Strategi Komunikasi Guru Dalam Menghadapi Temper Tantrum Pada Anak Autis (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Anak Autis Di Sekolah YAKARI Di Kota Medan)

(1)

Universitas Sumatera Utara

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Perspektif/Paradigma Kajian

Konstruktivisme mulai dengan suatu premis bahwa dunia manusia (human world) berbeda dengan dunia alam (natural world) dan dunia fisik (physical world). Dunia manusia coraknya hidup, ada interaksi, ada komunikasi yang hidup dan dinamis. Ciri khas dari dunia manusia adalah daapat berbicara, berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan diinginkannya. Sedangkan dunia alam dan fisik coraknya mekanis, keras, ‘mati’, tidak ada komunikasi yang hidup. Karena perbedaan ini, maka pendekatan penelitiannya juga harus berbeda. Manusia tidak dapat diperlakukan sebagai makhluk yang mati dan begitu juga alam fisik yang keras tidak dapat diperlakukan sebagai makhluk yang hidup. Konstruktivisme beranggapan bahwa dunia dikonstruksi (constructed) dan bukan diterima (given).

Dunia dalam hal ini dipahami dalam artinya luas termasuk relasi, komunikasi, persepsi, perasaan. Jadi apa yang kita lihat, rasakan, alami, dan ketahui bukanlah diterima tetaapi dikonstruksi atau ‘diciptakan’. Hal ini hanya mungkin dibuat oleh manusia. Manusialah yang memiliki dan mengembangkan kemampuannya untuk menginterpretasi dan mengkonstruksi realita.

Persepsi manusia bukanlah suatu realita yang berdiri sendiri. Tidak ada persepsi yang berdiri sendiri tanpa adanya manusia yang menciptakan. Misalnya juga Matahari. Matahari memang nyata tetapi ditangkap, dipahami, dan didekati melalui budaya dan bahasa manusia. Dalam arti ini Matahari dikostruksikan oleh manusia. Jadi, matahari tidak dapat dikenal tanpa pemahaman budaya melalui bahasa manusia. Dengan demikian, konstruktivisme mempelajari beraneka realita yang disusun oleh manusia yang pada akhirnya memberikan dampak kepada hidup manusia itu sendiri dan memberi arti pada hubungannya dengan orang lain dan lingkungannya. Namun harus dimengerti bahwa konstruktivisme mengkonstruksi pengetahuan tentang sesuatu realita tetapi tidak menciptakan


(2)

Universitas Sumatera Utara

realita itu. Dengan kata lain, realita dunia tetap ada tetapi manusia memberi arti kepadanya melalui budaya dan bahasa yang dipahaminya.

Ada suatu keyakinan dalam konstruktivisme bahwa manusia tidak mungkin menangkap suatu realita eksternal yang berdiri sendiri, tunggal dan tidak berubah. Semua pemahaman manusia tentang realita selalu terkait dengan situasi dan konteks yang mengitarinya, dan dimengerti secara interpersonal dan terbatas. Tidak ada realita yang berdiri sendiri tanpa manusia yang memaknainya. Pemaknaan manusia tidak berdiri tetapi terkait dengan manusia yang lain (Semiawan, 2010: 10-12).

Guba (1990:25) menyatakan but philosophers of science now uniformly believe that facts are facts only within some theoretical framework. Thus the basis for discovering “how things really are” and “really work” is lost. “Reality” exists only in the context of mental framework (construct) for thinking about it. (ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori. Basis untuk menemukan “sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut).

Ini berarti realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang. Lebih lanjut Guba (1990: 25) mengemukakan constructivists concur with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality” can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a value window. Many constructions are possible. (Kaum konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat dilihat melalui jendela teori, maka itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan). Hal ini berarti penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai.

Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba (1990: 26) ialah: finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever changing. (Pengetahuan dapat digambarkan sebagai


(3)

Universitas Sumatera Utara

hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah). Artinya, bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap, tetapi selalu berkembang terus.berdasarkan beberapa penjelasan Guba yang di kutip diatas, dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.

Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum” yang artinya “karena aku berpikir maka aku ada”. Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan, melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/kerja dari indra (mata, telinga, hidung, peraba, dan pengecap/lidah). Untuk mencapai sesuatu yang pasti, menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari.

Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai dengan meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu pihak berpikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant. Menurut Kant bahwa ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh rasio.

Lebih lanjut Guba (1990: 27) mengemukakan sistem keyakinan dasar pada peneliti konstruktivitas, sebagai berikut.

Ontology: Relativist-Realities exist in the form of multiple mental constructions, socially and experientially based local and specific, dependent for their form and content on the persons who hold them. Epistemology: Subjectivist-inquirer and inquired into are fused a single (monistic) entity. Findings are literally the creation of the process of interaction between the two. Methodology:


(4)

Universitas Sumatera Utara

hermeneutic-dialetic-individual constructions are elicited and refined hermeneutically, with the aim of generating one (or a few) constructions on which there is substantial consensus. (Asumsi ontologi ialah realitivis-realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara social dan pengalaman, local dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang mengemukakannya. Asumsi epistemologi ialah subjektif-peneliti dan yang diteliti disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic). Temuan-temuan secara harfiah merupakan kreasi dari proses interaksi anatara peneliti dengan yang diteliti. Asumsi metodologi ialah hermeneutic-dialetik-konstruksi individual, dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutic dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa kontruksi yang secara substansial disepakati).

2.2. Kajian Pustaka 2.2.1. Komunikasi

Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin Communicatio, dan bersumber dari kata Communis yang berarti sama. Dalam hal ini adalah sama makna. Komunikasi menurut komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi satu dengan yang lainnya, yang pada gilirannya akan tiba saling pengertian yang dalam. Dari definisi ini juga dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan suatu proses pertukaran pesan antar komunikan dan komunikator dimana menciptakan suatu kesepahaman bersama (Roger dkk dalam Cangara, 2007: 20).

Komunikasi merupakan dasar interaksi antar manusia. Kesepakatan atau kesepahaman dibangun melalui sesuatu yang berusaha bisa dipahami bersama hingga interaksi berjalan dengan baik. Kegiatan komunikasi pada prinsipnya adalah aktivitas pertukaran ide atau gagasan. Secara sederhana, kegiatan komunikasi dipahami sebagai kegiatan menyampaikan dan penerimaan pesan dari pihak satu ke pihak yang lain dengan tujuan mencapai kesamaan pandangan atas ide yang dipertukarkan (Fajar, 2008: 30)


(5)

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi (communication) adalah proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West, 2009: 5).

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna.

Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan bahasa itu. Jelas bahwa percakapan yang komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan.

Akan tetapi, pengertian komunikasi yang dipaparkan diatas sifatnya dasariah, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, dan lain-lain (Effendy, 2007: 9).

Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai pengertian komunikasinya sendiri, Hovland, mengatakan bahwa komunikasi adalah proses perubahan perilaku orang lain (communication is the process to modify the behavior of other individuals).

Akan tetapi, seseorang akan dapat mengubah sikap, pendapat, atau perilaku orang lain apabila komunikasinya itu memang komunikatif seperti diuraikan diatas.

Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigm yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function


(6)

Universitas Sumatera Utara

of Communication in Society. Laswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect ?

Paradigma Lasswell diatas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni:

Komunikator (communicator, source, sender) Pesan (message)

Media (channel, media)

Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient) Efek (effect, impact, influence)

Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Demikian kelengkapan unsur komunikasi menurut Harold Lasswell yang mutlak harus ada dalam setiap prosesnya.

Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Adakalanya seseorang menyampaikan buah pikirannya kepada orang lain tanpa menampakkan perasaan tertentu. Pada saat lain seseorang menyampaikan perasaannya kepada orang lain tanpa pemikiran. Tidak jarang pula seseorang menyampaikan pikirannya disertai perasaan tertentu, disadari atau tidak disadari. Komunikasi akan berhasil apabila pikiran disampaikan dengan menggunakan perasaan yang disadari; sebaliknya komunikasi akan gagal jika sewaktu menyampaikan pikiran, perasaan tidak terkontrol.

Pikiran dan perasaan yang akan disampaikan kepada orang lain itu oleh Walter Lippman dinamakan picure in our head, dan oleh Walter Hagemann disebut Bewustseinsinhalte. Yang menjadi permasalahan ialah bagaiman caranya agar “gambaran dalam benak” dan “isi kesadaran” pada komunikator itu dapat dimengerti, diterima, dan bahkan dilakukan oleh komunikan (Effendy, 2007:10-11).


(7)

Universitas Sumatera Utara

Proses komunikasi terbagi menjadi 2 tahap, yaitu secara primer dan sekunder.

a. Proses Komunikasi secara Primer

Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan (Effendy, 2007:11).

b. Proses Komunikasi secara Sekunder

Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televise, film, dan banyak lagi adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi (Effendy, 2007:16).

Unsur-unsur dalam proses komunikasi adalah sebagai berikut:

Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang

atau sejumlah orang.

Encoding: Penyandian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam

bentuk lambang.

Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang

disampaikan oleh komunikator.

Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikator


(8)

Universitas Sumatera Utara

Decoding: Pengawasandian, yaitu proses dimana komunikan

menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.

Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator

Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah

diterpa pesan.

Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila

tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator.

Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi

sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya (Effendy, 2007:18-19).

Ada 5 istilah penting yang digunakan dalam mendefinisikan komunikasi: sosial, proses, simbol, makna, dan lingkungan. Pertama-tama sepenuhnya diyakini bahwa komunikasi adalah suatu proses sosial. Ketika menginterpretasikan komunikasi secara sosial (social), maksud yang disampaikan adalah komunikasi selalu melibatkan manusia serta interaksi. Artinya, komunikasi selalu melibatkan dua orang, pengirim dan penerima. Keduanya memainkan peranan yang penting dalam proses komunikasi. Ketika komunikasi dipandang secara sosial, komunikasi selalu melibatkan dua orang yang berinteraksi dengan berbagai niat, motivasi, dan kemampuan.

Kemudian, ketika membicarakan komunikasi sebagai proses (process), hal ini berarti komunikasi bersifat berkesinambungan dan tidak memiliki akhir. Komunikasi juga dinamis, kompleks, dan senantiasa berubah. Melalui pandangan mengenai komunikasi ini, kami ingin menekankan bahwa menciptakan suatu makna adalah sesuatu yang dinamis. Oleh karena itu, komunikasi tidak memiliki awal dan akhir yang jelas.

