Agraria-September 2008

VOLUME VI SEPTEMBER 2008

AGRARIA

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari
berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal
penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka
saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situssitus suratkabar, majalah, serta situs berita lainnya.
Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas
diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap
penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.
Untuk memperluas area distribusi, Berkhas diterbitkan melalui 2 (dua) macam media
yaitu media cetakan (hardcopy) serta media online berupa pdf file yang dapat diakses
melalui situs web Akatiga (www.akatiga.or.id).

Daftar Isi

Indonesia Masuk "Perangkap Pangan" --------------------------------------------------------------

1


Petani Membuang Gula ke Jalan sebagai Protes -------------------------------------------------

4

Lahan Terus Menyusut -----------------------------------------------------------------------------------

6

Wapres Akui Riset Pertanian Masih Lemah --------------------------------------------------------

8

Harga Sawit Anjlok, Petani Menjerit ------------------------------------------------------------------- 10
Masa Depan Komoditas Pangan----------------------------------------------------------------------- 11
Penyaluran Pupuk Bersubsidi Capai 95 Persen --------------------------------------------------- 14
Keluar dari Perangkap Pangan? ----------------------------------------------------------------------- 15
Anjloknya Ketahanan Pangan -------------------------------------------------------------------------- 17
"Missing Link" Pembangunan Pertanian ------------------------------------------------------------- 19
Petani Tuntut Ganti Rugi Gagal Panen Rp 1,6 Miliar -------------------------------------------- 21

Rawan Pangan Ancam Mentawai --------------------------------------------------------------------- 22
Rakyat Miskin Segera Terima Lahan ----------------------------------------------------------------- 23
Benih, Masalah Besar Pertanian ----------------------------------------------------------------------- 25
Petani Madiun Kecewa Super Toy -------------------------------------------------------------------- 26
Petani Merauke Jangan Cuma Jadi Penonton ----------------------------------------------------- 27
Petani Dapat Jaminan Harga dan Pasar------------------------------------------------------------- 30
Jangan Mengorbankan Kreativitas Petani----------------------------------------------------------- 31
Petani Biarkan Tanaman Cabai Mengering --------------------------------------------------------- 33
Program Ketahanan Pangan Manfaatkan Lahan Tidur ------------------------------------------ 34
SBY Dukung Petani Kembangkan Varietas Baru ------------------------------------------------- 35
Menakar Ekonomi Petani Tembakau ----------------------------------------------------------------- 37
Serangan Hama Marak, Padi Terpaksa Dipanen Awal ------------------------------------------ 40
Subsidi Benih Petani Rp 904 Miliar Tahun Depan ------------------------------------------------ 41
Petani Grabag Tak Mau Lagi Tanam Super Toy -------------------------------------------------- 42
Kemerdekaan atas Air ------------------------------------------------------------------------------------ 43
Menanam Padi, Menuai Amarah ----------------------------------------------------------------------- 45
Harga Beras di Pasaran Dunia Turun ---------------------------------------------------------------- 47
Jangan Sekadar Memanfaatkan Petani... ----------------------------------------------------------- 48
Unggul Produksi, Unggul Rasa ------------------------------------------------------------------------- 51
Bulog Stop Beli Beras Komersial ---------------------------------------------------------------------- 53

Dari Involusi Menuju Revolusi Pangan --------------------------------------------------------------- 55

Jangan Halangi Kemandirian Petani ------------------------------------------------------------------ 57
Keluar dari Perangkap Pangan ------------------------------------------------------------------------- 60
Varietas Padi Lokal Tak Diminati ---------------------------------------------------------------------- 62
Bulog Hentikan Impor Beras Tahun ini --------------------------------------------------------------- 63
Sebanyak 70% Irigasi di Sulsel Rusak --------------------------------------------------------------- 64
Hama Blast Serang Sumut Hasil Panen Bisa Berkurang 30 Persen ------------------------ 65
Penyaluran Urea Capai 78,5 Persen ----------------------------------------------------------------- 66
Pupuk Hayati Belum Banyak Dimanfaatkan -------------------------------------------------------- 67
Menimbang Pembiayaan Sektor Pertanian --------------------------------------------------------- 68
Bulog Tambah Cadangan Beras ----------------------------------------------------------------------- 70
Petani Sejahtera Jika Indonesia Tidak Makan Beras Import ----------------------------------- 72
Petani Tasik Kesulitan Modal dan Akses Pasar --------------------------------------------------- 73
Perdagangan Pangan Merugikan Petani ------------------------------------------------------------ 75
Petani Diminta Batasi Pupuk ---------------------------------------------------------------------------- 77
CPR-Indonesia: RI masuki jebakan pangan -------------------------------------------------------- 78
Mentan minta petani daerah supplus tetap kreatif ------------------------------------------------ 80
Harga Gabah di Lombok Barat Naik ------------------------------------------------------------------ 81
Bulog Tak Paksakan Ekspor Beras Tahun Ini ------------------------------------------------------ 83

Tahun Depan Mungkin Ekspor Beras ---------------------------------------------------------------- 85

Kompas

Senin, 01 September 2008

I ndone sia M a suk " Pe r a ngk a p Pa nga n"
Petani Hanya Jadi Buruh Tanam
Senin, 1 September 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Indonesia sebagai bangsa agraris ternyata sudah masuk dalam
”perangkap pangan” atau food trap negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas
pangan utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor.
Bahkan, empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging
ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meskipun belum kritis, jagung,
daging sapi, dan susu patut diwaspadai.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, yang juga guru besar
sosial ekonomi pertanian Universitas Jember, Rudi Wibowo, krisis ini terjadi karena Indonesia
tidak mampu mengatasi persoalan itu sejak dulu. ”Dari waktu ke waktu tidak ada
perkembangan berarti untuk mengurangi ketergantungan pangan impor itu, justru sebaliknya
malah makin parah,” kata Rudi, Sabtu (30/8) di Surabaya.

