Institusi-Maret 2008

VOLUME VI MARET 2008

INSTITUSI

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari
berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal
penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka
saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situssitus suratkabar, majalah, serta situs berita lainnya.
Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas
diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam
pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap
penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.
Untuk memperluas area distribusi, Berkhas diterbitkan melalui 2 (dua) macam media
yaitu media cetakan (hardcopy) serta media online berupa pdf file yang dapat diakses
melalui situs web Akatiga (www.akatiga.or.id).

D a ft a r I si
Pertanyakan Parpol di DPR Otomatis Ikut Pemilu 2009 ----------------------------------------

1


Komisi Pemerintahan Dalam Negeri Segera Revisi UU Otonomi ----------------------------

3

UU Pemilu Dari Partai untuk Partai? ------------------------------------------------------------------

4

(Tak) Berharap pada UU Pemilu -----------------------------------------------------------------------

6

"Smart Card" dan Pemiskinan Rakyat ----------------------------------------------------------------

8

Hari Ini, "Voting" RUU Pemilu--------------------------------------------------------------------------- 10
Lima Cagub Bakal Bersaing dalam Pilkada NTT -------------------------------------------------- 12
Paripurna RUU Pemilu Alot------------------------------------------------------------------------------ 13
Parpol Baru, buat Elite atau Rakyat? ----------------------------------------------------------------- 15

Pilkada Maluku, Para Raja Diminta Tak Berpihak ------------------------------------------------ 18
UU Pemilu Bakal Menuai "Judicial Review"--------------------------------------------------------- 19
DPD Setujui Materi Tambahan Revisi UU Pemda ------------------------------------------------ 21
UU Pemilu Akhirnya Disahkan-------------------------------------------------------------------------- 22
Drama Paripurna RUU Pemilu-------------------------------------------------------------------------- 23
Presiden Yakin Angka Kemiskinan Menurun ------------------------------------------------------- 25
Segera Tuntaskan UU Pengadilan Tipikor ---------------------------------------------------------- 27
Mengobral Janji Politik ------------------------------------------------------------------------------------ 29
Yang Tersisa di Balik Pengesahan UU Pemilu ---------------------------------------------------- 32
DPRD DIY Tak Anggarkan Pilkada ------------------------------------------------------------------- 35
Kemiskinan Bukan Diperdebatkan--------------------------------------------------------------------- 36
UU Pemilu 2009 Paling Kompromistis---------------------------------------------------------------- 37
Hegemoni Partai Politik ----------------------------------------------------------------------------------- 38
Menjadi Pemilih Kritis ------------------------------------------------------------------------------------- 40
Papua Barat Diakomodasi dalam Revisi UU Otsus----------------------------------------------- 42
UU Otsus Papua Harus Ditinjau Ulang --------------------------------------------------------------- 43
Kebijakan Publik Pro-"Poor" ----------------------------------------------------------------------------- 44
Pilkada Lebak, Incumbent Didukung Parpol Besar ----------------------------------------------- 47
Parpol Harus Bekerja Keras----------------------------------------------------------------------------- 48
PP No.2/2008 lebih banyak menuai rugi ------------------------------------------------------------- 52

Dosa Politik(us) --------------------------------------------------------------------------------------------- 53
Pengentasan Kemiskinan bukan Barang Dagangan --------------------------------------------- 56
Peluang Capres 2009 ------------------------------------------------------------------------------------- 57

Jadwal Pilkada Sumsel Belum Ditentukan ---------------------------------------------------------- 60
Pilgub, Wahana Menyejahterakan Masyarakat ---------------------------------------------------- 61
Dua UU Terkait Pemilu Tidak Sinkron ---------------------------------------------------------------- 62
Revisi UU Pemda Dikebut ------------------------------------------------------------------------------- 63
Konsolidasi Demokrasi ----------------------------------------------------------------------------------- 64
Pilkada Sumsel Tanpa Tanpa Quick Count --------------------------------------------------------- 67
Rumusan Baru Kriteria Kemiskinan ------------------------------------------------------------------- 68
Sekali Lagi tentang PP No. 2/2008 -------------------------------------------------------------------- 70
Kemenangan Perempuan dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung --------------------- 72
Pelestarian Hutan Diminati Berbagai Kelompok --------------------------------------------------- 74
Misi dan Visi Calon Presiden Harus Dapat Diukur ------------------------------------------------ 76
Lima Daerah Serentak Pilkada di Sulawesi Selatan---------------------------------------------- 78
Puluhan Pengacara Desak Pencabutan PP No2/2008 ------------------------------------------ 79
Otsus Gagal Lindungi Rakyat Papua ----------------------------------------------------------------- 80
Politik tanpa Imajinasi ------------------------------------------------------------------------------------- 81
Kandidat Pilkada Jateng Terus Bermunculan ------------------------------------------------------ 83

