PEMEROLEHAN FONOLOGIS PADA ANAK USIA SAT
PEMEROLEHAN FONOLOGIS PADA ANAK USIA SATU TAHUN
Ahmad Abbas (16070835049)
Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya,
Email : [email protected]
Bambang Yulianto
Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya,
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemerolehan bahasa pada anak usia 1 (satu) tahun,
yang meliputi (1) proses pemerolehan bahasa pada anak dan (2) kemampuan bahasa anak yang
beralamat di Pondok Pesantren Al-Fatich Tambak Oso Wilangun No. 98 Benowo Surabaya.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Data penelitian ini adalah data tuturan bahasa
Indonesia yang diproduksi oleh anak-anak usia 1 (satu) tahun. Data dikumpulkan dengan
menggunakan alat perekam. Analisis data dilakukan dengan menggunakan model interaktif.
Model ini terdiri atas: (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan. Hasil
analisis data menunjukkan bahwa kemampuan bahasa pada anak usia satu tahun belumlah jelas
dan tepat dalam hal pengucapannya. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti usia dan
pelafalan yang belum sempurna. Akan tetapi, pada anak usia satu tahun kata-kata yang
disampaikannya masih terdapat kesalahan bunyi ketika diajak berkomunikasi oleh lawan bicara.
Sedangkan dalam percakapan ia sudah bisa menggunakan kata-kata yang menghubungkan sebab
akibat, seperti kata “mungkin” ataupun “seharusnya”.
Kata kunci: pemerolehan, bahasa Indonesia, kemampuan, anak usia 1 (satu) tahun
Abstract
This research aims to know the Indonesian Affixation for one (1) year old children. It is involved
(1) Process of Indonesia affixation for children and (2) Language ability for children in Islamic
Boarding House of Alfatich Tanbak Oso Wilangun numb 98 benowo Surabaya. This research uses
descriptive research. The data research is the Indonesian utterance produced by children of one
year old and 5 years old. The data is collected by using recording media. Then data analysis is
using interacted model suggested by Miles and Huberman. The model are included (1) data
reduction (2) data serving (3) Data conclusion. The result shows that language ability for
children of one year old is not clear enough in uttering the utterance. It is caused by some factors
such as the age and imperfect utterance. While for 5 years old children has had language ability
well. The sentences are understandable for others. In conversation, the children has used
connection word such as cause-effect sentence (complex sentence) such as “mungkin” and
“seharusnya”.
Keywords: affixation, Indonesian, ability, one year old children
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan alat komunikasi
yang digunakan oleh manusia untuk
menyampaikan pesan kepada manusia
lainnya. Bahasa memerlukan keterampilan
khusus yang sangat kompleks, berkembang
dalam diri anak secara spontan, dan tanpa
usaha sadar ataupun instruksi formal.
Kemampuan berkomunikasi anak tidak
terjadi begitu saja. Hal itu disebabkan anak
terlahir tidak begitu saja dapat berbahasa.
Ada perkembangan yang harus dilewati
melalui tahapan-tahapan tertentu. Seorang
anak akan melalui perkembangan linguistik
dari tidak dapat berbahasa sampai dapat
berbahasa meski dengan pemahaman yang
kurang sempurna. Subyakto dan Nababan
(1988: 93) menyatakan bahwa proses yang
demikian itu disebut pemerolehan bahasa
Menurut
Chaer
(2003:167),
pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa
1
adalah proses yang berlangsung di dalam
otak anak-anak ketika dia memperoleh
bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.
Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan
dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran
bahasa berkaitan dengan proses yang terjadi
pada waktu seorang anak mempelajari
bahasa kedua setelah dia memperoleh
bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan
bahasa berkenaan dengan bahasa pertama,
sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan
dengan bahasa kedua. Namun, banyak juga
yang menggunakan istilah pemerolehan
bahasa untuk bahasa kedua. Para pakar
setuju bahwa ada dua langkah dalam usaha
untuk
menguasai
bahasa.
Pertama,
penguasaan bahasa yang dilakukan secara
tidak sadar dan bersifat informal. Kedua,
penguasaan bahasa yang dilakukan secara
sadar dan bersifat formal. Penguasaan
bahasa dengan cara pertama disebut
pemerolehan, sedangkan cara yang kedua
disesbut dengan pembelajaran.
Dalam kaitannya dengan pengaruh
faktor sosial terhadap pemerolehan bahasa,
Klein (dalam Yulianto, 2009) menjelaskan
bahwa pemerolehan bahasa pertama
merupakan salah satu perkembangan
menyeluruh anak menjadi anggota sosial
masyarakat. Bahasa memudahkan anak
mengekspresikan perasaan, gagasan, dan
kemauannya dengan cara yang dapat
diterima masyarakat. Anak belajar dan
mengetahui berbagai hal tentang kehidupan
sosial melalui bahasa. Bahasa merupakan
sarana untuk memperoleh nilai-nilai budaya,
moral, agama, dan nilai-nilai lainnya di
mayarakat
Adapun proses perkembangan bahasa
pada anak meliputi: (a) fonologi, anak
menggunakan bunyi-bunyi yang telah
dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang
belum dipelajari, misalnya menggantikan
bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi
/r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode
berceloteh,
anak
sudah
mampu
mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan
kontur bahasa yang dipelajarinya, (b)
morfologi, pada usia 3 (tiga) tahun anak
sudah membentuk beberapa morfem yang
menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan
verba yang digunakan. Kesalahan gramatikal
sering terjadi pada tahap ini karena anak
masih berusaha mengatakan apa yang ingin
dia sampaikan. Anak terus memperbaiki
bahasanya sampai usia sepuluh tahun, (c)
sintaksis,
anak-anak
mengembangkan
tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan
melalui beberapa tahap, yaitu melalui
peniruan, melalui penggolongan morfem,
dan melalui penyusunan dengan cara
menempatkan kata-kata secara bersamasama untuk membentuk kalimat, (d)
semantik, anak menggunakan kata-kata
tertentu berdasarkan kesamaan gerak,
ukuran, dan bentuk. Misalnya,anak sudah
mengetahui makna kata jam. Awalnya anak
hanya mengacu pada jam tangan orang
tuanya, namun kemudian dia memakai kata
tersebut untuk semua jenis jam.
Menurut Nababan, dkk (1988:65),
seorang anak yang normal pertumbuhan
pikirannya belajar bahasa pertama (bahasa
ibu) dalam tahun-tahun pertama dalam
kehidupannya, dan proses ini terjadi hingga
kira-kira umur 5 tahun. Seorang bayi hanya
akan merespon ujaran-ujaran yang sering
didengarnya dari lingkungan sekitar terlebih
adalah ujaran seorang ibu yang sering
didengar oleh anak. Pada pemerolehan
bahasa kita mengenal beberapa tahapan
pemerolehan bahasa, pemerolehan bahasa
pertama (PB1), didapatkan seorang bayi
secara langsung dari ibunya atau lingkungan
yang dekat dengan bayi tersebut.
