GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN NILAI PROGRAM

GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN NILAI
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah Globalisasi Dan Standarisasi Pendidikan

Dosen Pengampu:
Dr. H. Purwadi, M.Pd

Oleh:
Pedi Ahmad Hambali

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2014
0

GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN NILAI
Meskipun tidak selalu disebutkan secara eksplisit pernyataan bahwa globalisasi
mempunyai implikasi atau bahkan dampak atas berbagai Negara atau berbagai bangsa
tampaknya didasarkan atas dua asumsi. Pertama, sekurang-kurangnya sampai tarap tertentu,
pelaku atau subjek globalisasi adalah Negara-negara industry maju. Dengan kata lain globalisasi

sampai tarap tertentu merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan Negara industry maju.
Kedua, kehawatiran, kecemasan atau bahkan ketakutan akan pengaruh atau dampak globalisasi
terutama yang bersifat negative umumnya dirasakan terutama oleh Negara berkembang.
A. Globalisasi dan Negara-Bangsa
Globalisasi bukan hanya abad ke 20 atau 21, prosesi tu sudah mulai berabad-abad yang
lalu ketika manusia berhasil mengelilingi dunia oleh para pionir seperti Marcopolo, Magelan dan
Colombus. Jadi globalisasi berawal dri trasfortasi dan komunikasi tetapi dampaknya segera
terasa dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang mungkin pada awalnya memang menjadi
tujuan utama komunikasi dan trasfortasi global. Apa yang membuat globalisasi sebagai suatu
kecenderungan yang mencolok sejak akhir abad yang lalu, dan yang membedakannya secara
tajam dari proses globalisasi dengan abad-abad yang lalu adalah factor kecepatan. Ini
dikarenakan oleh kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi
khuusnya dalam bentuk computer dan internet, maupun kemajuan pesat dalam bidang trasfortasi
khususnya penerbangan antarbenua.
Seperti telah disebutkan, sampai tarap tertentu globalisasi merupakan kepanjangan tangan
industry Negara maju. Apa yang memicu proses globalisasi yang kini dihadapi berawal dari
bidang moneter, ketika pada tahun 1971, dan tentu saja didorong oleh kepentingan amerika
serikat pada saat itu, presidan Ricard Nixon, memutuskan untuk mendevaluasi dollar karena
besarnya pembiayaan kegiatan USA di dunia, seperti perang Vietnam. Dengan tindakan itu,
presiden Nixon meninggalkan system Bretton woods, yaitu tidak lagi menggunakan emas

sebagai jaminan mata uang. Karena kepercayaan pada perekonomian USA yang bersifat raksasa,
yang ak seorang pun mengharapkannya akan dapat bangkrut tindakan itu tidak diikuti oleh
Negara manapun di dunia. Sebaliknya, semua Negara mengaitkan atau mengambangkan
1

(floating) nilai mata uang mereka pada dollar. Itu berlangsung sampai sekarang, inilah yang
menyebabkan ketergantungan nilai mata uang dunia kepada US dollar.
Didukung oleh kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi,
kecenderungan itu membantu mempercepat arus modal pada tingkat global, meningkatkan
perdagangan internasional dan perdagangan modal asing. Pada gilirannya, hal itu memicu
kelahiran dan perkembangan perusahaan-perusahaan multinasional (multinasional corporate) dan
lembaga-lembaga moneter dan finansial internasional yang kuat seperti internasional monetary
fund (IMF) dan world bank. Inilah actor-aktor atau pelaku non Negara-bangsa (non-state actors)
dalam politik internasional yang didukung oleh Negara besar industry maju khususnya USA,
jepang dan Negara eropa barat. Actor-aktor baru inilah yang skala kegiatannya bersifat
transnasional dan global, telah menembus batas-batas Negara bangsa, yang seringkali dikatakan
semakin lama semakin tidak penting. Dunia menjadi “tanpa batas”. Inilah akhir dari Negara
bangsa.
Hal itu bukanlah isu yang sama sekali baru. Sejak perang dunia 2, sejak lahirnya pesawat
pembom dan terutama diciptakannya bom atom, orang sudah berpikir demikian tentang Negara

