Institusi-Oktober 2008

VOLUME VI OKTOBER 2008

INSTITUSI

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari
berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal
penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka
saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situssitus suratkabar, majalah, serta situs berita lainnya.
Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas
diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap
penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.
Untuk memperluas area distribusi, Berkhas diterbitkan melalui 2 (dua) macam media
yaitu media cetakan (hardcopy) serta media online berupa pdf file yang dapat diakses
melalui situs web Akatiga (www.akatiga.or.id).

D a ft a r I si
KPU Tetapkan Maksimal ---------------------------------------------------------------------------------

1


Masyarakat Diminta Laporkan Caleg yang Bermasalah ----------------------------------------

2

Mencontreng ataukah Mencoblos?--------------------------------------------------------------------

3

Sulit Revisi UU No 10/2008 dalam Waktu Dekat --------------------------------------------------

6

Belum Ada Kesatuan Pandangan dalam Draf RUU Keistimewaan --------------------------

7

Pilkada Biak Terancam Batal ---------------------------------------------------------------------------

9


Partai Politik Diimbau Ikut Sosialisasikan Manfaat Pemilu ------------------------------------- 10
Perihal Perpu ------------------------------------------------------------------------------------------------ 11
RUU MA Belum Jadi Disetujui -------------------------------------------------------------------------- 13
RUU MA Perlu Dikaji Lagi-------------------------------------------------------------------------------- 14
15 Calon Kepala Daerah Deklarasikan Pilkada Damai ------------------------------------------ 15
Caleg Ganda Tunggu Klarifikasi Parpol -------------------------------------------------------------- 16
Di Sumsel, Tiga Caleg Dilaporkan Pakai Ijazah Palsu------------------------------------------- 17
Syarat 81 Caleg DPRD DKI Bermasalah ------------------------------------------------------------ 18
Kesiapan Logistik KPU Jatim Disorot ----------------------------------------------------------------- 20
Panwaslu Padang Temukan Pelanggaran Kampanye ------------------------------------------- 21
Pilkada Jayawijaya Berjalan Aman -------------------------------------------------------------------- 23
Pemprov Kaltim Tolak Biaya Pengamanan Pilkada Rp 49 Miliar ----------------------------- 25
Tiga Pasang Kandidat Mulai Berkampanye--------------------------------------------------------- 26
Peluit Kampanye Pilkada Ciamis Ditiup -------------------------------------------------------------- 27
Pemerintah Ajukan Perpu Krisis ----------------------------------------------------------------------- 28
Coret Caleg yang Bermasalah-------------------------------------------------------------------------- 29
Koalisi Ornop Jabar Tolak RUU Pornografi --------------------------------------------------------- 30
Perdebatan Berlarut, Sekadar Tawar-menawar Parpol------------------------------------------ 31
Pilkada Lebak Tunggu Keputusan KPU-------------------------------------------------------------- 32
Perpu, Masih Proses Administratif? ------------------------------------------------------------------- 34

Revisi UU No 10/2008, Merevisi Kepentingan ----------------------------------------------------- 36
Christian Unggul di Pilkada Rote----------------------------------------------------------------------- 38
Pilkada Lebak Tunggu Keputusan KPU-------------------------------------------------------------- 39
Otda di Jabar Terhambat SDM dan Korupsi -------------------------------------------------------- 41
Tuntaskan RUU Pengadilan Tipikor------------------------------------------------------------------- 43
Pilkada Lebak Tetap Digelar ---------------------------------------------------------------------------- 44

RUU Pornografi Jadi Komoditas Politik -------------------------------------------------------------- 46
RUU Pilpres -------------------------------------------------------------------------------------------------- 47
Dampak Krisis Global ------------------------------------------------------------------------------------- 49
Payung Hukum JPSK Seharusnya UU --------------------------------------------------------------- 50
Parpol Besar Jangan Egois------------------------------------------------------------------------------ 51
RUU Pornografi Abaikan Suara Perempuan ------------------------------------------------------- 53
Dua Kandidat dari Jalur Independen Unggul ------------------------------------------------------- 54
Sahkan UU Tipikor ----------------------------------------------------------------------------------------- 55
(I)rasionalitas Threshold Capres ----------------------------------------------------------------------- 56
Data Pemilih Pilkada Padang Masih Kacau -------------------------------------------------------- 58
RUU MA Harus Ditunda ---------------------------------------------------------------------------------- 59
Seribu Orang Tolak RUU Pornografi------------------------------------------------------------------ 61
Politik Uang di Pilkada Kota Serang ------------------------------------------------------------------ 62

Otsus Papua Tidak Membawa Perubahan ---------------------------------------------------------- 63
Pilkada Rote Ndao ke Putaran Kedua ---------------------------------------------------------------- 65
Pilkada Langkat Ketat ------------------------------------------------------------------------------------- 66
RUU Pilpres Harus Disetujui Besok ------------------------------------------------------------------- 67
Angka Partisipasi Pilbup Lebih Rendah -------------------------------------------------------------- 69
Nasib Tragis di Balik Otonomi -------------------------------------------------------------------------- 70
Bali Tetap Menolak UU Pornografi -------------------------------------------------------------------- 71
Tak Ada Pilkada Ulang di Taput------------------------------------------------------------------------ 72
Tolak UU Pornografi --------------------------------------------------------------------------------------- 73

Kompas

Jumat, 03 Oktober 2008

Jumlah Caleg

KPU Te t a pk a n M a k sim a l
Jumat, 3 Oktober 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan jumlah calon anggota
legislatif atau caleg per partai, pekan lalu. Dari 38 partai politik peserta Pemilu 2009, Partai

Demokrat mempunyai caleg DPR terbanyak, yaitu 673 orang. Jumlah ini membuat tanda
tanya beberapa pihak yang berpendapat jumlah caleg paling banyak 120 persen dari jumlah
kursi DPR (550), yaitu 672 caleg.
Anggota KPU, Endang Sulastri, Selasa (30/9), mengatakan, pengajuan caleg setiap parpol
peserta Pemilu 2009 maksimal 675 orang. KPU berpedoman pada Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang menyatakan
daftar bakal calon memuat paling banyak 120 persen dari jumlah kursi dari setiap daerah
pemilihan (dapil).
”Untuk itu, kami sudah mendaftar dan menghitung jumlah 120 persen dari jumlah kursi setiap
dapil sehingga hasilnya 675 caleg, bukan menghitung 120 persen dari 550 kursi DPR,” kata
Endang.
Untuk itu, lanjut Endang, Partai Demokrat tidak menyalahi ketentuan jumlah caleg maksimal.
Dalam pengumuman KPU, Partai Demokrat menjadi partai yang paling banyak mengajukan
caleg, sementara partai yang paling sedikit mengajukan caleg adalah Partai Penegak
Demokrasi Indonesia mengajukan 50 caleg.
Dalam kesempatan itu, Endang juga mengungkapkan beberapa data menarik mengenai profil
daftar caleg yang sudah disampaikan 38 parpol ke KPU. Misalnya, ada parpol yang
mempunyai 100 persen caleg perempuan, parpol yang tidak mempunyai banyak perbaikan
data caleg.
Mengenai keterwakilan caleg perempuan, Endang mengatakan Partai Demokrasi Pembaruan

