Institusi-September 2008

VOLUME VI SEPTEMBER 2008

INSTITUSI

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari
berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal
penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka
saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situssitus suratkabar, majalah, serta situs berita lainnya.
Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas
diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap
penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.
Untuk memperluas area distribusi, Berkhas diterbitkan melalui 2 (dua) macam media
yaitu media cetakan (hardcopy) serta media online berupa pdf file yang dapat diakses
melalui situs web Akatiga (www.akatiga.or.id).

D a ft a r I si
Memetakan Kekuatan Partai Politik 2009 -----------------------------------------------------------

1


Politik dan Demokrasi Ekonomi ------------------------------------------------------------------------

4

Siapa Mengawasi Hakim Konstitusi? -----------------------------------------------------------------

6

Pertarungan Kredibilitas ----------------------------------------------------------------------------------

8

Suara Terbanyak pada Pemilu Legislatif 2009 ----------------------------------------------------- 10
Jalan Buntu Demokrasi ----------------------------------------------------------------------------------- 13
Keraton Siapkan Draf RUU Keistimewaan DIY ---------------------------------------------------- 15
Draf RUUK DIY Tidak Sesuai UUD 1945------------------------------------------------------------ 16
Pilgub Jatim Putaran II Dilaksanakan 4 November ----------------------------------------------- 18
UU BHP dan Liberalisasi Pendidikan ----------------------------------------------------------------- 19
Antusiasme Warga di Pilkada Tetap Tinggi --------------------------------------------------------- 21
Wujudkan Pilkada Damai -------------------------------------------------------------------------------- 22

Duduk Soal Perda Syariah------------------------------------------------------------------------------- 24
Pilkada Sumsel Jadi Ajang Pertarungan Lembaga ----------------------------------------------- 27
Bersaing Ketat, Hasil Penghitungan Cepat Pilkada Sumsel ----------------------------------- 28
RUU Pilpres, Rangkap Jabatan Belum Disepakati ----------------------------------------------- 30
Pembayaran Bantuan Langsung Tunai Tahap II Ditunda --------------------------------------- 32
Pengumuman Hasil Pilkada Maju---------------------------------------------------------------------- 33
Hasil Pilkada Sumsel Diumumkan 9 September -------------------------------------------------- 35
Pilkada Sumba Tengah Digelar Pagi Ini ------------------------------------------------------------- 36
Tim Pemenang Anggap Lawannya Tak Puas pada Hasil Pilkada Lampung -------------- 37
Desk Pilkada Pastikan Tak Menyimpang ------------------------------------------------------------ 38
Warga Parimo, Sulteng Tolak Hasil Pilkada -------------------------------------------------------- 39
Pilkada Lampung Utara Kisruh ------------------------------------------------------------------------- 40
Tahapan Pilkada Istirahat Sementara ---------------------------------------------------------------- 41
Hormati Hasil Pilkada Sumsel -------------------------------------------------------------------------- 42
Revisi UU Migas Perlu Dicermati ---------------------------------------------------------------------- 43
Kurniantoro - Ruyandi Hutasoit RUU Pilpres ------------------------------------------------------- 44
Parpol di Aceh Sepakati Pilkada Damai ------------------------------------------------------------- 45
Silakan Bahas RUU Rahasia Negara Seusai Pemilu 2009------------------------------------- 47
Pembahasan RUU Pilpres Molor ---------------------------------------------------------------------- 48
BLT Tahap II di Sulsel Cair ------------------------------------------------------------------------------ 50


Tolak RUU Anti-Pornografi ------------------------------------------------------------------------------ 52
UU Kesehatan Tak Kunjung Selesai ------------------------------------------------------------------ 54
Pemerintah Terbitkan PP Pengendalian Intern ---------------------------------------------------- 56
Susun DPS Bisa Pakai Data Pilkada ----------------------------------------------------------------- 57
MK Gelar Uji Materi UU Pemilu ------------------------------------------------------------------------ 58
Politisi Tanpa Ideologi------------------------------------------------------------------------------------- 59
Pemilu yang Letih Isu ------------------------------------------------------------------------------------- 61
Lampung Distribusikan BLT Tahap II ----------------------------------------------------------------- 63
Perda Tanah Ulayat di Sumbar Masih Bias --------------------------------------------------------- 64
Awas Perangkap UU Pornografi ----------------------------------------------------------------------- 65
Baleg Kembalikan Revisi Terbatas UU Pemilu ---------------------------------------------------- 68
Dilanjutkan, Proses Pilkada Rote Ndao -------------------------------------------------------------- 69
RUU Pornografi, Ancaman Kriminal bagi Perempuan ------------------------------------------- 70
Tolak RUU BHP -------------------------------------------------------------------------------------------- 73
Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita: RUU Pornografi Harus Hormati Pluralisme-------- 75
Menunda RUU Pilpres Tak Logis ---------------------------------------------------------------------- 77
Pilkada Nabire, Sebuah "Rekor" dan Kebangkitan Perempuan ------------------------------- 79
Setelah Disahkan, UU BHP Akan Diuji Materi ----------------------------------------------------- 80
Uji Coba RUU Pornografi -------------------------------------------------------------------------------- 81

Lentera Nilai Pilkada Cacat Hukum ------------------------------------------------------------------- 84
DPRD Bali Temui Presiden dan DPR ---------------------------------------------------------------- 85
Tempatkan RUU secara Berimbang ------------------------------------------------------------------ 87
Penghitungan Suara Pilkada Riau Bisa Dipercepat ---------------------------------------------- 88

Kompas

Senin, 01 September 2008

M e m e t a k a n Ke k ua t a n Pa r t a i Polit ik 2 0 0 9
Senin, 1 September 2008 | 00:18 WIB
BAMBANG SETIAWAN
Pemilu 2009 tak hanya akan ditentukan oleh penguasaan wilayah partai politik, tetapi juga
oleh aspek-aspek kualitatif parpol. Kepercayaan dan harapan terhadap parpol yang
terbangun oleh menguatnya soliditas, ideologisasi, dan kepemimpinan parpol akan turut
menentukan.
Jumlah partai politik tidak menyebabkan berkurangnya penetrasi partai besar, tetapi lebih
berpengaruh pada partai kecil.
Semakin banyak partai, penguasaan wilayah oleh partai kecil semakin sulit. Hal ini terbukti
dari konsentrasi yang cenderung mengelompok pada sedikit partai dalam Pemilu 1999. Dari

