REAKTUALISASI DAN REVITALISASI BUDAYA AC

REAKTUALISASI DAN REVITALISASI BUDAYA ACEH DI TENGAH PUSARAN
GLOBALISASI MENUJU ACEH YANG BERMARTABAT PASCA GEMPA DAN
TSUNAMI 26 DESEMBER 2004
“ Di Aceh saat ini sedang terjadi “krisis kebudayaan”. Artinya, di bumi Iskandar Muda
ini “agama” telah kehilangan “partner” (adat) dalam menata kehidupan sosialnya”.
M. Junus Melalatoa
Pendahuluan
Aceh merupakan sebuah kata yang tidak asing lagi bagi telinga mereka yang
pernah mendengarnya. Aceh merupakan daerah yang sangat fenomenal, baik dilihat
dari sisi sosial budaya, sejarah, geopolitik, Hankam, maupun ekonomi. Dengan
demikian, Aceh tidak dapat dihilangkan dan dipinggirkan begitu saja dalam kancah
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Selama perjalanan sejarah yang terus berputar, Aceh telah dikenal di manca
negara karena Aceh telah melakukan hubungan dagang dan diplomatik dengan
berbagai belahan masyarakat lain di dunia. Boxer (1969) mengisyaratkan bahwa
orang-orang Aceh mempunyai peranan penting dalam perdagangan Timur-Barat pada
tahun akhir 1530-an/awal 1540-an. Misalnya, menurut catatan sejarah, pada tahun
1534 sejumlah kapal Aceh (dan kapal asal Gujarat pernah dihadang oleh sebuah
skuadron Portugis yang dikomandoi oleh Diego da Silveira. Partisipasi Aceh dalam
perdagangan internasional mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad ke16. Selain itu, Aceh pun pernah menjadi tempat persinggahan banyak pelaut dari

berbagai belahan dunia. Salah satunya, adalah Ibnu Batuta. Aceh menjadi lebih
terbuka lebar-lebar setelah lapisan bumi bergesar dan bergoyang serta gelombang
tsunami muncul meluluhlantakkan semua hidupan masyarakat Aceh pada tanggal 24
Desember 2004. Dengan demikian tidak mengherankan sebagian masyarakat di
dunia pun pernah mendengar bahkan melihatnya.
Aceh mempunyai posisi yang strategis. Menurut letaknya, ia berada di ujung
paling barat negara Republik Indonesia. Nol kilometer perhitungan wilayah Indonesia
dimulai dari Aceh, tepatnya di Sabang. Di sebelah Utara Aceh terdapat Selat Malaka
yang sibuk dilayari kapal-kapal, sehingga berbagai negara berkepentingan dengan
keberadaan Selat Malaka yang aman untuk dilayari karena kepentingan-kepentingan
sosial ekonomi mereka tidak ingin dihambat.
Secara sosial budaya, Aceh adalah komunitas besar yang multikultural. Ia
menjadi bagian dari suatu bangsa yang juga multikultural, atas nama Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai sebuah komunitas, Aceh merupakan
konfigurasi sejumlah etnik (suku bangsa), yang didalamnya ada sebuah etnik yang
disebut juga dengan sebutan Aceh dan dapat dikatakan dominan di antara 8 etnis
yang ada di daerah ini.1
Begitu fenomenalnya Aceh, banyak akademisi yang telah melakukan berbagai
studi dari berbagai sudut pandang keilmuan. Dapat disebutkan beberapa di antara
mereka yang telah melakukan kajian tentang Aceh adalah C. Snouck Hurgronje,

Teuku Ibrahim Alfian, Muhammad Said, Husein Djajadiningrat, Nazaruddin
Sjamsuddin, J. Bowen, M. Junus Melalatoa, Julius Jacobs, dan sebagainya.

Dalam konteks ini kajian yang cukup menarik adalah studi yang pernah
dilakukan oleh C. Snouck Hurgronje. Ia melakukan studi karena mendapat “pesanan”
dari Belanda dalam upaya menaklukkan Aceh. Belanda merasa kewalahan
menaklukkan Aceh. Seperti diketahui bersama bahwa Belanda telah banyak
mengeluarkan biaya dan kehilangan beribu-ribu nyawa prajuritnya selama kurang
lebih 30 tahun bertempur, tetapi perlawanan rakyat Aceh tidak kunjung dapat
dipadamkan. Setelah sempat ke Mekkah untuk belajar tentang Islam, C. Snouck
Hurgronje pergi ke Aceh untuk melakukan penelitian tentang segi-segi kehidupan
masyarakat Aceh. Hasil dari kajiannya dibukukan dalam dua jilid buku yang cukup
terkenal De Atjehers (1892-1893), yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris The Achehenese (1906). Selain itu, C. Snouck Hurgronje juga menulis yang
berjudul Het Gajoland en Zijne Bewoners (1903). Hasil kajian imi kemudian dijadikan
dasar pengambilan keputusan oleh pihak Belanda dalam rangka menaklukkan Aceh.
Sejarah panjang kehidupan yang dilalui oleh masyarakat Aceh membentuk
kultur masyarakat di ujung Pulau Sumatra ini. Masuknya Islam menjadi pondasi
adat-istiadat masyarakat Aceh. Berbagai peristiwa dan “masalah-masalah” sosial
politik pun menjadi memori kolektif terbentuknya jiwa budaya masyarakat Aceh, yang

