PEMAHAMAN MASALAH MASALAH UTAMA DALAM PE

Diterbitkan oleh:

PUSAT PELAYANAN PENERBITAN DAN INFORMASI (P3I)
UNIVERSITAS SAMAWA
SUMBAWA BESAR NTB

i

Vol. 21 Nomor 1, Februari 2016

Penanggung Jawab
Rektor Universitas Samawa
Pemimpin Umum
Dr. Lahmuddin Zuhri, S.H.,M.Hum.
Pemimpin Redaksi
Ilham Handika, M.Pd.
Dewan Redaksi
Endra Syaifuddin, S.H.,M.H.
Iwan Haryanto, S.H.,M.H.
Ade Sujastiawan, M.Si.
Tim Reviewer Ahli

Dr. Dahlil Marjom, M.Hum.
(Universitas Andalas Padang)
Dr. Gunawan
(Universitas Mataram)
Dr. Luh Putu Sudini, S.H.,M.Hum.
(Universitas Warmadewa Denpasar)
Dr. Ahmad Dakhoir, S.Hi
(STAIN Palangkaraya)
Dr. I Nyoman Sutama,M.M.
(Universitas Samawa)
Diterbitkan oleh:
PUSAT PELAYANAN PENERBITAN DAN INFORMASI (P31)
UNIVERSITAS SAMAWA (UNSA)
Sumbawa Besar NTB
Alamat Redaksi:
Kampus Universitas Samawa
Jl. Raya Sering Unter Iwes
Sumbawa Besar NTB
Telp./Faks. (0371) 625848/ 07864427188
e-mail: progress_unsabaru@yahoo.com

ii

DAFTAR ISI
Daftar Isi

iii

Studi Perkembangan Wilayah Kecamatan Unter Iwes Sebelum dan Setelah Pemekaran

1-6

Ade Sujastiawan
Analisis Faktor Struktural, Akselerator dan Trigger (SAT) Konflik 221 di Kabupaten 7-16
Sumbawa

Amrullah & Sri Nurhidayati
Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA
Menggunakan Metode Penemuan Terbimbing

Melalui


Pembelajaran

dengan 17-23

Desi Maulidyawati
Pengaruh Segmentasi, Target Pasar, Penetapan Posisi Toko, dan Strategi Pemasaran 24-28
Terhadap Minat Beli Konsumen, Guna Mendapatkan Keunggulan Bersaing Alfamart di
Lombok Timur

Didin Hadi Saputra
Pemahaman Masalah-Masalah Utama dalam Pembelajaran Anak Usia Dini

29-39

IGA Widari
Analisis Daya Tarik Lokasi Model Gravitasi Kasus Kabupaten Sumbawa Barat

40-49


Indra Kusumawati & Sumarlin
A Framework For The Analysis of Second Language Learning In Classrooms

50-57

Iwan Jazadi
Pemetaan Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah di Daerah Terpencil

58-65

Jhon Kenedi & Fatmawati
Keefektifan Metode Peer Teaching Melalui Pendekatan Lesson Study Ditinjau dari 66-74
Keterampilan Dasar Mengajar Mahasiswa

Muhammad Iksan & Suharli
Pengaruh Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berfikir(SPPKB) Terhadap 75-86
Hasil Belajar Siswa Kelas VIII Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Terpadu
SMP Negeri 4 Sumbawa Tahun Pelajaran 2014/2015

Nining Andriani & Mu’izzin


Tuturan Implikatur dalam Novel Saman (Sebuah Kajian Pragmatik)

87-92

Siti Hawa, Ana Merdekawati & Ade Asih Susiari Tantri
Analisa Efisiensi Kemampuan Pengurus Terhadap Pengelolaan Modal Kerja Pada KPRI 93-100
Bhakti Husada Kabupaten Sumbawa

Sri Rahayu
Teks Pelajaran Siswa Sekolah Dasar (SD) Kelas IV Kurikulum 2013 Kajian Berdasarkan 101-108
Linguistik Fungsional Sistemik

Sri Sugiarto
Teaching Reading Comprehension To Non-Native Learner Through Short Story

109-113

Suparman
Model Kebijakan Dalam Upaya Mengakomodir Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal


114-122

Syaifuddin Iskandar & Ade Safitri
The Implementation Of Skimming-Scanning Technique In Teaching Reading

123-130

Umar
iii

PEMAHAMAN MASALAH-MASALAH UTAMA DALAM PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI

1

IGA WIDARI1
Dosen STKIP Paracendekia NW Sumbawa
Abstract

Many organizers of early childhood education are faced with some problems about how

they should educate their children. For this need, the writer has done two research projects (library
and field research). There are six problems and the solutions offered from the library study, related
to child gro th a d de elop e t, childre ’s logical a d critical thi king, the teaching of reading,
writing and counting, the role of playing, giving limitations, and the issue of cheap education.
Next, the writer discusses the issues in lights of the results of observation within the last five years
in a kindergarten where the writer also serves as its voluntary principal.
Key words: Early child education, reading-writing-counting, critical thinking, play, limitation,
cheap education
PENDAHULUAN
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan bagi anak sejak lahir sampai
dengan usia enam tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki
kesiapan
dalam
memasuki

pendidikan lebih lanjut. PAUD dapat
berlangsung secara formal melalui Taman
Kanak-Kanak (TK) untuk anak usia 4-6 tahun
atau secara informal melalui PAUD
(informal) atau kelompok bermain untuk
anak usia 0-6 tahun.
Titik Berat PAUD adalah terwujudnya
pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar),
kecerdasan (daya pikir, daya cipta,
kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual),
sosio emosional (sikap dan perilaku serta
agama), bahasa dan komunikasi, sesuai
dengan
keunikan
dan
tahap-tahap
perkembangan yang dilalui oleh anak usia
dini.
PAUD memiliki beberapa tujuan.