bangsa. Sebenarnya pembuatan pesawat pembom sebagai hasil kemajuan dari teknologi
komunikasi dan transfortasi—dan sebagai delivery system lebih penting daripada kelahiran bom
atom itu sendiri bagi dampak atas batas Negara bangsa.
B. Implikasi Sosial Budaya
Globalisasi telah menciptakan dunia yang semakin terbuka dan saling ketergantungan
antar Negara dan antar bangsa. Negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia kini bukan saja saling
terbuka terhadap satu sama lain, tetapi juga saling tergantung, kalaupun saling ketergantungan
(interdependensi) itu akan senantiasa bersifat asimetris, artinya satu Negara lebih tergantung
pada Negara lain daripada sebaliknya. Karena saling ketergantungan dan saling keterbukaan ini,
semua Negara pada pronsifnya akan terbuka pada pengaruh globalisasi.
Tetapi karena saling ketergantungan dan saling keterbukaan itu tidak simetris, pengaruh
globalisasi atas berbagai Negara juga berbeda kadarnya. Negara-negara berkembang akan
cenderung lebih terbuka pada pengaruh globalisasi daripada Negara-negara industry maju,
karena ketergantungan kelompok Negara pertama pada kelompok Negara kedua yang memiliki
kemajuan ekonomi, sumberdaya manusia dan teknologi. Begitu pula dengan Negara maju seperti
2

yang disebutkan di atas, lebih bertindak sebagai pelaku atau subjek sedangkan kelompok Negara
berkembang lebih sebagai sasaran atau obek globalisasi.
Kadar ketahanan (recillience) yang rendah dari Negara-negara berkembang dan dengan

demikian kadar yang tinggi pengaruh globalisasi atas Negara-negara ini dalam bentuk krisis
moneter, finansial, dan ekonomi tergantung bukan hanya pada kualitas SDM, tetapi juga pada
kelemahan fungsi lembaga-lembaga social, politik, ekonomi, dan finansial serta pola dan
kebiasaan budaya bangsa di Negara berkembang. Misalnya dalam hal etos kerja. Dalam kasus
Indonesia, krisis yang berlangsung telah begitu parah terutama disebabkan oleh tidak
berfungsinya system politik secara efektif. Sebab itu, tidak mengherankan kalau krisis moneter
telah segera diikuti oleh krisis politik yang berkepanjangan (dari tahun 1998 sampai sekarang)
yang ditandai oleh gejolak social yang kelihatan tidak kunjung berakhir. Dan keragaman bangsa,
bukan saja dalam hal penduduknya dengan berbagai latarbelakang keagamaan, suku, orientasi
budaya, tetapi juga dalam arti geografis karena Indonesia merupakan negarra kepulauan paling
besar di dunia, telah membuat krisis itu menjadi krisis multidimensional.
Tidak kalah pentingnya adalah kenyataan bahwa globalisasi menyebabkan arus yang
begitu cepat dan tidak dapat dibendung dari begitu banyak dan beragam informasi. Dan arus
informasi ini membawa kita tidak hannya pengetahuan tetapi juga berbagai nilai, dan diantaranya
nilai-nilai yang sepintas lalu terasa baru dan asing bagi banyak bangsa di Negara berkembang.
Apakah nilai-nilai itu bersifat negative atau positif, dapat diterima atau tidak, akan bergantung
sebgaian pada nilai-nilai budaya dan tradisional yang telah berlaku dan dihayati di berbagai
Negara berkembang. Mungkin semakin berkembangnya kebiasaan yang mengglobal dalam hal
gaya hidup, seperti pola berpakaian, kebiasaan makan, dan kegiatan rekreasi yang semakin
seragam khususnya di kalangan kaum muda di banyak Negara berkembang tidak banyak

merugikan, kecuali mungkin yang menyangkut implikasi social dan ekonomi Negara-negara
bersangkutan.
Meskipun demikian, secara tidak langsung sebagian dari kebiasaan baru itu dapat juga
mempunyai implikasi moral. Kebiasaan konsumtif baru untuk mengunjungi rumah makan fast
food seperti KFC, Mcdonal, dan sebagainya, merupakan beberapa contoh. Ironisnya, makananmakanan tersebut di Negara maju seperti USA dan UK, misalnya, sering disebut sebagai junk
food, atau makanan sampah. Tetapi di Negara berkembang yang masih dilanda kemiskinan
makanan seperti itu hanya bisa dijangkau oleh kalangan menengah. Kebiasaan baru yang tidak
3

