Hubungan Kualitas Kehidupan Kerja dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) Karyawan PT. Pos Indonesia, Medan

BAB II
LANDASAN TEORI

A.

Organizational Citizenship Behavior (OCB)

1. Definisi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Cascio (2003) mengungkapkan OCB sebagai perilaku kebijaksanaan
karyawan yang dilakukan diluar peran formal seseorang untuk membantu kinerja
pegawai atau memberikan dukungan dan kesadaran (conscientiousness) terhadap
organisasi.
Menurut Organ; Podsakoff; & Mackenzie (2006) OCB merupakan
perilaku bijaksana individu yang tidak secara langsung atau eksplisit diakui oleh
sistem reward formal, dan dapat meningkatkan fungsi efektivitas organisasi.
Robbins & Judge (2008) mengutarakan bahwa perilaku kewarganegaraan
(organizational citizenship behavior – OCB) merupakan perilaku pilihan yang
tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal karyawan, namun mendukung
organisasi tersebut untuk dapat berfungsi secara efektif. Lebih lanjut Robbins &
Judge (2008) mengungkapkan bahwa contoh perilaku OCB yang baik adalah
membantu individu lain dalam tim, mengajukan diri dalam melakukan pekerjaan

ekstra, menghindari konflik yang tidak berkepentingan, hormat dan patuh pada
peraturan, dan menoleransi gangguan yang kadang terjadi pada saat kerja.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa OCB
merupakan perilaku diluar daripada peran formal karyawan yang berfungsi untuk
keefektifan organisasi.

9
Universitas Sumatera Utara

2. Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Menurut Organ; Podsakoff; dan Mackenzie (2006) terdapat 4 (empat)
dimensi OCB, yaitu :
a. Helping Behavior
Dimensi helping behavior berkaitan dengan perilaku membantu orang lain
dalam mengatasi setiap masalah yang ada terkait dengan karyawan dalam
suatu organisasi. Dimensi helping behavior merupakan gabungan dari empat
dimensi, yakni: altruism, courtesy, peacemaking, dan cheerleading.
Keempat dimensi tersebut memiliki pengertian sebagai berikut :
a.1. Altruism, merupakan perilaku karyawan untuk menolong rekan kerjanya
yang sedang mengalami kesulitan tanpa memikirkan keuntungan

pribadi.
a.2. Courtesy, merupakan perilaku karyawan untuk menghormati dan
memperhatikan orang lain, menjaga hubungan baik dengan rekan kerja
dengan tujuan agar terhindar dari masalah interpersonal atau membuat
langkah-langkah untuk mengurangi suatu permasalahan.
a.3. Cheerleading, merupakan perilaku karyawan untuk ikut terlibat dalam
perayaan prestasi atau pencapaian rekan kerjanya. Tujuannya adalah
sebagai penguat positif kepada rekan kerja yang meraih prestasi
sehingga perilaku rekan kerja ini memungkinkan untuk terjadi atau
muncul kembali.

10
Universitas Sumatera Utara

a.4. Peacemaking, terjadi apabila karyawan menyadari bahwa konflik akan
menyebabkan perselihan antara dua atau lebih partisipan. Karyawan
yang

bertindak


sebagai

peacemaker

akan

masuk

ke

dalam

permasalahan, memberikan kesempatan pada orang yang bermasalah
untuk berpikir jernih, dan membantu penyelesaian masalah dengan
mencari solusi yang tepat dari permasalahan.
b. Conscientiousness
Conscientiousness merupakan perilaku sukarela atau bukan suatu kewajiban
karyawan yang melebihi harapan organisasi dalam hal mematuhi peraturan,
kehadiran, hadir ke tempat kerja lebih awal sehingga siap bekerja pada saat
jam kerja telah di mulai, berbicara seperlunya untuk hal-hal yang tidak

berkaitan dengan pekerjaan, dan lain sebagainya.
c. Sportsmanship
Sportmanship merupakan perilaku pada karyawan yang mengacu pada
perilaku positif terhadap situasi yang kurang ideal dalam organisasi, seperti:
tidak suka mengeluh dan protes walaupun sedang berada di situasi yang
kurang nyaman serta tidak membesar-besarkan masalah.
d. Civic Virtue
Civic virtue merupakan perilaku karyawan yang bertanggungjawab dan
terlibat secara konstruktif dalam keberlangsungan kehidupan organisasi.
Contoh perilakunya adalah mendiskusikan mengenai isu-isu yang sedang
berkembang dalam organisasi atau dengan kata lain up to date mengenai
perkembangan organisasi.