313 wilayah kabupaten/kota, hanya enam partai dari total 48 partai yang mampu memenangi
wilayah. Sebaliknya, dalam Pemilu 2004 jumlah partai berkurang menjadi 24, tetapi terdapat
16 partai yang mampu merebut wilayah.
Jika ditotal, jumlah penguasaan wilayah kabupaten/kota oleh dua partai besar, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar, pada Pemilu 1999 mencapai
89,4 persen atau 280 wilayah, dan pada Pemilu 2004 mencapai 81,8 persen atau 360
kabupaten/kota. Pergeseran kekuatan paling signifikan juga hanya terjadi pada Partai Golkar
dan PDI-P.
Kalau pada Pemilu 1999 PDI-P mampu menguasai 53 persen atau 166 dari 313
kabupaten/kota, pada Pemilu 2004 hanya mampu meraih 20,2 persen dari 440
kabupaten/kota. Sebaliknya, Partai Golkar, yang tadinya terpuruk dan hanya menguasai 36,4
persen, dalam pemilu terakhir mampu menaikkan penguasaan wilayahnya menjadi 61,6
persen atau 271 kabupaten/kota. Meskipun secara nasional perolehan suara Partai Golkar
turun dari 22,4 persen pada tahun 1999 menjadi 21,6 persen pada tahun 2004, sebaran
wilayah yang mampu dimenangi partai berlogo beringin ini semakin banyak.
Penguasaan wilayah oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004 banyak terjadi di wilayah hasil
pemekaran. Dari 143 daerah yang dimekarkan tahun 1999-2004, 72 persen atau 103 wilayah
pemekaran dimenangi Partai Golkar pada Pemilu 2004. PDI-P hanya memenangi 12,6
persen wilayah pemekaran, sisanya diperebutkan oleh partai-partai kecil lainnya.
Meski hingga Pemilu 2004 penguasaan wilayah masih didominasi Partai Golkar dan PDI-P,

penguasaan wilayah belum tentu menjadi variabel yang menjamin perolehan suara besar.
Banyak soal harus diperhatikan, seperti tumbuhnya wilayah hotspot atau sentral penyebaran
akibat kemenangan sebuah partai dalam pilkada. Selain itu, juga oleh tingkat pengenalan
publik terhadap partai, kepercayaan dan penilaian pemilih terhadap partai, serta dinamika
partai.
Wilayah hotspot bisa menjadi titik sentral yang berpotensi menambah kepercayaan partai dan
pemilih untuk mengubah peta kekuatan wilayah. Bahkan, pengaruhnya mungkin akan
menyebar di wilayah sekitarnya. Kemenangan sebuah partai dalam pilkada di wilayah yang
menjadi basis partai lain maupun basis massanya menjadi variabel yang layak
diperhitungkan.
Kemenangan calon dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di wilayah Jawa Barat yang dikuasai
oleh Partai Golkar dalam pemilu sebelumnya bisa punya imbas ke wilayah-wilayah di dalam
maupun sekitar Jawa Barat, seperti Banten dan Jawa Tengah bagian barat. Jakarta telah
menjadi wilayah hotspot bagi PKS pada pemilu sebelumnya dengan kemenangannya di
wilayah ibu kota negara ini.

Berkhas

1


Volume VI September 2008

Kompas

Senin, 01 September 2008

Sementara kemenangan PDI-P dalam Pilkada Jawa Tengah bisa berimbas ke wilayah Jawa
Timur yang saat ini relatif mencair. Keretakan di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa, yang
menguasai sebagian besar wilayah Jawa Timur dalam pemilu sebelumnya, bisa menjadi
peluang bagi PDI-P untuk menguat di wilayah ini.
Jika Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dikuasai PDI-P serta Jawa Barat dan Banten
oleh PKS, lumbung suara untuk Partai Golkar akan terkonsentrasi di wilayah-wilayah luar
Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Pengenalan partai
Dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, awal Agustus lalu, terlihat bahwa
pengenalan publik terhadap partai-partai baru masih berada di bawah rata-rata. Hanya Partai
Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang tercatat
berada di atas 50 persen. Partai Hanura pernah didengar oleh 67,9 persen responden dan
Partai Gerindra oleh 60,3 persen. Kedua partai ini juga lebih terkenal dibandingkan dengan
sejumlah partai lama, seperti PKPB, PKPI, Partai Pelopor, PDK, PPD, maupun PPDI.

Penetrasi iklan di media, bisa jadi, turut mendongkrak popularitas Partai Hanura dan
Gerindra. Meski demikian, pengenalan nama partai ternyata tidak identik dengan pengenalan
terhadap nama ketua umumnya. Responden yang mampu menyebutkan secara spontan
ketika diajukan pertanyaan apakah mengetahui nama Ketua Umum Partai Hanura hanya
36,7 persen dan Partai Gerindra hanya 2,2 persen.
Belum lekatnya nama partai dengan nama ketua umumnya juga dialami partai lama,
termasuk Partai Demokrat yang nama ketua umumnya hanya dikenal 4,9 persen responden.
Bahkan, nama Ketua Umum Partai Golkar hanya diketahui 49,2 persen responden.
Pengenalan publik paling tinggi adalah pada nama Ketua Umum PDI-P, yang diketahui 79,5
persen responden.
Nama ketua umum
Namun, pengenalan nama ketua umum tidak menjamin penetrasi yang kuat untuk menggaet
pemilih. Masih ada soal lain yang selayaknya diperhatikan, yakni kepercayaan, soliditas,
wacana penguatan ideologi, dan kepemimpinan.
Hingga saat ini hanya 54,7 persen responden yang merasa aspirasi politiknya sesuai dengan
salah satu partai yang resmi mengikuti Pemilu 2009. Sisanya, 13,2 persen menyatakan tidak
ada partai yang sesuai dan 32,1 persen belum tahu mana partai yang sesuai dengan aspirasi
politiknya. Di antara 34 partai politik, PDI-P, PKS, dan Partai Demokrat dianggap sebagai
partai yang paling sesuai dengan aspirasi mereka.
Selain dari aspek aspirasi, PDI-P juga menempati peringkat paling tinggi dilihat dari sisi

penguatan wacana ideologi kepartaian dan kepemimpinan saat ini. Partai yang dipimpin
Megawati Soekarnoputri ini, dalam beberapa aspek, berebut pengaruh dengan PKS. Sisi-sisi
yang menjadi kekurangan PDI-P diisi oleh PKS, demikian juga sebaliknya. PKS menempati
peringkat tertinggi dilihat dari aspek dipercayai membawa perubahan dan memiliki solidaritas
keanggotaan paling kuat. Partai Golkar, meskipun penguasaan wilayahnya paling besar saat
ini, memiliki peringkat lebih rendah dalam aspek-aspek penting di atas dibandingkan dengan
PDI-P dan PKS.