Sementara itu, Strazny (2005)
memaparkan bahwa pemerolehan bahasa
adalah kajian ilmu yang mempelajari
perkembangan bahasa seseorang. Umumnya
berkenaan
dengan
cara
manusia
mendapatkan bahasa ibu mereka, bahasa
kedua atau bahasa yang lainnya. Istilah
khususnya proses pemerolehan bahasa ini
lebih kepada seberapa lama fitur-fitur bahasa
itu diperolehnya. Lebih lanjut Strazny
(2005), first language aquisition is the
child‟s learning of his or her fisrt ornative
language. Traditionally, andespececially in
monolingual societies, fisrt and native
language
were
used
synonymously
(Pemerolehan bahasa pertama adalah proses
seorang anak baik laki-laki atau perempuan
belajar bahasa ibu mereka. Secara tradisional
proses itu terjadi pada masyarakat
monolingual (menganut satu bahasa), bahasa
pertama dan bahasa ibu biasanya digunakan
secara bersamaan seperti Jawa-Indonesia).
Pengetahuan mengenai pemerolehan
bahasa dan tahap-tahap pemerolehan bahasa
terdiri atas beberapa tahap, yaitu (a) tahap
2
pengocehan (babbling); (b) tahap satu kata
(holofrastis); (c) tahap dua kata; (d) tahap
menyerupai telegram (telegraphic speech),
(e) vokalisasi bunyi, (f) tahap satu kata atau
holofrastis, (g) tahap dua kata, satu frase,
dan (h) ujaran telegrafis.
Selain tahap pemerolehan bahasa
yang disebutkan pada paragraf di atas, para
ahli bahasa seperti Aitchison juga
mengemukakan beberapa tahap pemerolehan
bahasa anak, yaitu tahap 1: mendengkur,
tahap 2: meraban, tahap 3: pola intonasi,
tahap 4: tuturan satu kata, tahap 5: tuturan
dua kata, tahap 6: infleksi kata, tahap 7:
bentuk tanya dan bentuk ingkar, tahap 8:
konstruksi yang jarang atau kompleks, tahap
9: tuturan yang matang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa pemerolehan bahasa adalah proses
manusia mendapatkan kemampuan untuk
menangkap,
menghasilkan,
dan
menggunakan kata untuk pemahaman dan
komunikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka
peneliti
ingin
mengetahui
tentang
pemerolehan bahasa pada anak usia 1 (satu),
yang meliputi proses pemerolehan bahasa
pada anak dan kemampuan bahasa anak.
Sehingga
peneliti
tertarik
membuat
penelitian yang berjudul “Pemerolehan
Fonologis Bahasa Indonesia pada Anak Usia
Satu Tahun”.
METODE
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Istilah pendekatan kualitatif pada mulanya
bersumber pada pengamatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri
berlatar alamiah, bersifat deskriptif, lebih
mengutamakan proses dari pada hasil, dan
analisis data bersifat induktif. Berlatar
alamiah, maksudnya ialah data penelitian
bersumber
dari
peristiwa-peristiwa
komunikasi dan situasi alamiah yang
berlangsung pada subjek penelitian. Tidak
ada upaya dari peneliti untuk mengendalikan
subjek, baik di dalam maupun di luar
lingkungan. Oleh karena itu, strategi
pengumpulan data diusahakan tidak
mencolok dan tidak diketahui subjek
penelitian.
Metode deskriptif dipilih oleh peneliti
karena, metode ini dapat memberikan
gambaran data ataupun objek secara natural,
objektif, faktual (apa adanya), dan secermat
mungkin mengenai individu, keadaan,
bahasa, gejala, atau kelompok. Metode
deskriptif
ini
digunakan
untuk
menggambarkan hasil dari pengumpulan
data yang telah dilakukanoleh peneliti, baik
melalui wawancara (orangtua dan anak) dan
observasi
secara
langsung
tentang
kemampuan bahasa anak.
Teknik pengumpulan data merupakan
langkah yang paling utama dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Dalam penelitian ini
pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan teknik simak libat cakap, dan
teknik catat. Sedangkan penganalisisan data
dalam penelitian ini menggunakan model
analisis interaktif yang mana aktivitas dalam
penganalisisan data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara
terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh.
Sumber data dalam penelitian adalah
subjek tempat data didapatkan. Dengan
demikian, sumber data penelitian ini
dilakukan di kediaman peneliti sendiri, yakni
di Jl. Tambak Oso Wilangun No. 98
Benowo Surabaya. Sampel yang diambil ada
dua, yakni anak berusia satu tahun yang
merupakan anak peneliti sendiri dan anak
usia lima tahun yang merupakan keponakan
dari peneliti. Adapun identitas sampel
penelitian, sebagai berikut:
Nama : Muhammad As‟ad Syaif El Bar
Tempat, Tanggal Lahir : Gresik 08 Januari
2017
Usia : 1 tahun
Bahasa Pertama (B1) : Bahasa Indonesia
Bahasa Sehari-hari : Bahasa Indonesia
Pendidikan : Belum sekolah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara dengan orang tua anak serta
lingkungannya maka dapat diketahui
mekanisme pemerolehan bahasa pada anakanak tersebut, diperoleh informasi bahwa
Syaif (anak usia satu tahun) memperoleh
atau mendapatkan bahasa pertama dari
ibunya, yaitu Ibu Siti Maimunah berupa
bahasa Indonesia. Ibu Siti Maimunah sendiri
merupakan orang Jawa dan dalam
kesehariannya berkomunikasi menggunakan
dua bahasa, yaitu bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia, begitu pula dengan suaminya
3
(peneliti) yang bernama Ahmad Abbas.
Akan tetapi, kedua orang tua tersebut
mengenalkan sekaligus mengajarkan bahasa
kepada anak-anaknya, yaitu dengan bahasa
Indonesia. Ibu Siti Maimunah yang mana
merupakan istri dari peneliti sendiri
menuturkan bahwa sejak lahir, Syaif seperti
halnya anak-anak yang lain masih sekadar
menangis sebagai bentuk reaksi terhadap
suatu hal.
Kemudian, seiring pertambahan usia
dan perkembangan kognitifnya, pada usia 10
bulan Syaif mulai mengucapkan satu kata
dan mengoceh, seperti baba, mama,
disamping kata-kata lainnya yang diajarkan
baik oleh orang tua maupun orang-orang
yang berada disekelilingnya yang selalu
membiasakan untuk mengajak Syaif
berbicara. Hal tersebut dilakukan dengan
maksud agar anak mengalami perkembangan
dalam berbahasa dan berbicara sehingga
anak dengan cepat dapat meniru, merespon,
dan memahami apa yang dikatakan baik oleh
orang tua maupun orang-orang yang berada
disekelilingnya. Dari informasi yang
diperoleh, peneliti melakukan pengamatan
terhadap Syaif dengan cara pengamatan
secara langsung, misalnya mengajaknya
bermain, mengasuhnya,
mengamatinya
ketika sedang bersama ibu atau dengan
orang-orang yang berada di sekelilingnya,
dan jutga dengan cara melakukan
wawancara dengan ibunya mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan topik yang dimaksud.
Selama pengamatan yang peneliti
lakukan, peneliti merujuk kepada dua teori
pemerolehan bahasa, antara lain teori
kognitivisme dan behaviorisme. Teori
pertama,
yaitu
teori
kognitivisme.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ahli,
bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah
yang terpisah melainkan satu di antara
beberapa kemampuan yang berasal dari
kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh
nalar.
Perkembangan
bahasa
harus
berlandaskan pada perubahan yang lebih
mendasar dan lebih umum di dalam kognisi.