11
Universitas Sumatera Utara

Keseluruhan dimensi dari

OCB yang dikemukakan oleh Organ;


Podsakoff; & Mackenzie (2006) nantinya akan diukur dalam skala OCB.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior
(OCB)
Spector (dalam
kepuasan

terhadap

Robbins dan

kualitas

Judge, 2008) mengungkapkan bahwa

kehidupan

kerja

merupakan


faktor

utama

organizational citizenship behavior (OCB) seorang karyawan.
Goleman; Boyatzis; & McKee (dalam Sumiyarsih; Mujiasih; & Jati,
2012) menyatakan bahwa emosi termasuk ke dalam faktor yang mempengaruhi
OCB. Emosi menurut Goleman adalah suatu kondisi mental yang melibatkan
aspek biologis, psikologis, ataupun kecenderungan seseorang dalam bertindak
yang mempengaruhi pikirian dan tindakan individu. Individu yang memandang
peristiwa secara positif akan merasa lebih optimis akan kemampuannya mencapai
tujuan, meningkatkan kreativitas dan dan keterampilan dalam pengambilan
keputusan, dan membuat individu jadi lebih senang membantu (Goleman;
Boyatzis; & McKee, dalam Sumiyarsih; Mujiasih; & Jati 2012 ).
Selain itu, Organ; Podsakoff; dan Mackenzie (2006) mengacu pada teori
psikologi dan organisasi sosial yang relevan mengemukan bahwa kepuasan kerja
menjadi salah satu faktor yang dapat memprediksi adanya perilaku OCB pada
individu. Lebih lanjut Organ; Podsakoff; dan Mackenzie (2006) mengemukakan
bahwa kepuasan kerja meliputi kepuasan dengan pekerjaan, gaji, kondisi
pekerjaan, dan perlakuan rekan kerja dan supervisor akan menjadikan kinerja

individu yang lebih baik dan lebih produktif.

12
Universitas Sumatera Utara

Gaya kepemimpinan dapat menjadi pemicu munculnya OCB di
perusahaan apabila bawahan mampu mempersepsikan secara positif gaya
kepemimpinan yang ditampilkan oleh pemimpinnya. Dengan adanya persepsi
baik dan positif dari bawahan, maka bawahan akan mampu meningkatkan rasa
percaya dan hormat mereka kepada atasannya melebihi apa yang diharapkan oleh
atasan (Organ; Podsakoff; dan Mackenzie, 2006). Hal ini dapat dipahami lewat
proses modelling yang dilakukan oleh atasan yang mulanya melakukan OCB yang
kemudian ditiru oleh karyawan.
Konovsky & Pugh (2002) juga mengemukakan bahwa masa kerja
seorang karyawan menjadi salah satu faktor dalam terciptanya OCB diantara
karyawan. Karyawan dengan masa kerja yang lebih lama akan memiliki
keterikatan yang lebih mendalam dengan organisasi dan rekan ditempatnya
bekerja. Hal ini menjadikan mereka akan lebih mengutamakan kepentingan
bersama seperti kemauan untuk menolong rekan kerja dan berbuat lebih banyak
untuk terwujudnya pencapaian dari organisasi.


B. Kualitas Kehidupan Kerja
1. Defenisi Kualitas Kehidupan Kerja
Gibson; John; James; & Robert (2006) mengemukakan bahwa kualitas
kehidupan kerja adalah sebuah filosofi manajemen dalam suatu organisasi yang
meningkatkan harkat dan martabat karyawannya, memperkenalkan adanya
perubahan dalam budaya organisasi, dan meningkatkan kesejahtaraan fisik dan
emosional karyawan. Cascio (2006) mengemukakan bahwa kualitas kehidupan

13
Universitas Sumatera Utara

kerja merupakan persepsi karyawan bahwa mereka merasa aman, relatif puas dan
dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya. Sama halnya dengan Nawawi
(2008), ia mendefinisikan kualitas kehidupan bekerja sebagai sejauh mana
organisasi dapat menciptakan rasa aman dan kepuasan dalam bekerja untuk
mewujudkan tujuan perusahaan. Begitu juga dengan Walton (dalam Kossen,
1986) yang mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja mengacu pada seberapa
efektifnya lingkungan pekerjaan memenuhi keperluan-keperluan dan nilai-nilai
dari karyawan. Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa kualitas