saja diikuti oleh kaum muda, tetapi juga oleh keluarga untuk mengunjungi rumah makan seperti
itu dapat membantu menonjolkan kesenjangan social ekonomi. Disini apa yang pada permukaan
kelihatan harmless itu dapat mempunyai implikasi moral yang negative.
Yang dapat lebih serius implikasi dan pengaruhnya adalah arus dan semakin
menyebarnya nilai-nilai tertentu seperti materialism, konsumerisme dan hedonism, penggunaaan
kekerasan dan narkoba yang jelas dapat merusak moral masyarakat dan kehidupan Negara
bangsa di Negara berkembang, terutama generasi mudanya yang lebih vulnerable dan
impressionable. Negara berkembang dalam hal ini menghadapi dilemma. Pola atau gaya hidup
baru dan berbagai nilai itu terbawa oleh arus globalisasi dengan arus informasi yang tidak bisa
dibendung melalui kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti media masa, tv dan
internet. Dalam teori memang bisa Negara berkembang dapat menghadang dan mencegah arus

informasi melalui peralatan teknologi modern seperti itu, tetapi masalahnya ekonomi Negara
berkembang juga semakin terintegrasikan dengan perekonomian dunia dalam bentuk impestasi
yang menghadirkan MNC dan badan moneter dunia seperti IMF dan world bank. Melarang
penggunaan kemajuan teknologi dalam bidang-bidang itu Negara berkembang akan ketinggalan.
Sebaliknya sarana itu mempunyai resiko dan harga yang mahal tidak semata dalam arti finansial,
tetapi dalam arti social budaya dan moral. Karena arus nilao yang menyertaninya tidak dapat
disaring. Itlah harga yang harus dibayar bagi kemajuan dan kemakmuran.
Sebab itu masalah yang dihadapi Negara berkembang bukanlah bagaimana melawan
globalisasi karena hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa harga dan resiko yang tinggi pula.
Begitu pula kita tidak dapat bersikap apriori menolak apa saja yang dating bersama globalisasi
itu, misalnya dengan dalih itu semua adalah budaya dan nilai-nilai barat yang serta merta dinilai
sebagai bertentangan dengan tradisi dan nilai-nilai budaya kita. Sebagian dari nilai-nilai yang
dibawanya juga bersifat positif sehingga jika pperlu kita mengubah budaya kita, tidak semuanya
harus sesuai dengan budaya dan kepribadian bangsa yang juga tidak semuanya positif. Budaya
dan kepribadian bersifat dinamis, kontinusly in the making tidak statis.
Sebab itu kuta seharusnya berusahauntuk sebaik mungkin memanfaatkan globalisasi
demi kemajuan social, ekonomi, polotik dan budaya bangsa melalui kerjasama erat dengan
Negara industry maju dengan memanfaatkan kemajuna teknologi informasi dan komunikasi.
Untuk jangka watu yang masih panjang kiranya Negara industry maju itu masih akan merupakan
sumber modal teknologi dan pasar bagi pengembangan industry kita sendiri. tetapi pada saat

4

yang sama kita tetap bersikap terbuka terhadap kemungkinan masuknya pikiran-pikiran dan
nilai-nilai baru yang positif dan menguntungkan kemajuan social politik ekonomi maupun
budaya kita sendiri. sebaliknya kita harus bersikap selektif dan berusaha untuk menyaring nilainilai dan sekaligus menanamkan nilai-nilai moral pada generasi muda kita untuk mempersipkan
dalam menghadapi tantangan globalisasi, yang sudah dihadapi dan sedang dialami dan akan terus
dialami. Disinilai arti bagi pendidikan nilai untuk generasi muda. Tanpa usaha itu, untuk
mempersiapkan mereka menghadapi masa depannya kita akan mengalami krisis nilai karena
masuknya nilai-nilai baru dapat mengacaukan system nilai. Krisis nilai itu sebenarnya sudah
lama kita rasakan tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
C. Pendidikan Nilai
Pendidikan nilai ditujukan pertama pada penanaman nilai-nilai untuk menangkis
pengaruh nilai-nilai negative atau yang cenderung mendorong nilai-nilai negative dalam artian
moral yang meupakan akibat arus globalisasi. Untuk memerangi kecenderungan materialism,
konsumerisme dan hedonism, misalnya yang dapat dibawa atau sekurang-kurangnya didorong
oleh arus globalisasi kita menanamkan nilai kesederhanaan dan cintakasih kepada sesame. Kita
juga menanamkan pemahaman dan penghayatan nilai keadilan karena kecenderungan
materialism konsumerisme dan hedonism sebenarnya dapat dianggap sebagai cermin egoism,
kurang cinta kasih dan kurang kepedulian terhadap orang lain. Kecenderungan-kecenderungan
itu juga dapat menonjolkan kesenjangan social. Sebaliknya, untuk dapat bersikap akomodatif

