IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA. docx
TUGAS PKN
IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA
Nama : Windi Suptia Ningrum
Npm : 13 02 00 11
Jurusan : Sistem Informasi
Kelas : pagi
YAYASAN PENDIIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
STMIK DHARMA WACANA
TA.2013/2014
IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA
IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA
Ada tiga konsep dan model pelaksanaan HAM di dunia yang
dianggap mewakili, masing-masing di negara-negara Barat,
Komunis-Sosialis dan ajaran Islam. Adanya HAM menimbulkan
konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan
secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan
pelanggaran HAM itu sendiri. Khusus tentang implementasi HAM di
Indonesia, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM
berat
di
Indonesia
dan
belum
kondusifnya
mekanisme
penyelesaiannya,,
tetapi
secara
umum
baik
menyangkut
perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tandatanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM
melalui
peraturan
perundang-undangan
serta
dibentuknya
Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi. Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) yang dimandatkan sebagai wadah antar bangsa dalam
perwujudan prinsip-prinsip yang terkandung didalam DUHAM,
ternyata hingga saat ini masih diragukan kemampuannya untuk
bertindak dan membuat kebijakan yang adil bagi Negara-negara
anggotannya. Badan dunia ini bahkan tak mampu keluar dari
dominasi negara-negara utara dan pemegang veto di Dewan
Keamanan PBB. PBB bahkan juga tak mampu mengendalikan lagi
operasi lembaga-lembaga keuangan internasional (seperti Bank
Dunia dan IMF) yang dilahirkannya, yang telah mereproduksi
berbagai bentuk pelanggaran HAM secara sistematis dan
berkelanjutan
di
negara-negara
wilayah
operasinya.
Di Indonesia, diskursus tetang penegakan hak asasi manusia juga
tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling
tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya
Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak
itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi
pemebicaraan yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan
itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam
kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat
implementasi untuk membentuk jaringan kerjasama guna
menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di
Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh
internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah
satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia
lebih merupakan hasil dinamika intrenal yang merespon gejala
internasional secara positif.Dalam mewujudkan HAM masih
merupakan perjalanan panjang yang tak kunjung sampai. Walau
secara tersirat, di dalam konstitusi Indonesia terkandung prinsipprinsip DUHAM, namun hingga saat ini implementasinya masih jauh
dari harapan. Bahkan, dalam era Orde Baru, HAM sempat
diwacanakan sebagai gagasan subversif. Wacana HAM baru
diakomodasi ketika tuntutan masyarakat internasional tak bisa
dielakkan dan HAM diletakkan sebagai instrumen diplomasi.
Akibatnya, hingga saat ini, Pemerintah Indonesia masih meletakkan
HAM sebagai kosmetika demokrasi dan bukan sebagai perwujudan
amanat dan tanggungjawab negara terhadap warga negaranya.
Ratifikasi sejumlah konvensi dan covenants tidak dilanjutkan dengan
langkah harmonisasi regulasi administratif dan kebijakan hukum
nasional. Bahkan modalitas yang dimiliki sebagai anggota Dewan
HAM PBB tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk menjamin
pemenuhan HAM warga negaranya. Politik HAM baru mengabdi
pada pencitraan pemegang kekuasaan.
Pelanggaran HAM yang baru-baru ini sedang marak adalah
pelanggaran hak asasi perlindungan anak. Padahal di dalamnya
sudah terdapat Undang Undang yang mengatur di dalamnya, antara
lain Undang Undang No. 4 tahun 1979 diatur tentang kesejahteraan
anak, Undang Undang No. 23 tahun 2002 diatur tentang
perlindungan anak, Undang Undang No. 3 tahun 1997 tentang
pengadilan anak, Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 diatur
tentang
ratifikasi
konversi
hak
anak
Ratifikasi 2 kovenan pokok HAM yaitu Konvensi Internasional Hak
Sipil dan Politik serta Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya yang telah dilakukan oleh Indonesia sejak akhir 2005,
misalnya, ternyata tak segera diimplementasikan. Bahkan pada
tataran pelaksanaannya justru bertentangan dengan kewajibankewajiban minimum yang harus dipenuhi oleh pemerintah
sebagaimana diatur dalam konvensi dan Komentar Umum (General
Comment) yang dihasilkan dalam sidang-sidang PBB.
Terhadap hak-hak sipil dan hak-hak budaya yang mengharuskan
negara untuk tidak ikut campur dan membatasi, pemerintah dan
parlemen justru menciptakan regulasi dan perundang-undangan
yang bersifat mengekang pemenuhan dan penikmatan atas hak-hak
tersebut.