Simbol (symbol) adalah sebuah label arbitrer atau representasi dari fenomena. Kata adalah simbol untuk konsep dan benda – misalnya, kata cinta mempresentasikan sebuah ide mengenai cinta; kata kursi mempresentasikan benda yang kita duduki. Label dapat bersifat ambigu, dapat berupa verbal dan


(9)

non-Universitas Sumatera Utara

verbal, dan dapat terjadi dalam komunikasi tatap muka dan komunikasi dengan menggunakan media. Simbol biasanya telah disepakati bersama dalam sebuah kelompok, tetapi mungkin saja tidak dimengerti di luar lingkup kelompok tersebut.

Selain proses dan simbol, makna juga memegang peranan penting dalam definisi komunikasi kita. Makna adalah yang diambil orang dari suatu pesan. Tanpa berbagi makna, kita semua akan mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa yang sama atau dalam menginterpretasikan suatu kejadian yang sama. Judith Martin dan Tom Nakayama (2002) menyatakan bahwa makna memiliki konsekuensi budaya.

Istilah kunci yang terakhir dalam definisi komunikasi kita adalah lingkungan. Lingkungan (environment) adalah situasi atau konteks dimana komunikasi terjadi. Lingkungan terdiri atas beberapa elemen, seperti waktu, tempat, periode sejarah, relasi, dan latar belakang budaya pembicara dan pendengar. Lingkungan juga dapat dihubungkan. Maksudnya, komunikasi dapat terjadi dengan adanya bantuan dari teknologi. Lingkungan yang difasilitasi oleh media ini adalah area penting (dan termasuk baru) dalam teori komunikasi, namun juga mempengaruhi proses komunikasi baik secara langsung maupun tidak (West, 2009:6-8).

2.2.2. Strategi Komunikasi

Para ahli komunikasi, terutama di negara-negara yang sedang berkembang, dalam tahun-tahun belakangan ini menumpahkan perhatian yang besar terhadap strategi komunikasi. Strategi pada hakikatnya adalah perencanaan (planning) dan management dalam mencapai suatu tujuan. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut, strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan melainkan harus mampu menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya (Effendy, 2007: 32).

Menurut R. Wayne Pace, Brent D Peterson dan M. Dallas Burnett dalam bukunya Tehnique for Effective Communication, menyatakan bahwa yang menjadi tujuan sentral strategi komunikasi meliputi to secure understanding, to establish acceptance, dan to motive action. Artinya bahwa dalam kegiatan komunikasi seorang komunikator harus memastikan pesan apakah sampai kepada


(10)

Universitas Sumatera Utara

komunikannya, setelah itu dibina dan didorong untuk melakukan sesuatu baik mengubah ataupun melanjutkan apa yang diinginkan komunikator.

Strategi tersebut harus memperhatikan beberapa hal berikut ini: • Tujuan

• Sasaran • Pesan

• Instrumen dan Kegiatan • Sumber daya

• Skala Waktu

• Evaluasi dan Perbaikan

Seperti halnya dengan strategi dalam bidang manapun, strategi komunikasi harus didukung oleh teori, sebab teori merupakan pengetahuan berdasarkan pengalaman yang sudah diuji kebenarannya. Banyak teori komunikasi yang sudah dikemukakan oleh para ahli, tetapi untuk strategi komunikasi yang dijadikan pendukung strategi tersebut adalah apa yang dikemukakan oleh Harold Lasswell. Cara untuk menerangkan kegiatan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?”.

Komunikasi merupakan suatu proses yang rumit. Dalam rangka menyusun strategi komunikasi diperlukan suatu pemikiran dengan memperhitungkan faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor-faktor-faktor penghambat.

a. Mengenali Sasaran Komunikasi

Apa pun tujuannya, metodenya, dan banyaknya sasaran, pada diri komunikan perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:

1. Faktor Kerangka Referensi

Kerangka referensi seseorang terbentuk dalam dirinya sebagai hasil dari panduan pengalaman, pendidikan, gaya hidup, norma hidup, status sosial, ideologi, cita-cita dan sebagainya.

2. Faktor situasi dan kondisi

Yang dimaksudkan dengan situasi disini ialah situasi komunikasi pada saat komunikan akan menerima pesan yang kita sampaikan. Situasi yang bisa menghambat jalannya komunikasi dapat diduga


(11)

Universitas Sumatera Utara

sebelumnya, dapat juga dating tiba-tiba pada saat komunikasi dilancarkan. Kondisi disini adalah state of personality komunikan, yaitu keadaan fisik dan psikis komunikan pada saat ia menerima pesan komunikasi. Disini faktor manusiawi sangat penting.

b. Pemilihan Media Komunikasi

Media komunikasi banyak jumlahnya, mulai dari yang tradisional sampai yang modern yang dewasa ini banyak dipergunakan. Kita bisa menyebutnya kentongan, bedug, pagelaran kesenian, surat, papan pengumuman, telepon, telegram, pamflet, poster, spanduk, surat kabar, majalah, film, radio, dan televisi yang pada umumnya dapat diklasifikasikan sebagai media tulisan atau cetakan, visual, aural, dan audio-visual.

c. Pengkajian Tujuan Pesan Komunikasi

Pesan komunikasi (message) mempunyai tujuan tertentu. Ini menentukan teknik yang harus diambil, apakah itu teknik informasi, teknik persuasi, atau teknik instruksi. Isi pesan komunikasi bisa satu, tetapi lambang-lambang yang dipergunakan bisa macam-macam. Lambang yang bisa dipergunakan untuk menyampaikan isi komunikasi ialah bahasa, gambar, warna, kial (gesture), dan sebagainya.

d. Peranan Komunikator dalam komunikasi − Daya tarik Sumber

Seorang komunikator akan berhasil dalam komunikasi, akan mampu mengubah sikap, opini, dan perilaku komunikan melalui mekanisme daya tarik jika pihak komunikan merasa bahwa komunikator ikut serta dengannya. Dengan lain perkataan, komunikan merasa ada kesamaan antara komunikator dengannya sehingga komunikan bersedia taat pada isi pesan yang dilancarkan oleh komunikator. − Kredibilitas Sumber

Faktor kedua yang bisa menyebabkan komunikasi berhasil ialah kepercayaan komunikan pada komunikator. Kepercayaan ini banyak


(12)

Universitas Sumatera Utara

bersangkutan dengan profesi atau keahlian yang dimiliki seorang komunikator. Berdasarkan factor kedua tersebut, seorang komunikator dalam menghadapi komunikan harus bersikap empatik (empathy), yaitu kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kepada peranan orang lain. Seorang komunikator harus bersikap empatik ketika ia berkomunikasi dengan komunikan yang sedang sibuk, marah, bingung, sedih, sakit, kecewa, dan sebagainya (Effendy, 2007: 35-39).

2.2.3. Komunikasi Antar Pribadi

Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin Communicatio, dan bersumber dari kata Communis yang berarti sama. Dalam hal ini adalah sama makna. Komunikasi menurut komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi satu dengan yang lainnya, yang pada gilirannya akan tiba saling pengertian yang dalam. Dari definisi ini juga dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan suatu proses pertukaran pesan antar komunikan dan komunikator dimana menciptakan suatu kesepahaman bersama (Roger dkk dalam Cangara, 2007: 20).

Komunikasi antarpribadi dapat terjadi dalam konteks satu komunikator dengan satu komunikan (komunikasi diadik: dua orang) atau satu komunikator dengan dua komunikan (komunikasi triadik: tiga orang). Lebih dari tiga orang biasanya dianggap komunikasi kelompok. Komunikasi antarpribadi dapat berlangsung secara tatap muka atau menggunakan media komunikasi antarpribadi (nonmedia massa), seperti telepon. Dalam komunikasi antarpribadi, komunikator relatif cukup mengenal komunikan, dan sebaliknya, pesan dikirim dan diterima secara stimutan dan spontan, relatif kurang terstruktur, demikian pula halnya dengan umpan balik yang dapat diterima dengan segera. Dalam tataran antarpribadi, komunikasi berlangsung secara sirkuler, peran komunikator dan komunikan terus dipertukarkan, karenanya dikatakan bahwa kedudukan komunikator dan komunikan relative setara. Proses ini lazim disebut dialog, walaupun dalam konteks tertentu dapat juga terjadi monolog, hanya satu pihak


(13)

Universitas Sumatera Utara

yang mendominasi percakapan. Efek komunikasi antarpribadi paling kuat di antara tataran komunikasi lainnya. Dalam komunikasi antarpribadi, komunikator dapat mempengaruhi langsung tingkah laku (efek konatif) dari komunikannya, memanfaatkan pesan verbal dan nonverbal, serta segera merubah atau menyesuaikan pesannya apabila didapat umpan balik negatif (Vardiansyah, 2004:30-31).

Komunikasi interpersonal adalah “interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula”. Kebanyakan komunikasi interpersonal berbentuk verbal disertai ungkapan-ungkapan nonverbal dan dilakukan secara lisan. Cara tertulis diambil sejauh diperlukan, misalnya dalam bentuk memo, surat atau catatan.

Komunikasi interpersonal dengan masing-masing orang berbeda tingkat kedalaman komunikasinya, tingkat intensifnya, dan tingkat ekstensifnya. Komunikasi interpersonal antara dua orang kenalan tentu berbeda dari komunikasi interpersonal antarsahabat atau pacar. Berkat komunikasi itu mereka yang terlibat dapat semakin mengenal. Karena itu juga komunikasi dapat semakin mendalam sifatnya. Berkat komunikasi interpersonal, seorang kenalan pada dapat menjadi sahabat (Hardjana, 2003:85)

Komunikasi merupakan dasar interaksi antar manusia. Kesepakatan atau kesepahaman dibangun melalui sesuatu yang berusaha bisa dipahami bersama hingga interaksi berjalan dengan baik. Kegiatan komunikasi pada prinsipnya adalah aktivitas pertukaran ide atau gagasan. Secara sederhana, kegiatan komunikasi dipahami sebagai kegiatan menyampaikan dan penerimaan pesan dari pihak satu ke pihak yang lain dengan tujuan mencapai kesamaan pandangan atas ide yang dipertukarkan (Fajar, 2008: 30). Komunikasi (communication) adalah proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (Richard, 2009: 5).


(14)

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi antar pribadi atau yang sering disebut sebagai komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan orang (Wiryanto, 2004). Komunikasi interpersonal adalah “interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang, dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula (Hardjana, 2003: 85).

Selain itu, komunikasi interpersonal juga didefinisikan interaksi orang ke orang, dua arah, verbal dan non verbal.

