1 TANAH DI KERATON SURAKARTA

TANAH DI KERATON SURAKARTA

(Studi Sosiologi Mengenai Konflik Atas Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di

Lingkungan Keraton Surakarta ) Disusun Oleh: Rizko Kurniawan (0710013029)

Abstract

This study discusses the conflict between Keraton with the impact of migrants from the region occupied the Keraton within the Baluwarti walls by immigrant communities. The purpose of this study was to determine how the dispute over the ownership and control of land in the Keraton Surakarta, namely Baluwarti. The benefit of this research is to increase knowledge about the form of land tenure and land ownership in the Keraton Surakarta, besides the benefits that can be gained is to get the right solution and not ignore the history and culture of the former kingdom lands in Indonesia.

These results indicate that the Keraton Surakarta is one kingdom that has an arrangement of land patterns are very interesting classification of land, while the land in question is paringan dalem ground, palilah anggaduh hereditary ground, palilah anggaduh soil, and mangersari soil. when independent Indonesia abolished the monarchy and became the residency, as well as land tenure turned into an autonomous state controlled. The settings contained in the Basic Agrarian Law of 1960. This law was strengthened with the release of Presidential Decree No. 23 in 1988, which declared Sultan granted the right to run the government while only limited within the palace walls. In terms of land ownership within the palace walls can not be transferred to another person or taken over by the government, for allegedly going against the laws and policies that are protected by the law itself. Such authority is owned by Keraton Surakarta as the theory proposed by Ralf Dahrendorf. However, conflicts over land occurred in the Surakarta Palace this occurs because each "claim" proof of ownership issued by the palace and residents Baluwarti. This is what is being debated within the Baluwarti.

1. Pengantar

Tanah dapat diartikan sebagai nilai ekonomi, Tanah merupakan modal dasar bagi

pada sisi yang lain tanah diartikan memiliki kehidupan manusia. Sebagai sebuah modal

kegunaan non ekonomi (nilai religio-magis dasar, maka tanah memiliki dua fungsi:

tanah). Pada saat itulah memunculkan fungsi produksi dan fungsi non produksi.

konflik tanah yang tampaknya tidak mudah Kebutuhan akan penggunaan tanah tersebut

untuk dipecahkan.

seringkali berbenturan, mengingat bahwa Hukum Tanah muncul sebagai sebuah terdapatnya jumlah luas tanah yang terbatas,

jawaban atas kepentingan manusia terhadap pada sisi yang lain terdapat ledakan

tanah. Hukum memberikan batas atas pertumbuhan penduduk.

kepemilikan tanah. Tanah tidak dapat Tanah menjadi sangat penting ketika

dilepaskan pengaturannya pada hubungan terdapat dua makna atas arti penting tanah.

yang bersifat privat murni, akan tetapi tanah yang bersifat privat murni, akan tetapi tanah

dengan tanah, maka menjadi

berhubungan

pengakuan atas kepemilikan tanah tersebut kemakmuran sebuah bangsa, dan ketika

akan semakin kuat. Tidak heran jika di berbicara bangsa maka negara berperan

masyarakat seperti di lingkungan Keraton secara aktif dalam pengelolaan dan

memiliki sertifikat pemanfaatan tanah. Pasal 33 (3) UUD 1945

Surakarta

tidak

kepemilikan atas tanah karena merasa telah memberikan

memiliki tanah tersebut secara turun- penguasaan sumber daya alam, dimana salah

Turun-temurun menempati satunya adalah tanah. Tanah harus

temurun.

sebidang tanah menjadi bukti pengakuan digunakan untuk mencapai sebuah taraf

atas kepemilikan tanah.

kemakmuran bagi rakyat Indonesia, akan Dalam hal demikian, maka terjadinya tetapi pada tataran praktik yang terjadi

konflik tanah dapat kita sederhanakan banyak muncul konflik tanah.

adanya perbedaan Konflik tanah tidak mudah untuk

penyebabnya:

pemahaman konsep kepemilikan dan adanya diselesaikan. Hal ini dapat difahami

perbedaan makna penggunaan tanah, serta mengingat menguasai tanah bukan sekedar

terdapatnya ketimpangan persediaan luas penguasaan atas sebidang objek fisik berupa

tanah apabila dibandingkan dengan laju tanah, melainkan sebuah keyakinan bahwa

pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini lah tanah mengandung nilai religio magis yang

yang terjadi di Keraton Surakarta, dimana kuat di kalangan masyarakat. Masuknya

terdapat perbedaan pandangan antara pihak investasi yang memandang tanah sebagai

keraton selaku pemilik tanah dan sebuah objek fisik bernilai ekonomi akan

masyarakat pendatang yang menghuni berhadapan dengan masyarakat yang masih

kawasan Keraton Surakarta. memandang bahwa tanah tidak sekedar

Sebelum kemerdekaan Indonesia, bernilai ekonomis tetapi mengandung nilai

pemerintahan yang ada di Surakarta sakral, karena di tanah tersebut ia dilahirkan,

berbentuk kerajaan. Pada setiap daerah orang tua dimakamkan, harga diri

kerajaan tersebut, tanah dianggap milik raja, dimunculkan dalam bentuk penguasaan atas

sementara rakyat hanya memakainya tanah.

(Anggaduh). Untuk tanah-tanah yang Benturan makna atas tanah muncul

dikuasai dan dipergunakan oleh rakyat, ketika saling berhadapannya ipso jure versus

pihak Keraton mengeluarkan peraturan- ipso facto. Ipso jure yang berasal dari

peraturan. Peraturan yang dikeluarkan oleh konsep hukum barat berhadapan dengan

pihak Keraton dalam bentuk Rijksblad ipso facto yang berasal dari konsep hukum

(Rijksblad Surakarta, tahun 1938 no. 11) adat. Secara juridis (ipso jure); masyarakat

yang dalam bahasa jawa disebut “Layang dianggap sebagai pemilik sah atas tanah jika

Kabar Nagoro ”. (Hardiyanto, 1997: 10) ia

Setelah kemerdekaan, tanah yang membuktikannya dengan alat bukti hukum

sebagai subjek

hukum

dapat

semula dianggap sebagai milik raja beralih berupa surat sertifikat. Tetapi secara ipso

menjadi tanah yang dikuasai oleh negara. facto, masyarakat menganggap bahwa ia

Pada daerah Surakarta, status tanah yang memiliki sebidang tanah tidak dibuktikan

dikuasai atau yang berada dibawah melalui ada atau tidak adanya surat bukti

wewenang dan hak Keraton atau bekas kepemilikan berupa sertifikat tanah, tetapi

swapraja didasarkan pada peraturan dari hubungan intensitas yang terjadi antara

yang dikeluarkan oleh manusia dengan tanah, semakin intens ia

perundangan

pemerintah republik Indonesia yang berupa pemerintah republik Indonesia yang berupa

mencangkup kawasan Keraton Surakarta menjadi satu keresidenan.

Mulai saat itu tidak ada pemerintah Keraton

dalam pelaksanaannya atau daerah swapraja, yang ada hanya

Namun

Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 penyebutan bekas swapraja. Demikian pula

Tahun 1960 tidak dijalankan secara tegas tanah yang dulu dikuasai oleh Keraton

oleh pemerintah kota Surakarta, karena pada Surakarta berubah menjadi tanah bekas

kenyataannya kawasan Baluwarti termasuk swapraja (Bambang Hardiyanto, 1997:

dalam 51 kecamatan yang ada di kota 43,44).