Bahkan
sejumlah
aturan
diciptakan
untuk
mengkriminaslisasikan warga masyarakat yang melaksanakan dan
menikmati pemenuhan hak–hak sipil dan Hak–hak budaya tersebut;
hak untuk menikmati kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi
beberapa kelompok masyarakat sampai saat ini masih dilanggar.
Tindakan aparat kepolisian yang menangkap atau membiarkan
penyerangan orang atau sekelompok orang yang sedang melakukan
pemenuhan hak untuk menyebarkan informasi dalam bentuk
sosialisasi pencegahan HIV/AIDs dan pentingnya alat pelindung
(kontrasepsi) dengan tuduhan melakukan tindak pidana pornografi,
merupakan bentuk nyata pelanggaran HAM di Indonesia.
Pada sisi lain, pemerintah lalai dan mengabaikan kewajibannya
untuk memastikan pemenuhan dan penikmatan Hak warga
negaranya atas: pangan yang layak dan terbebaskan dari
penderitaan kelaparan, ketersediaan air bersih dan tempat tinggal
yang layak. Setengah jumlah penduduk Indonesia mengalami
kekurangan pangan dan jutaan penduduk mengalami gizi buruk dan
busung lapar sebagai akibat kebijakan liberalisasi distribusi dan
harga pangan pokok. Menurut data FAO yang dikeluarkan tanggal 9
Desember 2008, Indonesia merupakan salah satu negara dari 7
negara didunia ini yang mengalami kelaparan akut.
Lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu) anak-anak –sebagian besar bayi
dan balita– meninggal setiap tahunnya akibat penyakit diare karena
tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih, sebagai akibat kebijakan
privatisasi dan liberalisasi air. Jutaan penduduk hidup di wilayah
kumuh tanpa akses terhadapat layanan public dan jutaan lainnya
mengalami pengusiran paksa dari tempat tinggalnya karena tanah
dan tempat tinggal mereka digunakan sebagai target pembangunan
infrastruktur atau proyek-proyek investasi. Jutaan perempuan
mengalami tekanan (stress) dan penambahan beban kerja dan
beban keuangan karena kelangkaan dan mahalnya minyak tanah
dan gas, sebagai akibat proyek gagal konversi minyak tanah ke gas
yang dipaksakan oleh pemerintah. Hampir seluruh kebijakan
liberalisasi, privatisasi, kenaikan harga BBM serta konversi minyak
tanah ke gas yang diciptakan oleh pemerintah merupakan adopsi
dan pelaksanaan persyaratan utang dan hibah yang didorongkan
oleh Negara-negara maju sebagai kreditor dan Lembaga Keuangan
Internasional seperti World Bank, IMF (International Monetary Fund)
dan Asian Development Bank (ADB). Atas nama prinsip Harmonisasi
Bantuan (Aid Harmonization) yang tercantum dalam Deklarasi Paris
(Paris Declaration), mereka secara sistematis memaksakan agar
prinsip-prinsip kapitalisme seperti liberalisasi, privatisasi layanan
public, swastanisasi asset nagara, deregulasi, dan investasi asing
langsung diterapkan secara baik oleh pemerintah Indonesia.
Pembayaran utang luar negeri itu sendiri telah merampas hak-hak
rakyat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik dalam bidang
kesehatan, pendidikan, air minum dan pangan serta penyediaan
lapangan kerja yang manusiawi. Alokasi APBN setiap tahun untuk
pembayaran utang luar negeri jauh melampaui alokasi APBN untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Hampir dapat dipastikan, bahwa pemerintah sesungguhnya
mengetahui dampak negatif atas kebijakan kapitalisme yang
dipaksakan di Indonesia. Persoalannya, sejumlah birokrat dan
aparatur Negara yang memiliki posisi kunci sebagai perencana dan
pengambil keputusan telah terperangkap dalam jebak pemberi
utang (creditor) dan pemberi hibah (Grantor) dalam bentuk
penikmatan atas keuntungan dan keamanan bisnis pribadinya
ataupun fasilitas beasiswa pendidikan (S2 dan S3) yang disediakan
oleh creditor dan grantor.