Tujuan utamanya adalah untuk membentuk
anak yang berkualitas, yaitu anak yang
tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tingkat perkembangannya sehingga memiliki
kesiapan yang optimal di dalam memasuki
pendidikan
dasar
serta
mengarungi
kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyer-

taanya adalah untuk membantu menyiapkan
anak mencapai kesiapan belajar (akademik)
di sekolah.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut,
beberapa pertanyaan yang masih menjadi
fokus pembahasan para ahli dan praktisi
PAUD, sebagaimana penulis amati di
beberapa media massa dan referensi ilmiah,
antara lain:

1. Bagaimana fase perkembangan anak usia
dini dan dampak terhadap cara
belajarnya?
2. Pantaskah anak usia dini diajar berpikir
logis dan kritis?
3. Pantaskah anak usia dini belajar
calistung?
4. Apa keunggulan dari permainan (play)?
5. Apakah salah bila anak usia dini diberi
pembatasan-pembatasan?
6. Apakah penyelenggaraan PAUD mesti
mahal?
Sederet pertanyaan ini menjadi fokus
pembahasan dalam tulisan ini sesuai dengan
hasil telaah dari beberapa referensi yang
relevan dan studi lapangan khusus di Taman
Kanak-Kanak Paracendekia NW Sumbawa.
KAJIAN PUSTAKA
Penulis melakukan studi pustaka
melalui pencarian jejaring (online searching)

de ga kata ku i pe didika a ak usia
di i atau early child education. Referensi
29

yang muncul meliputi artikel jurnal ilmiah,
artikel media massa, dan beberapa berita
surat khabar. Sumber-sumber rujukan
tersebut umumnya membahas pendidikan
anak usia dini di Indonesia, dan beberapa
lainnya merupakan referensi dari luar negeri.
Dalam sumber pustaka tersebut mengemuka
enam masalah dan pembahasan tentang
pendidikan anak usia dini, yaitu berkaitan
dengan proses tumbuh kembang anak,
kepantasan anak berpikir logis dan kritis,
kepantasan pengajaran calistung, peran
bermain, dan pelaksanaan pendidikan
murah, sebagaimana dibahas di bawah ini.
a. Fase Perkembangan Dan Cara Belajar
Ganesyawidya
(2011),
mengutip
pendapat Pakar psikologi anak Seto Mulyadi,
menyatakan bahwa usia balita merupakan
masa penting bagi perkembangan potensi
seseorang, termasuk rasa percaya dirinya.
Sejalan dengan itu, Osborn (dalam
Ganesyawidya, 2011) menyatakan bahwa
perkembangan kecerdasan yang sangat
pesat terjadi pada saat anak berusia nol
sampai lima tahun. Hampir 50 persen
potensi kecerdasan anak, menurut Osborne,
sudah terbentuk pada usia empat tahun,
kemudian mencapai 80 persen pada saat
anak berusia delapan tahun. Kreativitas
seseorang mulai meningkat pada usia tiga
tahun dan mencapai puncaknya pada usia
4,5 tahun, dan akan segera menurun apabila
tidak diupayakan agar kemampuan tersebut
tetap terus berkembang.
Pada
masa-masa
penting
pertumbuhan tersebut, selain pasokan
makanan bergizi yang cukup, juga diperlukan
kasih sayang dan perhatian orang tua serta
dukungan keluarga pada sang anak, guna
menunjang pertumbuhan otak dan cara
berpikir
anak
tersebut.
Kecerdasan anak tidak dapat tumbuh
dengan sendirinya, tetapi harus dirangsang.
Untuk
mengembangkan
kemampuan
berbahasa pada seorang anak, misalnya,
maka orang tua harus rajin menjalin
percakapan dengan sang anak. Saat anak
masih bayi, mereka harus tetap diajak
berbicara dengan suara yang halus, meski

mereka belum mengerti (Sujiono, 2009;
Hussain, 2006).
Selain itu, anak-anak harus diberi
kesempatan
untuk
mengungkapkan
perasaan-perasaannya
dengan
bebas,
seperti rasa marah, sedih, takut dan kecewa,
namun tetap dalam kondisi wajar, dan
orangtua harus dapat berperan sebagai
teman serta mendengarkannya, bukan justru
semakin menyudutkan sang anak. Semakin
dini pelatihan pengungkapan ekspresi emosi
secara wajar diberikan kepada anak, maka
anak akan semakin mudah mengendalikan,
menguasai serta mengatur emosinya,
sehingga anak akan tumbuh menjadi pribadipribadi yang tenang dan mampu menguasai
keadaan (Riendravi, 2013).
Montessori (dalam Rachmat, 2006)
mengidentifikasi
enam
tahapan
perkembangan sensifit pada anak usia 1,5
sampai enam tahun – sensitivitas terhadap
aturan, bahasa, berjalan, aspek sosial
kehidupan, benda-benda kecil dan belajar
melalui melaui panca indra. Sensitivitas
terhadap aturan terjadi ketika seorang anak
mampu
memanipulasi
lingkungannya
dengan memindahkan benda-benda dari
satu tempat ke tempat lain. Sensitivitas
bahasa terjadi ketika seorang anak secara
tidak langsung memperoleh kosa kata dasar,
pola kalimat dan aksen bahasa dengan
mengamati gerakan bibir orang dewasa.
Sensitivitas berjalan adalah saat ketika
seorang anak sedang berusaha belajar
berjalan. Sensitivitas terhadap aspek sosial
terjadi ketika seorang anak mulai
memikirkan
lingkungan
sekitarnya.
Sensitivitas terhadap benda-benda kecil
akan mendesak seorang anak untuk
memperhatikan hal-hal rinci. Inilah saatnya
anak itu membangun pemahaman tentang
dunia. Setelah memiliki indra penglihatan
dan pendengaran, seorang anak akan
mengembangkan rasa sentuh diikuti oleh
rasa selera. Inilah siklus dalam sensitivitas
tentang belajar melalui indra.
Tahap-tahap perkembangan ini akan
menanamkan kekuatan-kekuatan kreatif
dalam
diri
seorang
anak
dengan
memungkinkan anak tersebut berinteraksi
dengan situasi lingkungan seperti berdisiplin,
30