tangguh, tabah, patriotik, dan egaliter. Tentunya, budaya Aceh yang telah terbentuk tampak dalam kehidupan sehari-hari tersebut - bukanlah suatu hal permanen dan
tidak dapat berubah. Kebudayaan suatu masyarakat tidak kekal sifatnya. Ia akan
mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri selama perjalanan sejarah
sebuah komunitas (lihat kutipan pernyataan dari Junus Melalatoa pada halaman 1)
(Junus Melalatoa, 2005).
Budaya Aceh yang telah mengalami berbagai peristiwa dan temapaan yang
sarat dengan nuasa “hitam” di masa lalu tersebut sekali lagi mengalami cobaan dari
Allah SWT. Cobaan itu berupa musibah gempa dan tsunami (yang tidak hanya
dirasakan oleh rakyat Aceh, tetapi juga beberapa negara lainnya). Sebagai sebuah
“pelita”, budaya Aceh dituntut membimbing masyarakatnya agar tetap menjaga roh
keacehannya. Tanpa pengawalan budaya, masyarakat Aceh terombang-ambing.
Biasanya, suatu masyarakat yang terkena musibah berada di dalam posisi yang
dikatakan oleh Victor Turner, sebagai posisi yang ambigu, yaitu tidak berada di sana
dan di sini (Agus Budi Wibowo, 2005). Masyarakat Aceh yang diliputi oleh jiwa Islam
selama pasca bencana alam ini seakan-akan kehilangan pegangan ajaran agama
Islamnya. Sejenak mereka lupa bahwa mencuri, merampas hak orang lain adalah
dosa. Bahkan, banyak mesjid yang bersisian dengan tenda-tenda pengungsi tidak
penuh di kala shalat. Mesjid seakan-akan ditinggalkan oleh umatnya. Dalam sebuah
shalat Jum’at di sebuah mesjid di Banda Aceh yang penulis ikuti, seorang khatib
pernah merasa gelisah melihat sebagian umatnya yang meninggalkan mesjid ini. Roh

nilai-nilai budaya masyarakat Aceh (berupa ajaran agama Islam) tercabut dari
jiwanya.
Demikianlah gambaran yang terjadi di masyarakat Aceh yang sedang “terluka”
akibat bencana alam yang begitu dahsyat melanda mereka. Saat ini, di Aceh, ada
berbagai macam perilaku yang tampak dalam kehidupan keseharian masyarakat. Ada
sekelompok masyarakat yang acuh ketika banyak relawan mengangkat mayat di
sekitar tempat tinggalnya. Ada sekelompok masyarakat yang mengambil keuntungan
di atas derita masyarakat lain. Ada sekelompok masyarakat yang seakan-akan telah
melupakan Tuhan-Nya. Di sisi lain, ada pula sekelompok orang yang cemas dan
traumatik melihat kondisi lingkungan sekitarnya yang mungkin dapat berubah secara

cepat, yang akan membahayakan posisi dan kehidupannya. Mereka ini melakukan
berbagai macam perilaku sesuai dengan naluri, kepentingan, dan tujuan yang hendak
dicapainya.
Gambaran masyarakat yang seperti disebutkan di atas dapat diibaratkan
seperti dua kaki yang berdiri di sebuah pintu. Salah satu pintu kaki sudah berada di
luar di sisi lain berada kaki masih tertinggal di dalam. Masyarakat Aceh yang tertimpa
bencana merasa hidup ini seakan-akan “kosong”. Kehilangan harta benda, kehilangan
sanak saudara, istri dan orang tua, kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah, dan
sebagainya. Mereka kehilangan suatu yang begitu dekat, “sesuatu yang begitu

dicintai, sangat personal dan menjadi bagian kesehariannya”. Suatu yang melekat di
bathin mereka yang selama telah merasuk di dalam relung-relung kalbu mereka.
Lihatlah sebuah rumah di kawasan Ulee Lheu itu, Ya, di rumah yang telah porak
poranda itu, kebahagiaan sebuah keluarga terkoyak. Pemiliknya telah dipisahkan
dengan rumah yang begitu dicintainya. Begitu dalam cintanya, sampai-sampai ia pun
harus menorehkan “fatwa” pada dinding yang telah kusam itu: “pemilik rumah ini
masih hidup. Orang-orang yang sudah mengambil barang-barannya adalah orang
kafir !”. tersiar khabar, keluarga itu kini hijrah ke Medan Sumatra Utara, membawa
kepedihannya (Kalim, 2005). Kehilangan ini juga berlangsung secara massal dan
serentak, sehingga meninggalkan luka psikis yang dalam, yang tidak cukup didekati
dengan sekardus obat-obatan saja (Nitura, 2005).
Untuk itu, pascagempa dan tsunami budaya Aceh harus tetap tegak berdiri
agar tetap dapat mengawal tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya-upaya
mempertahankan budaya Aceh sebagai pilar pembangunan di Aceh tentu harus
didukung dengan sepenuh hati. Untuk itu, tulisan ini akan membahas upaya
reaktualisasi dan revitalisasi budaya Aceh di tengah pusaran globalisasi pasgagempa
dan tsunami. Globalisasi tidak mungkin dihindari oleh semua bangsa yang ada di
dunia. Globalisasi dapat menyebabkan kita “ditarik” menjadi bangsa yang maju
dengan kemajuan di bidang teknologi dan menjadi warga “kampung dunia”. Namun
di sisi lain globalisasi juga membawa akibat negatif bagi budaya suatu masyarakat.

Tidak mengherankan hal ini dapat terjadi karena budaya yang datang dari luar
(akibat globalisasi) seringkali tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya suatu komunitas,
khususnya nilai budaya Aceh. Diperlukan sebuah kearifan untuk memilah-milah
mana budaya yang sesuai dan budaya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya
kita.
Konfigurasi Budaya Aceh
Berbicara budaya, kita harus membuka dahulu ruang untuk menyamakan
pandangan tentang konsep budaya itu sendiri. Budaya (kebudayaan/kultur)
seringkali diartikan oleh beranekaragam arti atau makna. Antara satu makna dengan
makna yang lain dapat berbeda. Antara orang awan dan akademisi pun dapat
berbeda pendapat tentang arti budaya ini. Bahkan di antara akademisi mempunyai
pandangan yang tidak sama. Kenyataannya, budaya memang adalah sebuah konsep
yang bermakna beranekaragam. Ada yang memaknainya secara luas dan ada pula
yang memaknainya secara sempit. Bagi mereka yang memaknai sempit, budaya
diartikan hanya sekedar sebuah seni, padahal seni itu sendiri adalah bagian dari
budaya.