terhadap nilai yang positif khususnya HAM dan nilai-nilai demokrasi kita tanamkan pada
generasi muda pemahaman tentang ham dan nilai demokrasi.
Kesulitan dalam Negara berkembang seperti Indonesia yang beragam atau majemuk
dalam pengertian etnis, rasial, dan keagamaan adalah menemukan dan mengambangkan nilainilai moral yang universal yang merupakan nilan bersama (common), kendati perbedaan
latarbelakang keagamaan atau perbedaan adat istiadat karena latarbelakang rasial atau etnik. Ini
bukan masalah yang mudah tetapi pendidikan nilia-nilai moral yang universal merupakan proses
belajar terus menerus bagi semua orang dan semua golongan.
Masalahnya di Indonesia adalah bagaimana pendidikan nilai itu dapat dilaksanakan
melihat UU tentang pendidikan nasional yang penuh kerancuan karena UU itu mewajibkan
pendidikan agama pada semua jenjang pendidikan dan tidak membedakan pendidikan agama
5

dari pengajaran agama. Misalnya pendidikan agama islam, harus membuat orang islam
menjalankan agamanya dengan baik. Di sekolah, pendidikan agama islam sebagai basis nilai
hanya sebatas ilmu dan pengetahuan saja.
UU no 20 tahun 2003 mengenai system pendidikan nasional mengarahkan pada
pembentukan manusia yang memiliki penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang utuh. Terlebih,
kurikulum tahun 2013 mengarahkan setiap insan untuk membentuk karakter keindonesiaan yang
siap dalam menghadapi tantangan era pasar bebas yang hanya tinggal menghitung hari. Namun,
rancunya dalam ruang kelas, pengajaran masih bersifat kognitif dan lebih cenderung berfokus

pada pengajaran mata pelajaran yang sebenarnya belum sampai ke arah pendidikan karakter.
Harus ada perubahan paradigma agar apa yang menjadi tujuan pendidikan bisa tercapai.
Perubahan paradigma dalam dalam pemahaman dan metode senafas dengan gerakan humanism
yang memberi penghargaan pada pribadi manusia sebagai subjek dan agen perubahan. Dalam hal
ini, proses pembelajaran yang transpormatif dan partisipatif berupaya menjadikan peserta didik
dan situasi hidup mereka sebagai starting pint proses pembelajaran. Hal ini dikatakan Johnston
bahwa tindakan, aktivitas, kehidupan, berbuat (doing) merupakan kondisi esensial untuk
pembelajaran. Dari ungkapan tersebut menjadi jelas bahwa pendidikan dan penanaman nilai-nilai
bukan hanya persoalan knowledge, tetapi persoalan bagaimana pengetahuan tentang nilai
tersebut dapat dibatinkan dan dijadikan milik pribadi yang bersangkutan yang tentunya akan
memengaruhi cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak seseorang (mengubah habitus). Oleh
karena itu proses pembelajaran tidak cukup hanya dengan menggunakan cara tradisionalskolastik. Untuk bisa melampaui cara belajar tradisional tersebut ada beberapa cara yang bisa
digunakan:
Learning by doing and exposure (kuliah lapangan, kunjungan museum, kunjungan
sosial). Melalui kegiatan tersebut para peserta didik diajak untuk melihat sendiri secara langsung
di lapangan, mengamati dan mendengar apa yang sesungguhnya terjadi. Kemudian mereka
membuat refleksi tentang nilai-nilai apa yang mereka dapat pelajari melalui exposure tersebut.
Perasaan yang muncul pada saat mreka melihat realitas dan berinteraksi dengan orang-orang dan
situasi?
Learning by experiencing yang melibatkan pada peserta didik dalam pelbagai kegiatan,

baik itu lomba-lomba, kegiatan social, kegiatan keruhanian. Bagaimana peserta didik dapat
memahami dan menghayati arti toleransi antar-umat beragama bila mereka pernah beriteraksi,
6

