DAMPAK NEGATIF PEMBAJAKAN SOFTWARE DI IN

DAMPAK NEGATIF PEMBAJAKAN SOFTWARE DI INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF EKONOMI KELEMBAGAAN
Oleh : R. Maulana Nuradhi Wicaksana1
1. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Peranan teknonogi informasi dalam kehidupan manusia saat ini sangatlah penting. Seiring
dengan perkembangan teknologi informasi tersebut manusia banyak melakukan aktivitasnya di
depan komputer, laptop, smartphone maupun perangkat elektronik (gadget) berbasis teknologi
informasi lainnya. Fasilitas pada perangkat elektronik tersebut tentu saja menggunakan piranti
lunak (software). Software merupakan sekumpulan program komputer yang berguna untuk
menjalankan dan menunjang suatu pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan kita. Guna
menunjang kecanggihan media elektronik tersebut, para peneliti di industri software banyak
melakukan riset untuk menciptakan dan mengembangkan software-software baru.
Akan tetapi, disetiap adanya penemuan dan penciptaan software baru akan selalu diikuti oleh
pembajakan software khususnya bagi software proprietary (software berbayar). Berdasarkan
International Data Cooperation (IDC) yang disiarkan pada April 2012, Indonesia masih
menempati peringkat ke-11 dengan jumlah peredaran software bajakan sebesar 86 persen,
dengan nilai kerugian 1,46 miliar dolar AS atau Rp 12,8 triliun. Dari sisi ekonomi, tingginya
peredaran berbagai produk bajakan di pasaran tidak saja menimbulkan kerugian finansial
terhadap pendapatan perusahaan produsen software, tapi juga kerugian pada negara atas
hilangnya potensi pendapatan pajak negara serta adanya kerugian non finansial lainnya seperti

hilangnya peluang kerja, berkurangnya kreativitas membuat software sendiri, serta menurunnya
daya saing bagi industri kreatif di Indonesia.
Selain itu pembajakan juga akan berdampak pada penurunan daya saing di tingkat
internasional. Hasil survey World Economic Forum dalam Global Competitiveness 2012-2013,
posisi daya saing Indonesia hanya berada di peringkat 50 dari 144 negara. Posisi ini merosot
empat tingkat dibanding sebelumnya di peringkat 46. Pembajakan software telah mengakibatkan
hilangnya profit bagi perusahaan produsen software sehingga perusahaan tidak memiliki
kemampuan untuk melakukan riset dan pengembangan lebih lanjut. Pembajakan juga
1 Mahasiswa program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, Universitas Indonesia
1

menyebabkan para peneliti tidak termotivasi untuk mengembangkan software-software baru
karena memiliki kekhawatiran terhadap pembajakan produk yang mereka ciptakan.
Masalah perlindungan penciptaan software sebetulnya telah diatur pemerintah dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Pada pasal 12
dijelaskan bahwa software merupakan sebuah produk ciptaan yang termasuk ke dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Selanjutnya pada pasal 2 UU Hak Cipta memberikan batasan
atas hak-hak apa saja yang tercakup dalam hak cipta dimana disebutkan bahwa Hak Cipta
merupakan hak eksklusif pencipta (atau pemegang hak cipta) untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya. Selain itu, pencipta atas software berhak untuk memberikan

izin/melarang orang lain untuk menyewakan ciptaannya.
Melalui Undang-undang Hak Cipta masalah pembajakan software tidak lagi menjadi masalah
hukum perdata semata yang hanya menyangkut kepentingan individu terhadap individu lainnya
namun telah terdapat unsur pidana yang memberikan sanksi keras kepada para pelanggarnya.
Pasal 72 ayat (1) memberikan ancaman kurungan pidana bagi mereka yang sengaja dan tanpa
hak (melawan hukum) melakukan perbuatan tersebut, paling singkat 1 bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 1 juta, paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 milyar. Namun
demikian masih lemahnya penegakan hukum saat ini juga diduga sebagai salah satu penyebab
masih maraknya pembajakan software di Indonesia.
Dari sudut pandang ekonomi kelembagaan, kasus pembajakan software merupakan sebuah
eksternalitas dari adanya kemajuan teknologi. Pembajakan software juga merupakan sebuah
pelanggaran atas hak kekayaan intelektual (intelectual property rights) yang merupakan
gambaran atas ketidakmampuan institusi dalam pengelolaan hak kepemilikan individu (private
property rights). Jika hal ini terus dibiarkan akan memberi dampak negatif berupa inefisiensi
dalam perekonomian dan pertumbuhan industri software di Indonesia.
b. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka pertanyaan penelitian dari
makalah ini adalah :
1. Bagaimana hubungan teori ekonomi kelembagaan dengan kasus pembajakan software?
2. Bagaimana pengaruh pembajakan software terhadap perekonomian dan pertumbuhan