kehidupan kerja merupakan persepsi karyawan mengenai suasana tempat kerja
yang dapat menciptakan kepuasan, rasa aman, serta dapat meningkatkan harkat
dan martabat karyawan dan mewujudkan tujuan perusahaan atau organisasi.
2. Dimensi Kualitas Kehidupan Kerja
Walton ( dalam Kossen, 1986) mengemukakan bahwa terdapat 8
(delapan) dimensi dalam kualitas kehidupan kerja, yaitu:
a. Kompensasi yang memadai dan wajar (adequate and fair compensation)
Meliputi elemen-elemen seperti: gaji yang cukup untuk pembiayaan suatu
kehidupan yang layak dan kesamaan upah atau gaji yang diterima oleh
karyawan yang memiliki posisi dan jenis pekerjaan yang sama.
b. Kondisi kerja yang aman dan sehat (safe and healthy working
environment)
Kondisi kerja yang aman dan sehat mengacu pada lingkungan tempat kerja
yang relatif bebas dari resiko kerja yang berlebihan yang dapat
menyebabkan cidera atapun penyakit pada diri karyawan. Kondisi-kondisi
14
Universitas Sumatera Utara

ini dapat meliputi hal-hal seperti: fasilitas di tempat kerja, ketersediaan
layanan kesehatan, jumlah jam kerja dan banyaknya beban kerja yang

diterima oleh pekerja, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kondisi
fisik tempat kerja yang baik dan memiliki resiko kecelakaan kerja yang
rendah (Walton, dalam Pasaribu 2015).
c. Kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas
individu/pekerja (developing individual capacity)
Kesempatan mengembangkan dan menggunakan kapasitas individu/pekerja
berhubungan
kesempatan

dengan
bagi

upaya

setiap

setiap

organisasi


karyawannya

untuk

dalam
dapat

memberikan
menggunakan

keterampilan dan kemampuan yang dimiliki dalam bekerja, seperti:
karyawan dapat menggunakan dan mengembangkan keahlian serta
pengetahuannya dalam bekerja dan karyawan merasa dirinya tertantang
dengan pekerjaan yang ia lakukan.
d. Kesempatan untuk pertumbuhan dan jaminan kerja yang jelas dan
berkesinambungan (development and security opportunities)
Kesempatan

pertumbuhan

dan

jaminan

kerja

yang

jelas

dan

berkesinambungan ini meliputi adakah kesempatan bagi karyawan untuk
mendapatkan promosi jabatan, adakah perasaan aman karyawan untuk dapat
terus bekerja di perusahaan, atau apakah pekerjaan mampu memberikan
jaminan dan penghasilan terhadap kehidupan karyawan.

15
Universitas Sumatera Utara

e. Perasaan termasuk dalam bagian kelompok (social integration)
Perasaan termasuk dalam bagian kelompok meliputi hal-hal yang berkaitan
dengan hubungan interpersonal karyawan dalam organisasi, seperti:
karyawan merasa dirinya sebagai bagian dalam suatu tim, karyawan
merasakan adanya dukungan dari rekan kerja, serta lingkungan kerja yang
relatif bebas dari prasangka destruktif.
f. Hak-hak karyawan dalam perusahaan (constitutionalisme)
Terkait dengan hak-hak karyawan sebagai pekerja, seperti: adanya
kesamaan hak dan kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat,
keadilan dalam hal pembagian imbalan, dan adanya peraturan yang jelas
bagi setiap karyawan termasuk dalam hal proses menyampaikan setiap
keluhan yang dirasakan oleh karyawan.
g. Pekerjaan dan ruang kerja keseluruhan (total living space)
Hal ini mengacu pada pengaruh pekerjaan terhadap kehidupan pribadi
karyawan, seperti: hubungan karyawan dengan keluarga dan peran-peran
pribadi karyawan.
h. Relevansi sosial kehidupan kerja (social relevance)
Organisasi memiliki tanggung jawab sosial terhadap karyawan, masyarakat,
dan lingkungannya yang tercermin dari bagaimana potret organisasi dalam
hal penyediaan produk, kualitas sumber daya manusia, dan metode
pemasaran yang dilakukan oleh organisasi. Hal ini juga dapat dibuktikan
melalui rasa bangga karyawan terhadap organisasi.

