BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM DUNIA PERBANKAN A. Pengaturan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang No. 31 - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Dunia Perbankan (Studi Putusan Nomor: : 79/Pid.Sus.K/2
BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM DUNIA PERBANKAN A. Pengaturan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bentuk- bentuk tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana korupsi
yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal UU No. 31Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Rumusan tersebut yang mempunyai unsur-unsur tertentu dan diancam dengan jenis pidana dengan sistem pemidanaan tertentu pula. Jenis tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 2,Pasal 3, Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 12B, dan Pasal 13. Maka di dalam bab ini akan menjabar kan jenis tindak pidana korupsi tersebut berdasarkan setiap pasal di atas.
1)
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Berdasarkan dari pasal 2 ayat (1) di atas dapat ditarik unsur- unsur/benstanddelen sebagai berikut:
1. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Pada dasarnya maksud memperkaya di sini dapat ditafsirkan suatu perbuatan dengan mana si pelaku bertambah kekayaan oleh karena perbuatan tersebut.
Misalnya, dengan membeli,menjual,mengambil,memindahbukukan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku jadi
28 bertambah kekayaannya.
2. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum Dalam aspek ini, pembentuk undang-undang mempertegas elemen secara
“melawan hukum” sebagai mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tidak diatur dalam undang-undang, tetapi apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
29 masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
3. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara Pengertian keuangan negara yang dimaksud pasal 2 ayat 1 adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : a.
Berada dalam penguasaan, pegurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah.
b.
Berada dalam penguasaan,pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN, BUMD, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal
28 Lilik Mulyadi, Tindak pidana korupsi, PT. Citra aditya bakti, bandung, 2000, Halaman
17 29 Ibid negara, atau perusahaan yang menyertakan modal dari pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Menurut Barda Nawawi Arief, dengan dicantumkannya kata “dapat” di depan unsur merugikan keuangan negara pada kedua pasal in, merubah delik ini menjadi
30
“delik formil”. Pandangan pembuat undang-undang menetapkan kedua pasal ini menjadi delik formil, nampakya merujuk kepada ajaran formele
wederrechtelijkheid , yang menyatakan sesuatu perbuatan hanya dapat dipandang
sebagai bersifat “wederrechtelijk”, yaitu apabila perbuatan memenuhi semua
31 unsur yang terdapat didalam rumusan dari suatu delik menurut undang-undang.
Maka berdasarkan dari hal tersebut akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa tidak perlu dibuktikan. Pengertian perekono,iam negara menurut penjelasan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan, ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.
Pasal 2 ayat 2, diancam dengan pidana mati, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jika dilakukan dalam keadaan tertentu. Yang dimaksud keadaan tertentu :
30 Barda Nawawi Arief, Masalah penegaka hukum & kebijakan penanggulangan kejahatan, PT. Citra aditya bakti,Bandung,2001, Halaman 149 31 P.A.F Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana, Sinar baru, Bandung, 1984, Halaman 341 a.
Apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional.
b.
Apabila tindak pidana korupsi itu dilakukan terhadap dana-dana penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas.
c.
Apabila tindak pidana korupsi dilakukan terhadap dana-dana penanggulangan krisis ekonomi dan moneter,dan d.
Apabila tindak pidana korupsi itu merupakan pengulangan (residive) .
2)
Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dari ketentuan Pasal 3 tersebut dapatlah ditarik unsur-unsur deliknya sebagai berikut:
1. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Pengertian menyalahgunakan kewenangan berarti menyalahgunakan kewajiban yang dibebankan oleh atau yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang menunjukan kepada “posisi” subyek hukum selaku Pegawai Negri di institusi tempat dia bekerja, kenudian menyalahgunakan kesempatan berarti menyalahgunakan peluang atau waktu yang ada yang seharusnya dipergunakan menjalankan kewajibannya sesuai dengan jabatan dan kedudukan yang telah digariskan oleh tujuan pokok dan fungsi institusi, sedangkan menyalahgunakan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan berarti menyalahgunakan atribut yang menjadi instrumen kewajiban sesuai denga tujuan pokok dan fungsi
32
institusi. Menurut Andi Hamzah, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, berarti
33 telah melawan hukum.
2. Tujuan dari perbuatan tersebut menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Apabila ditinjau dari aspek pembuktian, maka elemen “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”, dapat lebih mudah dibuktikan jaksa/Penuntut Umum karena unsur menguntungkan tidak memerlukan dimensi apakah tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi menjadi kaya atau bertambah kaya karenanya. Lain dengan aspek “memperkaya diri sendiri atau orang lai atau suatu korporasi” sebagaimana ketentuan pasal 2 UUPTK, dimana relatif lebih
34 sulit membuktikannya.
3. Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Konteks merugikan keuangan negara atau perekonomian negara telah dijelaskan sebagaimana pembahasan ketentuan Pasal 2 UUPTK.
3)
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
32 Marwan Effendy, Tipologi kejahatan perbankan dari perspektif hukum pidana, Sumber ilmu jaya, Jakarta, 2012, Halaman 84 33 34 Andi Hamzah, loc cit, halaman 164 Lilik Mulyadi, Op.cit, halaman 21 a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawainegeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang No. 20 tahun 2001 dapat dikualifikasikan sebagai “actieve omkooping” atau suap aktif akan tetapi pasal 5 ayat 2 dikualifikasikan sebagai suap pasif yang di adopsi dari Pasal 209 KUHP.
Dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a, unsurnya terdiri dari: a.
Setiap orang b.
Dengan maksud memberi atau menjanjikan sesuatu c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara d.
Berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pengertian pegawai negeri adalh sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 2 UUTPK, meliputi: a.
Pegawai negeri sebbagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian (Undang-Undang No. 43 tahun 1999).
b.
Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 92 KUHP.
c.
Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara. d.
Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;atau e.
Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lan yang
35 mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
Pengertian penyelenggara negara menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah : pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau judikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pengertian “dengan maksud” disini, terkait dengan batin subjek hukum berupa niat (oogmerk). Menurut Sudarto adalah untuk menggerakkan seorang pejabat agar ia dalam jabatannya berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Dari pemberian hadiah atau janji tersebut, berarti subjek hukum mengetahui tujuan yang terselebung yang diinginkannya, yang di dorong oleh kepentingan pribadi, agar pegawai negeri yang akan diberi hadiah atau janji berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatan yang bertentagan dengan kewajibannya. Meskipun pegawai negeri tersebut menolak pemberian atau janji tersebut, perbuatan subjek hukum sudah memenuhi rumusan delik dan dapat dijerat oleh delik ini, mengingat perbuatan sudah selesai (voltoid).
Pasal 5 ayat 1 huruf b, unsurnya terdiri dari: a. Setiap orang
35 Ermansjah Djaja, Op.cit, Halaman 120
b.
Memberi sesuatu c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggar negara.
d.
Karena atau hubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
36 Sama halnya dengan pasal 5 ayat 1 huruf a, tujuan subjek hukum memberikan
sesuatu disini karena adanya “pamrih” yang di dorong kepentingan pribadi, karean ada hubungan yang bertentangan dengan kewajiban pegawai negeri yang bersangkutan, baik dilakukan atau tidak dalam jabatannya tersebut. Rumusan unsur a dan b, sama halnya dengan rumusan unsur pasal 5 ayat 1 huruf a, hanya bedanya mengenal wujud sesuatu baik barang atau uang di dalam pasal 5 ayat 1 huruf b sudah nyata, sedangkan di dalam pasal 5 ayat 1 huruf a belum nyata baru berupa penawaran untuk memberi sesuatu atau berjanji.
37 Pasal 5 ayat 2, unsurnya terdiri dari : a.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
b.
Menerima pemberian atau janji.
c.
Untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Mengenai pengertian pegawai negeri dan penyelenggara negara telah dibicarakan di atas sehingga tidak pelu dibicarakan lagi.pegawai negeri atau penyelenggara menurut rumusan korupsi suap ayat (2) ini adalah si pembuatnya. Berbeda pada korupsi suap bentuk pertama dan kedua kualitas pegawai negeri
36 Marwan Effendy, Op.cit, Halaman 94 37 Ibid dalam rumusanitu adalah sebagai subjek hukum yang kepentingan hukumnya dilindungi dalam hal kepentingan hukum dalam hal kepentingan hukum mengenai
38 kelancaran dan ketertiban pelaksanaan tugas pekerjaannya yang bersifat umum.
Perbuatan menerima suap menurut rumusan ayat (2) ini cenderung merupakan tindak pidana materil, bukan merupakan tindak pidana formil murni.