memiliki kemandirian dan inisiatif serta
imajinasi positif dan mengembangkan
potensi intelektualnya (Riendravi, 2013).
b. Kepantasan Belajar Calistung
Masalah selanjutnya yang masih
menjadi bahan perdebatan di kalangan
praktisi PAUD adalah tentang sejauh mana
anak usia dini pantas belajar membaca,
menulis dan berhitung (Istiyani, 2013). Salah
satu kebijakan yang secara tegas melarang
kegiatan calistung adalah Peraturan Bupati
Purwakarta Provinsi Jawa Barat Nomor 107
Tahun 2014 tentang larangan membaca
menulis berhitung pada pendidikan anak
usia dini. Untuk memahami secara
proporsional masalah ini, Adiningsih (2006)
melakukan penelaahan terhadap otak anak
usia dini, sebagai "pengolah" utama aktivitas
beraksara. Sudahkah otak mereka siap untuk
belajar beraksara, untuk belajar berbahasa,
membaca
dan
menulis?
Demikian
paparannya.
Ketika baru lahir, berat otak bayi
memang hanya 25 persen dari berat otak
orang dewasa. Namun, tidak berarti
kemampuannya
jauh
tertinggal
dibandingkan dengan orang dewasa. Karena,
hanya dalam jangka waktu dua bulan jumlah
sel otak bayi sudah sama dengan jumlah sel
otak orang dewasa, walaupun berat otaknya
belum menyamai berat otak orang dewasa.
Bagaimana bisa demikian? Sebelum
dilahirkan, 250.000 sel otak tumbuh setiap
menitnya melalui proses pembelahan sel
(mitosis), sehingga ketika lahir, setidaknya di
otak bayi telah ada 100 miliar sel otak.
Padahal setiap sel otak mempunyai potensi
menjadi "alat" pemroses informasi. Bisa
dibayangkan bagaimana dahsyatnya potensi
otak anak. Jumlah ini tidak lagi bertambah
ketika bayi berusia dua bulan. Sel-sel otak
tersebut semakin membesar, semakin
"gemuk" dan mulai membagi diri
berdasarkan fungsi dan posisinya.
Hasilnya pada usia 3-4 tahun berat
otak anak telah mencapai 75 persen dari
berat otak orang dewasa. Di tahun kelima,
berat otak anak sudah mencapai 90 persen
dari
berat
orang
dewasa.
Proses
"penggemukan" ini terus berlangsung hingga

anak berumur 12 tahun. Pada usia itu, berat
otak anak sudah sama dengan berat orang
dewasa. Masalahnya adalah sel-sel otak itu
tidak akan berarti apa-apa apabila serabut
yang menghubungkan antar sel otak tidak
terhubung dengan sel otak yang lain, apabila
tidak diaktifkan. Dan inilah yang terjadi pada
sel otak anak. Jumlah serabut sel otaknya
belum sebanyak pada orang dewasa. Untuk
memacu
pertumbuhannya
diperlukan
stimulus yang berupa rangsangan melalui
organ-organ sensorik, melalui pancaindera
(Sujiono, 2009).
Menurut Eisenberg (dalam Adiningsih,
2006), otak seorang bayi dapat dianalogikan
seperti sebuah komputer. Semakin banyak
input yang dimasukkan ke dalam otaknya,
maka akan semakin banyak dan semakin
baik output yang dihasilkan. Ini artinya, bila
bayi diberi kesempatan yang banyak untuk
"memprogram" otaknya yaitu dengan
memberi masukan sensorik dan motorik
maka kecerdasannya akan jauh berkembang.
Dengan kata lain, dilihat dari kapasitas
otaknya, anak sepantasnya dapat diajarkan
membaca, menulis dan berhitung, tetapi
tentu dengan cara-cara yang tidak sama
dengan orang dewasa.
Cara yang
sederhana,
anak
usia
dini
dapat
diperkenalkan pada kegiatan membaca dan
menulis, misalnya dengan cara membuat
tulisan nama benda pada karton dan
menempelkan tulisan tersebut pada benda
yang dimaksud. Ini dapat merangsang daya
ingat anak terhadap benda tersebut
sekaligus memperkenalkan anak akan
bentuk huruf dan tulisan. Kemampuan dasar
matematika anak dapat diperkenalkan pada
konsep matematika secara sederhana,
misalnya menghitung jumlah anak tangga,
menghitung panjang meja dengan jengkal si
anak, mengukur tinggi dan berat badannya
sendiri. Singkatnya, pembelajaran calistung
anak usia dini harus dipadukan dengan
kebutuhan dan minat mereka dalam
interaksi sehari-hari, yaitu sesuatu yang
mereka sukai untuk melakukannya.
c. Kekuatan Bermain (Play)
Dewasa
ini
banyak
sekolah
menghapus waktu-waktu santai dan
31

bermain dan menggantikan dengan jam-jam
belajar. Bahkan anak-anak TK sekarang mulai
mengikuti tes dan diberi tugas-tugas rumah.
Kegiatan tutorial sekolah dan olahraga
terorganisir memotong waktu-waktu untuk
permainan yang sifatnya spontan dan atas
inisiatif anak-anak sendiri. Komputer atau
persiapan ujian begitu cepat menggantikan
kegiatan-kegiatan yang biasanya diadakan
seperti berenang, mendayung, mendaki,
berkemah dan bercerita. Bersepeda diganti
oleh permainan computer games, walaupun
diklaim
mengajarkan
keterampilan
komputer. Bahkan masa bayi pun kini tidak
lagi identik dengan permainan karena bayi
pun telah diarahkan untuk berinteraksi
de ga
ai a pe didika se agai ariasi
program permainan komputer (Hadi, 2014;
Limanto, 2008).
Dari semua paparan di atas, pesan
yang dapat disimpulkan adalah bahwa
permainan (play) adalah suatu yang mubazir
dan hanya dilakukan oleh anak pemalas.
Menurut Elkind (2006) dan Lillard (2013),
persepsi
tersebut
merupakan
suatu
kesalahpahaman mendasar tentang peran
permainan dalam kehidupan manusia,
sebagaimana penjelasannya berikut ini.
Menurut Elkind (2006), di samping
dua hal penting yang disebutkan Freud, yaitu
loving dan working, dari aspek apapun perlu
ditambah dengan aktivitas ketiga, yaitu
bermain (playing). Dengan bermain,
seseorang menyesuaikan dunia pada dirinya
dan menciptakan pengalaman belajar baru.
Melalui cinta, seseorang mengekspresikan
hasrat, perasaan dan emosi. Bekerja adalah
keluaran yang diadaptasi seseorang untuk
memenuhi dunia fisik dan sosialnya.
Walaupun bekerja dan bermain
dianggap sebagai dua hal yang berlawanan,
kenyataannya keduanya saling melengkapi.
Sebuah usaha apapun akan sangat efektif
ketiga kegiatan tersebut ikut terlibat. Di
sekolah, ketika permainan dimasukkan
dalam kurikulum, maka akan tercipta
motivasi yang positif (love) dan proses
pembelajaran yang lebih efektif dan
bertahan lama (work). Hal yang sama terjadi
di rumah dan di tempat kerja. Orang tua
yang mendengar anaknya dan membolehkan