Urutan-urutan
perkembangan
kognitif
menentukan urutan perkembangan bahasa
(Chaer, 2003:223). Hal itu terbukti dengan
semakin bertambahnya usia, kematangan
kognitif
juga
berpengaruh
terhadap
perkembangan dan pertambahan kata.
Teori
kedua,
yaitu
teori
behaviorisme. Menurut Skinner (Mar‟at,
2005),
menjelaskan
bahwa
perilaku
kebahasaan sama dengan perilaku yang lain,
dikontrol oleh konsekuensinya. Singkatnya,
apabila ada reinforcement yang cocok,
perilaku akan berubah dan inilah yang
disebut belajar. Pandangan empiris ini
mengatakan “language is a function of
reinforcement”. Orang tua mengajarkan
anaknya untuk berbicara dengan cara
memberikan reinforcement (penguatan)
terhadap perilaku verbal.
Hal itu pulalah yang terjadi pada
Syaif.
Ketika
ibu
Siti Maimunah
mengajaknya berkomunikasi, Ibu Siti
Maimunah mengenalkan dan mengajarkan
Syaif
mengucapkan
beberapa
kata.
Walaupun kata-kata yang diucapkan oleh
Syaif belumlah jelas dan tepat dalam
menirukan apa yang diajarkan olehnya. Hal
ini dapat dimaklumi mengingat beberapa
faktor, seperti usia dan pengucapan yang
belum tepat. Akan tetapi, dari kegiatan
tersebut Ibu Siti Maimunah memberikan
penguatan berupa pujian ketika anak (Syaif)
dapat mengucapkan seperti apa yang
diajarkan oleh ibunya. Sebaliknya Ibu Siti
Maimunah akan mengulang kata yang
dimaksud ketika anak (Syaif) keliru atau
salah dalam mengucapkan.
Pemerolehan
Fonologis
Tuturan
Holofrastis (Satu Kata)
Berdasarkan tahap pemerolehan
bahasa, dalam pengamatan peneliti mengacu
pada tahap pemerolehan bahasa pada anak
yang berusia 12 bulan. Berdasarkan
pendapat dan penelitian yang dilakukan oleh
para ahli, pada usia tersebut dapat
dinamakan dengan tahap satu kata atau
holofrastis. Tahap ini berlangsung ketika
anak berusia antara 12 sampai 18 bulan.
Pada tahap ini pula seorang anak mulai
menggunakan serangkaian bunyi berulangulang untuk makna yang sama. Anak sudah
mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan
makna dan mulai mengucapkan kata-kata
yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini
disebut tahap satu kata, yang berarti bahwa
satu kata yang diucapkan anak itu
merupakan satu konsep yang lengkap,
misalnya kata “mam” dapat menunjukkan
makna (saya minta makan); kata “ba” dapat
menunjukkan makna (saya mau baba ada
disini), dan kata “Ma” dapat menunjukkan
makna (saya mau mama ada di sini).
4
Berdasarkan pendapat di atas, Syaif
yang telah berusia satu tahun melakukan hal
yang senada. Sebagai contoh, Syaif
mengucapkan “go” untuk menunjukkan
konsep yang luas / lengkap baik untuk
menunjuk bola, menendang bola, maupun
melihat tayangan permainan sepak bola di
televisi. Jadi, dapat disimpulkan kata “go”
ditujukan untuk menunjuk objek berupa
bola. Kata “go” itu diperolehnya ketika dia,
paman, dan ayahnya (peneliti) sedang
menyaksikan permainan sepak bola di
televisi. Melihat seorang pemain berhasil
membobol gawang lawan, secara spontan
paman dan ayahnya (peneliti) berteriak goal
sehingga Syaif menirukan hal yang sama.
Sampai saat ini, Syaif akan mengucapkan
kata “go” ketika ia melihat bola, menendang
bola, atau dapat berarti Ambilkan bola itu!.
Sebagaimana yang telah disampaikan
diatas bahwa di samping wawancara, bentuk
penelitian lain yang dilakukan peneliti
adalah dengan pengamatan langsung
terhadap anak yang sedang diteliti.
Pengamatan dilakukan cukup lama dan
dapat dikatakan kegiatan yang dilakukan
tidak banyak mengalami kendala mengingat
anak yang diamati adalah anak peneliti
sendiri sehingga hal itu memudahkan
peneliti dalam melakukan pengamatan.
Adapun
kegiatan
pengamatan
yang
dilakukan, yaitu dengan mendata kata-kata
yang diucapkan. Berikut ini contoh kata-kata
yang diucapkan oleh Syaif.
1.
Baba : memanggil ayah / lelaki
dewasa (lain)
2.
Mama : memanggil ibu / wanita
dewasa (lain)
3.
Mam : ingin minum / makan
4.
Go : menendang bola / melihat bola /
melihat tayangan permainan sepak
bola di televisi
5.
Owo / Owo Waji : mendengar suara
azdan / menirukan adzan / melihat
tayangan adzan di televisi
6.
Bobo : ingin tidur
7.
Kuku : melihat / menirukan suara
ayam / burung
ayahnya, kakeknya maupun orang yang
tidak dikenalnya ketika tampak sedang lewat
di depan rumah. (2) Kata “mama” digunakan
ketika Syaif memanggil orang dewasa yang
berjenis kelamin perempuan, baik itu untuk
memanggil ibunya, neneknya, dan wanita
dewasa lainnya. (3) Kata “mam,” yang dapat
diartikan “aku minta makan atau aku minta
minum”. Hal itu diucapkan ketika Syaif
merasa lapar atau haus. (4) Kata “go” cukup
memiliki lebih dari satu makna. Kata “go”
tersebut sering ia ucapkan baik ketika
melihat bola, menendang bola, dan meminta
tolong untuk diambilkan bola yang berada di
kolong meja atau menggelinding ke tempat
yang tidak dapat ia jangkau. Kata “go” dapat
berarti menunjukkan pada “bola, atau
ambilkan bola itu!”.
(5) Selain itu, menjadi kebiasaannya,
baik ketika terdengar azdan berkumandang
di masjid maupun ketika melihat tayangan
adzan di televisi, Syaif akan menghentikan
aktivitasnya kemudian mendengarkan adzan
itu lalu menirukan lafadz pertamanya saja,
contohnya: Allahu akbar menjadi “owo /
owo aji” (6) Sedangkan kata “bobo” ia
ucapkan ketika Syaif ingin tidur, melihat
bantal, ataupun menirukan ibunya manakala
menyuruh ia supaya lekas tidur. (7) Selain
itu, Syaif juga menirukan suara-suara yang
sering ia dengar di lingkungan rumah,
seperti suara ayam ketika berkokok,
kemudian
ia
menirunya
dengan
mengucapkan “kuku.” Kata tersebut tidak
hanya ia tujukan untuk menirukan suara
ayam, akan tetapi juga ia tujukan untuk
menirukan suara burung.
Di usianya satu tahun, tepatnya pada
08 Januari 2018 lalu, Syaif semakin
menunjukkan
pertumbuhan
dan
perkembangan yang cukup pesat baik dari
segi psikomotor maupun motoriknya tidak
terkecuali kebahahasaannya. Dia tergolong
anak yang sehat, ceria, dan aktif. Pada usia
11 bulan ia sudah dapat berjalan. Hobinya
yang suka menendang bola membuatnya
selalu bergerak. Pada fase ini, dia pun gemar
untuk mengoceh.