Pribadi adalah individu yang berbeda satu dengan yang lainnya, perbedaan tersebut menyebabkan orang mengenal individu secara khas dan membedakannya dengan individu lainnya. Kualitas individu menentukan kekhasannya dalam hubungannya dengan individu lain, dan kekhasan tersebut akan menentukan kualitas komunikasinya (Bungin, 2006:258).

Saling berbagi informasi dan perasaan antara individu dengan individu atau antar individu didalam kelompok kecil (Febrina, 2008). Komunikasi interpersonal baik dua orang maupun tiga orang/lebih menyangkut saling berbagi informasi dan perasaan dan masing-masing anggota menyadari keberadaan orang lain, memiliki minat yang sama serta memiliki satu tujuan. Ada beberapa pendekatan dalam komunikasi antar pribadi (KAP) yakni pendekatan KAP yang didasarkan kepada:

1. Komponen-komponen utama

Bittne (1985:10) menerangkan bahwa komunikasi antar pribadi berlangsung bila pengirim menyampaikan informasi berupa kata-kata kepada penerima dengan menggunakan suara manusia (human voice). 2. Pengembangan

KAP dapat dilihat dari dua sisi sebagai perkembangan dari komunikasi interpersonal dan komunikasi pribadi atau intim. Oleh karena itu, derajat KAP berpengaruh terhadap keluasan dan kedalaman informasi sehingga merubah sikap.


(15)

Universitas Sumatera Utara

2.2.4. Ciri-ciri Komunikasi Antar Pribadi (KAP)

Berdasarkan definisi Komunikasi Antar Pribadi, Rogers mendefinisikan ciri-ciri KAP, yaitu:

1. Arus pesan dua arah

2. Konteks komunikasi dua arah 3. Tingkat umpan balik tinggi

4. Kemampuan mengatasi selektivitas tinggi

5. Kecepatan jangkauan terhadap khalayak relatif lambat 6. Efek yang terjadi perubahan sikap

Dalam bukunya Hardjana menjelaskan beberapa ciri-ciri dari komunikasi interpersonal, yaitu:

1. Komunikasi Interpersonal adalah Verbal dan Nonverbal

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk verbal dan nonverbal. Dalam komunikasi itu, seperti pada komunikasi umumnya, selalu mencakup dua unsure pokok: isi pesan dan bagaimana isi itu dikatakan atau dilakukan, baik secara verbal dan juga nonverbal. Untuk efektifnya, kedua unsure itu sebaiknya diperhatikan dan dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi, dan keadaan penerima pesannya.

2. Komunikasi Interpersonal Mencakup Perilaku Tertentu

Perilaku dalam komunikasi meliputi perilaku verbal dan nonverbal. Ada tiga perilaku dalam komunikasi interpersonal:

a) Perilaku spontan (spontaneous behaviour) adalah perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa sensor serta revisi secara kognitif. Artinya, perilaku itu terjadi begitu saja. Jika verbal, perilaku spontan bernada asal bunyi. Misalnya, “hai”, “aduh” atau “hore”. Perilaku spontan nonverbal, misalnya meletakkan telapak tangan pada dahi waktu kita sadar telah berbuat keliru atau lupa, melambaikan tangan pada waktu berpapasan dengan teman, atau menggebrak meja dalam diskusi ketika kita tidak setuju atas pendapat orang.


(16)

Universitas Sumatera Utara

b) Perilaku menurut kebiasaan (script behaviour) adalah perilaku yang kita pelajari dari kebiasaan kita. Perilaku itu khas, dilakukan pada situasi tertentu, dan dimengerti orang. Misalnya, ucapan “selamat datang” kepada teman yang dating, “apa kabar” pada waktu berjumpa dengan teman, atau “selamat malam” pada waktu sebelum tidur. Dalam bentuk nonverbal, misalnya “berjabat tangan” dengan teman, “mencium tangan” orang tua, “memeluk” kekasih. Perilaku semacam itu sering kita lakukan tanpa terlalu mempertimbangkan artinya dan terjadi secara spontan karena sudah mendarahdaging dalam diri kita.

c) Perilaku sadar (contrived behaviour) adalah perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi yang ada. Perilaku itu dipikirkan dan dirancang sebelumnya, dan disesuaikan dengan orang yang akan dihadapi, urusan yang harus diselesaikan, dan situasi serta kondisi yang ada.

3. Komunikasi Interpersonal adalah Komunikasi yang Berproses Pengembangan

Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang berproses pengembangan (developmental process). Komunikasi interpersonal berbeda-beda tergantung dari tingkat hubungan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi, pesan yang dikomunikasikan dan cara pesan dikomunikasikan. Komunikasi itu berkembang berawal dari saling pengenalan yang dangkal, berlanjut makin mendalam, dan berakhir dengan saling pengenalan yang amat mendalam. Tetapi juga dapat putus, sampai akhirnya saling melupakan.

4. Komunikasi Interpersonal Mengandung Umpan Balik, Interaksi, dan Koherensi

Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi tatap muka. Karena itu, kemungkinan umpan balik (feedback) besar sekali. Dalam komunikasi itu, penerimaan pesan dapat langsung menanggapi dengan menyampaikan umpan balik. Dengan demikian, diantara pengirim dan


(17)

Universitas Sumatera Utara

penerima pesan terjadi interaksi (interaction) yang satu mempengaruhi yang lain, dan kedua-duanya saling mempengaruhi dan memberi serta menerima dampak. Pengaruh itu terjadi pada dataran kognitif-pengetahuan, efektif-perasaan, dan behavioral-perilaku. Semakin berkembang komunikasi interpersonal itu, semakin intensif umpan balik dan interaksinya karena peran pihak-pihak yang terlibat berubah peran dari penerima pesan menjadi pemberi pesan, dan sebaliknya dari pemberi pesan menjadi penerima pesan. Agar komunikasi interpersonal itu berjalan secara teratur, dalam komunikasi itu pihak-pihak yang terlibat saling menanggapi sesuai dengan isi pesan yang diterima. Dari sini terjadilah koherensi dalam komunikasi baik antara pesan yang disampaikan dan umpan balik yang diberikan, maupun dalam keseluruhan komunikasi.

5. Komunikasi Interpersonal Berjalan Menurut Peraturan Tertentu

Agar berjalan dengan baik, maka komunikasi interpersonal hendaknya mengikuti peraturan (rules) tertentu. Peraturan itu ada yang intrinsic dan ada yang ekstrinsik. Peraturan intrinsic adalah peraturan yang dikembangkan oleh masyarakat untuk mengatur cara orang harus berkomunikasi satu sama lain. Peraturan ini menjadi patokan perilaku dalam komunikasi interpersonal. Karena ditetapkan oleh masyarakat, patokan itu bersifat khas untuk masing-masing, masyarakat, budaya, dan bangsa. Peraturan intrinsik misalnya, meski sama-sama sopan, hormat, menghargai, tetapi bentuknya berbeda diantara orang Jawa dan Orang Jepang. Peraturan ekstrinsik adalah peraturan yang ditetapkan oleh situasi atau masyarakat. Peraturan ekstrinsik oleh situasi, misalnya pada waktu melayat, nada bicara dalam komunikasi interpersonal berbeda dengan ketika pesta; komunikasi interpersonal dirumah ibadat berbeda dengan komunikasi interpersonal di lapangan bola. Peraturan ekstrinsik oleh masyarakat, misalnya komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh dua orang yang sedang pacaran


(18)

Universitas Sumatera Utara

dirumah salah satu seorang pacar tidak berlangsung melebihi pukul 9 malam. Peraturan ekstrinsik sering menjadi pembatasan komunikasi. 6. Komunikasi Interpersonal adalah Kegiatan Aktif

Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang aktif, bukan pasif. Komunikasi interpersonal bukan hanya komunikasi dari pengirim kepada penerima pesan dan sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara pengirim dan penerima pesan. Komunikasi interpersonal bukan sekadar serangkaian rangsangan-tanggapan, stimulus-respon, tetapi serangkaian proses saling penerimaan, penyerapan, dan penyampaian tanggapan yang sudah diolah oleh masing-masing pihak. Dalam komunikasi interpersonal, pihak-pihak yang berkomunikasi tidak hanya saling bertukar produk tetapi terlibat dalam proses untuk bersama-sama membentuk dan menghasilkan produk. Karena itu, pihak-pihak yang melakukan komunikasi interpersonal bertindak aktif, baik waktu menyampaikan pesan maupun pada waktu menerima pesan. Maka, pihak yang menyampaikan pesan harus berusaha sebaik-baiknya agar pesan dapat sampai dan dimengerti dengan pas, dan mengirimkannya melalui media yang sesuai. Sedang pihak penerima pesan harus berusaha mendengarkan dan mengerti baik-baik pesan yang didengarkannya serta menyampaikan umpan balik dengan tepat mengenai isi dan caranya.

7. Komunikasi Interpersonal Saling Mengubah

Komunikasi interpersonal juga berperan untuk saling mengubah dan mengembangkan. Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat komunikasi dapat saling member inspirasi, semangat, dan dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan dan sikap yang sesuai dengan topic yang dibahas bersama. Karena itu, komunikasi interpersonal dapat merupakan wahana untuk saling belajar dan mengembangkan wawasan, pengetahuan, dan kepribadian (Hardjana, 2003: 85-90).


(19)

Universitas Sumatera Utara

2.2.5 Efektifitas KAP Sebagai Sebuah Strategi Komunikasi

KAP merupakan komunikasi paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang. Oleh karena itulah, KAP dipandang sebagai sebuah strategi dalam mencapai tujuan khususnya dalam merubah perilaku maupun watak seseorang.

Menurut Kumar (2000: 121-122), lima ciri efektifitas KAP sebagai berikut: 1. Keterbukaan (openess)

2. Empati (empathy)

3. Dukungan (supportiveness) 4. Rasa positif (positiveness) 5. Kesetaraan (equality)

Selain itu, KAP sebagai sebuah strategi juga dilihat dari 2 teori yang dinamakan, Teori penyimpulan (inference theory), orang dapat mengamati atau mengidentifikasi perilakunya sendiri. Teori pengambilan Peran (role taking theory), seseorang harus lebih dulu mengenal dan mengerti perilaku orang lain. Kedua teori ini akan melahirkan proses empati komunikasi yang meliputi:

1. Kelayakan (decentering)

Bagaimana individu memusatkan perhatian kepada orang lain dan mempertimbangkan apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain tersebut.

2. Pengambilan peran (role taking)

Mengidentifikasi orang lain ke dalam dirinya, menyentuh kesadaran diri melalui orang lain.

3. Empati komunikasi (emphatic communication)

Meliputi penyampaian perasaan, kejadian, persepsi atau proses yang menyatakan tidak langsung perubahan sikap/perilaku penerima.

