KOMPLEKSITAS HUKUM KELUARGA ISLAM DI REP

KOMPLEKSITAS HUKUM KELUARGA ISLAM
DI REPUBLIK TUNISIA
Aulia Rahmat1
A. SEKILAS TENTANG REPUBLIK TUNISIA
Di antara negara-negara yang berada di daerah maghrib di Afrika Utara–daerah
paling barat dari dunia Arab—yaitu Maroko dan Aljazair, Tunisa merupakan Negara yang
paling kecil.2 Sebelah barat berbatasan dengan Aljazair, bagian utara dan timur
berbatasan dengan Mediterania dan bagian selatan berbatasan dengan Libya.
Ibukota Tunisia adalah Tunis dengan luas wilayah 163.610 km2. Tunisia termasuk
dalam kepulauan Karkuana untuk daerah timur, sementara di bagian tenggara termasuk
kepulauan Djerba.3 Jumlah penduduknya mencapai 9.593.402 jiwa (berdasarkan sensus
tahun 2000). Dari jumlah tersebut, 98% beragama Islam, sisanya Kristen 1% dan Yahudi
1%4 sehingga dalam perkembangan selanjutnya, di Negara ini syariat Islam bisa
diterapkan secara menyeluruh.
Negara Tunisia terdiri dari 23 propinsi. Pada awalnya, Negara Tunisia merupakan
propinsi otonom pada masa pemerintahan Turki Utsmani semenjak tahun 1574.5 Pada
tahun 1880-an,6 negara ini menjadi anggota persemakmuran Perancis berdasarkan
perjanjian La Marsa. Negara Tunisia merdeka secara penuh pada tanggal 20 Maret 1956.
Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan elit
intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan mengasimilasi
(memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka dapat mengatur negara

mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat egalitarisme, namun Perancis tidak
menanggapinya secara serius. Langkah yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis
yang terjadi hanya sesaat sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan
yang dipimpin oleh Abd al-Aziz Thalabi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat
1

Penulis adalah tenaga pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang dan STAI Solok Nan

Indah.
2

Grolier International Incorporated, Negara dan Bangsa Afrika (Jakarta: Widyadara, 1990), 86.
Larry A. Barry, “Tunisia”, Encyclopaedia of Modern Middle East, ed. Reeva S. Simon dkk. (New York:
Simon and Schuster Mac Millan, 1996), vol-IV, 1794.
4
Sarmidi Husna, Hukum Islam di Tunisia dalam http://sarmidihusna.blogspot.com/ 2008/11/28/MenjadiAkademisi-Bersendikan-Tradisi-HUKUM-KELUARGA-DI-TUNISIA.html akses tanggal 23 Maret 2011 – 07.33. Apabila
dibandingkan dengan hasil sensus yang dilakukan pada tahun sebelumnya, seperti yang dijelaskan Tahir
Mahmood dalam bukunya dinyatakan bahwa penduduk Tunisia berjumlah kurang lebih 7 juta jiwa dengan
komposisi 97% beragama Islam. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analysis (New Delhi: Academy of Law dan Religion, 1987), 151. Dalam literatur lain, lebih spesifik dinyatakan

bahwa jumlah penduduk Tunisia pada tahun 1986 adalah 7.424.000 jiwa dengan kompisisi 97% beragama Islam.
Gary L. Flower, “Tunisia”, Barnes & Noble New American Encyclopaedia (t.tp., Glorier Incorporated, 1991), vol-19,
335. Sebagaimana yang dimuat dalam Zudi Rahmanto, “Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern, ed. M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 83.
Pertumbuhan penduduk Tunisia meningkat drastis dalam 14 tahun dengan komposisi muslim yang juga
meningkat dari 97% menjadi 98%. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan hukum
keluarganya.
5
Abdullahi A. an-Na’im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London:
Zed Books Ltd., 2003), 182.
6
Penulis sengaja hanya mencantumkan tahun 1880-an sebagai jalan tengah dari perbedaan yang
penulis temukan dalam beberapa literatur. Pada sebuah literatur, penulis menemukan bahwa Tunisia menjadi
Negara persemakmuran Perancis pada tahun 1881, seperti yang dijelaskan dalam Abdullahi A. an-Na’im (ed),
Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed Books Ltd., 2003), 182. Sementara
dalam literatur lain, disebutkan bahwa Tunisia menjadi Negara persemakmuran Perancis pada Tahun 1883. Lihat:
John P. Entelis, “Tunisia”, The Oxford Encyclopaedia of Modern World, ed. John L. Esposito dkk (New York: Oxford
University Press, 1995), ed-IV, 236. Lihat juga dalam Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World
(Bombay: NM Tripathi PVT Ltd., 1973), 99 yang dilanjutkan dengan Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic
Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law dan Religion, 1987), 151. Hal ini

terjadi karena adanya pembentukan Konstitusi Persemakmuran Perancis pada tahun 1861. B. Lewis, C.H. Pellat
dan Joseph Schaht (ed). “Dustur”, The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1983), vol-II, edisi terbaru, 639.
3