mereka
untuk
berpartisipasi
dalam
pembuatan keputusan (play) akan merasa
dihargai dan dekat (love) serta secara efektif
menanamkan nilai-nilai tentang rumah
tangga (work). Di tempat kerja, di mana
masukan dari pegawai (play) disambut dan
diberi ganjaran, mereka akan memiliki sikap
yang positif terhadap pekerjaan dan
pimpinannya (love) dan hasilnya adalah
produk atau pelayanan yang lebih baik
(work). Singkatnya, semua kegiatan kreatif,
apakah dalam ilmu pengetahuan, seni atau
kehidupan sehari-hari merupakan kombinasi
dari permainan, cinta dan kerja.
Sejatinya, permainan atau play adalah
ja a a
dari perta yaa
agai a a
sesuatu ya g aru u ul ke per ukaa ?
Belajar memungkinkan seseorang untuk
memperoleh apa yang telah diketahui,
sementara
permainan
menyebabkan
munculnya pengetahuan, keterampilan dan
produk seni yang baru. Permainan
sesungguhnya amat penting di dunia dewasa
ini, terutama di sekolah, apalagi tingkat
pendidikan anak usia dini. Play adalah
medium yang memunculkan hal-hal baru ke
permukaan bagi anak usia dini yang melihat
segala sesuatu sebagai hal baru. Tanpa play,
hilanglah dunia anak usia dini (Pito, 2012;
Sujiono, 2009; Budiartati, 2007).
d. Memberi Pembatasan
Pertanyaan ketiga, yang sering dialami
oleh orang tua sebagai sebuah dilema bagi
anaknya yang masih usia dini, adalah
tentang efektivitas pembatasan yang
diberikan pada anaknya, yang sering
dirasakan tidak bisa dihindari.
Menurut Murkof (dalam Kompas, 1 Mei
2005), mengajarkan batasan bahwa ini tak
boleh, itu boleh, menjadi pagar pelindung
buat anak, juga membuat anak belajar teknik
bertahan hidup yang kelak dibutuhkannya.
Setiap anak, meski lahir dari ibu yang sama,
bisa jadi memiliki kepribadian yang tidak
sama. Meski kepribadian anak berbeda,
masing-masing
tetap
memerlukan
pembatasan. Bahwa, ini boleh atau itu tak
boleh harus tetap diterapkan dengan
pendekatan berbeda.
32

Oleh karena itu, Mengenalkan batasan
adalah teknik untuk bertahan hidup yang
kelak dibutuhkan anak. Di sekolah, anak
akan menemui aturan tertentu. Di tempat
kerjanya, di tengah masyarakat di mana ia
hidup pun dibatasi oleh berbagai ketentuan.
Dengan belajar hidup dalam batasanbatasan sejak usia dini, anak usia usia dini
yang penuh ingin tahu dan sulit dilarang
belajar mengendalikan diri (Hadi, 2014).
e. Penyelenggaraan Pendidikan Murah
Pertanyaan terakhir, yang sifatnya
praktis tetapi tetap penting, adalah apakah
penyelenggaraan PAUD mesti mahal
(Prasetyawati DH, Kristanto & Pusari, 2011).
Bagi seorang pengusaha, penyelenggaraan
pendidikan dapat menjadi usaha yang sangat
menguntungkan, namun sangat mahal bagi
banyak orang tua. Di sisi lain, di tangan
seorang aktivis bisa jadi pendidikan anak
usia prasekolah menjadi keprihatinan yang
menggerakkan untuk mengambil langkahlangkah dinamis. Bagi mereka, pendidikan
prasekolah bisa juga bagus walaupun tidak
dijejali dengan alat-alat permainan plastik
dari pabrik, bahasa asing, multimedia, dan
berbagai hal yang serba global.
Sebagaimana dikemukakan dalam
Kompas (12 Mei 2005), ciri khas dari PAUD
yang murah adalah kesederhanaan, lokalitas,
dan persahabatan dengan lingkungan.
Sebagai contoh adalah PAUD yang dikelola
oleh Sri Wahyaningsih dengan kelompok
bermain Sanggar Anak Alam "Salam" di
Kampung
Nitiprayan
di
perbatasan
Kabupaten Bantul dengan Kota Yogyakarta
(contoh lain, baca Pangastuti, 2011).
Kelompok bermain berbasis komunitas yang
diselenggarakan di ruang tamu rumah
keluarga ini membuktikan bahwa pendidikan
yang baik tidak harus bergelimang fasilitas
dan serba mahal.
Tidak ada yang berlebihan dalam
kelompok PAUD tersebut. Jalan menuju
ruang depan yang dipergunakan sebagai
sekolah hanyalah jalan setapak dari bambu.
Di depan sekolah terhampar sawah milik
penduduk. Ruang depan itu berdinding bata
dengan kerangka rumah tradisional Jawa.
Sebagian besar kegiatan dilakukan di lantai.

