PENGARUH PEMBERIAN LEVEL ENERGI TERHADAP KECERNAAN NUTRIEN RANSUM SAPI BALI BUNTING 7 BULAN.

(1)

SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN LEVEL ENERGI

TERHADAP KECERNAAN NUTRIEN RANSUM SAPI

BALI BUNTING 7 BULAN

I GUSTI NGURAH DHARMIKA UPEKSA

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN LEVEL ENERGI

TERHADAP KECERNAAN NUTRIEN RANSUM SAPI

BALI BUNTING 7 BULAN

I GUSTI NGURAH DHARMIKA UPEKSA NIM. 1207105048

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

PENGARUH PEMBERIAN LEVEL ENERGI

TERHADAP KECERNAAN NUTRIEN RANSUM SAPI

BALI BUNTING 7 BULAN

Skripsi untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Udayana, Denpasar

I GUSTI NGURAH DHARMIKA UPEKSA NIM. 1207105048

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN

JUDUL : Pengaruh Pemberian Level Energi Terhadap Kecernaan Nutrien Ransum Sapi Bali Bunting 7 Bulan

NAMA MAHASISWA : I Gusti Ngurah Dharmika Upeksa NIM : 1207105048

FAKULTAS : Peternakan JURUSAN : Peternakan

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL

………..

Mengetahui

Pembimbing 2

Ir. Ni Putu Sarini, M. Sc NIP. 196003141986012001 Pembimbing 1

Dr. Ir. Ni Nyoman Suryani, M. Si. NIP. 195810041986012001

Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana

Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS NIP. 19590312 198601 1 001


(5)

PENGARUH PEMBERIAN LEVEL ENERGI TERHADAP

KECERNAAN NUTRIEN RANSUM SAPI BALI BUNTING 7

BULAN

I GUSTI NGURAH DHARMIKA UPEKSA

Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar E-mail : dharmikaupeksa@gmail.com

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui level energi yang mampu untuk meningkatkan kecernaan nutrien ransum pada sapi bali bunting 7 bulan. Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Penelitian Peternakan Sobangan selama 3 bulan. Penelitian ini menggunakan 12 ekor sapi bali bunting 7 bulan yang diberikan perlakuan energi yang berbeda dan sapi dibagi dalam 3 kelompok sesuai dengan bobot badan. Pemberian level energi terdiri dari ransum yang mengandung 2000 kkal ME/kg (A), 2100 kkal ME/kg (B), 2200 kkal ME/kg (C) dan 2300 kkal ME/kg (D) dengan kisaran bobot badan ± 300 kg dan diulang 3 kali. Analisis sampel ransum dan feses dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK). Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik , kecernaan serat kasar, kecernaan protein kasar. Hasil penelitian menunjukkan semakin meningkat kandungan energi ransum, maka semakin meningkat pula kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan serat kasar sapi yang paling tinggi adalah pada perlakuan D namun secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Sedangkan kecernaan protein kasar diperoleh semakin menurun dengan semakin meningkatnya kandungan energi ransum walaupun secara statistik hasil tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum dengan level energi 2000-2300 ME/kg, tidak berpengaruh terhadap kecernaan nutrien yang meliputi kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan serat kasar dan kecernaan protein kasar pada sapi bali bunting 7 bulan. Kata kunci: level energi, kecernaan nutrien, sapi bali bunting 7 bulan


(6)

EFFECT OF ENERGY LEVEL OF NUTRIENT

DIGESTIBILITY OF THE RATION BALI CATTLE

PREGNANT 7 MONTHS

I GUSTI NGURAH DHARMIKA UPEKSA

Study Program of Animal Husbandry, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University, Denpasar

E-mail : dharmikaupeksa@gmail.com

SUMMARY

The aimed of this study was to find out the level of energy which was abled to improve the nutrient ration digestibility on bali cattle 7 months pregnancy. The study was conducted at the Bali Catle Research Centre Sobangan, for 3 months. 12 pregnant bali cattle was used and was given treatment of different level of energy and those cows was grouped based on their body weight into three and was used as a replication. The level energy given were 2000 kcal ME/kg (A), 2100 kcal ME/kg (B), 2200 kcal ME/kg (C), 2300 kcal ME/kg (D). The range of the body weight was ± 300 kg. Ration and sample was analyzed at the Laboratory Animal Nutrition and Feed Faculty of Animal Husbandry Udayana University. The experimental study randomized block design (RDB) to this study, with the variables observed were drymatter, organic matter, crude fiber and crude protein digestibility. The result of the study showed that the more energy level in the ration the higher of the drymatter, organic matter, crude fiber and crude protein digestibility of the 7 months bali cattle pregnant, and it was treatment D in this study, however that result was not statitiscally. Crude protein digestibility on the other hand, it was the lowest compare to other groups. Similarly, different was statistically not afferent either. Based on the results, it can be concluded that the energy level of 2000-2300 kcal ME/kg ration, did not effect the dry matter, organic matter, crude fiber and crude protein digestibility on bali cattle 7 months pregnant.

Keywords : energy level, nutrient digestibility of the ration, bali cattle pregnant 7 months


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan tanggal 20 November 1993 di Dusun Busana, Desa Sibanggede, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, dan merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan I Gusti Ngurah Suparta (Ayah) dan I Gusti Ayu Mas (Ibu). Penulis menyelesaikan TK tahun 2000 di TK Kartini Sibanggede, Sekolah Dasar (SD) tahun 2006 di SD N 1 Abiansemal, Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 2009 di SMP N 2 Abiansemal dan menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 2012 di SMA N 1 Kuta Utara. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Ilmu Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar melalui jalur PMDK.

Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana, penulis aktif berorganisasi dalam kepanitiaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Penulis juga pernah menjadi anggota Bidang Dua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Udayana periode 2013-2014.


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastiastu,

Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Level Energi Terhadap Kecernaan Nutrien Ransum Sapi Bali Bunting 7 Bulan” ini tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan baik yang berupa dorongan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu,pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana beserta staf, atas izin dan bantuanya sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Ir. Ni Nyoman Suryani, M. Si selaku pembimbing pertama dan Ir. Ni Putu Sarini, M.Sc selaku pembimbing kedua atas segala saran, masukan, serta bimbingan yang telah diberikan dengan tulus dan sabar kepada penulis hingga skripsi ini selesai.