Surakarta, sehingga kondisi dilapangan yang Komplek 1 Baluwarti pada awalnya terjadi adalah dualisme kepemimpinan,

hanya didiami oleh para pangeran (putra yaitu Pemerintah dan Keraton. Dualisme dalem) , kerabat Keraton (sentana dalem),

inilah yang menyebabkan “kebingungan” dan para abdi dalem baik pria maupun

bagi masyarakat Baluwarti, karena tanah wanita,

yang mereka tempati telah dikeluarkan bukti selanjutnya terjadi perubahan dengan

tetapi pada

perkembangan

kepemilikannya oleh pemerintah Surakarta banyaknya pendatang yang menjadi

sehingga mereka telah membayarkan Pajak penduduk bukan menjadi abdi dalem

Bumi dan Bangunan. Akan tetapi bagi pihak Keraton dan tidak ada kaitan sama sekali

Keraton tanah tersebut tetap bersifat dengan Keraton (masyarakat pendatang).

magersari, sehingga masyarakat juga Dari permasalahan konflik tanah yang

diharuskan membayar pajak pada Keraton. dikemukakan tersebut, konflik tanah di

Hal inilah yang menjadi konflik Keraton lingkungan Keraton Surakarta terjadi karena

dengan warga di Baluwarti. tidak adanya kepastian hukum atas tanah

Permasalahan ini menjadi menarik tersebut, sehingga antara masyarakat dengan

karena lingkungan Keraton yang bernama Keraton saling “mengklaim” kepemilikan

Baluwarti ini dulunya sengaja dibangun tanah tersebut. Kepemilikan tanah inilah

Susuhunan Paku Buwono II sebagai yang memunculkan konflik antara Keraton

kawasan tempat tinggal para putra raja, Surakarta dengan masyarakat pendatang di

kerabat kerajaan, dan abdi dalem Keraton kawasan Baluwarti. Inti permasalahannya

Surakarta, tapi seiring menyusutnya adalah “sertifikat tanah sebagai bukti

kekuasaan Keraton Surakarta, saat ini kepemilikan yang sah” atas tanah di

banyak rumah tinggal di lingkungan Keraton Baluwarti.

(Baluwarti) yang beralih kepemilikan Jika Undang-Undang Pokok Agraria

kepada masyarakat pendatang, dalam Nomor 5 Tahun 1960 yang dijadikan

peneliti ingin pedoman dalam melihat kasus ini, maka dengan jelas disebutkan bahwa kawasan

pembahasan

ini

1 Dualisme kepemimpinan ini dapat dilihat dari juga

Baluwarti adalah milik Keraton Surakarta,

terdapatnya kantor kelurahan dalam tembok

karena secara adat dan budaya kawasan

Keraton (kawasan Baluwarti). Kelurahan adalah

Baluwarti berada di dalam tembok Keraton

tingkat pemerintahan yang berada dibawah

Surakarta, yang setelah kemerdekaan

kecamatan dalam sistem pemerintahan negera

Republik Indonesia dan dihapuskannya

Indonesia. Sedangkan dalam Keppres no.23 tahun

sistem 1988 dikatakan bahwa Keraton Surakarta diberikan kerajaan di Indonesia Keraton

hak otonomi khusus untuk tetap menjalankan

Surakarta diberikan otonomi khusus untuk

pemerintahannya di dalam tembok Keraton, yaitu

tetap memerintah, namun hanya sebatas

hanya di dalam kawasan Baluwarti saja.

mengemukakan

temukan gambaran apa dan siapakah raja masyarakat pendatang bisa tinggal di

bagaimana

proses

sebagaimana dikemukakan oleh Pangeran kawasan Baluwarti yang seyogyanya

Puger (Paku Buwono I). Segala sesuatu merupakan kawasan tempat tinggal kerabat

ditanah Jawa, bumi tempat kita hidup, air kerajaan berada dalam tembok Keraton

yang kita minum, rumput dan daun dan lain- Surakarta, serta bagaimana pandangan

lain yang ada di atas bumi adalah milik raja. masyarakat pendatang terhadap kekuasaan

Lebih lanjut Pangeran Puger menjelaskan Keraton Surakarta terhadap tempat tinggal

bahwa raja adalah “warananing Allah” mereka.

(wakil, proyeksi atau layar atau penjelmaan Masalah inilah yang menarik untuk

Tuhan). Berdasarkan uraian tersebut diatas, dikaji lebih lanjut. Melalui penelitian yang

dapat dikatakan bahwa raja memegang akan dilakukan ini, peneliti ingin mengkaji

seluruh kekuasaan negara secara mutlak. masalah konflik tanah di lingkungan

Kekuasaan raja adalah proyeksi kekuasaan Keraton Surakarta. untuk itu penelitian ini

Allah, sehingga sudah sepantasnya bahwa berjudul

sifat-sifat Allah yang lain sebagai serba SURAKARTA (Studi Sosiologi Mengenai

“TANAH

DI KERATON

kebaikan harus dapat dirasakan oleh Konflik Atas Kepemilikan dan Penguasaan

manusia melalui rajanya tersebut. 2 Tanah di Lingkungan Keraton Surakarta)”.

Kekuasaan raja menurut konsep Jawa adalah absolut (mutlak), yang dalam bahasa

II. Permasalahan

pedalangan dikatakan “gung binathara bau dhendha nyakrawati ” (sebesar kekuasaan

Berdasarkan paparan yang telah dewa, pemelihara hukum, dan penguasa dikemukakan di atas,

dunia). Dalam konsep kekuasaan Jawa kepemilikan dan penguasaan tanah di

maka masalah

tersebut, pemberian kekuasaan yang besar lingkungan Keraton Surakarta sangat

kepada raja diimbangi dengan ketentuan menarik untuk diteliti. Adapun tujuan dalam

bahwa raja harus bijaksana. Seorang raja penelitian ini adalah untuk mengetahui

harus bersifat “berbudi bawa leksana, bagaimana bentuk penguasaan tanah di

ambeg adil para marta” (meluap budi luhur Keraton Surakarta dan proses konflik

mulia dan sifat adilnya terhadap sesama). kepentingan atas tanah di lingkungan

Selain itu, tugas raja adalah “anjaga tata titi Keraton Surakarta.

tentreming

yakni menjaga keteraturan dan ketentraman hidup rakyat

praja”,

III. Hasil dan Pembahasan

demi tercapainya suasana “karta tuwin raharja” 3 (aman dan sejahtera).

Pandangan Budaya Jawa terhadap

Konsep kekuasaan Jawa, disebut juga

Kekuasaan Raja

doktrin ajaran keagungan binatharaan . Apabila kekuasaan dan tugas raja yang

Keraton Surakarta merupakan bentuk termuat dalam ajaran tersebut dipraktekkan pemerintahan feodal yang dikuasai oleh

secara tepat, maka orang-orang tidak akan seorang raja. Kedudukan raja dalam konsep

kekuasaan Jawa berawal sejak kebudayaan 2 Metamorphose, Nji. 2010. Konsep Kekuasaan Hindu masuk dan berkembang di Indonesia.

world wide web

Konsep http://njimetamorphose.blogspot.com/2010/03/konse kekuasaan raja di Jawa

p-kekuasaan-jawa.html [25 September 2011 10.50

dikembangkan dalam konsep kekuasaan

PM]

Jawa. Dalam Babad Tanah Jawi, dapat kita

3 Ibid, 3 Ibid,

yang unggul, orang yang derajatnya diatas menganut konsep tersebut, tidak ada pilihan

orang kebanyakan atau pidak padarakan. lain sikap yang harus diambil kecuali

Atas dasar inilah menurut Dahrendorf “ndherek ngarsa dalem” (terserah kehendak

adanya pihak yang berkuasa dan ada juga raja). 4 pihak yang dikuasai. Dimana yang berkuasa

