REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA (3)

REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA

Selama berdirinya indonesia birokrasi selalu saja mendapatkan masalah multidimesional
yang amat kompleks, dan juga struktur birokrasi yang sangat hirarkis. Selain itu budaya
feodalisme masih menjangkit semua lini birokrasi di Indonesia. Karena kondisi inilah yang
membuat para pejabat birokrsi kurang mampu menyalurkan ide mereka atau kreativitas dan
inovasi dalam melaksanakan pelayanan publik atau melaksanakan tugas mereka. Sepanjang
orde baru di indonesia baik yang ditingkat pusat maupun ditingkat daerah kerap mendapat
perhatian yang khusus dan kritik yang tajam karena perilaku para pejabat yang tidak sesuai
dengan tugas yang di diembannya sebagai pelayan masyarakat. Karena hal inilah membuat
mayarakat menilai bahwa birokrasi senantiasa berkonotasi negatif.selain itu masyarakat juga
menyimpulkan bahwa birokrasi selalu diasosiasikan selalu lamban, berbelit-belit,
menghalangi kemajuan,cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan subtansi dan tidak
efesien.
Bahkan pandangan beberapa pengamat lebih jauh lagi tentang model birokrasi di
Indonesia diantaranya :
1. Karl D. Jakson
Yang menilai bahwa birokrasi diindonesia adalah model bureaucratic
polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan

peran masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan.

2. Richard Robinson
Menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic authoritarian.
3. Hans Dieter Evers
Hans dieter evers melihat, bahwa model birokrasi Parkinson dan Orwel
birokrasiyang justr dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama pada saat
masa orde baru berkuasa. Sedangkan Birokrasi Parkinson sendiri adalah birokrasi
pola, dimana terjadinya sebuah proses pertumbuhan jumlah aparat birokrat dan
pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali .dengan baik
Yang perlu dilakukan pada saat ini adalah bagaimana membangun semangat
kepemimpian dan mengurangi budaya feodalisme yang merambat hampir kesemua lini
birokrasi di Indonesia. Setiap birokrat harus bisa membiasakan diri untuk mencari inovasi
baru yang praktis untuk melayani masyarakat, agar inisiatif, antisipatif dan proaktif. Selain
itu birokrat harus memandang semua orang sama didepan hukum tidak membeda bedakan

masyarakat kalangan atas, bawah atau pun menegah . dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa tindakan politik yang dapat mewujudkan reformasi
birokrasi yang sampai saat ini belum mengalami perubahan yang signifikan. Yang pertama
adalah berdasarkan pendapat bahwa penguasa yang tinggi tidak memiliki kemampuan untuk
membuat tembok isolasi yang betul-betul solid dan “kedap pengaruh”. Untuk itu perlu adanya
kekuatan penuh yang mampu memberikan dorongan yang kuat kepada birokrasi melakukan

perubahan yang radikal. Aliansi para ilmuwan dan aktivis diyakini memiliki kemampuan
untuk membantu dengan membetuk aliansi penerapan “Good Governance”. Cara yang dapat
dilakukan adalah dengan mengidentifikasi sekutu potensial dalam berbagai kelompok
kepentingan dan berusaha menemukan “common denominator”. Yang kedua didasarkan pada
sebuah pendapat negara bahwa Orde Baru otonom dan memiliki kekuatan politik yang sangat
berpengaruh sampai saat ini. sedangkan kelompok dominan tersebut tidak perlu menerapkan
reformasi birokrasi, maka perubahan itu tidak akan pernah terjadi. Karena itu, tugas aliansi
baik yang menjadi bagian dari pemerintahan seperti staf ahli maupun aktivis politik, adalah
mendorong secara kuat dan memasukkan gagasan pro “good governance” dalam agenda
pencapaian untuk kepentingan nasional.Asumsi ketiga dilandaskan pada kebijakan
pembangunan yang dijalankan dengan banyak dipaksakan pada Indonesia oleh para
penyumbang sebagai syarat untuk memperoleh bantuan asing. Karena itu, sumber perubahan
bisa berasal dari lembaga lembaga penyumbang dan negara kaya dengan mensyaratkan agar
adanya perubahan dan reformasi birokrasi, terutama yang berkaitan dengan akses rakyat
dalam pelayanan publik. Kalangan aktivis dan ilmuwan sosial dapat memobilisasi kampanye
di kalangan negara-negara dan badan badan international yang memberi bantuan asing agar
pemerintah Indonesia mengembangkan prinsip-prinsip good governance dalam format
birokrasinya.Asumsi keempat adalah didasarkan pada gagasan bahwa kebijakan yang
diterapkan berkaitan erat dengan kepentingan individual penguasa untuk memaksimalkan
pencapaian tujuan. Terutama melakukan kepentingan melanggengkan kekuasaan.

Pendapat yang dibangun seperti di atas memiliki karakter sensitif dan responsif terhadap
peluang-peluang dan tantangan baru yang timbul sebagai akibat dari globalisasi,tidak terpaku
pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental, tetapi mampu
melakukan terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan kreatif, mempunyai wawasan yang
futuristik dan sistematik,mampu mengoptimalkan sumber yang tersedia dengan menggeser
sumber dari kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas
tinggi.