010). Sedangkan variabel yang dekat dengan titik asal (perpotongan sumbu F1 dan F2) mempunyai muatan rendah (low loading) pada kedua faktor.

Variabel yang tidak dengan sumbu salah satu faktor berarti berkorelasi dengan kedua faktor tersebut. Kalau suatu faktor tidak bisa diberi label sebagai faktor tidak teridentifikasi atau faktor umum. Variabel- variabel yang berkorelasi kuat (nilai faktor loading yang besar) dengan faktor tertentu dan memberikan inspirasi nama faktor yang bersangkutan (Supranto, 2004). 7. Menghitung Skor dan Nilai Faktor

Nilai faktor adalah ukuran yang mengatakan representasi suatu variabel oleh masing-masing faktor. Nilai faktor menunjukkan bahwa suatu data mewakili karakteristik khusus yang direpresentasikan oleh faktor. Nilai faktor ini selanjutnya digunakan untuk analisis lanjutan.

Sebenarnya analisis tidak harus dilanjutkan dengan menghitug skor atau nilai faktor, sebab tanpa menghitung pun hasil analisis faktor sudah bermanfaat yaitu mereduksi variabel yang banyak menjadi variabel baru yang lebih sedikit dari variabel aslinya.

Masing-masing faktor dapat diekspresikan dengan persamaan sebagai berikut: F1 = Wi1X1 + Wi2X2 + Wi3X3 +...+ WikXk

Dimana :

F1 adalah faktor

Wi adalah bobot variabel terhadap faktor k adalah jumlah variabel

X adalah variabel

Semakin besar bobot (Wi) suatu variabel terhadap faktor, maka pengaruh variabel terhadap faktor tersebut semakin erat, yang berarti perubahan variabel memberikan kontribusi


(50)

yang semakin besar pada nilai faktor. Hal ini berlaku untuk keadaan sebaliknya (Rangkuti, 2002).

8. Memilih Surrogate Variables

Surrogate Variables adalah suatu bagian dari variabel asli yang dipilih untuk digunakan di dalam analisis selanjutnya. Pemilihan Surrogate Variables meliputi dari sebagian dari beberapa variabel asli untuk dipergunakan di dalam analisis selanjutnya. Hal ini memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis lanjutan dan menginterpretasikan hasilnya dinyatakan dalam variabel asli bukan dalam skor faktor. Dengan meneliti matriks faktor, kita bisa memilih untuk setiap faktor variabel dengan muatan tinggi pada faktor yang bersangkutan.

Variabel tersebut kemudian bisa dipergunakan sebagai variabel pengganti atau Surrogate Variables untuk faktor yang bersangkutan. Proses untuk mencari variabel pengganti akan berjalan lancar kalau muatan faktor (factor loading) untuk suatu variabel jelas-jelas lebih tinggi dari pada muatan faktor lainnya. Akan tetapi pilihan menjadi susah, kalau ada dua variabel atau lebih mempunyai muatan yang sama tingginya. Di dalam hal seperti ini, pemilihan antara variabel-variabel ini harus didasarkan pada pertimbangan teori dan pengukuran sebagai contoh, mungkin teori menyarankan bahwa suatu variabel dengan muatan sedikit lebih kecil mungkin lebih penting daripada dengan sedikit lebih tinggi.

Demikian juga halnya, kalau suatu variabel mempunyai muatan sedikit lebih rendah akan tetapi telah diukur lebih teliti/ akurat, seharusnya dipilih sebagai Surrogate Variables.


(51)

9. Proses Analisis Faktor

Secara garis besar tahapan pada analisis faktor adalah sebagai berikut :

1. Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor. Oleh karena analisis faktor berupaya mengelompokkan sejumlah variabel, maka seharusnya ada korelasi yang cukup kuat diantara variabel, sehingga akan terjadi pengelompokkan. Jika sebuah variabel atau lebih berkorelasi lemah dengan variabel lainnya, maka variabel tersebut

akan dikeluarkan dari analisis faktor. Alat seperti MSA atau Barlett‟s Test dapat

digunakan untuk keperluan ini.

2. Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan “ekstraksi” variabel tersebut sehingga menjadi satu atau beberapa faktor.

3. Faktor yang terbentuk pada banyak kasus kurang menggambarkan perbedaan diantara faktor-faktor yang ada. Hal tersebut akan mengganggu analisis, karena justru sebuah faktor harus berbeda secara nyata dengan faktor lain.

4. Jika isi faktor diragukan, dapat dilakukan proses rotasi untuk memperjelas apakah faktor terbentuk sudah secara signifikan berbeda dengan faktor lain.

5. Setelah faktor benar-benar sudah terbentuk, maka proses dilanjutkan denagan menamakan faktor yang ada. Kemudian mengartikan hasil penemuan (artinya faktor-faktor tersebut mewakili variabel yang mana saja).