Dalam tulisan ini, konsep budaya dipahami sebagai sistem ide atau sistem
gagasan milik satu masyarakat yang dijadikan acuan tingkah laku dalam kehidupan
sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Jadi, kebudayaan itu bersifat abstrak,

sedangkan perilaku dan benda-benda (“benda budaya”) merupakan “gejala-gejala
kebudayaan” saja Selanjutnya, konsep budaya dapat dikembangkan dalam suatu
perincian untuk mendapatkan pemahaman atau makna yang lebih operasional.
Perincian itu terdiri dari unsur-unsur gagasan tadi yang terkait dalam suatu sistem
yang dikenal dengan konsep “sistem budaya” (cultural system). Sistem budaya itu
sendiri adalah seperangkat pengetahuan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan,
nilai, norma, aturan, hukum yang menjadi milik suatu masyarakat melalui proses
belajar, yang kemudian diacu sebagai pedoman untuk menata, menilai,
menginterpretasi sejumlah benda dan peristiwa dalam beragam aspek kehidupan
dalam kehidupan lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Keseluruhan unsur
tadi terkait dalam satu sistem yang dapat disebut “roh” dari kehidupan satu
masyarakat. Yang terpenting di antaranya adalah nilai atau nilai budaya (cultural
value) yang merupakan suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai
tinggi dalam hidup, yang menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu
masyarakat (Junus Melalatoa, 2005).
Bagan 1
Kerangka Kebudayaan

Nilai budaya yang dimiliki satu masyarakat dapat terdiri dari beberapa kategori
nilai, yaitu nilai pengetahuan, nilai religi, nilai sosial, nilai seni, dan nilai ekonomi.

Dalam kategori nilai sosial ada sejumlah nilai, misalnya nilai tertib, setia kawan,
harga diri, tolong-menolong, rukun, kompetitif, disiplin, dan sebagainya. Nilai disiplin
juga merupakan unsur nilai religi, di samping takwa, iman, yang menjadi unsur nilai
seni di samping indah, melankolis, halus, riang, dinamis, kreatif, dan lain-lain.
Dengan kata lain, sebuah atau beberapa nilai tersebar sebagai unsur dalam kategori
nilai-nilai: pengetahuan, religi, sosial, seni, dan ekonomi. Keseluruhan nilai-nilai itu
terkait satu dengan yang lain, sehingga merupakan satu sistem nilai budaya (cultural
value system).

Bagan 2
Pemerincian Kebudayaan

Pengalaman nilai-nilai itu dalam kehidupan empirik masih harus ditunjang
oleh sistem norma, aturan, dan hukum. Nilai-nilai itu terdapat dalam berbagai
kebudayaan, meskipun jumlah atau variasinya tidak sama pada berbagai
masyarakat, seperti pada beberapa penelitian yang dilakukan oleh sejumlah peneliti,
termasuk Aceh.
Mengacu kepada definisi kebudayaan seperti telah dipaparkan di atas, maka
kita dapat merunut apa sebenarnya kebudayaan Aceh itu. Kebudayaan Aceh
merupakan keseluruhan gagasan, aktivitas, dan hasil karya masyarakat Aceh yang

dibiasakannya melalui proses belajar, beserta keseluruhan dari hasil karya itu
(Koentjaraningrat, 1990). Di dalam kebudayaan ini terdapat 7 unsur kebudayaan
universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, sistem religi, dan kesenian (lihat bagan 1). Namun untuk melihat
bagaimana sebenarnya kebudayaan Aceh, tidak lepas pula faktor-faktor yang
mempengaruhinya, baik faktor internal dan eksternal.
Dari karya-karya sejarah (sumber sejarah) kita dapat mengetahui bahwa di
wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
pernah ada kerajaan yang bercorak Islam seperti Pasai, Perlak, Pedir, Daya, dan Aceh
Darussalam. Kerajaan-kerajaan ini telah berperan menyebarkan ajaran agama Islam
ke seluruh Aceh, bahkan ke seluruh Nusantara.Tidak mengherankan apabila Aceh
dinobatkan sebagai daerah yang pertama menerima ajaran Islam Nusantara.
Akhirnya, ajaran agama Islam ini mempengaruhi kebudayaan Aceh. Dalam
segala bidang kehidupan masyarakat ajaran agama Islam telah merasuk ke semua
sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh, mulai dari siasat peperangan, kesenian,
pergaulan masyarakat, pendidikan, dan pengajaran sampai kepada keyakinan dan
kehidupan sosial lainnya. Walaupun saat ini, umat manusia sudah memasuki abad
ilmu pengetahuan dan demokrasi, namun masyarakat Aceh masih mengakui ajaran
agama Islam sebagai bagian dari kehidupannya. Apalagi Pancasila dan UUD 1945
mengakui dan membuka luas pintu kepada setiap warga melaksanakan dan

mengamalkan agama menurut keyakinannya masing-masing. Dengan demikian,
budaya Aceh dapat diidentikan dengan budaya Islam, sehingga tidak salah seperti
juga dikatakan oleh B.J. Boland (1971) bahwa seorang Aceh adalah seorang Islam.

Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran Islam dalam kehidupannya.
Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran Islam diwujudkan
dalam bentuk akulturasi antara adat dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa
seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau
digariskan dengan adat, maka hal itu berarti ia telah berperilaku dan bersikap sesuai
dengan ajaran agamanya pula, atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai
agama yang mereka anut (M. Hakim Nyak Pha, 2000: 10)
Ajaran agama Islam telah menjadi dasar berpijak dalam kehidupan
bermasyarakat, sosial, ekonomi, politik, tata negara, hukum dan budaya. Bagi orang
Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala sikap, tindaktanduk, perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan
pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan
segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam (Agus
Budi Wibowo, 2002).
Bagan 3
Konfigurasi Kebudayaan Aceh


Adat
Ajaran agama Islam

Pengalaman Sejarah

Globalisasi/modernisasi

Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada
syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hokum) dan adat-istiadat. Keadaan
ini tampak pada beberapa aspek seperti yang termaktub dalam beberapa hadih maja
di bawah ini.

1. “Adat bak Poteumeurohom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro
Phang, Reusam bak Laksamana”. (Adat-hukum pengaplikasiannya dalam
masyarakat berada di bawah tanggung jawab raja/pemerintahan,
sedangkan hukum-hukum Islam berada di bawah tanggung jawab ulama,
adat-istiadat dan upacara protokoler istana berada di bawah tanggung
jawab berada di bawah tanggung jawab - Putro Phang dan adat istiadat
atau kebiasaan berada di bawah tanggung jawab penguasa-penguasa atau
pemimpin-pemimpin se-tempat).

2. Hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet (Hukum Islam dan Hukum
adat ibarat benda dengan sifatnya, jadi tidak dapat dipisahkan).