2.2.6 Psikologi Komunikasi

Kata atau istilah komunikasi (communication) berasal dari Bahasa Latin communicates atau communication atau communicare yang berarti berbagi atau menjadi milik bersama. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus


(20)

Universitas Sumatera Utara

bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. Menurut Webster New Collogiate Dictionary komunikasi adalah suatu proses pertukaran informasi diantara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku. Ada beberapa definisi tentang komunikasi yang dikemukakan para ahli:

1. Carl Hovland, Janis & Kelley

Komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak)

2. Bernard Berelson & Gary A. Steiner

Komunikasi adalah satu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian, dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka dan lain-lain.

3. Harold Lasswell

Komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa mengatakan apa dengan saluran apa, kepada siapa, dan dengan akibat apa atau hasil apa. (who says what in which channel to whom and with what effect).

4. Barnlund

Komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat ego.

5. Weaver

Komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiraan seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya.

6. Gode

Komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari semula yang dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki oleh dua orang atau lebih.


(21)

Universitas Sumatera Utara

Definisi Hovland Cs memberikan penekanan bahwa tujuan komunikasi adalah mengubah atau membentuk perilaku. Definisi Berelson dan Steiner menekankan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian, yaitu penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian dan lain-lain.

− Definisi Lasswell secara eksplisit dan kronologis menjelaskan tentang 5 komponen yang terlibat dalam komunikasi, yaitu:

− Siapa (pelaku komunikasi pertama yang mempunyai inisiatif atau sumber)

− Mengatakan apa (isi informasi yang disampaikan)

− Kepada siapa (pelaku komunikasi lainnya yang dijadikan sasaran penerima)

− Melalui saluran apa (alat/saluran penyampaian informasi) − Dengan akibat/hasil apa (hasil yang terjadi pada diri penerima)

Definisi Lasswell ini juga menunjukkan bahwa komunikasi itu adalah suatu upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan. Berdasarkan definisi Lasswell ini dapat diturunkan 5 unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu:

1. Sumber (source), sering disebut juga pengirim (sender), penyandi (encoding), komunikator, pembicara (speaker) atau originator. Sumber adalah pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber boleh jadi seorang individu, kelompok, organisasi, perusahaan, atau negara.

2. Pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan atau nonverbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan, atau maksud sumber tersebut. Pesan mempunyai 3 komponen, yaitu makna, digunakan untuk menyampaikan pesan, dan bentuk atau organisasi pesan.

3. Saluran atau media, yaitu alat atau wahana yang digunakan sumber untuk menyampaikan pesannya kepada penerima. Pada dasarnya saluran komunikasi manusia adalah 2 saluran, yaitu cahaya dan suara.


(22)

Universitas Sumatera Utara

Saluran juga merujuk pada cara penyampaian pesan, apakah langsung (tatap muka) atau lewat media (cetak dan elektronik).

4. Penerima (receiver) sering juga disebut sasaaran/tujuan (destination), komunikate, penyandi balik (decoder) atau khalayak, pendengar (listener), penafsir (interpreter), yaitu orang yang menerima dari sumber. Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola piker, dan perasaan, penerima pesan menafsirkan seperangkat symbol verbal dan nonverbal yang ia terima. 5. Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan

tersebut, misalnya terhibur, menambah pengetahuan, perubahan sikap, atau bahkan perubahan perilaku. (Riswandi, 2013:1-3)

Dengan komunikasi orang dapat membentuk saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan ilmu pengetahuan, dana melestarikan peradaban. Begitupun sebaliknya dengan komunikasi juga bisa menimbulkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, menghalangi kemajuan, dan menghambat pemikiran. Begitu penting dan begitu akrab komunikasi dengan diri kita sehingga kita terkadang merasa tidak perlu lagi mempelajari komunikasi.

Komunikasi ada dimana-mana. Dirumah misalnya, ketika anggota-anggota keluarga berbicang dimeja makan. Di kampus, ketika mahasiswa-mahasiswa mendiskusikan hasil tentamen. Di kantor, ketika pimpinan mengadakan pembagian tugas ke bawahannya. Di Mesjid, ketika Muballigh berkhotbah. Atau ditaman-taman misalnya, ketika seorang pencinta mengungkapkan rindunya. Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan kita. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa 70% waktu bangun kita digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi menentukan kualitas hidup manusia.

Kualitas hidup manusia, hubungan manusia dengan sesama manusia dapat ditingkatkan dengan memahami dan memperbaiki komunikasi yang dilakukan. Orang dapat mempelajari berbagai tinjauan tentang komunikasi, tetapi penghampiran psikologi adalah yang paling menarik. Psikologi menukik ke dalam proses yang mempengaruhi perilaku dalam komunikasi, membuka


(23)

“topeng-Universitas Sumatera Utara

topeng” manusia, dan menjawab pertanyaan ”mengapa”. Psikologi melihat komunikasi sebagai perilaku manusiawai, menarik, dan melibatkan siapa saja dan dimana saja.

Komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin communis yang berarti ‘sama’. Communico, communication atau communicare yang berarti membuat sama (make to common). Secara sederhana komunikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan. Oleh sebab itu, komunikasi tergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (communication depends on our ability to understand one another).

Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Akan tetapi, komunikasi hanya akan efektif apabila pesan yang disampaikan dapat ditafsirkan sama oleh penerima pesan tersebut.

Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang-lambang yang bermakna bagi kedua pihak, dalam situasi yang tertentu komunikasi menggunakan media tertentu untuk merubah sikap atau tingkah laku seorang atau sejumlah orang sehingga ada efek tertentu yang diharapkan (Effendy, 2000:13)

Komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan, informasi dari seseorang ke orang lain (Handoko,2002:30). Tidak ada kelompok yang dapat eksis tanpa komunikasi: pentransferan makna diantara anggota-anggotanya. Hanya lewat pentransferan makna dari satu orang ke orang lain informasi dan gagasan dapat dihantarkan. Tetapi komunikasi itu lebih dari sekedar menanamkan makna tetapi harus juga dipahami (Robbins, 2002: 310)

Everett M. Rogers mendefinisikan komunikasi sebagai proses yang didalamnya terdapat suatu gagasan yang dikirimkan dari sumber kepada penerima dengan tujuan untuk merubah perilakunya. Pendapat senada dikemukakan oleh Theodore Herbert, yang mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses yang didalamnya menunjukkan arti pengetahuan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, biasanya dengan maksud mencapai beberapa tujuan khusus.


(24)

Universitas Sumatera Utara

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal (Khairani, 2015: 4-7).

Psikologi berasal dari perkataan Yunani psyche yang artinya jiwa, dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologi (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya, atau disebut ilmu jiwa.

Psikologi sendiri mempunyai banyak pengertian, diantaranya:

1. Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, psikologi adalah ilmu yang berkaitan dengan proses-proses mental baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku.

2. Menurut Ernest Hilgert (1957) psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan lainnya.

3. Menurut George A. Miller psikologi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan tingkah laku.

4. Menurut Clifford T. Morgan psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan.

5. Menurut Chaplin psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia dan hewan, juga penyelidikan terhadap organism dalam segala ragam dan kerumitannya ketika merespon alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan.

6. Menurut Dr. Singgih Gunarsa, psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.

7. Menurut Plato dan Aristoteles, psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakekat jiwa serta prosesnya. (Riswandi, 2013: 4-5)


(25)

Universitas Sumatera Utara

James Drever “Psikologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan dapat didefinisikan dalam berbagai variasi, menurut metode khusus atau lapangan ilmu yang dipelajari oleh ahli psikologi yang membuat definisi itu”. Diantara para sarjana yang mengemukakan definisi psikologi, antara lain:

Robert S.Woodworth and Donald G Marquis “Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas individu”.

Garden Murphy “Psikologi adalah ilmu yang mempelajari respons yang diberikan oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya”.

Ernes Hilgert “Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dan makhluk lainnya”.

Sarlito Wirawan Sarwono “Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya dalam hubungan dengan lingkungannya” (Khairani, 2015: 3)

Kamus psikologi, Dictionary Of Behavioral Science menyebutkan 6 definisi komunikasi sebagai berikut:

1. Komunikasi adalah penyampaian perubahan energi dari suatu tempat ke tempat yang lain seperti dalam sistem syaraf atau penyampaian gelombang-gelombang suara.

2. Komunikasi adalah penyampaian atau penerimaan signal atau pesan oleh organisme.

3. Komunikasi adalah pesan yang disampaikan

4. Komunikasi adalah proses yang dilakukan satu sistem untuk mempengaruhi sistem yang lain melalui pengaturan signal-signal yang disampaikan.

5. Komunikasi adalah pengaruh satu wilayah pribadi pada wilayah persona yang lain sehingga perubahan dalam satu wilayah menimbulkan perubahan yang berkaitan pada wilayah yang lain.

6. Komunikasi adalah pesan pasien kepada pemberi terapi dalam psiko-terapi.


(26)

Universitas Sumatera Utara

Kata komunikasi dipergunakan sebagai proses, sebagai pesan, sebagai pengaruh, atau secara khusus sebagai pesan pasien dalam psikoterapi. Psikologi mencoba menganalisis seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Jadi psikologi menyebut komunikasi pada penyampaian energy dari alat-alat indera ke otak, peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi, pada proses saling mempengaruhi diantara berbagai sistem dalam diri organisme dan diantara organisme.

Psikologi juga tertarik pada komunikasi diantara individu; bagaimana pesan dari satu individu menjadi stimulus yang menimbulkan respon pada individu lain. Psikologi bahkan meneliti lambang-lambang yang disampaikan. Psikologi meneliti proses mengungkapkan pikiran menjadi lambang, bentuk-bentuk lambang, dan pengaruh lambang terhadap perilaku manusia. Pada saat pesan sampai pada diri komunikator, psikologi melihat ke dalam proses penerimaan pesan, menganalisa faktor-faktor personal dan situasional yang mempengaruhinya, dan menjelaskan berbagai corak komunikan ketika sendirian atau dalam kelompok.

Ruang lingkup psikologi komunikasi adalah: 1. Sistem komunikasi interpersonal

Dalam sistem komunikasi interpersonal, antara lain membahas tentang karakteristik manusia komunikan, faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya, sistem memori dan berpikir dan sifat-sifat psikologi komunikator

2. Komunikasi interpersonal

Dalam sistem komunikasi interpersonal, antara lain dibahas tentang proses persepsi interpersonal, konsep diri, atraksi interpersonal dan hubungan interpersonal

3. Sistem komunikasi kelompok

Dalam sistem komunikasi kelompok, antara lain dibahas tentang kelompok dan pengaruhnya pada perilaku komunikasi, faktor –faktor yang mempengaruhi keefektifan kelompok dan bentuk-bentuk komunikasi kelompok.


