ESTETIKA SEMA DALAM TAREKAT SUFI NAQSYBANDI HAQQANI JAKARTA SEBAGAI MEDIA PENANAMAN PENDIDIKAN TAUHID.

(1)

ESTETIKA SEMA DALAM TAREKAT SUFI

NAQSYBANDI HAQQANI JAKARTA SEBAGAI

MEDIA PENANAMAN PENDIDIKAN TAUHID

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Seni

Oleh:

Agung Dwi Putra

NIM. 1006925

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2012


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

ESTETIKA SEMA DALAM TAREKAT SUFI NAQSYBANDI HAQQANI JAKARTA SEBAGAI MEDIA PENANAMAN PENDIDIKAN TAUHID

Oleh: Agung Dwi Putra

NIM. 1006925

Disetujui oleh: Pembimbing I

Prof. Dr. H. Adeng Chaedar Alwasilah, M.A NIP. 19530330 198002 1 001

Pembimbing II

Dr. Yuliawan Kasmahidayat, M.Si NIP. 19650724 199302 1 001

Ketua Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pacasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Bandung

Dr. Sukanta, M. Hum NIP. 19620719 198903 1 001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Estetika Sema dalam Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta sebagai Media Penanaman Pendidikan Tauhid” beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lainnya terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Desember 2012 Penyusun

Agung Dwi Putra NIM. 1006925


(4)

ABSTRAK

Konsep keindahan (estetika) sebagai isu sentral untuk mengungkap kebermaknaan nilai suatu benuk kesenian atau karya seni, tidak bisa dilakukan dengan cara menggeneralisasi. Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta memiliki kesenian yang disebut dengan Sema, di mana unsur seni seperti musik dan tari terlibat di dalamnya. Munculnya fenomena kesenian dengan istilah Sema dalam tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta tentu dapat diasumsikan sebagai transformasi nilai-nilai pendidikan Tauhid berdasarkan konsep estetika Sufisme dalam domain Islam, karena keberadaan tarekat Sufi pada umumnya hanya menawarkan ajaran-ajaran spiritual (pendidikan) dengan tujuan mencapai pemurnian Tauhid. Berdasarkan asumsi tersebut, maka penelitian dengan judul

Estetika Sema dalam Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta Sebagai Media Penanaman PendidikanTauhid dibuat. Adanya penelitian ini diharapkan mampu

menambah referensi akademis mengenai konsep estetika, seni dan apresiasi terhadap konteks pendidikan seni.

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi sebagai pendukungnya. Permasalahan dalam penelitian ini tidak dapat dimaknai melalui pengertian angka-angka, karena konsep merupakan sesuatu yang abstrak (ide atau pandangan) dari peristiwa konkret yang harus ditemukan langsung di dalam benak sang subjek melalui latar alamiah penelitian.

Melalui penelitian ini terungkap bahwa cinta keilahian atau cinta platonik berbasis Tauhid (esoteris) merupakan konsep estetika Sema tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta sebagai manifestasi kesadaran para pelakunya, yang terjaga melalui pelatihan spiritual di dalam tarekat tersebut (tidak berasal dari imajinasi). Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta juga diketahui berperan sebagai media pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai Tauhid melalui simbol-simbol khasnya yang indah (eksoteris) dan bermakna Ketauhidan.


(5)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR BAGAN ... x

DAFTAR NOTASI ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Variabel Penelitian/Definisi Istilah ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Manfaat Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan Tesis ... 16

BAB II LANDASAN TEORETIS ... 18

A. Penelitian Terdahulu ... 18

B. Teori-Teori ….…... ... 21

1. Estetika Islam dalam Pandangan al-Faruqi ... 21

2. Keindahan dalam Pandangan al-Ghazali ... 24


(6)

5. Sema Tarekat Maulawiyah Menurut Gulen ... 35

6. Simbol dan Estetika Langer ... 39

7. Ritus atau Upacara Religi Menurut Koentjaraningrat ... 44

8. Media Pendidikan ... 46

C. Kedudukan Teori dalam Penelitian ... 49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 51

A. Metode Penelitian ... 51

B. Tahap-Tahap Penelitian ... 53

C. Lokasi Penelitian ... 54

D. Subjek Penelitian ... 56

E. Instrumen Penelitian ... 58

F. Teknik Pengumpulan Data ... 59

G. Teknik Analisis Data ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63

A. Hasil Penelitian ... 63

1. Data Pra-Lapangan ... 63

a. Sejarah Lahir dan Berkembangnya Tarekat Naqsybandi Haqqani ... 63

b. Silsilah Kepemimpinan Tarekat Naqsybandi Haqqani ... 68

c. Inti Ajaran dalam Tarekat Naqsybandi Haqqani ... 71

d. Masuknya Tarekat Naqsybandi Haqqani ke Indonesia ... 77

e. Istilah Tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta ... 81

2. Wawancara dan Observasi ... 83

a. Informan IMN (IT: 1) ... 83

b. Informan AT (IU: 1) ... 86

c. Informan Syekh ZFR (IK: 1) ... 92

d. Informan Syekh ABT (IK: 2) ... 96

e. Informan MKI (IU: 2) ... 98

f. Informan NFD (IT: 2) ... 101


(7)

a. Suasana Zawiyah dan Para Jemaat ... 105

b. Dokumen (video) Sema Naqsybandi Haqqani Jakarta ... 109

c. Regenerasi Para Pelaku Sema Naqsybandi Haqqani Jakarta .. 111

B. Pembahasan ... 112

1. Data Pra-Lapangan (Pemaknaan dan Temuan) ... 114

2. Data Lapangan (Temuan) ... 126

3. Kode untuk Temuan dalam Kategorisasi Data ... 140

4. Kategorisasi Temuan ... 141

5. Konsep Estetika Sema dalam Tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta ... 146

6. Peran Sema dalam Tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta Sebagai Media Penanaman Pendidikan Tauhid ... 170

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .... ... .176

A. Kesimpulan ... .176

B. Rekomendasi ... .179

DAFTAR PUSTAKA ... .181

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... .184 RIWAYAT HIDUP


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seni, sebuah bahasan dalam kehidupan manusia yang tidak akan pernah tuntas untuk dibahas. Sifatnya yang luas, dalam dan selalu bersinggungan dengan kehidupan manusia membuat seni tidak dapat didefinisikan secara mutlak. Apa pun penilaian, batasan serta pemahaman seseorang mengenai seni, maka ia akan terlebih dahulu dihadapkan dengan persoalan tentang keindahan atau estetis. Mengenai hal ini, Sutrisno et al., (2005: 5) berpendapat bahwa:

Bicara seni berarti juga bicara keindahan karena keindahan menjadi esensi dari kesenian. Keindahan tentu tidak sesempit hidup. Bayangkan bila kita hidup tanpa pernah mengalami keindahan. Tidak dapat dimungkiri bahwa keindahan yang dialami setiap manusia turut membuat hidup semakin hidup. Pengalaman akan keindahan sangat luas. Belum berarti bahwa suatu pengalaman akan keindahan dapat dialami setiap orang dengan cara yang sama dan dengan penilaian yang sama. Pengalaman akan keindahan---atau yang disebut sebagai pengalaman estetis---menjadi suatu pengalaman yang sifatnya amat pribadi.

Melalui pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa persoalan estetis (keindahan) merupakan sebuah gerbang untuk membicarakan seni. Pemahaman tentang estetis sendiri bersifat subjektif sekaligus objektif, karena berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menerima suatu kenyataan yang disebut dengan estetis. Tema sentral mengenai persoalan estetis merupakan wilayah kajian estetika sebagai cabang dari filsafat, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran (logika) dan kebaikan (etika). Persoalan seni, terutama yang berhubungan dengan konsep estetis menjadi bahan perenungan manusia sejak


(9)

dulu sampai dengan sekarang, sejalan dengan fitrah manusia untuk menghargai dan menerima sesuatu yang indah. Pengalaman estetis merupakan fenomena subjektif yang dialami seseorang atau sekelompok orang dalam konteks keberadaannya. Setiap manusia sepakat bahwa alam memuat unsur-unsur estetis yang dapat dinikmati tanpa pamrih (disinterestedness), tidak semata-mata diperuntukkan dalam konteks praktis-pragmatis. Keindahan matahari terbit maupun terbenam dan keindahan bulan pada malam hari yang terlihat penuh atau pun separuh memang indah bagi setiap orang, tetapi keindahan karya seni justru terkadang menampilkan sisi getir, buruk, aneh, bising dan tidak natural sebagai kualitas nilai estetisnya. Unsur-unsur pembentuk nilai estetis dari suatu karya seni inilah yang menjadi bahasan dalam domain estetika.