3. Hukum ngon adat hanjeuet cree, lagee mata itam ngon mata puteh
(Hukum Islam dan hukum adat tidak boleh berpisah seperti mata hitam
dan mata putih) (lihat bagan 3)

Ungkapan-ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam
dalam praktik hidup sehari-hari pada masyarakat Aceh. Kemudian tidak berlebihan
apabila Aceh mendapat gelar Serambi Mekah, semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh
Darussalam. Kesemua itu adalah wujud dari semangat dan nilai yang lahir dari
perpaduan tadi.
Budaya sebagai sebuah aturan yang dipedomani masyarakat di dalam hidup
bermasyarakat bersumber dari gampong. Gampong adalah “rumah” bagi pembinaan,
pelestarian, dan pengendalian budaya Aceh. Di gampong2 , seseorang dijadikan
ureung Aceh dengan segala keacehannya. Gampong merupakan tempat menggodok
atau menginternalisasi seseorang dalam hal yang terkait dengan subtansi adat dan
agama melalui proses pendidikan. Jadi, gampong bukan hanya sekedar pola
perkampungan menurut terminologi teritorial dimana sebuah komunitas bertempat
tinggal, tetapi telah melebihi batas-batas fungsinya. Ia menjadi “istana” bagi budaya
masyarakat Aceh.
Setelah dilahirkan ke dunia seseorang diacehkan oleh kerabat inti dan di luar
kerabat. Saat itu siapapun yang dilahirkan akan diberi pelajaran tentang sopansantun, tolong-menolong, cara hidup, cara berpikir, dan cara bertindak menurut
budaya Aceh. Untuk itu, seorang anak laki-laki Aceh yang berusia enam tahun
sampai remaja menginap di meunasah.3 Di meunasah ini, mereka dididik, diajar,
diasuh untuk menginternalisasi dasar-dasar pengetahuan dan keyakinan agama
Islam (yang menjadi pondasi budaya Aceh), sehingga mendarahdaging di dalam
jiwanya. Keseharian anak laki-laki ini berada di meunasah. Mereka pulang hanya
ketika makan. Sedangkan anak perempuan tidak jauh berbeda dengan anak laki-laki.
Mereka juga mendapat pemahaman yang sama tentang ajaran agama Islam. Hanya
saja, anak-anak perempuan ini dididik di rumah imeum meunasah dan tidak
menginap. Internalisasi berlanjut ke jenjang lebih tinggi di rangkang dan dayah.
Dalam tata pemerintahan gampong kita akan dapati dwi-tunggal di dalam
pemeliharaan dan pembinaan budaya Aceh. Dwi tunggal itu adalah keuchik dan
imeum meunasah. Keuchik adalah seseorang yang diserahi tugas mengelola hal-ikhwal
yang menyangkut adat. Di dalam kaca mata rakyat Keuchik dipandang sebagai
“ayah”, sedangkan imeum meunasah dipandang sebagai “ibu”. Dwi tunggal tersebut
mempunyai kewajiban melestarikan budaya Aceh. Di dalam menjalankan tugasnya,
dwi tunggal ini dibantu oleh tuha peut (“dewam orang tua). Mereka memberi nasihat
kepada keuchik dan imeum meunasah. Posisi dwi tunggal ini mencerminkan
bagaimana pertalian “agama dan adat”, yang dibaratkan dua sisi yang terdapat satu
keping uang atau sisi putih dan sisi hitam dari kelopak mata manusia.
Nilai-nilai Budaya Aceh di Tengah Pusaran Globalisasi
Walaupun benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat
dimasukkan ke dalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan
pada kebudayaan itu, namun harus diingat bahwa kebudayaan tidaklah bersifat
statis ia akan selalu berubah. Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh
masuknya unsur asing sekalipun suatu kebudayaan dalam masyarakat tertentu pasti
akan berubah dengan berlalunya waktu.
Sebagai contoh kecil namun berarti, Muhammad Yamin adalah orang
Minangkabau. Mengapa dia kagum dan mencintai budaya Jawa dan dapat menulis
kebesaran kebudayaan Jawa ? Mengapa banyak orang Barat yang mempelajari

kebudayaan Bali dan Jawa kemudian jatuh cinta pada kebudayaan yang
dipelajarinya itu dan hidup dalam budaya Jawa dan Bali, sehingga kadang kala dia
disebut sebagai orang yang "lebih Bali atau Jawa daripada orang Bali atau orang
Jawa sendiri ? Mengapa banyak orang Indonesia yang dianggap memiliki cara hidup
kebarat-baratan, apalagi sekarang, dan dianggap telah melupakan kebudayaan
sendiri ? Dari kasus-kasus itu, dengan demikian kebudayaan bukan suatu yang
tertutup, yang tidak dapat berubah, yang bila sudah masuk dalam jiwa seseorang
(internalized) akan terus hidup sepanjang hayatnya. Dengan contoh-contoh kecil itu,
ternayata sesorang dapat beralih anutan kebudayaan, baik sadar atau tidak sadar,
dan tidak harus sepanjang hidupnya dia tercengkram atau tidak dapat melepaskan
diri dari kebudayaan asalnya. Dengan kata lain, kebudayaan dapat berubah dan
dalam kenyataannya memang kebudayaan mengalami perubahan, tidak tertutup dan
statis, sehingga
kebudayaan yang satu
dengan kebudayaan yang lain dapat
saling berkomunikasi dan berbaur, bahkan dalam proses hubungan (cultural contact)
tersebut dapat saja tumbuh dan berkembang suatu kebudayaan baru, suatu bentuk
budaya hasil proses akulturasi.4
Ketika sebelum ajaran agama Islam masuk ke Aceh, budaya Aceh masih
diliputi oleh budaya asli, yang tidak bernuasa Islami.5 Kemudian, ajaran agama Islam
masuk ke Aceh mempengaruhi budaya asli Aceh. Jadilah budaya Aceh yang bernuasa
Islam, seperti yang kita lihat saat ini. Demikian pula masuknya bangsa Barat ke bumi
Serambi Mekah, sedikit banyak telah membawa pengaruh pula terhadap budaya
masyarakat daerah ini. Hal ini terlihat dengan terdegradasinya budaya Aceh selama
setengah abad lamanya. Budaya dan peradaban Aceh diobrak-abrik oleh kolonial
Belanda. Pada waktu pemerintah Hindia Belanda melakukan penetrasi terhadap
Kerajaan Aceh.
Selain itu, pembangunan nasional yang telah kita laksanakan lebih dari 29
tahun (sejak Pelita I tanggal 1 April 1969), secara nyata telah menjadikan masyarakat
memiliki pendidikan yang semakin tinggi, mempunyai pengetahuan yang semakin
luas, dan kehidupan ekonominya semakin sejahtera. Namun di balik kesuksesan
dalam bidang sosial-ekonomi tersebut, sedikit demi. sedikit membawa dampak
terhadap kehidupan budaya bangsa Indonesia, termasuk juga tentunya budaya Aceh.
Secara struktural, budaya Aceh kehilangan peran yang cukup penting di dalam
masyarakat ketika diberlakukan Undang-undang No. 7 tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa. Undang-undang ini menghendaki penyeragaman tata
pemerintahan di tingkat desa, yang berlatar belakang beraneka ragamnya budaya
etnik. Akibatnya, struktur masyarakat gampong di Aceh menjadi runyam. Peranan
tuha peut, keuchik, dan imeum meunasah menjadi “kabur. Padahal, mereka adalah
benteng dari budaya Aceh. Penodaan terhadap peran yang dimiliki oleh “benteng”
budaya Aceh tersebut membuatnya kehilangan makna di dalam diri ureung Aceh.
Faktor yang tidak kalah penting yang turut mempengaruhi budaya Aceh adalah
globalisasi dan modernisasi. Globalisasi telah menyebabkan dunia menjadi sebuah
“kampung” yang besar, yang mana batas-batas negara hanya tampak pada peta.
Komunikasi dan telekomunikasi merambah semua kawasan di seluruh pelosok dunia,
termasuk Indonesia. Dahulu kita sangat sulit apabila ingin mengetahui sebuah
peristiwa yang terjadi di suatu negara yang berjarak ribuan kilometer. Saat ini, kita
dengan mudah mengetahui sebuah peristiwa terjadi di belahan dunia lainnya dalam
hitungan detik. Bagaimana pengaruh itu terjadi tampak pada gaya rambut Lady Di