Meningkatnya ketergantungan ketahanan pangan negeri ini pada negara lain dapat dilihat
dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas maupun benih atau bibit.
Pada tahun 2000, Indonesia mengimpor gandum sebanyak 6,037 juta ton. Lima tahun
kemudian, tahun 2005, impor gandum naik hampir 10 persen menjadi 6,589 juta ton. Tahun
2025, diproyeksikan impor gandum akan meningkat tiga kali lipat menjadi 18,679 juta ton.
Impor kedelai dalam lima tahun terakhir (2003-2007) rata-rata 1.091 juta ton atau mencapai
60,5 persen dari total kebutuhan.
Untuk daging ayam ras, meskipun sebagian besar ayam usia sehari (day old chicken/DOC)
diproduksi di dalam negeri, yaitu sebanyak 1,15 miliar ekor (2007), tetapi super induk ayam
(grand parent stock/GPS) dan induk ayam (parent stock/PS)-nya diimpor dari negara maju.
Ketergantungan pada impor juga terjadi pada susu. Setiap tahun 70 persen kebutuhan susu
diimpor dalam bentuk skim.
Untuk jagung, produksi tahun 2008 memang surplus. Namun, peningkatan produksi itu
ditunjang oleh penggunaan benih jagung hibrida. Tahun 2008, penggunaan hibrida mencapai
43 persen dari total luas tanaman jagung nasional 3,5 juta hektar. ”Kondisi jagung lebih baik
karena ada progres penggunaan teknologi,” kata Rudi.
Meskipun begitu, kebutuhan benih jagung hibrida sekitar 30.100 ton per tahun itu sebagian
atau 43 persen bukan berasal dari perusahaan benih nasional atau petani penangkar, tetapi
diproduksi oleh perusahaan multinasional, seperti Bayer Crop dan Dupont.
Ketergantungan pada impor juga terjadi pada daging sapi. Impor dalam bentuk daging dan

jeroan beku per tahun mencapai 64.000 ton. Adapun impor sapi bakalan setiap tahun sekitar
600.000 ekor.
Peran negara kuat
Menanggapi situasi ketahanan pangan Indonesia, yang sangat bergantung pada impor, ahli
peneliti utama kebijakan pertanian pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian (PSE-KP), Husein Sawit, mengakui, produksi dan perdagangan pangan dunia
memang semakin terkonsentrasi ke negara-negara maju. Selain itu, peran perusahaan
multinasional (MNCs) pun tambah kuat dan berpengaruh.

Berkhas

1

Volume VI September 2008

Kompas

Senin, 01 September 2008

Untuk menguasai pasar produk pertanian negara berkembang, termasuk Indonesia, negaranegara maju itu melakukan politik dumping. AS dan Uni Eropa, misalnya, menyubsidi

pertanian mereka agar komoditas yang dihasilkan dapat memenangi persaingan di pasar
dunia.
Konsentrasi perdagangan pada industri raksasa dunia tampak dari peran MNCs yang
menguasai industri hulu sarana produksi pertanian, seperti benih atau bibit, pupuk, dan
pestisida. Tidak hanya di hulu, di hilir pun MNCs ”menggenggam” industri hilir pertanian,
antara lain dalam industri pengolahan pangan.
Guna mendukung hegemoninya di pasar komoditas pangan, perusahaan multinasional juga
mengembangkan ”revolusi” ritel melalui hipermarket dan perdagangan ritel pangan di negara
berkembang. Braun dalam hasil penelitiannya di International Food Policy Research Institute
(IFPRI) memperkirakan, total penjualan 10 perusahaan MNCs global untuk sarana produksi
pertanian mencapai 40 miliar dollar AS, industri pengolahan dan perdagangan pangan 409
miliar dollar AS, dan industri pengecer 1.091 miliar dollar AS (lihat tabel).
Negara berkembang, seperti Indonesia, hanya kebagian menjadi buruh tanam untuk sarana
produksi yang dihasilkan MNCs. Hasil produksi petani dan buruh tani Indonesia itu diolah dan
diperdagangkan oleh industri pengolahan pangan yang juga milik perusahaan multinasional.
Selanjutnya hasil produksi itu diperdagangkan melalui perusahaan ritel, yang juga milik
perusahaan multinasional, kepada konsumen, yaitu masyarakat Indonesia, termasuk petani.
Perusahaan Monsanto dari AS, misalnya, dalam 10 tahun terakhir memasok berbagai jenis
benih, seperti jagung, kapas, dan sayuran. Laboratorium pembibitannya tidak hanya terdapat
di AS, tetapi di ratusan lokasi di dunia.

Syngenta (Swiss), mencatat kenaikan penjualan benih 20 persen pada semester I-2008,
yakni menjadi 7,3 miliar dollar AS, dibandingkan semester I-2007. Saat ini Syngenta memiliki
300 benih terdaftar dan 500 varietas benih komersial.
Rudi mengingatkan, Indonesia akan semakin bergantung pada pangan impor. ”Apabila
sewaktu-waktu terjadi gejolak pangan impor di tengah sektor riil banyak bergantung pada
bahan baku impor, hal itu akan membahayakan perekonomian nasional.
Daya saing rendah
Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo
Husodo mengatakan, tingginya ketergantungan pada pangan impor karena rendahnya daya
saing dan kesiapan teknologi pertanian. Gandum, misalnya, kebutuhan terhadap komoditas
ini terus meningkat. Saat ini konsumsi gandum per kapita per tahun mencapai 10 kilogram.
Padahal, gandum bukan komoditas unggulan negeri ini.
”Arah diversifikasi konsumsi pangan kita keliru. Salah satu sebabnya, kebijakan pemerintah
yang kurang pas,” ujarnya.
Siswono mengingatkan, Indonesia tengah digiring masuk dalam perangkap pangan negara
maju dan MNCs. Ironisnya, pemerintah justru memberikan jalan bagi mereka untuk
”mencengkeram” negeri ini.
Hal itu, antara lain, tampak dari dibebaskannya bea masuk impor gandum dan kedelai.
Kebijakan itu, menurut Siswono, menunjukkan bahwa pemerintah hanya berpikir jangka
pendek.


Berkhas

2

Volume VI September 2008

Kompas

Senin, 01 September 2008

Menanggapi ketergantungan pangan, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pertanian Gatot Irianto mengatakan, di tengah arus globalisasi Indonesia
memang tidak bisa 100 persen mandiri. Memang ada ketergantungan, tetapi masih dalam
batas yang bisa dikontrol.
Artinya bila sewaktu-waktu ada kenaikan harga pangan global, Indonesia masih bisa
menyediakan pangan. Menjadi berbahaya bila ketergantungan sudah sepenuhnya terjadi.
Di bidang penelitian, kata Gatot, sebenarnya Indonesia tidak kalah. Banyak varietas unggul
bermutu benih kedelai yang memiliki produktivitas tinggi. Namun, peningkatan produksi
kedelai tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Harus bertahap.