mengalami dan merasakan perjumpaan dengan orang yang berbeda keyakinan agama dan
kepercayaannya.
Learning by exploring and appreciating (film dan karya seni lain). Melalui media film,
nilai-nilai apa yang dapat dipejari dan reaksi apa yahg muncul pada saat mereka melihat situasi
yang ditayangkan dalam film. Pada saat peserta didik melihat adegan kekerasan yang dilakukan
terhadap orang yang tak bersalah apakah dalam diri mereka muncul kemarahan moral atau
bersikaf indeferent? Rasa kemanusiaan dan bela rasa dapat dipupuk dan dipertajam mellui
analisis atas film-film bermutu. Bagaimana mereka dapat menghubungkan apa yang disampaikan
dalam film dengan kenyataan hidup sehari-hari.
Learning by living in, peserrta didik diajak tinggal untuk beberapa lama di suatu daerah
atau lingkungan untuk mengamati, mengalami dan berinteraksi dengan penduduk setempat.
Nilai-nilai apa yang mereka pelajari dari pengalaman tersebut? Apakah ada sesuatu yang
menggetarkan kesadaran dan nurani mereka pada saat mereka tinggal dan berinteraksi dengan
dunia luar?
Problem solving method, sebagaimana dikembangkan oleh John Dewey. Di dalam
metode problem solving ini, peserta didik dilatih untuk menyadari bahwa ada persoalan, lalu

mengidentifikasi dan memahami persoalan tersebut, menganalisisnya dengan tujuan untk
menggali akar penyebabnya, membuat hipotesis atas jalan keluar yang ditawarkan dan
mengujinya di dalam praksis, apakah jalan keluar yang diantisipasi sungguh-sungguh
menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Melalui metode pemecahan masalah, para peserta didik
dipicu daya kreasi dan imajinasinya untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang
dihadapinya. Metode pembelajaran ini mensyaratkan kemauan dan kemampuan untuk terus
belajar.
Case study method, melalui metode study kasus peserta didik dilatih untuk melihat
persoalan-persoalan hidup dari pelbagai sudut pandang. Melalui metode ini perserta didik diajak
untuk bekerja sama dan berinteraksi dalam upaya mencari pemecahan atas pelbagai persoalan
yang dihadapi. Dengan demikian para peserta didik bukan hanyamengetahui dan memahami
pelbagai teori, tetapi juga mahir dalam menerapkan teori dan prinsip-prinsip ke dalam praksis
hidup yang konkrit.
Dari pemahaman konsep pendidikan pola bank menuju konsep pendidikan yang
berorientasi pada pemecahan masalah. Hal ini dikarenakan dalam proses pembelajaran peserta
7

didik harus diberi ruang kebebasan berekspresi dan berkreasi guna memunculkan inovasi-inovasi
baru. Dengan demikian, pemikiran originalitas peserta didik sungguh digali dan dieksplorasi.
Metode pendidikan yang berorientasi pada problem solving berusaha mengembangkan
kemampuan orang untuk memahami cara mereka berada secara kritis, mereka melihat dunia
bukan sebagai realitas statis, melainkan dunia yang senantiasa bergerak dalam proses perubahan,
dinamis. Konsep pendidikan ini diarahkan pada upaya membangkitkan kesadaran kritis dan
memberdayakan para peserta didik sehingga mereka mampu mengatasi persoalan-persoalan yang
dihadapi. Di samping itu, konsep pendidikan tersebut memampukan peserta didik untuk berpikir
kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungannya, membongkar kepalsuan dan kebohongan
ideologis yang telah membodohkan dan menyengsarakan kaum tertindas dan lemah. Dengan
konsep pendidikan yang berorientasi pada pemecahan masalah, seorang guru dalam tugasnya
sebagai pendidik harus menghargai pola pikir dan perspektif peserta didik. Dalam konteks ini,
guru memiliki peran sebagai fasilitator, guide dan stimulator.
Pendidikan yang transformative dan partisipatif mensyaratkan adanya perubahan metode
pembelajaran dari pembelajaran yang terisolir dari realitas hidup menuju pembelajaran yang
terlibat dalam pergumulan hidup masyarakat dan lingkungan. Hal ini berkaitan dengan materi
pembelajaran. Apakah materi diajarkan di sekolah berkaitan dengan prsoalan-persoalan
kehidupan konkrit atau malah mengawang-awang, tidak membumi. Sebagai contoh berkaitan
dengan soal pemberantasan korupsi; bagaimana moral social ini juga sungguh disentuh dalam
kurikulum sekolah sehingga membentuk habitus baru dalam diri peserta didik untuk menghidupi
rasa keadilan dan tanggungjawab social serta membentuk kesadaran moral yang baik. Persoalan
kerusakan ekologis juga seharusnya dimasukan ke dalam kurikulum sehingga para peserta didik
sejak awal diberi wawasan ekologis dan ditumbuhkan kesadaran dan kepekaannya melalui
proses pembelajaran bagaimana para peserta didik dipertajam kemampuannya untuk mengagumi
keindahan ciptaan dan memuji penciptanya. Dalam konteks ini, nilai-nilai etis, estetis dan
religious dihayati dalam diri peseta didik.
Selain perubahan yang berorientasi pada problem solving, perubahan dari pendidikan
yang berorientasi pada hasil menuju pendekatan pendidikan yang berorientasi pada roses
pembelajaran. Dalam masyarakat yang sudah dirasuki dan dirusak oleh budaya instan, proses
pembelajaran harus diarahkan pada pemahaman bahwa proses itu lebih penting daripada hasil.
Dengan memahami dan mengalami proses, maka peserta didik akan lebih memahai langkah8

