PRAKTIK KEPEMIMPINAN SOEHARTO DALAM PERS

UNIVERSITAS INDONESIA

PRAKTIK KEPEMIMPINAN SOEHARTO DALAM
PERSPEKTIF PEMIKIRAN POLITIK TRADISIONALISME
JAWA
Tugas Makalah Kelompok
Mata Kuliah Pemikiran Politik Indonesia

Amalya Fitria Tjaja (NPM: 13.....)
Cava Timotius Sedayu Bramono (NPM: 1306384353)
Larasati Ayuningrum (NPM: 13.....)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen Ilmu Politik
September 2014

ABSTRAK

i

DAFTAR ISI


ii

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
Dalam konteks latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan utama
dalam makalah ini adalah: bagaimana praktik kepemimpinan Soeharto dipandang melalui
perspektif pemikiran politik tradisionalisme Jawa. Kaitan antara pemikiran politik
tradisionalisme Jawa dengan praktik kepemimpinan Soeharto dalam makalah ini tidak dilihat
sebagai suatu hubungan kausalitas dimana pemikiran politik tradisionalisme Jawa
mempengaruhi praktik kepemimpinan Soeharto. Yang disajikan dalam makalah ini adalah
analisis terhadap praktik kepemimpinan Soeharto berdasarkan prinsip-prinsip dan konsepkonsep yang muncul dalam pemikiran politik tradisionalisme Jawa.
Praktik kepemimpinan Soeharto yang dibahas, dibatasi pada praktik kepemimpinan
politik dalam negeri Soeharto sebagai presiden, lebih khusus lagi dalam hal memperoleh,
menggunakan dan mempertahankan kekuasaan kepresidenannya. Banyak kebijakan penting
lain yang diambil Soeharto dan memiliki tendensi yang sangat dekat juga dengan pemikiran

politik tradisionalisme Jawa, seperti kebijakan ekonomi politik dan politik internasionalnya
tidak dibahas dalam makalah ini untuk memfokuskan argumen penulis pada aspek yang lebih
spesifik.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Sebagai penyelesaian tugas mata kuliah Pemikiran Politik Indonesia
2. Menjelaskan beberapa prinsip dan konsep dasar pemikiran politik tradisionalisme
Jawa
3. Menganalisis praktik kepemimpinan Soeharto dengan perspektif pemikiran politik
tradisionalisme Jawa.
1

2

D. Kerangka Teori
Menjelaskan secara sistematis konsep-konsep pemikiran politik tradisional Indonesia,
dalam hal ini Jawa, merupakan pekerjaan yang cukup sulit akibat kekurangan yang terdapat
pada kepustakaan klasik Indonesia sendiri yang tidak mengandung penjelasan tentang “teori
politik”, berbeda dengan kepustakaan India dan Tionghoa, misalnya.1 Berikut ini adalah

beberapa konsep yang dapat digunakan untuk nantinya menganalisis praktik kepemimpinan
Soeharto.

1. Konsep Kekuasaan dan Cara Mendapat Kekuasaan dalam Pemikiran Politik
Tradisionalisme Jawa

2

Pandangan tradisional Jawa mengenai konsep kekuasaan memiliki perbedaan yang
cukup mendasar dengan konsep kekuasaan modern ala Eropa yang kita kenal secara umum
dalam hal wujud kekuasaan, sumber kekuasaan, akumulasi (jumlah) kekuasaan, dan
legitimasi moral kekuasaan. Sementara wujud kekuasaan berdasarkan perspektif Eropa
Modern adalah abstrak sebagai suatu hubungan atau realitas sosial, dalam pemikiran
tradisional Jawa, kekuasaan dianggap memiliki wujud yang konkrit. Sumber kekuasaan dalam
konsep Eropa Modern bersifat heterogen, dapat berupa kekayaan, jabatan, status sosial,
organisasi, senjata, dan lain-lain. Sebaliknya, dalam konsep tradisional Jawa sumber
kekuasaan dan kekuasaan itu sendiri adalah hal yang homogen. Semua kekuasaan adalah
sama dan berasal dari sumber yang sama. Dalam konsep Eropa Modern, akibat heterogenitas
sumber kekuasaan, maka jumlah kekuasaan dapat terus berakumulasi tanpa terbatas sejalan
dengan jumlah sumber kekuasaan yang juga terus bertambah. Begitu juga, akibat pandangan