page 1

seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan Destour
Party dan memproklamasikan Neo-Destour.
Bentuk pemerintahan Negara Tunisia adalah Republik7 yang dipimpin oleh
seorang presiden dengan presiden pertamanya Habib Bourguiba8. Undang-undang
Dasarnya disahkan pada tanggal 1 Juni 1959, yang secara tegas dalam pasal 1
menyebutkan bahwa Tunisia adalah Negara yang berdasarkan agama Islam. Bahkan lebih
jauh lagi, dalam pasal 38 dinyatakan bahwa presiden Republik Tunisia haruslah seorang
muslim.9
B. REFORMASI DAN KODIFIKASI HUKUM KELUARGA ISLAM
Presiden Habib Bourgiba yang memerintah selama 31 tahun, memberikan hakhak lebih banyak kepada perempuan dibanding negara-negara Arab lain.10 Beberapa
bulan setelah kemerdekaannya, pemerintah Tunisia langsung memberlakukan hukum
keluarga, yang oleh banyak pengamat dianggap cukup maju dalam menginterpretasikan
syariat Islam, terutama dalam membela hak-hak perempuan. Namun, bagi kalangan
tertentu, hukum keluarga itu dianggap menyalahi bahkan menentang syariat.11 Aturanaturan baru ini tidak hanya tidak hanya menentang praktek muslim tradisional bahkan

menyatakan konfrontasi dengannya, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh bangsa
Perancis.12
Sejak masuk dan berkembangnya Islam di Tunisia, mayoritas penduduknya
menganut mazhab Maliki. Namun demikian, Tunisia juga dipengaruhi oleh mazhab
Hanafi13 sebagai konsekuensi dari posisinya yang merupakan salah satu daerah otonom
dinasti Usmaniyah (sejak tahun 1574).14 Ketika bangsa Prancis menguasai Tunisia,
mereka memberikan otoritas berimbang kepada hakim-hakim kedua mazhab tersebut
untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawinan, perceraian, warisan, dan kepemilikan
tanah.
Dalam perjalanannya, secara perlahan-lahan mereka juga mengadopsi prinsipprinsip hukum Prancis. Sehingga output sistem hukum yang dihasilkan merupakan

7
Hal ini disebutkan secara jelas bahwa Tunisia adalah Negara Republik Demokratis. Tahir Mahmood,
Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law dan
Religion, 1987), 151. Lihat juga Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: NM Tripathi PVT
Ltd., 1973), 99.
8
“Tunisia” The New Encyclopaedia Britannica (USA: Encyclopaedia Britannica Inc., 1979). Sebagaimana
yang dimuat dalam Zudi Rahmanto, “Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, ed. M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 83.

9
Abdullahi A. an-Na’im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London:
Zed Books Ltd., 2003), 182.
10
Musdah Mulia, Menghukum Pelaku Poligami dalam http://majalah.tempointeraktif.com/
id/arsip/2010/04/26/KL/mbm.20100426.KL133345.id.html# akses 23 Maret 2011 – 07.33 WIB.
11
Sarmidi Husna, Hukum Islam di Tunisia dalam http://sarmidihusna.blogspot.com/
2008/11/28/Menjadi-Akademisi-Bersendikan-Tradisi-HUKUM-KELUARGA-DI-TUNISIA.html akses 23 Maret 2011 –
07.33 WIB.
12
John P. Entelis, “Tunisia”, The Oxford Encyclopaedia of Modern World, ed. John L. Esposito dkk (New
York: Oxford University Press, 1995), ed-IV, 236
13
Abdullahi A. an-Na’im (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London:
Zed Books Ltd., 2003), 182.
14
Namun banyak di antara berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli
Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi’ah Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini
tumbang, praktis kaum Syi’ah menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang membentuk

minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada
tahun 1883. Bhara Centrum, Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Hukum Keluarga Negara-negara Muslim dalam
http://bharacentum.blogspot.com/ 2010/05/01/kriminalisasi-praktik-poligami-dalam_05.html akses 24 Maret
2011 – 08.26 WIB.

page 2

perpaduan sinergis antara prinsip-prinsip hukum Islam (Maliki dan Hanafi) dan prinsipprinsip hukum sipil Prancis (French civil law).15
Pada tanggal 20 Maret 1956, Tunisia resmi merdeka. Sesaat setelah itu,
pemerintah Tunisia memberlakukan undang-undang hukum keluarga yang disesuaikan
dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Tunisia. Upaya pembaharuan ini
didasarkan kepada penafsiran liberal terhadap syari’ah terutama yang berkaitan dengan
hukum keluarga.16 Undang-undang tersebut bernama Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyah17
Nomor 66 tahun 1956. Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyah (Code of Personal Status) itu
sendiri berisi 170 pasal 10 buku mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan
pemeliharaan anak yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam Klasik.
Undang-undang ini mengalami kodifikasi dan perubahan (amandemen) beberapa
kali, yaitu melalui Undang-undang Nomor 70 Tahun 1958, Undang-undang Nomor 77
Tahun 1959, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1962, Undang-undang Nomor 1 Tahun
1964, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1964, Undang-undang Nomor 49 Tahun 1966 dan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1981.
Untuk lebih rincinya, penulis mencoba memetakan ulang kronologis amandemen
ini sebagai berikut :
Tahun

Materi Amandemen

1958

Pasal 18 tentang Poligami

1959

Penambahan pasal 143A tentang prinsip-prinsip radd ke
Buku IX (Waris) dan Buku XI (Wasiat)

1961

Pasal 32 tentang Perceraian


1964

Pasal 5 tentang Batasan usia perkawinan

1964

Penambahan Buku XII (Hadiah/Hibah)

1966

Pasal 57, 64 dan 67 tentang Hadhanah

Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut,
sebagai berikut18:

15
Perlu dicatat, bahwa walaupun secara umum berlandaskan mazhab Maliki, akan tetapi regulasi di
Tunisia memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari mazhab-mazhab yang lain. Lagipula, jika dibanding
dengan negara-negara Arab lain, reformasi di bidang hukum di Tunisia lebih revolusioner
16

Cipto Sembodo, Dari Sosialisme Hingga Sekulerisasi: Anak Angkat dalam Reformasi Hukum Islam di
Negara-negara Muslim: Sebuah Studi Perbandingan.
17
Tunisia melakukan reformasi dan kodifikasi hukum keluarga pada saat setelah negara itu memperoleh
kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan, beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia berpikir bahwa dengan
melakukan fusi terhadap mazhab Maliki dan mazhab Hanafi, maka sebuah ketentuan hukum baru mengenai
hukum keluarga dapat dikembangkan yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia.
Sekelompok ahli hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi dan Maliki, dan
dipublikasikan di bawah judul Laiha>t Majalla>t al-Ah{ka>m al-Sar’iyyah (Draf Undang-undang Hukum Islam).
Akhirnya, pemerintah membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh Islam, Muhammad al-Jait, guna
merancang Undang-undang resmi. Berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Laihat dan Undang-undang
Hukum Keluarga Mesir, Jordan, Syiria dan Turki, panitia tersebut mengajukan Rancangan Undang-undang Hukum
Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut akhirnya diundangkan di bawah judul Majallat al-Ahwal alSyakhshiyyah (Code of Personal Status) tahun 1956, berisi 170 pasal 10 buku dan diundangkan ke seluruh Tuisia
pada tanggal 1 Januari 1957. Nur Avik, Reformasi Hukum Keluarga
Tunisia dalam
http://nuravik.wordpress.com/2010/08/24/ reformasi-hukum-keluarga-tunisia/ akses 31 Maret 2011 – 11:22
18
J.N.D. Anderson, “The Tunisian Law of Personal Status”, International and Comparative Law Quarterly
(7 April 1985), 262.


page 3

1. Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;
2. Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi
perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri;
3. Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;
4. Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang diakibatkan
adanya perbedaan dari mazhab klasik;
5. Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan
modernitas;
Dari sekian banyak pembaharuan terhadap Undang-undang Status Personal 1956
ini, ada dua hal yang mendapat respon negatif dari sejumlah orang yakni tentang
keharusan perceraian di pengadilan dan larangan poligami. Ketentuan hukum ini memicu
perdebatan serius di kalangan ulama negara-negara Arab. Mayoritas ulama menolak
ketentuan ini. Meskipun demikian, reformasi hukum keluarga di Tunisia tetap dilakukan
dengan berpegang pada prinsip pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan.19
C. TINJAUAN FIQIH TERHADAP UNDANG-UNDANG HUKUM KELUARGA TUNISIA
1. Hukum Perkawinan
a. Usia Perkawinan20
Laki-laki dan perempuan di Tunisia dapat melakukan perkawinan jika

telah berusia minimal 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi
pasal 5 UU 1956 yang mana sebelum diubah, ketentuannya adalah 17 tahun bagi
perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk
dapat melangsungkan perkawinan, pasangan yang berusia di bawah 20 tahun
harus mendapat izin dari wali. Jika wali tidak memberikan izin, perkara tersebut
dapat diputus oleh pengadilan (pasal 5).
Akan tetapi, pada Tahun 1981, ketentuan pasal ini berubah bahwa untuk
dapat melakukan perkawinan, laki-laki harus berusia 20 tahun dan perempuan
harus berusia minimal 17 tahun (pasal 5 [2]). Sehingga bagi mereka yang berusia
di bawah 20 tahun harus mendapatkan izin dari pengadilan (pasal 5 [3]). Izin tidak
dapat diberikan jika tidak ada alasan yang kuat dan keinginan yang jelas dari
masing-masing pihak. Di samping itu, perwakilan di bawah umur tergantung pada
izin wali. Jika wali menolak untuk memberikan izin, padahal para pihak telah
berkeinginan kuat untuk menikah, perkara dapat diputus oleh pengadilan. Ini
merupakan langkah maju jika dilihat dari ketentuan kitab mazhab Maliki. Sebab
tidak ada batasan yang jelas mengenai batasan usia menikah dalam kitab-kitab
tersebut.21
Penentuan batasan usia minimal dalam perkawinan tidak disebutkan
dalam ayat Alquran secara jelas. Demikian juga halnya dengan hadits Nabi SAW
yang tidak pernah merincikan batasan usia minimal dalam perkawinan. Bahkan
Nabi SAW sendiri menikahi ‘Aisyah saat pada usia 6 tahun dan menggaulinya pada
usia 9 tahun. Dasar permikiran tidak adanya batasan umur mengenai perkawinan,
kiranya sesuai dengan pandangan umat Islam pada masa itu tentang hakikat
perkawinan. Menurut mereka, perkawinan itu tidak dilihat dari segi hubungan
kelamin, namun lebih dititik-beratkan dalam usaha menciptakan hubungan
mushaharah.22
19