Terkait dengan bibit unggas, sudah ada sejumlah investor yang tertarik menanamkan modal
di Indonesia dalam produksi GPS dan PS. Teknologi pembibitan unggas juga terus
dikembangkan. Meskipun begitu, keberadaan usaha kecil ayam kampung juga harus tetap
dilestarikan agar Indonesia memiliki ketahanan pangan untuk daging ayam dan telur.
(MAS/JOE)

Berkhas

3

Volume VI September 2008

Kompas

Senin, 01 September 2008

Pe t a ni M e m bua ng Gula k e Ja la n se ba ga i Pr ot e s
Pemerintah Diminta Menindak Penyeleweng Gula
Senin, 1 September 2008 | 00:39 WIB
MADIUN, KOMPAS - Sekitar 50 petani tebu di wilayah PTPN XI membuang gula ke jalan di

samping Pabrik Gula Pagotan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Sabtu (30/8). Aksi ini
sebagai salah satu bentuk protes atas maraknya gula impor dan rafinasi di pasaran yang
mengakibatkan gula produksi petani tidak laku.
Sebelum membuang gula ke jalan dan menginjak-injaknya, petani menunjukkan gula hasil
panen yang menumpuk di empat gudang di PG Pagotan.
Gula ini tidak bisa terjual karena di pasaran banyak gula impor dan gula rafinasi yang
seharusnya hanya dipakai untuk industri makanan dan minuman.
Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) PG Pagotan Sudira, ada
180.000 ton gula di empat gudang itu. Gula yang menumpuk tidak hanya gula hasil giling
tahun ini, tetapi ada pula gula hasil giling tahun lalu.
Wakil Ketua APTRI di wilayah PTPN XI Edi Sukamto menambahkan, sekitar 70 persen dari
gula hasil giling 37 pabrik gula di wilayah Jatim dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan di
luar Pulau Jawa, sedangkan sisanya untuk kebutuhan di Pulau Jawa.
”Sementara di luar Pulau Jawa dan juga di Jawa, gula impor dan rafinasi banyak beredar di
pasaran. Hal inilah yang membuat gula di PG Pagotan dan 36 pabrik gula lainnya di Jatim
tidak bisa terserap di pasaran,” ujarnya.
Berdasarkan data yang diperolehnya, di pasaran kini terdapat 1,9 juta ton gula rafinasi yang
diimpor pabrik gula rafinasi dan 685.000 ton gula rafinasi yang diimpor oleh industri makanan
dan minuman.
Adapun produksi petani 2,9 juta ton plus sisa tahun 2007 sebanyak 1,3 juta ton. Adapun
kebutuhan nasional 4,1 juta ton.
Kondisi ini diperparah dengan ulah investor yang ditunjuk PTPN, tetapi tidak mau menalangi
pembelian gula hasil giling petani.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan soal Dana Talangan, investor yang
ditunjuk PTPN diharuskan menalangi pembelian gula hasil giling petani dengan harga Rp
5.000 per kilogram, sementara harga gula di pasaran saat ini Rp 4.900 per kg.
Dengan harga gula sebesar itu, investor rugi Rp 1,3 miliar setiap satu periode atau dalam
waktu satu minggu. Turunnya harga ini sangat terkait dengan adanya gula rafinasi dan impor
di pasaran.
”Jika pemerintah tidak menarik gula rafinasi dan gula impor dari pasaran, kami sendiri yang
akan melakukan sweeping dan membakar gula itu,” ujar Edi.
Lelang gula gagal
Sementara itu, gudang di delapan pabrik gula PT PTPN IX Jawa Tengah mulai penuh karena
kegagalan lelang gula yang disebabkan harga penawaran terlalu rendah.
PTPN IX mendesak pemerintah segera menegakkan aturan impor gula rafinasi. Direktur
Pemasaran dan Perencanaan Pengembangan PTPN IX Dwi Santosa berharap pemerintah
segera menindak penyeleweng gula rafinasi karena dikhawatirkan akan mengancam
produksi gula lokal.

Berkhas

4

Volume VI September 2008

Kompas

Senin, 01 September 2008

Kepala Urusan Tanaman, Divisi Tanaman Semusim PTPN IX Suhardi menyebutkan, stok
gula di gudang PTPN IX sudah mencapai 60.000 ton yang tersebar di delapan pabrik gula.
Jumlah ini masih ditambah 26.000 ton gula yang sudah dibayar rekanan tahun lalu, tetapi
sampai sekarang belum diambil karena harga gula jatuh.
Pada awal Agustus 2008, PTPN IX juga sempat mengundang 37 rekanan untuk ikut lelang
2.000 ton gula, tetapi hanya 11 rekanan yang hadir.
”Sejak mulai giling bulan Mei, baru 200 ton gula yang dilelang. Sekarang bahkan ada gula
yang ditaruh di aula pertemuan karena gudang sudah terlalu penuh,” kata Suhardi.
Dwi Santosa khawatir, penurunan harga gula dan lambannya penyerapan produksi gula lokal
akan menurunkan produksi pada masa tanam berikutnya.
Dia pesimistis target luasan tanam tebu tahun 2009 seluas 38.000 hektar bisa terealisasi.
Apalagi 90 persen lahan tebu milik rakyat.
”Kalau mau swasembada gula, pemerintah seharusnya konsekuen. Gula rafinasi yang hanya
boleh untuk industri makanan dan minuman jangan sampai masuk ke pasar juga,” katanya.
(APA/GAL)

Berkhas

5

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Senin, 01 September 2008

La ha n Te r us M e ny usut
Kontribusi Pertanian terhadap PDB Menurun

[JAKARTA] Kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional
dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun, meskipun masih menjadi penyumbang
PDB terbesar. Salah satu penyebabnya adalah lahan pertanian yang terus menyusut.
Menurut Deputi Ketua BPS Bidang Neraca dan Analisis Statistik, Slamet Sutomo, di Jakarta,
Senin (1/9), hingga Triwulan II tahun 2008, kontribusi pertanian terhadap PDB sebesar 14,1
persen, turun dibandingkan tahun lalu sebesar 17,4 persen. Selama periode 2004-2006,
sektor pertanian rata-rata memberi kontribusi 12-15 persen terhadap PDB nasional.
Slamet melihat keterkaitan yang erat antara penyusutan luas lahan dan penurunan kontribusi
PDB pertanian. Ia mengemukakan, selama 2004-2008 terjadi alih fungsi lahan pertanian
sekitar 400.000 ha. Pada saat bersamaan, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
menurun sekitar tiga persen.
Meskipun perlu dikaji lebih jauh, Slamet meyakini, program lahan pertanian pangan abadi
yang juga memuat rencana penambahan luas lahan pertanian pangan, bisa meningkatkan
kembali kontribusi PDB pertanian.
Sementara itu, Menteri Pertanian, Anton Apriyantono menjelaskan, penurunan kontribusi
sektor pertanian terhadap PDB terkait erat dengan menyempitnya lahan pertanian. Luas
lahan pertanian Indonesia saat ini kurang dari 20 juta hektare (ha), sementara jumlah petani
yang terlibat mencapai lebih dari 25 juta orang. Perluasan lahan pertanian serta optimalisasi
produktivitas lahan diyakini bisa mendorong peningkatan kontribusi pertanian terhadap PDB.
Mentan mencontohkan luas lahan pertanian di Brasil, misalnya, tanaman kedelai mencapai
luas lahan 21 juta ha, perkebunan tebu mencapai 7 juta ha, dan ladang penggembalaan sapi
mencapai 220 juta ha.
Dari sisi kesejahteraan, petani kedelai di Brasil yang rata-rata mengelola lahan seluas 6 ha
per orang, penghasilannya mencapai sekitar Rp 33 juta setiap kali panen. Idealnya, di
Indonesia setiap petani mengelola sekitar 2 ha sawah, sehingga, rata-rata penghasilan petani
mencapai Rp 4 juta-Rp 5 juta per bulan. "Disinilah mengapa pertambahan luas lahan
pertanian diperlukan, tentunya dengan perspektif kesejahteraan petani," ujarnya.
Namun, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bustanul
Arifin menolak pendapat Mentan, bahwa menurunnya PDB pertanian bukan disebabkan
menyusutnya luas lahan pertanian. "Sudah saatnya pertumbuhan pertanian lebih bertumpu
pada produktivitas bukan pada perluasan lahan," tandasnya.