Berkhas

2

Volume VI September 2008

Kompas

Senin, 01 September 2008

Dinamika partai
Dengan memperhitungkan penguasaan wilayah dan aspek-aspek kualitatif seperti ini, Pemilu

2009 akan sangat ditentukan oleh dinamika partai. Dinamika yang diperlihatkan sebuah
partai akan menutupi sejumlah kelemahan lainnya. (Litbang Kompas)

Berkhas

3

Volume VI September 2008

Kompas

Senin, 01 September 2008

Polit ik da n D e m ok r a si Ek onom i
Senin, 1 September 2008 | 00:20 WIB
Ahmad Erani Yustika
Sudah sebulan ini, gempita pasar politik (political market) di Indonesia sudah dimulai. Hal itu
ditandai 38 partai politik mengikuti pemilu.
Sebelumnya, telah terdapat iklan beberapa calon kandidat presiden dengan memanfaatkan
banyak media. Pasar politik ini berlangsung panjang, hingga April 2009 saat dilangsungkan

pemilu untuk memilih anggota legislatif. Usia pasar politik pun kian besar jika ditambah
pemilihan presiden-wakil presiden yang kemungkinan besar akan berlangsung dua putaran.
Dengan demikian, seluruh kegiatan itu mungkin akan berakhir Oktober 2009 (saat pelantikan
presiden baru).
Dalam sistem ekonomi pasar, pembukaan pasar (ekonomi) yang luas terbukti mendonorkan
keragaman tawaran barang/jasa. Pertanyaannya, apakah pasar politik kali ini akan
menyodorkan aneka gagasan atau platform menarik?
”Platform” ekonomi
Ada banyak aspirasi perubahan yang diinginkan rakyat. Namun, disepakati, isu ekonomi
menjadi prioritas masyarakat. Kini semua pihak mengetahui, ketidakpuasan masyarakat
terhadap pemerintah ada pada bidang ekonomi. Maka, kandidat/partai yang mampu memberi
optimisme terhadap perbaikan ekonomi berpeluang besar untuk diterima rakyat.
Pada titik itulah, platform ekonomi menjadi simpul terpenting untuk mengaitkan partai politik
dengan konstituennya melalui pasar politik. Sayang, platform ekonomi justru menjadi titik
terlemah partai politik di Indonesia sehingga pasar politik gagal menjadi medium pertukaran
yang efektif antara partai politik (supplier) dan rakyat (demander).
Ada banyak parpol yang menawarkan platform ekonomi, tetapi hanya satu-dua parpol yang
platform-nya bisa diapresiasi. Selebihnya, platform ekonominya terjebak dalam bentuk ”orasi”
yang amat normatif, tanpa ada kejelasan apa yang mau diperbuat dengan ekonomi di masa
depan.
Kondisi itu bisa karena dua hal.
Pertama, partai politik tidak memiliki basis ideologi yang kuat sehingga bisa memandu dalam
mendesain visi pembangunan ekonomi pada masa depan (setidaknya dalam lima tahun). Hal
ini menyebabkan platform yang muncul selalu bersifat klise dan normatif.
Kedua, parpol tidak memiliki bahan baku informasi (data) akurat tentang kebutuhan nyata
yang diinginkan rakyat. Implikasinya, platform ekonomi yang dijual berjarak dengan rakyat,
tidak orisinal, dan normatif. Hasilnya, jumlah partai amat banyak, tetapi mandul dalam
menciptakan platform ekonomi.
Demokrasi ekonomi
Saat ini topik demokrasi ekonomi amat aktual karena ada realitas ekonomi yang
mencemaskan di Indonesia.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang dicapai diiringi ketimpangan pendapatan serius. Saat
Orde Baru, gini rasio Indonesia berkisar pada angka 0,32. Pada tahun 2007, indeks yang
mengukur ketimpangan itu (gini rasio) menjadi 0,37.

Berkhas

4

Volume VI September 2008

Kompas

Senin, 01 September 2008

Kedua, ketimpangan kepemilikan/penguasaan lahan yang memprihatinkan, mencapai 0,7
(amat timpang). Padahal, lahan (tanah) merupakan salah satu faktor produksi paling penting
dalam kegiatan ekonomi, selain modal, tenaga kerja, dan teknologi.
Ketiga, terjadi penumpukan modal pada segelintir orang. Rilis data majalah Forbes Asia akhir
tahun 2007 menyebutkan, total kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia sebesar 27,86 miliar
dollar AS (Rp 259,098 triliun). Jumlah itu ekuivalen dengan 33,93 persen APBN 2007.
Seharusnya, data-data itu menjadi bahan baku yang baik untuk menyusun platform
(demokrasi) ekonomi karena sebagian besar persoalan ekonomi bersumber dari sana.
Demokrasi ekonomi sendiri dalam lintasan sejarah mendapat tempat penting dalam wacana
pembangunan karena ada dua perkembangan yang berkaitan. Pertama, pengalaman historis
para buruh dalam mengajukan tuntutan, lebih sering hanya mendapat janji-janji tentang
kondisi kerja dan keputusan yang memengaruhi mereka. Kedua, ada kesadaran yang
meningkat di antara para teoritisi bahwa demokrasi politik tidak sejalan dengan kapitalisme
(Devine, 1995). Demokrasi politik yang menyertakan setiap individu dalam proses
pengambilan keputusan ternyata tidak selalu mendapat ruang yang laik dalam kapitalisme
karena sistem terakhir ini mengandaikan pemusatan pengambilan keputusan cuma pada
segelintir pemilik kapital.
Dengan karakteristik semacam itu, proyek demokrasi ekonomi di Indonesia merupakan suatu
keniscayaan. Dalam konteks ini, ada beberapa kebijakan yang bisa dielaborasi untuk
mewujudkan demokrasi ekonomi.
Pertama, melakukan restrukturisasi kepemilikan aset-aset ekonomi nasional sehingga lebih
menggambarkan pembagian faktor produksi yang adil.
Kedua, mencegah munculnya praktik rente ekonomi yang menyumbat peluang bagi
masyarakat untuk bersaing secara sehat dalam kegiatan ekonomi.
Ketiga, mengamalkan kebijakan land reform secara tuntas sehingga terbuka peluang bagi
rakyat (petani) untuk mengakumulasi kesejahteraan.
Keempat, negara harus hadir untuk melindungi pelaku ekonomi yang tersisih akibat
persaingan ekonomi melalui beragam skema, misalnya subsidi, pajak progresif, dan program
social security.
Parpol yang bisa menyuarakan hal ini berpotensi meraup dukungan karena paralel dengan
suara hati rakyat.
Ahmad Erani Yustika Direktur Eksekutif Indef; Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Brawijaya