(52)

2.3 Kerangka Konsep Penelitian

h

Faktor yang mempengaruhi hubungan seksualitas terhadap lansia :

1. Pendidikan 2. Usia lansia 3. Pengetahuan

lansia 4. Penyakit 5. Tabu 6. Budaya

7. Menurunnya daya tarik terhadap pasangan 8. Bosan 9. Kecemasan

Analisis faktor

Hasil : Faktor 1 Faktor 2 Faktor... Faktor n


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penerapan analisis faktor eksplanatori yang mempengaruhi hubungan seksual terhadap lanjut usia.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Tanah Luas. Pemilihan lokasi ini, karena di lokasi ini belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan seksual lansia, selain itu juga mudah bagi peneliti untuk menjangkau tempat penelitian. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2013 s/d Januari 2014.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah para lansia dalam wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara jumlah lansia berusia > 60 tahun sebanyak 1200 orang (Data Base Usila 2012 Puskesmas Tanah Luas).

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi. Besarnya sampel yang diambil dalam penelitian ini menggunakan rumus Lemeshow (1997), yaitu :

n

(Lemeshow, 1997).

Di mana :

n = Jumlah sampel (responden dalam penelitian)


(54)

Zβ = Derivat baku betha, untuk Zβ = 0,10 maka Zβ = 1,282 Po = Proporsi lansia yang mengunjungi puskesmas = 0,30 Qo = 1 – Po = 0,70

Po – Pa = Beda proporsi yang bermakna = 0,15 Pa = Proporsi lansia pada saat penelitian = 0,45 Qa = 1 – Pa = 0,55

Jumlah sampel adalah :

n ≥

n ≥

n ≥ 105

maka jumlah sampel minimal adalah 105 orang, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling, yaitu bedasarkan semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi (Sudigdo, 2010).

Sampel yang dipilih memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Responden merupakan lansia wanita yang berusia ≥ 60 tahun

2. Responden bersedia untuk diwawancarai dan mampu menjawab pertanyaan dengan baik 3. Responden tidak dalam keadaan sakit parah.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari : 1. Data primer


(55)

Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada responden yang merupakan

lanjut usia wanita yang berusia ≥ 60 tahun yang berada di Puskesmas Tanah Luas. Cara

pengumpulan data yaitu dengan cara wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan diambil secara consecutive sampling sampai jumlah responden yang diinginkan terkumpul. 2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari Data Base Usila 2012 Puskesmas Kecamatan Tanah Luas Kabupaten Aceh Utara.

3.5 Definisi Operasional

1. Umur lansia adalah lamanya waktu responden hidup dihitung dari tanggal lahir ulang tahun terakhir saat dilakukan wawancara.

2. Lama Pendidikan lansia adalah pernyataan responden tentang lamanya jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh dan dihitung dengan tahun.

3. Pengetahuan lansia adalah pemahaman lansia yang menyangkut tentang hubungan seksual pada usia lanjut.

4. Penyakit adalah keadaan abnormal atau disfungsi pada organ tubuh yang dirasakan oleh lansia.

5. Tabu bersangkut paut dengan larangan berbicara dan bertindak terhadap seks.

6. Budaya adalah pandangan sosial terhadap lansia menyangkut hubungan seksual yang berkembang di lingkungan.

7. Menurunnya daya tarik terhadap pasangan adalah berkurangnya ketertarikan lansia terhadap pasangannya (suami).

8. Bosan adalah kejenuhan lansia terhadap aktivitas seksual.


(1)

78.

1

4

2

4

2

1

2

1

1

79.

2

2

1

4

1

1

1

1

1

80.

1

4

2

5

1

1

2

1

2

81.

1

4

2

4

2

1

1

2

2

82.

1

2

2

4

2

1

1

1

1

83.

2

3

1

3

2

2

2

2

1

84.

1

3

2

4

2

1

2

2

2

85.

1

4

1

5

1

2

3

2

3

86.

1

5

1

4

1

1

2

2

3

87.

1

2

2

5

1

2

1

1

2

88.

2

4

2

5

2

2

2

2

2

89.

2

3

1

3

1

2

1

2

2

90.

1

2

1

5

1

2

1

1

1

91.

1

4

2

4

2

2

2

1

1

92.

1

2

1

3

1

1

1

1

1

93.

2

4

2

4

1

2

1

1

1

94.

1

2

2

4

1

1

3

1

1

95.

1

2

2

3

2

3

1

2

1

96.

1

2

2

3

1

1

1

1

1

97.

2

3

2

4

2

2

1

1

1

98.

1

2

2

4

1

1

1

2

1

99.