Karpet digelar tiap kali kegiatan belajar akan
dimulai. Meja kursi mini, sumbangan yang
baru saja diterima hanya dipergunakan
sebagai alat permainan kereta api atau
untuk membuat panggung. Ada alat
permainan edukatif sederhana, tetapi
jumlahnya tidak banyak. Selebihnya adalah
boneka-boneka dan mainan tua.
Adapun perpustakaan di ruang tamu yang
sekaligus menjadi pendampingan belajar
bagi
anak-anak.
Kelompok
bermain
merupakan gagasan yang muncul kemudian.
Asumsi pengembangan adalah sebagai
alternatif dibandingkan apabila anaka hanya
bermain sendiri, sehingga dikumpulkanlah
anak di rumah tersebut sehingga dapat
bermain dengan lebih terarah.
Para orang tua merasakan manfaat
mengikuti program karena anak-anak sudah
bisa berkomunikasi dengan terarah,
sekalipun baca dan tulis tidak diajarkan,
karena anak-anak masih berumur 2-4 tahun.
Dalam pertemuan selama dua jam anakanak mendengarkan guru mendongeng dan
membacakan buku cerita, menggambar,
bermain, atau bernyanyi. Pada pertemuan
ketiga, tiap Sabtu, kelas digabung dengan
acara ke sawah dan berkebun. Inilah hari
yang paling menyenangkan bagi anak, guru,
maupun orangtua yang mendampingi anakanaknya. Pemandangan yang mengesankan
ketika anak-anak itu takjub saat mencabut
tanaman kacang dan menemukan kacang
tanah bergelantungan di bagian akar.
PEMBAHASAN
a. Studi Lapangan Di Sebuah Taman KanakKanak
Bagian ini membahas enam masalah
tersebut berdasarkan keterlibatan dan
observasi keadaan pengajaran di Taman
Kanak-Kanak (TK) Paracendekia NW
Sumbawa yang penulis rintis pendiriannya
melalui bantuan pendirian TK Pedesaan
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar
dan
Menengah
Kementerian
Pendidikan Nasional tahun 2010 dan hingga
saat ini penulis masih menjadi relawan
pengelola atau kepala TK tersebut. Setiap
hari, penulis berbaur dengan anak didik dan
33

orang tua mereka, kadang-kadang menjadi
guru pengganti ketika ada guru yang tidak
hadir atau belum tiba di TK. Pengamatan dan
keterlibatan
terhadap
keadaan
pembelajaran dan penyelenggaraan menjadi
bahan penulis untuk menyampaikan
pembahasan di bawah ini.
b. Fase Perkembangan Dan Cara Belajar
Anak
Dalam perkembangannya ana-anak
membutuhkan nutrisi yang cukup untuk bisa
mendukung
pertumbuhan
dan
perkembangannya. Di usia 0-6 tahun
pertumbuhan
anak-anak
mengalami
peningkatan yang sangat cepat secara fisik.
Demikian pula dengan perkembangan
emosionalnya (psikis). Seiring waktu
kemampuan inteligensi juga mengikuti
perubahan-perubahan itu. Saat awal masuk
taman-taman kanak atau awal semester,
kami melakukan pemeriksaan kesehatan,
baik itu berat badan, tinggi badan maupun
lingkar kepala. TK bekerja sama dengan
Puskesmas terdekat untuk membantu
memberikan pembinaan dan memberikan
petunjuk
bagaimana
mengisi
dan
melaksanakan penimbangan dan mengukur
lingkar
kepala anak. Tentunya ini
berpengaruh terhadap asupan gizi dan
pengaruh lingkungan yang mendukung
pertumbuhan dan perkembangan anak
tersebut. Semakin baik gizinya, maka
pertumbuhan dan perkembangannya akan
berjalan seirama.
Asupan gizi yang cukup, akan
membantu anak dalam belajar. Terkadang
ada siswa yang rewel atau tidak mau
ditinggal oleh orang tuanya. Ini disebabkan
oleh banyak hal, termasuk karena takut atau
cemas karena masih belum percaya dengan
orang lain, karena kurang puas tidur, ada hal
yang belum terpenuhi ataupun faktor lain.
Sering anak-anak dibawa hadiri undangan
sehingga pulang larut malam, kadang juga
menonton televisi atau games, sehingga
siswa tidak punya waktu yang cukup untuk
istirahat. Semestinya anak-anak yang masih
usia sekolah dan taman kanak-kanak
dikontrol
waktu
untuk
melakukan
aktivitasnya.

Pada hakekatnya, anak usia dini
berada pada masa keemasan di sepanjang
rentang usia perkembangan manusia. Pada
masa ini, anak mudah menerima stimulus
dari lingkungannya. Kami mengemas
pembelajaran di TK secermat mungkin.
Capaian perkembangan siswa (secara
motorik halus, kasar, kognitif, sosial
emosional (SE), juga agama dan bahasa)
semua disusun dalam rencana kegiatan
harian agar pendidik mampu mengevaluasi
perkembangan siswa. Dalam perjalanannya,
semua siswa mengalamai tahap-tahap
perkembangan yang heterogen. Pendidik
diharapkan mampu melakukan evaluasi dan
koreksi serta melakukan tindak lanjut atas
hasil
yang
dicapai
kemudian
dikomunikasikan kepada siswa dan orang
tua. Agar hasil yang dicapai bisa
dikembangkan secara optimal untuk masamasa yang akan datang.
Dalam tahap perkembangannya, anakanak dapat belajar sebaik-baiknya jika
kebutuhannya dipenuhi dan merasa nyaman
dan aman secara psikologis. Selain itu, anakanak sebagian besar belajar melalui
lingkungannya yakni melalui interaksi sosial
dengan orang dewasa dan anak-anak. Rasa
penasaran dan keingintahuan yang tinggi
memotivasi anak untuk mencari jawaban
atas permasalahan-permasalahan yang
dihadapi.
c. Berpikir Logis dan Kritis pada Anak
Kami
menekankan
pentingnya
mendidik anak untuk berpikir logis dan kritis
melalui beberapa cara. Pertama, setelah
kami mengajarkan anak-anak tentang
konsep tertentu melalui model atau gambar
buah, misalnya, dalam pengulangan kami
sengaja melakukan kesalahan dengan
menyebut nama satu buah dengan nama
buah lainnya. Dalam keadaan demikian,
anak-anak kami latih untuk menemukan
kesalahan tersebut. Dua atau tiga anak
dengan segera menemukan kesalahan
tersebut dan mengoreksinya. Namun, anakanak lainnya tidak segera memberi reaksi
kritisnya. Melalui pengulangan pada benda
atau konsep lainnya, anak-anak lainnya
akhirnya memiliki kepekaan kritis sehingga
34