16
Universitas Sumatera Utara

Dimensi dari kualitas kehidupan kerja ini adalah dimensi yang
dikemukakan oleh Walton (dalam Kossen, 1986) yang akan di ukur melalui skala
kualitas kehidupan kerja.
3. Dampak Kualitas Kehidupan Kerja
Kualitas kehidupan kerja telah lama digunakan sebagai konstruksi yang
berkaitan dengan kesejahteraan karyawan. Hal ini dikarenakan kualitas kehidupan
kerja

karyawan

merupakan

pertimbangan

bagi

pengusaha

yang

ingin

meningkatkan produktivitas sumber daya manusia di dalam perusahaan/organisasi
yang didudukinya. Berdasarkan penelitian Patil & Prabhuswamy (2013), ia
mengemukakan bahwa kualitas kehidupan kerja memiliki pengaruh besar yang
signifikan terhadap kinerja organisasi yang apabila dirusak akan mengarahkan
organisasi menjadi organisasi yang negatif. Lebih lanjut Patil & Prabhuswamy
(2013) menyarankan agar setiap perusahaan atau organisasi untuk dapat
memberikan kualitas kehidupan kerja yang sehat kepada karyawannya. Sejalan
dengan pernyataan di atas, Yadav & Khanna (2014) juga mengemukakan bahwa
kualitas kehidupan kerja karyawan yang baik merupakan hal yang tidak dapat
dilepaskan dari suatu organisasi apabila organisasi ingin mempertahankan
keefisienan dan keefektifannya. Yadav & Khanna (2014) juga menambahkan
bahwa melalui kualitas kehidupan kerja, organisasi akan mampu untuk mencapai
profitabilitas dan pertumbuhan di tengah maraknya persaingan sekarang ini.
Semua ini didasari oleh adanya pertumbuhan pendapatan dan keuntungan yang
memiliki hubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh karyawan dan
kepuasan karyawan yang bergantung pada kualitas kehidupan kerja yang

17
Universitas Sumatera Utara

diberikan oleh organisasi. Sinha (2012) dalam penelitiannya juga mengungkapkan
bahwa dengan adanya kualitas kehidupan kerja karyawan dalam suatu organisasi
atau perusahaan maka akan membantu organisasi atau perusahaan untuk sukses
dan mencapai tujuannya. Hal ini didasarkan karena dengan adanya persepsi
kualitas kehidupan kerja karyawan yang tinggi, maka secara langsung akan
berhubungan dengan berkurangnya tingkat absensi karyawan,

turnover,

kurangnya frekuensi keterlambatan dan meningkatnya prestasi kerja karyawan
yang mengarah pada perilaku OCB pada karyawan. Selain berpengaruh dalam
membantu organisasi atau perusahaan sukses dalam mencapai tujuannya, Vazifeh
et al (2013) dalam penelitiannya mengenai evaluation of impact of quality of work
life on employees' menunjukan bahwa aspek-aspek dari kualitas kehidupan kerja
seperti gaji yang memadai dan adil, adanya peluang pertumbuhan dan keamanan
kerja, adanya aturan hukum dalam pekerjaan, dan

keseimbangan kehidupan

kereja secara keseluruhan memiliki pengaruh langsung pada OCB karyawan.
Esmaeili (2014) berdasarkan hasil penelitiannya yang menunjukan
adanya pengaruh dari kualitas kehidupan kerja terhadap OCB, menekankan
kepada setiap manager di suatu organisasi/perusahaan agar memperhatikan
kualitas kehidupan kerja karyawan dalam rangka meningkatkan perilaku OCB
dari karyawan.

18
Universitas Sumatera Utara

C.

Hubungan antara Kualitas Kehidupan Kerja dengan Organizational
Citizenship Behavior (OCB)
Konsep mengenai OCB merupakan konsep yang sudah lama ada dan

berkembang serta menjadi harapan dari setiap manager dalam suatu organisasi
untuk dapat mempekerjakan karyawan yang memiliki OCB. Seperti yang
dikemukakan oleh Organ; Podsakoff; dan Mackenzie (2006) bahwa OCB
merupakan perilaku bijaksana individu yang tidak secara langsung atau eksplisit
diakui oleh sistem reward formal, dan yang dapat meningkatkan fungsi efisiensi
dan efektivitas organisasi. Spektor (dalam Yuniar, 2012) mendefinisikan OCB
sebagai suatu perilaku diluar persyaratan normal dan menguntungkan bagi
organisasi. Beberapa manfaat OCB dalam suatu organisasi adalah meningkatkan
produktivitas rekan kerja dan manager, meningkatkan kemampuan organisasi
untuk

dapat

mempertahankan

karyawan

dengan

kualitas

terbaik

dan

mempertahankan stabilitas organisasi (Organ; Podsakoff; dan MacKenzie, 2006).
Hal inilah yang menyebabkan OCB karyawan harus ditingkatkan guna mencapai
produktivitas organisasi yang maksimal.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terciptanya OCB, salah satunya
adalah kualitas kehidupan kerja (quality of work life). Kualitas kehidupan kerja
menurut Nawawi (2008) didefinisikan sebagai sejauh mana perusahaam mampu
menciptakan rasa aman dan kepuasan dalam bekerja karyawan demi tercapainya
tujuan perusahaan. Pernyataan dari Nawawi diperjelas oleh pernyataan oleh Sinha
(2012) dalam penelitiannya yang mengungkapkan bahwa dengan adanya kualitas
kehidupan kerja karyawan dalam suatu organisasi atau perusahaan maka akan