(27)

Universitas Sumatera Utara

4. Sistem komunikasi massa

Dalam komunikasi massa, antara lain dibahas tentang motivasi atau faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi individu terhadap media massa, efek komunikasi massa, dan psikologi komunikator.

Ilmu psikologi komunikasi pada dasarnya dibangun berdasarkan berbagai teori yang berupaya menjelaskan bagaimana individu berinteraksi satu sama lain berdasarkan tinjauan psikologi. Dengan perkataan lain, psikologi komunikasi adalah ilmu yang mempelajari proses komunikasi antar manusia dengan menggunakan psikologi sebagai sudut pandang/perspektif dengan tujuan untuk mencapai komunikasi efektif. (Riswandi, 2013: 5-7)

George A. Miller membuat definisi psikologi yang mencakup semuanya: Psychology is the science that attempts to describe, predict, and control mental and behavioral event. Dengan demikian, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi. Peristiwa mental adalah “internal meditation of stimuli”, sebagai akibat berlangsungnya komunikasi. Dan psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi. Psikologi komunikasi juga melihat bagaimana respon yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respon yang terjadi pada masa yang akan datang (Khairani, 2015: 9).

2.2.7 Anak Autis

Autisme (autism), gangguan autistic, adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak. Autisme bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup. Kata autisme berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti “self”. Istilah ini digunakan pertama kali pada tahun 1906 oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler, untuk merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia (autisme adalah salah satu dari “empat A” Bleuler). Cara berpikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri. Pada tahun 1943, psikiater lain, Leo Kanner, menerapkan diagnosis “autisme infantil awal” kepada


(28)

Universitas Sumatera Utara

sekelompok anak yang terganggu yang tampaknya tidak dapat berhubungan dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. Berbeda dari anak-anak dengan retardasi mental, anak-anak ini tampaknya menutup diri dari setiap masukan dunia luar, menciptakan semacam “kesendirian autistik” (Kanner, 1943)

Mereka yang bergerak dibidang kesehatan saat ini yakin bahwa autisme lebih sering muncul daripada yang diyakini dahulu, yaitu menyerang sekitar 2 sampai 20 orang dari 10.000 orang dalam populasi (APA, 2000; Fox, 2000). Gangguan yang lebih banyak terjadi pada anak laki-laki ini umumnya mulai tampak pada anak usia 18-30 bulan (Rapin, 1997). Namun demikian, barulah pada usia sekitar 6 tahun rata-rata anak yang mengalami gangguan ini untuk pertama kali memperoleh diagnosis (Fox, 2000). Keterlambatan dalam diagnosis dapat merugikan, karena anak-anak autistik umumnya akan menjadi lebih baik bila memperoleh diagnosis dan penanganan lebih awal (Fox, 2000).

Anak-anak autistik sering digambarkan oleh orang tua mereka sebagai “bayi yang baik” di awal masa balita. Ini biasanya berarti mereka tidak banyak menuntut. Namun, setelah mereka berkembang, mereka mulai menolak afeksi fisik seperti pelukan dan ciuman. Perkembangan bahasanya berada di bawah standar. Ciri-ciri klinis dari gangguan ini muncul sebelum usia 3 tahun (APA, 2000). Autisme merupakan gangguan yang empat sampai lima kali lebih sering terdapat pada anak laki-laki dibanding anak perempuan (APA, 2000) (dalam buku Nevid, 2005:145-146).

Anak autis seringkali ditemukan kemiripan dengan anak tunagrahita, karena umumnya anak autis sering didiagnosa dari karakteristik perilaku yang nampak dan tidak jarang guru SLB sulit untuk membedakan antara anak autis dengan anak tunagrahita. Untuk memudahkan pemahaman tentang anak autis berikut ini akan dijelaskan beberapa pendapat yang mendeskripsikan tentang pengertian anak autis sebagai berikut:

1. Leo Kanner dalam Handoyo (2004:12) menyatakan “autisma berasal dari kata auto yang berarti sendiri, penyandang autis seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri”. Berdasarkan pendapat Kanner ini banyak guru


(29)

Universitas Sumatera Utara

dan orangtua menganggap anak yang tidak dapat melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar diidentikkan sebagai anak autis, padahal tidak sedikit anak tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan disebabkan oleh masalah-masalah yang bersifat psikologis.

2. Bonny Danuatmaja (2003:2) menjelaskan bahwa “autis merupakan suatu kumpulan sindrom (gejala-gejala) akibat kerusakan syaraf, dan mengganggu perkembangan anak”.

3. Mif Baihaqi Dan Sugiarmin (2005:135), menjelaskan “autis merupakan suatu gangguan yang kompleks dan berbeda-beda dari yang ringan sampai berat dan mengalami tiga bidang kesulitan, yaitu komunikasi, imajinasi, sosialisasi”.

4. Sumarna (2004:3) mendeskripsikan pengertian autis sebagai berikut “autis merupakan bagian dari anak berkelainan dan mempunyai tingkah laku yang khas, memiliki pikiran yang terganggu dan terpusat pada diri sendiri serta hubungan yang miskin terhadap realitas eksternal”.

5. Melly Budiman dalam Sumarna (2004:4) menjelaskan “autis adalah gangguan perkembangan pada anak, oleh karena itu diagnosis ditegakkan dari gejala-gejala yang nampak dan menunjukkan adanya penyimpangan dari perkembangan yang normal sesuai umurnya”.

6. Rudi Sutadi (2002:1) menyatakan “autis adalah gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan bereaksi (berhubungan) dengan orang lain, karena penyandang autis tidak mampu berkomunikasi verbal maupun non-verbal.

Dari kesimpulan diatas, autis dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: “anak yang mengalami gangguan perkembangan yang khas mencakup persepsi, linguistik, kognitif, komunikasi dari yang ringan sampai yang berat, dan seperti hidup dalam dunianya sendiri, ditandai dengan ketidakmampuan berkomunikasi secara verbal dan non-verbal dengan lingkungan eksternalnya”(dalam buku Koswara, 2013: 10-11).


(30)

Universitas Sumatera Utara

Secara umum anak autis dari sisi kecerdasan dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok besar, yaitu anak dengan kecerdasan rata-rata, dibawah rata-rata, dan diatas rata-rata. Di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang menangani anak autis, umumnya terdiri dari anak-anak autis yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata atau lebih dikenal anak autis dengan hambatan kecerdasan. Dengan melihat kondisi aktual anak autis, anak autis dalam layanan pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu layanan pembelajaran bagi anak autis dengan hambatan kecerdasan dan layanan pembelajaran anak autis tanpa hambatan kecerdasan (Koswara, 2013:2).

Anak autis memiliki karakteristik yang khas bila dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus lainnya. Secara umum anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Tidak memiliki kontak mata/kontak mesra dengan orang lain atau lingkungannya. Yang dimaksud dengan kontak mata atau kontak mesra, anak autis umumnya tidak dapat melakukan kontak mata atau menatap guru, orang tua atau lawan bicaranya ketika melakukan komunikasi. b. Selektif berlebihan terhadap rangsang, anak autis diantaranya sangat

selektif terhadap rangsang, seperti tidak suka dipeluk, merasa seperti sakit ketika dibelai guru atau orangtuanya. Beberapa anak ada yang sangat terganggu dengan warna-warna tertentu.

c. Respon stimulasi diri yang mengganggu interaksi sosial. Anak autis seringkali melakukan atau menunjukkan sikap seperti mengepak-ngepakkan tangan, memukul-mukul kepala, menggigit jari tangan ketika merasa kesal atau panik dengan situasi lingkungan yang baru dimasukinya

d. Ketersendirian yang ekstrim. Anak autis umumnya senang bermain sendiri, hal ini karena anak tidak melakukan interaksi sosial dengan lingkungannya. Anak akan menjadi lebih parah bila mereka dibiarkan bermain sendiri.

e. Melakukan gerakan tubuh yang khas, seperti menggoyang-goyangkan tubuh, jalan berjinjit, menggerakkan jari ke meja.


(31)

Universitas Sumatera Utara

Dalam kemampuan komunikasi dan bahasa anak autis memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Ekspresi wajah yang datar, pada beberapa anak seringkali guru dan orangtua sangat sulit membedakan apakah anak sedang merasa senang, sedih ataupun marah.

b. Tidak menggunakan bahasa/isyarat tubuh. c. Jarang sekali memulai komunikasi.

d. Tidak meniru aksi atau suara e. Bicara sedikit atau tidak ada.

f. Membeo kata-kata kalimat atau nyanyian. g. Intonasi ritme vokal yang aneh.

h. Tampak tidak mengerti arti kata.

i. Mengerti dan menggunakan kata secara terbatas. j. Pemahaman bahasa kurang.

k. Tidak melakukan kontak mata saat bicara (Koswara, 2013: 12-13) Ciri autisme yang paling menonjol adalah kesendirian yang amat sangat. Ciri-ciri lain mencakup masalah dalam bahasa, komunikasi, dan perilaku ritualistik atau stereotip. Anak dapat pula tidak bicara, atau bila terdapat keterampilan berbahasa, biasanya digunakan secara tidak lazim seperti dalam ekolalia (mengulang kembali apa yang didengar dengan nda suara tinggi dan monoton); penggunaan kata ganti orang secara terbalik (menggunakan “kamu” atau “dia”, bukan “saya”); menggunakan kata-kata yang hanya dimengerti artinya oleh mereka yang kenal dekat dengan si anak; dan kecenderungan untuk meninggikan nada suara diakhir kalimat, seolah-olah mengajukan pertanyaan. Dapat pula hendaya komunikasi nonverbal, misalnya anak autistik tidak dapat melakukan kontak mata atau menunjukkan ekspresi wajah. Mereka juga berespons secara lambat terhadap orang dewasa yang berusaha mendapatkan perhatian mereka, itu juga jika mereka mau memperhatikan (Leekam & Lopez, 2000). Walaupun mereka tidak responsif terhadap orang lain, para peneliti menemukan bahwa mereka dapat memperlihatkan emosi-emosi yang kuat,


(32)

Universitas Sumatera Utara

terutama emosi negatif seperti marah, sedih, dan takut (Capps dkk., 1993; Kasari dkk., 1993).