dapat mengusulkan perbaikan. Dalam
kenyataan, sebagai pendidik, terkadang
secara tidak sengaja juga membuat
kesalahan, dengan modal keterampilan
mengolah informasi yang telah kami ajarkan,
selalu ada ada anak didik yang
menyampaikan kritik dan memberikan
jawaban yang benar. Cara yang lainnya, di
usia TK, anak memiliki kegemaran untuk
bertanya.
Namun,
untuk
mengasah
kemampuan mereka dalam mengola
informasi, kami tidak langsung memberi
jawaban secara final. Misalnya, ketika
seorang anak menanyakan nama sesuatu
yang telah dipelajarinya pada hari
sebelumnya,
kami
tidak
langsung
memberinya
nama
tersebut,
tetapi
mengajak anak tersebut untuk mengingatingat tentang pelajaran tersebut pada hari
sebelumnya, menginformasikan bendabenda selain yang ditanyakan, dan strategi
lainnya. Pada akhirnya, siswa tersebut dapat
memberikan jawaban yang ia tanyakan
sendiri. Strategi ini, di samping strategi lain
yang melekat pada materi pelajaran, kami
rasakan
sangat
efektif
mengasah
kemampuan berpikir logis dan kritis anakanak kami.
d. Aktivitas Membaca, Menulis, dan
Berhitung
Membaca maupun berhitung adalah
dua hal yang diperkenalkan untuk
pendidikan anak usia dini sebelum
memasuki jenjang formal. Kegiatan ini
didesain dalam pembelajaran yang kreatif
dan menyenangkan. Dalam hal ini, kami
akan uraikan pengenalan ilmu membaca
maupun berhitung untuk kelas nol besar (5-6
tahun). Dalam tahapan ini kemampuan anak
sudah berkembang sangat baik, sehingga
pembelajaran yang disajikan sudah mulai
mengenalkan
huruf
dalam
kalimat,
penggalan kata-kata, dua suku kata, dan
akhirnya membaca kalimat pendek sampai
kalimat yang terdiri dari tiga suku kata.
Tahapan-tahapan membaca juga dilakukan
secara teratur dan disesuiakan dengan
kemampuan anak tanpa harus memaksakan
anak. Bisa diselingi dengan games atau
variasi-variasi yang lain agar anak tidak

jenuh. Menghitung untuk kelas ini juga
didesain sangat sederhana agar mudah di
pahami, misalnya tebak angka dengan
membuat pohon angka, mencocokkan angka
dengan menarik garis sesuai dengan
angkanya, menghitung menggunakan jari
dan menggunakan barang-barang yang ada
di sekitar kelas.
Lain halnya dengan kelas nol besar,
kelas nol kecil (4-5 tahun) masih dalam
tahap pengenalan huruf maupun angka, jadi
pembelajaran utuk dua aktivitas inipun
berbeda. Dari hal yang sifatnya sangat
konkrit dulu. Dalam hal pengenalan huruf,
pendidik menggunakan puzzle ataupun
plastisin untuk meniru huruf-huruf sebelum
menulis di atas kertas, bisa juga
mengenalkan huruf melalui gambar dan
lagu-lagu yang dinyanyikan secara bersamasama. Walaupun terkadang ada saja siswa
yang kelihatan bosan dan malas untuk
melakukan aktivitas, di sinilah peran guru
untuk melakukan variasi dalam mengajar
agar belajar tidak bosan. Membuat titik-titik,
goresan-goresan, garis putus-putus, garis
mendatar, lengkung, dan lain-lain. Dalam
mengenalkan angka, penddik tidak memaksa
siswa untuk langsung bisa menulis angka.
Diadakan stimulus-stimulus juga dalam
tahap-tahap awal, misalnya melalui teknik
bercerita, menghitung kancing baju,
menghitung jari kaki dan tangan, dan
menghitung jendela yang ada di dalam kelas.
Semua pembelajaran dikemas melalui
tahapan-tahapan dan dua bahasa. Dengan
penuh kesabaran siswa taman-taman kanak
kami mampu mengikuti pembelajaran.
e. Peran Permainan
Bermain adalah bagian dari dunia
anak-anak, karena melalui bermain mereka
bisa berinteraksi dengan teman lain dan
menemukan hal-hal baru. Bermain dijadikan
sebagai variasi dari kegiatan-kegiatan yang
membutuhkan konsentrasi. Sebagaimana di
TK lain, di TK kami terdapat dua macam
permainan, permainan indoor (dalam) dan
outdoor (luar). Keduanya merupakan
kombinasi permainan yang harus ada untuk
untuk menopang pembelajaran dan capaian
indikator di setiap tahapan perkembangan
35

anak. Permainan outdoor di TK kami
termasuk
jungkat-jungkit,
perosotan,
ayunan, dan papan titian. Semua permainan
terkadang mengandung resiko sehingga
dibututhkan pengawasan, apalagi siswa yang
masih di TK A (4-5). Pernah ada yang
bermain ayunan sangat kencang, dan ada
seorang temannya yang melintas sehingga
besi ayunan mengenai badannya hingga
jatuh dan pelipis kepalanya berdarah. Pihak
guru yang melihat langsung membawanya
ke rumah sakit yang letaknya tidak jauh dari
lokasi TK. Orang tua siswa segera datang
setelah dihubungi. Ini adalah yang kedua
kalinya terjadi di TK kami. Pihak guru selalu
mengingatkan siswa untuk hati-hati dalam
bermain. Itulah dunia anak-anak, ingin bebas
dan tidak takut akan resiko yang mungkin
saja terjadi.
Permainan outdoor juga kami
dapatkan dalam kegiatan yang kami
programkan sekali dalam satu semester.
Misalnya karyawisata ke taman-taman kota
atau ke pantai. Selain siswa orang tua juga
kami libatkan dalam permainan. Banyak
permainan yang dilakukakan, misalnya
memasukkan paku dalam botol, sendok,
kelereng, masukkan pasir dalam botol, dan
kucing-kucingan. Ada suasana lain yang kami
dapatkan ketika pembelajaran dilakukan di
alam bebas, anak-anak lebih ceria dan
inovatif dan kompak satu sama lain. Selain
itu, terjalin hubungan yang sangat akrab
antara orang tua dengan sisiwa, dan orang
tua dengan pihak TK.
Permainan indoor (dalam ruangan)
juga tidak kalah menariknya. Anak-anak juga
bisa menikmatinya dan bahkan tidak mau
berhenti, misalnya permainan puzzle huruf,
angka, buah, huruf hijaiyah dan bongkar
pasang, menyusun balok dan bermain pesan
berantai. Semua permainan ini mengandung
banyak hal positif. Hal positif tersebut antara
lain mengenal angka, menggabungkan huruf
menjadi kata, mengenal buah dan melatih
ketelitian dan kecepatan berpikir melalui
bongkar pasang dan mampu melatih
kemampuan bahasa melalui permainan
bercerita dan pesan berantai. Juga mengenal
bentuk-bentuk geometri dengan melihat
barang-barang di sekitarnya untuk dijadikan