mengenai homogenitas sumber kekuasaan pada pemikiran tradisional Jawa, maka jumlah
kekuasaan pun bersifat tetap, bertambahnya kekuasaan pada satu orang akan mengakibatkan
berkurangnya kekuasaan orang lain. Yang terakhir, dalam pandangan Eropa Modern,
kekuasaan bersifat ambigu dan dipertanyakan secara moral, sedangkan dalam pandangan
tradisional Jawa, kekuasaan tidak memiliki implikasi moral yang inheren karena kekuasaan
sudah ada bahkan sebelum adanya masalah baik dan buruk.
Benedict R.O’G. Anderson, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”, dalam Miriam Budiardjo
(ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa , (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984), hlm. 44
2
Anderson, Ibid., hlm. 47-57
1

3
Kekuasaan itu, dalam tradisi ortodoks Jawa, diperoleh melalui praktik-praktik yoga
dan bertapa atau

praktik matiraga yang sangat keras dalam berbagai bentuk termasuk

berpuasa, bersemedi, tidak tidur, dan sebagainya. Sementara dalam tradisi heterodoks,
kekuasaan justru diperoleh melalui mabuk-mabukan, pesta seks dan pembunuhan ritual.

Selain itu berbagai cara lain seperti upacara-upacara simbolis atau usaha mengumpulkan
benda atau orang yang dianggap mengandung kekuasaan juga dianggap sebagai usaha untuk
mendapat kekuasaan. Namun semua cara tersebut pada intinya memiliki tujuan yang sama,
yaitu pemusatan dan konsentrasi kekuasaan.

2. Konsep Dewa Raja, dan Konsep Makrokosmos-Mikrokosmos3

Salah satu asumsi yang penting dalam pemikiran tradisional Jawa adalah anggapan
tentang hubungan antara alam Makrokosmos dan Mikrokosmos. Makrokosmos, atau
Bhuwana Agung merupakan keseluruhan jagat raya yang dikuasai oleh dewa-dewa yang

memiliki pusat kedudukan di Meru. Sementara Mikrokosmos, atau Bhuwana Alit merupakan
kerajaan sebagai wujud yang lebih kecil dari Makrokosmos, dan dikuasai oleh raja.
Kekuasaan raja yang berkuasa di suatu kerajaan ditentukan oleh hubungan sinergi antara
Makrokosmos dan Mikrokosmos yang akhirnya memberikan legalitas legitimasi kepada raja
tersebut.
Karena itu, dalam kebudayaan tradisional Jawa, seperti juga yang ditemukan dalam
berbagai kebudayaan di Asia Tenggara pada umumnya, menyamakan kedudukan seorang raja
dengan dewa-dewa. Raja dianggap merupakan perwujudan dewa-dewa yang turun ke dunia.
Konsep dewa raja ini berakar pada kebudayaan Hindu yang berkembang di Asia Tenggara.


3. Konsep Mandala

Konsep Mandala (lingkaran) mengacu kepada pemikiran tradisional Jawa mengenai
pemetaan pengaruh kekuasaan. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik pemikiran
Jawa tradisional, yaitu orientasi yang sangat kuat kepada pusat (centripetality). Kekuasaan
juga sangat dikaitkan dengan pemusatan dan kesatuan. Akhirnya, pemetaan pengaruh
kekuasaan negara pun secara khas ditentukan, bukan oleh batas wilayahnya melainkan oleh
pusatnya. Pengaruh kekuasaan itu berangsur-angsur melemah ketika menjauh dari pusat,
3

Diolah berdasarkan presentasi materi kuliah Pemikiran Politik Indonesia FISIP UI 8 September 2014

4
sehingga gambarannya menyerupai dengan mandala (lingkaran). Hal ini kontras berbeda
dengan pandangan negara modern dimana batas-batas negara ditandai dengan tegas dan
kekuasaan negara seimbang di semua wilayah dalam tapal batasnya.4