3. Ibu Ir. A. A Ayu Sri Trisnadewi, MP selaku Pembimbing Akademik (PA) atas segala bimbingan, saran dan dukungannya selama penulis menempuh kuliah di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS dan Ibu Ir. A. A Ayu Sri Trisnadewi, MP selaku penguji yang telah bersedia menyempatkan waktu untuk memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

5. Bapak Andi Udin Saransi yang telah membantu penulis melakukan penelitian di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Udayana.


(9)

6. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh pegawai beserta staf Fakultas Peternakan Universitas Udayana atas segala arahan, bantuan, saran, nasehat serta bimbingan selama penulis menempuh perkuliahan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Pemerintah Pusat dan DIKTI yang sudah memberikan beasiswa Bidik Misi, sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan sampai pada tingkat perguruan tinggi.

8. Keluarga tercinta, I Gusti Ngurah Suparta (Ayah), I Gusti Ayu Mas (Ibu), I I Gusti Ngurah Budiarta Wibawa (Kakak), I Gusti Ngurah Kama Juliarta (Kakak) dan Jero Mega (Kakak Ipar) yang semuanya telah memberikan dorongan, bimbingan nasihat dan semangat, baik secara moral dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

9. Teman-teman satu penelitian, Faliqul Ulum dan Bernika atas semangat, kerjasama, kekompakkan serta perjuangannya didalam pelaksanaan penelitian.

10.Bapak Wirawan dan Mangku Budiasa yang membimbing dan mengarahkan penulis dalam penelitian dilapangan, sehingga peelitian dapat berjalan dan terselesaikan dengan baik.

11.Teman- teman magang, garba, muliana, jusna dan tutu yang telah memberikan motivasi dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaian skipsi ini.

12.Mang jul, Griye, Slamet, Gunung, Gus Adi Soma, Gunadi, Dedo, Muliana, Lisa, Dewi, Rita, Opik, Andika, Mela, Wulan, Budi, Gus J, Diki, Basir, Arik, Janu, Hariyuda, Surya, Eka Edi, Tini, Parman, Bukal, Dodik Top, Wahyu, Petong, Nining, Marna, Darma, Andika, Palguna, Sukayasa, Sarjana, Yosa, Yoga, Duaja, Iluh, Isyam, Marsa dan seluruh teman-teman angkatan 2012 atas segala bantuan dan dorongan moral yang diberikan selama perkuliahan sampai penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.


(10)

13.Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih.

Akhir kata penulis mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kekurangan dan kesalahan selama proses perkuliahan, selama pelaksanaan penelitian maupun pada saat penulisan skripsi ini. Hal tersebut disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman penulis.

Denpasar, Juni 2016 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

RINGKASAN ... 5

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ... 4

RIWAYAT HIDUP ... 7

UCAPAN TERIMA KASIH ... 8

DAFTAR ISI ... 11

DAFTAR TABEL ... 13

DAFTAR LAMPIRAN ... 14 BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined.

1.1. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. 1.2. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. 1.3. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.4. Hipotesis ... Error! Bookmark not defined. 1.5. Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined. BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.

2.1. Karakteristik Sapi Bali dan Keunggulannya. Error! Bookmark not defined. 2.2. Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia ... Error! Bookmark not defined. 2.3. Kecernaan Nutrien ... Error! Bookmark not defined. 2.4. Pengaruh Level Energi dan Protein Ransum Terhadap Kecernan

Nutrien Sapi ... Error! Bookmark not defined. BAB III MATERI DAN METODE ... Error! Bookmark not defined. 3.1. Materi ... Error! Bookmark not defined.

3.1.1. Ternak ... Error! Bookmark not defined. 3.1.2. Kandang dan perlengkapan ... Error! Bookmark not defined. 3.1.3. Peralatan ... Error! Bookmark not defined. 3.1.4. Ransum dan air minum ... Error! Bookmark not defined. 3.2. Metode Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 3.2.1. Tempat dan waktu penelitian ... Error! Bookmark not defined. 3.2.2. Rancangan percobaan ... Error! Bookmark not defined. 3.2.4. Pemberian ransum dan air minum ... Error! Bookmark not defined. 3.2.5. Pengambilan data ... Error! Bookmark not defined. 3.2.6. Analisis data ... Error! Bookmark not defined.


(12)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined. 4.1 Hasil ... Error! Bookmark not defined.

4.1.1 Kecernaan bahan kering ... Error! Bookmark not defined. 4.1.2 Kecernaan bahan organik ... Error! Bookmark not defined. 4.1.3 Kecernaan serat kasar... Error! Bookmark not defined. 4.1.4 Kecernaan protein kasar ... Error! Bookmark not defined. 4.2 Pembahasan ... Error! Bookmark not defined.

4.2.1 Kecernaan bahan kering ... Error! Bookmark not defined. 4.2.2 Kecernaan bahan organik ... Error! Bookmark not defined. 4.2.3 Kecernaan serat kasar... Error! Bookmark not defined. 4.2.4 Kecernaan protein kasar ... Error! Bookmark not defined. BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined.

5.1. Simpulan ... Error! Bookmark not defined. 5.2. Saran ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined.


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman 3.1 Komposisi pakan perlakuan……… 20 3.2 Komposisi nutrient ransum………. 20 4.1 Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan nutrien pada sapi bali bunting 7


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Teks Halaman

1. Konsumsi nutrien ransum ….………...…………...38

2. Jumlah nutrien feses ………...39

3. Analisis statistik kecernaan bahan kering …..……….40

4. Analisis statistik kecernaan bahan organik …..………...42

5. Analisis statistik kecernaan serat kasar…...………44


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan laju pertambahan penduduk, kebutuhan daging khususnnya di Indonesia terus meningkat karena meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya protein hewani. Salah satu sumber pemenuhan kebutuhan masyarakat akan protein hewani adalah ternak sapi. Di Indonesia sendiri sapi lokal yang berkembang cukup banyak adalah sapi bali.