(PDP) mempunyai data yang cukup baik, yaitu daerah pemilihan DKI Jakarta II memasang
tujuh caleg dan semuanya perempuan.
”Hanya PDP satu-satunya yang mempunyai 100 persen caleg perempuan di salah satu
dapilnya. Memang ada parpol lain juga yang 100 persen perempuan, tetapi dalam satu dapil
itu hanya ada satu atau dua caleg,” ujarnya.
Menurut Endang, sebagian besar parpol menempatkan caleg perempuan di nomor urut tiga
ke bawah, hanya sedikit parpol yang memasang caleg perempuan di nomor satu atau dua.
(SIE)

Berkhas

1

Volume VI November 2008

Kompas

Jumat, 03 Oktober 2008

Caleg


M a sy a r a k a t D im int a La por k a n Ca le g y a ng
Be r m a sa la h
Jumat, 3 Oktober 2008 | 02:05 WIB

Kupang, Kompas - Masyarakat Nusa Tenggara Timur diminta masukannya terhadap daftar
calon sementara calon anggota legislatif atau caleg provinsi periode 2009-2014 yang dinilai
bermasalah. KPU NTT menetapkan 1.088 daftar caleg periode 2009-2014, sementara 122
caleg dinyatakan gugur karena tidak memenuhi sejumlah persyaratan, seperti akurasi nama
di dalam ijazah dan ijazah yang tidak dilegalisasi.
”Mereka yang gugur antara lain karena penulisan nama di dalam ijazah tidak akurat, ijazah
tidak dilegalisir, calon dari pegawai negeri sipil tidak mengajukan surat pernyataan
pengunduran diri, tidak ada surat pernyataan dari pimpinan setempat bahwa surat
pengunduran diri yang bersangkutan disetujui, tidak memiliki kartu tanda anggota partai, dan
seterusnya,” kata anggota KPU NTT, Joseph Dasi Djawa, di Kupang, Selasa (30/9).
Caleg yang didaftarkan oleh 38 partai politik sebanyak 2.508 orang. Pada masa perbaikan,
yang mengembalikan berkas 1.210 caleg. Dari jumlah ini, yang memenuhi syarat sebanyak
1.088 orang, dengan rincian 750 laki-laki (68,53 persen) dan 338 perempuan (31,07 persen).
Sebanyak 122 orang dinyatakan gugur.
Pengumuman nama daftar calon sementara (DCS) telah dipajang di Kantor KPU NTT tanpa

disertai foto caleg. Penetapan DCS tanggal 25 September 2008 sementara masa uji publik
berlangsung 26 September-9 Oktober 2008.
Jika ada keberatan, masukan, dan informasi dari masyarakat terkait nama-nama yang
diumumkan, akan dihimpun KPU NTT, selanjutnya diserahkan ke KPU pusat untuk
dipertimbangkan. Misalnya, caleg bersangkutan terlibat dalam kasus pidana/ perdata,
korupsi, dan seterusnya.
Secara terpisah, Bernadus Reo, warga Desa Mewet, Kecamatan Wotan Ulumado, Flores
Timur, mengatakan sulit mengenal caleg daerah pemilihan setempat. Soalnya, hampir
sebagian besar caleg DPR Provinsi NTT bukan warga Flores Timur yang berdiam di daerah
itu, tetapi warga Flores Timur yang sudah lama berdiam di Kupang. (KOR)

Berkhas

2

Volume VI November 2008

Kompas

Jumat, 03 Oktober 2008


Surat Suara

M e ncont r e ng a t a uk a h M e ncoblos?
Jumat, 3 Oktober 2008 | 02:04 WIB

Komisi Pemilihan Umum belum juga menentukan tanda apa yang akan digunakan dalam
Pemilihan Umum 2009. Meski sudah yakin dengan tanda centang atau contreng (V), KPU
masih saja tak kunjung membuat aturannya. Perdebatan masih berkutat di seputar apakah
tanda selain tanda contreng, seperti mencoblos, bisa dikatakan sebagai suara sah.
Sejak awal, pada Mei lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah sangat yakin dengan tanda
contreng. Itu terlihat pada Pencanangan Sosialisasi Pemilu 2009 yang dilaksanakan di Istana
Presiden. Bahkan, di situ sudah dikenalkan logo Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, Si Pena,
boneka dengan bentuk pena yang besar dan berwarna oranye. Selain itu, juga ada poster
yang bergambar tanda contreng. Dengan demikian, KPU mau tidak mau harus mengesahkan
tanda contreng itu.
Tanda contreng itu merupakan terjemahan KPU terhadap bunyi Pasal 153 Ayat 1 UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan pemberian suara untuk pemilu dilakukan
dengan memberi tanda satu kali pada surat suara. Kemudian, ayat berikutnya, memberikan
tanda satu kali dilakukan berdasarkan prinsip memudahkan pemilih, akurasi dalam
penghitungan suara dan efisien dalam penyelenggaraan pemilu.

Perdebatan muncul ketika KPU memaparkan desain surat suara di depan anggota Komisi II
DPR. Tentu saja tanda contreng tidak terlepas dari bagaimana desain surat suara Pemilu
2009. Sebagian anggota DPR meragukan tanda contreng bisa dimengerti oleh ratusan juta
pemilih Pemilu 2009. Alasannya, sudah bertahun-tahun masyarakat Indonesia terbiasa
dengan mencoblos.
Anggota Komisi II, Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional, Sulawesi Selatan II),
mengatakan, KPU perlu memikirkan nama yang cocok untuk tanda contreng karena tidak
semua orang di dalam masyarakat mengetahui arti tanda contreng. ”Bagaimana kalau
masyarakat mengilustrasikan tanda contreng itu seperti tanda silang atau titik? Apakah
suaranya sah? Kata ’contreng’ tidak dikenal seluruh masyarakat, termasuk konstituen kami di
Sulsel,” kata Andi.
Bila KPU memutuskan menggunakan tanda contreng dalam surat suara, lanjutnya, sebaiknya
dicari cara yang tepat bagaimana mengubah kebiasaan pemilih dari mencoblos menjadi
memberi tanda contreng. ”Banyak yang bertanya kepada kami, termasuk dari kaum
tunanetra. Bagaimana memastikan kaum tunanetra memilih pada tempat yang tepat? Ini
penting supaya mereka juga bisa berpartisipasi dalam pemilu,” ujarnya.
Anggota Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, juga mengungkapkan hal senada. Ia mendorong agar
cara mencoblos tetap digunakan pada Pemilu 2009. ”Tanda mencoblos atau mencontreng
sudah melalui perdebatan yang panjang. Pada prinsipnya, bagaimana tanda itu mudah dan
efisien. Jangan dipukul rata semuanya, harus mencontreng. Saya kira tanda titik pun bisa

lebih mudah dan efisien,” kata Jazuli.
Ia juga mengatakan, bila KPU sudah memutuskan tanda contreng, sosialisasi harus gencar
dilakukan KPU. Salah satu cara efektif yang bisa dipakai, menurut dia, KPU menyerahkan
sosialisasi tanda kepada KPU daerah agar bisa menggunakan bahasa daerah, yang tentu
lebih mudah dimengerti oleh masyarakat.