Musdah
Mulia,
Menghukum
Pelaku
Poligami
http://majalah.tempointeraktif.com/
id/arsip/2010/04/26/KL/mbm.20100426.KL133345.id.html# akses 23 Maret 2011 – 07.33 WIB.
20
Fiqih dan Undang-undang selalu mencantumkan bahasan mengenai batasan usia dalam penikahan
guna memenuhi persyaratan mumayyiz sebagai salah satu syarat dalam perkawinan. Muhammad Amin Suma,
Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), 54.
21
Lihat misalnya dalam Sayyid Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Muwatta al-Imam Malik dan Imam
Alauddin, Bada’i Sana’i.
22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 66.

page 4

Meskipun secara terang-terangan Alquran23 dan hadits Nabi tidak
memberikan batasan yang jelas, namun dari isyarat secara tidak langsung sudah
ada di dalamnya. Ikatan perkawinan24 akan menimbulkan hak dan kewajiban
secara timbal balik. Adanya hak dan kewajiban tersebut mengindikasikan bahwa
pelakunya diharuskan sudah dewasa. Untuk menetapkan konteks “dewasa” ini,
terdapat perbedaan. Terlepas dari konsep yang diberikan oleh para ulama,
perbedaan ini juga dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, kebudayaan, tingkat
kecerdasan suatu komunitas dan beberapa faktor pendukung lainnya25.
b. Perjanjian Perkawinan
Undang-undang Tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-syart
dalam perkawinan. Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak yang dirugikan
oleh pelanggaran tersebut dapat mengajukan permohonan pembubaran
perkawinan. Pembubaran perkawinan tersebut tidak bisa melahirkan hak ganti
rugi jika hal tersebut terjadi sebelum perkawinan terlaksana secara sempurna
(ba’da al-dukhul) (pasal 11).
Sebagian besar literatur fiqih klasik tidak memberikan pembahasan inten
terhadap perjanjian perkawinan. Pembahasan fiqih cenderung pada persyaratan
dalam perkawinan. Perjanjian merupakan bahagian yang terpisah dari akad
perkawinan itu sendiri. Hal ini berarti bahwa apabila perjanjian perkawinan
dilalaikan oleh salah satu pihak, tidak berarti akad perkawinan batal. Pada
dasarnya, kedua belah pihak wajib menepati janji perkawinan kendatipun
materinya tidak dituliskan dalam materi-materi akad. Oleh karena itu, kealpaan
salah satu pihak untuk menunaikannya, baik secara menyeluruh ataupun prsial,
mengakibatkan adanya tuntutan perceraian.26 Namun, pihak yang dirugikan
mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan perkawinannya.27
c. Poligami
Pasal 18 Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan bahwa
beristri lebih dari satu orang adalah perbuatan yang dilarang.28 Demikian pula,
Undang-undang ini secara tegas menerangkan bahwa seseorang pria dilarang
berpoligami dapat diancam hukuman penjara satu tahun atau denda setinggitingginya 240.000,- malim.
Adapun dasar larangan poligami yang dipergunakan oleh Pemerintah
Tunisia menurut John L. Esposito, adalah:
1) Bahwa poligami, sebagaimana perbudakan, merupakan institusi yang tidak
dapat diterima mayoritas umat manusia di mana pun;
2) Ideal Alquran tentang perkawinan adalah monogami.29
Di sini, menurut Esposito, pandangan Muhammad ‘Abduh tentang ayat
poligami dirujuk oleh pemerintah Tunisia. Menurut Muhammad ‘Abduh, keizinan
berpoligami sebagaimana yang dijelaskan dalam Alquran surat al-Nisa [4] ayat 3
Lihat al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 6. Berdasarkan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa untuk kawin
itu ada batasan umur. Batasan umur tersebut adalah baligh.
24
Dalam konteks ini penulis ingin mengajak kita semua kembali merujuk kepada defenisi perkawinan.
Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah dalam al-Ahwal al-Syakhshiyyah, disebutkan bahwa
perkawinan adalah akad yang membolehkan hubungan kelamin , bersenang-senang, saling tolong menolong dan
di antara laki-laki dan perempuan, dan diantara mereka terdapat hak-hak dan kewajiban tertentu.
25
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 68.
26
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 439.
27
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 146.
28
Di bawah kepemimpinan Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang
melarang poligami. Larry A. Barry, “Tunisia”, Encyclopaedia of Modern Middle East, ed. Reeva S. Simon dkk. (New
York: Simon and Schuster Mac Millan, 1996), vol-IV, 235-239.
29
John L. Esposito, Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982), 92.
23

page 5

telah dibatasi dengan penjelasan dalam Alquran itu sendiri, surat al-Nisa [4] ayat
129. Dengan demikian, ideal sebuah perkawinan Berdasarkan Alquran adalah
menggunakan asas monogami. Lebih dari itu, syarat yang diajukan kepada suami
agar sanggup untuk berlaku adil terhadap para istri adalah suatu kondisi yang
sangat sulit, bahkan tidak mungkin dapat terealisasikan sepenuhnya.30
Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha’ salaf, dengan alasan
cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat begitu saja dianggap
bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan yang dituntut oleh
“ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal yang dapat dilakukan
oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.
Ada dua alasan yang dikemukakan Tunisia melarang poligami: pertama,
bahwa institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau
masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau
masyarakat berbudaya; dan kedua, bahwa syarat mutlak bolehnya poligami
adalah kemampuan berlaku adil31 pada istri, sementara fakta sejarah
membuktikan hanya Nabi SAW yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.32
Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide
yang berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan
hati nurani manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang
diatur dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam
kehidupan moderin saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan
jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama
sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai
manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari
kalangan Salaf.
Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping
seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri,
Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada
mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah
desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam
artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan sampai
terbukti dapat berlaku sama (egaliter) di mana para istri diperlakukan dengan
adil. Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya sikap adil
merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat
terpenuhi hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami adalah
dilarang”.33