Berkhas

5

Volume VI September 2008

Kompas

Senin, 01 September 2008

Sia pa M e nga w a si H a k im Konst it usi?
Senin, 1 September 2008 | 00:20 WIB
Yohanes Usfunan
Ke depan, pimpinan Mahkamah Konstitusi bukan hanya bisa bicara dan sebagai selebriti,
tetapi harus bisa membawa MK sebagai institusi tepercaya. Hakim konstitusi pada hakikatnya
adalah hakim.
Seorang hakim tidak saja harus mengurangi bicara, menjaga tingkah laku, tetapi yang
terpenting juga menjaga independensi. Demikian dikatakan hakim konstitusi Mukthie Fadjar
dan Akil Mochtar (Kompas, 20/8).
Hakim konstitusi
Pernyataan kedua hakim konstitusi itu mengakui dan menegaskan posisi hakim konstitusi
sebagai hakim sesuai Pasal 24 Ayat 2 UUD 1945. Isinya, kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Penegasan serupa terkait pertanyaan, siapa berwenang mengawasi hakim konstitusi?
Keutusan MK No 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU No 22/ 2004 tentang Komisi
Yudisial (KY) dan UU No 4 /2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memangkas sejumlah pasal
tentang wewenang pengawasan KY. Pengawasan KY bertujuan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, dan perilaku hakim sesuai Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945. Salah satu butir
putusan MK menyebutkan, hakim konstitusi tak termasuk pengertian hakim yang harus
diawasi KY.
Dalam putusan MK (h 174) disebutkan, hakim konstitusi tak diawasi KY karena masa
jabatannya lima tahun setelah itu kembali ke profesi semula. Hakim konstitusi juga tidak
diawasi KY karena dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para hakim
konstitusi yang diatur UUD 1945 tak melibatkan KY. Argumen lain, hakim konstitusi tidak
diawasi KY karena jika diawasi berpotensi mengganggu imparsialitas hakim konstitusi dalam
sengketa kewenangan antarlembaga negara.
Argumentasi itu menunjukkan, pertama MK tak konsisten dengan pernyataan sikap yang
selalu menegaskan lembaga negara ini independen dan imparsial. Artinya, MK dalam
menjalankan tugas dan wewenang tak terpengaruh siapa pun, lembaga lain, dan dengan
cara apa pun. Pasal 2 UU No 24/2003 tentang MK menegaskan, MK salah satu lembaga
negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kedua, lembaga negara terkesan tidak merespons syarat transparansi dan akuntabilitas
dalam penciptaan pemerintahan yang bersih yang gencar dilaksanakan sesuai tuntutan
reformasi.
Ketiga, Indonesia sedang giat memberantas korupsi dan mafia peradilan (judicial corruption)
sehingga tanpa perkecualian semua lembaga dan pejabat negara wajib terbuka dan
mempertanggungjawabkan semua kebijakan.
Keempat, dari perspektif pemerintahan yang bersih, transparansi merupakan hal penting
yang harus ditaati tiap pejabat negara dalam melayani masyarakat secara profesional, jujur,
dan adil. Maka, hakim agung maupun hakim dalam lingkungan peradilan diharapkan terbuka
dalam menjalankan tugas dan wewenang serta berani diawasi.

Berkhas

6

Volume VI September 2008

Kompas

Senin, 01 September 2008

Kelima, pengawasan KY berhubungan dengan perilaku seorang hakim yang secara preventif
bermanfaat mencegah penyalahgunaan wewenang dalam memutus perkara.
Keenam, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh hakim dalam semua lingkungan peradilan
sehingga hakim konstitusi yang menjadi bagian dari hakim wajib diawasi KY. Secara historis
dalam risalah perubahan UUD 1945 pun, tidak ditemukan adanya rumusan yang
mengatakan, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim. Maka, secara
konstitusional hakim konstitusi adalah hakim menurut Pasal 24B Ayat 1 UUD 1945.
Konsekuensi putusan MK itu menghambat KY menjalankan wewenang pengawasan
terhadap hakim yang dilaporkan terlibat judicial corruption. Pengawasan merupakan unsur
penting dalam pemerintahan yang bersih dan demokratis untuk mencegah penyalahgunaan
wewenang. Selain itu, judicial corruption menghambat komitmen pemerintah memberantas
korupsi.
DPR
Revisi UU KY yang sedang dibahas badan legislasi DPR perlu merumuskan kembali
pengawasan KY terhadap hakim konstitusi. Tujuannya, pertama sebagai antisipasi
mencegah hakim konstitusi dari kemungkinan terlibat mafia peradilan. Kedua, DPR
diharapkan segera mengesahkan revisi UU KY agar wewenang pengawasan KY terhadap
hakim terlaksana optimal. Ketiga, revisi itu diharapkan memberi wewenang langsung kepada
KY untuk menjatuhkan sanksi kepada hakim yang terlibat mafia peradilan. Sebelumnya
wewenang KY hanya sebatas mengungkap, memeriksa kesalahan hakim, dan
merekomendasikan kepada MA dan MK agar menjatuhkan sanksi. Sanksi kepada hakim
yang terbukti kesalahannya berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara, atau
pemecatan.
Yohanes Usfunan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Denpasar Bali

Berkhas

7

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Senin, 01 September 2008

Pilpr e s 2 0 0 9
Pe r t a r unga n Kr e dibilit a s
Emrus
Pemilihan presiden (pilpres) tidak lama lagi. Pada 2009 rakyat menentukan siapa presiden
ketujuh. Para kandidat mulai berbenah. Mereka menyusun strategi "perang" menjadi
presiden. Menganalisis kekuatan dan kelemahan diri sendiri serta saingan potensial.
Saat ini mereka telah saling serang dengan senjata komunikasi politik memanfaatkan media
komunikasi massa secara optimal baik yang dibayar melalui iklan, kegiatan profesional,
maupun kolaborasi politik dengan penyelenggara media. Pada babak penyisihan ini, mereka
mengangkat isu dikotomi tua dan muda. Pada pertandingan berikutnya, boleh jadi mereka
mengangkat tema lain untuk menarik simpati masyarakat dan sekaligus mengeliminasi calon
lain.
Pertandingan komunikasi politik ini bertujuan menghancurkan kredibilitas saingan, sekaligus
membangun citra pribadi pada masyarakat, khususnya pada calon pemilih. Tujuan akhir dari
"perang" ini mendulang suara pada Pilpres 2009 untuk merebut kursi presiden. Merebut
kekuasaan. Menikmati kekuasaan.
Boleh jadi rakyat kelas bawah tetap menderita. Sebab pada saat kampanye, semua kandidat
pasti menjanjikan kesejahteraan bagi rakyat kelas bawah ini. Padahal, siapapun memimpin
bangsa ini lima tahun kedepan tidak mempengaruhi secara signifikan upaya memperbaiki
kesejahteraan masyarakat. Sebab, persoalan utama bangsa kita bukan pada siapa
memimpin, tetapi lebih pada sistem.
Program Pembangunan
Oleh karena itu, diperlukan perubahan secara total untuk menata sistem ketatanegaraan
yang melahirkan manusia Indonesia memiliki integritas dan nasionalisme yang tinggi. Jadi,
pertarungan kredibilitas para kandidat presiden antara kaum muda dan tua pada hakikatnya
merebut kursi kepresidenan untuk menikmati kekuasaan. Sehingga tidak mengherankan
pertarungan semacam ini bertujuan menghancurkan karakter seseorang.
Untuk itu, masyarakat tidak boleh hanyut pada pertarungan yang tidak menyelesaikan
persoalan kemiskinan. Untuk memahami pertarungan kredibilitas yang sedang diwacanakan
oleh para kandidat tua dan muda, tulisan ini mengurai makna kredibilitas dari perspektif
komunikasi, sehingga masyarakat dapat menilai pertandingan yang sedang dipertontonkan
oleh para kandidat presiden.
Kredibilitas sebagai realitas sosial dapat berubah-ubah. Ia dapat dibangun dan dapat
dihancurkan melalui proses komunikasi politik. Iklan-iklan politik yang semarak di televisi,
saat ini, sebagai contoh membangun kredibilitas tokoh politik. Jadi, kredibilitas seseorang
bukanlah bawaan lahir, bukan juga datang dengan sendirinya, tetapi sebagai hasil dari
rekayasa sosial. Karena itu, kredibilitas seorang tokoh di mata masyarakat adalah persoalan
persepsi. Bisa saja seorang tokoh kredibel pada suatu masyarakat tertentu, tetapi tidak untuk
masyarakat lain.
Lengsernya rezim Orde Baru, misalnya, akibat perubahan kredibilitas pada kurun waktu yang
berbeda. Kredibilitas dikonstruksi melalui proses komunikasi yang melabel rezim Orde Baru
sebagai pelaku KKN oleh kelompok yang menamakan diri sebagai rezim reformasi. Padahal,
kenyataan menunjukkan KKN tetap berlangsung. Bahkan sebagian dilakukan oleh pelaku
yang lahir dan dibesarkan oleh rezim reformasi.