Berkhas

3

Volume VI November 2008

Kompas

Jumat, 03 Oktober 2008

Sejak UU No 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dibahas oleh
pemerintah dan DPR, perdebatan soal tanda mencontreng atau mencoblos sudah muncul.
Saat itu ada dua pilihan yang mengerucut, yaitu memberi tanda (contreng) atau mencoblos.
Dengan adanya dua pilihan itu, DPR menganggap mencoblos bukanlah termasuk memberi
tanda.
Saat pembahasan RUU Pemilu, Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai
Golkar mengusulkan agar pemberian suara dalam Pemilu 2009 tidak dengan cara mencoblos
kertas suara, tetapi dengan menulis nama partai dan nama calon. Usulan ini pun
memunculkan pro dan kontra.
Di sisi lain, perdebatan di antara lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membidangi
pemilu tak kalah seru. Centre for Electoral Reform (Cetro) mendukung tanda contreng pada
surat suara. Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay mengungkapkan, tanda contreng
sudah banyak digunakan di negara lain, hanya Indonesia dan Kamerun yang masih
menggunakan tanda mencoblos. Selain itu, tanda contreng diharapkan bisa menghilangkan
kemungkinan kecurangan yang bisa dilakukan dengan metode mencoblos.
Sementara itu, Kelompok Kerja (Pokja) Pemantau Penyelenggara Pemilu yang merupakan
gabungan dari beberapa LSM, seperti Formappi, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat,
KRHN, Yappika, LBH Jakarta, serta Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, beranggapan tanda
contreng akan menyebabkan suara tidak sah meningkat. Sekjen Formappi Sebastian Salang
mengatakan, tanda yang dipilih harus memberikan kemudahan kepada pemilih dan menjamin
akurasi penghitungan suara. ”Dengan alasan-alasan itu, kami merekomendasikan kepada
KPU untuk memilih tanda mencoblos. Apalagi sebagian besar masyarakat belum terbiasa
dengan tanda contreng. KPU harus tegas,” ujarnya.
Meski perdebatan di luar KPU sudah sangat seru, hampir setiap hari ada pro dan kontra
tanda contreng, KPU masih saja bersantai-santai. Keputusan tanda contreng akan diambil
bersamaan dengan penentuan desain surat suara. Simulasi pemungutan suara dilakukan
untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan.
Dua pekan lalu KPU melakukan simulasi pemungutan suara di dua tempat, yaitu Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur, dan Kabupaten Keerom, Papua. Dalam dua simulasi itu ada dua
pengesahan tanda memberi suara yang sah. Di Sidoarjo, KPU mengesahkan tanda selain
tanda contreng, yaitu tanda coblos, tanda garis, dan tanda silang.
Di Keerom, KPU hanya mengesahkan tanda contreng. Hasilnya, KPU menjadi semakin
mantap dengan pilihannya, Alasannya, sebagian besar masyarakat yang datang untuk
simulasi tidak mengalami kesulitan dalam mencontreng. Permasalahan yang muncul hanya
mengenai desain surat suara yang terlalu besar. Simulasi juga mengungkapkan, 10 orang
mencoblos surat suara.
Untuk kedua simulasi itu, KPU sudah berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR, tetapi
keputusan belum bisa diambil KPU. Saat ini, KPU masih menunggu satu simulasi lagi, di
Aceh. Setelah itu, mudah-mudahan saja KPU semakin tegas melangkah mengambil
keputusan tanda apa yang sah. Hanya saja, jangan sampai KPU kemudian mengesahkan
banyak tanda pemberian suara yang tentu akan membingungkan masyarakat.
Anggota KPU, Andi Nurpati, mengatakan, apabila tanda diberikan dalam kolom nama calon
anggota legislatif atau gambar partai politik, maka menjadi suara yang sah. Namun, KPU
tetap akan memakai tanda contreng dalam sosialisasi pemilu.

Berkhas

4

Volume VI November 2008

Kompas

Jumat, 03 Oktober 2008

”Kalau tandanya masih di dalam kolom, itu tetap sah. Ini nanti akan diatur dalam peraturan
KPU tentang pemungutan suara,” kata Andi yang juga Ketua Pokja Pemungutan Suara KPU.
Lalu, kapankah KPU akan menentukan tanda suara yang sah? KPU harus segera
memutuskannya! Semua keputusan ada di tangan KPU. Apa pun yang dipilih KPU tentu ada
risikonya, tetapi yang penting dari itu semua adalah sosialisasi. (MARIA SUSIE BERINDRA)

Berkhas

5

Volume VI November 2008

Kompas

Jumat, 03 Oktober 2008

Tiga Alternatif Revisi UU

Sulit Re v isi UU N o 1 0 / 2 0 0 8 da la m W a k t u D e k a t
Jumat, 3 Oktober 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Tersedia tiga pilihan atas usul revisi terbatas terhadap Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terkait
dengan klausul penetapan calon terpilih.
Pertama, usul perubahan mentah. Kedua, usul diakomodasi sehingga penetapan calon
terpilih bisa mengacu ke nomor urut sekaligus dimungkinkan bagi partai politik menerapkan
prinsip suara terbanyak. Ketiga, mesti diputuskan adanya ketentuan yang tunggal demi
kepastian publik, yaitu antara penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak seperti
UU No 10/2008 atau sepenuhnya berdasarkan suara terbanyak.
Seperti diberitakan, sejumlah anggota DPR telah mengusulkan revisi terbatas atas UU No
10/2008, yaitu agar dimungkinkan cara penetapan calon terpilih dengan menggunakan
sistem suara terbanyak. Sebanyak 60 anggota dari lima fraksi mengusulkan revisi terbatas
atas UU yang baru diundangkan pada 31 Maret 2008 itu. Usul perubahan tersebut kini masih
dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi DPR. Namun, di sisi lain, ada kelompok anggota
DPR yang secara resmi juga meminta agar ketentuan dalam UU No 10/2008 tetap
dipertahankan.
Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Al Muzzammil Yusuf (Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera, Lampung I) di Jakarta, Rabu (1/10), ketiga kemungkinan itu muncul dalam proses
harmonisasi materi usul perubahan UU No 10/2008. Al Muzzammil mengakui, pembahasan
usul revisi itu mesti dilakukan komprehensif. Realitas politiknya, ada kelompok yang ingin
revisi terbatas dengan menyelipkan pemberlakuan prinsip suara terbanyak. Namun, juga ada
kelompok yang ingin UU No 10/2008 dijalankan tanpa perubahan.
Diharapkan sebelum masa persidangan berakhir pada 24 Oktober, sudah selesai di tingkat
DPR, untuk kemudian disampaikan kepada Presiden agar segera diagendakan
pembahasannya. Jika hanya terkait dengan penetapan calon terpilih, tahapan persiapan
Pemilu 2009 tidak akan terhambat.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)
Jeirry Sumampow menyebutkan, kemungkinan perubahan atas UU No 10/2008 yang paling
cepat bisa dicoba dengan meminta pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika nanti
keluar putusan MK, mau tidak mau akhirnya DPR bersama pemerintah akan ”menyesuaikan”
ketentuan dalam UU bersangkutan. Problemnya sekarang, belum jelas siapa yang akan
mengajukan permohonan pengujian itu. ”Kalau dilakukan oleh parpol, tentu akan menjadi
sangat lucu, aneh, dan memalukan,” kata Jeirry.
Prediksi Jeirry, masih agak sulit bagi DPR menetapkan usul revisi atas UU No 10/2008 dalam
waktu dekat. Bahkan, bisa jadi kepastian revisi tersebut tidak akan tersepakati sampai pemilu
anggota legislatif berlangsung. Sekalipun fraksi pendukung revisi semakin banyak dan
bahkan cenderung mayoritas, kekuatan yang menentangnya pun masih cukup besar.
Dibutuhkan waktu lama untuk memproses penyamaan kepentingan partai politik terhadap
revisi tersebut.
Jeirry juga menyebutkan agenda DPR masih sangat padat. Salah satunya, RUU Pemilu
Presiden yang mesti segera diselesaikan DPR, tetapi prosesnya masih alot. Selain itu,
konsentrasi DPR pasti juga akan tersita oleh kontroversi menyangkut RUU Pornografi.
Selain itu, jika revisi hanya dilakukan dengan menambah atau mengurangi pasal terkait
penentuan calon terpilih, akan muncul kesan tidak adil karena ada pasal lain yang menjadi
kehilangan makna. Misalnya, ketentuan mengenai tindakan khusus sementara untuk kaum
perempuan, di mana sistem zipper menjadi tidak ada artinya. (dik)