30

John L. Esposito, Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982), 93.
Ukuran kekhawatiran di sini adalah jika tingkat kemungkinan dirinya tidak dapat berlaku adil mencapai
setidaknya 50% - 50% (syakk ), malah pada tingkat wahm (25 %) sekalipun dapat menjadi ukuran, meskipun untuk
yang terakhir ini masih dapat ditoleran. Sedangkan perasaan dapat berlaku adil harus didasari dengan keyakinan
atau paling tidak mencapai zhann (dugaan kuat). Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Dar al-Kutub al‘Ilmiyyah: Beirut, 1999), juz IV, 284.
32
Norman Anderson, Law Reform in the Muslim World (The Athlone Press: London, 1976), 63. Sebelum
kehadiran hukum ini para qadi di Tunisia terdiri dari kadi-kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun
rakyat pada umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang bercorak eklektik ini justru
dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi
orang-orang Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi peradilan berada di
tangan pengadilan-pengadilan nasional. Bhara Centrum, Kriminalisasi Praktik Poligami dalam Hukum Keluarga
Negara-negara Muslim dalam http://developmentcountry.blogspot.com/2010/05/01/kriminalisasi-praktikpoligami-dalam_05.html akses 24 Maret 2011 – 08.26
33
Ilan Yeshua (CEO), “Islam” The New Encylopaedia Britannica (Encylopaedia Britannica Inc.: Chicago,
2003), vol. 22, Edisi, XV, 35.
31

page 6

d. Pernikahan Yang Tidak Sah
Undang-undang Hukum keluarga Tunisia mengenal beberapa bentuk
perkawinan yang tidak sah, sebagai berikut :
1) Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar perkawinan (pasal 21);
2) Perkawinan yang dilakukan tanpa ada izin dari salah satu pihak, baik suami
atau istri (pasal 3) ;
3) Perkawinan yang dilakukan sebelum usia pubertas atau di antara pasangan
mempelai terdapat halangan hukum lainnya (pasal 5) ;
4) Perkawinan yang di dalamnya terdapat halangan perkawinan (pasal 15-17) ;
5) Perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang sedang berada dalam masa iddah (pasal 20).
Perkawinan yang tidak sah (fasid, invalid) dapat segera dibatalkan.
Apabila perkawinan itu telah terlaksana dengan sempurna, maka beberapa akibat
hukum yang ditimbulkan adalah istri berhak untuk menerima maharnya dan
berkewajiban melalui masa iddah. Namun, apabila perceraian terjadi qabla aldukhul, maka istri berhak untuk menerima mahar musamma. Anak yang lahir dari
perkawinan yang dibatalkan ini, maka nasabnya disandarkan kepada suami, akan
tetapi di antara mereka tidak ada hak untuk saling mewarisi dalam warisan.34
e. Perceraian
Dalam Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia, sebuah perceraian yang
dilakukan secara sepihak tidak mengakibatkan jatuhnya talak. Perceraian hanya
dapat kekuatan hukum dan berlaku efektif apabila diputuskan oleh pengadilan.
Demikian juga sebaliknya, pengadilan dapat memutuskan perkawinan
yang diajukan oleh istri dengan alasan suami telah gagal dalam memenuhi nafkah
rumah tangga, atau karena kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan
perceraian. Pengadilan juga dapat memutuskan perkawinan yang diajukan
sepihak, dengan ketentuan pihak tersebut wajib membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya. Putusan perceraian hanya akan diberikan, dalam segala kondisi
apabila upaya damai yang telah diusahakan oleh pihak suami dan istri dalam
dicapai (pasal 30-31).
Regulasi mengenai ini menunjukkan keseriusan pemerintahan Tunisia
dalam mengakomodir dan melindungi hak-hak perempuan. Di sini dapat terlihat
betapa pentingnya dilaksanakan urgensi untuk mencatatkan perkawinan yang
bukan hanya sekedar formalitas belaka. Ketentuan ini sudah jelas diberlakukan
bagi semua warga Negara. Selain berfungsi sebagai tertib administrasi dan
perlindungan hukum bagi warga Negara, adanya asas legalitas ini juga
mempermudah pihak-pihak terkait –dalam hal ini pemerintah-- dalam melakukan
pengawasan dalam pelaksanaan undang-undang perkawinan.35
f. Talak tiga
Pasal 19 undang-undang 1956 Tunisia menegaskan bahwa seorang pria
dilarang untuk merujuki mantan istrinya yang dijatuhkan talak tiga (talaq ba’in
kubra). Sebelumnya, telah disebutkan dalam pasal 14 bahwa talak tiga menjadi
halangan yang bersifat permanen untuk pernikahan.36 Ketentuan pasal ini sesuai
dengan pendapat-pendapat yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh.