Agama sebagai sistem kepercayaan manusia memiliki perhatian khusus terhadap konsep estetis yang mendasari bentuk-bentuk keseniannya. Setiap agama memiliki ritual-ritual tertentu yang dapat disebut sebagai kesenian ritual atau bentuk kesenian yang mewakili identitas agamanya. Hal ini dikarenakan setiap agama memiliki keyakinan bahwa sistem kepercayaannya (ajaran-ajaran dalam agamanya) bersifat holistis dan tentunya mencakup tiga wilayah dalam kehidupan manusia seperti logika, etika, juga estetika melalui perspektif ajaran agama masing-masing. Maka dari itu, terdapat istilah filsafat (logika) agama, etika dalam agama dan seni keagamaan (sakral, tidak sekuler).

Islam sebagai salah satu agama monoteisme di dunia membahas tiga aspek penting dalam kehidupan manusia (logika, etika, estetika) berlandaskan prinsip-prinsip Tauhid, sebagai prinsip-prinsip Kausa Prima (faktor utama/transenden) yang


(10)

segala sesuatunya berasal dari Tuhan yang maha berkuasa dan berkehendak secara absolut yaitu Allah Swt. Logika dalam Islam adalah pencarian esensi kebenaran yang bersumber dari doktrin pemurnian Tauhid. Etika Islam adalah etika yang berlandaskan ketauhidan dan penerapannya dijabarkan dalam aturan-aturan syariat agama yang bersifat vertikal (diperuntukkan bagi manusia kepada Tuhannya) dan horizontal (diperuntukkan bagi manusia kepada mahluk-mahluk lain disekitarnya termasuk alam). Estetika Islam dan seni Islami, juga berlandaskan ketauhidan dan pada penerapannya berdasarkan rambu-rambu syariat Islam dalam konteks tertentu atau bersifat situasional, tidak hanya mengatas namakan seni.

Seni dalam Islam atau estetika Islam secara khusus, lebih dominan dibahas dan diaplikasikan dalam domain Tasawuf atau Sufisme Islam. Realitas ini dapat terjadi karena banyaknya kontribusi karya seni yang terlahir dari Ulama-ulama Tasawuf dan para Sufi. Ditambah lagi, pembelaan terhadap status halal suatu bentuk kesenian yang juga banyak dilakukan oleh Ulama-ulama Tasawuf dan para Sufi, seperti di antaranya oleh al-Ghazali bersaudara dan Jalaluddin Rumi.

Implementasi ajaran dalam Sufisme Islam memiliki nilai-nilai estetis dan edukatif yang bersifat esoteris sekaligus eksoteris. Sifatnya yang esoteris karena berhubungan dengan Tuhan secara langsung, dan hanya dapat dirasakan atau diketahui oleh seorang Sufi atau manusia yang mengamalkan ajaran Sufisme dalam hidupnya. Sedangkan sifatnya yang eksoteris, karena pada kenyataannya siapa pun berhak mengamalkan ajaran Sufisme dalam hidupnya tetapi belum tentu tercapai tujuannya, yakni mencapai pemurnian Tauhid.


(11)

Mengenai hakikat pemurnian Tauhid yang dilakukan oleh para Sufi sebagai implementasi ajaran yang dapat dipandang memuat nilai-nilai estetis dan edukatif, Muhaya (2003: v) menjelaskan bahwa:

Bagi para Sufi pemurnian Tauhid yang dimaksud menuntut dua hal. Pertama, persaksian tersebut pengesaan terhadap Allah dalam segala hal, terutama dalam Dia sebagai Zat yang dicinta satu-satunya. Sebab, menurut al-Ghazali bahwa yang disebut Tuhan adalah sesuatu yang dihamba, dan setiap yang dihamba adalah yang dicinta dan setiap yang dicinta adalah yang dituju (al-maqshud). Ini berarti bahwa syahadat Tauhid menuntut pentauhidan dalam hal penghambaan, pencintaan, dan tempat tujuan hanya kepada Allah saja. Sebab, al-maqshud wa al-mahbud wa al-ma’bud yang semestinya hanyalah Allah, bukan idola-idola yang lain. Oleh karena itu seorang Sufi berusaha menegasikan tujuan, kecintaan dan pengabdiannya hanya kepada Allah. Kedua, setelah menegasikan kecenderungan tersebut selanjutnya para Sufi menginternalisasikan Allah sebagai satu-satunya yang dituju, dicinta dan diabdi.

Untuk mencapai pemurnian Tauhid seorang Sufi atau para “pencari” pada umumnya bertarekat, yang berarti mengikuti ajaran para guru-guru sebelumnya dan pada hakikatnya bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Istilah tarekat sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2010 (versi offline oleh: Setiawan) diartikan sebagai jalan menuju kebenaran dan persekutuan para penuntut ilmu Tasawuf. Secara etimologis, istilah tarekat berasal dari suku kata bahasa Arab thariqh yang berarti jalan, dan thariqah yang berarti jalan spiritual, sedangkan bentuk jamaknya disebut dengan thuruq (Nasr, 2010: 17). Tarekat Sufi selalu memiliki nama sebagai identitasnya, dan nama tersebut berasal dari Syekh pendiri atau seorang Syekh penerus dari tarekat yang dianutnya. Dalam implementasi ajarannya, tarekat-tarekat Sufi memiliki berbagai macam cara atau metode untuk mencapai inti ajarannya dan salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan mengintegrasikan bentuk-bentuk kesenian di dalam ajarannya.


(12)

Di Jakarta, muncul satu tarekat Sufi yang menamakan dirinya tarekat Naqsybandi Haqqani dan dalam ajarannya mengintegrasikan bentuk-bentuk kesenian seperti tari dan musik. Fenomena tersebut membuat tarekat ini terkesan unik bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi mereka yang berada di wilayah Jakarta. Implementasi ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani dengan melibatkan bentuk-bentuk kesenian tersebut, sempat menjadi perhatian media massa sehingga diliput oleh beberapa stasiun televisi swasta nasional seperti RCTI, Tv One, Trans Tv dan bahkan oleh salah satu televisi nasional Turki. Fenomena kesenian yang muncul (tari dan musik) dalam ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani merupakan satu kesatuan wujud praktik ritual yang disebut dengan Sema. Sema pada mulanya diperkenalkan dan dipopulerkan oleh tarekat Sufi Maulawiyah asal Turki (Turki=Mevlevi) yang memang menjadi ciri khas atau inti dari ajaran tarekat Mulawiyah tersebut.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Pada tahap pra-lapangan melalui observasi awal yang peneliti lakukan, diperoleh informasi bahwa Sema diketahui sebagai manifestasi dari salah satu bentuk zikir yang diterapkan oleh tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta dalam ajarannya. Zikir yang berarti mengingat Allah Swt sepanjang waktu, merupakan salah satu bentuk ibadah yang hukumnya menjadi wajib untuk dilaksanakan oleh setiap ajaran Sufisme Islam, selain menjalankan lima rukun Islam, yakni: bersyahadat, shalat lima waktu, berzakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan melaksanakan Haji bagi yang mampu.