Berkhas

8

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Senin, 01 September 2008

Pertarungan kredibilitas ibarat petinju di atas ring, menyerang adalah salah satu pertahanan
yang sangat baik. Cairnya kredibilitas membuat para kandidat presiden saling "serang" dan
secara simultan membangun kredibilitas diri sendiri.
Para kandidat presiden pada Pilpres 2009 berusaha semaksimal mungkin memenangkan
pertandingan kredibilitas. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu menyusun strategi dan jurusjurus komunikasi politik yang andal dengan berbasis pada konstruksi kredibilitas.
Salah satu faktor dominan, khususnya di Indonesia, kredibilitas kandidat presiden sangat
menentukan efektivitas komunikasi politik untuk merebut simpati masyarakat. Burgoon (1974)
berkata: we are all aware that some people are more effective communicators than others.
Dari perspektif komunikasi, pengaruh kredibilitas komunikator politik memegang peranan
penting dalam komunikasi politik yang efektif. Lebih 2000 tahun yang lalu, Aristoteles
menulis, kredibilitas tokoh, termasuk kandidat presiden, menyangkut tiga hal yaitu ethos,
memiliki kecerdasan, niat baik dan keterbukaan; logos, mampu memberikan argumentasi
yang logis; dan pathos, dapat membangkitkan emosi khalayak. Inilah yang membedakan
kandidat satu dengan kandidat lain. Burgoon menggambarkan kredibilitas sebagai 'good'
man, or a 'credible' speaker or a 'charis- matic' leader.
Faktor Kontribusi
Paling sedikit lima faktor berkontribusi membangun kredibilitas. Pertama, seorang dianggap
memiliki pengetahuan luar biasa mengenai permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat.
Misalnya, masa Orde Baru berhasil mengangkat isu ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
faktor utama membangun Indonesia.
Kedua, terkesan sebagai orang baik, rendah hati, dan sangat dapat dipercaya. Sebaliknya,
sese- orang dinilai memiliki karakter buruk, pasti memiliki kredibilitas sangat rendah.
Misalnya, tokoh muda yang menjadi bakal kandidat presiden menuduh tokoh tua telah gagal
membawa Indonesia dari keterpurukan. Iklan politik bertema "generasi baru membawa
perubahan baru" sudah bertaburan pada berbagai media massa. Pesan komunikasi politik
semacam ini tidak lain bertujuan "membunuh" kredibilitas tokoh yang lebih tua di mata
masyarakat calon pemilih 2009.
Ketiga, kandidat harus terkesan tenang, mampu meyakinkan dan tidak tampak berada dalam
tekanan, sekalipun menghadapi permasalahan yang luar biasa, seperti tuduhan yang dapat
membunuh karakter. Dalam hal ini pengelolaan kesan, merupakan hal penting bagi setiap
kandidat. Keempat, memiliki perilaku disukai. Orang yang disukai lebih mudah mempersuasi
daripada orang yang kurang disukai. Untuk dapat disukai seorang kandidat harus mampu
memahami kondisi permasalahan yang sedang dihadapi oleh rakyat Indonesia, saat ini. Oleh
karena itu, tidak usah heran kalau antarkandidat selalu saling "menyerang" bahwa kandidat
lainnya sudah tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kelima, diartikan sebagai se- orang yang terbuka, dinamis dan proaktif. Kandidat yang
memiliki kesan semacam itu lebih disukai daripada pendiam. Konstituen yang akan
memilihnya mempunyai harapan membawa kemajuan. Masyarakat cenderung meragukan
kandidat presiden pendiam.
Dengan demikian, naik turunnya kredibilitas seorang kandidat sesungguhnya adalah
persoalan penilaian khalayak. Penilaian ini terbentuk melalui proses rekayasa sosial dengan
mengoptimalkan sumber daya unsur-unsur komunikasi politik, seperti rekayasa pesan,
kolaborasi media, dan sebagainya.
Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Karawaci