langkah dan prosedur yang harus dijalani sebelum sampai pada hasil akhir. Melalui proses inilah
para peserta didik dilatih untuk mencerap dan menghayati nilai-nilai yang akan memengaruhi
cara berpikir dan bertindak.
Perubahan dari pendidikan yang mendominasi dan menindas menuju pendidikan yang
membebaskan dan menyadarkan. Pendidikan yang membebaskan menuntut adanya perubahan
sikap guru yang mulanya indoktrinatif menuju sikap pemberdayaan dan penyadaran para peserta
didik. Proses pemberdayaan dan penyadaran ini difasilitasi oleh guru dan akan membangkitkan
ketertarikan peserta didik pada nilai-nilai yang ditemukan melalui proses pembelajaran.
Ketertarikan pada nilai ini akan mendorong peserta didik untuk menghayati dan melaksanakan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan konkrit atas dasar prinsif kebebasan, bukannya paksaan.
D. Simpulan
Dalam pendidikan moral, metode naratif dapat digunakan sebagai sarana penanaman
nilai-nilai moral yang dihayati dan dipraktikan oleh tokoh-tokoh dalam yang diceritakan dalam
sebuah cerita. Dalam konteks ini peran guru dalam menstimulasi daya kreasi dan imajinasi
peserta didik untuk memahami dan berempati menjadi sangat penting. Disanalah salahsatu
penekanan dalam pendidikan nilai, dimana peserta didik diharapkan bisa merasakan, terlibat,
timbul rasa empati, dan memiliki asas kemanusiaan dalam menyikapi hidup.
Nilai-nilai moral, spiritual dan kemanusiaan, bukan hanya untuk diketahui tapi harus
diinternalisasikan dan dihayati dalam diri setiap orang yang ikut dalam proses pembelajaran.
Sehingga nilai-nilai moral tersebut dapat terintegrasi dalam kepribadian dan memengaruhi cara
pandang dan cara pikir serta cara menanggapi persoalan sepanjang hidup. Dengan demikian
metode pembelajaran nilai-nilai harus menekankan dimensi eksperensial: learning by doing,
learning by experiencing, learning by living in, learning by exploring, dan learning by problem
solving.
Semoga dengan pendidikan yang menekankan pada aspek kemanusiaan ini, dapat
membawa para peserta didik untuk mengalami transformasi nilai, pola pikir dan pola prilaku
menuju habitus baru demi menciptakan manusia yang sungguh-sungguh memiliki integritas
pribadi yang bermoral tinggi dan memiliki komitmen pada kemanusiaan. Hal ini guna
menghadapi arus globalisasi yang pada swenyatanya semua yang dating tidaklah membawa
nilai-nilai yang positif.
9

Rujukan bacaan
Humanism Dan Humaniora. Bambang Sugiharto. Jalasutra
Kaledioskop Pendidikan. Kompas. H.R. Tilaar
Filsafat Proses. Kanisius. Sudarminta.

10