(13)

Hati merupakan wahana kesadaran yang terdiri dari berbagai macam lapisan. Dengan cara berzikir secara terus menerus, maka dipercaya dapat menembus berbagai lapisan hati dan terciptalah keadaan jernihnya hati. Sehingga hati yang bersih dan jernih dapat menjadi ruang untuk mengungkap rahasia-rahasia yang bersifat esoteris (Tebba, 2007: 80). Sara Sviri dalam Tebba (2007: 79) mengungkapkan lebih lanjut mengenai zikir, bahwa:

Zikir merupakan praktik sekaligus keadaan esoteris. Sebagai keadaan esoteris zikir mengandung paradoks, karena sekalipun zikir berarti ingat, tetapi pengalaman puncak yang dituju praktik zikir merupakan lupa segalanya kecuali Allah. Dalam keadaan segenap perhatian tercurah kepada menyebut nama Allah, segalanya hilang dari orbit persepsi dan imajinasi. Tentunya Sema dalam hal ini secara tidak langsung memiliki dua pengertian. Pengertian yang pertama, dapat diartikan sebagai salah satu bentuk praktik ritual zikir yang diterapkan dalam ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta. Pengertian yang kedua, dapat diasumsikan sebagai fenomena seni yang terbentuk melalui formulasi konsep estetika dalam perspektif tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta. Label seni yang terlahir dari unsur religiositas dalam praktik ritual Sema tampaknya tidak mungkin terbantahkan, karena jelas faktanya berada pada domain Sufisme Islam yang secara eksplisit mengajarkan pemurnian Tauhid. Satu hal yang perlu diketahui dan menjadi penting mengenai praktik ritual Sema adalah, konsep estetika seperti apa yang tersirat sehingga Sema sebagai salah satu bentuk praktik ritual zikir dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta menjadi sebuah fenomena ritual peribadatan yang bernilai seni (dianggap sebagai salah satu fenomena seni yang bernilai). Persoalan ini menimbulkan kegelisahan yang menurut peneliti harus terjawab dengan gamblang, sehingga masyarakat luas


(14)

khususnya mereka yang mengerti akan permasalahan seni (para seniman, pelaku seni, kitikus seni, apresiator dan pendidik seni) dapat mengetahui dan memiliki paradigma yang terdapat di dalam konsep estetika Sema. Selain itu, apabila permasalahan tersebut dapat terjawab melalui penelitian ini, maka bentuk keseniaan Sufisme (dalam hal ini Sema) boleh dibilang dapat mewakili salah satu konsep estetika seni yang terdapat di dalam Islam.

C. RUMUSAN MASALAH

Menarik dan perlu dikaji secara komprehensif bagaimana fenomena label seni dapat lahir melalui ajaran tarekat Sufi yang cenderung bersifat esoteris, seperti dalam kasus tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta. Kegelisahan lain pun timbul karena keberadaan tarekat Sufi pada dasarnya menawarkan ajaran-ajaran spiritual (pendidikan) dalam kerangka Islam. Maka, munculnya fenomena seni dalam ajaran tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani tentu dapat diasumsikan sebagai transformasi nilai-nilai pendidikan Tauhid, berdasarkan konsep estetika Sufisme di dalam domain Islam.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya dan untuk menghindari permasalahan yang semakin melebar, maka ditempatkan rumusan masalah dalam suatu penelitian. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana sesungguhnya konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi

Haqqani Jakarta?

2. Bagaimana Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta dapat berperan sebagai media pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai Tauhid?


(15)

D. VARIABEL PENELITIAN/DEFINISI ISTILAH

Berkaitan dengan topik penelitian dan rumusan masalah, maka terdapat beberapa variabel serta definisi istilah yang perlu dijabarkan, di antaranya adalah: Estetika, Sema, Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta, Tauhid dan Media Pendidikan.

1. Definisi Istilah

a. Estetika

Estetika secara sederhana merupakan cabang dari filsafat. Hal-hal yang dibahas dalam Estetika adalah berbagai permasalahan mengenai konsep estetis (keindahan) yang sangat luas. Karena permasalahan estetika termasuk dalam perenungan para filsuf sejak dulu, dan pada kenyataannya hidup manusia selalu bersinggungan dengan perihal estetis serta seni, kemudian muncul definisi atau konsep estetika yang beragam dari masa ke masa. Maka dapat dikatakan bahwa tidak ada definisi yang mutlak “benar” mengenai konsep estetika.

Filsuf Jerman Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762), adalah orang yang pertama kali memopulerkan istilah estetika pada tahun 1750-an dengan bukunya yang berjudul Aesthetica (Gie, 1976: 15). Istilah estetika sendiri oleh Baumgarten diambil dari bahasa Yunani kuno aistheton, yang berarti kemampuan melihat melalui pengindraan. Menurut Baumgarten, seni termasuk ke dalam kategori pengetahuan sensoris, berbeda dengan logika yang menurutnya berada dalam kategori pengetahuan intelektual. Perbedaan antara estetika dan filsafat seni berada pada objek materialnya saja. Estetika mempersoalkan hakikat keindahan


(16)

alam dan karya seni, sedangkan filsafat seni lebih spesifik mempersoalkan karya seni, benda seni atau artefak yang disebut dengan seni (Sumardjo, 2000: 25).

Dari berbagai macam definisi tentang estetika, dapat dirinci 11 permasalahan yang menjadi sasaran estetika, seperti yang dirumuskan oleh Gie (1976: 21) di antaranya adalah:

1.) Keindahan

2.) Keindahan dalam alam dan seni 3.) Keindahan khusus pada seni 4.) Keindahan dan seni

5.) Seni (penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni) 6.) Citarasa

7.) Ukuran nilai baku

8.) Keindahan dan kejelekan 9.) Nilai non-moral (nilai estetis) 10.) Benda estetis

11.) Pengalaman estetis b. Sema

Dalam pandangan Gulen (2007: 18), Sema merupakan salah satu inspirasi yang ditinggalkan oleh seorang Sufi besar bernama Jalaluddin Rumi (1207-1273) dan merupakan paduan warna tradisi, sejarah, kepercayaan serta budaya Turki. Sema memiliki makna serta esensi spiritual yang tinggi dan dalam, sehingga Sema dapat disebut sebagai simbolisme kosmos. Sema dalam bahasa Arab disebut


(17)

dijabarkan dengan definisi umum, maka Sema adalah bergeraknya tubuh dengan gerakan berputar melawan arah jarum jam (counter clock) dengan sukacita, sambil mendengarkan nada-nada musik atau lantunan selawat, dalam kondisi berzikir. Dunia Barat terkadang menyebut Sema dengan istilah “The Whirling Dervishes” atau para Darwis yang berputar.

c. Tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta

Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan melalui situs yayasan Haqqani Indonesia dan salah satu pengurusnya, tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani Jakarta adalah salah satu cabang dari tarekat Sufi Naqsybandi Haqqani di dunia. Tarekat ini dipimpin oleh seorang Syekh atau seorang Ulama bernama Muhammad Nazim Adil al-Qubrusi al-Haqqani (selanjutnya disebut Syekh Nazim al-Haqqani) yang lahir di Larnaka, Siprus pada 21 April 1922. Kedatangan tarekat Naqsybandi Haqqani di Indonesia diperkenalkan oleh Syekh Hisham Kabbani ar-Rabbani (selanjutnya disebut Syekh Hisham ar-ar-Rabbani), menantu sekaligus wakil (khalifah) yang diutus langsung oleh Syekh Nazim al-Haqqani.

Pada 1991, Syekh Hisham ar-Rabbani diperintahkan untuk pindah ke Amerika Serikat oleh Syekh Nazim al-Haqqani dan mendirikan yayasan tarekat Naqsybandi di sana. Semenjak itu, Syekh Hisham ar-Rabbani membuka 13 pusat Sufi di Kanada dan Amerika Serikat. Bermula ketika ada sebagian masyarakat Indonesia yang mengikuti kajian tarekat Naqsybandi Haqqani di Amerika Serikat, semenjak itulah muncul keinginan dari Syekh Hisham ar-Rabbani untuk menyebarkan ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani di Indonesia sekaligus membuka hubungan baik dengan Indonesia di bidang spiritual Islam. Untuk merealisasikan


(18)

keinginannya tersebut, Syekh Hisham ar-Rabbani berkunjung ke Indonesia pada 5 April 1997 dan mendirikan zawiyah tarekat Naqsybandi Haqqani Indonesia yang pertama di Jakarta, dan kini penyebarannya hampir terdapat di seluruh bagian Indonesia. Perlu dijelaskan, bahwa zawiyah adalah tempat berkumpulnya para Sufi atau para jemaat tarekat untuk mengadakan ibadah secara berjemaat.

Pada akhir tahun 2000, kunjungan selanjutnya dilakukan oleh Syekh Hisham ar-Rabbani dengan mendirikan yayasan Haqqani Indonesia di Jakarta. Tujuannya adalah untuk mengorganisir seluruh jemaat tarekat Naqsybandi Haqqani di Indonesia. Yayasan Haqqani Indonesia adalah sebuah lembaga non profit yang ditujukan sebagai wadah belajar dan mendalami ajaran Islam yang dinamis, penuh pesan cinta, damai, saling menghormati dan toleran.