1

3

1

4

1

2

1

1

2

100.

2

4

2

4

1

2

1

2

2

101.

1

3

2

4

2

1

2

1

1

102.

1

5

2

4

2

1

2

1

1

103.

1

2

2

3

1

1

1

1

1

104.

1

3

2

3

1

1

2

1

2

105.

1

3

2

4

1

2

3

1

2


(2)

Analisis Faktor untuk Memilih Variabel

KMO and Bartlett's Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,772

Bartlett's Test of Sphericity

Approx. Chi-Square 219,550

df 36

Sig. ,000

Communalities

Initial Extraction

Pendidikan 1,000 ,217

Usia 1,000 ,678

Pengetahuan 1,000 ,724

Penyakit 1,000 ,677

Budaya 1,000 ,275

Tabu 1,000 ,515

Daya_Tarik 1,000 ,499

Bosan 1,000 ,444

Kecemasan 1,000 ,528

Extraction Method: Principal Component Analysis.


(3)

Anti-image Matrices

Pendidikan Usia Pengetahuan Penyakit Budaya Tabu Daya_Tarik Bosan Kecemasan

Anti-image Covariance

Pendidikan ,855 -,121 -,055 ,048 -,115 -,018 -,035 -,093 ,037

Usia -,121 ,540 -,168 -,171 ,019 ,017 -,012 -,005 -,057

Pengetahuan -,055 -,168 ,485 -,201 -,067 ,000 -,005 -,048 -,042

Penyakit ,048 -,171 -,201 ,522 -,033 -,065 ,029 -,059 ,041

Budaya -,115 ,019 -,067 -,033 ,758 -,204 ,154 ,009 -,153

Tabu -,018 ,017 ,000 -,065 -,204 ,731 -,235 -,062 -,065

Daya_Tarik -,035 -,012 -,005 ,029 ,154 -,235 ,811 -,067 -,137

Bosan -,093 -,005 -,048 -,059 ,009 -,062 -,067 ,731 -,223

Kecemasan ,037 -,057 -,042 ,041 -,153 -,065 -,137 -,223 ,701

Anti-image Correlation

Pendidikan ,809a -,179 -,085 ,072 -,143 -,022 -,042 -,118 ,047

Usia -,179 ,801a -,329 -,323 ,029 ,027 -,018 -,008 -,093

Pengetahuan -,085 -,329 ,797a -,400 -,110 -,001 -,007 -,081 -,072

Penyakit ,072 -,323 -,400 ,773a -,052 -,105 ,044 -,096 ,068

Budaya -,143 ,029 -,110 -,052 ,720a -,274 ,196 ,012 -,210

Tabu -,022 ,027 -,001 -,105 -,274 ,744a -,305 -,085 -,090

Daya_Tarik -,042 -,018 -,007 ,044 ,196 -,305 ,609a -,086 -,182

Bosan -,118 -,008 -,081 -,096 ,012 -,085 -,086 ,824a -,312

Kecemasan ,047 -,093 -,072 ,068 -,210 -,090 -,182 -,312 ,766a

a. Measures of Sampling Adequacy(MSA)


(4)

Total Variance Explained

Component Initial Eigenvalues Extraction Sums of Squared Loadings Rotation Sums of Squared Loadings

Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative %

1 3,192 35,470 35,470 3,192 35,470 35,470 2,578 28,650 28,650

2 1,365 15,168 50,638 1,365 15,168 50,638 1,979 21,989 50,638

3 ,973 10,814 61,452

4 ,864 9,601 71,053

5 ,804 8,930 79,983

6 ,591 6,564 86,547

7 ,473 5,261 91,808

8 ,386 4,289 96,097

9 ,351 3,903 100,000

Extraction Method: Principal Component Analysis.


(5)

Component Transformation Matrix

Component 1 2

1 ,815 ,580

2 -,580 ,815

raction Method: Principal Component Analysis.

Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization.

Component Matrixa

Component

1 2

Pengetahuan ,766 -,371

Usia ,717 -,405

Penyakit ,709 -,416

Bosan ,606 ,278

Kecemasan ,588 ,426

Tabu ,539 ,474

Budaya ,521 ,063

Pendidikan ,457 -,090

Daya_Tarik ,323 ,628

Extraction Method: Principal Component Analysis.

a. 2 components extracted.

Rotated Component Matrixa

Component

1 2

Pengetahuan ,839 ,142

Penyakit ,819 ,072

Usia ,819 ,086

Pendidikan ,425 ,192

Budaya ,388 ,353

Daya_Tarik -,101 ,699

Tabu ,164 ,699

Kecemasan ,232 ,689

Bosan ,333 ,578

Extraction Method: Principal Component Analysis.

Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization.

a. Rotation converged in 3 iterations.


(6)