Putusan PK dan Pilkada Sulsel ------------------------------------------------------------------------ 84
Menyoal Kemiskinan di Jabar--------------------------------------------------------------------------- 86
Bila Perppu Papua Barat Diterbitkan ----------------------------------------------------------------- 89
LSI Prediksi Golput Pilkada Jabar Tinggi ------------------------------------------------------------ 91
RUU AP Perlu Segera Disahkan ----------------------------------------------------------------------- 92
Kampanye dan Pesta Rakyat --------------------------------------------------------------------------- 93
Agenda Pembenahan Regulasi Otda 2008 --------------------------------------------------------- 96
Tetapkan Pilkada Malut----------------------------------------------------------------------------------- 98
Amerika "Intip" Pilkada Jabar --------------------------------------------------------------------------- 99
Ayat-ayat Pilkada -------------------------------------------------------------------------------------------100

Suara Pembaruan

Sabtu, 01 Maret 2008

Pe r t a n y a k a n Pa r pol di D PR Ot om a t is I k u t Pe m ilu
2009
Parpol Baru Ancam Gugat ke MK
[JAKARTA] Partai politik (parpol) baru akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar
membatalkan UU Pemilu yang baru. Pasalnya, dalam RUU Pemilu yang baru, salah satu

isinya menetapkan parpol yang tidak lolos ketentuan Electoral Threshold (ET) tiga persen
pada Pemilu 2004 namun memiliki kursi di DPR, otomatis menjadi peserta Pemilu 2009.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Kristen Demokrat (PKD)
Tommy Sihotang, dan Sekjen DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerinra) A Muzani, di
Jakarta, Jumat (29/2) malam.
Menurut Tommy, apa yang diputuskan DPR terkait dengan lolosnya partai-partai kecil itu
telah menzalimi demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia. DPR seharusnya
memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. "Kenyataannya DPR sudah
membuat keputusan yang mencederai demokrasi itu sendiri," katanya.
Dia menjelaskan, jika memang itu diberlakukan, seharusnya parpol-parpol baru yang lolos
verifikasi, administrasi, dan mendapat status badan hukum dari Departemen Hukum dan
HAM, otomatis juga harus menjadi peserta pemilu 2009 tanpa harus melalui verifikasi faktual
oleh KPU. "Prinsipnya parpol baru dan parpol lama sama-sama berbadan hukum. Jadi kami
meminta hak yang sama pula," tambah Tommy.
Jika nantinya parpol baru yang sudah berbadan hukum tetapi tidak otomatis menjadi peserta
Pemilu 2009, PKD akan memelopori parpol-parpol baru menggugat ke MK, agar
membatalkan UU Pemilu yang baru.
Senada dengan itu, A Muzani, juga mendukung langkah PKD untuk menggugat ke MK. "Kami
akan berkoordinasi dengan parpol-parpol baru untuk menggagalkan keputusan tersebut," ujar
Muzani.

Dia menilai, keputusan yang diambil DPR itu merupakan langkah mundur, karena tidak
konsisten menjalankan UU yang mereka buat sendiri. Seharusnya DPR lebih bijak dalam
mengambil keputusan. Apalagi MK sudah menolak gugatan parpol-parpol kecil tentang ET 3
persen.
Sementara itu, sejumlah parpol yang memperoleh kursi di DPR, dan dipastikan ikut Pemilu
2009 meskipun tidak lolos ET 3 persen, berencana mencabut berkas-berkas partainya yang
akan diverifikasi Depkumham. Salah satunya adalah Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB).
Mereka menyatakan siap mencabut berkas pendaftaran maupun penyerahan kelengkapan
syarat verifikasi di Depkumham, terkait dengan telah disepakatinya di tingkat lobi fraksi di
DPR, bahwa mereka menjadi peserta Pemilu 2009.
Meski demikian, PKPB masih menunggu pengesahan resmi RUU Pemilu di DPR. "Kami siap
menarik pendaftaran baru PKPB untuk dimintakan status badan hukum di Depkumham.
Secara lisan kami sudah menyampaikan soal itu ke Depkumham. Tinggal menunggu ketok
palu di DPR. Jika seperti itu keputusannya, kami akan langsung tarik pendaftaran. Jika tidak
pun, kami siap untuk diverifikasi," ujar Sekjen PKPB Mayjen Marinir (Purn) Hartarto.
Sebagai informasi, PKPB sempat mendaftar ulang ke Depkumham, dengan berganti nama
menjadi Partai Karya Pembangunan Bangsa. Sebab, pada Pemilu 2004, PKPB tidak lolos ET
3 persen.