Sejak berdiri hingga sekarang, yayasan Haqqani Indonesia terus aktif dalam menjalankan kegiatan syiarnya dan berpartisipasi dengan kegiatan para Ulama, Habaib, tokoh-tokoh pemerintahan dan organisasi masyarakat lainnya termasuk PBNU, MUI, serta majelis-majelis taklim. Misi mulia yang ditawarkan adalah semangat untuk meningkatkan pemahaman akan Islam sebagai agama yang penuh rahmat, serta memperkenalkan lebih dalam dan meningkatkan kecintaan terhadap Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran yang mulia yaitu Islam. Seluruh cabang tarekat Naqsybandi Haqqani Indonesia yang berada di bawah naungan yayasan Haqqani Indonesia, mempunyai komitmen yang tinggi mendukung program-program pemerintah dalam menciptakan kedamaian dan keharmonisan di antara para pemeluk agama yang berbeda, serta menolak keras segala bentuk


(19)

terorisme dan aksi kekerasan, karena hal tersebut bertentangan dengan Islam yang cinta akan kedamaian.

d. Tauhid

Di dalam Islam, Tauhid merupakan ilmu yang sebaiknya pertama kali harus dipelajari oleh seorang muslim sebelum ilmu-ilmu lainnya, sebab apabila seseorang bertauhid maka dorongan ketakwaan kepada Allah Swt dapat terwujud. Albajuri dan Anwar (1999: 4) mengenai Tauhid mengemukakan bahwa:

Tauhid secara harfiah berarti mengetahui bahwa sesuatu itu satu. Sedangkan menurut istilah, ialah ilmu yang dapat menetapkan akidah (tekad) keagamaan seseorang yang dikasab (dicari) dari dalil-dalilnya yang berdasarkan keyakinan. Dalil-dalil termaksud berdasarkan dalil naqli yaitu, dari Al-Qur’an dan dalil ‘aqli yaitu, hasil penyelidikan akal manusia.

Kedudukan Tauhid sebagai ilmu di dalam Islam sangatlah penting, karena ilmu-ilmu lainnya merupakan cabang dari Tauhid. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, diriwayatkan dari Abu Sa’id r.a. yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah Swt tidak mewajibkan sesuatu yang lebih utama dari ilmu Tauhid dan shalat” (Albajuri dan Anwar, 1993: 4).

e. Media Pendidikan

Menurut AECT (Association for Educational Communication and Technology), media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan dan informasi. Sedikit berbeda dengan NEA (National Education Association) yang lebih menekankan bahwa media merupakan perwujudan komunikasi konkret yang dapat dimanipulasi, dilihat, didengar dan dibaca (Sadiman et al., 2011: 6-7). Apa pun bentuk batasan dan penekanan yang ditetapkan terhadap definisi media pendidikan, satu hal penting untuk


(20)

diperhatikan dari berbagai definisi tersebut adalah persamaannya. Yaitu, media merupakan segala hal yang dapat digunakan untuk menyalurkan atau menyampaikan pesan dari pengirim kepada penerima, sehingga apa yang disampaikan tersebut dapat menstimulus pikiran, perasaan serta perhatian penerima menuju pembentukan pemahaman.

Pendidikan secara sederhana merupakan usaha sadar dan terencana untuk membentuk manusia yang berkarakter mulia. Pemahaman ini diperoleh berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) pada BAB I (ketentuan umum) Pasal 1 point satu, yang menjelaskan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhla mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Melalui dua pemahaman tersebut (media dan pendidikan), maka diperoleh kesimpulan bahwa media pendidikan merupakan alat bantu atau metodik dan teknik yang digunakan sebagai perantara komunikasi antara seorang pendidik kepada peserta didik, dalam rangka mengefektifkan komunikasi dan interaksi di antara keduanya (pendidik dan peserta didik) saat penyelenggaraan pendidikan berlangsung. Urgensinya adalah agar tujuan akhir pendidikan dapat tercapai dengan maksimal, terarah dan tepat sasaran, sehingga mewujudkan manusia-manusia yang unggul serta berkarakter mulia.


(21)

E. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta yang realitasnya hadir dalam ajaran- ajarannya.

2. Tujuan Khusus

a. Mengungkap dan mendeskripsikan konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta.

b. Mengungkap dan mendeskripsikan kedudukan Sema sebagai media pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai Tauhid dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta.

F. MANFAAT PENELITIAN

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat yang terutama ditujukan kepada:

1. Peneliti

Penelitian yang dilakukan merupakan salah satu pengalaman paling berharga dalam hidup peneliti, dan jelas merupakan salah satu upaya untuk menambah cakrawala pengetahuan mengenai konsep estetika, seni dan pemahaman Tauhid Islam melalui domain Sufisme yang unik.

2. Pendidik Seni dan Seniman

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak dulu Indonesia lebih banyak mengacu pada pemikiran Dunia Barat dalam domain seni dan pendidikan.


(22)

Mengetahui konsep estetika, pemahaman seni serta seni sebagai media penanaman pendidikan spiritual yang diterapkan oleh tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah referensi sekaligus penyeimbang pemahaman bagi seorang pendidik dan para seniman mengenai konsep estetika, seni dan pendidikan seni.

3. Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan yang dimaksud adalah lembaga pendidikan yang khusus menerapkan keterampilan dan keilmuan seni, baik itu melalui jalur lembaga pendidikan formal (Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi) maupun non formal (Kursusan atau sanggar-sanggar seni).

Ada baiknya apabila konsep-konsep pendidikan yang ditawarkan tersebut merujuk pada konsep pendidikan seni yang lebih holistis seperti yang dijabarkan dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta. Artinya, tidak hanya mengajarkan secara keilmuan (teoretik) dan keterampilan seni (praktik), namun pembobotan pendidikan yang menitikberatkan pemahaman religius sehingga peserta didik mengetahui fitrahnya selaku manusia yang harus berbuat apa, berada dimana dan hendak di arahkan kemana hidupnya. Dengan demikian, melalui pendidikan seni seseorang akan dapat memandang hidupnya menjadi lebih berarti bagi dirinya, orang lain di sekitarnya serta alam yang menaunginya.

4. Objek yang diteliti

Konsep estetika, seni dan pendidikan seni yang selama ini diterapkan di Indonesia lebih cenderung merujuk kepada Dunia Barat karena budaya tulisnya yang terdokumentasikan dengan baik. Tarekat Sufi sebagai ajaran pada domain


(23)

agama yang bersifat holistis dan universal, ternyata memiliki perhatian terhadap konsep estetika, seni dan pendidikan seni yang berpegang teguh terhadap rambu-rambu keagamaan dengan tujuan memberi arti dalam kehidupan manusia.

Diharapkan, penelitian ini dapat menjadi sumbangsih ilmu pengetahuan dan menjadi hasil penelitian yang terdokumentasikan dengan baik sehingga dapat menjadi salah satu rujukan penelitian lanjutan.

5. Masyarakat

Mengetahui konsep estetika Sema dalam ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat luas khususnya mereka yang bergerak di bidang seni. Konsep estetika yang ditawarkan ajaran Sufisme berlandaskan Tauhid tersebut, tentunya memiliki nilai-nilai yang bermanfaat terutama untuk membangun semangat peribadatan serta kehidupan yang damai.

G. SISTEMATIKA PENULISAN TESIS

1. BAB I Pendahuluan

Bab ini meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan yang digunakan dalam tesis.

2. BAB II Kajian Pustaka

Bab ini meliputi kajian-kajian pada penelitian terdahulu, serta teori-teori atau konsep yang ditempatkan dalam penelitian. Landasan teori lebih difokuskan pada teori-teori estetika dan keindahan dalam perspektif Tasawuf. Sedangkan teori pendidikan yang digunakan, lebih spesifik mengacu pada media pendidikan.


(24)

3. BAB III Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan ihwal penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Bab ini juga meliputi pembahasan seperti lokasi, subjek, instrumen, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, serta tahapan dalam penelitian.

4. BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab ini meliputi pemaparan dan analisis data untuk menghasilkan temuan pembahasan atau analisis temuan.

5. BAB V Kesimpulan dan Rekomendasi

Bab ini meliputi penafsiran dan pemaknaan peneliti, terhadap hasil analisis temuan penelitian dalam bentuk kesimpulan penelitian. Implikasi dalam penelitian berupa rekomendasi yang ditujukan kepada pengguna hasil penelitian yang bersangkutan, dan penelitian lanjutan.