Seorang raja yang berkuasa, belum memegang kendali atas kekuasaan yang sepenuhnya yakin bahwa rakyatnya akan

dimilikinya, sementara yang dikuasai akan menaati segala perintahnya. Oleh karena itu

tunduk terhadap kekuasaan tersebut. perlu ditemukan hal-hal yang dapat

kepemilikan dan mendukung kedudukan mulia dan kekuasaan

Menurut

peneliti,

terhadap sumber daya besar yang dipegangnya. Hal-hal yang dapat

penguasaan

kehidupan, seperti tanah, kedudukan, politik, mendukung kekuasaan dapat bermacam-

dan budaya menjadikan Keraton Surakarta macam bentuknya, antara lain keajaiban

memiliki otoritas dalam mengendalikan dan yang terjadi misalnya, petir disiang hari

mengatur wilayah kekuasaannya, melalui yang cerah pada pemunculan raja yang

aturan dan budaya tersebutlah rakyatnya pertama, atau restu dari para leluhur,

tunduk pada segala aturan yang dibuat misalnya Ratu Pantai Selatan Pelindung

Keraton.

Surgawi dari Gunung Merapi dan Gunung Lawu atau leluhur lainnya. 5

Kedudukan Rakyat Dalam Konsep

Untuk lebih meyakinkan diri bahwa

Kekuasaan Jawa

kedudukannya sah, sehingga aman dari ancaman, raja perlu menunjukkan pusaka

pernah disinggung yang ada padanya sebagai sumber kasekten

Sebagaimana

sebelumnya, orang-orang Jawa yang (kesaktian) bagi dirinya dan kewibawaan

menganut konsep kekuasaan Jawa tidak ada bagi pemerintahannya. Bagi masyarakat

sikap lain yang harus diambil kecuali Jawa, tidak dapat dipahami kalau seorang

“ndherek ngarsa dalem” (terserah kehendak raja sampai tidak mempunyai pusaka.

raja). Dalam masyarakat Jawa, dikenal Karena tanpa pusaka, sulit bagi rakyat untuk

adanya hubungan antara rakyat yang kawula mendukung (menjadi pengikutnya), sebab

dengan raja yang menjadi gusti dalam pusaka itu menjadi salah satu sumber

jumbuhing kawula-gusti kasaktian raja. Dengan menguasai berbagai

bentuk

(manunggalnya rakyat dan raja). Hal sumber kasekten , raja akan mampu

tersebut sebenarnya merupakan pinjaman mengumpulkan begitu banyak kasekten

dari mistik agama, yang menunjuk kepada untuk mewujudkan kesejahteran rakyat yang

persatuan antara manusia dan Tuhan. menjadi kawulanya. Orang-orang Jawa

Hubungan rakyat (kawula) dengan raja beranggapan bahwa kanggonan pusaka

(gusti) dapat diibaratkan hubungan antara (ketempatan pusaka) berarti kanggonan

manusia (kawula namung sadermi) dengan pangkat (untuk memperoleh kedudukan

Allah yang lengkapnya juga disebut gusti. tinggi)

Ketaatan rakyat terhadap raja haruslah mirip (memegang kekuasaan). Demikian itulah

dan kanggonan

panguwasa

dengan ketaatan manusia terhadap Tuhan. gambaran tentang raja dimata orang Jawa, khususnya Mataram. Raja bukan lagi orang

4 Ibid, 5 Ibid,

Pola Penguasaan dan Kepemilikan Tanah

Berdasarkan penguasaanya, tanah-tanah

di Keraton Surakarta

yang ada diseluruh wilayah kerajaan dapat dikelompokkan menjadi dua golongan.

Berdasarkan sejarahnya, Keraton Golongan pertama adalah tanah-tanah yang Surakarta Hadiningrat adalah sebuah negara

dikuasai secara langsung oleh raja. berbentuk kerajaan berdaulat, dan wilayah

Golongan kedua dalah tanah-tanah yang kerajaannya meliputi hampir tiga perempat

diberikan kepada sentana (kerabat kerajaan). dari Pulau Jawa. Keraton Surakarta

Tanah-tanah itu diberikan kepada sentana Hadiningrat merupakan kelanjutan Kerajaan

selama mereka mempunyai hubungan Mataram, yaitu kerajaan pribumi yang

kekerabatan yang dekat dengan raja, dan pemerintahannya dijalankan dengan sistem

selama mereka masih menduduki jabatan tradisional Jawa. Keraton Surakarta berdiri

dalam kerajaan. Dengan demikian, jika pada tahun 1745 sebagai pengganti Keraton

hubungan kekerabatan mereka terputus serta Kartasura

tidak lagi menjabat sebagai “birokrat”, maka pemberontakan orang-orang Cina atau yang

tanah yang dikuasainya akan kembali lebih dikenal dengan nama “Geger Pecinan”.

kepada Raja.

Berdasarkan sistem ini, kekuasaan Keraton Surakarta merupakan sistem pemerintahan negara didasarkan pada

feodal. Feodalisme pemilikan raja atas tanah kerajaan yang pada

kemasyarakatan

merupakan sistem kemasyarakatan yang tahun 1918-an, di wilayah kerajaan

kekuasaan seorang Yogyakarta dan Surakarta dilancarkan

didasarkan

pada

penguasa (raja atau ratu) yang dianggap Reorganisasi Agraria, yaitu kebijaksanaan

memiliki kekuatan adikodrati. Kekuasaan penataan kembali sistem pemilikan tanah,

didapatkan dari “atas”, dari kekuatan- yang menghasilkan aturan-aturan baru

kekuatan adikodrati atau “supernatural”, berupa penghapusan sistem apanage

bukan dari ‘bawah” atas dasar dukungan (lungguh);

rakyatnya. Raja merupakan utusan atau kelurahan baru dan dibagikannya lahan

pembentukan

kelurahan-

wakil dari sebuah kekuasaan Ilahi atau tanah untuk penduduk desa. Sebelum

Dewa yang menciptakan perdamaian dan kebijaksanaan itu dilakukan, hukum

kemakmuran di seluruh alam semesta. Kalau pertanahan menentukan bahwa tanah di

raja ini ditentang maka ketentraman alam seluruh wilayah kerajaan adalah “mutlak

semesta akan terganggu. Feodalisme selalu milik Raja”. Akan tetapi sesungguhnya,

erat hubungannya dengan agama atau pernyataan yang tidak tertulis ini semata-

kepercayaan yang menyerupai agama. mata ditujukan untuk menghormati dan

Sri Susuhunan sebagai raja Keraton menjunjung raja. Raja sendiri tidak

“kekuasaan” oleh menganggap dirinya sebagai tuan tanah

Surakarta

diberi

pemerintah untuk mempunyai hak milik atas dalam arti luas, melainkan hanya meminta

tanah Baluwarti dengan pertimbangan sebagian hasil bumi sebagai suatu cara

sebagai berikut.

memungut pajak. 6 Pertama , sebagai kepala istana dan pimpinan

Keraton

Surakarta serta

6 Utomo, Tri Widodo W. 2010. Pengaruh

pengemban

kebudayaan Jawa, Sri

Sistem Pemilikan Tanah Terhadap Struktur Sosial.