Berkhas

6

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Senin, 01 September 2008

Secara terpisah, anggota Komisi IV DPR, Ganjar Pranowo mengatakan, lahan pertanian
abadi konteksnya adalah melindungi lahan-lahan produktif atau subur. Namun, kinerja sektor
pertanian sendiri amat bergantung pada peningkatan produktivitas, termasuk perkembangan
teknologi budi daya pertanian.
Kesiapan Benih
Sebelumnya, Kepala Badan Litbang Departemen Pertanian (Deptan), Gatot Irianto menjamin
ketersediaan benih padi jika dilakukan perluasan lahan pertanian pangan. Balai Penelitian
Padi di Sukamandi memiliki benih induk, yang jika sudah di produksi massal, mampu
memenuhi kebutuhan benih untuk lebih dari 15 juta ha sawah. Di sisi lain, industrialisasi
benih terus berkembang, dengan masuknya sejumlah perusahaan swasta nasional ke
industri benih.
Terkait hal itu, Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Sutarto Alimuso juga menjamin tidak ada
persoalan dengan benih. Produksi benih selama ini dilakukan empat pihak, yakni BUMN
pertanian, perusahaan swasta, penangkar benih ber- lisensi, dan petani.
Saat ini, kebutuhan benih nasional sekitar 300.000 ton. Dari jumlah itu, 40 persen atau sekitar
120.000 ton diproduksi BUMN PT Sang Hyang Sri, sebanyak 10 persen oleh swasta, 10
persen oleh penangkar berlisensi, dan 30 persen oleh petani. [L-11]

Berkhas

7

Volume VI September 2008

Kompas

Selasa, 02 September 2008

W a pr e s Ak ui Rise t Pe r t a nia n M a sih Le m a h
Tum buhk a n D a y a Sa ing Pe r t a nia n
Selasa, 2 September 2008 | 00:39 WIB
Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, Indonesia harus lepas dari
”perangkap pangan” negara maju dan kapitalisme global. Untuk itu, riset penelitian dan
pengembangan tujuh komoditas pangan utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat harus
terus-menerus ditingkatkan.
Menurut Kalla, Senin (1/9) di Jakarta, selama ini, riset dan penelitian komoditas pertanian
masih lemah dan harus diperkuat.
Oleh sebab itu, pemerintah tahun depan mengalokasikan peningkatan anggaran riset dan
penelitian, termasuk untuk komoditas pertanian melalui pemenuhan anggaran 20 persen
pendidikan di APBN. Tujuannya agar Indonesia dengan kemampuan sumber daya manusia
dan sumber daya alamnya dapat menjadi pemain besar di bidang pertanian.
Sebelumnya, sejumlah fakta terungkap, Indonesia sudah terjebak dalam ”perangkap pangan”
negara-negara maju. Hal ini terlihat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas yang
sangat bergantung pada produk impor. Dari tujuh komoditas tersebut, empat di antaranya,
yakni gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, dinyatakan sudah masuk
kategori kritis.
”Penelitian kita lemah. Maka, kami minta bantuan universitas untuk turut melakukan
penelitian dengan anggaran pendidikan yang sudah kita penuhi 20 persen pada tahun
depan,” kata Kalla.
Kekuatan terbatas
Guru besar sosial ekonomi dan industri pertanian Universitas Gadjah Mada, M Maksum,
mengingatkan, kekuatan ekonomi bangsa Indonesia untuk menghadapi dampak
ketergantungan pangan impor sangat terbatas. Maka, pembangunan perekonomian harus
bisa menumbuh- kan daya saing pangan domestik bukan sebaliknya, melumpuhkan.
”Selama ini pangan diposisikan sebagai komoditas ’pengendali’ inflasi serta ’penjamin’ upah
minimum regional dan upah minimum kota yang rendah bagi industri. Dampaknya, harga
pangan tertekan dan investasi lesu. Pertanian domestik pun kehilangan daya saing,” ujarnya.
Rendahnya daya saing pertanian domestik menahan laju perkembangan riset. Hal itu karena
pertanian tidak menghasilkan nilai tambah. Apalagi, pemerintah juga mengabaikan investasi
di bidang penelitian yang tentunya membutuhkan modal besar.
Akibatnya, bangsa makin kesulitan memenuhi peningkatan permintaan benih kualitas terbaik.
Peluang inilah yang kemudian ditangkap oleh perusahaan multinasional (MNCs).
Berdasarkan data proyeksi kebutuhan benih nasional PT Sang Hyang Seri (Persero) selaku
BUMN produsen utama benih nasional di samping PT Pertani, permintaan benih padi hibrida
lima tahun ke depan melonjak lebih dari 48 kali lipat.
Permintaan benih padi hibrida 2007 sebanyak 4.000 ton, 2008 naik menjadi 6.000 ton, 2010
diperkirakan melonjak menjadi 20.000 ton, dan 2012 menjadi 50.000 ton. PT SHS sendiri
pada tahun 2012 diperkirakan hanya akan mampu memenuhi 30 persen atau sebanyak
15.000 ton. Begitu pula kebutuhan benih jagung hibrida yang pada 2007 sebanyak 18.145
ton, pada tahun 2012 melonjak menjadi 56.250 ton. Adapun kebutuhan benih kedelai naik
dari 18.354 ton (2007) menjadi 80.000 ton (2012).

Berkhas

8

Volume VI September 2008

Kompas

Selasa, 02 September 2008

Rendahnya kemampuan PT SHS menyediakan benih hibrida mendorong masuknya MNCs.
Hal itu makin meminggirkan varietas lokal.
ASEAN Business Manager DuPont Andy Gumala menyatakan, saat ini Indonesia tidak
mungkin membangun industri perbenihan yang setara dengan MNCs, khususnya untuk benih
nonpadi.
”Kalau industri benih padi masih mungkin karena di Balai Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Padi Departemen Pertanian banyak tersimpan plasma nutfah atau tetua-tetua yang
bisa dijadikan modal pengembangan benih padi hibrida,” katanya.
Untuk pengembangan benih hibrida, selain padi, rasanya sulit karena Indonesia sudah jauh
tertinggal dalam riset dan pengumpulan tetua. MNCs sudah sejak awal tahun 1900-an mulai
mengumpulkan tetua-tetua di seluruh dunia sebagai modal pengembangan bibit.
Menurut Direktur Penelitian dan Pengembangan PT SHS Niswar Syafa’at, solusi yang bisa
dilakukan adalah menjalin kerja sama perakitan benih hibrida. Kerja sama dilakukan dalam
bidang pemasaran, pertukaran plasma nutfah, dan pembagian royalti.
Mutu pengelolaan
Maksum lebih jauh menjelaskan, untuk komoditas pangan seharusnya ada pertimbangan
keadilan dan kedaulatan diutamakan mengingat kekuatan ekonomi bangsa amat terbatas.
Paket kebijakan fiskal yang membebaskan bea masuk impor kedelai dan gandum serta
menurunkan bea masuk beras 18,2 persen merupakan bentuk bunuh diri karena akan
mengakibatkan matinya daya saing domestik.
Wahono Sumaryono, Deputi Bidang Agro Industri dan Bioteknologi BPPT, mengatakan,
pengembangan pertanian, termasuk perbenihan, tetap mengacu pada Deptan sebagai
national vocal point sesuai dengan mandat dari pemerintah. Lembaga lain pun mendukung.
(HAR/NDY/YUN/MAS)