Berdasarkan data di atas, dapat
diketahui bahwa (1) kata “baba” merupakan
kata yang pertama kali ia ucapkan. Kata itu
pula yang ia gunakan ketika Syaif
memanggil orang dewasa yang berjenis
kelamin laki-laki, baik itu untuk memanggil
Pemerolehan
Fonologis
Penggantian
Bunyi
Pada anak usia satu tahun, anak-anak
secara garis besar telah mulai belajar
menguasai bahasa ibunya secara baik. Hal
5
ini juga disampaikan oleh Mar‟at (2005: 66),
secara garis besar ciri umum perkembangan
bahasa pada periode ini sebagai berikut: (a)
pada akhir periode ini secara garis besar
anak telah menguasai bahasa ibunya, artinya
hukum-hukum tata bahasa yang pokok dari
orang
dewasa
telah
dikuasai,
(b)
perkembangan fonologi boleh dikatakan
telah berakhir. Mungkin masih ada
kesukaran pengucapan konsonan yang
majemuk dan sedikit kompleks, (c)
perbendaharaan kata berkembang, baik
kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa
pengertian abstrak seperti pengertian waktu,
ruang dan kuantum mulai muncul, (d) kata
benda dan kata kerja mulai lebih
terdiferensiasi
dalam
pemakaiannya,
ditandai dengan dipergunakannya kata
depan, kata ganti, dan kata kerja bantu, (e)
fungsi bahasa untuk komunikasi betul-betul
mulai berfungsi, anak sudah dapat
mengadakan konversasi dengan cara yang
dapat dimengerti oleh orang dewasa, (g)
persepsi anak dan pengalamannya tentang
dunia luar mulai ingin dibaginya dengan
orang lain, dengan cara memberi tahu, dan
lain-lain (Mysak, 1961), dan (h) mulai
terjadi perkembangan di bidang morfologi,
ditandai dengan munculnya kata jamak,
perubahan akhiran kata benda, perubahan
kata kerja.
Berdasarkan
hasil
wawancara
terhadap orang tua sampel, dapat diketahui
beberapa informasi bahwa Syaif (anak usia
satu tahun) memiliki kemampuan berbahasa
yang
baik.
Kalimat-kalimat
yang
disampaikannya sudah bisa dimengerti oleh
orang lain. Dalam percakapan pun ia sudah
bisa
menggunakan
kata-kata
yang
menghubungkan sebab akibat, seperti kata
“mungkin”
ataupun
“seharusnya”.
Contohnya: “Ma, kok mendung ya?
Mungkin nanti mau hujan.” Dalam proses
pemerolehan bahasanya, Syaif mulai
mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk
teriakan, rengekan, atau dengkuran secara
jelas mulai dari umur 6 bulan. Selanjutnya
kata pertama yang ia keluarkan adalah kata
“mama” (memanggil ibunya). Pada usia 2
(dua) tahun, anak ini sudah dapat merespon
kata-kata yang disampaikan oleh orang
tuanya ataupun orang lain dengan cukup
baik.
Syaif sendiri tinggal di lingkungan
yang mayoritas penduduknya berbahasa
Jawa, akan tetapi orang-orang yang berada
disekitarnya, baik itu kedua orang tua,
nenek, kakek, bulik, dan lingkungan
sekitarnya mengarahkan Syaif untuk
berbahasa Indonesia. Orang tua Syaif tidak
mengalami kesulitan yang berarti ketika
mengenalkan dan mengajarkan bahasa
Indonesia kepada Syaif. Namun, Syaif masih
mengalami kesulitan untuk mengucapkan
huruf konsonan „S‟ dengan benar dan tepat.
Hal ini terjadi karena kelainan pada alat
ucapnya. Contohnya saat ia mengucapkan
kata “sakit” maka terdengar oleh peneliti
seperti mengucapkan kata “cakit”. Adapun
fakta lain yang peneliti peroleh berdasarkan
hasil observasi, dapat diketahui bahwa tidak
terdapat keanehan yang terlihat ketika Syaif
diajak berbicara saat bermain, baik oleh
peneliti maupun oleh orang lain. Syaif dapat
menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan dapat dipahami oleh orang lain sebagai
lawan tuturnya.
Dari penelitian di atas dapat diketahui
bahwa kemampuan berbahasa anak tidak
diperoleh secara tiba-tiba atau sekaligus,
akan tetapi diperoleh melalui proses tahapan.
Faktor keluarga sangat mempengaruhi dalam
proses pemerolehan bahasa seorang anak.
Oleh karena itu, sebagai orang tua, terutama
ibu yang dominan dekat dengan buah
hatinya, harus lebih memperhatikan bahasa
yang digunakan agar anak dapat menirukan
kosa kata atau bahasa dengan baik.
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemerolehan bahasa pada anak usia satu
tahun terlihat ketika anak diajak oleh orangorang yang berada disekitarnya untuk
berkomunikasi. Anak akan dapat menirukan
kata-kata yang diajarkan dan dikenalkan,
meskipun kata-kata yang diucapkan sang
anak belumlah jelas dan tepat. Hal ini dapat
disebabkan beberapa faktor, seperti usia dan
pelafalan yang belumlah sempurna. Akan
tetapi, dari kegiatan tersebut anak akan
diberikan penguatan berupa pujian manakala
ia dapat mengucapkan seperti apa yang telah
diajarkan. Sebaliknya, orang-orang yang
berada disekitar anak, terutama orang tua
akan mengulang kata yang dimaksud
sekiranya anak tersebut keliru atau salah
dalam pengucapan.
Akan tetapi, pada anak usia satu
tahun kata-kata yang disampaikannya masih
6
terdapat kesalahan bunyi ketika diajak
berkomunikasi oleh
lawan bicara.
Sedangkan dalam percakapan ia sudah bisa
menggunakan
kata-kata
yang
menghubungkan sebab akibat, seperti kata
“mungkin” ataupun “seharusnya”.
Yulianto,
Bambang.
2008.
Aspek
Kebahasaan dan Pembelajaran
Cetakan Dua. Surabaya. Unesa
university Press.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian
Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode
Linguistik. Bandung: Eresco.
Ellis,
R. 1985. Understanding Second
Language Acquisition. Oxford:
Oxford University Press.
Ibrahim, M. 2005. Asessmen Berkelanjutan.
Surabaya: Unesa University Press.
Mar‟at,
Samsunuwiyati.
2005.
Psikolinguistik Suatu Pengantar.
Bandung: Refika Aditama.
Mintowati, M. 2008. Tuturan Penyandang
Autis (Kajian Tindak Tutur, Prinsip
Kooperatif,
dan
Strategis)
Universitas Negeri Surabaya.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
Rosda Karya.
Strazny, Philipp (ed.). 2005. Encyclopedia of
Linguistics. New York: Fitzroy
Dearborn.
Subyakto-Nababan
&
Utari.
1988.
Psikolinguistik Suatu Pengantar.
Jakarta: Depdikbud.
Tarigan,
Henry
Guntur.
2009.
Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Yulianto, Bambang. 2009. Perkembangan
Fonologis Bahasa Anak. Surabaya.
Unesa University Press.
Yulianto, Bambang. 2001. Perkembangan
Fonologis
Tuturan
Bahasa
Indonesia Anak. Suatu Tinjauan
Berdasarkan Fonologi Generatif.