Berkhas

9

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Senin, 01 September 2008

Sua r a Te r ba ny a k pa da Pe m ilu Le gisla t if 2 0 0 9
SP/YC Kurniantoro - Akbar Tandjung
Oleh Akbar Tandjung
Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR Periode 1999-2004
Suara terbanyak menjadi pilihan sejumlah parpol pada saat menetapkan calon anggota
legislatif (caleg) yang mereka ajukan pada Pemilu Legislatif 2009. Parpol-parpol yang sudah
menyatakan pilihannya itu, antara lain, PAN, PBR, Partai Demokrat, Partai Hanura, dan
Partai Golkar.
Dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu disebutkan secara tegas, anggota legislatif
yang bakal duduk di DPR ditentukan berdasarkan nomor urut yang diajukan parpol. Besarkecilnya nomor urut dengan demikian sangat menentukan sukses tidaknya caleg tersebut
menuju gedung DPR. Sebaliknya, dengan mekanisme suara terbanyak, caleg dengan nomor
urut besar (bawah) tetap berpeluang menjadi anggota DPR asal mampu mengumpulkan
dukungan suara terbanyak. Sukses tidaknya caleg sangat bergantung pada kerja kerasnya
meraih suara pemilih.
Pilihan sejumlah parpol untuk berbeda dengan ketentuan UU Pemilu menimbulkan
konsekuensi terhadap proses penyelenggaraan pemilu. Apalagi Komisi Pemilihan Umum
(KPU), sebagai lembaga penyelenggara pemilu, tidak bisa lain, kecuali bekerja berdasarkan
UU Pemilu.
Apa sesungguhnya yang sedang terjadi dengan parpol dan sistem pemilu kita? Apa implikasi
keputusan penerapan suara terbanyak tersebut dan bagaimana beda kepentingan parpol
peserta pemilu dapat diakomodasi?
Persaingan Ketat
Suara terbanyak yang dipilih sejumlah parpol mengindikasikan semakin ketatnya persaingan
antarparpol dan antarcaleg pada Pemilu Legislatif 2009. Pemilu yang akan digelar 9 April
tersebut di- ikuti 38 parpol, terdiri dari 16 parpol lama yang memiliki kursi di DPR, 18 parpol
baru yang lolos seleksi KPU, serta empat parpol yang memenangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Banyaknya parpol peserta pemilu tentu semakin menyulitkan perjuangan mereka meraih
kursi di parlemen. Padahal, pada saat yang sama citra parpol sedang kurang positif di mata
masyarakat. Ini terjadi akibat konflik internal yang melanda sejumlah partai dan kurang
terpujinya perilaku sebagian anggotanya, sebagaimana kerap diberitakan berbagai media
massa.
Demikian pula nyaris tiadanya perbedaan yang tegas garis perjuangan parpol semakin
menyulitkan mereka membangun ciri khas partainya. Karena itu tidak mudah dipahami
masyarakat mengapa harus banyak parpol bila di antara mereka tidak ada perbedaan
signifikan. Dengan begitu, parpol manapun yang berkuasa tampaknya akan sama saja
solusinya terhadap permasalahan dan kebijakan yang mereka tawarkan kelak.
Dalam kondisi demikian, inovasi politik dibutuhkan untuk memecah kebekuan perkembangan
politik, saat ini. Inovasi tersebut diharapkan bisa menggantikan kekuasaan dan materi
sebagai satu-satunya insentif. Akibatnya, perkembangan kepartaian kurangkondusif dan
kesenjangan kepentingan antara rakyat dan wakilnya kian menganga. Kesan ini diperoleh
sebagaimana disampaikan berbagai kalangan dalam dialog saya di berbagai daerah. Bahwa
hubungan rakyat dan wakilnya sangat artifisial. Rakyat merasa dibutuhkan hanya menjelang
pemilu saja.

Berkhas

10

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Senin, 01 September 2008

Bertolak dari itu, suara terbanyak menjadi alternatif baru dalam meraih simpati rakyat. Melalui
suara terbanyak diharapkan parpol dan calegnya dapat lebih mendekatkan diri kepada
rakyat. Caleg yang terpilih dengan demikian hanya mereka yang benar-benar dikenal di
daerahnya. Tanpa terkecuali pula, semua caleg harus bekerja keras mengenalkan dirinya
kepada calon pemilih. Dengan cara ini, diharapkan tidak ada lagi caleg beruntung yang
duduk di kursi legislatif karena kelebihan suara.
Bagi parpol sendiri, mekanisme suara terbanyak akan menggeser konflik penentuan caleg
dari DPP ke tingkat grass root, persaingan antarcaleg. Konsekuensinya, parpol lebih banyak
berperan sebagai kendaraan politik yang hanya aktif pada saat pemilu. Lebih dari itu, para
caleg harus bersaing untuk memenangi suara. Semakin dikenal dan kompeten seseorang
semakin besar peluangnya meraih dukungan suara rakyat. Ini logika pasar dari demokrasi
yang kita terapkan.
Banyaknya artis terjun ke dunia politik dan maraknya iklan politik tidak lepas dari
perkembangan demokrasi ini. Meski banyak kritik dilontarkan, namun artis atau tokoh yang
telah dikenal pada praktiknya memang lebih efektif dalam meraih suara pemilih. Dalam
pemilu langsung demikian figur memang lebih menentukan dibanding mesin parpol. Oleh
karena itu, ke depan parpol harus memikirkan peran kader-kadernya dalam kehidupan
demokrasi yang terus berubah.
Revisi UU Pemilu
Penerapan suara terbanyak sangat ideal dan akan meningkatkan citra parpol di mata
masyarakat. Mekanisme ini dimungkinkan karena adanya klausul pada Pasal 218 UU No 10
Tahun 2008 yang mengatur pengunduran diri caleg. Karena itu sejumlah parpol yang
menggunakan suara terbanyak meminta bakal calegnya menandatangani perjanjian internal
partai sebelum benar-benar diajukan sebagai caleg. Intinya, caleg akan menyatakan
mengundurkan diri dari caleg jadi apabila tidak memperoleh suara terbanyak.
Setelah caleg mundur, parpol akan menarik namanya dari KPU dan mengganti dengan caleg
peraih suara terbanyak. Bila yang meraih suara terbanyak caleg nomor bawah, katakan
nomor urut tiga, maka para caleg nomor urut lebih kecil satu dan dua harus mengundurkan
diri. Inilah yang harus diatur melalui mekanisme internal partai, karena UU menetapkan caleg
terpilih adalah yang meraih 30 persen BPP dalam pemilu.
Sekilas, mekanisme internal partai ini tampak akan menyelesaikan persoalan perebutan
nomor kecil di internal parpol. Namun, bagaimana bila kemudian terjadi sesuatu terhadap
peraih suara terbanyak tersebut. Katakan diangkat menjadi menteri, lantas nomor urut
berapa yang akan menggantinya? Begitu pula bila terdapat sisa suara, akankah mekanisme
suara terbanyak masih berlaku atau sebaliknya parpol akan kembali kepada nomor urut?
Selanjutnya terkait masalah perundangan, apakah ketentuan internal partai ini cukup kuat
dan dipatuhi para caleg? Jika tidak, saya khawatir suara terbanyak akan menimbulkan
masalah di kemudian hari, mengingat ketentuan internal parpol tidak dapat mengalahkan
ketentuan UU. Begitu pula jika terjadi perselisihan di internal parpol maka akan sulit bagi
parpol dan lembaga terkait menyelesaikannya. Ujung-ujungnya perpecahan internal parpol
yang tentu tidak positif bagi perkembangan demokrasi kita.
Bertolak dari semua itu, hemat saya perlu dilakukan perubahan secara terbatas UU Pemilu.
Ini agar suara terbanyak mendapat legitimasi yang kuat dari UU. Langkah ini juga bisa
menghapus kesan inkonsistensi parpol yang kini duduk di dewan. Mereka yang membahas
dan menyetujui UU Pemilu, namun ternyata tidak melaksanakan UU tersebut. Dari segi
waktu, saya juga melihat waktu tersedia sampai Desember 2008 jika parpol-parpol
bermaksud melakukan perubahan tersebut.