(25)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kualitatif, Moleong (2011: 6) memberikan definisi mengenai penelitian kualitatif berdasarkan sintesis dari para pakar sebelumnya, menurutnya bahwa:

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena peneliti berupaya untuk menemukan konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta, dan Sema yang diasumsikan berperan sebagai media pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai Tauhid di dalam tarekat tersebut. Permasalahan seperti ini tidak dapat dimaknai melalui pengertian angka-angka, karena konsep merupakan sesuatu yang abstrak (ide atau pandangan) dari peristiwa konkret yang harus ditemukan langsung di dalam benak sang subjek melalui latar alamiah penelitian.

Selanjutnya Alwasilah (2009: 143-144) menjelaskan bahwa terdapat empat garis besar bagi seorang peneliti untuk mencapai tujuan penelitiannya, dan dalam pengertian yang khusus harus dilaksanakan oleh seorang peneliti dengan metode penelitian kualitatif, di antaranya adalah:


(26)

3. Mengumpulkan data. 4. Menganalisis data.

Untuk mendukung penggunaan metode penelitian kualitatif berjalan dengan maksimal, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan penelitian fenomenologi. Istilah fenomenologi mengacu pada penelitian terdisiplin tentang kesadaran dari perspektif pertama seseorang.

Dalam penjelasan yang lain, bahwa pendekatan fenomenologi merupakan perspektif berpikir yang menekankan pada fokus pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Maka dalam hal ini, para fenomenologis ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang lain (Moleong, 2011: 15).

Lebih jauh lagi Moleong (2011: 16-17) menjelaskan bahwa:

Analisis fenomenologis berusaha mencari untuk menguraikan ciri-ciri dunianya, seperti apa aturan-aturan yang terorganisasikan, dan apa yang tidak, dan dengan aturan apa objek dan kejadian itu berkaitan.

… Aturan-aturan ini bukanlah sebenarnya ciri-ciri yang berdiri sendiri dari sesuatu ‘dunia objektif’ menurut pendapat para fenomenologis tetapi dibentuk oleh kebermaknaan dan nilai-nilai dalam kesadaran kita yang kita alami sebagai hal yang berdiri sendiri dari kita. Dalam hal ini, fenomenologi mempertentangkan apa yang dinamakan empirisme.

… Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu.


(27)

B. TAHAP-TAHAP PENELITIAN

Setidaknya terdapat empat tahapan pokok dalam penelitian ini yang peneliti jalani, dan tiga di antaranya sesuai dengan tahapan yang dijabarkan oleh Moleong (2011: 127-148), yaitu:

1. Tahap Pra-Lapangan

a. Menyusun rencana penelitian. b. Memilih lokasi penelitian. c. Mengurus perizinan.

d. Menjajaki dan menilai lapangan.

e. Memilih dan memanfaatkan informan (nara sumber). f. Menyiapkan perlengkapan penelitian.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

a. Memahami latar penelitian dan persiapan diri. b. Memasuki lapangan.

c. Berperan serta sambil mengumpulkan data.

3. Tahap Analisis Data

Analisis dalam penelitian ini menggunakan metode analisis dalam pendekatan penelitian fenomenologi. Dimyati (1994) dalam Mudjianto dan Kenda (2010: 81-82), menjabarkan analisis fenomenologi dengan delapan tahapan, secara umum di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Membuat kategorisasi antara subjek penelitian dan informan penelitian. b. Menguji kredibilitas data perolehan informan.


(28)

c. Mencari norma atau nilai yang melatarbelakangi perilaku serta tujuan aktor dalam melakukan tindakan.

d. Melakukan reduksi hasil observasi dan wawancara.

e. Mengelompokkan data.

f. Membuat rumusan proposisi yang terkait dengan prinsip logika sebagai temuan dalam penelitian.

g. Mengkaji ulang seluruh data yang ada. h. Melaporkan hasil temuan penelitian.

4. Tahap Penulisan Laporan

Tahapan penulisan laporan meliputi kegiatan penyusunan laporan hasil penelitian, sesuai saran dan perbaikan dari dosen pembimbing serta para dewan penguji tesis di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

C. LOKASI PENELITIAN

1. Lokasi

Terdapat empat lokasi tarekat Naqsybandi Haqqani di Jakarta yang peneliti kunjungi. Lokasi pertama adalah yayasan Haqqani Indonesia yang berada di Jl. Teuku Umar No. 41, Menteng Jakarta Pusat. Lokasi kedua adalah zawiyah Rabbani Sufi Centre yang berada di Jl. Villa Terusan No. 16, Villa Cinere Mas, Pondok Cabe Jakarta Selatan. Lokasi ketiga adalah zawiyah Pondok Cabe, yang beralamat di Jl. Cabe Raya No. 56, Pondok Cabe Jakarta Selatan. Sedangkan lokasi terakhir adalah zawiyah Rumi Café yang berada di Wisma Iskandarsyah blok B4 Jl. Iskandarsyah Raya Kavling 12-14, Kebayoran Baru Jakarta Selatan.


(29)

2. Alasan Pemilihan Lokasi

Lokasi pertama yayasan Haqqani Indonesia, adalah lokasi yang pertama peneliti kunjungi untuk memperoleh informasi mengenai kegiatan Sema. Melalui lokasi pertama ini, salah seorang pengurus dari yayasan Haqqani Indonesia memberikan rekomendasi untuk mendatangi tiga lokasi yang dianggap representatif untuk membantu keberlangsungan penelitian ini, di antaranya adalah: a. Zawiyah Rabbani Sufi Centre yang berada di Jl. Villa Terusan No. 16, Villa

Cinere Mas, Pondok Cabe Jakarta Selatan.

b. Zawiyah Pondok Cabe, yang beralamat di Jl. Cabe Raya No. 56, Pondok Cabe Jakarta Selatan.

c. Zawiyah Rumi Café yang berada di Wisma Iskandarsyah blok B4 Jl. Iskandarsyah Raya Kavling 12-14, Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Dari ketiga lokasi zawiyah yang disarankan oleh pihak yayasan Haqqani Indonesia tersebut, hanya satu zawiyah yang tidak menampilkan praktik ritual Sema dalam kegiatan zikir mingguan rutinnya, yakni zawiyah Pondok Cabe yang beralamat di Jl. Cabe Raya No. 56, Pondok Cabe Jakarta Selatan, karena keterbatasan tempat yang tidak memungkinkan untuk melakukan ritual Sema.

Walaupun tidak pernah menampilkan Sema karena faktor keterbatasan tempat, melalui zawiyah Pondok Cabe ini peneliti mendapatkan informasi penting ihwal Sema yang dilakukan oleh tarekat Naqsybandi Haqqani di Jakarta. Informasi ihwal Sema diperoleh melalui Syekh ZFR (inisial), seorang Syekh atau pemimpin dari zawiyah Pondok Cabe yang sangat ramah dan memberikan banyak sekali informasi ihwal Sema kepada peneliti selama penelitian berlangsung.


(30)

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek dalam penelitian merupakan entitas yang mempengaruhi desain riset, pengumpulan data dan keputusan analisis data. Selanjutnya (Satori dan Komariah, 2011: 49) menjelaskan bahwa:

Populasi atau sampel dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut dengan sumber data pada situasi sosial (social situation) tertentu, sedangkan yang menjadi subjek penelitiannya adalah benda, hal atau orang yang padanya melekat data tentang objek penelitian. Oleh karena itu, subjek penelitian memiliki kedudukan sentral dalam penelitian, karena data tentang gejala atau masalah yang diteliti berada pada subjek penelitian.

Subjek yang ditempatkan dalam penelitian ini adalah tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta, beberapa orang pelaku Sema, Syekh dari beberapa lokasi zawiyah di Jakarta dan beberapa jemaat tarekat Naqsybandi Haqqani dari zawiyah Rabbani Sufi Centre, Pondok Cabe serta Rumi Café. Melalui mereka (subjek penelitian), data primer diperoleh kemudian diolah bersama data sekunder untuk mencapai tujuan penelitian.

Subjek dalam penelitian juga berperan sebagai informan yang memberikan berbagai informasi atau data selama proses penelitian berlangsung. Informan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa kategori, seperti yang dikemukakan oleh Hendrarso dalam Suyanto dan Sutinah (2005: 171-172), yaitu:

1. Informan kunci (Key Informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. 2. Informan utama, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi

sosial yang diteliti.