Ciri utama dari autisme adalah gerakan stereotip berulang yang tidak memiliki tujuan – berulang-ulang memutar benda, mengepakkan tangan, berayun kedepan dan kebelakang dengan lengan memeluk kaki. Sebagian anak autistik menyakiti diri sendiri, bahkan saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin membenturkan kepala, menampar wajah, menggigit tangan dan pundak, atau menjambak rambut mereka. Mereka dapat pula menjadi tantrum atau merasa panik secara tiba-tiba. Ciri lain dari autisme adalah menolak perubahan pada lingkungan – ciri yang diberi istilah “penjagaan kesamaan”. Bila ada objek-objek yang dikenal dan digeser dari tempatnya, walaupun sedikit, anak autistik dapat menjadi tantrum atau menangis terus-menerus sampai objek tersebut dikembalikan pada tempatnya. Anak autistik dikuasai oleh ritual (Nevid, 2005: 146-147).

Masalah belajar pada anak autis sangat kompleks dan luas, dimana satu masalah dapat menjadi pencetus atau member pengaruh pada masalah lainnya. Terdapat tiga masalah besar dalam belajar yang dihadapi anak autis, yaitu: 1) Komunikasi, 2) Interaksi sosial, 3) Perilaku. Masalah komunikasi bagi anak autis dalam belajar akan terus menjadi masalah anak, apabila tidak dilakukan intervensi sejak dini. Masalah komunikasi ini akan terus menjadi masalah anak khususnya dalam berinteraksi sosial dengan lingkungan dimana anak tumbuh dan berkembang. Proses belajar/pembelajaran merupakan proses interaksi sosial antara anak sebagai peserta didik dengan guru ataupun orangtua. Kegagalan dalam melakukan interaksi dalam proses pembelajaran umumnya berdampak pada masalah perilaku anak di kelas, baik untuk anak itu sendiri maupun teman lain di kelasnya. Kemampuan dan keberhasilan anak autis dalam melakukan interaksi sosial sangat ditentukan kemampuan anak melakukan komunikasi.

Perilaku autis umumnya disebabkan oleh keterbatasan anak dalam melakukan interaksi sosial atau komunikasi. Perilaku/sikap anak sering juga digunakan sebagai alat komunikasi anak dalam berkomunikasi dan breinteraksi dengan lingkungannya, misalnya anak menarik-narik tangan orang tua atau


(33)

Universitas Sumatera Utara

gurunya ketika menginginkan sesuatu, atau anak memberikan piring pada ibunya ketika meminta makan dan perilaku lainnya yang sangat personal dan hanya dapat dipahami oleh lingkungan terdekatnya. Perilaku yang dimunculkan anak seperti dijelaskan diatas sesungguhnya merupakan peluang bagi orang tua dan guru untuk memulai pembelajaran komunikasi dengan anak. Banyak guru dan orangtua membuang peluang tersebut, karena tidak sabar dan langsung memberikan benda atau apa yang diinginkan anak, sehingga anak setelah mendapat apa yang diinginkannya kembali masuk pada dunianya sendiri (Koswara, 2013:14-16).

Pada komunikasi dengan anak autis seorang guru harus mengembangkan kemampuan tidak hanya bicara, tetapi perlu dikembangkan kemampuan anak dalam mengekspresikan apa yang dikomunikasikannya dengan gerakan tangan, ekspresi wajah, dan gerakan tubuh yang lain untuk menegaskan apa yang dikomunikasikan. Komunikasi bagi anak autis lebih ditekankan pada bagaimana bentuk-bentuk pemancaran dan pengekspresian pesan secara baik dan serasi. Komunikasi yang harus dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi harus melibatkan unsur kemampuan berpikir anak sehingga simbol-simbol bahasa dapat dipahami anak dan lawan bicaranya yang dirumuskan dalam tatanan bunyi bahasa sehingga terangkai menjadi jalinan kata dan kalimat yang baik serta bermakna bagi anak dan lawan bicaranya (Koswara, 2013:27-28).

Anak autis umumnya mengalami kesulitan dalam pragamatik atau mengalami kesulitan menginterpretasikan bahasa dalam konteks sosial, fisik maupun linguistik. Anak autis yang mengalami kesulitan dalam pragmatik, seperti yang dijelaskan Kanner (1946) dalam Kathleen An (2001:51) “anak autis tidak dapat memulai percakapan walaupun ia bisa berbicara, kalau sedang berbicara ia cenderung meminta objek atau mainan”. Pada anak nonverbal seringkali merespon pertanyaan dengan gambar, misalnya guru bertanya “ade mau apa?” anak menjawab dengan menunjukkan gambar kue, atau menunjuk pada objek tertentu. Guru dituntut mampu membantu anak merespon dalam komunikasi tidak hanya sebatas melakukan intervensi (Koswara, 2013:39).


(34)

Universitas Sumatera Utara

Secara umum penyandang autis menunjukkan gangguan komunikasi yang menyimpang dari anak-anak pada umumnya. Gangguan komunikasi tersebut dapat terlihat dalam bentuk keterlambatan bicara, tidak bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain, atau dapat bicara hanya dengan meniru saja (echolalia). Selain gangguan komunikasi anak autis juga umumnya menunjukkan gangguan interaksi dengan orang lain yang ada disekitar baik anak sebaya maupun orang dewasa (Koswara, 2013:43).

Kemampuan berbahasa merupakan proses paling kompleks diantara semua proses perkembangan manusia. Kemampuan berbahasa bersama kemampuan perkembangan pemecahan masalah visio motor merupakan petunjuk baik dari ada tidaknya gangguan intelegensi pada seorang anak. Perkembangan bahasa memerlukan fungsi reseptif dan ekspresif yang sejalan dan seimbang. Fungsi ekspresif merupakan kemampuan anak mengutarakan pikirannya dimulai dengan komunikasi nonverbal, komunikasi dengan ekspresi wajah atau mimic, gerakan tubuh dan akhirnya komunikasi dengan menggunakan kata-kata.

Selain bicara ekspresif, anak autis juga mempunyai kesulitan mengartikan ucapan orang lain, terutama yang bersifat abstrak. Anak autis seringkali salah mengartikan pertanyaan, komentar atau cerita yang panjang (Koswara, 2013:62-63).

2.2.8 Temper Tantrum

Secara tersirat, temper tantrum merupakan bagian proses eksplorasi, yaitu suatu tahap perkembangan melatih instrumen tubuh dalam menemukan atau memahami hal baru. Anggota tubuh yang dimiliki anak merupakan instrumen vital. Melalui aktivitasnya anak akan “mengeksperimenkan” secara total instrument tersebut (Puspa Swara, 2001: 25).

Pengertian temper tantrum adalah perilaku marah pada anak-anak prasekolah. Mereka mengekspresikan kemarahan mereka dengan berbaring dilantai, menendang, berteriak, dan kadang-kadang menahan nafas mereka. Tantrum yang alami, terjadi pada anak-anak yang belum mampu menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan rasa frustasi mereka, karena tidak terpenuhi


(35)

Universitas Sumatera Utara

keinginan mereka. Dikutip Colorado State University Extension, R.J. Fetsch and B. Jacobson mengatakan bahwa tantrum biasanya terjadi pada usia 2 sampai 3 tahun ketika anak-anak membentuk kesadaran diri. Balita belum cukup memahami kata “aku” dan “keinginan dirinya” tetapi sangat mudah untuk tahu bagaimana memuaskan apa yang diinginkan. Tantrum adalah hasil dari energi tinggi dan kemampuan yang tidak mencukupi dalam mengungkap keinginan atau kebutuhan “dalam bentuk kata-kata”.

Tantrum biasanya terjadi pada usia 2 dan 3 tahun, akan mulai menurun pada usia 4 tahun. Mereka biasanya mengalami ini dalam waktu 1 tahun. 23 sampai 83 persen dari anak usia 2 hingga 4 tahun pernah mengalami temper tantrum. Ada banyak sebab temper tantrum. Beberapa penyebab adalah indikator masalah keluarga: disiplin yang tidak konsisten, mengkritik terlalu banyak, orang tua terlalu protektif atau lalai, anak-anak tidak memiliki cukup cinta dan perhatian dari orangtua mereka, masalah dengan pernikahan, gangguan bermain, baik untuk masalah emosional orang tua, pertemuan orang asing, persaingan dengan saudara atau saudari, memiliki masalah dengan bicara, dan penyakit atau sakit. Penyebab umum lainnya termasuk karena rasa lapar atau lelah. (http://www.psikologizone. com/pengertian-sebab-dan-cara-mengatasi-temper-tantrum/065113939).

Setiap anak melewati tahap perkembangannya secara berbeda-beda. Kadangkala orangtua dan lingkungan tidak mengakomodasi kebutuhan psikologis anak secara tepat, sehingga amarah muncul sebagai reaksi ketidakpuasan yang berkepanjangan terhadap lingkungan. Temper tantrum yang biasa dijumpai pada anak balita dan balita berwujud amukan, jeritan, tangisan. Jika ini terjadi pada anak yang sudah pandai berbicara wujudnya dapat berupa kata-kata kasar, bahkan serangan fisik.

Temper tantrum yang terbentuk secara kondisional, misalnya karena si anak sering dipaksa makan pada saat ia sedang asyik bermain. Kemarahan yang awalnya timbul karena anak dihentikan dari aktivitas bermain, beralih pada situasi makan. Atau pada saat si kecil butuh kesempatan untuk membuktikan dirinya sudah mampu memanjat, orangtua justru menghambat gerak dan melarangnya. Selanjutnya, anak akan mengamuk jika merasa tidak atau kurang digubris.


(36)

Universitas Sumatera Utara

Demi mencegah kebiasaan ini, dibutuhkan pemahaman orang tua akan kebutuhan psikologis si kecil pada setiap tahap perkembangannya. Sejalan dengan itu orang tua tentu mesti membuat batasan yang dianggap perlu untuk melindungi anak dari hal-hal yang tidak diinginkan. Frekuensi amukan dapat dikurangi dengan menghindari pembatasan yang berlebihan terhadap kebebasan anak, tuntutan yang berlebihan, atau pemberian tugas diluar kemampuannya. Kurangi sikap sewenang-wenang, sebaiknya tidak menerapkan pendidikan yang kaku dirumah (Mulyanti, 2013:84-85).