Malang: PPs Universitas Negeri
Malang
7
Ahmad Abbas (16070835049)
Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya,
Email : [email protected]
Bambang Yulianto
Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya,
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemerolehan bahasa pada anak usia 1 (satu) tahun,
yang meliputi (1) proses pemerolehan bahasa pada anak dan (2) kemampuan bahasa anak yang
beralamat di Pondok Pesantren Al-Fatich Tambak Oso Wilangun No. 98 Benowo Surabaya.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Data penelitian ini adalah data tuturan bahasa
Indonesia yang diproduksi oleh anak-anak usia 1 (satu) tahun. Data dikumpulkan dengan
menggunakan alat perekam. Analisis data dilakukan dengan menggunakan model interaktif.
Model ini terdiri atas: (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan. Hasil
analisis data menunjukkan bahwa kemampuan bahasa pada anak usia satu tahun belumlah jelas
dan tepat dalam hal pengucapannya. Hal ini disebabkan beberapa faktor, seperti usia dan
pelafalan yang belum sempurna. Akan tetapi, pada anak usia satu tahun kata-kata yang
disampaikannya masih terdapat kesalahan bunyi ketika diajak berkomunikasi oleh lawan bicara.
Sedangkan dalam percakapan ia sudah bisa menggunakan kata-kata yang menghubungkan sebab
akibat, seperti kata “mungkin” ataupun “seharusnya”.
Kata kunci: pemerolehan, bahasa Indonesia, kemampuan, anak usia 1 (satu) tahun
Abstract
This research aims to know the Indonesian Affixation for one (1) year old children. It is involved
(1) Process of Indonesia affixation for children and (2) Language ability for children in Islamic
Boarding House of Alfatich Tanbak Oso Wilangun numb 98 benowo Surabaya. This research uses
descriptive research. The data research is the Indonesian utterance produced by children of one
year old and 5 years old. The data is collected by using recording media. Then data analysis is
using interacted model suggested by Miles and Huberman. The model are included (1) data
reduction (2) data serving (3) Data conclusion. The result shows that language ability for
children of one year old is not clear enough in uttering the utterance. It is caused by some factors
such as the age and imperfect utterance. While for 5 years old children has had language ability
well. The sentences are understandable for others. In conversation, the children has used
connection word such as cause-effect sentence (complex sentence) such as “mungkin” and
“seharusnya”.
Keywords: affixation, Indonesian, ability, one year old children
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan alat komunikasi
yang digunakan oleh manusia untuk
menyampaikan pesan kepada manusia
lainnya. Bahasa memerlukan keterampilan
khusus yang sangat kompleks, berkembang
dalam diri anak secara spontan, dan tanpa
usaha sadar ataupun instruksi formal.
Kemampuan berkomunikasi anak tidak
terjadi begitu saja. Hal itu disebabkan anak
terlahir tidak begitu saja dapat berbahasa.
Ada perkembangan yang harus dilewati
melalui tahapan-tahapan tertentu. Seorang
anak akan melalui perkembangan linguistik
dari tidak dapat berbahasa sampai dapat
berbahasa meski dengan pemahaman yang
kurang sempurna. Subyakto dan Nababan
(1988: 93) menyatakan bahwa proses yang
demikian itu disebut pemerolehan bahasa
Menurut
Chaer
(2003:167),
pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa
1
adalah proses yang berlangsung di dalam
otak anak-anak ketika dia memperoleh
bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.
Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan
dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran
bahasa berkaitan dengan proses yang terjadi
pada waktu seorang anak mempelajari
bahasa kedua setelah dia memperoleh
bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan
bahasa berkenaan dengan bahasa pertama,
sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan
dengan bahasa kedua. Namun, banyak juga
yang menggunakan istilah pemerolehan
bahasa untuk bahasa kedua. Para pakar
setuju bahwa ada dua langkah dalam usaha
untuk
menguasai
bahasa.
Pertama,
penguasaan bahasa yang dilakukan secara
tidak sadar dan bersifat informal. Kedua,
penguasaan bahasa yang dilakukan secara
sadar dan bersifat formal. Penguasaan
bahasa dengan cara pertama disebut
pemerolehan, sedangkan cara yang kedua
disesbut dengan pembelajaran.
Dalam kaitannya dengan pengaruh
faktor sosial terhadap pemerolehan bahasa,
Klein (dalam Yulianto, 2009) menjelaskan
bahwa pemerolehan bahasa pertama
merupakan salah satu perkembangan
menyeluruh anak menjadi anggota sosial
masyarakat. Bahasa memudahkan anak
mengekspresikan perasaan, gagasan, dan
kemauannya dengan cara yang dapat
diterima masyarakat. Anak belajar dan
mengetahui berbagai hal tentang kehidupan
sosial melalui bahasa. Bahasa merupakan
sarana untuk memperoleh nilai-nilai budaya,
moral, agama, dan nilai-nilai lainnya di
mayarakat
Adapun proses perkembangan bahasa
pada anak meliputi: (a) fonologi, anak
menggunakan bunyi-bunyi yang telah
dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang
belum dipelajari, misalnya menggantikan
bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi
/r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode
berceloteh,
anak
sudah
mampu
mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan
kontur bahasa yang dipelajarinya, (b)
morfologi, pada usia 3 (tiga) tahun anak
sudah membentuk beberapa morfem yang
menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan
verba yang digunakan. Kesalahan gramatikal
sering terjadi pada tahap ini karena anak
masih berusaha mengatakan apa yang ingin
dia sampaikan. Anak terus memperbaiki
bahasanya sampai usia sepuluh tahun, (c)
sintaksis,
anak-anak
mengembangkan
tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan
melalui beberapa tahap, yaitu melalui
peniruan, melalui penggolongan morfem,
dan melalui penyusunan dengan cara
menempatkan kata-kata secara bersamasama untuk membentuk kalimat, (d)
semantik, anak menggunakan kata-kata
tertentu berdasarkan kesamaan gerak,
ukuran, dan bentuk. Misalnya,anak sudah
mengetahui makna kata jam. Awalnya anak
hanya mengacu pada jam tangan orang
tuanya, namun kemudian dia memakai kata
tersebut untuk semua jenis jam.
Menurut Nababan, dkk (1988:65),
seorang anak yang normal pertumbuhan
pikirannya belajar bahasa pertama (bahasa
ibu) dalam tahun-tahun pertama dalam
kehidupannya, dan proses ini terjadi hingga
kira-kira umur 5 tahun. Seorang bayi hanya
akan merespon ujaran-ujaran yang sering
didengarnya dari lingkungan sekitar terlebih
adalah ujaran seorang ibu yang sering
didengar oleh anak. Pada pemerolehan
bahasa kita mengenal beberapa tahapan
pemerolehan bahasa, pemerolehan bahasa
pertama (PB1), didapatkan seorang bayi
secara langsung dari ibunya atau lingkungan
yang dekat dengan bayi tersebut.
Sementara itu, Strazny (2005)
memaparkan bahwa pemerolehan bahasa
adalah kajian ilmu yang mempelajari
perkembangan bahasa seseorang. Umumnya
berkenaan
dengan
cara
manusia
mendapatkan bahasa ibu mereka, bahasa
kedua atau bahasa yang lainnya. Istilah
khususnya proses pemerolehan bahasa ini
lebih kepada seberapa lama fitur-fitur bahasa
itu diperolehnya. Lebih lanjut Strazny
(2005), first language aquisition is the
child‟s learning of his or her fisrt ornative
language. Traditionally, andespececially in
monolingual societies, fisrt and native
language
were
used
synonymously
(Pemerolehan bahasa pertama adalah proses
seorang anak baik laki-laki atau perempuan
belajar bahasa ibu mereka. Secara tradisional
proses itu terjadi pada masyarakat
monolingual (menganut satu bahasa), bahasa
pertama dan bahasa ibu biasanya digunakan
secara bersamaan seperti Jawa-Indonesia).