34

Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: NM Tripathi PVT Ltd., 1973), 101.
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo, 2005), 188.
36
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law dan Religion, 1987), 157, lihat juga Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World
(Bombay: NM Tripathi PVT Ltd., 1973), 102.
35

page 7

g. Nafkah Bagi Istri
Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menggunakan prinsip-prinsip
mazhab Maliki dalam hal nafkah istri. Hal ini telah diatur secara rinci dalam pasal
37-42. Lebih jauh lagi, pasal 41 menyatakan bahwa istri diizinkan membelanjakan
harta pribadinya yang digunakan sebagai biaya hidup dengan maksud untuk
dimintakan gantinya kepada istrinya. Adapun besarnya jumlah nafkah,
tergantung pada kemampuan suami dan status istri, serta biaya hidup yang wajar
(pasal 52). Lebih menariknya, suami yang menghindar dari kewajiban memberi
nafkah atau kompensasi selama 1 bulan dapat dikenakan hukuman penjara 3
hingga 12 bulan dan denda antara 100 hingga 1000 dinar (pasal 53A).37
Kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya yang berlaku
dalam fiqh didasarkan kepada adanya pemisahan harta antara suami dan istri.
Fiqh mazhab Maliki yang banyak dijadikan rujukan dalam regulasi ini
menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami jika telah terjadi dukhul dan
suami telah baligh.38 Pandangan ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan
salah satu pendapat imam Syafi’i39 yang tidak mensyaratkan agar suami harus
baligh.40
h. Pemeliharaan Anak
Pasal 54-57 UU 1956 Tunisia secara rinci telah mengatur hak dan
kewajiban orang tua dan wali (guardian) terhadap pemeliharaan anak (hadhanah).
Ketentuan yang berkaitan dengan hadhanah secara umum bersumber
dari prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam mazhab Maliki. Dalam mazhab
Maliki, apabila seorang laki-laki mentalak istrinya, maka pemeliharaan anak
adalah hak ibunya, dengan alasan sorang ibu lebih besar kasih sayangnya dan
memahami kemashlahatan serta kebutuhan anak dibanding seorang ayah atau
keluarga lainnya.41
Formulasi fiqh juga menyatakan bahwa hak hadhanah ibu menjadi
terputus apabila ibu melangsungkan perkawinan. Hal disebabkan karena adanya
dugaan bahwa hal tersebut bisa membuat ibu menjadi lalai dalam mengurusi
anak sehingga anak tidak bisa hidup dengan tenang dan sejahtera. Adapun
apabila ibu meninggal, maka hak hadhanah berpindah ke nenek dari garis
keturunan ibu, asalkan kakek –ayah dari ibu-- merupakan kakek langsung dari
anak itu.42
Pasal 67 yang telah mengalami amandemen pada tahun 1981
menyatakan bahwa jika orang tua yang berhak mengasuh anak tersebut
meninggal dunia sementara perkawinannya telah berakhir, maka hak hadhanah
anak tersebut berpindah kepada orang tua yang masih hidup. Sedangkan apabila
37

Muhammad Zaki Saleh, Trend Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim (2006).
Dipresentasikan pada forum Annual Conference Kajian Islam di Lembang, Bandung, 26-30 Nopember 2006
38
Sumber perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh mengenai kewajiban nafkah ini adalah perbedaan
prespektif dalam melihat: apakah nafkah itu menjadi wajib karena akad nikah atau karena usaha dalam
pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2007), 168.
39
Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib member nafkah
apabila istri telah dewasa. Tetapi, apabila suami telah dewasa sementara istri belum, Imam Syafi’i mempunyai dua
pendapat dalam hal ini. Pertama, sama dengan pendapat Malik, kedua, istri berhak mendapat nafkah betapapun
juga keadaanya. Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 519.
40
Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,
782.
41
Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,
940.
42
Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,
782.

page 8

pernikahan berakhir dan kedua belah pihak masih hidup, maka pemeliharaan
anak boleh dilakukan oleh salah satu dari kedua pihak atau boleh juga dilakukan
oleh pihak ketiga. Pengadilan berhak memutuskan batas waktu pemeliharaan
anak dengan mempertimbangkan kondisi anak yang bersangkutan sepenuhnya
(pasal 67).
Formulasi fiqh menyatakan bahwa batas berakhirnya hadhanah adalah
jika anak laki-laki telah mencapai batas usia baligh dan anak perempuan telah
menikah. Hal ini memang berbeda dengan pendapat imam Syaf’i yang
menyatakan bahwa batas hadhanah anak perempuan adalah ketika ia juga sudah
baligh.43
2. Hukum Waris
Pembahasan warisan dalam Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia
merupakan bentuk kodifikasi “tidak murni” ketentuan-ketentuan waris yang dimuat
dalam kitab fiqih imam Maliki. Hal ini dikarenakan ada beberapa pembahasan materi
hukum yang juga diadopsi dari pendapat pakar hukum dari mazhab lain di luar
mazhab Maliki.
Sebagai contoh adalah pasal 88 yang menyatakan bahwa seorang ahli waris
yang dengan sengaja menyebabkan kematian pewaris, baik sebagai pelaku utama
atau hanya sebagai pelaku pendukung, atau mengungkapkan kesaksian palsu
terhadap kematian pewaris, maka ia tidak berhak mendapatkan warisan dari pewaris
yang meninggal.
Contoh lain adalah seorang anak perempuan dan anaknya dapat menjadi
’asabah dalam warisan, walaupun ada ahli waris dari pihak laki-laki seperti laki-laki
dan paman (pasal 143 A). Dengan ketentuan ini, maka posisi anak perempuan dan
putranya menjadi lebih baik dalam skema ahli waris yang sudah ditentukan dalam
mazhab Maliki.
Waris adalah hukum yang tertutup, baik dari sisi pewaris harta, dengan
pengertian bahwa tidak pihak lain yang berhak menerima selain yang telah
disebutkan di dalam ayat-ayat waris. Waris juga tertutup dari segi prosentase,
dengan pengertian tidak boleh menambah atau mengurangi prosentase harta
sehingga kurang atau lenih dari 100%.44
3. Wasiat (Bequest)
a. Perbedaan Agama dan Kewarganegaraan
Regulasi yang berkaitan dengan wasiat yang paling menonjol adalah
adanya legitimasi wasiat yang terjadi antara dua orang yang berbeda agama.
Demikian pula halnya dengan keabsahan wasiat yang terjadi antara dua orang
yang berbeda warga Negara (pasal 174-175).
Mayoritas doktrin dalam fiqh klasik menyebutkan bahwa tidak ada
kemungkinan untuk saling mewarisi di antara muslim dan non muslim.45 Di sisi
lain, dalam pendekatan kontemporer, pembahasan wasiat tidak memberikan
batasan bagian tertentu yang harus diikuti oleh pewasiat. Prosentase pemberian
wasiat adalah hak penuh pewasiat yang kadarnya berdasarkan pertimbangannya
sendiri. Wasiat merupakan undang-undang khusus yang berada pada wilayah