industri software di Indonesia?
2

c. Tujuan
Untuk memenuhi tugas pada matakuliah ekonomi kelembagaan, maka makalah ini mencoba
untuk menganalisis sejauh mana pengaruh pembajakan software terhadap perekonomian dan
pertumbuhan industri software di Indonesia melalui pendekatan teori ekonomi kelembagaan.

2. PEMBAHASAN
Pembajakan software adalah penggunaan perangkat lunak yang memiliki hak cipta untuk
sebuah tujuan komersial tanpa membayarkan royalti kepada pemegang hak cipta dari perangkat
lunak tersebut. Pembajakan software secara internasional dikategorikan sebagai kejahatan
komputer. Pembajakan software mulai berkembang pesat pada tahun 2000 dimana untuk pertama
kalinya dalam lebih dari setengah dekade, dunia bisnis di Indonesia memakai program hasil
bajakan sebesar 37%. Hal ini juga tidak lepas dari semakin berkembangnya teknologi informasi
seperti akses internet (LAN dan Wifi) serta berkembangnya perangkat elektronik berbasis
teknologi informasi khususnya perangkat personal computer (PC) di Indonesia, dimana setiap
individu memiliki kesempatan untuk menggunakan dan memilikinya. Dari data statistik
International Data Corporation (IDC) diketahui bahwa indonesia merupakan pasar terbesar bagi
personal computer di wilayah asia pasifik dengan pertumbuhan konsumsi rata-rata sebesar 14,4%

per tahun dan masih diatas konsumsi rata-rata global yang hanya sebesar 13,9% per tahun.

Peningkatan konsumsi yang sangat pesat atas perangkat elektronik berbasis teknologi
tersebut secara otomatis akan meningkatkan penggunaan software sebagai piranti lunak dalam
menjalankan program dan aplikasi pada perangkat elektronik tersebut. Melihat adanya kebutuhan
dan pasar yang besar akan software maka banyak Industri di bidang teknologi informasi sebut
saja Microsoft, Adobe, Corell dan produsen lainnya termasuk produsen software lokal seperti
Zahir dan Bamboomedia termotivasi untuk berlomba-lomba melakukan penelitian dan
3

pengembangan untuk menciptakan software-software baru yang dapat memberikan kemudahan
dalam menjalankan program-program dan aplikasi komputer sesuai dengan kebutuhan masingmasing penggunanya.
Namun demikian kemajuan teknologi tersebut ternyata juga membawa dampak eksternalitas
berupa adanya pembajakan software khususnya bagi software proprietary (software berbayar).
Padahal software proprietary pada umumnya telah memiliki hak cipta dan paten yang merupakan
jaminan atas hak bagi penggunaan ekslusif terhadap penemuan atau pengetahuan yang bernilai.
Kegiatan pembajakan software juga merupakan sebuah pelanggaran atas hak kekayaan
intelektual (intelectual property rights) yang dapat diartikan sebagai pelanggaran atas segala
kekayaan hasil produksi kecerdasan daya pikir yang menghasilkan suatu produk atau proses yang
berguna untuk manusia (termasuk software) serta telah melanggar sistem hak kekayaan