Pengetahuan mengenai pemerolehan
bahasa dan tahap-tahap pemerolehan bahasa
terdiri atas beberapa tahap, yaitu (a) tahap
2
pengocehan (babbling); (b) tahap satu kata
(holofrastis); (c) tahap dua kata; (d) tahap
menyerupai telegram (telegraphic speech),
(e) vokalisasi bunyi, (f) tahap satu kata atau
holofrastis, (g) tahap dua kata, satu frase,
dan (h) ujaran telegrafis.
Selain tahap pemerolehan bahasa
yang disebutkan pada paragraf di atas, para
ahli bahasa seperti Aitchison juga
mengemukakan beberapa tahap pemerolehan
bahasa anak, yaitu tahap 1: mendengkur,
tahap 2: meraban, tahap 3: pola intonasi,
tahap 4: tuturan satu kata, tahap 5: tuturan
dua kata, tahap 6: infleksi kata, tahap 7:
bentuk tanya dan bentuk ingkar, tahap 8:
konstruksi yang jarang atau kompleks, tahap
9: tuturan yang matang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa pemerolehan bahasa adalah proses
manusia mendapatkan kemampuan untuk
menangkap,
menghasilkan,
dan
menggunakan kata untuk pemahaman dan
komunikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka
peneliti
ingin
mengetahui
tentang
pemerolehan bahasa pada anak usia 1 (satu),
yang meliputi proses pemerolehan bahasa
pada anak dan kemampuan bahasa anak.
Sehingga
peneliti
tertarik
membuat
penelitian yang berjudul “Pemerolehan
Fonologis Bahasa Indonesia pada Anak Usia
Satu Tahun”.
METODE
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Istilah pendekatan kualitatif pada mulanya
bersumber pada pengamatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri
berlatar alamiah, bersifat deskriptif, lebih
mengutamakan proses dari pada hasil, dan
analisis data bersifat induktif. Berlatar
alamiah, maksudnya ialah data penelitian
bersumber
dari
peristiwa-peristiwa
komunikasi dan situasi alamiah yang
berlangsung pada subjek penelitian. Tidak
ada upaya dari peneliti untuk mengendalikan
subjek, baik di dalam maupun di luar
lingkungan. Oleh karena itu, strategi
pengumpulan data diusahakan tidak
mencolok dan tidak diketahui subjek
penelitian.
Metode deskriptif dipilih oleh peneliti
karena, metode ini dapat memberikan
gambaran data ataupun objek secara natural,
objektif, faktual (apa adanya), dan secermat
mungkin mengenai individu, keadaan,
bahasa, gejala, atau kelompok. Metode
deskriptif
ini
digunakan
untuk
menggambarkan hasil dari pengumpulan
data yang telah dilakukanoleh peneliti, baik
melalui wawancara (orangtua dan anak) dan
observasi
secara
langsung
tentang
kemampuan bahasa anak.
Teknik pengumpulan data merupakan
langkah yang paling utama dalam penelitian,
karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Dalam penelitian ini
pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan teknik simak libat cakap, dan
teknik catat. Sedangkan penganalisisan data
dalam penelitian ini menggunakan model
analisis interaktif yang mana aktivitas dalam
penganalisisan data kualitatif dilakukan
secara interaktif dan berlangsung secara
terus menerus sampai tuntas, sehingga
datanya sudah jenuh.
Sumber data dalam penelitian adalah
subjek tempat data didapatkan. Dengan
demikian, sumber data penelitian ini
dilakukan di kediaman peneliti sendiri, yakni
di Jl. Tambak Oso Wilangun No. 98
Benowo Surabaya. Sampel yang diambil ada
dua, yakni anak berusia satu tahun yang
merupakan anak peneliti sendiri dan anak
usia lima tahun yang merupakan keponakan
dari peneliti. Adapun identitas sampel
penelitian, sebagai berikut:
Nama : Muhammad As‟ad Syaif El Bar
Tempat, Tanggal Lahir : Gresik 08 Januari
2017
Usia : 1 tahun
Bahasa Pertama (B1) : Bahasa Indonesia
Bahasa Sehari-hari : Bahasa Indonesia
Pendidikan : Belum sekolah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara dengan orang tua anak serta
lingkungannya maka dapat diketahui
mekanisme pemerolehan bahasa pada anakanak tersebut, diperoleh informasi bahwa
Syaif (anak usia satu tahun) memperoleh
atau mendapatkan bahasa pertama dari
ibunya, yaitu Ibu Siti Maimunah berupa
bahasa Indonesia. Ibu Siti Maimunah sendiri
merupakan orang Jawa dan dalam
kesehariannya berkomunikasi menggunakan
dua bahasa, yaitu bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia, begitu pula dengan suaminya
3
(peneliti) yang bernama Ahmad Abbas.
Akan tetapi, kedua orang tua tersebut
mengenalkan sekaligus mengajarkan bahasa
kepada anak-anaknya, yaitu dengan bahasa
Indonesia. Ibu Siti Maimunah yang mana
merupakan istri dari peneliti sendiri
menuturkan bahwa sejak lahir, Syaif seperti
halnya anak-anak yang lain masih sekadar
menangis sebagai bentuk reaksi terhadap
suatu hal.
Kemudian, seiring pertambahan usia
dan perkembangan kognitifnya, pada usia 10
bulan Syaif mulai mengucapkan satu kata
dan mengoceh, seperti baba, mama,
disamping kata-kata lainnya yang diajarkan
baik oleh orang tua maupun orang-orang
yang berada disekelilingnya yang selalu
membiasakan untuk mengajak Syaif
berbicara. Hal tersebut dilakukan dengan
maksud agar anak mengalami perkembangan
dalam berbahasa dan berbicara sehingga
anak dengan cepat dapat meniru, merespon,
dan memahami apa yang dikatakan baik oleh
orang tua maupun orang-orang yang berada
disekelilingnya. Dari informasi yang
diperoleh, peneliti melakukan pengamatan
terhadap Syaif dengan cara pengamatan
secara langsung, misalnya mengajaknya
bermain, mengasuhnya,
mengamatinya
ketika sedang bersama ibu atau dengan
orang-orang yang berada di sekelilingnya,
dan jutga dengan cara melakukan
wawancara dengan ibunya mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan topik yang dimaksud.
Selama pengamatan yang peneliti
lakukan, peneliti merujuk kepada dua teori
pemerolehan bahasa, antara lain teori
kognitivisme dan behaviorisme. Teori
pertama,
yaitu
teori
kognitivisme.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ahli,
bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah
yang terpisah melainkan satu di antara
beberapa kemampuan yang berasal dari
kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh
nalar.
Perkembangan
bahasa
harus
berlandaskan pada perubahan yang lebih
mendasar dan lebih umum di dalam kognisi.