Sapi bali merupakan salah satu plasma nutfah asli Indonesia yang berpotensi sebagai ternak potong dan mempunyai prospek pemasaran yang baik untuk pemenuhan kebutuhan daging nasional. Diantara sapi lokal yang diternakkan di Indonesia, sapi bali adalah yang paling diminati (32,31%) (PSPK, 2011). Sehingga sapi bali dapat memasok kebutuhan daging sekitar 26% dari total sapi potong di Indonesia (Guntoro, 2006).

Produktivitas sapi lokal di Indonesia relatif rendah, mengingat sebagian besar peternak di Indonesia masih menggunakan sistem pemeliharaan secara tradisional dengan pemberian pakan seadanya (Muladno, 2012). Winugroho et al. (2002) melaporkan bahwa seekor ternak yang mendapat pakan dalam jumlah yang tidak memenuhi kebutuhan akan menyebabkan cekaman dan terjadinya penurunan bobot hidup ternak yang bersangkutan. Bila hal ini terjadi secara terus-menerus akan mempengaruhi faktor-faktor reproduksi dari ternak yang bersangkutan seperti hambatan estrus dan tidak dapat bunting.

Sapi bunting memerlukan lebih banyak asupan nutrien untuk pertumbuhan foetus dan perkembangan kelenjar mamae untuk persiapan menyusui. Ransum


(16)

dengan energi yang berlebih akan dapat dimanfaatkan untuk produksi yang lain dalam hal ini untuk kebutuhan pertumbuhan foetus yang dikandungnya, dan pada umumnya diekspresikan dalam bentuk pertambahan bobot hidup harian induk sapi. Menurut Maff (1997) pertambahan bobot hidup harian induk sapi secara umum seberat 0,5 kg/ekor/hari. Pada saat pre-calving (60 hari sebelum melahirkan) pertumbuhan foetus sangat cepat dan nutrisi yang dibutuhkan terutama protein dan energi meningkat 20% (Lunn, 2013). Saat ini merupakan periode yang sangat kritis bagi induk sapi karena kecepatan pertumbuhan janin sangat cepat, sedangkan nafsu makan induk berkurang karena dengan semakin membesarnya janin maka akan mendesak rumen, akibatnya proses pencernaan menjadi terganggu, sehingga kecernaan nutrien akan rendah. Kegagalan memenuhi kecukupan nutrien bagi sapi bunting terutama energi, mineral Ca, P, dan Mg akan menyebabkan kesehatan pedet yang dilahirkan terganggu, produksi susu induk menurun sehingga pedet yang dilahirkan tidak mendapatkan cukup susu dengan kuantitas dan kualitas yang baik, mudah sakit dan mati.

Kecernaan atau koefisien cerna semu dari zat-zat makanan (nutrien) dalam pakan atau ransum merupakan tolok ukur kemampuan ternak memanfaatkan ransum yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan serta produksi. Konsumsi dan proses pencernaan pakan dalam rumen dapat dimaksimalkan dengan penambahan nutrien prekusor seperti vitamin, mineral, asam amino, energi yang siap pakai (karbohidrat yang fermentabel) dalam ransum. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah ketersedian energi. Hasil pencernaan energi di dalam rumen sangat menentukan keberhasilan dan tingkat pencernaan nutrien serta sintesis protein mikroba rumen.


(17)

Ketersediaan energi di dalam rumen berfungsi untuk memaksimalkan aktivitas mikroba rumen khususnya bakteri untuk mencerna pakan serat kasar dan nutrien lain sehingga nutrien pakan akan terserap dengan baik di dalam tubuh dan hasilnya kecernaan akan meningkat. Ketersediaan energi yang tidak mencukupi kebutuhan akan menghambat penggunaan protein karena keefisienan penggunaan asam amino terserap sangat dipengaruhi oleh jumlah energi tersedia (Van den Band et al., 2000). Menurut Widyoroto et al. ( 2007) bahwa ransum dengan level energi tinggi memberikan hasil proses sintesis protein mikroba lebih besar dibanding ransum energi rendah dan menurut Chumpawadee et al. (2006) keefisienan penggunaan asam amino terserap serta metabolit lain dipengaruhi oleh ketersediaan energi. Konsumsi level energi yang tinggi cenderung menghasilkan kinetik konsentrasi VFA yang relatif tinggi (Widyoroto et al., 2007), sehingga dapat dimanfaatkan ternak untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi lain, seperti pada sapi bunting digunakan untuk pembentukan lemak susu. Sehubungan dengan informasi tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui kecernaan nutrien pada sapi bunting 7 bulan yang diberi ransum dengan level energi yang berbeda.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh pemberian level energi ransum terhadap kecernaan nutrien ransum sapi bali bunting 7 bulan?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui level energi yang mampu untuk meningkatkan kecernaan nutrien ransum pada sapi bali bunting 7 bulan.


(18)

1.4. Hipotesis

Semakin meningkatnya level energi ransum yang diberikan dari 2000 kkal ME/kg, 2100 kkal ME/kg, 2200 kkal ME/kg dan 2300 kkal ME/kg, maka kecernaan nutrien ransum yang meliputi kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan serat kasar dan kecernaan protein kasar akan meningkat.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai:

1) Sumber informasi data bagi peternak yang berkecimpung dalam pemeliharaan sapi bibit.

2) Dapat digunakan sebagai acuan dalam menyusun ransum untuk penelitian selanjutnya dengan mengetahui persentase level energi yang dapat meningkatkan kecernaan ransum dan produktivitas sapi bali bunting 7 bulan.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Sapi Bali

Diwyanto dan Praharani (2010) menyatakan sapi bali merupakan sapi pedaging asli Indonesia dan diakui sebagai breed yang superior karena mempunyai fertilitas dan konsepsion rate yang tinggi yaitu 85,9% dan persentase beranak 70-81% (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004), serta mampu beradaptasi pada lingkungan kurang bagus dan efisien menggunakan pakan kualitas jelek. Hasil penelitian Arka (1984), menunjukkan kelebihan yang dimiliki sapi bali adalah kandungan protein dagingnya cukup tinggi (19,65-21,28%), kandungan lemak rendah (2,01-6,86%) dan tanpa marbling.