Berkhas

6

Volume VI November 2008

Kompas

Sabtu, 04 Oktober 2008

KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

Be lum Ada Ke sa t ua n Pa nda nga n da la m D r a f RUU
Ke ist im e w a a n
Sabtu, 4 Oktober 2008 | 03:00 WIB
Yogyakarta, Kompas - Hingga saat ini setidaknya ada sembilan draf Rancangan UndangUndang tentang Keistimewaan DI Yogyakarta atau RUUK yang dibuat oleh berbagai elemen
masyarakat. Setiap draf RUUK tersebut masih belum memiliki kesatuan pandangan terkait
substansi keistimewaan. Belum adanya pemahaman tunggal tentang makna keistimewaan
dinilai menjadi salah satu faktor lambannya pengaturan keistimewaan bagi DIY.
Sejak 16 Juli 2007, misalnya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah merampungkan materi
keistimewaan melalui mekanisme amandemen Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950
tentang Pembentukan DI Yogyakarta. Melalui mekanisme amandemen, terbukti RUUK bisa
masuk ke daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2008 di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) setelah sebelumnya sempat terkatung-katung.
RUUK versi DPD tersebut dibuat sesaat setelah Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X
menyatakan tidak lagi bersedia menjabat pada 7 April 2007.
”Seiring berjalannya waktu, konsep yang tercantum dalam RUUK versi DPD tentang
kepemimpinan DIY melalui pemilihan sudah tidak tepat lagi. DPD akan mencoba menggali
lagi aspirasi dari masyarakat,” ujar anggota DPD dari DIY, Subardi, yang sebelumnya
menjabat Ketua Tim Kerja RUUK DPD, Selasa (30/9).
Keistimewaan DIY dalam RUUK versi DPD meliputi bidang kebudayaan, pendidikan,
pariwisata, struktur kepemimpinan, pertanahan, serta tata ruang. RUUK menempatkan Sultan
dan Paku Alam sebagai dwitunggal yang berkedudukan sebagai pemangku, pengayom, dan
pelindung DIY dalam kelembagaan Hamengkoni Agung. Dwitunggal memiliki hak prerogatif
memberikan persetujuan terhadap calon gubernur dan wakil gubernur yang dipilih langsung
melalui pemilu.
”Keistimewaan Yogyakarta melekat pada kedudukan Sultan sebagai gubernur dan Paku
Alam sebagai wakil gubernur. Kala itu, Sultan tidak bersedia menjadi gubernur lagi sehingga
harus dicari solusinya. Draf RUUK versi DPD hanya sebagai pembuka pintu dibahasnya
RUUK di DPR, sebenarnya tidak perlu direvisi karena tidak mungkin jadi acuan,” lanjut
Subardi.
Seiring dengan mulai dibahasnya draf RUUK versi pemerintah, yang sudah mulai masuk ke
DPR dalam bentuk amanat presiden, kerabat Keraton Yogyakarta juga mulai merancang draf
RUUK versi Keraton. Kerabat Keraton, Gusti Bendara Pangeran Haryo Joyokusumo,
menyatakan RUUK versi Keraton telah rampung dan dikoordinasikan dengan Pemerintah
Provinsi DIY. Draf RUUK tersebut sudah didistribusikan kepada beberapa anggota DPR.
Melalui draf RUUK, Keraton meminta pemerintah pusat menetapkan Sultan Hamengku
Buwono sebagai kepala daerah, sedangkan Paku Alam menjabat sebagai wakilnya, kecuali
jika mereka berhalangan tetap.
Keraton juga menolak pembentukan lembaga parardhya keistimewaan yang terdiri dari
Sultan dan Paku Alam sebagai satu kesatuan yang berfungsi sebagai simbol, pelindung, dan
penjaga budaya.
”Sebaiknya Komisi II DPR harus mengembalikan RUUK yang telah menjadi amanat presiden
tersebut kepada pemerintah pusat untuk disesuaikan dengan aspirasi rakyat DIY. DPR juga
bisa membuat RUUK sendiri yang sesuai aspirasi yang dikonsepkan oleh Pemerintah
Provinsi DIY dan keluarga Keraton,” ujar Joyokusumo.

Berkhas

7

Volume VI November 2008

Kompas

Sabtu, 04 Oktober 2008

RUUK saat ini sudah masuk tahapan pembahasan bersama oleh DPR dan pemerintah.
Pembahasan akan diteruskan setelah terhimpun daftar inventarisasi masalah (DIM) dari 10
fraksi DPR atas naskah RUU usul pemerintah tersebut. Selama penyusunan DIM, Komisi II
DPR juga akan menggelar rapat dengar pendapat dan rapat dengar pendapat umum untuk
menjaring masukan. (dik/WKM)