intelektual berupa adanya hak privat, sebagai bentuk penghargaan atas hasil karya, sebagai
bentuk insentif, adanya mekanisme pasar, menunjang sistem dokumentasi, menunjang kompetisi
sehat dan pemicu kreatifitas. Untuk itu yang paling penting adalah adanya kejelasan/kepastian
atas hak kepemilikan sehingga setiap pemiliknya mempunyai insentif untuk memakai dan
melindungi hak kepemilikannya.
Dalam pandangan ekonomi kelembagaan, kasus ini dapat dilihat sebagai hubungan antara
konsep hak kepemilikan (property rights) dan biaya transaksi (transaction cost) yang
dikemukakan oleh Yoram Barzel (Dalam Yustika, 2012). Menurutnya dari asalnya konsep hak
kepemilikan sangat dekat dengan biaya transaksi, di mana biaya transaksi dapat didefinisikan
sebagai ongkos yang diasosiasikan dengan kegiatan transfer, menangkap, dan melindungi hakhak (transfer, capture, and protection of rights). Jika biaya transaksi diasumsikan bahwa untuk
aset apapun masing-masing biaya meningkat, dan bahwa baik proteksi maupun transfer penuh
dari hak-hak tersebut dicegah agar tidak muncul biaya, maka kemudian biaya transaksi itu akan
mengarahkan hak-hak yang dimiliki menjadi tidak lengkap (incomplete), karena orang-orang
tidak akan pernah menemukan hak-haknya cukup berharga untuk mendapatkan potensi
keuntungan dari aset-asetnya. Agar hak-hak terhadap aset yang dipunyai berlaku secara lengkap,
baik pemilik maupun individu lain yang tertarik terhadap aset tersebut harus memproses dengan
pengetahuan penuh (full knowledge) terhadap seluruh atribut dari aset tersebut. Sebaliknya,
ketiga hak-hak itu secara sempurna dirancang dengan baik, informasi produk harus menjadi
tanpa biaya (costless) untuk memperoleh dan ongkos transaksi kemudian harus menjadi nol.
4


Hak kepemilikan hampir selalu berupa hak eksklusif (exclusive right), tetapi kepemilikan
bukan berarti hak yang tanpa batas (unrestricted right). Sedangkan Bromley dan Cernea
mendefinisikan hak kepemilikan sebagai hak untuk mendapatkan aliran laba yang hanya aman
(secure) bila pihak-pihak yang lain respek dengan kondisi yang melindungi aliran laba tersebut.
Makna ini dengan cukup terang mendonorkan gambaran yang jelas, bahwa sesungguhnya hak
kepemilikan menyangkut penguasaan individu atas aset (dalam pengertian yang luas bisa berupa
ilmu pengetahuan dan ketrampilan) sehingga di dalam dirinya terdapat hak untuk menggunakan
atau memindahkan atas aset yang dikuasai/dimiliki.
Selanjutnya, kasus pembajakan software dalam konteks teori ekonomi kelembagaan juga
dapat diartikan sebagai sebuah persoalan ekonomi yaitu adanya eksternalitas atas teknologi.
Eksternalitas selalu ada dalam setiap kegiatan ekonomi namun dalam teori ekonomi klasik selalu
diabaikan sehingga tidak ada formulasi khusus untuk mengatasinya. Ekonomi klasik juga
berpendapat bahwa pasar tidak bisa menyelesaikan masalah eksternalitas, seperti halnya pasar
tidak mampu memecahkan persoalan hak kepemilikan (property rights) seperti halnya pada
kasus ini. Pada situasi inilah kemudian diperlukan instrumen “institusi” sebagai aturan main
dalam menangani masalah eksternalitas. Dalam hal ini Institusi yang dibutuhkan adalah adanya
intervensi negara/pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar dalam memecahkan kasus
eksternalitas tersebut.
Untuk itu pemerintah RI telah mengatur masalah perlindungan penciptaan software melalui

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Dimana pada pasal
12 dijelaskan bahwa software merupakan sebuah produk ciptaan yang termasuk ke dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Selanjutnya pada pasal 2 UU Hak Cipta memberikan batasan
atas hak-hak apa saja yang tercakup dalam hak cipta dimana disebutkan bahwa Hak Cipta
merupakan hak eksklusif pencipta (atau pemegang hak cipta) untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya. Selain itu, pencipta atas software berhak untuk memberikan
izin/melarang orang lain untuk menyewakan ciptaannya.
Melalui Undang-undang Hak Cipta masalah pembajakan software tidak lagi menjadi masalah
hukum perdata semata yang hanya menyangkut kepentingan individu terhadap individu lainnya
namun telah terdapat unsur pidana yang memberikan sanksi keras kepada para pelanggarnya.
Pasal 72 ayat (1) memberikan ancaman kurungan pidana bagi mereka yang sengaja dan tanpa
hak (melawan hukum) melakukan perbuatan tersebut, paling singkat 1 bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 1 juta, paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 milyar.
5