(31)

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan interaksi sosial adalah keorganisasian yang dilakukan oleh jemaat tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta. Peran informan kunci (Key informan) dalam penelitian ini berada pada dua orang Syekh yang masing-masing berasal dari zawiyah Rabbani Sufi Center dan Pondok Cabe. Peran informan utama berada pada dua orang jemaat dari zawiyah Pondok Cabe dan Rabbani Sufi Center, sedangkan informan tambahan berada pada empat orang jemaat tarekat Naqsybandi Haqqani, baik yang terlibat secara langsung dalam setting ritual Sema, maupun yang tidak.

Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian, oleh karena itu tipe yang digunakan adalah purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Ciri-ciri purposive sampling dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985) dalam Satori dan Komariah (2011: 53) sebagai berikut:

1. Emergent sampling design; bersifat sementara; sebagai pedoman awal terjun ke lapangan, setelah di lapangan dapat berubah sesuai dengan keadaan. 2. Serial selection of sample units; menggelinding seperti bola salju (snow

ball); sesuai dengan petunjuk yang didapatkan dari informan-informan yang telah diwawancarai.

3. Continuous adjustment or ‘focusing; of the sample; siapa yang akan dikejar sebagai informan baru disesuaikan dengan petunjuk informan sebelumnya sesuai dengan kebutuhan penelitian.

4. Selection to the point of redundancy; pengembangan informan dilakukan terus sampai informasi mengarah ke titik jenuh/sama.


(32)

E. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri, demikian juga dalam penelitian ini. Konsep peneliti sebagai instrumen penelitian mengacu pada fitrah manusia yang terlekat dan diberikan oleh Tuhan sebagai anugerah kepada manusia. Lebih sepesifik lagi, Alwasilah (2009: 191) dalam hal ini menjelaskan bahwa:

Seperti yang telah dipahami bahwa dalam penelitian kualitatif peneliti adalah sekaligus instrumen. Fasilitas yang melekat padanya adalah sepasang mata, telinga, bibir dan kelisanannya, yakni berkomunikasi. Berbahasa lisan adalah modus komunikasi yang paling alami, mendasar, dan manusiawi; sejak detik ia dilahirkan sampai detik-akhir ia dimatikan. Komunikasi yang baik adalah interaksi yang terencana, dan interviu dilakukan untuk mendapat informasi atau data yang diperlukan sesuai dengan tujuan penelitian.

Lincoln dan Guba (1985) dalam Satori dan Komariah (2011: 62) mengungkapkan bahwa manusia sebagai instrumen pengumpulan data memberikan keuntungan, di mana ia dapat bersikap fleksibel dan adaptif, serta dapat menggunakan keseluruhan alat indra yang dimilikinya untuk memahami sesuatu. Adapun ciri-ciri peneliti sebagai instrumen penelitian menurut Nasution (1968) dalam Satori dan Komariah (2011: 63) adalah:

1. Peneliti sebagai alat, peka dan dapat bereaksi terhadap segala stumulus dan lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian. 2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan

dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.

3. Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.


(33)

4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakannya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.

5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan arah pengamatan, mengetes hipotesis yang timbul seketika. 6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan

berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera untuk memperoleh penegasan, perubahan dan perbaikan.

Selain keunggulan peneliti sebagai instrumen penelitian, maka terdapat juga instrumen lain selain manusia yang digunakan dalam mendukung penelitian. Instrumen tersebut berupa catatan lapangan, lembar wawancara, serta catatan hasil dokumentasi audio/visual selama berada di lapangan dengan menggunakan alat bantu seperti kamera foto, video recorder atau pun audio recorder.

F. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, pendokumentasian dan melakukan telaah kajian pustaka, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Observasi

Terdapat dua jenis observasi yang peneliti gunakan, mengacu pada konsep Spradley dalam Satori dan Komariah (2011: 115), yakni observasi tidak langsung atau pra-lapangan dan observasi saat berada di lapangan. Observasi pra-lapangan


(34)

dilakukan sebelum peneliti mendatangi lokasi penelitian; seperti mengobservasi subjek penelitian melalui berita, artikel dan rekaman dokumentasi audio, video, serta foto-foto yang terdapat di internet. Selanjutnya adalah observasi saat berada di lapangan dengan dua pendekatan observasi, yaitu:

a. Observasi partisipasi pasif, hadir dalam kegiatan Sema tetapi peneliti tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.

b. Observasi partisipasi moderat, dalam hal ini peneliti mengikuti hanya sebagian kegiatan dari keseluruhan prosesi Sema yang dilakukan oleh tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta.

2. Wawancara

Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh makna yang rasional, baik yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur. Proses wawancara kemudian di dokumentasikan dalam bentuk catatan-catatan kecil maupun rekaman audio sehingga dapat meningkatkan nilai dari data yang diperoleh. Wawancara ditujukan kepada subjek dari penelitian ini, yakni mereka para informan kunci, informan utama dan informan tambahan.

3. Pendokumentasian

Setiap kegiatan dan momen penting yang relevan dalam penelitian ini di dokumentasikan dalam bentuk audio, video, foto maupun jenis audio-video. Hal ini dilakukan guna mendapatkan makna atau informasi, serta dipelajari dan dianalisis sebagai sumber data utama. Pendokumentasian terkadang dapat berupa catatan-catatan kecil peneliti saat berada di lapangan, baik ketika sedang melakukan wawancara maupun saat mengobservasi.


(35)

4. Kajian pustaka

Formulasi teoretis terkadang disebut dengan landasan teoretis atau kajian pustaka (literature review). Kajian pustaka mengimplisitkan kegiatan peneliti dalam membaca literatur terkait (Alwasilah, 2009: 112).

G. TEKNIK ANALISIS DATA

Untuk mendapatkan makna berbagai informasi dan data perolehan lapangan, perlu dilakukan analisis serta interpretasi terhadap data-data tersebut. Maka perlu adanya upaya dalam menganalisis data menggunakan paradigma berpikir kualitatif (berpikir secara induktif). Berpikir secara induktif memiliki maksud membandingkan dan mengondisikan antara data hasil perolehan lapangan, terhadap teori yang ditempatkan dalam penelitian.

Tahap-tahap yang peneliti lakukan untuk menganalisis data dalam penelitian ini, menggunakan metode analisis dalam pendekatan penelitian fenomenologi. Merujuk pada delapan tahap analasis fenomenologi menurut Dimyati (1994) dalam Mudjianto dan Kenda (2010: 81-82), maka dalam penelitian ini delapan tahapan yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut:

1. Mengkategorikan informan penelitian.

2. Menguji keakuratan data dari informan yang satu dengan yang lainnya. 3. Mencari norma atau nilai yang melatarbelakangi perilaku serta tujuan aktor

dalam melakukan tindakan.

4. Melakukan reduksi hasil observasi dan wawancara dengan tahapan sebagai berikut:


(36)

a. Proses selecting dan focusing dilakukan pada orang yang hendak diwawancarai dan situasi penelitian. Orang yang diwawancarai terpilih pada orang yang benar-benar mengetahui secara pasti tentang seluk-beluk tema penelitian. Situasi penelitian, juga hanya peneliti pilih pada situasi yang benar-benar menarik dan berkaitan langsung dengan tema penelitian. Upaya focusing dilakukan pada saat key informan memberikan informasi yang lepas dari tema penelitian.

b. Simplifying dilakukan untuk penyederhanaan data. Upaya penyederhanaan dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengurangi makna dan keakuratan data yang diperoleh.

c. Abstracting ditempuh untuk menggambarkan data secara naratif, sebagaimana yang ada di lapangan.

d. Transforming dilakukan dengan cara mentransformasikan data observasi lapangan menjadi kesimpulan catatan lapangan.

5. Mengelompokkan hal-hal serupa kemudian membandingkan kemiripan dan perbedaannya dengan kaidah atau prinsip-prinsip logika. Kemudian membuat display data secara sistematik dalam konteks yang utuh.