Berkhas

9

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 03 September 2008

H a r ga Sa w it Anj lok , Pe t a ni M e nj e r it
[BENGKULU] Puluhan ribu petani sawit di Provinsi Bengkulu menjerit, akibat harga buah
sawit awal September anjlok dari Rp 1.500 per kilogram (kg) menjadi Rp 800 per kg. Hal ini
menyebabkan pendapatan petani menurun tajam.
"Petani sawit di Bengkulu sekarang ini benar-benar terpukul. Akibatnya, pendapatan petani
menjadi turun drastis dari sebelumnya," kata Herman (34), petani sawit asal Bengkulu Utara
kepada SP, di Bengkulu, Rabu (3/9).
Kalau harga sawit di Bengkulu Rp 800 per kg bertahan lama, dipastikan kehidupan petani
sawit akan kembali miskin. Pasalnya, uang hasil panen tidak sebanding dengan biaya
perawatan yang dikeluarkan petani, terutama untuk pembelian pupuk.
Sebab, harga pupuk bersubsidi di Bengkulu cukup mahal, Rp 150.000 per sak isi 50 kg. Ini
terjadi karena kelangkaan pupuk bersubsisi di Bengkulu hingga kini masih terus berlangsung.
Sementara itu, permintaan pupuk cukup tinggi. Akibatnya, harga pupuk di pasaran meningkat
tajam.
Meskipun harga tinggi, petani tetap membelinya karena jika tanaman sawit tidak diberi pupuk
yang cukup, hasil panennya berkurang. Karena itu, sejak harga sawit di Bengkulu anjlok,
para petani di daerah ini pusing memikirkan untuk membeli pupuk.
"Bagaimana kami mau merawat kebun sawit dengan baik, kalau harganya tidak
menguntungkan. Sebab, harga sarana pertanian, seperti pupuk dan racun hama. Sedangkan
pendapatan dari menjual sawit sangat rendah. Dengan demikian, jelas petani tidak akan
merawat sawitnya dengan baik," ujar Asril (27), petani lainnya.
Untuk itu, para petani sawit di Bengkulu berharap agar komoditas ini kembali stabil Rp 1.500
per kg, sehingga pendapatan petani dari hasil panen sawit normal. Artinya, uang hasil panen
dapat memenuhi kebutuhan keluarga, biaya anak sekolah dan membeli pupuk.
"Kami benar-benar sial memasuki Ramadan, harga sawit anjlok. Padahal, kebutuhan petani
tinggi untuk menghadapi Hari Raya Idul Fitri Oktober nanti. Kami minta agar pemerintah
Bengkulu kembali memperjuangan agar harga sawit naik," ujarnya.
Asisten II Pemprov Bengkulu, Fauzan Rahim mengatakan, Gubernur Bengkulu sudah
menurunkan tim ke lapangan untuk mencari tahu penyebab anjloknya harga buah sawit di
beberapa daerah tingkat II, termasuk di Kabupaten Bengkulu Utara.
Jika turunnya harga sawit akibat permainan pabrik, pengusaha pabriknya akan ditegur agar
membeli sawit sesuai harga yang berlaku di pasaran umum. Demikian sebaliknya, jika
penurunan ini akibat ulah para toke sawit. Oknum yang mempermainkan harga sawit akan
ditindak sesuai aturan, katanya.
"Pemprov Bengkulu sedang mencari penyebab anjloknya harga sawit. Kami upayakan harga
sawit di Bengkulu kembali stabil Rp 1.500 per kg, sehingga kehidupan petani sedikit lebih
baik," ujarnya. [143]

Berkhas

10

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 03 September 2008

M a sa D e pa n Kom odit a s Pa nga n
Bustanul Arifin
Eskalasi harga pangan global sejak 2007 menjadi tantangan tersendiri bagi masa depan
komoditas pangan strategis nasional. Tantangan (dan peluang) itu cukup berat dan beragam,
sesuai dengan karakter komoditas pangan yang memiliki dimensi ekonomi, sosial, politik,
budaya, dan sebagainya.
Pangan strategis yang dimaksud di sini adalah empat komoditas utama: beras, jagung,
kedelai, dan gula, yang dinyatakan sebagai special products (SP) atau komitmen
perlindungan Indonesia dalam perundingan perdagangan internasional (WTO). Di samping
itu, pangan strategis nasional meliputi daging, terigu, minyak goreng, dan lain-lain yang
menyangkut kepentingan hidup orang banyak, dan sering menjadi determinan penting laju
inflasi Indonesia.
Beberapa konsekuensi logis dari eskalasi harga pangan global perlu diperhatikan dengan
saksama. Pertama, biaya produksi pangan dan pertanian umum - khususnya komponen
energi - menjadi semakin besar. Kedua, kelangkaan air menjadi semakin nyata. Ketiga,
ketersediaan lahan semakin berkurang karena kompetisi pangan, sandang, papan, dan
bahan bakar. Keempat, risiko kemiskinan dan kelaparan karena perubahan iklim menjadi
semakin besar. Kelima, posisi proteksionisme dan penyelamatan diri sendiri menjadi semakin
besar.
Untuk menangulangi kelima konsekuensi logis di atas langkah-langkah kebijakan perlu
mengandung strategi besar. Pertama, peningkatan produksi atau suplai pangan dengan laju
yang jauh lebih besar selama 4-5 dasawarsa terakhir. Kedua, manajemen sumber daya air,
mulai dari perencanaan, organisasi, dan implementasi. Ketiga, reforma agraria yang lebih
berkeadilan, dan jika perlu terlepas dari ideologi. Keempat, adaptasi dan mitigasi perubahan
iklim untuk mengurangi magnitude dampak yang ditimbulkan. Kelima, negosiasi dan
perundingan perdagangan yang bervisi keadilan dan kesetaraan.
Secara khusus, pascakenaikan harga selama dua tahun terakhir, tujuh komoditas pangan
strategis nasional setidaknya akan diwarnai beberapa kecenderungan berikut. Pertama,
beras akan terus menempati posisi strategis secara ekonomi, sosial, dan politik, baik karena
faktor historis maupun ideologis dan emosional sebagian besar penduduk Indonesia. Kedua,
jagung akan mengalami transisi yang signifikan dari posisi komoditas pangan menjadi bahan
baku industri pakan. Ketiga, kedelai akan merespons signal insentif dan tingginya harga
domestik dan harga intena- sional. Keempat, gu- la akan mengalami kompteisi internal, gula
tebu dengan gula rafinasi, yang masih belum mampu menjawab tantangan struktural. Kelima,
minyak goreng akan mengalami transisi konsumsi yang lebih responsif terhadap harga bahan
baku minyak sawit mentah (CPO) dan insentif lainnya. Keenam, terigu akan menyesuaikan
diri dengan peningkatan permintaan, walaupun sulit berharap banyak dari gandum domestik.
Ketujuh, daging akan terus mencari titik keseimbangan baru produksi, impor dan negara asal,
serta tingkat konsumsi yang masih akan berkembang pesat.
Beras, Jagung, Kedelai
Berikut ini agenda masa depan komoditas pangan strategis yang harus dilakukan agar
Indonesia tidak terkena dampak yang lebih buruk dari eskalasi harga pangan global.