contoh. Permainan balok dari sisa bangunan
yang tidak terpakai untuk membuat rumahrumahan ataupun bangunan bertingkat dan
masih banyak lagi.
Tiap semester kami juga mengadakan
lomba mewarnai juga menyanyi bebas.
Semua siswa mendapat pujian dan hadiah.
Pendekatan kepada orang tua siswa tetap
dilakukan untuk perbaikan hasil di masa
mendatang.
Permainan
indoor
juga
mengadung resiko, terkadang ada siswa
yang tidak sabar dan melempar temannya,
atau yang rewel dan merusak satu dari
bagian puzzle dan ada saja kejadian yang
tidak bisa kita prediksi akan terjadi. Intinya
dalam permainan indoor maupun outdoor
harus terus dilakukan pengawasn dan
pengarahan dari guru maupun orang tua
siswa agar anak berhati-hati dan tidak
melukai orang lain.
f. Pembatasan-Pembatasan pada Anak
Masa anak-anak yang paling indah
adalah di taman kanak-kanak. Itulah
penggalan kata-kata dalam salah satu lagu
yang kami ajarkan kepada anak. Di sinilah
anak-anak dengan bebas berekspresi,
mengungkapkan
ide
dan
keinginankeinginan yang kadang tidak diperoleh di di
rumah.
Tertawa,
menangis,
teriak,
tersenyum, cemberut, juga kadang kelihatan
melamun, ini merupakan ekspresi luapan
emosi di masa anak-anak. Emosi merupakan
ungkapan perasaan yang tidak hanya
diluapkan melalui amarah yang meledakledak, tetapi juga merupakan ungkapan rasa
bahagia karena bisa menyelesaikan tugas
atau mendapat pujian maupun hadiah. Siswa
kadang memiliki keinginan yang harus
dikabulkan, dan ketika gurunya tidak
mengabulkan permintaannya, maka dia
langsung kecewa. Ungkapan kekecewaan ini
diungkapkan melalui kata-kata maupun
ekspresi wajahnya. Misalnya, Miss, saya
mau mewarnai gambar hari ini, dan
ternyata bu gurunya sudah merencanakan
yang lain. Maka, diapun tidak mau
tersenyum bahkan malas untuk melakukan
aktivitas hari itu. Ada juga siswa yang
menurut saja apa yang diberikan bu guru
hari itu. Hal ini menunjukkan contoh dua
36

kondisi yang muncul saat pembelajaran akan
dimulai. Hal ini adalah normal, karena di
situlah peran guru maupun orang tua di
rumah untuk memberikan pemahaman
kepada siswa untuk bisa menghargai orang
lain dan menghormati guru di sekolah dalam
perannya sebagai pengganti orang tua jika
sedang berada di sekolah.
Hal yang penting kami berikan
pemahaman adalah bagaimana etika dalam
berpendapat. Sejak dini aturan-aturan dalam
bergaul, makan, berpakaian, beribadah kami
sosialisasikan, baik di rumah maupun
sekolah, agar anak mengerti mana yang
boleh dan tidak boleh dilakukan dan mampu
membedakan yang benar dan salah. Oleh
karena itu, kelak jika dia dewasa dan terjun
di dunia kerja, dia mampu bekerja secara
optimal dan memegang teguh nilai-nilai
agama yang dianutnya. Menginformasikan
hal-hal yang baik dan menjadi aturan kami
sampaikan dengan baik, tidak dengan nada
keras atau pukulan-pukulan. Anak kami ajak
berbicara dengan tatap muka, duduk
bersama untuk mendiskusikan hal-hal yang
tidak pantas dilakukan.
g. Pendidikan Murah
Kami
memberlakukan
biaya
pendidikan yang murah dan terjangkau
mengingat lokasi sekolah di pinggir kota
dengan penghasilan rendah dari orang tua
siswa yang mayoritas petani dan tukang
ojek. Kami bersama rekan-rekan guru dan
orang
tua
bertekad
untuk
terus
meningkatkan
kemampuan
siswa.
Pembelajaran dikemas secara bilingual (2
bahasa) melalui bermain sambil belajar (play
and learn). Anak-anak dengan mudah
memahami
pelajaran
meski
sambil
mengunakan bahasa Inggris, di samping
bahasa Indonesia. Mengenalkan ilmu
penjumlahan dan pengurangan kami lakukan
dengan sederhana. Contohnya, gambar
setiap angka yang dibuat dari kardus bekas
yang ditempel di atas kertas origami dengan
warna yang berbeda kemudian dicetak di
atas dan di bawahnya menggunakan dua
bahasa. Dalam hal ini, beberapa hal atau
konsep yang bisa dipelajari yaitu: siswa bisa
mengenal banyak warna, siswa mengenal

angka dan huruf dalam dua bahasa dan
masih banyak lagi. Ini berlangsung secara
terus-menerus setiap harinya. Pengulangan
secara terus-menerus ini membawa
perubahan dan perkembangan pada anak.
Dalam hal penjumlahan, guru juga berusaha
merencanakan
agar
pembelajaran
disesuikan dengan usia siswa sehingga
dengan mudah dapat dipahami. Misalnya,
angka dilengkapi dengan gambar (bisa
benda-benda yang ada di sekitar siswa,
misalnya bunga atau kupu-kupu atau pensil)
atau menggunakan jari siswa sebagai media
yang paling dekat dengan siswa. Pendidik
yakin bahwa membuat siswa pintar atau
cepat mamahami sesuatu tidak harus
mengunakan media yang mahal. Kami
memanfaatkan barang-barang di sekitar
ataupun hasil daur ulang.
KESIMPULAN
Demikianlah, telah dibahas beberapa
isu utama dalam penyelenggaraan PAUD di
Indonesia dewasa ini dan secara khusus di TK
Paracendekia NW Sumbawa. Secara umum,
temuan pustaka dan hasil observasi
penyelenggaraan pendidikan di Taman
Kanak-Kanak Paracendekia NW Sumbawa
dalam menjawab enam masalah pendidikan
anak usia dini memiliki kesamaan positif
secara substansial.
Usia dini 0-6 tahun adalah masa kritis
perkembangan dan pertumbuhan anak baik
secara fisik maupun psikologis sehingga
diperlukan penanganan yang optimal. Masa
perkembangan dan pertumbuhan mempengaruhi dan menjadi landasan masa-masa
selanjutnya. Sejak berumur dua bulan,
seorang anak telah memiliki jumlah sel otak
yang sama dengan orang dewasa tetapi
dalam ukuran kecil, di mana perkembangan
perlu mendapat rangsangan fisik atau
psikologis dari luar. Di sinilah letak
pentingnya PAUD. Namun, karena masih
dalam tahap pertumbuhan, maka teknik
PAUD harus membangkitkan syaraf anak,
yaitu melalui kegiatan yang mereka sukai,
minati dan mulai dari yang sederhana dan
konkret.
Permainan adalah kegiatan yang
sesuai dengan tuntutan anak usia dini, yang
37