19
Universitas Sumatera Utara

membantu organisasi atau perusahaan untuk sukses dan mencapai tujuannya. Hal
ini dikarenakan dengan adaya kualitas kehidupan kerja, maka secara langsung
akan berhubungan dengan berkurangnya tingkat absensi karyawan, turnover,
kurangnya frekuensi keterlambatan dan meningkatnya prestasi kerja karyawan.
Kossen (1986) mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja mengacu
pada seberapa efektifnya organisasi memberikan respon terhadap kebutuhankebutuhan karyawan. Adapun dimensi kualitas kehidupan kerja yang diharapkan
oleh para karyawan diantaranya adalah kompensasi yang memadai dan wajar,
kondisi-kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan untuk mengembangkan
dan menggunakan kapasistas manusia, kesempatan untuk pertumbuhan dan
jaminan yang sinabung, perasaan termasuk dalam suatu kelompok, hak-hak
karyawan, pekerjaan dan ruang kerja secara keseluruhan, dam relevansi sosial
pekerjaan terhadap kehidupan pekerja (Walton, dalam Kossen 1986).
Semakin kebutuhan karyawan terpenuhi dan karyawan merasa puas
dengan apa yang diperolehnya dari perusahaan atau organisasi, maka karyawan
akan memiliki kecenderungan untuk berkorban lebih pada perusahaan. Salah satu
hal yang ditunjukan oleh karyawan untuk menunjukan kepuasannya terhadap
organisasi

adalah dengan menampilkan organizational citizenship behavior

(OCB). Hal ini juga dikemukakan oleh Spector (dalam Robbins dan Judge,
2008:105) yang mengatakan bahwa kepuasan terhadap kualitas kehidupan kerja
adalah penentu utama OCB dari seorang karyawan. Hubungan mengenai kualitas
kehidupan kerja dan OCB juga di dukung oleh penelitian Jati (2013) yang
mengatakan bahwa karyawan dengan kualitas kehidupan kerja yang tinggi akan

20
Universitas Sumatera Utara

mendorong timbulnya OCB. Hal ini dikarenakan karyawan yang memiliki
kualitas kehidupan kerja yang tinggi akan berbicara positif tentang organisasi,
memiliki kesediaan untuk membantu individu, dan melakukan pekerjaan melebihi
pekerjaan normal. Selain itu, penelitian dari Aini (2012) dalam skripsinya yang
berjudul “Hubungan antara Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan dan Quality of
Work Life dengan Organizational Citizenship Behavior Karyawan PT. Air
Mancur Palur Karanganyar” mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif
dan signifikan antara kualitas kehidupan kerja dengan OCB karyawan dalam suatu
organisasi/perusahaan, semakin tinggi kualitas kehidupan kerja, maka semakin
tinggi pula tingkat OCB karywan.
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja
memiliki hubungan dengan terbentuknya perilaku OCB karyawan, dan oleh sebab
itu, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai hubungan antara kualitas kehidupan
kerja dengan organizational citizenship behavior (OCB) karyawan.

D.

Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis paradigma

sederhana, yaitu paradigma penelitian yang hanya terdiri dari satu variabel
independen dan dependen ( Sugiyono, 2012).

X

Y

X = kualitas kehidupan kerja
Y = organizational citizenship behavior (OCB)

21
Universitas Sumatera Utara

E.

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoritis dan paradigma penelitian yang telah

dijabarkan, maka peneliti mengajukan suatu hipotesa hubungan yang positif
antara kualitas kehidupan kerja dengan organizational citizenship behavior (OCB)
Karyawan PT. Pos Indonesia, Medan. Hal ini berarti semakin tinggi kualitas
kehidupan kerja maka semakin tinggi OCB karyawan PT. Pos Indonesia, Medan.
Sebaliknya, semakin rendah kualitas kehidupan kerja, maka semakin rendah OCB
karyawan PT. Pos Indonesia Medan.

22
Universitas Sumatera Utara