Berkhas

8

Volume VI November 2008

Jurnal Nasional

Senin, 06 Oktober 2008

Nusantara | Biak | Senin, 06 Okt 2008 17:49:07 WIB

Pilk a da Bia k Te r a nca m Ba t a l
PELAKSANAAN Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Biak-Papua yang akan berlangsung 29
Oktober mendatang terancam batal terkait dana hibah sebesar Rp. 15 miliar yang dijanjikan
pemerintah daerah belum terealisasi. Padahal jadwal pelaksanaan kampanye bagi kandidat
calon bupati dan wakil bupati telah dimulai 5 Oktober lalu.
Terkait itu, Senin (6/10), puluhan ketua dan anggota Panitia Pemilihan tingkat Distrik (PPD),
Panitia Pengawas (Panwas) pilkada, mendatangi kantor KPU kabupaten Biak karena sudah
tiga bulan sejak dilantik dan bekerja belum mendapatkan dana operasional serta honor. "
Kami sudah mulai bekerja, tapi hingga kini belum ada kejelasan dana ", ujar Jaqline, salah
ketua panwas distrik Samofa, Senin (6/10).
Kata Jaqline, selama tiga bulan mereka bekerja belum pernah mendapatkan dana
operasional maupun honor, sehingga untuk menutup dana operasional pihaknya lebih
banyak mengeluarkan dana dari kantong sendiri.
Sementara itu, menurut ketua KPU Biak, Decky Daniel Iwanggin, dana hibah yang pernah
dijanjikan pemerintah daerah sebesar Rp.15 miliar tidak ada dasar hukumnya atau tidak jelas
karena selama ini belum ada surat kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak pemerintah
dan KPU.
"Memang pernah telah dijanjikan oleh mantan bupati Maryen mewakili pemerintah daerah,
namun belum pernah ada surat kesepakatannya, cuma disampaikan secara lisan kepada
kita," kata Decky kepada Jurnal Nasional di Biak, Senin (6/10).
Dari Rp.15 miliar yang dijanjikan itu, pemerintah daerah telah merealisasinya Rp..5 miliar
yang telah digunakan untuk persiapan dan operasional pelaksanaan tahapan yang sudah
berlangsung kurang lebih 5 bulan ini. Tahapan itu antara lain, sosialisasi, rapat, pendaftaran,
verifikasi kandidat, dll.
Sedangkan perencanaan dana terkait operasional dan honor PPD, PPS, KPPS telah diajukan
KPU ke pemerintah daerah lewat Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD)
sebesar Rp.6 miliar lebih namun belum mendapatkan kepastian pembayaran.
"Kita sudah berulangkali datangi dan menanyakan BPKAD, namun tidak ada kejelasan
kepastian pembayaran ", ujar Decky, Senin (6/10).
Pihak KPU telah menjelaskan berulang kali juga kepada PPD, PPS yang datang ke kantor
KPU namun dari hasil pertemuan dengan KPU, pihak PPD, PPS dan Panwas Distrik
bersikeras tidak akan bekerja sampai ada realisasi dana yang jelas.
Sedangkan menurut ketua Panwas Pilkada Biak, Rumbrapuk, sejak dilantik tiga bulan lalu
pihaknya pernah mendapatkan dan operasional Rp.600 juta.
Namun dana itu hanya digunakan untuk menopang tugas operasional di Panwas tingkat
kabupaten. Dan untuk Panwas tingkat distrik, diakuinya hingga kini belum mendapatkan dana
operasional maupun honor.
Terkait dengan dana pelaksanaan Pilkada, ketua BPKAD Biak, Frengky Korwa mengatakan,
pihaknya dalam waktu dekat akan merealisasikan dana tersebut yaitu Rp.6 miliar lebih untuk
KPU dan Rp.4 miliar untuk Panwas. (Opin Tanati)

Berkhas

9

Volume VI November 2008

Kompas

Selasa, 7 Oktober 2008

Demokratisasi

Pa r t a i Polit ik D iim ba u I k ut Sosia lisa sik a n M a nfa a t
Pe m ilu
Selasa, 7 Oktober 2008 | 03:00 WIB
Jakarta, Kompas - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono mengimbau partai politik
menyosialisasikan cara baru dan proses pemilihan kepada masyarakat. Ia mengkhawatirkan
Komisi Pemilihan Umum atau KPU tak cukup optimal melakukannya karena keterbatasan
dana dan sumber daya yang dimiliki.
”Sebagai bagian pendidikan politik, parpol diharapkan mengajak masyarakat untuk memilih.
Jangan sampai terjadi penurunan jumlah pemilih,” kata Agung Laksono, Senin (6/10) malam,
pada pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) VI Partai Barisan Nasional (Barnas)
di Jakarta. Rakornas VI Partai Barnas digelar juga untuk memperingati satu tahun usia partai
itu.
Dalam kesempatan itu, Agung juga mengajak semua partai menciptakan rasa aman dan
nyaman bagi masyarakat. Ia mengajak parpol agar menghindari saling jegal dan saling
menjelekkan, baik antarpartai maupun antarcalon anggota legislatif.
Selain itu, ia juga mengimbau agar parpol menyosialisasikan manfaat pemilu bagi
masyarakat. ”Bahwa kekuasaan yang diraih adalah untuk menyejahterakan rakyat,” ucapnya.
Menurut Agung, sosialisasi itu diperlukan agar angka salah atau suara rusak semakin kecil.
Ia menyebutkan, pada Pemilu 2004 sebanyak 12 juta suara dinyatakan tidak sah.
Ketua Umum Partai Barnas Vence Rumangkang mendukung imbauan Agung Laksono itu.
”Sekaligus kami memperkenalkan partai kami,” katanya.
Ditanya tentang target perolehan suara dalam pemilu mendatang, Vence mengatakan, Partai
Barnas menargetkan untuk lolos ambang batas perolehan suara (electoral threshold). ”Tentu
untuk itu dibutuhkan kerja keras dari semua kader partai,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut, kata Vence, partai yang baru berusia satu tahun itu akan memusatkan perhatian
untuk merebut suara di Jawa. Salah satu alasannya adalah jumlah penduduk di Jawa yang
besar.
Untuk seluruh Indonesia, partai itu menyiapkan lebih dari 400 calon anggota legislatif. Vence
juga mengungkapkan, partainya telah siap memublikasikan daftar calon tetap. Selain itu,
pihaknya juga terbuka terhadap masukan dari masyarakat terkait calon wakil rakyatnya itu.
(JOS)