Urutan-urutan
perkembangan
kognitif
menentukan urutan perkembangan bahasa
(Chaer, 2003:223). Hal itu terbukti dengan
semakin bertambahnya usia, kematangan
kognitif
juga
berpengaruh
terhadap
perkembangan dan pertambahan kata.
Teori
kedua,
yaitu
teori
behaviorisme. Menurut Skinner (Mar‟at,
2005),
menjelaskan
bahwa
perilaku
kebahasaan sama dengan perilaku yang lain,
dikontrol oleh konsekuensinya. Singkatnya,
apabila ada reinforcement yang cocok,
perilaku akan berubah dan inilah yang
disebut belajar. Pandangan empiris ini
mengatakan “language is a function of
reinforcement”. Orang tua mengajarkan
anaknya untuk berbicara dengan cara
memberikan reinforcement (penguatan)
terhadap perilaku verbal.
Hal itu pulalah yang terjadi pada
Syaif.
Ketika
ibu
Siti Maimunah
mengajaknya berkomunikasi, Ibu Siti
Maimunah mengenalkan dan mengajarkan
Syaif
mengucapkan
beberapa
kata.
Walaupun kata-kata yang diucapkan oleh
Syaif belumlah jelas dan tepat dalam
menirukan apa yang diajarkan olehnya. Hal
ini dapat dimaklumi mengingat beberapa
faktor, seperti usia dan pengucapan yang
belum tepat. Akan tetapi, dari kegiatan
tersebut Ibu Siti Maimunah memberikan
penguatan berupa pujian ketika anak (Syaif)
dapat mengucapkan seperti apa yang
diajarkan oleh ibunya. Sebaliknya Ibu Siti
Maimunah akan mengulang kata yang
dimaksud ketika anak (Syaif) keliru atau
salah dalam mengucapkan.
Pemerolehan
Fonologis
Tuturan
Holofrastis (Satu Kata)
Berdasarkan tahap pemerolehan
bahasa, dalam pengamatan peneliti mengacu
pada tahap pemerolehan bahasa pada anak
yang berusia 12 bulan. Berdasarkan
pendapat dan penelitian yang dilakukan oleh
para ahli, pada usia tersebut dapat
dinamakan dengan tahap satu kata atau
holofrastis. Tahap ini berlangsung ketika
anak berusia antara 12 sampai 18 bulan.
Pada tahap ini pula seorang anak mulai
menggunakan serangkaian bunyi berulangulang untuk makna yang sama. Anak sudah
mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan
makna dan mulai mengucapkan kata-kata
yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini
disebut tahap satu kata, yang berarti bahwa
satu kata yang diucapkan anak itu
merupakan satu konsep yang lengkap,
misalnya kata “mam” dapat menunjukkan
makna (saya minta makan); kata “ba” dapat
menunjukkan makna (saya mau baba ada
disini), dan kata “Ma” dapat menunjukkan
makna (saya mau mama ada di sini).
4
Berdasarkan pendapat di atas, Syaif
yang telah berusia satu tahun melakukan hal
yang senada. Sebagai contoh, Syaif
mengucapkan “go” untuk menunjukkan
konsep yang luas / lengkap baik untuk
menunjuk bola, menendang bola, maupun
melihat tayangan permainan sepak bola di
televisi. Jadi, dapat disimpulkan kata “go”
ditujukan untuk menunjuk objek berupa
bola. Kata “go” itu diperolehnya ketika dia,
paman, dan ayahnya (peneliti) sedang
menyaksikan permainan sepak bola di
televisi. Melihat seorang pemain berhasil
membobol gawang lawan, secara spontan
paman dan ayahnya (peneliti) berteriak goal
sehingga Syaif menirukan hal yang sama.
Sampai saat ini, Syaif akan mengucapkan
kata “go” ketika ia melihat bola, menendang
bola, atau dapat berarti Ambilkan bola itu!.
Sebagaimana yang telah disampaikan
diatas bahwa di samping wawancara, bentuk
penelitian lain yang dilakukan peneliti
adalah dengan pengamatan langsung
terhadap anak yang sedang diteliti.
Pengamatan dilakukan cukup lama dan
dapat dikatakan kegiatan yang dilakukan
tidak banyak mengalami kendala mengingat
anak yang diamati adalah anak peneliti
sendiri sehingga hal itu memudahkan
peneliti dalam melakukan pengamatan.
Adapun
kegiatan
pengamatan
yang
dilakukan, yaitu dengan mendata kata-kata
yang diucapkan. Berikut ini contoh kata-kata
yang diucapkan oleh Syaif.
1.
Baba : memanggil ayah / lelaki
dewasa (lain)
2.
Mama : memanggil ibu / wanita
dewasa (lain)
3.
Mam : ingin minum / makan
4.
Go : menendang bola / melihat bola /
melihat tayangan permainan sepak
bola di televisi
5.
Owo / Owo Waji : mendengar suara
azdan / menirukan adzan / melihat
tayangan adzan di televisi
6.
Bobo : ingin tidur
7.
Kuku : melihat / menirukan suara
ayam / burung
ayahnya, kakeknya maupun orang yang
tidak dikenalnya ketika tampak sedang lewat
di depan rumah. (2) Kata “mama” digunakan
ketika Syaif memanggil orang dewasa yang
berjenis kelamin perempuan, baik itu untuk
memanggil ibunya, neneknya, dan wanita
dewasa lainnya. (3) Kata “mam,” yang dapat
diartikan “aku minta makan atau aku minta
minum”. Hal itu diucapkan ketika Syaif
merasa lapar atau haus. (4) Kata “go” cukup
memiliki lebih dari satu makna. Kata “go”
tersebut sering ia ucapkan baik ketika
melihat bola, menendang bola, dan meminta
tolong untuk diambilkan bola yang berada di
kolong meja atau menggelinding ke tempat
yang tidak dapat ia jangkau. Kata “go” dapat
berarti menunjukkan pada “bola, atau
ambilkan bola itu!”.
(5) Selain itu, menjadi kebiasaannya,
baik ketika terdengar azdan berkumandang
di masjid maupun ketika melihat tayangan
adzan di televisi, Syaif akan menghentikan
aktivitasnya kemudian mendengarkan adzan
itu lalu menirukan lafadz pertamanya saja,
contohnya: Allahu akbar menjadi “owo /
owo aji” (6) Sedangkan kata “bobo” ia
ucapkan ketika Syaif ingin tidur, melihat
bantal, ataupun menirukan ibunya manakala
menyuruh ia supaya lekas tidur. (7) Selain
itu, Syaif juga menirukan suara-suara yang
sering ia dengar di lingkungan rumah,
seperti suara ayam ketika berkokok,
kemudian
ia
menirunya
dengan
mengucapkan “kuku.” Kata tersebut tidak
hanya ia tujukan untuk menirukan suara
ayam, akan tetapi juga ia tujukan untuk
menirukan suara burung.
Di usianya satu tahun, tepatnya pada
08 Januari 2018 lalu, Syaif semakin
menunjukkan
pertumbuhan
dan
perkembangan yang cukup pesat baik dari
segi psikomotor maupun motoriknya tidak
terkecuali kebahahasaannya. Dia tergolong
anak yang sehat, ceria, dan aktif. Pada usia
11 bulan ia sudah dapat berjalan. Hobinya
yang suka menendang bola membuatnya
selalu bergerak. Pada fase ini, dia pun gemar
untuk mengoceh.