6. Membuat rumusan proposisi yang terkait dengan prinsip logika, kemudian mengangkatnya sebagai temuan dalam penelitian.

7. Mengkaji secara berulang-ulang seluruh data yang ada, pengelompokkan data dan proposisi yang telah dirumuskan.

8. Melaporkan hasil penelitian lengkap dengan temuan baru, berbeda dari temuan yang sudah ada.


(37)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

Berdasarkan telaah atas teori-teori sebelumnya mengenai estetika di dalam Islam, dijelaskan bahwa estetika Islam selalu bersifat teosentris dan dibatasi oleh ajaran-ajaran di dalam Islam sebagai kekhasannya. Penekanan Tauhid sebagai syarat utama pada setiap implementasi estetis seni di dalam Islam terbukti membatasi peran manusia sebagai hamba Tuhan dan Tuhan sebagai satu-satunya yang transenden (berbeda dengan seluruh ciptaan-Nya). Realitas tersebut terbukti juga berlaku di dalam Sema Naqsybandi Haqqani Jakarta.

Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta diketahui digunakan sebagai ajaran tambahan atau ritual tambahan yang diadopsi dari tarekat Maulawiyah asal Turki. Sebagai sebuah ajaran yang kini diterapkan di tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta, ia memiliki kekhasan tersendiri karena menampilkan sisi estetis yang tidak dapat dinilai dari ukuran lahiriah semata (eksoteris). Ia juga memiliki keindahan yang terpancar dari dalam (esoteris) sebagai salah satu faktor pembentuk utama unsur estetis-nya. Teori simbol dan estetika Langer diterapkan terhadap temuan-temuan dalam penelitian ini untuk mengungkap konsep estetika Sema tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta agar tidak menggeneralisasinya sebagai sebuah kesenian, karena menurut Langer perlu ada suatu pendekatan dengan cara masing-masing sembari melacak prinsip-prinsip kreasi seni, konsepsi seni (living form), dan ekspresi (lihat Ali, 2011: 206-208).


(38)

Keseluruhan temuan yang muncul dalam kategorisasinya menunjukkan bahwa konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta terbangun berdasarkan ajaran-ajaran di dalam tarekat Naqsybandi Haqqani yang mempengaruhi kesadaran para jemaatnya. Ajaran-ajaran tersebut tidak hanya mempengaruhi perilaku atau sikap, tetapi termanifestasi juga di dalam Sema yang diadopsi oleh mereka. Sebagai ajaran yang diadopsi, ia mengambil inti sari Sema asal tarekat Maulawiyah sehingga memiliki ciri tersendiri, hal ini dipercaya sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Naqsybandi Haqqani karena silsilah keturunan dan keilmuan yang dimiliki pemimpin Naqsybandi Haqqani ihwal ajaran tarekat Maulawiyah.

Pada kasus Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqani Jakarta, konsep estetika di dalamnya tidak berawal dari imajinasi para pelaku Sema sebagai unsur penciptaannya. Paradoks dengan hal tersebut, ia justru terlahir dari kesadaran manusia (konsepsi) atas kodratnya terhadap Tuhan, yakni menggapai cinta-Nya. Karena bentuk kesadaran tersebut sulit didefinisikan (hanya bisa dirasakan bagi mereka yang mengalaminya) maka implementasinya berwujud perbuatan mengabstraksikan melalui simbol-simbol tertentu seperti tarian dan kostum, serta melibatkan unsur-unsur yang menjaga agar kondisi kesadaran tersebut tetap terjaga, seperti melalui musik dan hadirnya Syekh yang bertanggung jawab, atau mengingat wajah sang Syekh sebagai penyambung maksud kepada Tuhan sebagai stimulan. Bentuk kesadaran tersebut (cinta keilahian) dapat dilihat sebagai bentuk keindahan tersendiri (esoteris), ekuivalen dengan memandang bahwa segala sesuatu yang berada di kosmos ini pada hakikatnya fana dan memiliki


(39)

keterhubungan dengan Tuhan. Bentuk kesadaran tersebut juga membuat mereka tidak terlalu menghiraukan keindahan bentuk (eksoteris), walaupun pada akhirnya keindahan bentuk yang dapat tercerap menjadi indah dengan sendirinya karena merupakan simbol-simbol dari cinta keilahian yang mereka sadari dan rasakan. Maka secara definitif konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta dapat disebut sebagai estetika platonik berbasis Tauhid.

Ajaran-ajaran tarekat Naqsybandi Haqqani pada hakikatnya menggiring manusia menuju cinta Ilahi dengan mematri Tuhan di dalam hatinya. Dengan demikian, maka sangat mudah sekali bagi Sema untuk berperan sebagai media pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai Tauhid kepada para jemaatnya, karena ajaran-ajaran dalam tarekat Naqsybandi Haqqani sendiri sudah merupakan suatu bentuk dari media pendidikan Tauhid.

Sebagai salah satu aktivitas manusia dalam mengagungkan cinta terhadap Tuhan-Nya, Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta dengan sendirinya berperan sebagai media pendidikan guna menanamkan nilai-nilai Tauhid yang ditujukan khusus bagi para jemaatnya, dan secara umum bagi siapa pun sebagai penanggapnya. Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta memiliki makna Ketauhidan yang terkandung di balik perwujudannya sebagai simbol-simbol seni dalam ekspresi ritual yang indah. Sadar atau tidak sadar, Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta secara definitif dapat berperan sebagai media pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai Tauhid karena sesuai dengan ciri-ciri atau kriteria dari sesuatu yang disebut sebagai media pendidikan.


(40)

B. REKOMENDASI

Rekomendasi dalam penelitian ini ditujukan kepada beberapa pihak, di antaranya adalah:

1. Seniman dan Akademisi Seni

Bagaimanapun juga, baik seni yang bersumber dari domain religiositas maupun seni yang berasal dari domain lainnya, memiliki misi untuk memuliakan manusia dengan caranya tersendiri, seperti halnya pendidikan bertujuan untuk memberdayakan manusia dan memuliakannya.

Maka, ada baiknya apabila dapat memandang dan mengimplementasikan seni sebagai alat atau media yang mendukung tercapainya tujuan tersebut, bukan sebaliknya. Melalui hasil penelitian ini juga kiranya dapat menjadi salah satu bukti kecil terhadap kedudukan seni sebagai alat untuk memuliakan manusia.

2. Para Pelaku Sema dalam Tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa formulasi konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta adalah cinta keilahian atau cinta platonik berbasis Tauhid, sebagai hal langka terutama terhadap kondisi zaman yang semakin sekuler seperti saat ini. Hendaknya hal tersebut dipahami, dijaga dan ditularkan kepada generasi-generasi selanjutnya dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta.

Menjaganya berarti membiarkannya tetap mekar dan menjaga segala sesuatunya berada dalam koridor Ketuhanan melalui berbagai macam pelatihan spiritual, di antara hiruk-pikuknya dorongan duniawi yang semakin kuat menerpa, tanpa menafikan dunia itu sendiri.


(41)

3. Bagi Peneliti Lainnya

Penelitian yang dilakukan tentu memiliki keterbatasan dan kekurangan di sana-sini, maka diharapkan bagi peneliti lainnya yang ingin meneliti ihwal Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta, atau pun kesenian dalam domain Sufi lainnya, diharapkan dapat melengkapi analisis atau pendekatan penelitiannya dengan menggunakan pendekatan agama dan psikologi. Sehingga hasil penelitian kedepannya dapat saling melengkapi satu sama lain.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Matius. (2011). Estetika, Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar luxor.

Alwasilah, A. Chaedar. (2009). Pokoknya Kualitatif, Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Arsyad, Azhar. (1996). Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Berger, Asa Arthur. (2005). Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer,

Suatu Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Gie, Liang. (1976). Garis Besar Estetik, Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Kaya.

Gulen, M. Fethullah. (2007). Jalaluddin Rumi, SEMA. Bandung: Yudhistira Ghalia Indonesia.

Hamka. (1984). Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Hoed, Benny H. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: komunitas Bambu.

Jalaluddin, Rakhmat. et al. (2000). Kuliah-kuliah Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah.

Koentjaraningrat. (2007). Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Lutfi, Habib Muhammad. et al. (2009). Kiai, Musik dan Kitab Kuning. Depok: Desantara.

Leaman, Oliver. (2005). Menafsirkan Seni dan Keindahan, Estetika Islam. Bandung: Mizan.

Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhaya, Abdul. (2003). Bersufi Melalui Musik, Sebuah pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad al-Ghazali. Yogyakarta: Gama Media.


(43)

Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama.

Nasr, Seyyed Hossein. (2010). The Garden of Truth, Mereguk Sari Tasawuf. Bandung: Mizan.

Poesporodjo. (2004). Hermeneutika. Bandung: Cv Pustaka Setia.