Banyak keunggulan yang dimiliki sapi bali, antara lain: potensi reproduksinya tinggi, berat karkas tinggi, mudah digemukkan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga dikenal dengan sapi perintis (Hardjosubroto, 1994). Keunggulan lain yang dimiliki sapi bali menurut Djagra dan Arka (1994) adalah calving interval (jarak beranak) yang baik yaitu satu anak satu tahun. Hal senada juga dilaporkan oleh Siregar (2008), bahwa sapi bali mempunyai keunggulan dibandingkan dengan sapi-sapi lokal lainnya karena mempunyai fertilitas yang tinggi, angka kebuntingan dan angka kelahiran yang tinggi (lebih dari 80%) dan potensial sebagai penghasil daging.

Sebagai penghasil daging, sapi bali cukup menjanjikan terbukti dari beberapa hasil penelitian. Suryani dan Mariani (1996) mendapatkan pertambahan berat badan sapi bali mencapai 760 g/hari/ekor apabila ransum disuplementasi dengan konsentrat. Bahkan, bisa mencapai 900 g/hari dengan pemberian ransum


(20)

komplit berbentuk wafer berbasis jerami padi amoniasi urea yang disuplementasi mineral S dan Zn (Partama et al., 2003). Penelitian Suryani (2012) dengan pemberian berbagai macam hijauan seperti rumput gajah 15% + jerami padi 20% + gamal 25% + kaliandra 10% dan disertai konsentrat 30 % mampu menghasilkan pertambahan berat badan 880 g/e/h.

2.2. Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia

Sistem pencernaan merupakan suatu sistem yang terdiri atas saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggung jawab atas pengambilan, penerimaan dan pencernaan bahan makanan dalam perjalanan melalui saluran pencernaan mulai dari organ mulut sampai ke anus (Sutardi, 1979). Selain itu sistem pencernaan juga bertanggung jawab pada proses pengeluaran (ekskresi) bahan-bahan makanan yang tidak dapat diserap kembali. Proses pencernaan adalah proses perubahan fisik maupun kimia yang dialami oleh bahan makanan menjadi partikel yang lebih kecil dan terjadi penguraian molekul kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana (Tillman et al., 1989).

Berdasarkan perubahan yang terjadi pada bahan makanan di dalam alat pencernaan, proses pencernaan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: pencernaan mekanik, pencernaan hidrolitik, dan pencernaan fermentatif. Pencernaan fermentatif pada ternak ruminansia terjadi di dalam rumen atau reticulum rumen berupa perubahan senyawa-senyawa tertentu menjadi senyawa lain yang sama sekali berbeda dari molekul zat asalnya (Sutardi, 1980).

Proses pencernaan pada ternak ruminansia dimulai dari organ mulut, dimana ransum yang masih berbentuk kasar dipecah menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dengan bantuan gigi melalui proses pengunyahan dan pembasahan


(21)

dengan saliva (Siregar, 1994). Davies (1982) menyatakan bahwa saliva merupakan cairan sekresi dalam jumlah banyak yang berupa senyawa alkali dan buffer yang dihasilkan oleh lima pasang kelenjar dan tiga kelenjar tidak berpasangan dalam rongga mulut. Menurut Arora (1995), saliva dihasilkan oleh kelenjar parotid, submaxilaris dan sublinguaris. Produksi saliva bergantung kepada jenis pakan yang dikonsumsi, apabila pakan yang dikonsumsi lebih banyak pakan berserat maka saliva yang dihasilkan juga lebih banyak, disamping itu, saliva juga berfungsi sebagai control pH rumen dan control tekanan osmotik cairan rumen.

Setelah pencernaan dalam mulut, makanan berjalan karena gerak paristaltik melalui kerongkongan dan faring menuju proses pencernaan yang kedua yaitu retikulum. Retikulum berfungsi untuk mendorong pakan padat dan ingesta ke dalam rumen dan mengalirkan ingesta ke omasum. Retikulum juga berperan pada proses ruminasi. Menurut Davies (1982), proses ruminasi disebabkan oleh kontraksi retikulum dengan didahului terbukanya saluran kardiak (saluran akhir pada oesofagus) dan mengembangkan tekanan negatif dalam oesofagus serta dengan gerak anti peristaltik pakan kembali masuk ke dalam mulut. Pakan yang halus didorong ke dalam rumen untuk dicerna lebih lanjut oleh mikroba-mikroba rumen, dari retikulum ingesta menuju rumen, disini terjadi proses fermentasi sebagai akibat dari kerja enzim mikroba terhadap zat-zat makanan dengan mengasilkan produk akhir yang dapat diamisilasikan. Bagian kompleks lambung ternak ruminansia yang ketiga yaitu omasum yang berperan dalam proses menggiling partikel pakan, mengabsorbsi air dan asam lemak terbang serta beberapa mineral.


(22)

Rumen merupakan suatu ekosistem kompleks yang dihuni oleh beranekaragam mikroba anaerob yang keberadaannya sangat banyak dan bergantung pada pakan yang dikonsumsi ternak ruminansia. Mikroba tersebut terdiri atas bakteri, protozoa dan fungi yang memegang peranan penting dalam proses pencernaan pakan (Preston dan Leng, 1987). Mikroba rumen bersifat anaerob, sehingga penting untuk proses fermentasi dalam rumen karena dapat melakukan berbagai jenis reaksi dan interaksi dengan pakan yang dikonsumsi oleh ternak untuk menghasilkan komponen-komponen nutrien yang dapat diserap dan dimanfaatkan oleh ternak ruminansia (Hoover dan Miller, 1992). Mikroba rumen memerlukan kondisi keasaman dan suhu yang optimal untuk pertumbuhannya yaitu pada pH 5,7-7,3 dan suhu 38-410 C. Penurunan pH rumen akan dapat menyebabkan menurunnya kecernaan selulosa dan tidak akan berguna apabila pH kurang dari 6,0 (Dixon, 1985). Owens dan Goetsch (1998) menyatakan bahwa kisaran pH normal dalam rumen antara 6,5-7,2.