Berkhas

11

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 03 September 2008

Langkah peningkatan produksi beras wajib diteruskan, tidak setengah-setengah atau hanya
bertumpu pada strategi perluasan areal panen (pencetakan sawah baru), tapi perlu bervisi
peningkatan produktivitas per satuan lahan dan per satuan tenaga kerja. Pemerintah pusat
wajib bermitra dengan seluruh pemerintah daerah yang memilik potensi produksi padi untuk
mewujudkan kesejahteraan petani melalui peningkatan produksi dan produktivitas.
Merumuskan langkah adaptasi kekeringan dan pemanasan global, perbaikan manajemen
sistem irigasi, rehabilitasi sumber-sumber air secara berkelanjutan menjadi sangat penting.
Padi hibrida dapat saja dikembangkan di Indonesia, dengan cara memberdayakan peneliti
dan pusat-pusat penelitian di Tanah Air, walaupun sulit untuk dijadikan tumpuan peningkatan
produksi padi dalam jangka pendek.
Peningkatan produksi jagung hibrida sebagai salah satu andalan baru pemenuhan konsumsi
jagung yang terus meningkat perlu memperoleh dukungan dalam kebijakan pengelolaan air.
Berhubung jagung hibrida memerlukan relatif banyak air, maka manajemen infrastruktur
irigasi dan drainase menjadi hampir mutlak, agar tidak terjadi kejutan-kejutan persaingan
faktor produksi dengan padi, kedelai, dan palawija lainnya. Di sinilah urgensi pengembangan
kelembagaan di tingkat pedesaan, kredit mikro, dan kerja sama sinergis antara petani,
swasta, dan pemerintah, untuk mengimbangi strategi integrasi sistem produksi pangan dan
pakan di sentra-sentra produksi jagung.
Pengembangan benih unggul kedelai tahan kering, varietas kedelai dengan galur murni asli
Indonesia, seperti kedelai hitam varietas Cikuray, Mallika, wajib diteruskan. Kemitraan antara
akademisi, pelaku industri industri pangan, industri kuliner, kelompok tani, usaha kecil
menengah dan birokrasi pemerintah harus senantiasa disempurnakan. Setelah produksi
kedelai di dalam negeri mampu mendekati tingkat konsumsinya, maka kebijakan proteksi
dapat diterapkan, termasuk mengenakan tarif impor tinggi dan/atau kebijkan kuota sebagai
implementasi pencadangan usaha untuk kemajuan industri mikro kecil dan koperasi.
Tidak ada lagi kondisi eksternal yang lebih baik dari saat ini untuk segera merealisasikan
wacana revitalisasi pabrik gula milik negara, yang kadang harus menguras energi dan emosi
masyarakat banyak. Swasembada gula dapat ditempuh dengan operasionalisasi revitalisasi
pabrik gula dapat dilaksanakan, misalnya, dengan pembentukan satu-dua perusahaan induk
(holding company) pabrik gula yang terintegrasi dari kebun tebu di hulu sampai gula putih di
hilir, dan yang memproduksi tebu di hulu sampai gula mentah di hilir.
Berhubung gula rafinasi masih kontroversial, pemerintah perlu mengevaluasi secara
komprehensif, termasuk audit keuangan dan audit investigatif kinerja industri gula rafinasi,
dengan titik pandang yang jernih dalam pespektif pembangunan ekonomi bangsa.
Langkah stabilisasi harga minyak goreng perlu diteruskan, walaupun tidak harus
mengganggu strategi perluasan pasar CPO di tingkat global. Stabilisasi harga tidak harus
menunggu belas kasihan pelaku ekonomi skala besar, tapi tetap menggunakan falsafah
penandaan (earmarking) penerimaan negara yang diperoleh dari pungutan ekspor (PE) CPO
agar dapat "dikembalikan" kepada petani sawit, konsumen miskin minyak goreng, dan
masyarakat luas. Pemerintah dan segenap stakeholders di bidang agroindustri perkebunan
terus membentuk teamwork yang kuat untuk mewujudkan earmarking dari PE CPO dan
produk turunannya itu. Indonesia dulu pernah menerapkan hal yang sama, walau dengan
mekanisme yang agak berbeda. Jika ada kemauan, langkah earmarking ini bukan suatu hal
yang mustahil.

Berkhas

12

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 03 September 2008

Terigu, dan Daging
Pengembangan produksi gandum di dalam negeri masih memerlukan waktu relatif lama,
karena faktor pemahaman aspek agronomis gandum dan sosial-ekonomi petani, serta
persaingan lahan dengan tanaman dataran tinggi. Apabila opsi peningkatan produksi ini
masih akan diteruskan, maka peta perwilayahan komoditas gandum masih harus terus
menerus disempurnakan serta dikomunikasikan secara terbuka kepada pelaku usaha,
pemerintah daerah, dan masyarakat luas. Dalam jangka pendek, stabilisasi harga tepung
terigu dapat melibatkan sektor swasta, seperti Kelompok Usaha Indofood yang memiliki
pangsa impor dan kapasitas industri paling tinggi di antara pelaku ekonomi lainnya.
Untuk daging sapi strategi pengembangan agrobisnis peternakan sapi potong perlu terus
menerapkan asas kelestarian (keseimbangan antara pemotongan dan jumlah populasi sapi
potong atau menghindari "pengurasan" populasi), asas kesinambungan (iklim usaha tetap
kodusif dan tidak saling merusak), serta asas kemandirian (berkurangnya ketergantungan
pada daging impor). Apa pun strategi yang dipilih, beberapa elemen berikut perlu
diperhatikan: sinergi dengan pengembangan ekonomi daerah, integrasi dengan sektor
pangan, perkebunan dan perikanan, melibatkan peternak kecil sebagai pelaku mayoritas,
serta sinergi saling menguntungkan peternak besar, industri makanan ternak, bahkan
investor asing.
Penulis adalah Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi)