Berkhas

10

Volume VI November 2008

Kompas

Selasa, 07 Oktober 2008

Pe r iha l Pe r pu
Selasa, 7 Oktober 2008 | 00:45 WIB
Oleh A AHSIN THOHARI
Saat Sultan Hamengku Buwono X meletakkan jabatan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta pada 9 Oktober 2008, kekosongan kekuasaan mengancam karena RUU
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta belum rampung.
Dalam keadaan seperti itu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sempat
dilirik sebagai solusi. Seperti rencana penerbitan perpu sebelumnya, ruang perdebatan
terbentang apakah perpu diperlukan, apakah ada kegentingan sehingga diperlukan perpu,
apakah tidak sebaiknya ditetapkan produk hukum lain sederajat, tetapi kontroversinya lebih
rendah?
Benar, kegentingan memaksa selalu menghadirkan konflik penafsiran. Bahkan, menurut
Satya Arinanto, tak ada definisi yang jelas soal kegentingan memaksa (state of emergency).
(”Pertaruhan Politik Presiden”, Kompas, 7/9/2007)
Tiga hal penting
Istilah perpu yang diatur Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 merupakan istilah baru yang tak dikenal
dalam doktrin ketatanegaraan warisan Belanda. Yang lebih lazim adalah undang-undang
darurat (noodverorderingsrecht). Karena itu, Pasal 139 Ayat 1 Konstitusi RIS menyatakan,
”Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang
darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintah federal yang karena keadaankeadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.”
Dengan rumusan agak berbeda, Pasal 96 Ayat 1 UUD Sementara 1950 menyatakan,
”Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang
darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaankeadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera.”
Dari sudut hukum tata negara, setidaknya ada tiga hal penting terkait perpu atau undangundang darurat.
Pertama, perpu merupakan kewenangan melekat (inherent power) jabatan presiden dan
bersifat luar biasa (formidabele bevoegheid) yang dapat dikeluarkan dengan maksud utama
terjaminnya keselamatan penyelenggaraan kehidupan bernegara oleh pemerintah saat
keadaan genting mengancam. Diperlukan tindakan cepat dan tepat untuk keluar dari
keadaan itu. Karena itu, tidak diperlukan dukungan institusi lain guna menetapkannya.
Masalahnya, bagaimana mengukur kegentingan memaksa yang menjadi alasan keluarnya
perpu? Menurut UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
materi muatan perpu sama dengan UU, yaitu mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945
yang meliputi tujuh hal: (1) HAM, (2) kewajiban warga negara, (3) kedaulatan negara, (4)
kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga negara tambahan lain), (5)
keutuhan wilayah negara atau daerah, (6) kewarganegaraan dan kependudukan, dan/atau
(7) keuangan negara. Karena itu, mengikuti logika materi muatan UU, kegentingan memaksa
dalam perpu dapat diformulasikan dengan ”jika terjadi keadaan yang dikhawatirkan bisa
mengancam atau membuat terkendalanya pelaksanaan atau penegakan salah satu atau
lebih dari tujuh persoalan tersebut”.

Berkhas

11

Volume VI November 2008

Kompas

Selasa, 07 Oktober 2008

Undang-undang bersyarat
Kedua, sebagai produk kewenangan presiden, perpu dikategorikan UU bersyarat
(voorwardelijke wetten), karena itu bersifat sementara yang harus diuji Dewan Perwakilan
Rakyat (legislative review) dalam persidangan berikut. Jika klaim presiden atas terjadinya ”hal
ihwal kegentingan yang memaksa” tidak disetujui DPR, presiden harus mencabut perpu dan
segala akibat hukum yang muncul dari pemberlakuan perpu, baik yang bisa dipulihkan
maupun tidak, diselesaikan dengan UU reguler. Namun, jika disetujui, perpu akan menjadi
UU definitif yang berlaku secara permanen sampai dicabut UU lain.
Keharusan adanya persetujuan DPR di persidangan berikut ini berguna untuk membatasi,
mengawasi, dan mengimbangi agar inherent power presiden tak menjadi liar dan mudah
disalahgunakan.
Ketiga, harus ada syarat keseimbangan (evenwijdigheidspostulaat) antara keadaan luar
biasa dan upaya luar biasa yang ditempuh. Dengan demikian, tidak boleh, misalnya, masalah
yang sebenarnya bisa ditangani dengan UU reguler tanpa dikhawatirkan munculnya keadaan
genting yang mengancam atau terkendalanya salah satu atau lebih dari tujuh hal itu, tetapi
dijawab dengan menerbitkan perpu. Tidak boleh membunuh tikus dengan meriam.
Dalam kasus kemungkinan kekosongan kekuasaan di DIY, perpu layak diterbitkan karena
termasuk dalam keadaan yang dikhawatirkan dapat mengancam atau setidaknya membuat
terkendalanya pelaksanaan atau penegakan kekuasaan negara.
A AHSIN THOHARI Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta

Berkhas

12

Volume VI November 2008

Kompas

Selasa, 07 Oktober 2008

RUU M A Be lum Ja di D ise t uj ui
Selasa, 7 Oktober 2008 | 00:42 WIB
Jakarta, Kompas - Agenda Rapat Paripurna DPR, Senin (6/10), untuk menyetujui Rancangan
Undang-Undang Mahkamah Agung atau RUU MA menjadi UU batal. Alasannya, pimpinan
Komisi III DPR telah mengirim surat kepada pimpinan DPR mengenai belum rampungnya
pembahasan RUU itu.
Menurut Ketua DPR Agung Laksono di Jakarta, Senin, pimpinan Komisi III DPR menyatakan
pembahasan RUU itu belum selesai. Materi RUU MA masih perlu disinkronisasikan. Karena
itu, agenda rapat paripurna tidak bisa dilaksanakan. Penjadwalan berikutnya akan dilakukan
Badan Musyawarah DPR.
Agung juga membantah ada pemaksaan terkait pembahasan RUU itu. ”Kalau Komisi III DPR
belum selesai, tidak ada paripurna,” ucapnya.
Agung juga menyebutkan, soal substansi diserahkan pembahasannya kepada Komisi III. Ia
juga menyambut baik jika memang RUU MA hendak dibarengkan dengan RUU Komisi
Yudisial. Kalau bisa, memang kedua rancangan undang-undang itu disahkan bersamaan,
atau setidaknya dibahas secara simultan.
Menurut Agung, dari segi legislasi, lebih cepat RUU dibahas akan lebih baik tanpa harus
mengurangi kualitas substansinya. Perdebatan yang terjadi sekitar pembahasan RUU MA
dinilainya sebagai dinamika fraksi saja. ”Ada yang ingin dilambat-lambatkan, ada pula yang
ingin cepat-cepat,” ujarnya.
Secara terpisah, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Senin di Jakarta, menegaskan,
dari awal pemerintah beranggapan pembahasan RUU MA dilaksanakan saja secara normal
dan wajar. Jangan, misalnya, karena ada yang mau pensiun, pembahasannya harus diburuburu. ”Bukan itu dasarnya. Tetapi, kalau bisa dipercepat, mengapa diperlambat,” ujarnya.
Hatta juga menegaskan, usia pensiun hakim agung hingga 70 tahun cukup baik kalau dilihat
jangka panjang. Usulan usia pensiun itu tidak perlu dikaitkan dengan delapan hakim agung
yang akan memasuki usia pensiun tahun 2008.
Oleh karena kepentingan pemerintah adalah jangka panjang dan bukan melihat usia pensiun
beberapa hakim agung, pemerintah tidak menargetkan waktu penyelesaian RUU MA.(dik/inu)