E. Metodologi dan Sistematika Penulisan
Penulisan makalah ini ditulis dengan pendekatan kualitatif karena sifatnya adalah

menganalisis suatu gejala yang tidak dapat diukur, yaitu praktik kepemimpinan Soeharto
dengan perspektif pemikiran politik tradisionalisme Jawa. Paradigma yang digunakan adalah
paradigma interpretatif dan metode yang digunakan adalah melalui studi literatur dari sumbersumber cetak maupun dari penelusuran internet.
Bab 1 makalah ini berupa pendahuluan yang mencakup hal-hal dasar yang
menjelaskan permasalahan yang akan dibahas, juga kerangka teori mengenai konsep-konsep
dasar pemikiran politik tradisionalisme Jawa. Bab 2 merupakan pokok pembahasan yang
lebih mendalam mengenai pemikiran politik tradisionalisme Jawa dan analisis terhadap
praktik kepemimpinan Soeharto berdasarkan perspektif pemikiran tersebut.Bab 3 merupakan
penutup berupa kesimpulan makalah.

4

Anderson, Op.Cit., hlm. 76-80.

BAB 2
ANALISIS TERHADAP PRAKTIK KEPEMIMPINAN SOEHARTO

Analisis terhadap praktik kepemimpinan Soeharto dalam bab ini akan difokuskan pada
dua topik utama yang cukup relevan dengan pemikiran politik Tradisional Jawa. Pertama ,
topik mengenai bagaimana Soeharto memperoleh kekuasaannya sebagai presiden dan

mempertahankannya selama lebih dari 30 tahun. Kedua , gaya pemerintahan Soeharto yang
otoriter dan bertentangan dengan demokrasi modern.

Usaha Meraih dan Mempertahankan Kekuasaan

Awal

kenaikan Soeharto menjadi

presiden

dilatarbelakangi

oleh

peristiwa

pemberontakan G30S tahun 1965, yang memperlemah posisi kekuasaan Sukarno sebagai
presiden pada saat itu karena adanya kecurigaan dari beberapa pimpinan militer tentang
keterlibatannya, dan berujung pada pencopotannya pada Maret 1967. Didukung oleh dominasi

kekuatan militer dan hancurnya kekuatan orde lama, Soeharto yang menjabat presiden
sementara segera melakukan konsolidasi kekuasaan, salah satunya dengan mengangkat orangorang yang mendukungnya untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.5
Peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto dapat dikaitkan dengan konsepsi
tentang kekuasaan dalam kebudayaan Jawa. Dalam pemikiran tradisional Jawa, kekuasan
bersifat konkrit dan jumlahnya selalu tetap di alam semesta. Maka, berkurangnya kekuasaan
pada seseorang berarti bertambahnya kekuasaan pada orang lain, dan sebaliknya, seseorang
bisa bertambah kekuasaannya ketika ada kekuasaan orang lain yang berkurang. 6 Dalam kasus
Soeharto, berkurangnya kekuasaan Sukarno diikuti dengan bertambahnya atau berpindahnya
kekuasaan tersebut kepada Soeharto.
Salah satu bentuk konsolidasi kekuasaan Soekharto di masa awal kepemimpinannya
dengan menempatkan orang-orang yang mendukungnya pada posisi-posisi strategis,
khususnya dalam struktur militer, juga memiliki kemiripan dengan salah satu bentuk
pencapaian kekuasaan dalam pemikiran tradisional Jawa. Menurut Anderson, dalam tradisi

5

David Jenkins, Soeharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983, (Singapura: Equinox
Publishing, 2010), hlm. 20.
6
Anderson, Op.Cit., hlm.51-52.


5

6
Jawa penguasa harus mengumpulkan di sekeliling dirinya benda atau orang apapun yang
dianggap mempunyai atau mengandung kekuasaan.7 Ide tentang orang-orang di sekeliling
penguasa yang memperkuat posisi penguasa juga ditemukan dalam sebuah bagian dalam
pustaka klasik Jawa, Kartawijoga, yang menggambarkan negara yang ideal dalam pandangan
tradisional Jawa. “Ketentraman tidak pernah terusik, karena negara tidak pernah terancam
serbuan musuh dari luar, dan tidak satu pun pembantu raja yang berkhianat.”8 Suasana
stabilitas seperti itu jugalah yang ditekankan selama pemerintahan orde baru Soeharto.
Kesigapan Soeharto mengambil alih kekuasaan dan melakukan konsolidasi ketika
kekuasaan Sukarno mulai melemah juga dapat dipandang sebagai tindakan yang didasarkan
pada paradigma pemikiran tradisional Jawa. Dalam konsep kekuasaan Jawa, karena jumlah
kekuasaan bersifat tetap dan sumbernya bersifat homogen, maka usaha untuk menghimpun
kekuasaan menjadi masalah yang penting dan lebih pokok daripada masalah bagaimana
menggunakan kekuasaan tersebut.9 Kesigapan Soeharto mengambil alih kekuasaan
menunjukkan bahwa dia menganggap usaha memperoleh kekuasaan sebagai masalah yang
amat penting. Mengenai masalah penggunaan kekuasaan, apakah Soeharto -sejalan dengan
konsep pemikiran tradisional Jawa- menganggapnya tidak lebih penting daripada masalah