Berkhas


1

Volume VI Maret 2008

Suara Pembaruan

Sabtu, 01 Maret 2008

Selain PKPB, ungkapnya, Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan Partai Bintang
Reformasi (PBR) juga akan mencabut berkas verifikasi.
"Dagang Sapi"
Secara terpisah, pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin
Haris menduga ada intervensi dari pemerintah, sehingga proses voting atas RUU Pemilu
gagal dilakukan pada Kamis (28/2) lalu. Dia menilai, tidak ada alasan yang kuat terkait
penundaan itu.
Menurut dia, pernyataan Bung Hatta puluhan tahun lalu seperti mendapatkan bukti, yakni,
"Jangan sampai parpol menjadi tujuan dan negara menjadi alatnya". Kepentingan parpol
terasa lebih kuat dibanding kepentingan bangsa dan negara.
Sementara Ketua Partai Hanura, Fuad Bawazier menduga ada politik "dagang sapi" dalam

penundaan pengesahan RUU Pemilu tersebut, terutama dengan memasukkan 10 parpol
yang tidak lolos ET sebagai peserta Pemilu 2009. Kecaman senada dikemukakan Ketua
Umum Partai Pemuda Indonesia Hasanuddin Yusuf, yang menilai DPR tidak lagi peka
dengan aspirasi rakyat.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irmadi Lubis juga berpendapat, semangat
efisiensi tidak tampak dalam pembahasan RUU Pemilu. Dikhawatirkan, RUU itu kualitasnya
tidak lebih baik dari UU Pemilu yang lama.
"Yang terjadi kan 'dagang sapi', sehingga lebih banyak kepentingan antarpartai di DPR. Ini
membuat masyarakat semakin skeptis, semakin kehilangan kepercayaan terhadap lembaga
DPR," katanya.
Dia mengakui, DPD sebagai peserta pemilu perorangan mempelajari berbagai kemungkinan
termasuk kemungkinan untuk mengajukan uji materi ke MK.
Menyikapi alotnya proses di DPR, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa berharap
pengambilan keputusan terhadap sejumlah pasal krusial dalam RUU Pemilu tidak dilakukan
melalui voting. Sedapat mungkin pengambilan keputusan itu dilakukan melalui musyawarah.
[M-16/M-17/Y-3/A-21/L-10]

Berkhas

2


Volume VI Maret 2008

Jurnal Nasional

Senin, 03 Maret 2008

Kom isi Pe m e r in t a h a n D a la m N e ge r i Se ge r a Re v isi
U U Ot on om i
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Chozin Chumaidy mengungkapkan,
komisi DPR yang membidangi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara,
dan agraria tersebut akan segera menyelesaikan revisi Undang-Undang (UU) 32/2004
tentang Pemerintahan Daerah. Menurut politikus Partai Persatuan Pembangunan itu, tiga hal
utama akan menjadi fokus dalam revisi UU 32/2004.
Pertama, untuk memberikan payung hukum bagi calon perseorangan dalam pemilihan kepala
daerah atau pilkada. Kedua, mengisi kekosongan hukum UU 32/2004 tersebut, seperti
pengisian kekosongan wakil kepala daerah. "Saat ini, terdapat delapan wakil kepala daerah
yang kosong karena menggantikan posisi kepala daerah yang meninggal atau berhenti," ujar
Chozin kepada Jurnal Nasional, Ahad (3/2).
Ketiga, pengaturan pilkada agar lebih jujur dan adil. Dengan ketentuan bahwa incumbent

harus mengundurkan diri sejak pendaftaran, jika yang bersangkutan mencalonkan lagi
sebagai kepala daerah. Menurut Chozin, hal ini perlu diatur agar ada fairness dalam
pelaksanaan pilkada dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Abdul Razak

Berkhas

3

Volume VI Maret 2008

Kompas

Senin, 03 Maret 2008

U U Pe m ilu D a r i Pa r t a i u n t u k Pa r t a i?
Syamsuddin Haris
Jika tidak ada aral melintang, RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD akan disahkan dalam
Rapat Paripurna DPR hari Senin ini. Masih adakah harapan rakyat bagi terwujudnya
perubahan dalam desain undang-undang yang baru?