Susuhunan PB XIII membutuhkan sumber

Diakses pada waorld

wide

web

pembiayaan bagi penyelenggaraan urusan

http://triwidodowutomo.blogspot.com/2010/05/penga

ruh-sistem-pemilikan-tanah.html

[5 Maret 2011,

rumah tangga istana dan keluarga raja.

pukul 14.42 PM ]

Sebagaimana diketahui Sri Susuhunan Sebagaimana diketahui Sri Susuhunan

adalah milik Sri Susuhunan PB XIII sebagai kebudayaan Jawa, dan mengadakan upacara-

kepala istana dan pimpinan kerabat Keraton upacara adat, harus membayar gaji pegawai,

Surakarta. Hal ini berarti Sri Susuhunan PB sentana, serta pemeliharaan bangunan-

XIII berhak melaksanakan pengelolaan, bangunan Keraton dan makam leluhur,

pengampuan (membimbing) atau tindakan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

sejenis terhadap benda cagar budaya Dengan status hukum kawasan cagar budaya

tersebut.

Baluwarti adalah Hak Milik atas nama Sri Adapun pengelompokkan hak atas Susuhunan PB XIII, memungkinkan

tanah di Keraton Surakarta adalah sebagai Sinuhun untuk :

berikut:

• Memberikan tempat tinggal bagi

a. Hak atas tanah milik Sri Susuhunan sentono (kerabat kerajaan) dan abdi

yang bersumber pada hak bangsa dalem dengan hak magersari, hak

yang diberikan oleh negara. anggaduh , hak sewa atas bangunan

b. Hak atas tanah yang bersumber pada dan hak nenggo.

hak milik Sri Susuhunan (Hak Guna • Memberikan bagian dari tanah

Bangunan, hak pakai, magersari, Baluwarti

anggaduh , kontrak dan nenggo). Baluwarti dengan HGB (Hak Guna Bangunan) dan hak pakai.

kepada

masyarakat

hukum Keraton ini • Memanfaatkan bangunan kuno dan

Budaya

menunjukkan bahwa keratonlah yang kawasan bersejarah dalam kawasan

memegang otoritas terhadap kepemilikan cagar budaya Baluwarti untuk

dan menguasaana tanah di wilayah Kota industri pariwisata dalam rangka

Surakarta. Begitu juga dengan kawasan pelestarian benda cagar budaya. Hal

Baluwarti yang seyogyanya merupakan ini dapat meningkatkan taraf hidup

bagian dari pusat pemerintahan Keraton sentono dan abdi dalem pada

Surakarta itu sendiri.

khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Kegiatan

pariwisata

Status Tanah di Keraton Surakarta

mampu menimbulkan daya rangsang

Menurut Budaya Jawa

kegiatan perekonomian wilayah dan menciptakan efek ganda dari

Status tanah di Keraton Surakarta kegiatan ekonomi tersebut kepada

berdasarkan budaya Jawa disebutkan bahwa wilayah dan masyarakat pada

tanah bersifat Sunan Ground (tanah umumnya.

peninggalan leluhur yang diwariskan secara turun temurun). Berdasarkan sejarahnya,

Kedua , antara hak atas tanah dan Keraton Surakarta Hadiningrat adalah penggunaannya tidak dapat dipisahkan.

sebuah negara berbentuk kerajaan berdaulat, Sehingga dalam penentuan status hukum

dan wilayah kerajaannya meliputi hampir tanah Baluwarti harus dikaitkan dengan

tiga perempat dari Pulau Jawa. Keraton penggunaan tanah Baluwarti. Menurut Perda

Surakarta Hadiningrat merupakan kelanjutan Kotamadya Dati II Surakarta No. 8 tahun

Kerajaan Mataram, Berdasarkan sistem ini, 1993 tentang Rencana Umum Tata Ruang

kekuasaan pemerintahan negara didasarkan Kota Kotamadya Dati II Surakarta tahun

pada kepemilikan raja atas tanah. 1993-2013, kalurahan Baluwarti ditetapkan

2. Tanah Lungguh atau tanah Apanage, Hadiningrat, berfungsi sebagai sarana

Tanah di

Keraton

Surakarta

yaitu tanah yang dipergunakan untuk legitimasi kekuasaan raja dan sebagai

menjamin kebutuhan para sentana penunjang kebutuhan ekonominya. Menurut

dan untuk menggaji abdi dalem. Roll (dalam Karjoko, 2005:2), pada hukum

Tanah-tanah apanage oleh raja tanah yang berlaku sejak zaman kolonial di

diberikan kepada para sentana kerajaan Surakarta, raja yang dianggap

mereka mempunyai sebagai perantara antara Tuhan dengan

selama

hubungan kekerabatan yang dekat rakyat, adalah pemilik satu-satunya dari

dengan raja, dan kepada abdi dalem seluruh areal tanah yang terletak dalam

selama mereka mesih menduduki wilayah kekuasaan kerajaan.

jabatan dalam pemerintahan. Mertokusumo (dalam Karjoko, 2005:2), tanah yang langsung dikuasai oleh raja

Menurut Hukum Swapraja

namanya ampilan dalem. Sebagian tanah lainnya, dinamakan tanah gaduhan atau

Status tanah di Keraton Surakarta juga tanah lungguh atau tanah apanage ,

dapat dilihat berdasarkan ketetapan hukun dipergunakan untuk menjamin kebutuhan

karena Keraton Surakarta keluarga raja, atau untuk menggaji para abdi

Swapraja,

termasuk salah satu daerah Swapraja yang dalem. Tanah-tanah ini oleh raja lalu

ada di Indonesia (selain Yogyakarta, Banten diberikan

dan Deli). Menurut Handayaninggrat (dalam keluarganya atau kepada abdi dalem. Rakyat

kepada

angggota-anggota

Wahyudi, 2005:11) Swapraja adalah hanya sebagai penggarap (hak usaha,

kerajaan asli yang terdapat di Indonesia mengerjakan, menggarap) tanpa mempunyai

yang telah ditetapkan dan telah mendapat hak milik atas tanah.

pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda. Menurut Roll (dalam Karjoko, 2005:3),

Daerah Swapraja merupakan daerah yang hak milik tanah tersebut berada di tangan

kewenangan untuk raja demi kepentingan umum. yaitu de facto

diberikan

pemerintahan dan hak-hak ini dimaksud untuk kepentingan

menyelenggarakan

mengatur rumah tangganya sendiri yang raja. Menurut fungsinya tanah-tanah di

dipimpin oleh seorang raja. Keraton Surakarta dibedakan menjadi dua,

Menurut Wahyudi (2005:11 daerah yaitu :

Swapraja merupakan sebutan untuk daerah

1. Tanah Narawita (Tanah Ampilan yang pernah diperintah oleh pemerintah Dalem) , yaitu tanah yang langsung

Hindia Belanda sekitar abat ke 17 M. Secara dikuasai raja dan menghasilkan

de facto daerah Swapraja merupakan daerah sesuatu (barang) yang ditentukan dan

kerajaan yang ada di Indonesia, begitu juga diperlukan oleh raja. Tanah-tanah ini

dengan kota Surakarta karena merupakan terdiri dari :

bagian dari kerajaan Mataram atau dikenal

a. Tanah

juga dengan nama Keraton Surakarta. Akan menghasilkan pajak uang.