Baik anak normal atau anak autis dapat mengalami temper tantrum. Temper tantrum ini biasanya dialami oleh anak-anak. Anak autis dapat menjadi tantrum atau merasa panik secara tiba-tiba. Bila ada objek-objek yang dikenal dan digeser dari tempatnya, walaupun sedikit, anak autistik dapat menjadi tantrum atau menangis terus-menerus sampai objek tersebut dikembalikan pada tempatnya (Nevid, 2005: 146). Suatu ciri yang umum pada autistik yaitu kegigihannya terhadap hal yang sama terus (‘insistence of sameness’/‘perserverative’ behavior). Banyak anak yang menjadi sangat berlebihan terhadap suatu rutinitas, yang jika berubah sedikit saja akan menyebabkan mereka bingung/terganggu atau mengamuk. Beberapa contoh, misalnya makan dan atau minum tertentu yang sama terus, memakai pakaian tertentu, ingin melalui jalan yang sama terus. Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan mereka untuk memahami atau mengatasi situasi yang baru (http://www.kompasiana.com/lizarudy/tanda-dan-gejala-autisme-ayo-bangkit-kalahkan-austisme_55122a56a33311f456ba7ffa).

Tantrum dapat terjadi pada saat anak tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Pada anak dengan spektrum autis, tantrum menjadi lebih sulit untuk diredakan karena mayoritas anak dengan spektrum autis mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Mereka sulit mengungkapkan apa yang mereka rasakan, apa yang mereka inginkan, kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena kesulitan tersebut, orang tua atau orang dewasa yang berhadapan dengan anak dengan spektrum autis yang sedang tantrum juga kesulitan untuk meredakan tantrum karena mereka belum mengetahui dengan pasti apa penyebab atau pemicu tantrum tersebut. Berdasarkan pengalaman menangani anak dengan spektrum


(37)

Universitas Sumatera Utara

autis, hal-hal yang dapat dilakukan saat menghadapi anak dengan spektrum autis yang sedang tantrum diantaranya sebagai berikut:

1. Pada saat anak dengan spektrum autis tantrum, ciptakan ‘safety area’. Pastikan tidak ada anak kecil lain di dekat anak, tidak ada benda tajam ataupun tumpul yang dapat digunakan anak untuk membahayakan orang lain maupun dirinya sendiri.

2. Observasi anak dari jarak aman. Biarkan anak sendiri terlebih dahulu untuk memberikan waktu anak menenangkan dirinya sendiri. Hal ini berlaku jika anak sedang berada di rumah, jika sedang di keramaian atau di tempat umum, segera tarik anak ke area yang sepi dan pastikan anak tidak lepas dari Anda.

3. Netralkan emosi Anda. Ingatlah anak yang sedang Anda hadapi adalah anak dengan spektrum autis. Mereka diberikan keistimewaan untuk berkomunikasi dengan cara yang unik. Kesabaran merupakan kunci utama saat berhadapan dengan anak dengan spektrum autis. Dengan menetralkan emosi, kita juga dapat terhindar dari dampak negatif yang kemungkinan besar terjadi saat menangani anak dengan spektrum autis yang sedang tantrum, seperti jantung berdebar-debar, kepala pening dan sebagainya. Tariklah napas dalam-dalam, berdoa lalu dekatilah anak dengan sikap atau bahasa tubuh yang bersahabat.

4. Tatap mata anak meskipun anak mungkin tidak membalas tatapan mata Anda. Tanyakan keinginannya dalam bahasa yang sederhana, misalnya ‘kamu kenapa?’, ‘kamu mau apa?’ Setelah memberikan pertanyaan, tunggulah beberapa saat untuk menunggu respon anak. Untuk anak dengan spektrum autis yang memiliki kemampuan verbal, mereka mungkin akan mengungkapkan keinginannya dengan sepatah kata ataupun sepotong kalimat, seperti ‘mau makan’, ‘mau jalan-jalan’, ‘mau menggambar’ dan sebagainya. Untuk anak dengan spektrum autis yang belum memiliki kemampuan verbal, Anda dapat menyediakan simbol-simbol yang mewakili aktivitas tertentu, seperti piring untuk makan, gelas untuk


(38)

Universitas Sumatera Utara

minum dan sebagainya. Anak dibiasakan untuk menunjuk simbol tertentu untuk mengungkapkan keinginannya.

5. Untuk membentuk perilaku positif pada anak, sebaiknya Anda jangan langsung memenuhi keinginan anak. Untuk tahap perkenalan awal pada peraturan (rules), minimal anak menenangkan dirinya terlebih dahulu baru kemudian berikan apa yang ia inginkan.

6. Jika anak tantrum karena menolak untuk diberikan instruksi tertentu, misalnya belajar membaca atau menulis, ikuti langkah-langkah 1-5 di atas dan saat ditanyakan keinginannya anak misalnya mengungkapkan ia ingin menggambar, mintalah anak untuk menenangkan dirinya, selanjutnya bimbing ia melakukan instruksi yang kita berikan terlebih dahulu dan jelaskan setelah itu baru ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Untuk pembentukan perilaku awal, durasi waktu pelaksanaan instruksi, misalnya membaca, sebaiknya tidak terlalu lama dan selanjutnya dapat ditingkatkan seiring dengan berjalannya waktu dengan mengamati perkembangan anak. Pastikan juga sebelum kegiatan atau pemberian instruksi dimulai, kebutuhan dasar anak sudah terpenuhi (makan, minum, kondisi tidak sedang lelah dan sebagainya).

7. Adakalanya kontak fisik dibutuhkan untuk menenangkan anak dengan spektrum autis yang sedang tantrum. Ini terjadi saat anak tantrum dalam keadaan yang sangat hebat sehingga Anda kesulitan mengendalikan mereka dan khawatir anak akan membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Teknik yang biasanya digunakan adalah teknik sandwich, dengan cara menggulung anak menggunakan kasur lipat atau matras. Pastikan keselamatan anak tetap diperhatikan selama teknik dilakukan; posisi kedua tangan di sisi tubuh, kaki tidak tertekuk dan area kepala sampai mulut tidak tertutup kasur lipat atau matras agar anak tidak mengalami kesulitan untuk bernapas.

Penanganan tantrum pada anak dengan spektrum autis perlu dilakukan sedini mungkin karena akan menyangkut manajemen perilaku anak di masa mendatang. Lebih mudah menangani anak dengan spektrum autis pada masa kecil


(39)

Universitas Sumatera Utara

dibandingkan di masa dewasa karena ukuran tubuh, tenaga dan juga sikap yang tidak terbiasa dikendalikan yang terbawa sampai anak dewasa akan lebih besar dan membutuhkan usaha yang lebih dari orangtua atau orang dewasa yang berinteraksi dengan anak (http://terapianak.com/kiat-menangani-anak-dengan-spektrum-autis-saat-tantrum/).

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nanawi, 2001:40)

Anak Autis

Strategi Komunikasi

Komunikasi yang Efektif

• Tujuan • Sasaran • Pesan

• Instrument dan kegiatan • Sumber daya

• Skala waktu


(1)

Universitas Sumatera Utara Secara umum penyandang autis menunjukkan gangguan komunikasi yang menyimpang dari anak-anak pada umumnya. Gangguan komunikasi tersebut dapat terlihat dalam bentuk keterlambatan bicara, tidak bicara, bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain, atau dapat bicara hanya dengan meniru saja (echolalia). Selain gangguan komunikasi anak autis juga umumnya menunjukkan gangguan interaksi dengan orang lain yang ada disekitar baik anak sebaya maupun orang dewasa (Koswara, 2013:43).

Kemampuan berbahasa merupakan proses paling kompleks diantara semua proses perkembangan manusia. Kemampuan berbahasa bersama kemampuan perkembangan pemecahan masalah visio motor merupakan petunjuk baik dari ada tidaknya gangguan intelegensi pada seorang anak. Perkembangan bahasa memerlukan fungsi reseptif dan ekspresif yang sejalan dan seimbang. Fungsi ekspresif merupakan kemampuan anak mengutarakan pikirannya dimulai dengan komunikasi nonverbal, komunikasi dengan ekspresi wajah atau mimic, gerakan tubuh dan akhirnya komunikasi dengan menggunakan kata-kata.

Selain bicara ekspresif, anak autis juga mempunyai kesulitan mengartikan ucapan orang lain, terutama yang bersifat abstrak. Anak autis seringkali salah mengartikan pertanyaan, komentar atau cerita yang panjang (Koswara, 2013:62-63).

2.2.8 Temper Tantrum

Secara tersirat, temper tantrum merupakan bagian proses eksplorasi, yaitu suatu tahap perkembangan melatih instrumen tubuh dalam menemukan atau memahami hal baru. Anggota tubuh yang dimiliki anak merupakan instrumen vital. Melalui aktivitasnya anak akan “mengeksperimenkan” secara total instrument tersebut (Puspa Swara, 2001: 25).

Pengertian temper tantrum adalah perilaku marah pada anak-anak prasekolah. Mereka mengekspresikan kemarahan mereka dengan berbaring dilantai, menendang, berteriak, dan kadang-kadang menahan nafas mereka. Tantrum yang alami, terjadi pada anak-anak yang belum mampu menggunakan kata-kata untuk mengekspresikan rasa frustasi mereka, karena tidak terpenuhi


(2)

Universitas Sumatera Utara keinginan mereka. Dikutip Colorado State University Extension, R.J. Fetsch and B. Jacobson mengatakan bahwa tantrum biasanya terjadi pada usia 2 sampai 3 tahun ketika anak-anak membentuk kesadaran diri. Balita belum cukup memahami kata “aku” dan “keinginan dirinya” tetapi sangat mudah untuk tahu bagaimana memuaskan apa yang diinginkan. Tantrum adalah hasil dari energi tinggi dan kemampuan yang tidak mencukupi dalam mengungkap keinginan atau kebutuhan “dalam bentuk kata-kata”.

Tantrum biasanya terjadi pada usia 2 dan 3 tahun, akan mulai menurun pada usia 4 tahun. Mereka biasanya mengalami ini dalam waktu 1 tahun. 23 sampai 83 persen dari anak usia 2 hingga 4 tahun pernah mengalami temper tantrum. Ada banyak sebab temper tantrum. Beberapa penyebab adalah indikator masalah keluarga: disiplin yang tidak konsisten, mengkritik terlalu banyak, orang tua terlalu protektif atau lalai, anak-anak tidak memiliki cukup cinta dan perhatian dari orangtua mereka, masalah dengan pernikahan, gangguan bermain, baik untuk masalah emosional orang tua, pertemuan orang asing, persaingan dengan saudara atau saudari, memiliki masalah dengan bicara, dan penyakit atau sakit. Penyebab umum lainnya termasuk karena rasa lapar atau lelah. (http://www.psikologizone. com/pengertian-sebab-dan-cara-mengatasi-temper-tantrum/065113939).