Apabila pemberian itu belum berpindah ke dalam kekuasaan oknum pegawai negeri si pembuat dan secara nyata dan mutlak misalnya sejumlah uang dalam map plastik oleh si pemberi telah di arahkan kepada orrang yang duduk dibelakang meja untuk diserahkan dan belum dipegang dalam tangannya secara utuh, tiba-tiba terhenti karena digrebek oleh anggota polisi maka adegan perbuatan memberikan itu belum selesai dan kejadian itu barulah merupakan percobaan menerima pemberian yang in casu percobaan suap korupsi ayat (2)
pasal 5. Demikian halnya dengan perbuatan yang kedua yakni menerima janji dianggap selesai dengan sempurna manakala telah ada keadaan –keadaan sebagai pertanda/indikator bahwa apa isi yang diperjanjikan telah diterima oleh pegawai negeri tersebut, tetapi tidak dapat terjadi dengan tidak memberi isyarat apapun
39 atau diam.
4)
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
38 Adami Chazami, Hukum pidana materil dan formil di Indonesia, Bayumedia, Malang, 2005, Halaman 78 39 Ibid
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam pasal 6 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dapat dikualifikasikan sebagai pacieve
omkooping atau suap pasif. Rumusan pasal ini diadopsi dan diharmonisasi dari
Pasal 210 KUHP. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UUTPK merumuskan tinddak pidana korupsi suap oleh hakim dan advokat, tetapi ketentuan tindak pidana korupsi suap dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 oleh hakim merupakan korupsi suap bersifat khusus, walaupun hakim adalah pegawai negeri yang telah juga dirumuskan dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 sebagaimana telah di uraikan tetapi tidak diberlakukan kepada hakim. Karena pasal 6 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang- Undang No. 20 tahun 2001 diberlakukan secara khusus atas tindak pidana korupsi suap oleh hakim, maka ketentuan yang bersifat khusu yang diterapkan, karena hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP: “jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan”, dan juga sesuai dengan asas “lex specialis derogat legi generali”.
40 5)
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Rumusan tindk pidana korupsi dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang ini merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari pasal 387 dan 388 KUHP. Dalam rumusan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat lima jenis tindak pidana korupsi, yaitu:
40 Ermansyah Djaja, Op.cit, Halaman 162-163
1) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemborong bangunan, ahli pembuat bangunan, penjual bahan bangunan pada saat menyerahkan bahan bangunan dengan melakukan kecurangan yang dapat membahayakan orang atau barang, atau keselamatan negara kalau dalam keadaan perang.
2) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pengawas bangunan, dan pengawas penyerahan bahan bangunan yang membiarkan perbuatan curang pada saat pelaksanaan pembangunan dan penyerahan bahan bangunan.
3) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas penyerahan barang keperluan tentara nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, karena melakukan kecurangan yang dapat membahayakan keselamatan negara yang dalam keadaan perang. 4)
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas pengawas penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang pada saat penyerahan barang tersebut. 5)
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh petugas penerima penyerahan bahan bangunan atau penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negaran Republik Indonesia, karena
41 membiarkan perbuatan curang dalam penyerahan tersebut.
6)
Pasal 8 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal 8, Unsurnya terdiri: a. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri b. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu.
c.
Dengan sengaja.
41 Ibid, Halaman 126-127
d.
Menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu melakukan perbuatan tersebut. Delik ini identik dengan delik penggelapan dalam jabatan, seperti yang dirumuskan oleh pasal 415 KUHP. Subjek hukum pasal 8 ini adalah seseorang dalam kapasitasnya sebagai pegawai negeri sebagaimana telah dijelaskan dalam
pasal 5 ayat 1 huruf a. Larangan yang dirumuskan oleh pasal ini, terkait dengan perbuatan menggelapkan uang atau surat berharga yang menjadi tanggung jawab jabatannya atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
42 digelapkan orang lain.
7)
Pasal 9 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Apabila dirinci maka pasal 9 ini terdiri atas unsur: 1.
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri.
2. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu.
3. Dengan sengaja.
4. Memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusu untuk pemeriksaan administrasi.
42 Marwan Effendy, Op.cit, halaman 102
Perbuatan memalsu menurut pasal 9 ini merupakan perbuatan dengan cara bagaimanapun mengubah tulisan pada buku-buku atau daftar-daftar yang sudah ada sehingga isinya menjadi lain dari yang sebenarnya atau menjadi palsu. Buku- buku atau daftar-daftar yang dibuat isinya dapat bermacam-macam, misalnya memuat daftar barang-barang atau alat-alat invetaris kantor, pengeluaran atau belanja dan pemasukan uang, pengadaan alat-alat keperluan kantor, daftar mengenai uang perjalanan, daftar pemeliharaan kendaraan dinas, dan tidak terbatas banyaknya. Buku-buku atau daftar-daftar itulah yang dipalsu dengan perbuatan memalsu seperti yang diterangkan diatas.