Sehingga menjadi jelas bahwa pembajakan software sebagai praktik ilegal, perbuatan kriminal
dan melanggar hukum.
Walau demikian, adanya kasus pembajakan software juga merupakan petunjuk atas
ketidakmampuan institusi dalam pengelolaan hak kepemilikan individu (private property rights).
Berdasarkan data dari International Data Cooperation (IDC) yang disiarkan pada April 2012

menyebutkan bahwa Indonesia masih menempati peringkat ke-11 dengan jumlah peredaran
software bajakan sebesar 86%. Data tersebut mengindikasikan bahwa walaupun aturan main
melalui perangkat peraturan perundang-undangan sudah dibuat tapi belum dibarengi dengan
konsistensi penegakan hukum yang maksimal. Aparat penegak hukum dinilai belum mampu
menanggulangi masalah tersebut secara signifikan. Namun demikian pemerintah terus berupaya
untuk menanggulanginya baik melalui sosialisasi persuasif untuk pencegahan hingga tindakan
tegas terhadap pelaku pembajakan software dan penjual hasil produksinya.
Selain faktor penegakan hukum yang masih lemah, terdapat beberapa hal yang juga dinilai
cukup signifikan dalam mamicu maraknya pembajakan software di Indonesia diantaranya
adalah: 1) Mahalnya harga lisensi produk software asli, 2) Semakin mudahnya proses
penggandaan software berbasis teknologi digital, 3) Kurangnya informasi dan belum terbiasanya
masyarakat menggunakan software open source, 4) Kurangnya kesadaran dan budaya
masyarakat untuk menghargai hak cipta atas software. Selain itu kondisi pangsa pasar atas
teknologi informasi (termasuk software) yang sangat besar di Indonesia memberikan potensi
keuntungan yang besar pula bagi praktik ilegal pembajakan software.
Dari sisi perekonomian, pembajakan software telah membawa dampak negatif berupa
inefisiensi perekonomian. Secara nasional, berdasarkan data International Data Cooperation
(IDC) pada tahun 2012 kerugian negara secara finansial mencapai US$ 1,46 miliar atau Rp 12,8
triliun. Nilai komersial software legal di Indonesia hanya US$ 239 juta. Tingginya angka
pembajakan software tersebut berdampak negatif terhadap perekonomian negara secara finansial

seperti hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak maupun kerugian non finansial
seperti hilangnya peluang kerja, kurangnya kreativitas membuat software sendiri di dalam negeri
dan juga menurunnya daya saing bagi industri kreatif.
Terkait dampak non finansial dari pembajakan software, dalam riset yang dilakukan Bussines
Software Alliance (BSA) didapati bahwa jika dalam 4 tahun mendatang Indonesia bisa
menurunkan tingkat pembajakan hingga 10 persen, maka diperkirakan akan mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 2.200 orang dengan keahlian tinggi di bidang teknologi informasi. Hal
6

tersebut menunjukkan bahwa pembajakan software signifikan berpengaruh terhadap hilangnya
peluang kerja dan jika hal tersebut terjadi maka akan terjadi penurunan investasi dan stagnasi
pertumbuhan ekonomi. Selain itu, negara dengan tingkat pembajakan software yang tinggi akan
susah untuk berkembang menjadi negara yang maju di bidang teknologi karena pondasi dasar
ekonomi kreatifnya sangat lemah. Lebih jauh lagi pembajakan sofware akan berdampak terhadap
turunnya kreatifitas dan inovasi masyarakat Indonesia. Hal ini akan membawa masyarakat
Indonesia terjebak ke dalam pola instan yang konsumtif dan tidak produktif.
Selanjutnya dari sisi pertumbuhan Industri teknologi Informasi khususnya bagi produsen
software di Indonesia, pembajakan software memberikan dampak negatif berupa penurunan daya
saing di tingkat internasional. Hasil survey World Economic Forum dalam Global
Competitiveness 2012-2013, posisi daya saing Indonesia hanya berada di peringkat 50 dari 144