Setelah berbulan-bulan disiapkan pemerintah dan berbulan-bulan pula dibahas oleh Panitia
Khusus DPR, kita tampaknya harus siap menerima kenyataan bahwa tak banyak yang baru
dalam UU Pemilu Legislatif 2009 ini. Perubahan yang cukup positif barangkali hanya
berkaitan dengan cara pemberian suara yang amat primitif, yakni mencoblos dengan paku,
yang diubah menjadi menandai atau mencontreng dengan alat tulis.
Perubahan-perubahan selebihnya, seperti tercermin dari hasil 22 kali negosiasi dan lobi
antarfraksi di berbagai hotel berbintang di seputar Jakarta, terkait tarik-menarik kepentingan
partai besar, menengah, dan partai kecil yang relatif tidak memiliki dampak langsung bagi
peningkatan kualitas representasi di satu pihak, dan kualitas akuntabilitas para wakil di lain
pihak.
Transaksi kepentingan
Sebenarnya ada semangat perubahan di balik beberapa isu krusial yang telah disepakati
partai-partai, seperti besaran daerah pemilihan. Besaran daerah pemilihan dengan alokasi 310 kursi merupakan langkah maju dibandingkan 3-12 kursi seperti pemilu sebelumnya karena
akan berimplikasi pada berkurangnya jumlah partai yang memperoleh kursi di DPR. Dengan
demikian, fragmentasi partai di DPR sedikit berkurang sehingga pemerintahan yang lebih
efektif dapat diwujudkan.
Namun, sayangnya langkah maju tersebut harus ”tercederai” oleh kesepakatan lain, yakni
membolehkan semua partai yang memperoleh kursi DPR hasil Pemilu 2004—meskipun
gagal mencapai electoral threshold 3 persen—untuk langsung ikut Pemilu 2009. Partai-partai
mementahkan kembali kesepakatan yang telah tercantum dalam UU No 12 Tahun 2003 demi
transaksi atau pertukaran kepentingan di antara para politisi partai itu sendiri.
Negosiasi, lobi, dan pertukaran kepentingan di antara para politisi sebenarnya wajar dan sahsah saja di dalam sistem demokrasi. Akan tetapi, jika transaksi kepentingan itu berorientasi
jangka pendek, yakni semata-mata demi pembagian kekuasaan di antara partai-partai, tentu
patut menjadi keprihatinan kita bersama. Persoalannya, rakyat dan bangsa ini sudah terlalu
lelah dengan perilaku para politisi partai yang terlalu sibuk ”berpolitik” sehingga lupa dengan
mandatnya memperjuangkan kepentingan rakyat.
Isu krusial yang tersisa
Mengenai dua isu krusial yang belum disepakati, yakni penghitungan sisa suara dan
penentuan calon terpilih, semestinya para politisi partai berpegang pengurangan distorsi yang
ada pada UU No 12 Tahun 2003. Seperti diketahui, salah satu distorsi itu adalah
terabaikannya prinsip proporsionalitas ketika perolehan suara diterjemahkan ke kursi legislatif
sehingga terjadi kesenjangan besar antara perolehan suara dan perolehan kursi. Terlepas
dari siapa atau partai apa yang diuntungkan, dan sebaliknya dirugikan, prinsip
proporsionalitas tersebut hendaknya menjadi dasar kesepakatan partai-partai.

Berkhas

4

Volume VI Maret 2008

Kompas

Senin, 03 Maret 2008

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan kualitas representasi dan kedaulatan rakyat,
penentuan calon terpilih tahap pertama dengan BPP (bilangan pembagi pemilihan) 30 persen
yang diikuti tahap kedua atas dasar suara terbanyak jelas lebih maju ketimbang atas dasar
nomor urut. Partai-partai yang masih mempertahankan nomor urut sudah saatnya berkorban,
bukan untuk partai-partai yang berbeda pandangan, melainkan terutama untuk demokrasi
yang berkedaulatan rakyat.
Apabila prinsip proporsionalitas, representasi, dan kedaulatan rakyat sejak awal menjadi
dasar kesepakatan partai-partai dalam membahas RUU Pemilu, sebenarnya tidak perlu
waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikannya. Selain itu, dana yang dikeluarkan untuk
membiayai 22 kali negosiasi dan lobi di hotel berbintang tentu bisa dialokasikan, misalnya,
untuk nasi bungkus para pengungsi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Langkah mundur
Beberapa isu lain yang terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
kesepakatan partai-partai dalam RUU Pemilu ini dapat dikatakan cenderung mundur
dibandingkan UU No 12 Tahun 2003 yang digantikannya. Sebagai wakil daerah, setiap calon
anggota DPD semestinya berdomisili di daerah pemilihannya, tetapi kini persyaratan domisili
ditiadakan. Begitu pula hakikat peserta pemilihan DPD yang semestinya bersifat
perseorangan, kini melalui RUU Pemilu para pengurus partai politik dibolehkan turut serta
dalam pencalonan DPD. Padahal, Pasal 22E Ayat 4 UUD 1945 hasil perubahan ketiga
secara eksplisit mengamanatkan, ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Daerah adalah perseorangan.”
Persyaratan domisili jelas sangat penting bagi para wakil daerah agar DPD tidak dikuasai
oleh para elite politik Jakarta yang tiba-tiba memiliki komitmen untuk memberdayakan
daerah. Selain itu, persyaratan domisili tetap diperlukan agar DPD kembali ke fitrahnya
sebagai representasi daerah-daerah yang lebih banyak bekerja di daerah ketimbang di
Jakarta. Di sisi lain, pemberian kesempatan bagi pengurus partai politik untuk turut serta
dalam pemilihan DPD bukan hanya bertentangan dengan amanat konstitusi, tetapi juga
semakin mengaburkan esensi DPD sebagai wakil daerah secara perseorangan.
Langkah mundur RUU Pemilu ini patut menjadi keprihatinan kita jika benar sinyalemen
bahwa perubahan itu dilatarbelakangi kehendak para politisi partai untuk merebut kursi DPD
jika gagal menjadi calon dengan posisi signifikan dalam pemilihan DPR. Lalu, apa jadinya
bangsa ini kalau revisi undang-undang pemilu dilakukan sekadar untuk memenuhi syahwat
kekuasaan para politisi partai?
Semoga saja situasi yang dialami bangsa kita dewasa ini tidak mengarah pada kekhawatiran
Bung Hatta tatkala mengkritisi partai-partai, yakni situasi ketika ”partai dijadikan tujuan dan
negara menjadi alatnya”.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI

Berkhas

5

Volume VI Maret 2008

Kompas

Senin, 03 Maret 2008

( Ta k ) Be r h a r a p pa da U U Pe m ilu
M Qodari
Pasca-Pemilu 2004, apa kelemahan utama sistem politik dan sistem pemilu Indonesia yang
dapat diidentifikasi?
Pertama, pemerintahan yang kurang efektif. Kedua, kinerja partai, politisi, dan anggota
parlemen yang kurang memuaskan masyarakat. Kedua soal inilah yang seharusnya ada di
kepala Panitia Khusus UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang baru saat mereka membahas
RUU itu.
Beberapa poin yang krusial dan menjadi perdebatan antar- fraksi di DPR telah disepakati,
antara lain: pertama, soal jumlah anggota DPR (maksimal 560 orang); kedua, alokasi kursi
tiap daerah pemilihan (3-10 kursi); ketiga, pembatasan peserta pemilu (electoral threshold
atau ET 3 persen dan parliamentary threshold atau PT 2,5 persen); dan keempat, cara
pemberian suara dengan memberi tanda.
Sementara itu, beberapa poin krusial yang belum disepakati mencakup: pertama,
penghitungan sisa suara (apakah tuntas di daerah pemilihan atau dibawa ke provinsi).
Kedua, penentuan calon anggota legislatif terpilih (disepakati yang perolehan suaranya di
atas 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih langsung terpilih, tetapi jika ada lebih dari satu
orang yang perolehannya di atas 30 persen menjadi soal apakah yang menentukan adalah
nomor urut atau suara terbanyak).
Upaya mengefektifkan sistem pemerintahan membutuhkan banyak variabel. Di satu sisi,
pucuk pimpinan pemerintahan (presiden) harus tegas dan pandai menggalang dukungan
partai- partai di parlemen. Di sisi lain, jumlah partai politik di parlemen perlu disederhanakan.
Lebih ideal jika partainya presiden menjadi partai terbesar di parlemen. Dengan kondisi ini,
diasumsikan keputusan politik lebih mudah dicapai dan didukung parlemen.
Penyederhanaan partai
Kesatuan antara partai pemenang pemilu presiden dan partai pemenang pemilu legislatif
lebih bisa dipastikan bila pelaksanaan pemilu presiden didahulukan dari pemilu legislatif.
Sekuen ini akan memberi dampak ”gerbong kereta” (bandwagon effect) pada pemilih.
Sayang, opsi ini tidak didukung mayoritas partai di DPR sehingga kandas di jalan.
Opsi yang dipilih DPR untuk membangun pemerintahan yang lebih efektif adalah dengan
menyederhanakan sistem kepartaian. Ada dua cara penyederhanaan: pertama, dengan ET 3
persen dan PT 2,5 persen (ET adalah batas perolehan suara untuk bisa otomatis ikut pemilu
berikutnya, sementara PT adalah batas perolehan kursi untuk bisa mengirimkan wakil di DPR
pusat). Kedua, dengan mengecilkan jumlah kursi per daerah pemilihan (dapil) dari
sebelumnya 3-12 menjadi 3-10 kursi per daerah pemilihan.
Namun, ET dan PT dalam UU pemilu baru tampaknya sulit menjamin penyederhanaan
jumlah partai di Indonesia, baik untuk Pemilu 2009 maupun sesudahnya. Mengapa?
Pertama, selain tujuh besar Pemilu 2004 relatif sudah mapan, partai-partai non-ET 2004
seperti PBB, PDS, dan lainnya punya infrastruktur relatif lengkap di Nusantara.

Berkhas

6

Volume VI Maret 2008

Kompas

Senin, 03 Maret 2008

Partai-partai non-ET tetapi punya kursi di DPR juga amat terbantu oleh pasal peralihan dalam
UU pemilu baru yang memungkinkan mereka otomatis ikut Pemilu 2009 tanpa harus ”ganti
baju”. Jadi, mereka tidak harus memulai sosialisasi nama dan tanda gambar dari nol. PascaPemilu 2009, upaya penyederhanaan kepartaian sulit terwujud karena PT tidak diberlakukan
untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Artinya, meski tidak punya kursi di parlemen pusat,
partai-partai ini tetap punya kursi di parlemen daerah. Kursi di daerah ini akan menjadi
”ventilator” yang memperpanjang usia partai-partai gurem.
Kedua, penyederhanaan lewat penciutan jumlah kursi di dapil tampaknya juga sulit terwujud.
Memang jumlah kursi per dapil turun dari 3-12 ke 3-10. Penurunan ini diduga tidak terlalu
signifikan untuk menurunkan jumlah partai peraih kursi di DPR/DPRD. Dengan perubahan ini,
terjadi pergeseran dapil 2004 ke 2009 yang menimbulkan masalah akuntabilitas politik caleg
terpilih Pemilu 2004 terhadap konstituennya di dapil lama.
Banyak variabel
Soal memperbaiki kinerja partai politik, politisi, dan anggota legislatif, banyak variabel yang
memengaruhi. UU Partai Politik yang sudah disahkan tidak menjamin. Memang UU itu lebih
merinci tugas dan fungsi parpol, khususnya dalam pendidikan politik dan perekrutan politik.
Namun, semua tugas dan perincian di UU No 2/2008 bersifat amat normatif sehingga harus
kembali pada pengurus partai, caleg, dan UU lain untuk memperkuatnya.
Sayang, UU Pemilu baru tidak mengompensasi kelemahan UU No 2/2003. Aturan penetapan
calon anggota legislatif (caleg) terpilih, misalnya, mengharuskan caleg meraih minimal 30
persen BPP menurut simulasi Center for Electoral Reform (Cetro) membuat mayoritas
anggota DPR/D mungkin akan terpilih melalui mekanisme nomor urut. Ini tidak jauh berbeda
dengan mekanisme Pemilu 2004 yang mensyaratkan 100 persen BPP agar caleg otomatis
lolos ke parlemen.
Jika mekanisme ini yang berlaku, mayoritas caleg akan bere- but mencari perhatian elite
pimpinan partai ketimbang turun ke pemilih karena nasib mereka lebih ditentukan nomor urut
dalam surat suara ketimbang jumlah dukungan mereka di masyarakat.
Hal lain, rencana perubahan cara memilih dari mencoblos ke memberi tanda berisiko
menambah suara rusak meskipun dapat menghemat anggaran pemilu.
M Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta

Berkhas

7

Volume VI Maret 2008

Kompas

Senin, 03 Maret 2008

" Sm a r t Ca r d" da n Pe m isk in a n Ra k y a t
Ilyani S Andang
Rencana pemerintah membatasi pembelian premium dengan smart card sekali lagi
merupakan pukulan bagi konsumen. Setelah kenaikan harga BBM tahun 2005 yang
berdampak kian beratnya biaya hidup, pemerintah merencanakan ”pemaksaan pembelian
BBM tanpa subsidi”.
Meski keputusan ini untuk mobil pribadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi
(Jabodetabek), akhirnya rakyat juga yang menderita. Dapat saja kebijakan itu ”dianggap”
tidak berkaitan dengan masyarakat miskin karena masyarakat miskin sudah tidak punya daya
beli. Kelas menengah yang masih mempunyai daya beli kian diturunkan tingkat
kesejahteraannya dengan pembatasan subsidi BBM itu.
Ini sungguh berbanding terbalik dengan peningkatan kesejahteraan yang didapat para
anggota DPR, pihak eksekutif, dan yudikatif. Tidak terlihat sensitivitas untuk
”mengencangkan” ikat pinggang di kalangan para pejabat itu.
Dengan beban biaya hidup yang kini kian tinggi, pembatasan premium akan semakin
menambah biaya hidup konsumen. Pada data Indeks Tendensi Konsumen (ITK), yaitu survei
rumah tangga berpendapatan menengah ke atas di Jabodetabek oleh BPS, tahun 2006 saja
menunjukkan, pada triwulan III tahun 2006 nilai indeks konsumsi transportasi konsumen
semakin tinggi (138,18).
Biaya transportasi masyarakat Jakarta pada 2003 sudah mencapai 30 persen dari
penghasilan (sumber: Center for Indonesian Regional & Urban Studies/ CIRUS). Ini sudah
jauh dari angka ideal, yaitu 10-15 persen.
Sementara kondisi tabungan rumah tangga menurun secara signifikan dengan indeks 60,11.
Penurunan ini terjadi karena semakin tingginya biaya yang dikeluarkan untuk transportasi.
Angkutan umum minim
Bagaimana dengan kendaraan umum? Daya dukung transportasi umum tidak dapat
memenuhi kebutuhan konsumen Jabodetabek. Utamanya masyarakat yang datang ke
Jakarta dari wilayah Bodetabek pada siang hari yang mencapai 6-7 juta orang, sementara
daya dukung angkutan umum hanya 20 persen untuk bus kota dan 2 persen untuk kereta api
(sumber CIRUS).
Bahkan, 2 persen untuk kereta api itu dapat dilihat dalam kondisi yang amat tidak aman
karena pada jam sibuk pagi dan sore hari, konsumen amat padat hingga ke atap kereta api.
Inikah potret yang diharapkan pemerintah dialihkan ke pelayanan transportasi publik?
Menghadapi risiko kematian, pelecehan seksual, kecopetan, dan terpapar polusi yang parah
di transportasi publik?
Sementara untuk wilayah seputar Jakarta yang telah dilayani busway, berapa persen daya
dukung busway berhadapan dengan kebutuhan konsumen? Kini, kapasitas busway baru
mencakup 210.000 penumpang per hari. Amat tidak memadai dalam mengangkut kebutuhan
jutaan konsumen yang membutuhkan angkutan di Jakarta per harinya.
Perkiraan CIRUS, pada tahun 2007 jumlah perjalanan di Jakarta mencapai 17,5 juta per hari.
Jadi, dari data ini menunjukkan, busway tidak cukup mampu menjadi angkutan massal
kebutuhan penduduk Jakarta.