yang ditiru banyak wanita di Indonesia. Demikian pula dengan berita kematian Lady
Di yang dapat diakses dengan mudah. Salah satu contoh lain tentang nilai global
yang telah masuk ke Indonesia adalahh pada dasarnya kulit orang Indonesia adalah
sawo matang, tetapi saat ini orang Indonesia (khususnya wanita) menginginkan kulit
mereka berwarna putih (Widjajanti M. Santoso, 2001).
Modernisasi juga merupakan faktor yang cukup signifikan yang mempengaruhi
budaya Aceh. Komunikasi dan telekomunikasi yang kita nikmati sekarang merupakan
salah bentuk kemajuan peradaban akibat modernisasi. Modernisasi mempercepat
proses dari globalisasi. Budaya suatu bangsa dapat diketahui oleh bangsa lain
dengan mudah, walaupun bangsa-bangsa tersebut terpisah jauh dengan jarak ribuan
kilometer. Pengetahuan tentang budaya bangsa lain ini pada akhirnya mempengaruhi
juga budaya suatu bangsa. (lihat bagan 3).
Salah satu bangsa di dunia yang ikut terpengaruh oleh budaya bangsa lain
adalah bangsa Indonesia. Saat ini, banyak aspek-aspek nilai budaya yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Di kota-kota besar di
Indonesia tampak sekali nilai-nilai individualisme, hedonisme, konsumerisme yang
berasal dari dunia luar mulai tumbuh dalam nilai-nilai budaya masyarakat kita. Nilainilai budaya asli sebagai nilai budaya yang agung dimiliki bangsa Indonesia (Aceh)
mulai terkikis, seperti nilai komunalisme, guyup rukun, gotong royong, dan
sebagainya. Gaungnya hanya tampak di daerah-daerah pedesaan yang jauh tersentuh
oleh nilai-nilai modernisme.
Dalam sebuah seminar di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda
Aceh, Yusni Sabi (2000) mensinyalir bahwa ada tiga aspek dari nilai budaya Aceh
yang sedikit-banyak telah dilupakan oleh masyarakatnya. Adapun aspek-aspek
tersebut adalah aspek integritas, tatakrama, dan kedisiplinan. Erosi ini mungkin
disebabkan oleh pengaruh luar ataupun pengaruh dari dalam masyarakat itu sendiri.
Yang dimaksud dengan pengaruh luar adalah bahwa sikap budaya Aceh telah
bergeser karena adanya tekanan budaya luar Aceh yang melanda karena globalisasi
yang tidak dapat dielakkan. Pengaruh dalam dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri
telah melunturkan nilai-nilai Ke-Acehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh
itu sendiri yang tidak setia kepada budayanya.
Pada bagian lain, M. Hakim Nyak Pha (2000) juga telah memperkirakan bahwa
masyarakat Aceh telah mengalami pergeseran budaya. Menurutnya, era reformasi dan
informasi dengan bantuan teknologi canggih telah menembus “kelambu” masyarakat
desa, telah mempengaruhi mimpi-mimpi ureueng gampong dalam tidurnya sehingga
telah membawa dampak positif bersamaan dengan membawa dampak negatif yang
dalam banyak hal berbentuk “kemudharatan”` yang ditimbulkannya. Masyarakat
telah mengarah kepada globalisasi, yaitu masyarakat yang bercirikan keterbukaan,
tranparansi, kecepatan mengolah, kecepatan mendistribusikan, kesibukan individual,
profesionalisme dan sebagainya. Namun amat disayangkan hal ini belum didukung
oleh kemampuan nalar yang memadai. Akibatnya, telah menimbulkan efek yang
sebahagian besar tidak diharapkan. Sebagian masyarakat Aceh melupakan jiwa
keacehannya. Misalnya, tatkala Aceh memproklamasikan dirinya sebagai daerah yang
bernuansa syariat Islam sesuai dengan pondasi dari budaya Aceh ternyata masih ada
sebagian masyarakat yang tidak bernapaskan syariat Islam di dalam aktivitas
kesehariannya.