bagaimana menghimpunnya, memerlukan kajian yang lebih dalam mengenai bagaimana
Soeharto mengunakan kekuasaannya selama 32 tahun jabatan kepresidenannya.
Perhatian Soeharto akan pentingnya menghimpun dan mempertahankan kekuasaan
tidak hanya terlihat pada awal kenaikannya menjadi presiden menggantikan Sukarno,
melainkan juga dalam bagaimana Soeharto mempertahankan kekuasaannya selama lebih dari
tiga dekade melalui berbagai rekayasa dalam pemilihan umum. Selain kondisi yang tidak
ideal karena penggunaan sistem pemilu proporsional dengan sistem daftar, pelaksanaan pada
tingkat operasional pemilu juga banyak mengalami penyimpangan. Panitia pelaksana pemilu
dari tingkatan tertinggi sampai terendah tidak independen dan didominasi oleh aparat
birokrasi yang notabene diharuskan mendukung Golkar -kendaraan politik Soeharto- atas
dasar asas monoloyalitas. Selain itu rezim orde baru juga memberlakukan fusi partai politik
menjadi hanya tiga partai politik, yaitu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan
Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dalam kerangka pemikiran Jawa,
sistem banyak partai, bersama dengan pembagian kekuasaan secara konstitusional dan
7

Anderson, Ibid., hlm.57.
Ki Reditanaja, “Negara Idaman”, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia
1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 170.
9
Anderson, Op.Cit., hlm. 52
8

7
federalisme memang dapat dianggap memperlemah kekuasaan.10 Selain fusi parpol,
pemerintahan Soeharto juga mengeluarkan kebijakan “massa mengambang” untuk
memperkuat tujuan memenangkan Golkar. Kebijakan ini tidak memperkenankan partai politik
untuk melakukan aktivitas hinga tingkat desa. Sementara Golkar, karena tidak dianggap
sebagai partai politik, dapat membangun kekuatannya hingga tingkat pedesaan. Pada akhirnya
pemilu pada masa orde baru hanya bersifat formalitas politik untuk melanggengkan
kekuasaan Soeharto beserta rezimnya.11

Pemerintahan yang Otoriter dan Penolakan terhadap Demokrasi Barat

Ketika membaca beberapa literatur yang memuat prinsip-prinsip pemikiran tradisional
Jawa, kesan penolakan terhadap demokrasi barat dan nilai-nilai yang berkaitan dengan
demokrasi barat seperti kapitalisme dan individualisme, akan sangat terasa dan bahkan dalam
beberapa tulisan diungkapkan secara eksplisit. Herbert Feith misalnya, melihat adanya
kemiripan antara tradisi Jawa dengan nasionalisme radikal, yaitu keduanya sama-sama
bersifat eklektik, sama-sama menghormati negara kesatuan beserta pemimpinnya, dan samasama menolak individualisme dan kapitalisme.12
Penolakan terhadap demokrasi dan nilai-nilai yang berkaitan dengannya lebih
gamblang lagi dituliskan oleh seorang bangsawan Jawa, R.M.S. Soeriokoesoemo dalam
sebuah fragmen dalam artikel berbahasa Belanda yang berjudul “Sabdo Pandito Ratoe”
(Sabda Raja Bijaksana).13 Dalam tulisan itu, Soeriokoesoemo menentang persamaan hak dan
persaingan bebas yang ditemukan dalam demokrasi karena hal-hal tersebut justru
mengakibatkan berbagai ketidakadilan. Bagi Soeriokoesoemo, demokrasi adalah jalan yang
berbahaya.
Sejalan dengan penolakan-penolakan tersebut, Soeharto sebagai presiden juga
melakukan penolakan terhadap demokrasi barat dan memberlakukan sistem demokrasinya
sendiri yang disebutnya Demokrasi Pancasila.14 Meskipun tetap menggunakan istilah