menjadi penggerak bagi munculnya ide-ide
baru mereka. Mengingat kapasitas otak yang
sudah canggih sejak usia dini, pengajaran
calistung pada prinsipnya dimungkinkan,
tetapi harus dikemas dalam bingkai
permainan sehingga pengalaman yang
mengesankan, walaupun tetap tidak boleh
mendominasi kegiatan PAUD. Sebagai orang
yang berinteraksi dengan dunia baru,
melalui bermain anak mengembangkan
kreativitas dan inisiatif yang sangat tinggi,
tetapi sebagai bagian dari pendidikan, peran
orang tua atau pendidik untuk mengatur
batasan secara edukatif dan konsisten
kepada anak merupakan sebuah kebutuhan.
Terakhir, penyelenggaraan PAUD bermutu
tidak harus identik dengan kemahalan,
karena kreativitas masyarakat adalah kunci
keberhasilan pendidikan anak usia dini.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, N.A. (2006). Bolehkah anak usia
dini
belajar
beraksara?
http://www.suarapembaruan.com
/News/2006/05/17/index.html,
diakses 10 Januari 2010.
Budiartati, E. (2007). Pembelajaran melalui
bermain
berbasis
kecerdasan
jamak pada anak usia dini.
Lembaran Ilmu Pendidikan, 36(2),
96-103.
Elkind, D. (2006). The hidden power of
play Spielen, lieben und arbeiten
(play, love and work), The Boston
Globe.
http://www.iht.com/articles/2006/
10/09/opinion/edelkind.php,
diakses 10 Oktober 2013.
Fakultas Psikologi UMS. (2005). Peran orang
tua dalam membangkitkan potensi
anak,
http://www.ums.ac.id/fakultas/psi
kologi/modules.php?name=News&
file=article&sid=43, diakses 11
Oktober 2014.
Ganesyawidya. (2011). Peran orang tua
dalam membangkitkan potensi
anak.
https://ganesyawidya.wordpress.c
om/2011/01/04/peran-orang-tua-

dalam-membangkitkan-potensianak/, diakses 7 Februari 2016.
Hadi, N. F. (2014). Strategi pendidikan anak
usia dini dalam keluarga. Buletin
Al-Islamiyah Media Kajian dan
Dakwah
Universitas
Islam
Indonesia,
http://alislamiyah.uii.ac.id, diakses
20 November 2015.
Hussain, R. (2006). Nurturing creativity in
schools,
http://www.thejakartapost.com/d
etailsupplement.asp?fileid=200610
01.Q04&irec=3, diakses 8 Januari
2010.
Istiyani, D. (2013). Model pembelajaran
membaca, menulis menghitung
pada anak usia dini di Kabupaten
Pekalongan. Jurnal Penelitian,
10(1), 1-18.
Kompas, (1 Mei 2005). Ini boleh, itu tak
boleh, nak.
Kompas. (12 Mei 2005). Pendidikan
Prasekolah Tak Harus Serba Mahal.
Lillard, A.S. (2013). Playful learning and
Montessori education. American
Journal of Play, 5(2), 157-186.
Limanto, S. (2008). Peningkatan minat dan
kemampuan anak usia pra sekolah
untuk belajar membaca dan
menulis permulaan menggunakan
computer aided learning. Gematika
Jurnal Manajemen Informatika,
9(2), 113-119.
Pangastuti, R. (2011). Studi analisis
implementasi full day di TPA
Beringharjo Kota Yogyakarta, TPA
Pelangi Indonesia, dan TPA
Laboratorium
PAUD
UGM
Kabupaten Sleman, dan TPA Jabal
Rahmah Kabupaten Bantul. Tesis
Magister
tidak
diterbitkan,
Universitas Islam Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Peraturan Bupati Purwakarta Provinsi Jawa
Barat Nomor 107 Tahun 2014
tentang larangan membaca
menulis berhitung pada pendidikan
anak usia dini.
38

Pito, A. (2012). Pengaruh metode permainan
edukatif dalam pembelajaran PAI
terhadap kreativitas anak usia dini
di PAUD Inklusi Ahsanu Amala
Lempongsari Sariharjo Ngaglik
Sleman Yogyakarta. Skripsi tidak
dipublikasikan, Universitas Islam
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Prasetyawati D.H., Kristanto, M., & Pusari,
R.W. (2011). Upaya identifikasi
kreativitas kader-kader PAUD di
Kecamatan Ungaran melalui alat
permainan edukatif (APE). Jurnal
Penelitian PAUDIA, 1(1), 59-74.
Rachmat, A. (2006). Fostering creativity in
children,
http://www.thejakartapost.com/d
etailsupplement.asp?fileid=200610
01.Q05&irec=4, diakses 10 Oktober
2014.
Riendravi,
S.
(2013). Perkembangan
psikososial anak.
Bagian/SMF
Psikiatri
Fakultas
Kedokteran
Universitas Udayana/Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar,
http://download.portalgaruda.org/
article.php?article=82610&val=970
, diakses 20 November 2015.
Sujiono, Y.N. (2009). Konsep dasar
pendidikan anak usia dini. Jakarta:
PT Indeks.
Sunarto, H. & Hartono, B.A. (1995).
Perkembangan
peserta
didik.
Jakarta:
Pusat
Perbukuan
Depdikbud dan PT Rineka Karya.

39