Ramayulis. (2010). Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Sadiman, Arief S. (2011). Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan

Pemanfaatannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, cv.

Schimmel, Annemarie. (2008). Akulah Angin Engkaulah Api, Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi. Bandung: Mizan.

Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Susantina, Sukatmi. (2004). Nada-nada Radikal, Perbincangan para Filsuf Tentang musik. Yogyakarta: Panta Rhei Offset.

Suhrawardi, Syihabuddin Umar. (1998). ‘Awarif al-Ma’aif, Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah.

Suyanto, Bagong dan Sutinah. (2005). Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media.

Sutrisno, Mudji. et al. (2005). Teks-teks kunci Estetika, Filsafat Seni. Yogyakarta: Galangpress.

Tebba, Sudirman. (2007). Meditasi Sufistik. Banten: Pustaka Irvan.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2011). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.


(44)

Sumber Karya Tulis Ilmiah:

Putra, Agung Dwi. (1998). Musik Sebagai Bagian Spiritual dalam Praktik Ritual Sema. Skripsi S1 pada Sekolah tinggi Musik Bandung: tidak diterbitkan.

Sumber Artikel dalam Jurnal:

Munfarida, Elya. (2005). Formulasi konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif Isma’il Raji al-Faruqi. Jurnal Studi Islam dan budaya (IBD’A), Volume (2, Juli-Desember 2005), 11 Halaman.

Mudjianto, Bambang dan Kenda, N. (2010). Metode Fenomenologi Sebagai Salah Satu Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Komunikologi. 31 Halaman.

Sumber Internet:

Delapan Adab-Adab atau Prinsip Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://naqshbandi.org/topics/behasu_indonesia/principl.htm. Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Inti dari Zikir Khatam Khawajagan Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/dhikr/dhikrin.htm#Short%20Khatam.

Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Lima Doktrin Naqsybandi Haqqani dari Bayazid Tayfur al-Bisthami. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/about/afirst.htm. Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Perubahan Nama Tarekat Naqsybandi Haqqani dari masa ke masa. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/about/titlesof.htm. Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Silsilah Rantai Emas Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/chain/names.htm. Diakses pada: 27 Mei 2012. Situs Resmi Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/.

Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Situs Resmi Rumi Café. [online]. Tersedia: http://www.caferumijakarta.com/. Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Simbol Kostum Sema Tarekat Maulawiyah. [online]. Tersedia:


(45)

(1)

B. REKOMENDASI

Rekomendasi dalam penelitian ini ditujukan kepada beberapa pihak, di antaranya adalah:

1. Seniman dan Akademisi Seni

Bagaimanapun juga, baik seni yang bersumber dari domain religiositas maupun seni yang berasal dari domain lainnya, memiliki misi untuk memuliakan manusia dengan caranya tersendiri, seperti halnya pendidikan bertujuan untuk memberdayakan manusia dan memuliakannya.

Maka, ada baiknya apabila dapat memandang dan mengimplementasikan seni sebagai alat atau media yang mendukung tercapainya tujuan tersebut, bukan sebaliknya. Melalui hasil penelitian ini juga kiranya dapat menjadi salah satu bukti kecil terhadap kedudukan seni sebagai alat untuk memuliakan manusia. 2. Para Pelaku Sema dalam Tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa formulasi konsep estetika Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta adalah cinta keilahian atau cinta platonik berbasis Tauhid, sebagai hal langka terutama terhadap kondisi zaman yang semakin sekuler seperti saat ini. Hendaknya hal tersebut dipahami, dijaga dan ditularkan kepada generasi-generasi selanjutnya dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta.

Menjaganya berarti membiarkannya tetap mekar dan menjaga segala sesuatunya berada dalam koridor Ketuhanan melalui berbagai macam pelatihan spiritual, di antara hiruk-pikuknya dorongan duniawi yang semakin kuat menerpa, tanpa menafikan dunia itu sendiri.


(2)

3. Bagi Peneliti Lainnya

Penelitian yang dilakukan tentu memiliki keterbatasan dan kekurangan di sana-sini, maka diharapkan bagi peneliti lainnya yang ingin meneliti ihwal Sema dalam tarekat Naqsybandi Haqqani Jakarta, atau pun kesenian dalam domain Sufi lainnya, diharapkan dapat melengkapi analisis atau pendekatan penelitiannya dengan menggunakan pendekatan agama dan psikologi. Sehingga hasil penelitian kedepannya dapat saling melengkapi satu sama lain.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Matius. (2011). Estetika, Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar luxor.

Alwasilah, A. Chaedar. (2009). Pokoknya Kualitatif, Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Arsyad, Azhar. (1996). Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Berger, Asa Arthur. (2005). Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer,

Suatu Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Gie, Liang. (1976). Garis Besar Estetik, Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Kaya.

Gulen, M. Fethullah. (2007). Jalaluddin Rumi, SEMA. Bandung: Yudhistira Ghalia Indonesia.

Hamka. (1984). Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Hoed, Benny H. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: komunitas Bambu.

Jalaluddin, Rakhmat. et al. (2000). Kuliah-kuliah Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah.

Koentjaraningrat. (2007). Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Lutfi, Habib Muhammad. et al. (2009). Kiai, Musik dan Kitab Kuning. Depok: Desantara.

Leaman, Oliver. (2005). Menafsirkan Seni dan Keindahan, Estetika Islam. Bandung: Mizan.

Moleong, Lexy J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muhaya, Abdul. (2003). Bersufi Melalui Musik, Sebuah pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad al-Ghazali. Yogyakarta: Gama Media.


(4)

Muhmidayeli. (2011). Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama.

Nasr, Seyyed Hossein. (2010). The Garden of Truth, Mereguk Sari Tasawuf. Bandung: Mizan.

Poesporodjo. (2004). Hermeneutika. Bandung: Cv Pustaka Setia.

Ramayulis. (2010). Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Sadiman, Arief S. (2011). Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan

Pemanfaatannya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, cv.

Schimmel, Annemarie. (2008). Akulah Angin Engkaulah Api, Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi. Bandung: Mizan.

Sumardjo, Jakob. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Susantina, Sukatmi. (2004). Nada-nada Radikal, Perbincangan para Filsuf Tentang musik. Yogyakarta: Panta Rhei Offset.

Suhrawardi, Syihabuddin Umar. (1998). ‘Awarif al-Ma’aif, Sebuah Buku Daras Klasik Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah.

Suyanto, Bagong dan Sutinah. (2005). Metode Penelitian Sosial, Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media.

Sutrisno, Mudji. et al. (2005). Teks-teks kunci Estetika, Filsafat Seni. Yogyakarta: Galangpress.

Tebba, Sudirman. (2007). Meditasi Sufistik. Banten: Pustaka Irvan.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2011). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.


(5)

Sumber Karya Tulis Ilmiah:

Putra, Agung Dwi. (1998). Musik Sebagai Bagian Spiritual dalam Praktik Ritual Sema. Skripsi S1 pada Sekolah tinggi Musik Bandung: tidak diterbitkan.

Sumber Artikel dalam Jurnal:

Munfarida, Elya. (2005). Formulasi konsep Estetika Seni Islam dalam Perspektif

Isma’il Raji al-Faruqi. Jurnal Studi Islam dan budaya (IBD’A), Volume (2, Juli-Desember 2005), 11 Halaman.

Mudjianto, Bambang dan Kenda, N. (2010). Metode Fenomenologi Sebagai Salah Satu Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Komunikologi. 31 Halaman.

Sumber Internet:

Delapan Adab-Adab atau Prinsip Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://naqshbandi.org/topics/behasu_indonesia/principl.htm. Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Inti dari Zikir Khatam Khawajagan Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/dhikr/dhikrin.htm#Short%20Khatam.

Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Lima Doktrin Naqsybandi Haqqani dari Bayazid Tayfur al-Bisthami. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/about/afirst.htm. Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Perubahan Nama Tarekat Naqsybandi Haqqani dari masa ke masa. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/about/titlesof.htm. Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Silsilah Rantai Emas Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/chain/names.htm. Diakses pada: 27 Mei 2012. Situs Resmi Naqsybandi Haqqani. [online]. Tersedia: http://www.naqshbandi.org/.

Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Situs Resmi Rumi Café. [online]. Tersedia: http://www.caferumijakarta.com/. Diakses Pada: 27 Mei 2012.

Simbol Kostum Sema Tarekat Maulawiyah. [online]. Tersedia: http://ariefdani.multiply.com/journal.Diakses Pada: 28 Mei 2012.


(6)