Bakteri merupakan penghuni terbesar dalam rumen yang kisarannya antara 1010-1012per ml cairan rumen, sedangkan populasi protozoa yaitu 105-1010 per ml cairan rumen (Ogimoto dan Imai, 1981). Adapun bakteri yang umum terdapat dalam rumen, antara lain: Bacteriodes amylophilis, Bacteriodes ruminocola, Bacteriodes succinogenes, Butyrivibrio fibrisolvans, Clostridium welchii, Escherichia coli, Lactobacillus sp, Methanobactium mobilis, Methanobactium ruminantium, Peptostreptococcus elsdenii, Ruminococcus flavivacilus, Selonomonas amylotica, Succinivibrio dextrinosolvens dan Treponema sp (Arora, 1995). Bakteri-bakteri yang berada dalam rumen secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) bakteri yang hidup bebas dalam cairan rumen sekitar 30%;


(23)

(2) bakteri yang menempel pada partikel pakan sekitar 70%; dan (3) bakteri yang menempel pada dinding epitel rumen dan melekat pada protozoa dalam jumlah yang sangat kecil (Preston dan Leng, 1987).

Spesies protozoa meliputi spesies yang berukuran kecil termasuk

Entodinium dan spesies yang berukuran besar termasuk Holotrich. Beberapa protozoa memiliki sifat selulolitik, tetapi tampaknya sebagian besar terdapat dalam rumen yang pakannya banyak mengandung gula dan pati. Gula dan pati dapat disimpan oleh protozoa berupa bentuk polidekstran dan merupakan simpanan makanan bagi protozoa untuk hidup pokok dan pertumbuhannya. Secara tidak langsung hal ini merupakan “buffing effect” bagi pH rumen. Populasi protozoa dalam rumen didominasi oleh spesies Ciliata. Spesies ini dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu Holotrica (silia tersebar di seluruh tubuh) dan Oligotrica

(silia di sekitar mulut) (Preston dan Leng,1987). Kelompok Holotrica mempunyai morfologi sederhana yang meliputi Isotrica dan Dasytrica dengan sumber energi utama yang berupa gula dan pati. Kelompok Oligotrica memiliki morfologi yang lebih kompleks dan diduga memiliki aktivitas selulolitik (Bird,1991).

Fungi merupakan salah satu jenis mikroba rumen. Fungi mempunyai sifat anaerob telah ditemukan pada beberapa jenis hewan herbivore, seperti biri-biri, kambing, sapi dan beberapa family rusa. Beberapa spesies fungi yang telah berhasil diisolasi dari rumen ternak ruminansia yaitu Neocalismastic frontalis, Piromonas communis dan Sphaeromonas (Arora,1995). Keberadaan fungi dalam rumen berperan penting pada proses mencerna pakan ternak, terutama pakan serat. Fungi berperan sebagai pembuka jalan agar bagian-bagian dinding sel tanaman yang mulanya tidak dapat dicerna akhirnya dapat dicerna oleh mikroba rumen


(24)

lainnya (bakteri dan protozoa). Fungi merupakan mikroba rumen yang paling pertama menyerang dan mencerna komponen tanaman (Akin et al., 1983 dalam Susiadi, 1999)

Abomasum adalah tempat pertama terjadinya pencernaan pakan secara kimiawi karena adanya sekresi getah lambung yang juga berperan dalam mengatur aliran ingesta. Usus halus terdiri atas duodenum, yejenum, dan ilenum. Usus halus berfungsi dalam mengatur aliran ingesta ke dalam usus besar dengan gerakan peristaltik. Dalam lumen, getah pankreas, getah usus dan empedu mengubah zat makanan dari hasil akhir dari fermentasi mikroba menjadi substrat yang cocok untuk diabsorbsi secara aktif ataupun secara difusi pasif atau keduanya. Selain itu, dalam saluran pencernaan juga terdapat sejumlah enzim protease yang menghidrolisis protein, enzim lipase yang menghidrolisis lemak (lipid), enzim amilase dan enzim disakarida lainnya yang bekerja pada gula. Enzim nukleotidase bekerja pada asam nukleat. Enzim entorokinase dan gastrin merupakan enzim yang berperan untuk mengaktifkan enzim inaktif atau proses sekresi ( Arora, 1995). 2.3. Metabolisme Energi Ternak Ruminansia

Karbohidrat merupakan sumber energi utama dalam kehidupan mikroorganisme rumen pada ternak ruminansia. Pada ransum ternak ruminansia, fraksi karbohidrat adalah dominan berkisar 60-75% dari bahan kering ransum (Sutardi, 1980). Jaringan tanaman merupakan bahan makanan utama bagi hewan ruminansia yang rata-rata mengandung 75% karbohidrat (Arora, 1995). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sifat karbohidrat utama dalam bentuk karbohidrat kompleks (selulosa dan hemiselulosa) dan karbohidrat yang mudah larut (gula dan pati). Selulosa dan hemiselulosa tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim yang


(25)

dihasilkan oleh ternak, tetapi dapat dicerna oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme rumen (Tillman et al., 1989). Ternak ruminansia mampu memanfaatkan selulosa dan hemiselulosa karena sistem pencernaannya dilengkapi retikulorumen dimana tempat berlangsungnya proses fermentasi oleh mikroba rumen.

Fermentasi karbohidrat di dalam rumen terjadi melalui 2 tahap. Tahap pertama adalah hidrolisis karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana, selanjutnya tahap kedua adalah proses fermentasi gula sederhana oleh mikroba rumen menjadi asam piruvat yang akan segera dimetabolisme menjadi produk-produk utama pencernaan fermentasi karbohidrat yaitu asam lemak atsiri atau VFA (Volatile Fatty Acid). VFA terdiri dari asetat, propionat dan butirat akan langsung diserap melalui dinding rumen dan dimetabolisasikan oleh ternak. Hasil lain dari fermentasi karbohidrat adalah CH4 dan CO2 (Preston dan Leng, 1987).

Menurut Arora (1989) setelah penyerapan di dalam rumen, asam asetat dan asam propionat melalui sistem portal akan dibawa ke hati, sedangkan sejumlah besar asam butirat di dalam jaringan rumen dirubah menjadi badan keton yang kemudian diangkut melalui sistem portal ke hati. Asam asetat adalah asam utama yang terbentuk dari degradasi makanan yang kaya serat kasar oleh mikroba rumen dan merupakan sumber energi utama ruminansia. Di dalam mitokondria, glukosa dibentuk dari asetat melalui modifikasi siklus asam trikarboksilat.