Berdasarkan data di atas, dapat
diketahui bahwa (1) kata “baba” merupakan
kata yang pertama kali ia ucapkan. Kata itu
pula yang ia gunakan ketika Syaif
memanggil orang dewasa yang berjenis
kelamin laki-laki, baik itu untuk memanggil
Pemerolehan
Fonologis
Penggantian
Bunyi
Pada anak usia satu tahun, anak-anak
secara garis besar telah mulai belajar
menguasai bahasa ibunya secara baik. Hal
5
ini juga disampaikan oleh Mar‟at (2005: 66),
secara garis besar ciri umum perkembangan
bahasa pada periode ini sebagai berikut: (a)
pada akhir periode ini secara garis besar
anak telah menguasai bahasa ibunya, artinya
hukum-hukum tata bahasa yang pokok dari
orang
dewasa
telah
dikuasai,
(b)
perkembangan fonologi boleh dikatakan
telah berakhir. Mungkin masih ada
kesukaran pengucapan konsonan yang
majemuk dan sedikit kompleks, (c)
perbendaharaan kata berkembang, baik
kuantitatif maupun kualitatif. Beberapa
pengertian abstrak seperti pengertian waktu,
ruang dan kuantum mulai muncul, (d) kata
benda dan kata kerja mulai lebih
terdiferensiasi
dalam
pemakaiannya,
ditandai dengan dipergunakannya kata
depan, kata ganti, dan kata kerja bantu, (e)
fungsi bahasa untuk komunikasi betul-betul
mulai berfungsi, anak sudah dapat
mengadakan konversasi dengan cara yang
dapat dimengerti oleh orang dewasa, (g)
persepsi anak dan pengalamannya tentang
dunia luar mulai ingin dibaginya dengan
orang lain, dengan cara memberi tahu, dan
lain-lain (Mysak, 1961), dan (h) mulai
terjadi perkembangan di bidang morfologi,
ditandai dengan munculnya kata jamak,
perubahan akhiran kata benda, perubahan
kata kerja.
Berdasarkan
hasil
wawancara
terhadap orang tua sampel, dapat diketahui
beberapa informasi bahwa Syaif (anak usia
satu tahun) memiliki kemampuan berbahasa
yang
baik.
Kalimat-kalimat
yang
disampaikannya sudah bisa dimengerti oleh
orang lain. Dalam percakapan pun ia sudah
bisa
menggunakan
kata-kata
yang
menghubungkan sebab akibat, seperti kata
“mungkin”
ataupun
“seharusnya”.
Contohnya: “Ma, kok mendung ya?
Mungkin nanti mau hujan.” Dalam proses
pemerolehan bahasanya, Syaif mulai
mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk
teriakan, rengekan, atau dengkuran secara
jelas mulai dari umur 6 bulan. Selanjutnya
kata pertama yang ia keluarkan adalah kata
“mama” (memanggil ibunya). Pada usia 2
(dua) tahun, anak ini sudah dapat merespon
kata-kata yang disampaikan oleh orang
tuanya ataupun orang lain dengan cukup
baik.
Syaif sendiri tinggal di lingkungan
yang mayoritas penduduknya berbahasa
Jawa, akan tetapi orang-orang yang berada
disekitarnya, baik itu kedua orang tua,
nenek, kakek, bulik, dan lingkungan
sekitarnya mengarahkan Syaif untuk
berbahasa Indonesia. Orang tua Syaif tidak
mengalami kesulitan yang berarti ketika
mengenalkan dan mengajarkan bahasa
Indonesia kepada Syaif. Namun, Syaif masih
mengalami kesulitan untuk mengucapkan
huruf konsonan „S‟ dengan benar dan tepat.
Hal ini terjadi karena kelainan pada alat
ucapnya. Contohnya saat ia mengucapkan
kata “sakit” maka terdengar oleh peneliti
seperti mengucapkan kata “cakit”. Adapun
fakta lain yang peneliti peroleh berdasarkan
hasil observasi, dapat diketahui bahwa tidak
terdapat keanehan yang terlihat ketika Syaif
diajak berbicara saat bermain, baik oleh
peneliti maupun oleh orang lain. Syaif dapat
menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan dapat dipahami oleh orang lain sebagai
lawan tuturnya.
Dari penelitian di atas dapat diketahui
bahwa kemampuan berbahasa anak tidak
diperoleh secara tiba-tiba atau sekaligus,
akan tetapi diperoleh melalui proses tahapan.
Faktor keluarga sangat mempengaruhi dalam
proses pemerolehan bahasa seorang anak.
Oleh karena itu, sebagai orang tua, terutama
ibu yang dominan dekat dengan buah
hatinya, harus lebih memperhatikan bahasa
yang digunakan agar anak dapat menirukan
kosa kata atau bahasa dengan baik.
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemerolehan bahasa pada anak usia satu
tahun terlihat ketika anak diajak oleh orangorang yang berada disekitarnya untuk
berkomunikasi. Anak akan dapat menirukan
kata-kata yang diajarkan dan dikenalkan,
meskipun kata-kata yang diucapkan sang
anak belumlah jelas dan tepat. Hal ini dapat
disebabkan beberapa faktor, seperti usia dan
pelafalan yang belumlah sempurna. Akan
tetapi, dari kegiatan tersebut anak akan
diberikan penguatan berupa pujian manakala
ia dapat mengucapkan seperti apa yang telah
diajarkan. Sebaliknya, orang-orang yang
berada disekitar anak, terutama orang tua
akan mengulang kata yang dimaksud
sekiranya anak tersebut keliru atau salah
dalam pengucapan.
Akan tetapi, pada anak usia satu
tahun kata-kata yang disampaikannya masih
6
terdapat kesalahan bunyi ketika diajak
berkomunikasi oleh
lawan bicara.
Sedangkan dalam percakapan ia sudah bisa
menggunakan
kata-kata
yang
menghubungkan sebab akibat, seperti kata
“mungkin” ataupun “seharusnya”.
Yulianto,
Bambang.
2008.
Aspek
Kebahasaan dan Pembelajaran
Cetakan Dua. Surabaya. Unesa
university Press.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian
Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode
Linguistik. Bandung: Eresco.
Ellis,
R. 1985. Understanding Second
Language Acquisition. Oxford:
Oxford University Press.
Ibrahim, M. 2005. Asessmen Berkelanjutan.
Surabaya: Unesa University Press.
Mar‟at,
Samsunuwiyati.
2005.
Psikolinguistik Suatu Pengantar.
Bandung: Refika Aditama.
Mintowati, M. 2008. Tuturan Penyandang
Autis (Kajian Tindak Tutur, Prinsip
Kooperatif,
dan
Strategis)
Universitas Negeri Surabaya.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung:
Rosda Karya.
Strazny, Philipp (ed.). 2005. Encyclopedia of
Linguistics. New York: Fitzroy
Dearborn.
Subyakto-Nababan
&
Utari.
1988.
Psikolinguistik Suatu Pengantar.
Jakarta: Depdikbud.
Tarigan,
Henry
Guntur.
2009.
Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Yulianto, Bambang. 2009. Perkembangan
Fonologis Bahasa Anak. Surabaya.
Unesa University Press.
Yulianto, Bambang. 2001. Perkembangan
Fonologis
Tuturan
Bahasa
Indonesia Anak. Suatu Tinjauan
Berdasarkan Fonologi Generatif.
Malang: PPs Universitas Negeri
Malang
7