Misalnya, hasil penelitian Agus Budi Wibowo (2000) tentang penerapan syariat
Islam mengenai pemakaian busana muslimah ternyata belum optimal. Masih ada di
kalangan masyarakat yang belum memakai busana muslimah secara kaffah. Peneliti
mengidentifikasi ada empat gaya busana muslimah di kalangan remaja putri dari
hasil penelitian di Kota Sabang, yaitu gaya busana ke sekolah, gaya busana ke tempat
umum, dan gaya busana ke tempat ibadah serta gaya busana pesta. Adapun model
yang mereka kenakan ada beberapa jenis, seperti celana ketat/jins, baju biasa/ketat,
dengan atau tanpa jilbab. Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana
yang tidak ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan
akarnya (pakai jilbab), sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka
menampilkan gairah anak muda (pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan
antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, yang seperti
dikatakan oleh Jailani M. Yunus (2000), yaitu jilbab yang dihiasi dengan lipstik tebal,
lekuk tubuh yang menantang mata, dan perilaku agresif.
Pendeklarasian syariat Islam di Aceh belum sepenuhnya menyentuh semua
aspek kehidupan. Ada hal-hal lain yang harus dibenahi dan dioptimalkan, sehingga
Aceh sebagai daerah dengan penerapan syariat Islam (sesuai dengan akar budaya
Aceh) dapat terlaksana.
Reaktualisasi dan Revitalisasi Nilai-nilai Budaya Aceh
Paparan di atas menunjukkan bahwa selama perjalanan sejarahnya budaya
Aceh telah mengalami pasang surut. Ia pernah mengalami puncak kejayaannya ketika
Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda. Namun pasca Sultan Iskandar Muda,
perlahan tetapi pasti, budaya Aceh tidak segemerlap zaman dahulu. Tentunya,
banyak faktor yang menjadi penyebab “mundur”nya budaya Aceh, baik faktor internal
maupun eksternal.
Oleh karena itu, upaya reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai budaya Aceh
harus menjadi sebuah prioritas di dalam pembangunan yang akan dilaksanakan di
Aceh. Suatu bangsa yang melaksanakan pembangunan tanpa berlandaskan
kebudayaannya seringkali mengalami kemudharatan. Banyak hasil pembangunan
yang tidak sesuai dengan hakikat kemanusiaan dari manusia yang menjadi objek
pembangunan. Pembangunan yang demikian lebih cenderung menjadikan manusia
sebagai subjek saja. Bahkan, pembangunan yang tidak berbudaya akan
menghilangkan identitas dan jati diri dari manusia yang dibangun.
Dalam upaya mereaktualisasi dan merevitalisasi budaya Aceh penulis
menerapkan bagan alur faktor yang mempengaruhi upaya-upaya tersebut (lihat
bagan 4). Dari bagan 4 tersebut tampak terdapat beberapa faktor seperti faktor
lingkungan, kelembagaan, keluarga, dan sebagainya. Dalam operasionalisasi
komponen antropos mencakup masyarakat Aceh; komponen etnos mencakup
lembaga-lembaga sosial masyarakat Aceh seperti Majelis Adat Aceh (dahulu: LAKA),
MUI, Dinas Kebudayaan dan Stakeholder lainnya; komponen tehnos mencakup caracara dan sarana-sarana yang mendukung reaktualisasi dan revitalisasi budaya Aceh
dan pengendalian sosial dalam masyarakat; komponen oikos mencakup lingkungan
komunitas Aceh tinggal, baik di pedesaan dan maupun perkotaan. Sebagai wadah
operasionalisasi dari upaya reaktualisasi dan revitalisasi dua pola kehidupan, yaitu
kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat.

Berdasarkan faktor yang berpengaruh seperti dipaparkan tersebut, maka dapat
diambil beberapa kebijakan. Pertama, Perlunya perubahan pola pikir (mainset) dari
semua komponen masyarakat Aceh dalam memandang kebudayaan. Selama ini
terdapat pemikiran bahwa kebudayaan bukan suatu hal yang sangat penting. Budaya
dipinggirkan oleh berbagai pihak. Bicara kebudayaan dianggap suatu yang kuno
atau kolot. Padahal budaya merupakan jati diri dari suatu bangsa. Misalnya, bangsa
Jepang yang telah maju tidak melupakan jati diri budayanya. Mereka tetap
mempunyai komitemen yang tinggi terhadap budaya yang mereka miliki.
Kedua, pembuatan Undang-undang/qanun yang menjamin keberadaan
budaya Aceh di dalam kehidupan bermasyarakat. Berbagai upaya untuk memperkuat
budaya Aceh sebetulnya pernah dilakukan. Pascakemerdekaan, Tgk Muhammad
Daud Beureueh pernah menuntut pelaksanaan Syariat Islam sebagai landasan
kehidupan bermasyarakat di tanah rencong. Hasilnya adalah Aceh diberi status
daerah istimewa dalam bidang adat, pendidikan, dan agama, sehingga kemudian
Aceh diberi sebutan sebagai Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Namun dalam sejarah
perjalanan dari pelaksanaan keistimewaan tersebut tidak sesuai dengan harapan.
Status istimewa tersebut seakan-akan hanya sebuah dokumen di atas kertas.
Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak berjalan secara optimal. Cita-cita
masyarakat Aceh memberlakukan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya di Aceh
mengalami pasang-surut. Puncak kejayaan dari semua itu dapat dilihat pada masa
Kesultanan Aceh Darussalam, yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda.
Namun sejak Indonesia merdeka dan penetapan UU NO. 5 tahun 1979 Tentang
Pemerintahan Desa, adat Aceh semakin runyam dalam pelaksanaannya (Rusdi Sufi,
2000). Akhir-akhir ini tampak bahwa masyarakat Aceh “rindu” untuk menghidupkan
kembali adat tersebut. Keinginan masyarakat Aceh ini kemudian disahuti oleh
pemerintah pusat dalam wujud dengan memberikan kewenangan pemerintah daerah
dan masyarakatnya dalam penyelenggaraan pelaksanaan syariat Islam ini.
Penyelenggaraan pelaksanaan syariat Islam itu ditetapkan melalui Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 44
tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Berdasarkan
kedua
Undang-Undang ini kemudian pemerintah daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh
bersama DPRD menetapkan Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 tahun
2000 tentang penyelenggaraan syariat Islam.6 Pasca konflik telah terbentuk Undangundang Pemerintahan Aceh, yang diharapkan pula Aceh menuju jati dirinya dan
undang-undang ini memuat upaya-upaya reaktualisasi dan revitalisasi budaya Aceh.
Ketiga, menyediakan ruang publik sebagai upaya melestarikan budaya
masyarakat. Ruang publik ini dapat berupa museum dan “taman mini” (dalam hal ini
arena Pekan Kebudayaan Aceh). penyediaan ruang publik ini sebagai upaya
pelestarian budaya dan ruang pameran, baik bagi masyarakat Aceh dan maupun
masyarakat dari luar Aceh. Keempat, budaya Aceh disosialisasikan melalui media
pendidikan. Untuk itu, hendaknya budaya dijadikan mata pelajaran muatan lokal
sehingga pengetahuan, persepsi, keyakinan, sikap anak-anak terhadap budaya Aceh
semakin baik. Hal ini juga untuk membentengi anak-anak dari pengaruh luar yang
negatif, sehingga mereka tidak kehilangan roh keacehannya.
Kelima,
pembentukan
lembaga-lembaga
yang
melestarikan
dan
mensosialisasikan keberadaan budaya Aceh. Pendirian lembaga-lembaga ini juga
harus didukung oleh kerjasama yang baik di antara lembaga-lembaga yang bergerak
di bidang kebudayaan dan stakeholder. Jangan sampai mereka bekerja sendiri. Kalau