Setiap anak melewati tahap perkembangannya secara berbeda-beda. Kadangkala orangtua dan lingkungan tidak mengakomodasi kebutuhan psikologis anak secara tepat, sehingga amarah muncul sebagai reaksi ketidakpuasan yang berkepanjangan terhadap lingkungan. Temper tantrum yang biasa dijumpai pada anak balita dan balita berwujud amukan, jeritan, tangisan. Jika ini terjadi pada anak yang sudah pandai berbicara wujudnya dapat berupa kata-kata kasar, bahkan serangan fisik.

Temper tantrum yang terbentuk secara kondisional, misalnya karena si anak sering dipaksa makan pada saat ia sedang asyik bermain. Kemarahan yang awalnya timbul karena anak dihentikan dari aktivitas bermain, beralih pada situasi makan. Atau pada saat si kecil butuh kesempatan untuk membuktikan dirinya sudah mampu memanjat, orangtua justru menghambat gerak dan melarangnya. Selanjutnya, anak akan mengamuk jika merasa tidak atau kurang digubris.


(3)

Universitas Sumatera Utara Demi mencegah kebiasaan ini, dibutuhkan pemahaman orang tua akan kebutuhan psikologis si kecil pada setiap tahap perkembangannya. Sejalan dengan itu orang tua tentu mesti membuat batasan yang dianggap perlu untuk melindungi anak dari hal-hal yang tidak diinginkan. Frekuensi amukan dapat dikurangi dengan menghindari pembatasan yang berlebihan terhadap kebebasan anak, tuntutan yang berlebihan, atau pemberian tugas diluar kemampuannya. Kurangi sikap sewenang-wenang, sebaiknya tidak menerapkan pendidikan yang kaku dirumah (Mulyanti, 2013:84-85).

Baik anak normal atau anak autis dapat mengalami temper tantrum. Temper tantrum ini biasanya dialami oleh anak-anak. Anak autis dapat menjadi tantrum atau merasa panik secara tiba-tiba. Bila ada objek-objek yang dikenal dan digeser dari tempatnya, walaupun sedikit, anak autistik dapat menjadi tantrum atau menangis terus-menerus sampai objek tersebut dikembalikan pada tempatnya (Nevid, 2005: 146). Suatu ciri yang umum pada autistik yaitu kegigihannya terhadap hal yang sama terus (‘insistence of sameness’/‘perserverative’ behavior). Banyak anak yang menjadi sangat berlebihan terhadap suatu rutinitas, yang jika berubah sedikit saja akan menyebabkan mereka bingung/terganggu atau mengamuk. Beberapa contoh, misalnya makan dan atau minum tertentu yang sama terus, memakai pakaian tertentu, ingin melalui jalan yang sama terus. Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan mereka untuk memahami atau mengatasi situasi yang baru (http://www.kompasiana.com/lizarudy/tanda-dan-gejala-autisme-ayo-bangkit-kalahkan-austisme_55122a56a33311f456ba7ffa).

Tantrum dapat terjadi pada saat anak tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Pada anak dengan spektrum autis, tantrum menjadi lebih sulit untuk diredakan karena mayoritas anak dengan spektrum autis mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Mereka sulit mengungkapkan apa yang mereka rasakan, apa yang mereka inginkan, kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena kesulitan tersebut, orang tua atau orang dewasa yang berhadapan dengan anak dengan spektrum autis yang sedang tantrum juga kesulitan untuk meredakan tantrum karena mereka belum mengetahui dengan pasti apa penyebab atau pemicu tantrum tersebut. Berdasarkan pengalaman menangani anak dengan spektrum


(4)

Universitas Sumatera Utara autis, hal-hal yang dapat dilakukan saat menghadapi anak dengan spektrum autis yang sedang tantrum diantaranya sebagai berikut:

1. Pada saat anak dengan spektrum autis tantrum, ciptakan ‘safety area’. Pastikan tidak ada anak kecil lain di dekat anak, tidak ada benda tajam ataupun tumpul yang dapat digunakan anak untuk membahayakan orang lain maupun dirinya sendiri.

2. Observasi anak dari jarak aman. Biarkan anak sendiri terlebih dahulu untuk memberikan waktu anak menenangkan dirinya sendiri. Hal ini berlaku jika anak sedang berada di rumah, jika sedang di keramaian atau di tempat umum, segera tarik anak ke area yang sepi dan pastikan anak tidak lepas dari Anda.

3. Netralkan emosi Anda. Ingatlah anak yang sedang Anda hadapi adalah anak dengan spektrum autis. Mereka diberikan keistimewaan untuk berkomunikasi dengan cara yang unik. Kesabaran merupakan kunci utama saat berhadapan dengan anak dengan spektrum autis. Dengan menetralkan emosi, kita juga dapat terhindar dari dampak negatif yang kemungkinan besar terjadi saat menangani anak dengan spektrum autis yang sedang tantrum, seperti jantung berdebar-debar, kepala pening dan sebagainya. Tariklah napas dalam-dalam, berdoa lalu dekatilah anak dengan sikap atau bahasa tubuh yang bersahabat.

4. Tatap mata anak meskipun anak mungkin tidak membalas tatapan mata Anda. Tanyakan keinginannya dalam bahasa yang sederhana, misalnya ‘kamu kenapa?’, ‘kamu mau apa?’ Setelah memberikan pertanyaan, tunggulah beberapa saat untuk menunggu respon anak. Untuk anak dengan spektrum autis yang memiliki kemampuan verbal, mereka mungkin akan mengungkapkan keinginannya dengan sepatah kata ataupun sepotong kalimat, seperti ‘mau makan’, ‘mau jalan-jalan’, ‘mau menggambar’ dan sebagainya. Untuk anak dengan spektrum autis yang belum memiliki kemampuan verbal, Anda dapat menyediakan simbol-simbol yang mewakili aktivitas tertentu, seperti piring untuk makan, gelas untuk


(5)

Universitas Sumatera Utara minum dan sebagainya. Anak dibiasakan untuk menunjuk simbol tertentu untuk mengungkapkan keinginannya.

5. Untuk membentuk perilaku positif pada anak, sebaiknya Anda jangan langsung memenuhi keinginan anak. Untuk tahap perkenalan awal pada peraturan (rules), minimal anak menenangkan dirinya terlebih dahulu baru kemudian berikan apa yang ia inginkan.

6. Jika anak tantrum karena menolak untuk diberikan instruksi tertentu, misalnya belajar membaca atau menulis, ikuti langkah-langkah 1-5 di atas dan saat ditanyakan keinginannya anak misalnya mengungkapkan ia ingin menggambar, mintalah anak untuk menenangkan dirinya, selanjutnya bimbing ia melakukan instruksi yang kita berikan terlebih dahulu dan jelaskan setelah itu baru ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Untuk pembentukan perilaku awal, durasi waktu pelaksanaan instruksi, misalnya membaca, sebaiknya tidak terlalu lama dan selanjutnya dapat ditingkatkan seiring dengan berjalannya waktu dengan mengamati perkembangan anak. Pastikan juga sebelum kegiatan atau pemberian instruksi dimulai, kebutuhan dasar anak sudah terpenuhi (makan, minum, kondisi tidak sedang lelah dan sebagainya).

7. Adakalanya kontak fisik dibutuhkan untuk menenangkan anak dengan spektrum autis yang sedang tantrum. Ini terjadi saat anak tantrum dalam keadaan yang sangat hebat sehingga Anda kesulitan mengendalikan mereka dan khawatir anak akan membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Teknik yang biasanya digunakan adalah teknik sandwich, dengan cara menggulung anak menggunakan kasur lipat atau matras. Pastikan keselamatan anak tetap diperhatikan selama teknik dilakukan; posisi kedua tangan di sisi tubuh, kaki tidak tertekuk dan area kepala sampai mulut tidak tertutup kasur lipat atau matras agar anak tidak mengalami kesulitan untuk bernapas.

Penanganan tantrum pada anak dengan spektrum autis perlu dilakukan sedini mungkin karena akan menyangkut manajemen perilaku anak di masa mendatang. Lebih mudah menangani anak dengan spektrum autis pada masa kecil


(6)

Universitas Sumatera Utara dibandingkan di masa dewasa karena ukuran tubuh, tenaga dan juga sikap yang tidak terbiasa dikendalikan yang terbawa sampai anak dewasa akan lebih besar dan membutuhkan usaha yang lebih dari orangtua atau orang dewasa yang berinteraksi dengan anak (http://terapianak.com/kiat-menangani-anak-dengan-spektrum-autis-saat-tantrum/).

2.3 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran adalah hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dan memperkirakan hasil penelitian yang dicapai dan dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesa (Nanawi, 2001:40)

Anak Autis

Strategi Komunikasi

Komunikasi yang Efektif

• Tujuan • Sasaran • Pesan

• Instrument dan kegiatan • Sumber daya

• Skala waktu


Dokumen yang terkait

Pola Pendidikan pada Anak Autis (Studi Deskriptif: Anak Autis di Sekolah Luar Biasa Al-Azhar Medan)

24 156 106

Strategi Komunikasi Guru Dalam Menghadapi Temper Tantrum Pada Anak Autis (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Anak Autis Di Sekolah YAKARI Di Kota Medan)

5 96 97

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK AUTIS DI SLB AGCA Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Temper Tantrum Pada Anak Autis Di Slb Agca Center Surakarta.

0 3 13

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN TEMPER TANTRUM PADA ANAK AUTIS DI SLB AGCA Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Temper Tantrum Pada Anak Autis Di Slb Agca Center Surakarta.

0 4 17

POLA KOMUNIKASI ANTARA ORANG TUA DENGAN ANAK AUTIS KOTA SURABAYA ( Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Antara Orang Tua dengan Anak Autis di Surabaya ).

0 1 76

Strategi Komunikasi Guru Dalam Menghadapi Temper Tantrum Pada Anak Autis (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Anak Autis Di Sekolah YAKARI Di Kota Medan)

0 0 11

Strategi Komunikasi Guru Dalam Menghadapi Temper Tantrum Pada Anak Autis (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Anak Autis Di Sekolah YAKARI Di Kota Medan)

0 0 1

Strategi Komunikasi Guru Dalam Menghadapi Temper Tantrum Pada Anak Autis (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Anak Autis Di Sekolah YAKARI Di Kota Medan)

0 0 4

Strategi Komunikasi Guru Dalam Menghadapi Temper Tantrum Pada Anak Autis (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Anak Autis Di Sekolah YAKARI Di Kota Medan)

0 0 2

Strategi Komunikasi Guru Dalam Menghadapi Temper Tantrum Pada Anak Autis (Studi Deskriptif Kualitatif Pada Anak Autis Di Sekolah YAKARI Di Kota Medan)

0 0 11