43

Abdul Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), juz II,

941.
44

Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 418.
Untuk mengetahui perdebatan lebih jauh, lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab
(Jakarta: Lentera, 1999), 541-543.
45

page 9

umum. Contohnya, seseorang yang di daerah Damaskus boleh mewasiatkan
hartanya untuk anak-anak yatim yang berada di Somalia.46
Sedangkan bukti yang menunjukkan bahwa telah terjadi wasiat adalah
adanya bukti otentik tertulis yang bertanggal dan ditanda-tangani oleh pihak
yang berwasiat, sehingga keberadaan bukti yang disampaikan melalui
ucapan/oral tidak dianggap sebagai bukti dalam wasiat (pasal 176).
Ketentuan ini memang sangat jauh berbeda dengan pendapat-pendapat
ulama zaman klasik –terlepas dari perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan
mereka-- yang menyatakan bahwa tidak ada redaksi yang baku untuk berwasiat.
Wasiat dianggap sah diucapkan dengan redaksi yang bagaimanapun, yang bisa
dianggap menyatakan pemberian hak kepemilikan secara sukarela setelah
wafat.47
Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia tidak mengakui wasiat yang
maksudnya sebagian dari warisan. Ketentuan ini memang sangat jauh berbeda
dengan hukum yang berlaku di Mesir dan Sudan48.
b. Wasiat Wajibah
Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan pada Undangundang Mesir Tahun 1946, dengan adanya pembentukan suatu ketentuan yang
berkaitan dengan perihal kewajiban adanya wasiat bagi susu yang yatim dari
pewaris. Hal ini kemudian diikuti oleh Syiria dan Tunisia.
Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan bahwa ketentuan
mengenai wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi
Pertama, baik laki-laki ataupun perempuan (pasal 192), dengan catatan bahwa
cucu laki-laki mendapat bagian dua kali lipat lebih besar dari bagian cucu
perempuan.
4. Adopsi
Adopsi atau anak angkat diperkenalkan dalam hukum keluarga Tunisia
melalui Undang-undang Perwalian dan Adopsi Tahun 1958.49 Undang-undang ini
terdiri dari 60 pasal yang dibagi dalam 3 bab, maisng-masing mengenai perwalian
umum, kafalah dan anak angkat atau adopsi. Akan tetapi, satu tahun kemudian,
ketentuan mengenai anak angkat diamademen. Tata cara, ketentuan dan syarat
pengangkatan anak itu secara detail disebutkan dalam pasal 9-16.50
Pihak yang diperbolehkan melakukan pengangkatan anak adalah laki-laki
dana perempuan, namun disyaratkan haruslah sudah dewasa, telah menikah dan
mempunyai hak sipil secara penuh, berkarakter moral yang baik, sehat jasmani
maupun rohani dan secara finansial mampu memenuhi kebutuhan seorang anak yang
diangkat. Pihak pengadilan juga bisa memberikan izin kepada seorang janda atau
duda untuk (karena kematian pasangannya), atau orang yang telah bercerai untuk
mengangkat seorang anak (pasal 9). Dalam hal ini, pengadilan mewajibkan orangorang tersebut untuk memenuhi semua aspek adopsi yang diusulkan sebagai
keperluan anak yang hendak diadopsi. Izin dari pasangan (suami/istri) disyaratkan
untuk menentukan sah atau tidaknya praktek adopsi yang dilakukan oleh seseorang
(pasal 11).
46

Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 415.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perbedaan pendapat dalam hal ini, lihat Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 1999), 504-510.
48
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: NM Tripathi PVT Ltd., 1973), 105
49
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law dan Religion, 1987), 154.
50
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis (New Delhi:
Academy of Law dan Religion, 1987), 164-166.
47

page 10

Beda atau selisih usia antara pihak yang akan melakukan adopsi dengan anak
yang hendak diadopsi minimal 15 tahun. Seorang warga Negara Tunisia juga boleh
melakukan adopsi terhadap seorang anak yang bukan dari warga Negara Tunisia
(pasal 10).
Praktek adopsi berakibat pada diperolehnya nama baru (nasab) bagi si anak
dari orang tua angkatnya, nama aslinya juga bisa dirubah. Jika diinginkan oleh oleh
pihak yang melakukan adopsi, maka nama baru anak yang diadopsi itu bisa
dicatatkan pada surat adopsi tersebut (pasal 14). Dalam keluarga angkatnya, anak
angkat memperoleh hak dan kewajiban yang sama sebagaimana layaknya anak
kandung, demikian juga halnya dengan orang tua angkatnya. Akan tetapi, bagi anak
tersebut masih berlaku larangan-larangan kawin dengan keluarga kandungnya (pasal
15), seperti yang ditetapkan dalam Undang-undang Status Personalia Tunisia 1956.
Selanjutnya, pengadilan –melalui jaksa penuntut umumnya—bisa mengambil
alih anak angkat dari orang tua angkatnya apabila terjadi kesalahan dan kelalaian
dalam pemenuhan kewajibannya, dan haknya dipindahkan kepada orang lain. Hal ini
dilakukan demi menjaga kepentingan anak tersebut (pasal 16).
D. KESIMPULAN
Kecenderungan pembentukan dan pembangunan hukum keluarga di Tunisia
sangat signifikan. Bahkan berdasarkan beberapa literatur yang penulis temukan,
perkembangan hukum keluarga di Tunisia dinilai paling revolusioner di antara semua
Negara Muslim yang memberlakukan hukum pada wilayahnya. Pembaharuan paling
menonjol adalah dalam masalah pelarangan poligami dan keharusan mencatatkan
perceraian di lembaga peradilan.
Hal ini didasari oleh latar belakang historis terbentuknya Negara Rebuplik Tunisia.
Komparasi fiqih klasik (intradoctrinal reform)–yang didominasi oleh mazhab Maliki dan
beberapa mazhab lainnya—yang kemudian disinergikan dengan warisan hukum Prancis
(extradoctrinal reform) di Negara ini ternyata menghasilkan hukum baru yang senderung
lebih “menghargai” perempuan dan anak-anak serta melindungi haknya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara vertikal, langkah
pembaharuan substansi hukum di Tunisia telah menunjukkan suatu keberanjakan Hukum
Keluarga dari aturan doktrin hukum Islam konvensional. Pengaruh mazhab-mazhab, baik
mazhab mayoritas atau mazhab-mazhab lainnya telah digeser dan digantikan oleh
penafsiran baru yang dititikberatkan pada pertimbangan rasional dan kontekstual.

page 11

DAFTAR KEPUSTAKAAN
al-Baghdadi, Abdul Wahab, al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah (Beirut: Dar al-Fikr,
1995), juz II
Anderson, J.N.D., “The Tunisian Law of Personal Status”, International and Comparative Law
Quarterly (7 April 1985)
Anderson, Norman, Law Reform in the Muslim World (The Athlone Press: London, 1976)
Avik,

Nur, Reformasi Hukum Keluarga Tunisia dalam
com/2010/08/24/ reformasi-hukum-keluarga-tunisia/

http://nuravik.wordpress.

Barry, Larry A., “Tunisia”, Encyclopaedia of Modern Middle East, ed. Reeva S. Simon dkk. (New
York: Simon and Schuster Mac Millan, 1996), vol-IV, 1794.
Entelis, John P., “Tunisia”, The Oxford Encyclopaedia of Modern World, ed. John L. Esposito
dkk (New York: Oxford University Press, 1995), ed-IV
Esposito, John L., Women in Muslim Family Law (New York: Syracus University Preess, 1982)
Flower, Gary L., “Tunisia”, Barnes & Noble New American Encyclopaedia (t.tp., Glorier
Incorporated, 1991), vol-19
Grolier International Incorporated, Negara dan Bangsa Afrika (Jakarta: Widyadara, 1990)
Husna, Sarmidi, Hukum Islam di Tunisia dalam
http://sarmidihusna.blogspot.com
/2008/11/28/Menjadi-Akademisi-Bersendikan-Tradisi-HUKUM-KELUARGA-DITUNISIA.html
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqh Para Mujtahid (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)
Lewis, B., C.H. Pellat dan Joseph Schaht (ed). “Dustur”, The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J.
Brill, 1983), vol-II, edisi terbaru.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: Lentera, 1999)
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in The Muslim World (Bombay: NM Tripathi PVT Ltd.,
1973)
-----------------------, Personal Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative
Analysis (New Delhi: Academy of Law dan Religion, 1987)
Mulia,

Musdah,
Menghukum
Pelaku
Poligami
dalam
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/04/26/KL/mbm.20100426.KL133
345.id.html

an-Na’im, Abdullahi A. (ed), Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book
(London: Zed Books Ltd., 2003)
Rahmanto, Zudi, “Hukum Keluarga Islam di Republik Tunisia”, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, ed. M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution (Jakarta: Ciputat Press, 2003)

page 12

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, 1999), juz IV
Saleh, Muhammad Zaki, Trend Kriminalisasi dalam Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim
(2006). Dipresentasikan pada forum Annual Conference Kajian Islam di Lembang,
Bandung, 26-30 Nopember 2006
Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo,
2005)
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007)
Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004)
Yeshua (CEO), Ilan, “Islam” The New Encylopaedia Britannica (Encylopaedia Britannica Inc.:
Chicago, 2003), vol. 22, Edisi, XV

page 13