10

Anderson, Ibid., hlm. 70.
Ikhsan Darmawan, Analisis Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2013), hlm. 50-58
12
Herbert Feith dan Castles, Lance (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm.
169.
13
R.M.S. Soeriokoesoemo, “Hak Orang Bijaksana”, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (Ed.), Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 173-179.
14
Retnowati Abdulgani-Knapp, Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President: an Authorised
Biography, (Marshall Cavendish, 2007), hlm. 14.
11

8
demokrasi, pada praktiknya Demokrasi Pancasila justru banyak bertentangan dengan prinsipprinsip umum demokrasi. Rezim orde baru yang dipimpin Soeharto justru bercirikan
pemerintahan yang otoriter dan represif.15 Kekuasaan Soeharto bahkan membelenggu suara
rakyat, serta mengecilkan peran berbagai lembaga demokrasi.16
Ada kemiripan antara kekuasaan Soeharto yang sentralistis dan mempersonal,17
dengan beberapa prinsip yang ditemukan dalam pemikiran tradisional Jawa. Gaya
kepemimpinan yang sentralistis sangat umum ditemui dalam pemikiran politik tradisional
Jawa karena sifat dari pemikiran ini sendiri sangat berorientasi pada pusat (centripetality).18
Soeriokoesoemo menggunakan analogi keluarga yang dianggapnya sebagai negara dalam
ukuran kecil dimana sang ayah bertanggung jawab mengatur negara, sementara si ibu
mengatur urusan ekonomi dan anak-anak mengerjakan pekerjaan sesuai perintah orang
tuanya. Artinya, kekuasaan dalam negara memang harus diberikan pada “orang bijaksana”
sebagai suatu pusat, yang juga dipilih oleh orang bijak dan bukan oleh rakyat.19
Selain gaya kepemimpinan yang sentralistis, gaya kepemimpinan yang mempersonal
juga dapat ditemukan dalam pemikiran politik tradisional Jawa. Individu pemimpin menjadi
sosok yang sangat dihormati dalam kebudayaan Jawa. Hal itu bisa dilihat misalnya dalam
penggambaran negara idaman menurut Ki Reditanaja dimana sang raja yang bergelar
Narasoma sangat dihormati rakyat dan negara-negara lain; “begitu terpuji dan murah hatinya
Sri Paduka, hingga semalam suntuk pun tidak akan cukup untuk menceritakannya.”20

15

Darmawan, Op.Cit., hlm. 18
Darmawan, Ibid., hlm. 83.
17
Darmawan, Ibid., hlm. 52.
18
Anderson, Op.Cit., hlm. 78.
19
Soeriokoesoemo, Op.Cit., hlm. 175-178. Penulis melihat adanya kemiripan yang sangat jelas antara pemikiran
ini dengan pemikiran Plato dalam buku The Republic yang juga dikenal sebagai perlawanan terhadap demokrasi.
20
Reditanaja, Op.Cit., hlm. 170-170.
16

BAB 4
KESIMPULAN DAN PENUTUP

9

DAFTAR PUSTAKA

Abdulgani-Knapp, Retnowati, 2007, Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second
President: an Authorised Biography, Marshall Cavendish.

Anderson, Benedict R.O’G., 1984, “Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”,
dalam Miriam Budiardjo (Ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa , Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan.
Darmawan, Ikhsan, 2013, Analisis Sistem Politik Indonesia , Bandung: Penerbit Alfabeta.
Feith, Herbert dan Lance Castles (Ed.), 1988, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965,
Jakarta: LP3ES.
Jenkins, David, 2010, Soeharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983,
Singapura: Equinox Publishing.
Ki Reditanaja, 1988, “Negara Idaman”, dalam Herbert Feith dan Lance Castles (Ed.),
Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LP3ES.

Soeriokoesoemo, R.M.S., 1988, “Hak Orang Bijaksana”, dalam Herbert Feith dan Lance
Castles (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: LP3ES.