hal ini terjadi, program-program yang dilaksanakan hanya menghamburkan uang dan
terjadinya tumpang tindih program. Hasilnya tidak optimal. Kelima, merekatualisasi
pengendalian sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga masyarakat.
Keenam, penyediaan dana yang cukup dalam upaya melaksanakan pembangunan di
bidang kebudayaan. Tanpa dana yang cukup, kebudayaan tetap menjadi suatu yang
terpinggirkan. Penyediaan dana ini harus mendapat dukungan dari pihak legislatif
dan yudikatif di pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Bagan 4: Diagram Alur Faktor yang Berpengaruh
Dalam upaya mereaktualisasi dan merevitalisasi budaya Aceh
Tehnos

Pendorong /

Oikos

Penghambat

Nilai Budaya

Persepsi
Sikap
Pengetahuan

reaktualisasi
dan revitalisasi

Keyakinan

Etnos

Penghambat/Pendorong

Antropos

Sumber : Diolah dari S. Swarsi, dkk (1997)
Dalam upaya mereaktualisasikan dan merevitalisasi budaya Aceh harus
dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Ia tidak dapat dilakukan secara
sepotong-potong. Selain itu, upaya ini harus dilakukan secara berkesinambungan
oleh lembaga-lembaga yang mempunyai tugas di dalam pembangunan kebudayaan
bersama stakeholder.
Penutup
Subbahasan penutup merupakan akhir dari seluruh paparan dan pembahasan
dalam tulisan ini. Sebagai penutup, pemaparan dalam subbahasan memberikan
penekanan dan membulatkan seluruh bahasan dalam paparan sebelumnya dalam
rangkuman kesimpulan. Selain itu, pada subbahasan ini juga sekaligus digunakan
untuk mengekspresikan renungan-reungan mengenai reaktualisasi dan revitalisasi
budaya Aceh.
1. Kesimpulan
Berdasarkan bahasan yang penulis kemukakan pada subbahasan sebelumnya,
maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a. Aceh merupakan salah satu daerah yang mempunyai
kekuatan
tersendiri, yang membedakan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Ia
menempati posisi yang strategis, baik dalam geopolitik, Hankam, sosial,
ekonomi, maupun budaya. Salah satu bentuk kekuatan yang dimiliki Aceh
adalah budayanya.

b.

Dalam konteks budaya, Aceh Budaya Aceh terbentuk dari perpaduan
antara ajaran agama Islam dan adat. Di antara keduanya tidak dapat
dipisahkan dan bahkan menyatu seperti, dua sisi dalam sebuah mata uang.
Selain itu, faktor internal dan eksternal
juga ikut mempengaruhi
perkembangan keberadaan budaya Aceh hingga kita melihat bentuknya
seperti saat ini kita lihat.
c.
Namun budaya itu memiliki sifat yang sangat dinamis. Ia berkembang
sesuai dengan perkembangan manusia sebagai pemilik kebudayaan.
Demikian pula dengan budaya Aceh, yang menurut M. Junus Melalatoa,
agama sebagai pondasi budaya Aceh telah kehilangan partnernya (adat).
Diakui, agama (Islam) tidak mungkin mengalami perubahan karena agama
adalah sebuah dogma yang tidak mungkin berubah.
d. Untuk itu, upaya mereaktualisasi dan revitalisasi budaya (adat) menjadi
suatu sebuah keharusan. Pascagempa dan tsunami, budaya merupakan
bagian yang cukup penting. Hendaknya, budaya dijadikan “panglima”
dalam pembangunan di Aceh. Pembangunan tanpa mengedepankan budaya
akan menghasilkan sebuah masyarakat yang tercabut dari “akar”
budayanya dan kehilangan jati dirinya sebagai “ureung” Aceh. Melupakan
warisan indatu yang harus tetap dijaga. Ingatlah akan hadih maja sebagai
berikut,
“Matee Aneuk meupat Jeurat, Matee Adat Pat Tamita”.
2. Saran-saran
Berdasarkan paparan dan kesimpulan seperti yang diuraikan di atas, penulis
menyarankan beberapa hal, yaitu:

a.

Agar reaktulisasi dan revitalisasi budaya dapat dilaksanakan, diperlukan
sebuah program yang terpadu dan ber-kesinambungan di antara semua
komponen masyarakat, birokrat, ulama, dan lembaga-lembaga terkait.
Kerjasama yang harmonis di antara lembaga yudikatif dan legislatif juga
sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam menggolkan
program-program pembangunan di bidang kebudayaan.

b.

Program yang dilaksanakan untuk mereaktualisasi dan revitalisasi
budaya Aceh mencakup aspek kelembagaan, sumber daya manusia,
undang-undang/ perda/qanun, dan sarana/prasarama pen-dukung.
Program-program reaktualisasi dan revitalisasi juga harus didukung
pendanaan yang cukup.