Berkhas

11

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Senin, 01 September 2008

Masalahnya memang tidak semua parpol menyetujui suara terbanyak. Sebagian tetap
berpegang pada UU Pemilu, yakni jika caleg berhasil meraih suara 30 persen dia secara
otomatis terpilih sebagai anggota DPR. Namun, jika tidak ada yang meraih suara minimal 30
persen, caleg jadi akan ditetapkan berdasarkan nomor urut. Apa pun hasilnya, diharapkan
sistem yang diterapkan dapat mengakomodasi dua kepentingan yang berbeda itu, sehingga
pemilu berjalan lancar. *

Berkhas

12

Volume VI September 2008

Kompas

Selasa, 02 September 2008

Ja la n Bunt u D e m ok r a si
Selasa, 2 September 2008 | 00:57 WIB
Boni Hargens
Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Amien Rais bakal
tampil di panggung pemilihan presiden 2009. Lengkaplah potret elite lama di etalase politik
nasional.
Dari sudut hak politik, siapa pun boleh mencalonkan atau dicalonkan. Namun, dominasi elite
lama di pentas politik kebangsaan dan rumitnya aktualisasi politik kaum muda menjelang
Pemilu 2009 melengkapi kotak pandora demokrasi di Indonesia. Lalu, apa yang dapat
dikatakan tentang politik di Tanah Air?
Sulit diukur
Mungkin pekerjaan paling rumit bagi ilmuwan sosial-politik saat ini adalah merumuskan
postulasi ilmiah yang akurat soal dinamika demokrasi di Indonesia, apalagi jika bertendensi
mengukur kuantitatif kemajuan demokrasi seperti obsesi Inkeles (On Measuring Democracy,
1991). Inkeles terbukti gagal di Afrika, sebagaimana studi Staffan I Lindberg (2002), di mana
demokrasi sulit terukur. Masalahnya ada pada penyebaran tak merata demokrasi dan laju
transisi yang acak di berbagai negara.
Di Indonesia, masalahnya lebih dari sekadar ketidakjelasan
mendasar adalah tidak adanya substansi demokrasi, yang dalam
disebut ”roh demokrasi” (the spirit of democracy). ”Roh” tak
keadilan, kesejahteraan, kedaulatan rakyat, atau kesetaraan,
keyakinan, dan komitmen untuk berbakti kepada publik.

laju transisi. Yang paling
terminologi Diamond (2008)
hanya berbicara soal nilai
tetapi juga visi, dorongan,

Fenomena golput di berbagai pilkada sejak tahun 2005—yang lahir sebagai kecenderungan
politik baru—tak terpisahkan dari penyelenggaraan demokrasi yang krisis substansi. Golput
jelas ancaman serius Pemilu 2009 (di sini kita tak bicara golput teknis karena buruknya
pendataan pemilih).
Masalahnya, apakah pemilu menghasilkan perubahan substansial? Pertanyaan ini tak pernah
terselesaikan dengan pemilu berulang-ulang dan melelahkan. Maka, kesimpulan dialog publik
”Problematika Penyelenggaraan Demokrasi Elektoral” yang digelar Pusat Pengkajian
Strategis Merdeka di Jakarta (23/8/2008) amat kontekstual. Demokrasi di Indonesia
mengalami degradasi mutu dan Pemilu 2009 sulit berkualitas (Kompas, 25/8). Degradasi
terkait kepemimpinan yang kurang adaptif dengan tuntutan dan tantangan politik yang ada.
Oleh karena itu, pada dua aras dapat ditemukan alasan degradasi kualitas demokrasi.
Pertama, sirkulasi elite yang tidak berlangsung secara natural dan demokratis. Natural artinya
selaras dengan tuntutan dan tantangan di tengah lingkungan politik. Demokratis artinya
sirkulasi terbuka terhadap siapa pun yang berkualitas. Dominasi elite lama dan perekrutan
anggota keluarga ke dalam posisi-posisi strategis partai menjadi preseden bahwa sirkulasi
elite masih terseok-seok dan terbatas di lingkaran sentral kekuasaan. Dengan demikian, tak
mengherankan jika dalam daftar calon anggota legislatif tercantum nama anak, cucu, atau
keponakan ketua umum partai. Kalaupun ada tokoh-tokoh muda yang baru masuk, mereka
hanya vote getter yang difungsikan sebagai umpan. Di garis linear yang sama, belakangan
dapat dibaca motif pelibatan artis ke dalam politik.

Berkhas

13

Volume VI September 2008

Kompas

Selasa, 02 September 2008

Kedua, para elite politik gagal merumuskan definisi yang jelas dan pasti tentang ideologi, visi,
dan misi politik. Indikasi paling jelas ditemukan dalam lobi koalisi. Meski lobi strategis setelah
pemilu legislatif April 2009, dan belum ada partai yang menyepakati rekan koalisi, namun
sudah ada manuver. Konon, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) hendak ”kawin”
lagi dengan Partai Golkar. Jika perkawinan kedua itu terjadi, PDI-P rela jatuh pada lubang
yang sama setelah perkawinan tahun 2004 saat Golkar tak mampu membuktikan
kesetiaannya. Apakah ini masalah?
Machiavelli
Sebagai seni segala kemungkinan, politik memungkinkan apa pun terjadi sehingga
perkawinan PDI-P-Golkar pun bukan masalah. Namun, rakyat bisa menilai, proses politik di
tingkat elite yang power-oriented dan menghalalkan segala cara merupakan jalan menuju
kebuntuan fatal.
Padahal, Machiavelli, setidaknya dalam pembacaan Pocock (The Machiavellian Moment:
Florentine Political Thought and the Atlantic Republican Tradition, 1975), menjustifikasi
penghalalan segala cara karena konteks politik Italia masa itu, di mana kaum Republikan
bertikai soal instabilitas politik mereka sendiri. Jika Machiavelli menolak penghalalan segala
cara, Italia bisa hancur di tangan para tentara bayaran atau berakhir di tangan rezim hipokrit.
Inilah yang Pocock sebut sebagai the machiavellian moment.
Indonesia tidak sedang dalam ”Momen Machiavelli”. Kita sudah 63 tahun berdemokrasi tetapi
tendensinya mau mengekalkan strategi Machiavellian yang temporal.
Nasib demokrasi elektoral di Indonesia yang masih dimonopoli elite lama dan transisi yang
tidak disertai perubahan paradigma politik di teras elite, pada titik tertentu berdampak fatal
dalam arah ganda. Pertama, fatal untuk politisi karena kebangkrutan demokrasi
menyuburkan perilaku golput yang paling ditakuti politisi dalam pemilu. Arah kedua,
membunuh inspirasi dan imajinasi sebagian rakyat yang masih percaya politik.
Pada arah pertama, kita mungkin tak begitu tertarik untuk peduli. Namun, pada arah kedua,
karena menyangkut masa depan politik dan peradaban demokrasi, kita semua harus peduli.
Maka, segenap elemen harus mendorong terjadinya perubahan dan hal itu bisa dilakukan
dengan menentukan pilihan yang tepat pada pemilu.
Boni Hargens Mengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia

Berkhas

14

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Selasa, 02 September 2008

Ke r a t on Sia pk a n D r a f RUU Ke ist im e w a a n D I Y

[YOGYAKARTA] Pihak Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat menganggap draf Rancangan
Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY) yang diusulkan
pemerintah pusat belum setara dengan kehendak rakyat. Keluarga Keraton menyiapkan draf
RUUK DIY, yang akan dibawa GBPH Joyokusumo untuk diserahkan ke Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
GBPH Yudhaningrat, dari keluarga Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat, di Yogyakarta, Senin
(1/9) menjelaskan, draf versi keraton tersebut sebagai bahan pertimbangan bagi DPR dalam
menyusun Undang-Undang Keistimewaan (UUK) DIY. Draf yang diajukan pemerintah tidak
sesuai dengan perjalanan sejarah pembentukan DIY yang terdiri dari kerajaan Kasultanan
Ngayogyokarto Hadiningrat dengan Kadipaten Puro Pakualaman.
Yudhaningrat tidak setuju dengan lembaga Pararadya, termasuk posisi Sultan dan Paku
Alam yang seharusnya menjadi kepala daerah diganti menjadi lembaga Pararadya.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY, Gandung Pardiman pun
berpendapat bahwa draf dari pemerintah, berbeda dengan aspirasi rakyat DIY, yakni soal
masa jabatan gubernur dan wakil gubernur.
Rakyat Yogyakarta ingin Sultan dan Paku Alam kembali menjadi gubernur dan wakil
gubernur tahun 2008-2013. "Hal itu tidak ada dalam draf RUUK. Kami akan bertemu DPR lagi
untuk membahas ini, sekaligus mendukung draf yang diusung Keraton Ngayogyokarto
Hadiningrat," katanya.
Pemilihan
Wakil Ketua Komisi A DPRD DIY Arif Rachman Hakim menjelaskan, empat klausul draf
RUUK DIY yang diserahkan Sekretaris Negara ke DPR secara tegas menyebutkan, tata
pemerintahan DIY yang demokratis diwujudkan melalui pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur secara langsung. Pemisahan kekuasaan antara lembaga penyelenggara politik dan
pemerintahan dengan Kesultanan dan Pakualaman, Pemerintahan Provinsi DIY terdiri atas
Pararadya, Pemerintah Daerah Provinsi, dan DPRD DIY.
Dikatakan, Pararadya merupakan satu-kesatuan lembaga yang berfungsi sebagai simbol,
pelindung dan penjaga budaya, serta pengayom dan pemersatu masyarakat DIY yang
berkedudukan di atas gubernur dan mempunyai hak protokoler seperti menteri.
Kedudukan Sultan sebagai Pararadya justru berada di atas kedudukan gubernur. Pararadya
memiliki wewenang mengontrol kinerja gubernur dan wakil gubernur dan DPRD, katanya.
Kedudukan Sultan dan Paku Alam sebagai Pararadya memang cukup luas. Sebab, lembaga
ini bisa mengatur kebijakan yang berkaitan dengan uang daerah dan kebijakan umum
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. "Bagaimanapun akan muncul kerawanan karena
ada dua kelompok yang memiliki pendapat berbeda. Satu kelompok pro-penetapan, dan
lainnya memilih ada pemilihan," katanya. [152]

Berkhas

15

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 03 September 2008

D r a f RUUK D I Y Tida k Se sua i UUD 1 9 4 5
[YOGYAKARTA] Draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta (RUUK DIY) yang diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan,
Jakarta sangat berbeda dengan yang dikirimkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
DIY, sebagai gambaran aspirasi rakyat. Draf itu tidak sesuai dengan Undang Undang Dasar
(UUD) 1945.
"Dalam draf RUUK yang dikirimkan ke DPR sama sekali tidak disinggung keberadaan Paku
Alaman yang ikut dalam DIY. Dalam UUD 1945 Pasal 18 b, negara mengakui daerah-daerah
otonom yang bersifat khusus," kata Anggota DPRD DIY Deddy Suwandi SR kepada SP, di
Yogyakarta, Rabu (3/9) pagi.
Selain itu, tambahnya, draf tersebut, banyak yang bertentangan dengan UU Nomor 3/1950
tentang Keistimewaan DIY. Pasal 1 UU No 3/1950 berbunyi daerah yang meliputi Daerah
Kesultanan Yogyakarta dan Paku Alaman ditetapkan menjadi DIY setingkat dengan provinsi.
"Dengan demikian pemerintah sudah melakukan intervensi dengan memberikan draf yang
berisi ketentuan pemisahan antara kepala keperintahan dan kepala daerah. Sri Sultan
sebagai raja di Yogyakarta tidak lagi menjabat sebagai gubernur," katanya.
Dengan draf ini, pemerintah pusat telah menjuruskan atau mengembalikan DIY menjadi
pemerintahan monarki, yang sebelumnya sudah dihapus dengan kehadiran UU No 3/1950
tersebut. Kalau tidak segera dirumuskan secara benar hal tersebut akan menimbulkan rusuh
di masyarakat yang secara garis besar menghendaki Sultanku adalah gubernurku.
Menurut Deddy, Menteri Dalam Negeri secara implisit telah menentukan bahwa DIY harus
menjalankan proses pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti daerah lain, dengan
memisahkan kedudukan kepala pemerintahan dan kepada daerah. Wacana itulah yang
muncul dan ditanggapi masyarakat sebagai hal yang bertentangan dengan aspirasi rakyat.
"Rakyat Yogya tetap bersikukuh mempertahankan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai
pasangan pemimpin tertinggi di DIY. Kalau tidak, maka kondisi tidak mengenakkan akan
terjadi di DIY," katanya.
Sebenarnya, tambahnya, hal-hal krusial dalam RUUK bukan hanya pada posisi dan
kedudukan raja dan gubernur, tetapi juga pada kondisi tanah Keraton, termasuk di dalamnya
kinerja birokrasi yang sesungguhnya memang harus berbeda dengan daerah lainnya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY Suparman Marzuki mengatakan, sampai saat ini
persiapan pilkada nol persen, meski masa jabatan gubernur dan wakil gubernur akan
berakhir 8 Oktober mendatang. Namun, kalau dipaksakan pilkada digelar, banyak kelompok
akan memboikot Pilkada DIY," ujarnya.
Reaksi Keras
Dikatakan, opsi yang ditawarkan pemerintah pusat dalam draf RUUK DIY sudah memancing
reaksi keras masyarakat. Dengan tidak mendudukkan Sri Sultan sebagai gubernur dan Paku
Alam sebagai wakilnya, dianggap telah menodai keistimewaan.
"Sampai saat ini, persoalan keistimewaan itu dianggap bahwa jabatan kepala pemerintahan
melekat dengan raja di Yogya. Karena itu, kalau dipaksakan ada pilkada, pemerintah pusat
juga harus ikut menanggung akibatnya," katanya.

Berkhas

16

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 03 September 2008

Suparman mengaku tidak bisa memutuskan dan Pilkada DIY memang tidak akan mungkin
digelar dalam waktu dekat. "Persiapannya minimal 6 bulan sebelum hari H. Sekarang tinggal
satu bulan lagi, ya tidak mungkin," katanya.
Tidak mungkin pemerintahan di DIY dijalankan dengan pejabat s