Asam propionat banyak dihasilkan dari perombakan karbohidrat di rumen melalui siklus pentose-fosfat. Asam propionat, melalui sistem portal diubah menjadi glikogen, NADPH+, dan tetap berupa glukosa sebagai sumber energi


(26)

glukoneogenesis sangat penting artinya bagi ruminansia sebagai sumber energi. Jumlah asam propionat dapat ditingkatkan dalam protek dengan meningkatkan rasio konsentrat dari hijauan dalam ransum. Propionat dalam darah dapat mensuplai lebih dari 30% glukosa untuk energi ruminansia (Parakkasi, 1995).

Asam butirat yang dihasilkan dalam rumen akan diubah menjadi Beta

Hidroksi Asam Butirat (β-HBA), lalu dibawa ke hati melalui sistem portal, dan

didalam hati diubah menjadi NADPH+, sebagai sumber energi dan sintesis asam lemak darah dalam sirkulasi darah sistemik.

Perbandingan VFA yang dihasilkan dalam rumen secara umum berkisar 70% asetat, 20% propionat dan 10% butirat dengan kandungan energi masing-masing 209,4: 367,2: dan 524,3 kkal/g molekul jika proporsi serat dalam ransum lebih tinggi (Sutardi, 1980). Preston dan Leng (1987) menyatakan bahwa perbandingan tersebut akan berubah menjadi 60% : 30% : 10% jika proporsi konsentrat dalam rumen lebih tinggi. Gas CO2, CH4, dan H2 merupakan bentuk

energi yang tidak dapat dimanfaatkan oleh ternak yang akan dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi ( Arora, 1995).

Laju pertumbuhan mikroba rumen tergantung dari ketersediaan karbohidrat, sedangkan laju pencernaan karbohidrat adalah salah satu faktor penentuan proses sintesis protein mikroba rumen (Sutardi, 1976 dalam Rukmantari, 2004). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pencernaan karbohidrat dari bahan-bahan yang mudah terdegradasi akan menghasilkan VFA yang digunakan oleh mikroba rumen pada awal fermentasi dalam membentuk kerangka karbon yang diperlukan untuk sintesis protein tubuhnya dan pada akhir fermentasi digunakan sebagai sumber energi. Kisaran produksi VFA cairan rumen yang


(27)

mendukung pertumbuhan mikroba yaitu 80 mM sampai 160 mM (Sutardi, 1977 dalam Kurniawati, 2009).

2.3. Kecernaan Nutrien

Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang terkonsumsi oleh ternak apabila pakan tersebut diberikan secara ad libitum. Konsumsi pakan merupakan faktor esensial yang menjadi dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi, 1999). Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang komplek yaitu faktor ternak, pakan dan lingkungan. Ternak yang beratnya lebih besar akan mengkonsumsi pakan lebih banyak dari pada ternak yang beratnya lebih kecil. Menurut NRC (1987) melaporkan bahwa kebutuhan bahan kering seekor sapi dengan bobot hidup rataan 215 kg berkisar antara 3 – 3,5%. Sifat fisik dan komposisi pakan mempengaruhi kecernaan yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat konsumsi (Parakkasi, 1999). Menurut Arora (1995), konsumsi pakan akan lebih banyak jika aliran pakan cepat dan daya cerna tinggi. Sedangkan pakan yang berdaya cerna rendah akan menurunkan aliran pakan dan selanjutnya menurunkan konsumsi pakan (Tillman at al., 1998).

Kecernaan atau koefisien cerna semu dari zat-zat makanan (nutrien) dalam pakan atau ransum merupakan tolak ukur kemampuan ternak memanfaatkan ransum yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan serta produksi. Secara definisi, daya cerna atau digestibility adalah bagian zat makanan yang tidak dieksresikan dalam feses (Tillman et al., 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa daya cerna ini dinyatakan dalam dasar bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase disebut koefisien cerna. Anggorodi (1994) menyatakan bahwa daya cerna adalah suatu usaha untuk menentukan suatu zat dari


(28)

bahan makanan yang diserap dalam tractus gastrointestinalis. Hal ini menyangkut proses-proses pencernaan yaitu hidrolisis untuk membebaskan zat-zat makanan dalam suatu bentuk sehingga dapat diserap.

Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dicerna terutama yang dicerna oleh mikroba rumen. Semakin tinggi nilai persentase kecernaan bahan pakan tersebut, berarti semakin baik kualitasnya. Kisaran normal bahan kering yaitu 50,7-59,7%. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam ransum tersebut. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering ransum adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase lemak dan mineral (Tilman et al., 1991; Anggorodi, 1994). Sutardi (1979), menyatakan bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda. Salah satu bagian dari bahan kering yang dicerna oleh mikroba di dalam rumen adalah karbohidrat struktural dan karbohidrat non struktural.

Bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu, komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Bahan organik terdiri dari serat kasar, lemak kasar, protein kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) (Parrakasi, 1999). Sedangkan bahan kering tersusun atas serat kasar, lemak kasar, protein kasar, BETN, dan abu (Kamal, 1994). Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat-zat makanan


(29)

berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat tersebut menjadi zat-zat yang mudah larut. Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan organik (Ismail, 2011). Penurunan kecernaan bahan kering akan mengakibatkan kecernaan bahan organik menurun atau sebaliknya.

Kecernaan adalah indikasi awal ketersediaan berbagai nutrisi yang terkandung dalam bahan pakan tertentu bagi ternak yang mengkonsumsinya. Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan memberi arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan (Ismail, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan antara lain komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Menurut Tillman et al .(1998), kemampuan mencerna bahan makanan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, komposisi kimia makanan dan penyiapan makanan. Lebih lanjut disebutkan bahwa daya cerna suatu bahan makanan atau ransum tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung didalamnya. Putra (1999) menambahkan bahwa kecernaan nutrien pakan secara in vivo pada ternak ruminansia ditentukan oleh kandungan serat kasar pakan (faktor eksternal) dan aktivitas mikroba rumen (faktor internal), terutama bakteri dan interaksi antara kedua faktor tersebut.