Pamajegan ,

yang

tetapi secara de yure daerah Swapraja ini

b. Tanah Pangrambe, yang khusus berada dibawah kekuasaan Pemerintahan ditanami padi dan tanaman lain 7 Belanda.

untuk keperluan istana.

c. Tanah Gladhag, yaitu tanah-

7 Dikatakan bahawa daerah Swapraja berada dibawah

tanah yang penduduknya diberi

kekuasaan Pemerintahan Belanda, karena Balanda

tugas transportasi.

menjajah Indonesia pada waktu itu, sehingga kerajaan-kerajaan di Indonesia harus mengakui

Menurut Kusnadi (dalam Wahyudi, Lungguh, Pituwas, dan bukan untuk 2005:12), maka untuk menunjang berdirinya

diberikan turun temurun. Tanah kas sebuah kerajaan, pihak Belanda memberikan

desa diberikan untuk keperluan tanah kepada kerajaan-kerajaan yang diakui

penghasilan desa. dan ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Kekuasaan atas tanah-tanah tersebut

Sedangkan untuk hak-hak atas tanah diberikan kepada raja, sedangkan rakyat

yang pernah diberikan oleh pihak Keraton hanya boleh menggunakan tapi tidak berhak

Kasunanan Surakarta yang berada di dalam memiliki. Atas penggunaan tanah tersebut

tembok Keraton Kasunanan Surakarta pihak Keraton Surakarta memberikan

adalah :

semacam surat bukti atas penggunaan tanah.

1. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas Di Keraton Surakarta bukti ini dinamakan

tanah yang diberikan kepada abdi Pikukuh , sedangkan menurut hukum

dalem yang tidak bersifat turun Swapraja dinamakan Rijksblad Surakarta

temurun.

No.( Tahun 1938),

2. Wewenang Anggaduh Run Temurun, dikemukakan oleh Harditanto (dalam

seperti

yang

yaitu hak atas tanah yang diberikan Wahyudi, 2005:16) mengenai kewenangan

kepada abdi dalem yang dapat Keraton Surakarta atas tanah, yaitu sebagai

dipakai secara turun temurun. berikut:

3. Paringan Dalem, yaitu hak atas

1. Wewenang Anggaduh, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada anak tanah yang diberikan kepada rakyat

raja yang sudah dewasa. swapraja.

2. Wewenang Anggaduh Run Temurun, yaitu hak atas tanah yang diberikan

Pembagian Tanah di Keraton Surakarta

kepada rakyat swaparaja secara turun temurun, sejak berlakunya Rijksblad

Tanah-tanah di kawasan Keraton Surakarta no.9 tahun 1938 hak

Surakarta di bagi dalam lima kelompok Anggaduh Run Temurun menjadi hak

yaitu:

andarbeni .

a. Domein Recht Karaton Surakarta

3. Tanah Lungguh, yaitu hak atas tanah (DRS) , yaitu tanah Karaton yang yang diberikan sebagai gaji kepada

statusnya di bawah kekuasaan abdi dalem, lurah desa beserta

Karaton Surakarta yang tersebar di bawahannya.

wilayah

kekuasaan Karaton

4. Tanah Pituwas, yaitu hak atas tanah

Surakarta.

yang diberikan kepada lurah beserta

b. Domein Karaton Surakarta (DKS), bawahannya yang sudah pensiun.

yaitu tanah yang menjadi milik Apabila lurah atau bawahannya

Karaton Surakarta, misalnya Alun- tersebut meningggal dunia, maka

Alun Utara, Alun-Alun Selatan, dan tanah tersebut kembali ke kas desa.

Baluwarti.

5. Tanah Kas Desa, yaitu keseluruhan

c. Sunan Grond (SG), yaitu tanah yang tanah sawah dan tegalan serta tanah

menjadi milik Sinuhun. pekarangan yang bukan untuk

d. Tanah Leluhur, yaitu tanah yang merupakan warisan dari Sinuhun

kedaulatan Pemerintahan Kerajaan Belanda dan

Pakubuwono

yang pernah

bersumpah kepada Ratu Belanda (lih:Sarjita, Sandi

memerintah sebelumnya. Misalnya

edisi XI Oktober 2005:22) edisi XI Oktober 2005:22)

Karaton dan ini sudah berlangsung sangat petilasan, dan makam-makam.

petilasan-

lama dan banyak abdi dalem yang merasa

e. Tanah Recht Van Eigendom (RVE), mempunyai hubungan istimewa dengan yaitu tanah milik Karaton Surakarta

Keraton. Sebagai balas jasa atau hadiah yang disewakan, misalnya kepada

untuk abdi dalem, maka Keraton Belanda dan pengusaha perkebunan.

mengizinkan para abdi dalem dan sanak saudaranya tinggal di lingkungan Karaton

Pengaturan Terhadap

Tanah

di

sampai sekarang.

Baluwarti

Pembagian tanah tersebut kemudian dibagi menjadi lima bentuk status tanah, Pengelolaan tanah dan bangunan sejak

yang dibagi berdasarkan peruntukannya, dimulai adanya Keppres no.23 tahun 1988

yaitu sebagai berikut:

1. Tanah Paringan Dalem, yaitu tanah Karaton Surakarta Hadiningrat, namun sejak

berada di tangan Pengageng Parentah

yang diberikan kepada pangeran atau pemerintahan

putra raja. Tanah itu diberikan atau pengelolaan tanah dan bangunan berada di

dipinjamkan selama pangeran itu Pengageng Pasiten 8 .

hidup dan masih membutuhkan. Bila Palilah Griya Pasiten adalah suatu

sudah tidak membutuhkan, tanah bentuk perizinan yang dikeluarkan oleh raja

harus dikembalikan kepada raja. untuk penggunaan tanah dan bangunan milik

2. Tanah Palilah Anggadhuh Turun- Karaton Surakarta Hadiningrat. 9 Tanah dan temurun , yaitu tanah yang diberikan

bangunan yang dimiliki oleh Keraton itu kepada abdi dalem (kawula Karaton) diizinkan untuk digunakan oleh seseorang

yang bersifat turun temurun, tetapi dengan berbagai ketentuan seperti sentana

biasanya yang masih ada garis dalem dan abdi dalem Karaton. Saat ini

keturunan.

semakin banyak orang yang bertempat

3. Tanah Palilah Anggadhuh , yaitu tinggal di wilayah Baluwarti, karena

tanah yang diberikan kepada abdi dulunya diajak teman atau saudara untuk

dalem yang mengabdi untuk Karaton bekerja di Karaton sebagai abdi dalem

dan tidak bersifat turun temurun.

4. Tanah Palilah Magersari , yaitu

tanah yang diberikan kepada abdi

Pengageng Pasiten adalah suatu lembaga

dalem Karaton atau abdi dalem para

adaministrasi yang berada dibawah struktur pemerintahan Keraton Surakarta. Tugasnya adalah

pangeran (sentana dalem) dan

sebagai lembaga tata usaha Keraton yang mengurus

bertempat tinggal di pekarangan

pengelolaan pasiten , yaitu asset tanah dan

yang sama.

5. Tanah Tenggan, yaitu tanah yang

Surakarta, baik yang berada didalam tembok

diberikan kepada seseorang yang

Keraton maupun yang berada diluar tembok Keraton. Misalanya seperti makam, pesanggrahan,

dipercaya untuk menjaga suatu

dan lain sebagainya.

wilayah misalnya juru junci.