Catatan Akhir
Di Aceh terdapat delapan suku bangsa yang berbeda, yaitu suku bangsa Aceh, suku bangsa Alas, suku
bangsa Aneuk Jamee, suku bangsa Gayo, suku bangsa Kluet, suku bangsa Singkil, suku bangsa Simeulu, suku
bangsa Tamiang
2
Gampong adalah sebuah terminologi desa bagi orang Aceh. Setiap gampong terdiri atas sekelompok
rumah yang letak berdekatan satu sama lain dan setiap desa mempunyai 50 sampai 100 buah rumah. Gampong
merupakan pusat kehidupan masyarakat Aceh, yang termasuk ke dalam masyarakat hukum territorial yang
terkecil (Syamsuddin, 2004).
3
Meunasah merupakan penanda adanya sebuah gampong dimana di situ sebuah komunitas masyarakat
bertempat tinggal
4
Konsep sinkretisme dalam kepercayaan (belief system) masyarakat Jawa mungkin dapat mewakili
hasil dari pembauran kebudayaan. Di samping itu, banyak pula unsur-unsur budaya kita, umpamanya dalam
kesenian, bahasa, dan gaya hidup, yang berasal dari pengaruh kebudayaan lain yang kemudian mengalami
percampuran, dan tanpa kita sadari dianggap sebagai hasil daya cipta budaya masyarakat kita.
5

Bukti bahwa sebelum Islam terdapat ajaran lain yang masuk ke Aceh tampak pada bangunan Mesjid
Indrapuri di Aceh Besar. Sebelum dijadikan mesjid seperti yang kita lihat seperti sekarang, bangunan awal
Masjid Indrapuri merupakan bekas bangunan candi Hindu/Budha. Diduga bangunan ini merupakan
peninggalan Kerajaan Poli/Puri, yang kemudian disebut Lamuri oleh orang Arab dan disebut Lambri oleh
Marcopolo. Meskipun saat ini kita tidak dapat menyaksikan bentuk candi tersebut secara utuh, tetapi ada
beberapa bagian masih tampak tersisa, yakni tembok tebal yang mengeliling mesjid. Dari plester tembok yang
sebagian sudah tampak terkelupas kita dapat meihat bahwa Candi Indrapuri tersebut terbuat dari batu hitam
yang dibuat lempengan berukuran panjang sekitar 40 cm dan lebar 20 cm dengan ketebalan 5 cm. Sampai
sekarang tembok (berbentuk seperti punden berundak/ tiga tingkat dengan ketinggian 1,46 meter) masih berdiri
kokoh.
6

Dalam Perda itu ditetapkan bahwa setiap pemeluk agama Islam wajib mentaati,
mengamalkan/menjalankan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan
sempurna. Aspek yang diatur pelaksanaannya dalam Perda tersebut adalah aqidah, ibadah, muamalah, akhlak,
pendidikan dan dakwah Islamiyah/amal ma’ruf nahi mungkar, baitulamal, kemasyarakatan, syiar Islam,
pembelaan Islam, qadha, jinayat, munakahat dan mawaris.

Daftar Bacaan
Alfian, Teuku Ibrahim. 1967. Perang di Jalan Allah. Jakarta: Sinar Harapan.
Agus Budi Wibowo. 1999. “Memaknai Kondisi Aceh Dewasa Ini”, Serambi Indonesia
tanggal 4 Juli.
____________________. 2004. Makna Busana Bagi Remaja Wanita Aceh (Sebuah
Interpretasi Antropologis). Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
___________________. 2005. “Budaya Aceh Pascagempa dan Tsunami 24 Desember
2004: Masihkah Ada ?”, dalam Haba No. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
Boxer, C.R. 1969. “A. Note on Potuguese Reactions to the Revival of the Red Sea Spice
Trade and The Rise of Atjeh 1540-1600”. JSEAH 10, III.
Boland, B.J. 1971. The Struggle of Islam in Modern Indoenesia. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Djajadiningrat, R.Hoesin. 1911. “Critisch overzich van de in Maleissche vervatte
gegevens over geschiedenis van het Sultanaat van Atjeh”, BKI, 65.

Hakim Nyak Pha, M. “Adat dan Penegakan Disiplin Masyarakat”, Haba No. 13/2000.
Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.
Hoesin, Muhammad. 1970. Adat Atjeh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Jacobs, Julius. 1894. Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh. Leiden: E.J. Brill.
Junus Melalatoa, M. 2005. “Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya”, dalam
Bambang Bujono (ed.) Aceh Kembali Ke Masa Depan. Jakarta: Katakita,
Yayasan SET dan Gudang Garam.
Kalim, Nurdin. “Kedekatan Yang Terberai Foto-foto yang menghadirkan sisi lain duka
Aceh. Sebuah lanskap simbolis reruntuhan bencana”, Tempo No. 1/XXXIV/28
Feburari – 6 Maret 2005.
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
M. Santoso, Widjajanti. 2001. “Tubuh (perempuan) dan Konstelasi Lokal versus
Global Mengkasuskan Kecantikan Timur dan Pasar Global”, Makalah
disampaikan pada Panel Kontruksi Gender dan Seksualitas dalam Masyarakat
Yang Sedang Berubah. Kongres AAI Padang pada tanggal 18-21 Juli.
M. Yunus. Jailani. 2000. “Jilbab, antara Modisme dan Feminisme”. Serambi
Indonesia, tanggal 14 Mei.
Nitura, Nur Janah, “Ekspresi Emosi Bocah Pengungsi”, Serambi Indonesia tanggal 1
Maret 2005.
Sabi, Yusni “Budaya Aceh Memasuki Abad 21 (Aspek Integritas, Tatakrama, dan
Disiplin), dalam Haba No. 13/2000.
Said, Muhammad. 1961. Atjeh Sepandjang Abad. Medan: Penerbit Pengarang Sendiri.
Sjamsuddin, Nazaruddin. 1999. Revolusi di Serambi Mekkah: Perjuangan
Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949. Jakarta: UI Press.
Snouck Hurgronje, C. 1894. De Atjehers Vo. I dan II. Batavia: Landsdrukkerij.
_______________________. 1903. Het Gajoland en Zijne Bewoners.
__________________. 1906. The Achehnese. Vol. I dan II. Leiden: E.J. Brill.
Sufi, Rusdi. 2000. “Runyamnya Struktur Gampong di Aceh Akibat UU No. 5 Tahun
1979”, Haba No. 13/2000. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Banda Aceh.
Syamsuddin, Teuku. 2004. “Kebudayaan Aceh”, dalam Koentjaraningrat (ed.) Manusia
dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Zentgraaff. H. C. 1983. Aceh. Banda Aceh: Beuna.