Berkhas

13

Volume VI September 2008

Suara Pembaruan

Rabu, 03 September 2008

Pe ny a lur a n Pupuk Be r subsidi Ca pa i 9 5 Pe r se n

[JAKARTA] Realisasi penyaluran pupuk urea bersubsidi selama Januari-Juli 2008 mencapai
2,54 juta ton, atau 95 persen dari rencana yang ditetapkan pemerintah sebesar 2,66 juta ton.
Sementara itu, rencana penyaluran urea hingga akhir tahun nanti diharapkan mencapai 4,30
juta ton.
"Dengan jumlah penyaluran sebesar itu, ketersediaan pupuk untuk musim tanam mendatang
aman," kata Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Sutarto Alimoeso di Jakarta, Senin (1/9).
Sementara itu, realisasi penyaluran pupuk bersubsidi untuk jenis SP36 baru mencapai 78
persen dari rencana sebanyak 472.000 ton hingga semester I tahun ini, atau baru 386.433
ton. Pada tahun 2008, pemerintah menargetkan penyaluran SP36 mencapai 800.000 ton,
sedangkan untuk ZA dan NPK masing-masing 700.000 ton dan 900.000 ton. Namun,
realisasi penyaluran pupuk ZA hingga Juli baru mencapai 452.803 ton, sedangkan NPK
sebanyak 522.024 ton.
Selain pupuk kimia, tambahnya, pemerintah juga menargetkan penyaluran pupuk organik
sebanyak 345.000 ton untuk tahun ini. Hingga Juli 2008, realisasinya baru 25.360 ton.
Departemen Pertanian (Deptan) pada tahun anggaran 2008 ini mengalokasikan anggaran Rp
175 miliar untuk memberikan subsidi pupuk organik dalam upaya meningkatkan produksi
pangan.
Menurut Menteri Pertanian, Anton Apriyantono belum lama ini, pemerintah memberikan
subsidi Rp 500/kg sehingga nantinya petani hanya membayar Rp 1.000/kg untuk membeli
pupuk organik yang seharga Rp 1.500/kg. "Subsidi ini untuk pupuk organik yang diproduksi
oleh BUMN pupuk di tanah air," katanya.
Sedangkan untuk 2009, menurut Sutarto, alokasi anggaran untuk subsidi pupuk organik akan
ditingkatkan menjadi Rp 250 miliar-Rp 300 miliar dengan volume lebih dari 500.000 ton.
Menyinggung mekanisme penyaluran pupuk organik bersubsidi tersebut, Sutarto
mengatakan, hal itu dilakukan dengan mekanisme tertutup yang mana setiap hektare lahan
mendapatkan alokasi 500 kg.
"Selain memberikan subsidi pupuk, pada tahun ini Deptan juga melaksanakan bantuan
langsung pupuk (BLP) untuk jenis NPK sebanyak 41.353 ton, organik padat 124.059 ton dan
organik cair 827.060 liter," katanya. Menurut dia, realiasi penyaluran BLP baru bisa
dilaksanakan pada musim tanam Oktober-Maret. [L-11]

Berkhas

14

Volume VI September 2008

Kompas

Kamis, 04 September 2008

Ke lua r da r i Pe r a ngk a p Pa nga n?
Kamis, 4 September 2008 | 00:44 WIB
Gatot Irianto
Peningkatan kebutuhan pangan terjadi akibat pertambahan penduduk yang relatif tinggi (1,38
persen/tahun) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semua pihak perlu mewaspadai
fenomena itu.
Paling tidak ada tiga komoditas pangan nonberas yang perlu dicermati terkait peningkatan
permintaan sehingga bisa mendorong ketergantungan berlebihan atas bahan pangan impor.
Gandum, tetua ayam ras (grand parent stock) baik pedaging maupun petelur serta ternak
sapi, merupakan tiga komoditas utama yang kini menjadi perhatian publik dan pemerintah
karena ledakan permintaannya.
Peningkatan permintaan gandum dan daging ayam broiler yang besar akibat promosi dan
layanan antar yang amat militan dan didukung industri hulu dan hilir perusahaan
multinasional yang tangguh. Kondisi ini diperburuk terbatasnya edukasi media tentang hidup
sehat atas pangan berbasis terigu dan daging ayam ras pada kelompok usia produktif dan
anak anak.
Adapun lonjakan peningkatan impor sapi hingga kini terjadi akibat kebijakan pemerintah
untuk mengimplementasikan pelarangan pemotongan betina produktif agar sapi yang
dipotong memenuhi potensi bobot potong ideal. Pilihan ini harus diambil karena dalam jangka
panjang akan menyelamatkan populasi ternak sapi dan peningkatan produksi daging sapi
untuk keluar dari perangkap impor sapi, daging, dan jeroan sapi.
Terigu dan ayam
Menyikapi situasi permintaan terigu yang terus melonjak, pemerintah menggenjot diversifikasi
dengan produk tepung non- terigu berbasis komoditas lokal utamanya umbi-umbian dengan
fortifikasi agar kompetitif terhadap gandum. Hal ini harus dilakukan karena agro-ekologi untuk
tanaman gandum tidak banyak tersedia di Indonesia. Dengan harga jual pangan berbahan
nonterigu lebih murah, edukasi dan promosi hidup sehat yang lebih gencar, diharapkan
dalam jangka menengah, tepung nonterigu akan mampu bersaing melawan terigu yang kini
mendominasi pangan nonberas.
Sementara untuk mengatasi ketergantungan atas ayam ras, pemerintah mendorong swasta
mengimpor great grand parent stock (GGP) atau pure line agar jaminan produksi ayam usia
sehari (day old chick/DOC) dapat dipastikan dalam kurun waktu lima tahun. Secara simultan
penelitian dan pengembangan ayam lokal terus diintensifkan.
Semua pihak harus mewaspadai kampanye hitam atas ayam buras yang dituduh sebagai
penyebar virus avian influenza seperti banyak dilansir media selama ini. Padahal, kita tahu,
Indonesia merupakan salah satu pusat domestikasi ayam di dunia. Ayam buras/kampung
merupakan jaring pengaman sosial yang amat strategis guna mengeluarkan Indonesia dari
perangkap pangan dan kemiskinan.
Itu sebabnya ada pihak yang ingin menghancurkan ayam buras Indonesia dengan berbagai
modus. Padahal, 60 persen populasi ayam buras tahan terhadap avian influenza. Maka, amat
tidak adil jika dimusnahkan dengan peraturan daerah (perda).