Berkhas

13

Volume VI November 2008

Suara Pembaruan

Selasa, 07 Oktober 2008

RUU M A Pe r lu D ik a j i La gi
[JAKARTA] Batalnya pengesahan RUU Mahkamah Agung (MA) yang sedianya disahkan
pada Senin (6/10) ini, telah membuka kesempatan dilakukan pengkajian lebih mendalam lagi
atas pasal-pasal krusial di RUU tersebut yang dinilai rawan konflik dan bertentangan.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) dan Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (FPPP) menginginkan klausul tentang lingkup pengawasan serta penetapan
usia pensiun hakim agung 70 tahun harus dikaji secara cermat, transparan dan objektif
sehingga sistem kekuasaan kehakiman serta supremasi hukum Indonesia akan benar-benar
menjadi lebih lebih baik.
Kedua fraksi yang menolak keras pengesahan RUU MA pada 6 Oktober itu, menginginkan
RUU MA disahkan satu paket dengan RUU Komisi Yudisial (KY) dan RUU Mahkamah
Konstitusi (MK).
FPDI-P dalam konferensi pers Senin siang menyambut baik batalnya pengesahan RUU MA
yang semula direncanakan 6 Oktober melalui rapat paripurna DPR.
"Penyelesaian RUU MA memang tak perlu tergesa-gesa mengingat terdapat isu-isu krusial
yang harus disinkronkan terutama dengan RUU KY," kata Anggota Panja RUU MA, Eva
Kusuma Sundari didampingi Ketua DPP PDI-P Sutradara Ginting.
Untuk itu, PDIP menginginkan pasal tentang lingkup pengawasan, komposisi dewan
kehormatan termasuk penetapan usia pensiun hakim agung 70 tahun harus dikaji secara
cermat, transparan dan obyektif. Tentang usia pensiun hakim agung 70 tahun, FPDI-P
meminta tak dikaitkan pada orang per orang di MA. Apalagi memberi argumentasi yang
mentoleransi perpanjangan usia hakim agung sampai seumur hidup.
"Kalau argumentasinya seperti itu maka sudah jelas kita akan terjebak pada kepentingan
orang per orang, apalagi 12 hakim agung di MA pada November memasuki masa pensiun
semuanya. Ini menjadi tak objektif, tapi biarlah perdebatan lebih pada bagaimana
membangun sistem kekuasaan kehakiman akan benar-benar menjadi lebih baik," kata
Sutradara.
Tentang komposisi dewan kehormatan dan lingkup pengawasan hakim agung, menurut Eva,
penting untuk disinkronkan dengan RUU KY.
Senada dengan itu Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Syaifudin mengatakan, komposisi
dewan kehormatan dan ling- kup pengawasan hakim agung harus benar-benar dikaji secara
cermat jangan sampai terjadi duplikasi dan tumpang tindih dengan RUU KY.
"Jadi, tertundanya pengesahan RUU MA memberi kita kesempatan untuk benar-benar secara
serius merumuskan klausul-klausul pasal dalam RUU tersebut sehingga lembaga kekuasaan
kehakiman Indonesia benar-benar menjadi lembaga berwibawa dan dipercaya masyarakat,"
kata Lukman.
Secara terpisah, Ketua DPR Agung Laksono setuju pembahasan RUU MA harus simultan
dengan RUU KY dan MK termasuk pengesahannya harus satu paket.
"Rapat pengesahan RUU MA akan dijadwalkan kembali, dan kemungkinan digandengkan
atau disinkronkan dengan RUU KY dan MK," katanya pada wartawan di DPR Senin. [128]

Berkhas

14

Volume VI November 2008

Jurnal Nasional

Rabu, 08 Oktober 2008

Nusantara Pontianak | Rabu, 08 Okt 2008

1 5 Ca lon Ke pa la D a e r a h D e k la r a sik a n Pilk a da D a m a i
SEBANYAK lima belas calon kepala daerah, masing-masing tujuh pasangan calon wali kota
dan wakil wali kota Pontianak, serta delapan pasangan calon bupati dan wakil bupati Kubu
Raya menandatangani kesepakatan Pilkada damai di depan Taman Alun Kapuas Pontianak,
Selasa (7/10). Mereka sepakat untuk tidak menodai jalannya proses demokrasi langsung
oleh rakyat.
Kepala Kepolisian Kota Besar (Kapoltabes) Pontianak, Kombes Mochamad Son Ani meminta
kepada seluruh calon wali kota Pontianak dan bupati Kubu Raya untuk melaksanakan
tahapan Pilkada tanpa mengembuskan isu yang berbau suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
"Untuk apa kita berseteru jika hanya akan melahirkan sebuah kesia-siaan. Tidak ada
gunanya semua itu. Saling menjatuhkan, apalagi adu fisik antarsesama. Tindakan tersebut
hanya akan menimbulkan kerugian harta benda, korban waktu dan tenaga, korban uang,
bahkan dapat menimbulkan korban jiwa," ujar Kapoltabes Pontianak.
Son Ani juga memerintahkan segenap jajaran Poltabes Pontianak untuk bertindak netral
dalam mengawal jalannnya tahapan Pilkada baik di Kota Pontianak maupun di KKR. "Jika
ada anggota saya yang coba-coba bersikap tak netral, maka saya tidak akan segan-segan
memberikan sanksi sesuai aturan internal Polri," katanya.
Operasi pengamanan Pilkada, baik di Kota Pontianak maupun di KKR akan dikawal 1.500
personel gabungan Polri, TNI, dan Satpol PP. Mereka akan bertugas mengawal jalannya
tahapan Pilkada. Dari proses masa kampanye hingga pengawalan yang ketat seluruh
Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Son Ani berjanji akan memegang teguh komitmen penegakan hukum tanpa pandang bulu.
"Polri siap menegakkan hukum dan menindak siapa saja yang melakukan tindak pidana
dalam pilkada di dua daerah ini. Termasuk aparat keamanan yang tidak menjalankan fungsi
dan tugasnya secara profesional," tukasnya.
Operasi pengamanan pilkada di dua daerah di Kalbar tahun 2008 ini didukung pendanaan
APBD sebesar Rp1,4 miliar dengan perincian Rp1,1 miliar di Kota Pontianak dan Rp300 juta
untuk KKR. Sejauh ini, tahapan pertama dana tersebut baru cair sebesar Rp400 juta dan
digunakan untuk pelatihan-pelatihan pengamanan. n Andi Fachrizal

Berkhas

15

Volume VI November 2008

Kompas

Rabu, 08 Oktober 2008

Daftar Calon Sementara

Ca le g Ga nda Tunggu Kla r ifik a si Pa r pol
Rabu, 8 Oktober 2008 | 01:08 WIB
Jakarta, Kompas - Dalam Daftar Calon Sementara yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum
pada Selasa (7/10) ditemukan beberapa nama caleg yang dicalonkan di dua daerah
pemilihan atau dua parpol berbeda. Saat ini KPU masih meminta klarifikasi dari parpol untuk
dua nama caleg ganda tersebut.
Anggota KPU, Endang Sulastri, Selasa, mengatakan, sebelum Daftar Calon Sementara
(DCS) keluar, sudah ada beberapa caleg yang mengundurkan diri di salah satu daerah
pemilihan (dapil), tetapi KPU belum memprosesnya karena masih akan diklarifikasi kepada
parpol yang bersangkutan. ”Kami tidak mencoretnya, nanti parpol sendiri yang akan menarik
calegnya. Jadi nanti yang dicoret hanya nama di satu dapil,” kata Endang.
Nama caleg ganda itu seperti Indra Sahnun Lubis yang dicalonkan Partai Hanura di daerah
pemilihan Jatim IV nomor urut 2 serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (Riau I nomor
1); Eggi Sudjana yang dicalonkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP, DKI Jakarta II
nomor 3) dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Barat; Misnan Siregar
yang dicalonkan PPNUI (Sumut II nomor 1) dan Asep Ahmad Maoshul dicalonkan PKB (Jawa
Barat X nomor 1) dan PPP (Jabar XI nomor 1).
Namun, menurut Endang, apabila parpol tidak menarik nama caleg yang ganda, KPU akan
mencoret nama caleg di kedua dapil. ”Saya sudah serahkan surat pengunduran diri beberapa
caleg kepada Pokja Pencalonan Setjen KPU untuk segera diproses,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay mengatakan, sebaiknya KPU
langsung mencoret nama caleg yang ganda di dua dapil, tanpa harus mengklarifikasi kepada
parpol. ”Inilah kekeliruan KPU, yang tidak cermat dalam meneliti DCS. Tak mungkin caleg itu
tidak tahu kalau dicalonkan di dua dapil. Jadi memang ada unsur kesengajaan untuk
memanfaatkan peluang,” kata Hadar. (SIE)