(30)

Penentuan kecernaan suatu bahan pakan dapat dilakukan secara invivo, in vitro dan in sacco (McDonald et al., 1995). Pengukuran kecernaan in vivo

merupakan suatu cara penentuan kecernaan nutrien menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrien pakan dan feses (Tillman et al., 1991). Anggorodi (2004) menambahkan pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan merupakan usaha untuk menentukan jumlah nutrien dari suatu bahan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna merupakan persentase nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrien yang dikonsumsi dengan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Dengan metode invivo dapat diketahui pencernaan bahan pakan yang terjadi di dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai kecernaan pakan yang diperoleh mendekati nilai sebenarnya. Percobaan kecernaan dibedakan menjadi dua periode, yaitu periode pendahuluan dan periode koleksi. Periode pendahuluan berlangsung selama 7 hari sampai 10 hari dan periode koleksi selama 5 hari sampai 15 hari (Tillman et al., 1991). Selama percobaan tersebut feses dikumpulkan, ditimbang, dan dianalisis untuk mengetahui zat-zat makanannya (Anggorodi, 1980).

2.4. Pengaruh Level Energi dan Protein Ransum Terhadap Kecernaan Nutrien Ransum Sapi

Produktivitas ternak sangat dipengaruhi oleh jumlah pakan dan nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Kualitas nutrien yang dilihat dari aspek energi yang terkandung di dalam pakan yang dikonsumsi, tidak semuanya dimanfaatkan oleh ternak, ada termanfaatkan, sebagian lainnya terbuang melalui feses, urin, gas metan dan panas (Tillman et al., 1984). Ternak menyerap energi di


(31)

dalam pakan terutama untuk hidup pokok, dan apabila masih ada kelebihan energi akan digunakan untuk produksi, namun sebagian energi diserap di dalam tubuh akan dikonversi menjadi panas tubuh (Gatenby, 1986). Pemanfaatan energi dipengaruhi oleh kualitas pakan yang dikonsumsi, termasuk imbangan protein kasar dan Total Digestible Nutrien (TDN) atau energi. Dalam aspek nutrisi ruminansia, sinkronisasi nutrien sering mengacu pada penyediaan protein dan energi ke dalam rumen, sehingga nutrient yang tersedia secara bersamaan sesuai proporsi yang dibutuhkan oleh mikroba rumen (Hall & Hungtington, 2008). Sinkronisasi melalui suplementasi bahan pakan sumber energi dan protein dapat menghasilkan pengaruh positif pada sintesis protein mikroba (Lardy et al. 2004; Elseed, 2005). Rasio protein-energi yang sinkron akan menunjukkan efisiensi fermentasi yang optimal (Ginting, 2005).

Penelitian Mathius et al. (2007) menunjukkan bahwa bobot hidup sapi bali bunting tua seberat 197,5 kg dengan ransum yang memiliki tingkat kepadatan ME sejumlah 13,9 (MJ ME/kg bahan kering) dan konsumsi protein kasar ransum sebesar 615 g/ekor/hari, mendapatkan kecernaan protein kasar sebesar 63% atau jumlah protein kasar yang siap tercerna mencapai 388 g/ekor/hari, tingkat kecernaan bahan kering 53,4% serta kecernaan bahan organik 55,6%. Kearl (1982) menyarankan sapi dengan bobot hidup 250 kg dan berada pada status bunting 3 bulan terakhir membutuhkan protein kasar sejumlah 579 g/e/h dengan jumlah protein tercerna sebanyak 405 g/ekor/hari. Maff (1997), melaporkan bahwa kebutuhan sapi bunting tiga bulan terakhir dengan bobot hidup 200 kg membutuhkan metabolis energi untuk kebutuhan hidup pokok sejumlah 26,3 MJ ME. Penelitian Widyobroto et al. (2008) menunjukkan bahwa sapi perah


(32)

peranakan Friesian Holstain dengan berat badan 350-400 kg dengan pemberian ransum aras undegraded protein 30% dan aras energi 120% terhadap kecernaan nutrien menghasilkan kecernaan bahan kering 78,23% dan kecernaan bahan organik 82,26%.


(1)

mendukung pertumbuhan mikroba yaitu 80 mM sampai 160 mM (Sutardi, 1977 dalam Kurniawati, 2009).

2.3. Kecernaan Nutrien

Konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang terkonsumsi oleh ternak apabila pakan tersebut diberikan secara ad libitum. Konsumsi pakan merupakan faktor esensial yang menjadi dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi, 1999). Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang komplek yaitu faktor ternak, pakan dan lingkungan. Ternak yang beratnya lebih besar akan mengkonsumsi pakan lebih banyak dari pada ternak yang beratnya lebih kecil. Menurut NRC (1987) melaporkan bahwa kebutuhan bahan kering seekor sapi dengan bobot hidup rataan 215 kg berkisar antara 3 – 3,5%. Sifat fisik dan komposisi pakan mempengaruhi kecernaan yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat konsumsi (Parakkasi, 1999). Menurut Arora (1995), konsumsi pakan akan lebih banyak jika aliran pakan cepat dan daya cerna tinggi. Sedangkan pakan yang berdaya cerna rendah akan menurunkan aliran pakan dan selanjutnya menurunkan konsumsi pakan (Tillman at al., 1998).

Kecernaan atau koefisien cerna semu dari zat-zat makanan (nutrien) dalam pakan atau ransum merupakan tolak ukur kemampuan ternak memanfaatkan ransum yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan serta produksi. Secara definisi, daya cerna atau digestibility adalah bagian zat makanan yang tidak dieksresikan dalam feses (Tillman et al., 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa daya cerna ini dinyatakan dalam dasar bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase disebut koefisien cerna. Anggorodi (1994) menyatakan bahwa daya cerna adalah suatu usaha untuk menentukan suatu zat dari


(2)

bahan makanan yang diserap dalam tractus gastrointestinalis. Hal ini menyangkut proses-proses pencernaan yaitu hidrolisis untuk membebaskan zat-zat makanan dalam suatu bentuk sehingga dapat diserap.

Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dicerna terutama yang dicerna oleh mikroba rumen. Semakin tinggi nilai persentase kecernaan bahan pakan tersebut, berarti semakin baik kualitasnya. Kisaran normal bahan kering yaitu 50,7-59,7%. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering yaitu jumlah ransum yang dikonsumsi, laju perjalanan makanan di dalam saluran pencernaan dan jenis kandungan gizi yang terkandung dalam ransum tersebut. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering ransum adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein ransum, persentase lemak dan mineral (Tilman et al., 1991; Anggorodi, 1994). Sutardi (1979), menyatakan bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda. Salah satu bagian dari bahan kering yang dicerna oleh mikroba di dalam rumen adalah karbohidrat struktural dan karbohidrat non struktural.

Bahan organik merupakan bahan kering yang telah dikurangi abu, komponen bahan kering bila difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan asam lemak terbang yang merupakan sumber energi bagi ternak. Bahan organik terdiri dari serat kasar, lemak kasar, protein kasar, dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) (Parrakasi, 1999). Sedangkan bahan kering tersusun atas serat kasar, lemak kasar, protein kasar, BETN, dan abu (Kamal, 1994). Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan zat-zat makanan


(3)

berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat tersebut menjadi zat-zat yang mudah larut. Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan organik (Ismail, 2011). Penurunan kecernaan bahan kering akan mengakibatkan kecernaan bahan organik menurun atau sebaliknya.

Kecernaan adalah indikasi awal ketersediaan berbagai nutrisi yang terkandung dalam bahan pakan tertentu bagi ternak yang mengkonsumsinya. Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan memberi arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan (Ismail, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan antara lain komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Menurut Tillman et al .(1998), kemampuan mencerna bahan makanan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, komposisi kimia makanan dan penyiapan makanan. Lebih lanjut disebutkan bahwa daya cerna suatu bahan makanan atau ransum tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung didalamnya. Putra (1999) menambahkan bahwa kecernaan nutrien pakan secara in vivo pada ternak ruminansia ditentukan oleh kandungan serat kasar pakan (faktor eksternal) dan aktivitas mikroba rumen (faktor internal), terutama bakteri dan interaksi antara kedua faktor tersebut.


(4)

Penentuan kecernaan suatu bahan pakan dapat dilakukan secara invivo, in vitro dan in sacco (McDonald et al., 1995). Pengukuran kecernaan in vivo

merupakan suatu cara penentuan kecernaan nutrien menggunakan hewan percobaan dengan analisis nutrien pakan dan feses (Tillman et al., 1991). Anggorodi (2004) menambahkan pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan merupakan usaha untuk menentukan jumlah nutrien dari suatu bahan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna merupakan persentase nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrien yang dikonsumsi dengan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Dengan metode invivo dapat diketahui pencernaan bahan pakan yang terjadi di dalam seluruh saluran pencernaan ternak, sehingga nilai kecernaan pakan yang diperoleh mendekati nilai sebenarnya. Percobaan kecernaan dibedakan menjadi dua periode, yaitu periode pendahuluan dan periode koleksi. Periode pendahuluan berlangsung selama 7 hari sampai 10 hari dan periode koleksi selama 5 hari sampai 15 hari (Tillman et al., 1991). Selama percobaan tersebut feses dikumpulkan, ditimbang, dan dianalisis untuk mengetahui zat-zat makanannya (Anggorodi, 1980).

2.4. Pengaruh Level Energi dan Protein Ransum Terhadap Kecernaan Nutrien Ransum Sapi

Produktivitas ternak sangat dipengaruhi oleh jumlah pakan dan nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Kualitas nutrien yang dilihat dari aspek energi yang terkandung di dalam pakan yang dikonsumsi, tidak semuanya dimanfaatkan oleh ternak, ada termanfaatkan, sebagian lainnya terbuang melalui feses, urin, gas metan dan panas (Tillman et al., 1984). Ternak menyerap energi di


(5)

dalam pakan terutama untuk hidup pokok, dan apabila masih ada kelebihan energi akan digunakan untuk produksi, namun sebagian energi diserap di dalam tubuh akan dikonversi menjadi panas tubuh (Gatenby, 1986). Pemanfaatan energi dipengaruhi oleh kualitas pakan yang dikonsumsi, termasuk imbangan protein kasar dan Total Digestible Nutrien (TDN) atau energi. Dalam aspek nutrisi ruminansia, sinkronisasi nutrien sering mengacu pada penyediaan protein dan energi ke dalam rumen, sehingga nutrient yang tersedia secara bersamaan sesuai proporsi yang dibutuhkan oleh mikroba rumen (Hall & Hungtington, 2008). Sinkronisasi melalui suplementasi bahan pakan sumber energi dan protein dapat menghasilkan pengaruh positif pada sintesis protein mikroba (Lardy et al. 2004; Elseed, 2005). Rasio protein-energi yang sinkron akan menunjukkan efisiensi fermentasi yang optimal (Ginting, 2005).

Penelitian Mathius et al. (2007) menunjukkan bahwa bobot hidup sapi bali bunting tua seberat 197,5 kg dengan ransum yang memiliki tingkat kepadatan ME sejumlah 13,9 (MJ ME/kg bahan kering) dan konsumsi protein kasar ransum sebesar 615 g/ekor/hari, mendapatkan kecernaan protein kasar sebesar 63% atau jumlah protein kasar yang siap tercerna mencapai 388 g/ekor/hari, tingkat kecernaan bahan kering 53,4% serta kecernaan bahan organik 55,6%. Kearl (1982) menyarankan sapi dengan bobot hidup 250 kg dan berada pada status bunting 3 bulan terakhir membutuhkan protein kasar sejumlah 579 g/e/h dengan jumlah protein tercerna sebanyak 405 g/ekor/hari. Maff (1997), melaporkan bahwa kebutuhan sapi bunting tiga bulan terakhir dengan bobot hidup 200 kg membutuhkan metabolis energi untuk kebutuhan hidup pokok sejumlah 26,3 MJ ME. Penelitian Widyobroto et al. (2008) menunjukkan bahwa sapi perah


(6)

peranakan Friesian Holstain dengan berat badan 350-400 kg dengan pemberian ransum aras undegraded protein 30% dan aras energi 120% terhadap kecernaan nutrien menghasilkan kecernaan bahan kering 78,23% dan kecernaan bahan organik 82,26%.