Dalam situasi krisis ekonomi seperti saat ini di Indonesia, sebagai
akibat dari krisis ekonomi di Amerika dan negara-negara maju yang
selama ini bersifat predatory, pemerintah Indonesia sangat giat
menciptakan utang-utang baru. Hampir dapat dipastikan bahwa
setiap sen dari utang yang diperoleh akan berdampak pada
perubahan kebijakan dan peraturan perundangan di Indonesia, yang
akan semakin menjauhkan upaya-upaya pemenuhan dan
penikmatan Hak Asasi Manusia bagi warga Negara Indonesia.
Kalau kita tengok ke belakang beberapa peristiwa yang dianggap
“Melanggar hak asasi manusia” di indonesia sebelum masa
reformasi cukup banyak, diantaranya belum terungkap karena
memang ada pihak – pihak yang menutupinya. Pelanggaran –
pelanggaran itu antara lain:
1965
1. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan
Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung
dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis
Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam
kejadian ini.
1966
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI
terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di
penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan
dieksekusi
pada
bulan
Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan
demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang
tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian
Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin
bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat
Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan
mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi
kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk
partai politik.
1970
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971:
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat
sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa
ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh
pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan
Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning
sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1974
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo
anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaranpembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia
Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar,
membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia
ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang
dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.
1978
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap
barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas
berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara
lain Heri Ahmadi.
1980
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan
menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan
kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negri.
1981
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim
radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982
1.
Kasus
Tanah
Rawa
Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur
di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya.
Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan
insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di
Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana
militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan
ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.
1985
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai
tempat di pulau Jawa.
1986
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata.
Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses
senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini
dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
1991
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI
terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi
pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1992
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh
perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.
1994
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan
pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1995
1. Kasus Tanah Koja.
2. Kerusuhan di Flores.
1996
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan
Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara
Enim mengenai pencemaran lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena
ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah
mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang
Pamungkas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto
yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro
Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 30 Desember1996.
1997
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di
Jawa Timur.
1998
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan
bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan
perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei
1998
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta,
dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi
menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14
November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh.
Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia
dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga
sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi
pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa
Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.
Untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin
pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan,
kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan
ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak
Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA
Nama : Windi Suptia Ningrum
Npm : 13 02 00 11
Jurusan : Sistem Informasi
Kelas : pagi
YAYASAN PENDIIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
STMIK DHARMA WACANA
TA.2013/2014
IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA
IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA
Ada tiga konsep dan model pelaksanaan HAM di dunia yang
dianggap mewakili, masing-masing di negara-negara Barat,
Komunis-Sosialis dan ajaran Islam. Adanya HAM menimbulkan
konsekwensi adanya kewajiban asasi, di mana keduanya berjalan
secara paralel dan merupakan satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan. Pengabaian salah satunya akan menimbulkan
pelanggaran HAM itu sendiri. Khusus tentang implementasi HAM di
Indonesia, meskipun ditengarai banyak kasus pelanggaran HAM
berat
di
Indonesia
dan
belum
kondusifnya
mekanisme
penyelesaiannya,,
tetapi
secara
umum
baik
menyangkut
perkembangan dan penegakkannya mulai menampakkan tandatanda kemajuan. Hal ini terlihat dengan adanya regulasi hukum HAM
melalui
peraturan
perundang-undangan
serta
dibentuknya
Pengadilan HAM dalam upaya menyelesaikan berbagai kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi. Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) yang dimandatkan sebagai wadah antar bangsa dalam
perwujudan prinsip-prinsip yang terkandung didalam DUHAM,
ternyata hingga saat ini masih diragukan kemampuannya untuk
bertindak dan membuat kebijakan yang adil bagi Negara-negara
anggotannya. Badan dunia ini bahkan tak mampu keluar dari
dominasi negara-negara utara dan pemegang veto di Dewan
Keamanan PBB. PBB bahkan juga tak mampu mengendalikan lagi
operasi lembaga-lembaga keuangan internasional (seperti Bank
Dunia dan IMF) yang dilahirkannya, yang telah mereproduksi
berbagai bentuk pelanggaran HAM secara sistematis dan
berkelanjutan
di
negara-negara
wilayah
operasinya.