Berkhas

15

Volume VI September 2008

Kompas

Kamis, 04 September 2008

Produk lokal
Untuk melepaskan Indonesia dari perangkap pangan, maka perlu dilakukan (i) bagaimana
semua pihak menggunakan produk pangan lokal dengan semua konsekuensinya; (ii)
bagaimana menurunkan ketergantungan/ketagihan atas bahan pangan utama gandum agar
cepat dan pasti, ketergantungan pangan dapat direduksi secara signifikan.
Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea
Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk telepon seluler dan mobil sendiri tanpa
terpengaruh produk lain meski lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi taruhan terakhir
dalam melepaskan diri dari perangkap pangan.
India juga merupakan teladan bagaimana keluar dari perangkap pangan dan menjadi negara
industri. Kebijakan pemerintah dalam importasi pangan, penetapan tarif, dan keberpihakan
terhadap petani sudah menunjukkan hasilnya meski harus diakui masih memerlukan tenaga,
waktu, dana, dan pengawalan kontinu.
Kini, pertarungan pasar atas bahan pangan impor sudah tidak berbatas sehingga yang kuat
kian kuat dan yang lemah kian tergilas. Maka, badan penelitian dan pengembangan
pertanian memberi prioritas utama dalam pengembangan benih, bibit, pupuk, dan alat pada
tahun anggaran 2008 agar Indonesia secara bertahap keluar dari perangkap pangan.
Lompatan produksi pangan nonterigu, ayam buras, dan sapi pasti dapat dilakukan dalam 3-5
tahun ke depan jika semua pihak secara konsisten melindungi pertanian dan petani kita.
Gatot Irianto Kepala Badan Litbang Pertanian

Berkhas

16

Volume VI September 2008

Kompas

Jumat, 05 September 2008

Anj lok ny a Ke t a ha na n Pa nga n
Jumat, 5 September 2008 | 00:31 WIB
IVAN A HADAR
Indonesia masuk perangkap pangan negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas
utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat bergantung pada impor.
Padahal, sejak dua tahun terakhir, terjadi lonjakan harga pangan dan komoditas pertanian
lainnya. Akibatnya, terjadi penurunan ketahanan pangan dengan indikasi mengenaskan,
seperti meningkatnya kasus gizi buruk serta kematian anak balita dan ibu melahirkan.
Sebenarnya, spirit penguatan ketahanan pangan bisa ditemui dalam judul utama disertasi
doktoral SBY, ”Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi
Kemiskinan dan Pengangguran”. Sayang, kebijakan pemerintah selama ini dinilai
mengorbankan pertanian di pedesaan sebagai sektor penyerap tenaga kerja terbanyak.
Indikasinya, penyunatan subsidi dan impor produk pertanian yang menyengsarakan petani
dan memperburuk pembangunan pertanian itu sendiri.
Saat ini sumber pertumbuhan ekonomi lebih bertumpu pada sektor konsumtif dan padat
modal. Tak heran jika dulu tiap pertambahan pertumbuhan satu persen, bisa membuka
300.000 sampai 400.000 lapangan kerja, kini hanya mampu menampung 178.000 lapangan
kerja.
Mereka yang jatuh miskin pun semakin bertambah. Sebagian besar berstatus petani gurem
atau buruh tani. Bagi World Food Programme (WFP, 2005), mereka yang miskin dan
kekurangan gizi di Indonesia dipastikan sulit keluar dari belenggu kemiskinan tanpa
perubahan kebijakan yang signifikan.
Bagi Amartya sen (Poverty and Famines), persyaratan pengamanan pangan masyarakat
bukan hanya pada pengadaan bahan pangan, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka
yang lapar. Sebenarnya, ketimpangan distribusi dan bahayanya dalam sebuah pertumbuhan
ekonomi yang sering jauh dari harapan di negara berkembang sudah jauh hari disadari.
Simon Kuznets (1995) dan Gunnar Myrdal (1956), misalnya, mengingatkan, kesenjangan
penghasilan dan menunjukkan trickle-down effect sulit dicapai.
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sejak tahun 1980-an diberlakukan
sebuah sistem kontrol oleh negara atas sektor pertanian dengan tujuan mengamankan
keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat. Hal ini
dipertegas pada tahun 1990-an lewat kebijakan Structural Adjustment Program oleh IMF
sebagai persyaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada negara berkembang.
Brandt (2000) menyebut program ini sebagai ”masalah makropolitik, yaitu keharusan
mundurnya negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar,
dan perdagangan pertanian.” Sejak itu, sektor pertanian menjadi bagian makroekonomi yang
paling menderita akibat penyunatan berbagai subsidi negara. Bagi Brandt, penerapan SAP
menjadi akhir dari pembangunan pedesaan.
Keberhasilan negara lain

Berkhas

17

Volume VI September 2008

Kompas

Jumat, 05 September 2008

Dilatari kegagalan pembangunan pedesaan itu, ada baiknya menengok keberhasilan Korea
Selatan, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan (sejak 1978) China, yang menjadikan sektor
pertanian sebagai ”motor” pengembangan sektor lainnya. Strategi yang dijalankan mencakup
beberapa hal penting, yaitu dukungan kepada perusahaan keluarga kecil menengah,
menghindari sistem kredit bersubsidi, membangun infrastruktur pedesaan, mendukung
pengembangan dan penyebaran teknologi yang bermanfaat bagi petani kecil, serta
menghindari diskriminasi sektor pertanian (Binswanger, 1998). Berkat kebijakan itu terjadi
lonjakan pertumbuhan di sektor pertanian, peningkatan produksi dan produktivitas,
modernisasi teknologi pertanian, dan pengurangan tingkat kemiskinan di pedesaan.
Beberapa perbaikan dan modifikasi kebijakan juga dianjurkan Gabrielle Geier (1996).
Pertama, perlu koreksi price bias yang terlalu percaya pada pengaturan produksi lewat harga
pasar Yang diperlukan adalah perbaikan struktur pertanian dan dukungan pada inovasi
pertanian.
Kedua, agar mengubah kebijakan income bias yang percaya pada perbaikan pendapatan
petani lewat mekanisme pasar menjadi kebijakan stabilisasi basic subsistence dan jaminan
tidak digusur.
Ketiga, mengoreksi kebijakan male bias demi memperkuat status sosial-ekonomi perempuan.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pangan di Roma 12 tahun lalu, semua negara peserta,
termasuk Indonesia, bertekad mengurangi angka kelaparan global dari 840 juta menjadi
separuhnya pada tahun 2015. Namun, sesuai data FAO 2005, masih ada 825 juta jiwa
kelaparan. Meski terjadi proses deras urbanisasi, 60-70 persen penduduk negeri ini masih
bermukim di pedesaan. Sementara nyaris separuh dari mereka yang mengalami rawan
pangan berasal dari keluarga petani gurem.
Perubahan
Dua pertiga petani gurem tergolong marginalized karena memiliki lahan tandus, terisolasi
letaknya serta tanpa pengamanan hak atas tanah dan tanpa akses kredit. Penyebab lainnya,
buruknya infrastruktur dan ketergantungan pada pedagang antara. Sementara itu, sekitar 30
persen bernasib lebih buruk karena tidak memiliki lahan pertania