Dengan sengaja dalam pasal 9 harus diartikan si pembuat memang menghendaki untuk melakukan perbuatan memalsu dan dia mengetahui bahwa objek yang dia palsu itu mengenai buku-buku atau daftar-daftar. Selain itu dia juga mengetahui bahwa buku-buku atau daftar-daftar dibuat khusus untuk bagi pemeriksaan administrasi.
8)
Pasal 10 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Rumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 20 tahun 2001 merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari pasal 417 KUHP yang merupakan salah satu kejahatan jabatan yang diatur dalam Bab XXVIII KUHP tentang kejahatan jabatan. Dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 20 tahun 2001 terdapat tiga jenis tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, yaitu :
1) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menurus atau sementara waktu dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakai barang,akta,surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.
2) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan dimuka pejabat yag berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.
3) Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang bertugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau sementara waktu dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
43 dikuasai karena jabatannya.
43 Ermansyah Djaja, Op.cit, Halaman 168
9)
Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Jika diperhatikan Pasal 11 terdiri atas unsur-unsur : a.
Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
b.
Menerima hadiah atau janji.
c.
Dikettahui atau patut diduga.
d.
Bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 11 ini dapat di golongkan sebagai penyuapan pasif (passive omkooping) yang berasal dari Pasal 418 KUHP yang diambil oper oleh Undang-Undang ini. Rumusan delik ini merupakan kebalikan dari Pasal 5 ayat 2. Konsekuensi logis dipenuhi unsur menerima hadiah atau janji tersebut, oleh subjek hukum akan menimbulkan beban moril untuk memenuhi permintaan dari si pemberi hadiah atau janji, sebagai imbal balik dari pemberian hadiah atau janji yang diterimanya.
Sebaliknya jika ia menolak, maka yang dapat dijerat oleh Pasal 5 ayat 1 huruf a
44 Undang-Undang ini adalah si pemberi hadiah atau janji tersebut.
44 Marwan Effendy, Op.cit, Halaman 98
10)
Pasal 12 Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang- undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang- undangan; atau i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
11)
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12B huruf a terdiri atas unsur: a. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara.
b.
Menerima pemberian suap (gratifikasi) c. Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
d.
Nilainya Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh jjuta rupiah) atau lebih. Pengertian gratifikasi menurut penjelasan 12B ayat 1 adalah pemberian dalam arti luas, dapat berupa pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, ticket perjalanan, fasilitas, penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma dan faslitas lainnya, seperti ditraktir main golf, yang nilainya Rp. 10 juta. Perbuatan subjek hukum disini sebagai pegawai negeri menurut pasal 1 angak 2 merupakan kewajibannya secara biasa mendapatkan imbalan jasa dari orang yang urusannya pada bank tersebut menjadi lancar, karena ada bantuan dari pegawai negeri tersebut. Pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pegawai negeri atau
45
penyelenggara negara yang bersangkutan).Pasal 12B huruf b unsurnya terdiri: a. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara.
b.
Menerima pemberian suap (gratifikasi).
c.
Berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
d.
Nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Pasal ini identik dengan pasal 12B huruf a, bedanya hanya terletak ada nilai nominal yang diterima sebagai gratifikasi dan pembuktiannya dilakukan ooleh penuntut umum.
12)
Pasal 13 Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
45 Ibid, Halaman 101
atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Apabila dilihat secara rinci Pasal 13 memiliki unsur yang terdiri : a.
Setiap orang b.
Memberi hadiah atau jaji.
c.
Kepada pegawai negeri d.
Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan.
Pasal 13 ini dapat digolongkan sebagai penyuapan aktif (actieve omkooping). Unsurnya identik dengan Pasal 12 hruf b dan c. Menurut Andi Hamzah dengan adanya pasal 13 ini, maka hilanglah arti pasal 209 KUHP yang ditarik menjadi delik korupsi. Pasal 13 ini lebih luas jangkauan perumusannya, sehingga lebih mudah pembuktiannya. Orang disuap meliputi pegawai negeri dalam bentuk membujuk pegawai negeri supaya berbuat atau mengalpakan sesuatu berlawanan dengan kewajibannya seperti tercantum dalam Pasal 209 KUHP.