Berkhas

8

Volume VI Maret 2008

Kompas

Senin, 03 Maret 2008

Memiskinkan rakyat
Jadi, pembatasan premium akan kian memiskinkan rakyat. Kebutuhan hidup akan kian
membengkak. Padahal, masyarakat sudah amat terbebani tingginya biaya kebutuhan pokok.
Tahun 2006, kenaikan harga beras mencapai 25 persen, harga minyak goreng naik
mencapai 60 persen (sumber BPS). Data BPS DKI Jakarta 2006 menyebutkan, masyarakat
telah terbebani biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi. Tahun 2006 pengeluaran
masyarakat DKI untuk pendidikan naik 21 persen dan untuk kesehatan naik 8,5 persen.
Perlu diingat, masyarakat kelas menengah bukan masyarakat yang disubsidi untuk
pendidikan dan kesehatan. Apakah pemerintah berniat menurunkan taraf kehidupan kelas
menengah menjadi masyarakat miskin sehingga mereka berhak mendapat subsidi? Jika
begitu, apa arti tugas pemerintah untuk menyejahterakan rakyat? Jika terjadi defisit APBN,
tidak adakah cara yang lebih cerdas bagi pemerintah untuk mengatasi masalah yang
dihadapi tanpa membebani rakyat? Bagaimana dengan dana kasus BLBI dan koruptor
lainnya?
Akan tetapi, jika defisit APBN sudah demikian parah, tidakkah penghematan dilakukan lebih
dulu oleh para pejabat? Berilah contoh terbaik lebih dulu, setelah itu mungkin rakyat masih
mau berkorban.
Ilyani S Andang Peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)

Berkhas

9

Volume VI Maret 2008

Pikiran Rakyat

Senin, 03 Maret 2008

H a r i I n i, " V ot in g" RU U Pe m ilu
GARUT, (PR).Perbedaan pandangan antarfraksi di DPR tentang Rancangan Undang-Undang (RUU)
Pemilu untuk merevisi UU No. 12/2003 tentang Pemilu akan diselesaikan melalui voting
dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (3/3) ini. Setelah voting dilaksanakan, diharapkan
RUU tersebut bisa disahkan menjadi UU.
Demikian dikemukakan anggota DPR RI Dr. Mohammad Mahfud M.D. kepada wartawan di
sela-sela kegiatan "Sosialisasi Putusan MPR RI" di Gedung Pendopo Garut, Sabtu (1/3) sore.
"Besok Senin (hari ini-red.) harus jadi! Apa pun keputusannya," ujarnya menegaskan.
Mahfud mengatakan, selama ini memang terjadi perdebatan antarfraksi di DPR terkait RUU
Pemilu. Menurut dia, perdebatan tersebut wajar karena politik adalah adu kekuatan
kepentingan. "Namun, kalau kepentingan tak bisa dipertemukan, ya di-voting, dan itu akan
dilakukan Senin sebagai putusan sidang terakhir untuk RUU Pemilu," kata Mahfud yang juga
anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB).
Dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (28/2) lalu, DPR gagal mengesahkan RUU Pemilu
menjadi UU. Ada dua materi yang belum selesai, yakni penghitungan sisa suara dan
penentuan calon terpilih. Dalam mekanisme penghitungan sisa suara, masih diperdebatkan
apakah akan ditarik ke provinsi atau kembali ke daerah pemilihan.
Menurut Mahfud, saat ini ada dua peta kekuatan yang tarik-menarik di DPR. Ada kubu yang
menginginkan sisa suara pemilu habis di daerah pemilihan, dan ada yang menginginkan agar
sisa suara diangkat ke provinsi. Kubu yang menginginkan sisa suara habis di daerah
pemilihan akan diuntungkan oleh sisa-sisa suara di provinsi. Sedangkan, yang menginginkan
suara diangkat ke provinsi diuntungkan dengan sisa suara tidak hilang dan bisa
dikompensasikan dengan daerah lain.
Partai-partai yang semula mendukung sisa suara diangkat ke provinsi yaitu Partai Golkar,
PDIP, PKS, dan PKB. Namun, belakangan Partai Golkar ternyata berubah dan kepastiannya
belum diketahui hingga Senin besok.
Mengenai sikap PKB, Mahfud mengatakan bahwa PKB berkeinginan agar sisa suara
diangkat ke provinsi. Pasalnya, kalau dapat diakumulasikan dari sisa suara hasil pemilu lalu,
PKB bisa mendapatkan sebanyak 62 kursi di DPRD dan bukan 52 kursi. Partai Golkar bisa
memperoleh 140 lebih kursi, dan bukan 128 kursi. PDIP juga dapat memperoleh 130 lebih
kursi.
"Akan tetapi, bila besok kalah voting, PKB harus menerima. Itu sebagai konsekuensi aturan
main. Masa kita mau mbalelo lagi. Semuanya juga harus menerima bila di-voting Senin. Ada
yang menang dan ada yang kalah kan enggak apa-apa," ujarnya.
Ketika ditanya solusi paling ideal dalam menyelesaikan perbedaan kepentingan terkait RUU
Pemilu, Mahfud menjawab bahwa hal tersebut bergantung pada kepentingan politik masingmasing pihak. "Kalau PKB, karena banyak di Jawa Timur dan Jawa Tengah, ya idealnya (sisa
suara-red.) diangkat ke provinsi. Tetapi, kalau PAN dan Partai Demokrat, (bila sisa suara
diangkat ke provinsi-red.) akan kehilangan lebih banyak suara karena sebagian besar
mereka hanya mendapatkan sisa suara," katanya.