negara. Posisi ini merosot empat tingkat dibanding sebelumnya di peringkat 46. Hal ini
disebabkan dengan adanya pembajakan software telah mengakibatkan hilangnya insentif bagi
perusahaan dan pekerjanya baik secara finansial maupun non finansial.
Secara teori manajemen organisasi, adanya insentif sangat berpengaruh positif terhadap
produktivitas tenaga kerja dan kemajuan suatu perusahaan (organisasi) seperti yang dijelaskan
oleh Simamora (1997), dimana terdapat 5 hal pengaruh positif insentif terhadap kinerja
organisasi, yaitu : 1) Motivasi, 2) Retensi, 3) Produktivitas, 4) Penghematan Biaya (efisiensi),
dan 5) Sasaran Organisasional (kemajuan perusahaan). Selain itu berdasarkan teori hak
kepemilikan (property rights) dijelaskan bahwa terdapat dua hal yang bisa diungkapkan: (i)
melihat hubungan antara hak kepemilikan dengan kepastian hukum untuk melindungi penemuanpenemuan baru (seperti teknologi dapat juga software). Dalam sudut pandang ini, negara yang
bisa menjamin hak kepemilikan terhadap penemuan/inovasi teknologi (lewat paten) akan
memiliki implikasi yang besar terhadap produktivitas dan efisiensi ekonomi. Logikanya
sederhana, jaminan terhadap hak paten akan memberi insentif material bagi pelaku ekonomi
(maupun para ahli) untuk terus menemukan inovasi baru. Bila inovasi (teknologi) tercipta, maka
secara langsung akan memengaruhi pola produksi yang bisa meningkatkan produktivitas.
Lebih lanjut teori hak kepemilikan (property rights) juga menganggap bahwa hak milik
privat seperti halnya menciptakan software dianggap akan memberi insentif yang besar bagi
pemiliknya untuk memanfaatkan agar diperoleh keuntungan yang besar. Maka secara finansial,
hilangnya insentif dapat diartikan sebagai hilangnya profit bagi perusahaan produsen software
sehingga perusahaan tidak lagi memiliki kemampuan untuk melakukan riset dan pengembangan

7

lebih lanjut. Pembajakan juga menyebabkan para peneliti tidak termotivasi untuk
mengembangkan software-software baru karena memiliki kekhawatiran terhadap pembajakan
produk yang mereka ciptakan. Semua hal tersebut pada akhirnya dapat berpotensi mematikan
industri software lokal di Indonesia.
Pemerintah memang mengemban tanggung jawab yang besar dalam menanggulangi
pembajakan software khususnya melalui penegakan hukum (law enforcement) yang tegas dan
maksimal. Karena hanya penegakan hukumlah yang dapat melindungi dan menjamin hak
kepemilikan (property rights), sebaliknya jika terjadi penegakan hukum yang lemah (lack of law
enforcement) maka akan terjadi inefisiensi ekonomi sebagai akibat dari hilangnya insentif atas
hak kepemilikan. Disamping itu pemerintah juga harus mengembangkan kegiatan persuasif dan
preventif lainnya dalam menanggulangi permasalahan ini. Disisi lain peran serta secara aktif dari
masyarakat baik pengguna, penjual dan produsen juga sangat diharapkan dalam mereduksi
maraknya pembajakan software di Indonesia.
Khusus bagi produsen software sebagai pihak yang paling dirugikan dalam masalah ini,
sebaiknya juga mengembangkan upaya penanggulangan pembajakan secara sukarela, antara lain
melalui penyesuaian harga jual produk sesuai kemampuan pasar dimana faktor harga sangat
berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk memakai software bajakan. Cara lainnya yang
unik adalah melalu proses “negosiasi ala Indonesia” untuk mencapai kondisi win-win solution,
maksudnya adalah dengan menggunakan pendekatan secara langsung terhadap root pembajak
software Indonesia untuk mau mendukung software lokal, dengan menawarkan sharing
penjualan yg menarik, tapi dengan syarat tidak menjual bajakannya. Berdasarkan informasi yang
ada proses ini telah dilakukan beberapa produsen software di Indonesia dan menunjukan hasil
yang cukup positif.
Hal ini menarik, karena sangat sesuai dengan teorema Coase dalam mengatasi masalah
eksternalitas, dimana dijelaskan bahwa ekstenalitas dapat diinternalisasikan (internalized) dalam
kegiatan ekonomi jika hak kepemilikan telah dikelola dengan baik (well established). Dalam
pandangannya, bila hak kepemilikan telah dimapankan dengan baik dan jika diandaikan tidak
ada biaya-biaya transaksi, maka eksternalitas bisa diinternalisasikan diantara dua pelaku privat
melaui proses tawar-menawar (bargaining) dan negosiasi (negotiation). Sehingga persoalan
eksternalitas tidak harus dengan intervensi pemerintah namun cukup dengan memperjelas dan
memapankan aspek hak kepemilikan (privat) agar masalah eksternalitas bisa dituntaskan melalui
mekanisme pasar itu sendiri.
8

3. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Berdasarkan paparan di atas, praktik pembajakan software ditinjau dari sudut pandang
ekonomi kelembagaan merupakan sebuah eksternalitas dari adanya kemajuan teknologi.
Pembajakan software juga merupakan sebuah pelanggaran atas hak kekayaan intelektual
(intelectual property rights) yang merupakan gambaran atas ketidakmampuan institusi dalam
pengelolaan hak kepemilikan individu (private property rights). Jika hal ini terus dibiarkan akan
memberi dampak negatif berupa inefisiensi ekonomi. Selain mengalami kerugian fisik berupa
hilangnya potensi penerimaan pajak, negara juga mengalami kerugian non fisik berupa hilangnya
peluang kerja, penurunan investasi, kurangnya kreativitas membuat software sendiri di dalam
negeri dan juga menurunnya daya saing bagi industri kreatif, dimana pada akhirnya semua
dampak negatif tersebut berpotensi memicu adanya stagnasi pertumbuhan ekonomi. Maraknya
praktik pembajakan software juga berpotensi mematikan industri software di indonesia. Para
peneliti enggan untuk melakukan inovasi karena memiliki kekhawatiran terhadap pembajakan
pada produk yang mereka ciptakan. Pada akhirnya, tidak adanya inovasi tersebut akan
mempengaruhi pola produksi sehingga secara tidak langsung produktivitas tidak meningkat.
Dapat disimpulkan bahwa pembajakan software memiliki korelasi terhadap produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi. Semakin marak pembajakan maka produktivitas tidak akan meningkat,
hal ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi indonesia.
b. Saran
Adapun alternatif solusi untuk menanggulangi masalah pembajakan software antara lain :
1. Pemerintah perlu meningkatkan penegakan hukum secara konsisten dan maksimal.
2. Pemerintah perlu meningkatkan upaya persuasif melalui sosialisasi kepada masyarakat
penjual dan pengguna terkait bahaya software bajakan dan sanksi hukumnya.
3. Pemerintah perlu meningkatkan upaya preventif melalui edukasi.
4. Pemerintah sudah saatnya melakukan pemasyarakatan penggunaan software open source.
5. Produsen sebaiknya melakukan penyesuaian harga jual produk sesuai kemampuan pasar.
9

6. Produsen dapat melakukan proses negosiasi dengan root pembajak software.
7. Penjual harus lebih patuh terhadap peraturan dan menyadari sanksi hukum yang ada.
8. Masyarakat pengguna harus mampu merubah prilaku dan kebiasaannya untuk lebih
menghargai hasil karya intelektual dan memahami bahaya serta sanksi hukum yang ada.
DAFTAR REFERENSI


Buku dan artikel jurnal

Saropie, Erick, 2011. Dirjen HKI, Hak kekayaan intelektual (pengenalan), paparan slide,
Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta.
Simamora, Henry, 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua.STIE : YKPN
Moh As’ad. 2003. Psikologi Industri. Yogyakarta.
Yustika, Ahmad Erani, 2006. New Institutional Economics atau Ekonomi Kelembagaan
(Definisi, Teori dan Aplikasi), Berita Jurnal FIA-UB, Malang.
Yustika, Ahmad Erani, 2012. Ekonomi Kelembagaan, Paradigma, Teori dan Kebijakan, Penerbit
Erlangga, Jakarta.


Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta


Internet

http://nenygory.wordpress.com/2011/08/02/pembajakan-software-software-piracy-dariperspektif-etika-bisnis/
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2010/10/20/dampak-negatif-pembajakan-software-bagikemajuan-ekonomi-indonesia-296057.html
http://www.trenologi.com/2013041913918/pasar-pc-di-indonesia-diprediksikan-masih-tumbuh/
http://tekno.kompas.com/read/2013/02/19/18553149/pembajakan.piranti.lunak.menurunkan.daya
.saing.
http://tekno.kompas.com/read/2012/07/11/08124476/indonesia.peringkat.ke11.negara.pembajak.software
http://www.tempo.co/read/news/2008/11/27/061148399/Pembajakan-Software-AncamPerkembangan-Industri-Peranti-Lunak-Indonesia
http://romisatriawahono.net/2006/11/05/industri-software-lokal-catatan-diskusi-metro-tv/
10