Di Indonesia, diskursus tetang penegakan hak asasi manusia juga
tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling
tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya
Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak
itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi
pemebicaraan yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan
itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam
kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat
implementasi untuk membentuk jaringan kerjasama guna
menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di
Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh
internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah
satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia
lebih merupakan hasil dinamika intrenal yang merespon gejala
internasional secara positif.Dalam mewujudkan HAM masih
merupakan perjalanan panjang yang tak kunjung sampai. Walau
secara tersirat, di dalam konstitusi Indonesia terkandung prinsipprinsip DUHAM, namun hingga saat ini implementasinya masih jauh
dari harapan. Bahkan, dalam era Orde Baru, HAM sempat
diwacanakan sebagai gagasan subversif. Wacana HAM baru
diakomodasi ketika tuntutan masyarakat internasional tak bisa
dielakkan dan HAM diletakkan sebagai instrumen diplomasi.
Akibatnya, hingga saat ini, Pemerintah Indonesia masih meletakkan
HAM sebagai kosmetika demokrasi dan bukan sebagai perwujudan
amanat dan tanggungjawab negara terhadap warga negaranya.
Ratifikasi sejumlah konvensi dan covenants tidak dilanjutkan dengan
langkah harmonisasi regulasi administratif dan kebijakan hukum
nasional. Bahkan modalitas yang dimiliki sebagai anggota Dewan
HAM PBB tidak dimanfaatkan sepenuhnya untuk menjamin
pemenuhan HAM warga negaranya. Politik HAM baru mengabdi
pada pencitraan pemegang kekuasaan.
Pelanggaran HAM yang baru-baru ini sedang marak adalah
pelanggaran hak asasi perlindungan anak. Padahal di dalamnya
sudah terdapat Undang Undang yang mengatur di dalamnya, antara
lain Undang Undang No. 4 tahun 1979 diatur tentang kesejahteraan
anak, Undang Undang No. 23 tahun 2002 diatur tentang
perlindungan anak, Undang Undang No. 3 tahun 1997 tentang
pengadilan anak, Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 diatur
tentang
ratifikasi
konversi
hak
anak
Ratifikasi 2 kovenan pokok HAM yaitu Konvensi Internasional Hak
Sipil dan Politik serta Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial dan
Budaya yang telah dilakukan oleh Indonesia sejak akhir 2005,
misalnya, ternyata tak segera diimplementasikan. Bahkan pada
tataran pelaksanaannya justru bertentangan dengan kewajibankewajiban minimum yang harus dipenuhi oleh pemerintah
sebagaimana diatur dalam konvensi dan Komentar Umum (General
Comment) yang dihasilkan dalam sidang-sidang PBB.
Terhadap hak-hak sipil dan hak-hak budaya yang mengharuskan
negara untuk tidak ikut campur dan membatasi, pemerintah dan
parlemen justru menciptakan regulasi dan perundang-undangan
yang bersifat mengekang pemenuhan dan penikmatan atas hak-hak
tersebut.
Bahkan
sejumlah
aturan
diciptakan
untuk
mengkriminaslisasikan warga masyarakat yang melaksanakan dan
menikmati pemenuhan hak–hak sipil dan Hak–hak budaya tersebut;
hak untuk menikmati kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi
beberapa kelompok masyarakat sampai saat ini masih dilanggar.
Tindakan aparat kepolisian yang menangkap atau membiarkan
penyerangan orang atau sekelompok orang yang sedang melakukan
pemenuhan hak untuk menyebarkan informasi dalam bentuk
sosialisasi pencegahan HIV/AIDs dan pentingnya alat pelindung
(kontrasepsi) dengan tuduhan melakukan tindak pidana pornografi,
merupakan bentuk nyata pelanggaran HAM di Indonesia.
Pada sisi lain, pemerintah lalai dan mengabaikan kewajibannya
untuk memastikan pemenuhan dan penikmatan Hak warga
negaranya atas: pangan yang layak dan terbebaskan dari
penderitaan kelaparan, ketersediaan air bersih dan tempat tinggal
yang layak. Setengah jumlah penduduk Indonesia mengalami
kekurangan pangan dan jutaan penduduk mengalami gizi buruk dan
busung lapar sebagai akibat kebijakan liberalisasi distribusi dan
harga pangan pokok. Menurut data FAO yang dikeluarkan tanggal 9
Desember 2008, Indonesia merupakan salah satu negara dari 7
negara didunia ini yang mengalami kelaparan akut.
Lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu) anak-anak –sebagian besar bayi
dan balita– meninggal setiap tahunnya akibat penyakit diare karena
tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih, sebagai akibat kebijakan
privatisasi dan liberalisasi air. Jutaan penduduk hidup di wilayah
kumuh tanpa akses terhadapat layanan public dan jutaan lainnya
mengalami pengusiran paksa dari tempat tinggalnya karena tanah
dan tempat tinggal mereka digunakan sebagai target pembangunan
infrastruktur atau proyek-proyek investasi. Jutaan perempuan
mengalami tekanan (stress) dan penambahan beban kerja dan
beban keuangan karena kelangkaan dan mahalnya minyak tanah
dan gas, sebagai akibat proyek gagal konversi minyak tanah ke gas
yang dipaksakan oleh pemerintah. Hampir seluruh kebijakan
liberalisasi, privatisasi, kenaikan harga BBM serta konversi minyak
tanah ke gas yang diciptakan oleh pemerintah merupakan adopsi
dan pelaksanaan persyaratan utang dan hibah yang didorongkan
oleh Negara-negara maju sebagai kreditor dan Lembaga Keuangan
Internasional seperti World Bank, IMF (International Monetary Fund)
dan Asian Development Bank (ADB). Atas nama prinsip Harmonisasi
Bantuan (Aid Harmonization) yang tercantum dalam Deklarasi Paris
(Paris Declaration), mereka secara sistematis memaksakan agar
prinsip-prinsip kapitalisme seperti liberalisasi, privatisasi layanan
public, swastanisasi asset nagara, deregulasi, dan investasi asing
langsung diterapkan secara baik oleh pemerintah Indonesia.
Pembayaran utang luar negeri itu sendiri telah merampas hak-hak
rakyat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik dalam bidang
kesehatan, pendidikan, air minum dan pangan serta penyediaan
lapangan kerja yang manusiawi. Alokasi APBN setiap tahun untuk
pembayaran utang luar negeri jauh melampaui alokasi APBN untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Hampir dapat dipastikan, bahwa pemerintah sesungguhnya
mengetahui dampak negatif atas kebijakan kapitalisme yang
dipaksakan di Indonesia. Persoalannya, sejumlah birokrat dan
aparatur Negara yang memiliki posisi kunci sebagai perencana dan
pengambil keputusan telah terperangkap dalam jebak pemberi
utang (creditor) dan pemberi hibah (Grantor) dalam bentuk
penikmatan atas keuntungan dan keamanan bisnis pribadinya
ataupun fasilitas beasiswa pendidikan (S2 dan S3) yang disediakan
oleh creditor dan grantor.
Dalam situasi krisis ekonomi seperti saat ini di Indonesia, sebagai
akibat dari krisis ekonomi di Amerika dan negara-negara maju yang
selama ini bersifat predatory, pemerintah Indonesia sangat giat
menciptakan utang-utang baru. Hampir dapat dipastikan bahwa
setiap sen dari utang yang diperoleh akan berdampak pada
perubahan kebijakan dan peraturan perundangan di Indonesia, yang
akan semakin menjauhkan upaya-upaya pemenuhan dan
penikmatan Hak Asasi Manusia bagi warga Negara Indonesia.
Kalau kita tengok ke belakang beberapa peristiwa yang dianggap
“Melanggar hak asasi manusia” di indonesia sebelum masa
reformasi cukup banyak, diantaranya belum terungkap karena
memang ada pihak – pihak yang menutupinya. Pelanggaran –
pelanggaran itu antara lain:
1965
1. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan
Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung
dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis
Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam
kejadian ini.
1966
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI
terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di
penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan
dieksekusi
pada
bulan
Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan
demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang
tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian
Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin
bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat
Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan
mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi
kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk
partai politik.
1970
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971:
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat
sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa
ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh
pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan
Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning
sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1974
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo
anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaranpembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia
Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar,
membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia
ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang
dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.
1978
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap
barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas
berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara
lain Heri Ahmadi.
1980
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan
menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan
kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negri.
1981
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim
radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982
1.
Kasus
Tanah
Rawa
Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur
di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya.
Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan
insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di
Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana
militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan
ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.
1985
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai
tempat di pulau Jawa.
1986
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata.
Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses
senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini
dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
1991
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI
terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi
pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1992
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh
perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.
1994
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan
pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1995
1. Kasus Tanah Koja.
2. Kerusuhan di Flores.
1996
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan
Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara
Enim mengenai pencemaran lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena
ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah
mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang
Pamungkas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto
yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro
Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada
tanggal 30 Desember1996.
1997
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di
Jawa Timur.
1998
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan
bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan
perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei
1998
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta,
dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi
menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14
November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh.
Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia
dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga
sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang
Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi
pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa
Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.
Untuk ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin
pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan,
kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada perorangan
ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan Hak
Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.