9 Dalam memenuhi tertib administrasi pengelolaan tanah dan bangunan, Karaton Surakarta Hadiningrat

Pengelolaan tanah dan bangunan oleh

mengeluarkan palilah yang diberi nama Palilah

Karaton Surakarta Hadiningrat yang dimulai

Griya Pasiten . Sampai sekarang ini Karaton Surakarta Hadiningrat mengeluarkan Palilah Griya

sejak sebelum keluarnya Keppres Nomor 23

Pasiten dengan bermacam-macam bentuk status

tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan

tanah, yaitu hak anggadhuh, hak magersari, dan

Keraton Kasunanan Surakarta, mulai

hak tenggan, serta perjanjian kontrak.

diintensifkan lagi pada tahun 2000-2001

Proses Mulai Dihuninya Kawasan

oleh bagian Pasiten. Pasiten (siti artinya

Baluwarti oleh Masyarakat Pendatang

tanah) di Karaton Surakarta Hadiningrat adalah bagian (lembaga) yang berwenang

Dari hasil pengamatan dan wawancara mengurusi pertanahan milik Karaton

peneliti di lapangan, masyarakat tertarik Surakarta Hadiningrat. Lembaga Pasiten ini

untuk tinggal di kawasan Baluwarti adalah telah ada sejak zaman dahulu, bersamaan

karena lokasi Baluwarti yang strategis. dengan berdirinya Karaton Surakarta

Posisi strategis ini karena Baluwarti tedapat Hadiningrat. Adapun tugas Bagian Pasiten

dalam tembok Keraton. Sebagai pusat adalah:

pemerintahan dan kekuasaan Keraton

a. Mengurusi masalah pertanahan dan dikelilingi oleh kawasan pemerintahan dan bangunan milik Karaton Surakarta

pusat perekonomian. Keraton dikelilingi Hadiningrat.

empat pasar besar yang menjadi jantung

b. Mengurusi permohonan ijin-ijin yang perekonomian kota Surakarta. Pasar tersebut berkaitan dengan pemanfaatan tanah

yaitu, sebelah Utara terdapat Pasar Gede dan bangunan

Harjanagara, di sebelah Selatan terdapat Surakarta Hadiningrat.

milik Karaton

Pasar Gading, di sebelah Timur terdapat

c. Menerima pembayaran uang sewa Pasar Kliwon, dan Sebelah Barat terdapat tanah dan bangunan milik Karaton

Pasar Klewer.

Surakarta Hadiningrat. Hal inilah yang menjadikan banyak pihak berlomba-lomba memiliki tanah yang Pada era Paku Buwono XIII,

seyogyanya menjadi milik keraton. secara Pengageng Pasiten mempunyai wewenang

ekonomis tentunya harga jual tanah akan langsung terhadap urusan pertanahan yang

meningkat setiap tahunnya. menjadi

menjadi

Disamping itu juga menjadi incaran bagi Hadiningrat. Adapun wewenang Pengageng

masyarakat untuk menghuni kawasan Pasiten meliputi:

Baluwarti karena pada kenyataannya

a. Tanah milik Karaton Surakarta kawasan Baluwati memiliki akses yang Hadiningrat.

dekat dengan kawasan pemerintahan dan

b. Rumah (dalem) milik Karaton pendidikan. Dari segi lalu lintas pun Surakarta Hadiningrat.

Baluwarti merupakan jalur utama yang

c. Pesanggrahan

menghubungkan berbagai penjuru di kota Surakarta Hadiningrat, antara lain:

milik

Karaton

Surakarta, apalagi sejak dibukanya pintu Langenarjo, Paras (Pracimoharjo di 10 Kori Brajalana untuk umum .

(Boyolali, 10 Selo). Makam-makam, Wilayah ini mempunyai dua buah pintu, yaitu Kori antara lain: Imogiri, Kotagede,

Brajanala (Lawang Gapit) Utara dan Kori Brajanala

Laweyan, Ngenden, Bekas Keraton (Lawang Gapit) selatan, satu dengan lainnya

dihubungkan oleh dua jalur jalan yang sejajar

Kartasura, Makam Haji, Ki Ageng

dengan tembok kedhaton. Pada awal tahun 1900

Selo (Grobogan, Purwodadi), Ki

Susuhunan Pakubuwana X memperluas wilayah

Ageng Tarub (Purwodadi), dan Tegal

Baluwarti dan menambahnya dengan dua buah

Arum (Tegal).

pintu Butulan yang terletak di sebelah Tenggara dan sebelah Barat Daya. Masing-masing diresmikan pada tahun 1906 M dan pada tahun 1907 M. Dengan adanya dua pintu tambahan ini penduduk yang tinggal di Baluwarti dapat lebih leluasa berhubungan dengan masyarakat di luar komplek

Awal mula masyarakat tinggal di masyarakat, sehingga penyerobotan Baluwarti adalah dengan sistem kontrak

lahan tidak terjadi. Maksud peneliti rumah. Masyarakat mengontrak rumah

bukan karena akan mengganggu pihak kepada para abdi dalem, namun setelah

Keraton, namun lebih kepada menjaga sekian lama tinggal di Baluwarti rumah

kelestarian budaya dan mentaati tersebut akhirnya menjadi hak milik

peraturan pemerintah sendiri, karena perorangan.

Keraton statusnya adalah daerah Latar belakang dan alasan masyarakat

keresidenan yang diberikan hak memilih tinggal di Kawasan Baluwarti.

untuk mengatur Namun, yang sangat disayangkan adalah

istimewa

pemerintahannya sendiri, termasuk kebutuhan akan tanah dan tempat tinggal ini

Baluwarti sebagai mengakibatkan semacam “lapar lahan”.

didalammnya

kawasan yang berada dalam tembok Masyarakat sebenarnya mengetahui bahwa

Keraton.

tanah tesebut merupakan tanah keraton, tapi mereka mengabaikan hal tersebut. Dalam hal ini peneliti memiliki pendapat sebagai

Penyebab Konflik

berikut:

1. Masyarakat harusnya meminta izin

pelaksanaannya peneliti dan mengikuti peraturan Keraton

Dalam

menemukan kejanggalan atau hal-hal yang terhadap penggunaan

menyebabkan konflik antara pihak Keraton kawasan Baluwarti, ini tentunya juga

tanah di

Surakarta. Konflik ini terjadi karena dalam akan menjamin kenyamanan mereka

Palilah Griya Pasiten yang dikeluarkan oleh dalam bertempat tinggal di kawasan

Parentah Keraton Surakarta Hadiningrat Baluwarti tersebut.

dengan

jelas

tertulis tidak boleh

2. Ini sebenarnya bukan pembiaran, akan melaksanakan jual beli atau sewa menyewa tetapi

baik sebagian atau seluruhnya atas kewenangan Keraton dalam mengatur

bangunan. Akan tetapi dalam prakteknya, dan mengelola tanah-tanah tersebut.

ada yang melakukan jual beli atau Meskipun luas kawasan Baluwarti

disewakan baik sebagian atau seluruhnya. merupakan kawasan administrasi

Bahkan ada juga, prakteknya jual beli Keraton dan yang tinggal di sana juga

dilaksanakan di depan notaris yang adalah kerabat dan abdi dalam

dilakukan oleh para pihak antara penjual dan keraton,

sebenarnya jika Keraton ingin Adapun beberapa fakta yang peneliti melakukan pendataan dan menertibkan

temui di lapangan adalah sebagai berikut: penggunaan tanah tersebut.

1. Terdapat kasus sewa menyewa dengan

3. Jika kita mengkaji dari sudut pandang menyewakan sebagian bangunan dan budaya maupun hukum dan peraturan

memungut bayaran sesuai dengan yang berlaku, harusnya pemerintah

harga pasar dan tidak melaporkan hal kota Surakarta selaku pembuat

ini kepada kantor Pasiten Keraton kebijakan dapat menyediakan kawasan

Surakarta. Dalam hal ini kasus dimana yang layak untuk tempat tinggal

para pemilik hak anggaduh dan magersari seringkali mengkontrakkan

kedhaton. Pintu ini kemudian dibuka untuk umum

sebagian bangunan yang ditempatinya.

pada pukul 05.00-23.00 WIB.

Seperti dalam sewa menyewa pihak Seperti dalam sewa menyewa pihak

kontraknya bahwa sesuai dengan harga pasar dan tidak

peraturan

“masyarakat bersedia membayar PBB melaporkan kepada Bagian Pasiten. 11 jika diminta oleh pemerintah” .