Berkhas

16

Volume VI November 2008

Kompas

Rabu, 08 Oktober 2008

KPU Terima Pengaduan

D i Sum se l, Tiga Ca le g D ila por k a n Pa k a i I j a z a h Pa lsu
Rabu, 8 Oktober 2008 | 01:10 WIB
Palembang, Kompas - Komisi Pemilihan Umum atau KPU Provinsi Sumatera Selatan
menerima laporan ijazah palsu yang digunakan tiga calon anggota DPRD Sumsel. Jumlah
calon anggota legislatif atau caleg untuk DPRD Sumsel yang sudah menyerahkan berkas ke
KPU Sumsel sebanyak 1.271 orang.
KPU Sumsel juga belum melakukan rapat pleno untuk menentukan Daftar Calon Sementara
(DCS) Sumsel. Rencana rapat pleno, Selasa (7/10), batal sehingga pengumuman DCS
belum terlaksana.
Anggota KPU Sumsel, Alfian Toni, Selasa, menuturkan, laporan ijazah palsu itu berasal dari
masyarakat. Namun, ia menolak menjelaskan identitas orang yang memberikan laporan
mengenai dugaan pemakaian ijazah palsu tersebut.
Menurut Alfian, anggota KPU Sumsel belum bisa memutuskan terkait laporan penggunaan
ijazah palsu itu. KPU Sumsel harus melakukan sidang pleno terlebih dahulu, lalu melakukan
verifikasi lapangan.
”Selain penggunaan ijazah palsu, penyebab lain yang bisa menyebabkan caleg tidak lolos
adalah tak adanya legalisir dari sekolah atau perguruan tinggi dalam berkas caleg. Selain itu,
karena berkas tidak dilengkapi surat keterangan catatan kepolisian dan persyaratan
administrasi lainnya,” katanya.
Dari Kalimantan Tengah, KPU Kabupaten Seruyan mengecek tiga caleg untuk DPRD
Seruyan yang diduga tidak memiliki ijazah SMA dan terlibat penggelapan mobil dinas. Di
tingkat KPU Kalteng belum ada laporan terkait pengumuman DCS.
Anggota KPU Kalteng, Awongganda W Linjar di Palangkaraya, Selasa, menuturkan, ia
mendapat surat tembusan adanya pengaduan warga terhadap tiga caleg di Seruyan. Namun,
belum ada pengaduan terkait caleg untuk DPRD Kalteng.
Menurut Awongganda, minimnya masukan masyarakat terhadap DCS mungkin diakibatkan
tidak meratanya sebaran media massa yang memuat DCS hingga ke pedalaman.
Kuota perempuan
Dari Samarinda, Kalimantan Timur, dilaporkan, sembilan dari 38 partai politik di kota itu tak
bisa memenuhi kuota 30 persen keterwakilan perempuan sebagai calon anggota DPRD Kota
Samarinda. ”Meski melanggar aturan, tetapi tak ada sanksinya, mungkin sekadar sanksi
sosial,” kata anggota KPU Samarinda, Andi Sunandar, Selasa.
Kondisi yang sama terjadi pada sejumlah partai di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Menurut Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan Kabupaten
Magelang Mujadin Putu Murja, Selasa, minat kader perempuan untuk menjadi caleg rendah.
Di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pun beberapa partai kesulitan mendapatkan bakal caleg
dari kaum perempuan. Dari 36 partai di kabupaten itu, 23 partai tidak memenuhi kuota 30
persen keterwakilan perempuan.(apo/bro/cas/egi/eki/wad/wie)

Berkhas

17

Volume VI November 2008

Kompas

Rabu, 08 Oktober 2008

Sy a r a t 8 1 Ca le g D PRD D KI Be r m a sa la h
Rabu, 8 Oktober 2008 | 01:52 WIB
Jakarta, Kompas - Lingkar Madani untuk Indonesia Jakarta Raya mengadukan 81 nama
calon anggota legislatif atau caleg DPRD DKI Jakarta ke Panitia Pengawas Pemilu DKI
Jakarta.
Ke-81 caleg dari 2.283 caleg untuk DPRD DKI Jakarta tersebut diindikasikan memiliki
persyaratan administrasi yang tidak lengkap, tidak benar, dan tidak sah.
Pengaduan tersebut disampaikan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Jakarta
Raya Said Salahudin kepada Ketua Panwaslu DKI Jakarta Ramdansyah di Jakarta, Selasa
(7/10). Panwaslu dan KPU DKI Jakarta diminta untuk meneliti ulang dokumen para caleg
bermasalah itu saat mencalonkan.
Ke-81 caleg bermasalah itu terdiri dari empat caleg yang diduga tidak menggunakan nama
sesuai dengan identitas diri yang sah, enam caleg diindikasikan menggunakan ijazah palsu,
dan empat caleg pernah menjadi narapidana dengan ancaman hukuman lebih dari lima
tahun.
Sisanya, sebanyak 67 caleg memiliki masalah dalam status pencalonannya karena terdaftar
lebih dari satu partai politik, lebih dari satu daerah pemilihan, maupun mendaftar untuk lebih
dari satu lembaga perwakilan. KPU dan Panwaslu harus segera mengklarifikasi apakah
nama-nama yang sama tersebut memang orang yang berbeda atau orang yang sama.
Said menambahkan, pengumuman daftar caleg sementara (DCS) oleh KPU DKI Jakarta di
salah satu media cetak lokal, yang hanya mencantumkan nama dan jenis kelamin caleg,
menyulitkan masyarakat untuk memberikan tanggapan. Meskipun tidak mencantumkan foto
diri caleg, KPU seharusnya menyertakan data umur, pendidikan, dan pekerjaan caleg.
”Dengan pencantuman data identitas diri, publik menjadi lebih mudah menelusuri jejak rekam
caleg. Terlebih lagi, banyak caleg memiliki nama sama,” tambahnya.
Ramdansyah mengatakan, Panwaslu akan menelusuri caleg-caleg bermasalah pada Pemilu
2004 yang kini mencalonkan kembali sebagai caleg dari partai politik berbeda atau untuk
lembaga perwakilan berbeda.
Sementara itu, caleg yang tidak bermasalah akan diuji dengan menggunakan sampel. Jika
ditemukan caleg bermasalah leb