Sebenarnya jika diamati dengan seksama, delik ini lebih ditujukan untuk menjaring segala macam bentuk hadiah atau janji yang tidak terjaring dalam delik penuapan aktif lainnya, seperti hadiah ulang tahun, bingkisan lebaran, kado perkawinan atau lain yang sejenis yang sifatnya berlebih-lebihan dengan tujuan untuk mencari muka terhadap pegawain negeri tersebut. Dalam hal ini menurut sudarto, apabila tidak berlebih-lebihan artinya tidak melampui kewajaran, maka bisa diterima. Perkataan bisa diterima disini tergantung dari pandangan masyarakat terhadapnya. Jadi kalau masyarakat memang memandang hal tersebut wajar, maka sifat melawan hukumnya perbuatan tidak ada, meskipun perbuatannya memenuhi rumusan undang-undang.
46 Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur jenis
tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut dirumuskan dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK mengelompokkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebagai berikut:
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi: Pasal 21.
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar: Pasal 22 jo. Pasal 28.
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka: Pasal 22 jo. Pasal 29.
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu: Pasal 22 jo. Pasal 35.
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu: Pasal 22 jo. Pasal 36.
6. Pengaduan palsu dalam perkara korupsi: Pasal 23 Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo.
Pasal 220 KUHP.
7. Menarik, menyembunyikan, menghancurkan, melakukan atau membiarkan dilakukan kejahatan baik sengaja maupun karena kealpaan terhadap barang sitaan dalam perkara korupsi: Pasal 23 Undang-undang tindak pidana korupsi jo. Pasal 231 KUHP.
8. Pejabat dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan sesuatu dalam perkara korupsi:
Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 421 KUHP.
9. Pejabat dalam perkara korupsi secara memaksa untuk memeras pengakuan atau mendapatkan keterangan:
46 Ibid, Halaman 96
Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 422 KUHP.
10. Pejabat dengan melampui kekuasaan atau tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan memaksa masuk rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain atau berada disitu secara melawan hukum, dan tidak segera pergi atas permintaan yang berhak atau atas nama orang itu atau memeriksa, merampas surat-surat, buku-buku, atau kertas-kertas lain:
Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 429 KUHP.
11. Pejabat yang melampui kekuasaannya menyuruh memperlihatkan kepadanya atau merampas surat-surat yang diserahkan pada lembaga pengangkutan umum, atau menyuruh pejabat telepon atau orang lain ditugasi untuk memberi keterangan suatu percakapan yang dilakukan melalui lembaga tersebut: Pasal 23 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi jo.
Pasal 430 KUHP.
12. Saksi yang membuka identitas pelapor:
47 Pasal 24 jo. Pasal 31.
Berbagai jenis tindak pidana korupsi seperti diuraikan di atas tidak seluruhnya mengandung rumusan secara melawan hukum. Hanya terdapat pada dua ketentuan, yaitu : Pasal 2 ayat (1) dan pasal 12 huruf e.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 12 huruf e Undang-undang pemberantasan tidak pidana korupsi Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
47 Ibid, halaman 21
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseoarang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
48
pemotongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; Apabila mengikuti pendapat POMPE maka perumusan tindak pidana korupsi dalam UUPTK, meskipun tidak secara eksplisit menyebut secara melawan hukum kecuali Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 huruf e namun menggunakan istilah lain yang menunjukkan makna secara melawan hukum. Di antara istilah atau frasa yang dipergunakan dalam UUPTK yang memiliki pengertian secara melawan hukum melalui penafsiran teleogis diantranya :
1. Dalam Pasal 3 : menyalgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
2. Dalam pasal 5 : berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentang dengan kewajibannya;
3. Dalam pasal 6 : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan...; juga memberi atau menjanjikan sesuatu kepada .. advokat .. untuk mempengaruhi nasihat ...
4. Dalam pasal 7 : melakukan perbuatan curang; membiarkan perbuatan curang;
5. Dalam Pasal 8 : dengan sengaja menggelapkan; 6.
Dalam psal 9 : dengan sengaja memalsu; 7. Dalam pasal 10 : menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai alat bukti; juga membiarkan orang lain
48 Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai alat bukti; serta membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai alat bukti;
8. Dalam pasal 11 : menerima hadiah atau janji yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatan;
9. Dalam pasal 12 (selain huruf e) : yang bertentangan dengan kewajibannya; untuk mempengaruhi putusan; untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat; meminta, menerima, atau memotong pembayaran seoalah-olah mempunyai utang atau merupakan utang; telah merugikan yang berhak dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; turut serta dalam pemborongan yang ditugaskan untuk mengurus atau mengawasi; 10.
49 Perbendaannya dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 huruf e UUPTK,