Seperti contohnya peneliti sendiri selama melakukan penelitian tinggal

Isu Konflik yang Berkembang

dikawasan Baluwarti dengan menyewa kamar di rumah warga. Perjanjian

Adapun isu yang menjadi permasalahan sewa hanya antara peneliti dengan

disini adalah sebagai berikut: pihak

1. Adanya isu yang menyatakan bahwa sepengetahuan pihak Keraton. Selain

terdapat warga di Baluwarti yang telah itu

memiliki setifikat hak milik yang menggunakan cara yang berbeda

peneliti juga

mencoba

dikeluarkan oleh BPN Surakarta, untuk masuk dan tinggal di kawasan

meskipun kenyataan dilapangan tidak Baluwati, yaitu dengan meminta izin

ditemukan bukti sertifikat yang di langsung kepada pengageng Sasono

isukan tersebut.

Wilopo Keraton

2. Adanya anggapan dari warga di Hadiningrat. Peneliti tinggal ditempat

Surakarta

Baluwarti bahwa telah terjadi pajak yang direkomendasikan oleh Keraton.

berganda yang mereka bayarkan Dengan demikian ternyata uang sewa

kepada Negara berupa PBB dan pajak pun berbeda antara satu dan lainnya.

kepada Keraton berupa uang duduk Hal inilah yang menjadikan mengapa

lumpur melalui pengaturan tanah dengan mudah masyarakat bisa

Keraton yang diatur dalam palilah menghuni kawasan Baluwarti.

pasiten , yang dikelola oleh kantor

2. Masyarakat yang tidak mempunyai pertanahan Keraton Surakarta. adanya buku Palilah Griya Pasiten tidak

pajak ganda ini memunculkan membayar uang duduk lumpur kepada

pertanyaan dari warga Baluwarti, siapa Karaton Surakarta Hadiningrat dan

sebenarnya yang memiliki dan bisa jadi juga mereka tidak membayar

berkuasa atas tanah yang mereka PBB (Pajak Bumi Bangunan) yang

tempati, sehingga warga mulai ditarik

KEraton Surakarta pemerintah. Inilah yang menjadi

dan ditetapkan

oleh

mendesak

menunjukkan bukti kepemilikan tanah. perdebatan di wilayah Baluwarti yakni

Padahal secara hukum pertanahan mengenai status tanah Baluwarti

KEraton tidak memiliki bukti yang sebagai tanah negara atau tanah milik

kuat mengenai kepemilikan tanah, Karaton Surakarta Hadiningrat. Hal

karena tanah-tanah di Keraton tidak Sebenarnya hak pengelolaan karaton

dapat disertifikatkan karena Keraton didasarkan kepada hak adat karaton

bukan meruakan badan hukum atas tanah yang dipunyai karaton secara sah sejak berdirinya karaton seperti yang telah peneliti jelaskan diatas. Tapi dalam prakteknya dan yang

terjadi sekarang

karena

pemerintah juga turut campur dalam pengaturan pengelolaan tanah, dan ini

11 Lihat palilah pasiten perjanjian anggaduh, tenggan,

juga di sebutkan Keraton dalam

magersari dan sistem kontrak. Hal ini sudah peneliti kemukakan sebelumnya.

Perkembangan Pengaturan Pertanahan

Hanya raja yang berhak sepenuhnya atas

di Keraton Surakarta

tanah-tanah tersebut, sedangkan rakyat hanya sebagai pemakai saja. Jadi menurut

Secara historis perkembangan hukum sejarah tanah di wilayah Keraton Surakarta pertanahan di Keraton Surakarta dapat

adalah milik raja yang berhak penuh atas digambarkan sebagai berikut, sebelum

tanah, rakyat hanya diberikan wewenang berdirinya Kasunanan Surakarta dan lebih

anggaduh “meminjam tanah dan dikenakan jauh lagi sebelum terbentuknya Kerajaan

kewajiban untuk memberikan hasil garap Mataram, masyarakat Jawa belum mengenal 12 kepada raja”.

konsep hak milik perseorangan atas tanah. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Tanah-tanah yang terletak disuatu wilayah

pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadikan dikuasai oleh desa sebagai hak ulayat.

Indonesia sebagai sebuah Negara merdeka Adapun kepada warga desa diberikan

yang berdaulat. Inilah yang menjadi awal beberapa hak antara lain hak pakai atau

pengaturan Tata Negara Indonesia, yang menggarap, hak wenang pilih atau

turut mengubah prinsip hukum yang berlaku mendahului, hak imbalan jabatan dan

di Indonesia. Hal ini berarti daerah-daerah sebagainya. Kalaupun ada yang diberikan

kesunanan sudah menggabungkan diri sebagai hak milik tidak dapat dikatakan

menjadi satu kesatuan menjadi Negara sebagai pemilik yang sah karena hak milik

Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada lagi tersebut mengandung aspek kepentingan

hukum kerajaan yang tunduk pada hukum umum dalam arti bila tidak digarap lagi,

Hindia Belanda, yang terjadi adalah maka hak milik akan dicabut dan diberikan

Kesunanan dihapuskan dan tunduk pada kepada warga lain yang lebih membutuhkan.

hukum Negara Indonesia. Kemudian daerah- Setelah munculnya institusi poitik

daerah kesunanan ini dinamakan daerah berbentuk kerajaan terjadi pergeseran dalam

bekas swapraja (tidak disebutkan dengan sistem pemilikan tanah. Dalam peraturan

jelas apakah daerah bekas swapraja ini yang diciptakan sendiri, raja mengklaim

apakah menjadi pemerintahan swapraja atau bahwa seluruh tanah diwilayahnya adalah

daerah sawpraja, karena hanya dikatakan milik mutlak raja, sebagian diantaranya 13 daerah bekas swapraja).

diberikan kepada kerabat raja dan pejabat Karena persoalan inilah menimbulkan Keraton sebagai tanah lungguh, sedangkan

bagaimana status dan rakyat hanya memiliki hak anggaduh

pertanyaan,

kedudukan pemerintahan daerah kesunanan (meminjam) dan menggarapnya.

setelah kemerdekaan Indonesia, maka pada Pada zaman kolonial Keraton Surakarta

tanggal 23 September 1960, pemerintah adalah salah satu kesunanan yang memiliki

mengeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun wilayah kekuasaan, rakyat dan birokrasi

1960 tentang Peraturan Dasar pokok-pokok pemerintahan. Sebagai Kesunanan, Keraton Surakarta diakui sebagai satu kesatuan

12 Hal ini menunjukkan bahwa Keraton Surakarta

pemerintahan pribumi yang menguasai dan

sudah memiliki sistem pemerintahan yang

memiliki tanah

dalam

wilayah

mengatur kepemilikan dan penguasaan tanah di

pemerintahannya. Karena pada masa

wilayah kekuasaan Keraton Surakarta, jauh

kolonial, tanah

merupakan

sumber

sebelum Indonesia merdeka. Sistem pengaturan

pendapatan, dimana inilah yang kemudian dipertahankan oleh Keraton raja adalah satu-

Surakarta untuk menyikapi kedudukan Keraton

satunya pemilik tanah yang berkuasa penuh

Surakarta pada saat ini.

atas tanah-tanah di wilayah kerajaanya.

13 Mertokusumo, Sudiko. 1988. Perundang- undangan Agraria Indonesia . Yogyakarta. Hal : 26.

Agraria (UUPA). Berlakunya UUPA ini, ini. Masalah tanah ini menurut peneliti, tidak maka dinyatakan bahwa tanah-tanah yang

hanya menyangkut hubungan antara menjadi wewenang daerah swapraja atau

kelompok-kelompok masyarakat dalam bekas swapraja dengan sendirinya sudah

kawasan Baluwarti selaku pengguna tanah dihapuskan dan dikuasai oleh Negara.

dengan pihak Keraton Surakarta yang Menurut UUPA, maka segala penataan,

menguasai dan memberikan izin atas penguasaan, pemilikan dan penggunaan

penggunaan tanah dalam kawasan wilayah tanah diatur oleh Negara. Status tanah

masalah ini juga sebagai tanah kerajaan berubah menjadi

pemerinahanya,

menyangkut dan terkait dengan aspek tanah Negara.

Namun bagi Keraton politis. Bagaimanapun satu hal yang tidak Surakarta pada waktu itu UUPA belum

dapat dipungkiri oleh berbagai pihak, karena dapat diberlakukan karena merasa tidak adil

secara politis Keraton Surakarta masih bagi Keraton. Sebelum UUPA dikeluarkan,

memiliki pengaruh dalam kepemimpinan pengaturan tanah di Keraton adalah dalam

dan pemerintahan di kawasan Keraton bentuk rijsblad-rijskblad dan peraturan-

Surakarta, tampa mengesampingkan peran peraturan daerah.

Keraton Surakarta secara historis terhadap Namun pada kenyataannya saat ini

kemerdekaan Indonesia. kasultanan Keraton Surakarta masih

Hubungan Keraton dengan warga mempunyai dan menjalankan kewenangan-

masyarakat di dalam kawasan Baluwarti kewenangan atas tanah-tanah yang dipunyai

secara hukum ketentuan pertanahan Keraton dan dimilikinya yang tersebar diberbagai

adalah dilindungi oleh hukum yang jelas, wilayah di Kota Surakarta, terutama di

anggaduh, mangersari, kawasan Keraton Surakarta dan didalam

seperti:

persewaan/kontrak. Dengan kata lain tembok Baluwarti.

sebenarnya pihak Keraton Surakarta sendiri sampai saat ini tetap menjalankan perannya

Pengaturan Penguasaan dan Kepemilikan

sebagai pihak yang berwenang atas tanah-

Tanah di Keraton Surakarta

tanah yang sekarang dibermasalahkan warga kepemilikannya.

Penguasaan dan Keberagaman peraturan yang mengatur

kepemilikan atas tanah di wilayah Keraton pertanahan

dan dalam tembok Baluwarti tetap menimbulkan suatu kondisi yang mengarah

berlangsung hingga saat ini. Inilah yang pada

dinamakan Dahrendorf sebagai otoritas, Ketidakpastian hukum tersebut terutama

situasi ketidakpastian

hukum.

yaitu ada pihak yang menguasai dan ada terlihat pada konflik yang terjadi, yaitu

pihak yang dikuasai. Penguasaan dan berkembangnya isu kepemilikan sertifikat

kepemilikan tanah oleh Keraton Surakarta atas tanah-tanah yang dikuasai oleh Keraton

terhadap masyarakat Baluwarti, didalamnya Surakarta, termasuk tanah didalam kawasan

terjalin hubungan pemilik dengan penyewa, tembok Keraton Surakarta sendiri, yaitu

apalagi diperkuat dengan adanya peraturan kawasan Baluwarti.

sewa/kontrak terhadap tanahdi Baluwarti. Menurut

Otoritas kepemilikan tanah inilah yang penguasaan dan kepemilikan tanah di

kemudian diwarisi oleh Keraton Surakarta Keraton

hingga saat ini.

penelitian dan kajian lebih mendalam Dengan demikian, maka terhadap terhadap pemberlakukan dan pelaksanaan

tanah-tanah hak milik Keraton Surakarta, ketentuan hukum yang telah berlaku selama

masih menjadi milik Keraton Surakarta masih menjadi milik Keraton Surakarta

Surakarta diberikan otonomi khusus untuk

23 tahun 1988 telah ditetapkannya tetap memerintah, namun hanya sebatas keberadaan Keraton Surakarta sebagai cagar

kawasan didalam tembok Keraton Surakarta budaya, yang terus dijaga dan dipelihara

yang berarti mencakup kawasan Baluwarti. keberadaannya hingga saat ini. Menyikapi

Namun dalam pelaksanaannya Undang- permasalahan

Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun menyarankan hendaknya warga, Keraton,

1960 tidak dijalankan secara tegas oleh pemerintah menyamakan presepsi mengenai

pemerintah kota Surakarta, karena pada tanah-tanah keraton (Sunan Ground).

kenyataannya kawasan Baluwarti termasuk Hasil penelitian ini menyimpulkan

dalam 51 kecamatan yang ada di kota bahwa jauh sebelum UUPA lahir dan Kepers

Surakarta, sehingga kondisi dilapangan yang No. 23 tahun 1988, pertanahan di Keraton 14 terjadi adalah dualisme kepemimpinan,

Surakarta sudah diatur dalam rijksblad yaitu Pemerintah dan Keraton. Dualisme dimana tanah adalah milik Keraton

inilah yang menyebabkan “kebingungan” Surakarta.

bagi masyarakat Baluwarti, karena tanah yang mereka tempati telah dikeluarkan bukti

Pembahasan

kepemilikannya oleh pemerintah Surakarta sehingga mereka telah membayarkan Pajak

Peneliti menganalisis permasalahan Bumi dan Bangunan. Akan tetapi bagi pihak konflik atas kepemilikan dan penguasaan

Keraton tanah tersebut tetap bersifat tanah di Keraton Surakarta ini menggunakan

magersari , sehingga masyarakat juga teori yang dikemukakan oleh Dahrendorf.

diharuskan membayar pajak pada Keraton. Dari permasalahan konflik tanah yang

Hal inilah yang menjadi konflik Keraton dikemukakan tersebut, konflik tanah di

dengan warga di Baluwarti. lingkungan Keraton Surakarta terjadi karena

Berdasarkan konsep kekuasaan yang tidak adanya kepastian hukum atas tanah

dikemukakan oleh Dahrendorf yang tersebut, sehingga antara masyarakat dengan

menyebutkan bahwa kekuasaan merupakan Keraton saling “mengklaim” kepemilikan

hubungan antara yang berkuasa dan yang tanah tersebut. Kepemilikan tanah inilah

dikuasai, melalui kewenangan yang dimiliki. yang memunculkan konflik antara Keraton

Dahrendorf menyebutkan jika kekuasaan Surakarta dengan masyarakat pendatang di

tersebut dijalankan, maka perlu dilihat kawasan Baluwarti. Inti permasalahannya

bentuk pendistribusianya, dan mengapa adalah “sertifikat tanah sebagai bukti

seseorang atau kelompok tertentu (dalam hal kepemilikan yang sah” atas tanah di

ini Keraton Surakarta) memiliki kekuasaan Baluwarti. Jika Undang-Undang Pokok Agraria

14 Dualisme kepemimpinan ini dapat dilihat dari juga

Nomor 5 Tahun 1960 yang dijadikan

terdapatnya kantor kelurahan dalam tembok

pedoman dalam melihat kasus ini, maka

Keraton (kawasan Baluwarti). Kelurahan adalah

dengan jelas disebutkan bahwa kawasan

tingkat pemerintahan yang berada dibawah

Baluwarti adalah milik Keraton Surakarta,

kecamatan dalam sistem pemerintahan negera

karena secara adat dan budaya kawasan

Indonesia. Sedangkan dalam Keppres no.23 tahun