Berkhas

10

Volume VI Maret 2008

Pikiran Rakyat

Senin, 03 Maret 2008

Pengingkaran
Sementara itu, DPR dinilai belum siap dalam merancang Undang Undang (UU) Pemilu
Legislatif. Rencana adanya ketentuan peralihan yang memungkinkan para parpol yang telah
mendapat kursi di DPR bisa langsung menjadi peserta pemilu merupakan pengingkaran
terhadap demokrasi. "Hal ini merupakan pengingkaran terhadap cita-cita demokrasi kita, yaitu
penyederhanaan partai," ujar Direktur Indonesia Parliamentary Centre (IPC) Sulastio ketika
dihubungi "PR" di Jakarta, Minggu (2/3).
DPR pun meminta tim perumus pansus untuk menyelesaikan lampiran daerah pemilihan
(dapil). Sulastio mencermati adanya keinginan Pansus DPR untuk ikut menetapkan lampiran
UU Pemilu berupa penetapan daerah pemilihan (dapil) yang merupakan ajang kompetisi
yang sarat kepentingan bagi para anggota DPR.
"Yang membuat pengesahan RUU Pemilu molor itu karena masalah dapil juga. Ada baiknya
jika penetapan peta dapil dilakukan oleh KPU yang notabene lepas dari konflik kepentingan
dan memiliki waktu yang lebih luwes untuk melakukannya," kata Sulastio.
Menurut dia, ketentuan penggunaan electoral threshold/ET sebesar 3 persen dan
parliamentary threshold/PT minimal 2,5 persen yang dimaksudkan untuk menyederhanakan
partai, menjadi tidak berguna. Alasannya, aturan itu bisa dianulir kembali oleh DPR periode
2009 untuk Pemilu 2014.
Menurut Sulastio, berubahnya sebaran kursi per dapil dari 3-12 menjadi 3-10 bukanlah
persoalan mudah. Dari penghitungan berdasarkan Pemilu 2004, ada 11 dapil yang memiliki
kursi di atas 10. "Dengan ketentuan yang baru ini, seharusnya DPR memiliki sikap apakah
menganut Opovov (one person, one vote, one value-red.) atau ada kriteria lain yang ingin
dipakai. Kejelasan ini juga akan sangat memengaruhi kinerja KPU dalam menetapkan peta
daerah pemilihan," kata Sulastio.
Ketua Pansus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, ET 3% terhadap hasil
Pemilu 2004 tetap berlaku, dan tercantum dalam RUU Pemilu. Hal itu mengakibatkan ada 2
kategori parpol peserta pemilu, yaitu parpol yang mencapai ET bisa ikut Pemilu 2009, dan
parpol yang tidak mencapai ET yang tidak bisa ikut Pemilu 2009.
Ferry mengakui, pada RUU Pemilu yang baru menyebutkan hasil Pemilu 2009 diberlakukan
parliamentary threshold (PT) 2,5%. Artinya, parpol peserta pemilu 2009 yang total perolehan
suara nasionalnya tidak mencapai PT, tidak diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR
hasil Pemilu 2009. Hanya saja, parpol yang bersangkutan tetap dapat ikut pemilu berikutnya
tanpa verifikasi lagi. "Jadi ET 3% bagi peserta pemilu 2004 tetap berlaku dan dalam UU ini
dimuat secara utuh," kata Ferry.
Ferry menegaskan, pemberlakuan PT terhadap hasil Pemilu 2009 menyebabkan parpol
peserta Pemilu 2004 yang tidak mencapai ET 3%, harus bergabung dengan partai lainnya
yang juga tidak mencapai ET 3% untuk bisa ikut Pemilu 2009. Namun, dalam RUU Pemilu
ditambahkan dalam ketentuan peralihannya, yakni bagi yang memiliki kursi di DPR dapat
langsung ikut Pemilu 2009, sedangkan bagi yang tidak memiliki kursi di DPR cukup
menempuh proses verifikasi di KPU (tanpa verifikasi sebagai parpol baru).
"Persyaratan verifikasi untuk ikut pemilu pada RUU ini, sama dengan syarat ikut pemilu pada
UU yang lama. Parpol yang punya maupun tidak memiliki kursi di DPR itu dapat menempuh
sebagai partai tunggal, tanpa harus bergabung sebagaimana pada ketentuan ET 3% pada
UU 12/2003. Semua ini terbangun dalam semangat membangun pemilu untuk memajukan
dan memperkokoh NKRI," kata Ferry. (A-112/A-130)***

Berkhas

11

Volume VI Maret 2008

Suara Pembaruan

Senin, 03 Maret 2008

Lim a Ca gu b Ba k a l Be r sa in g da la m Pilk a da N TT

[KUPANG] Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nusa Tenggara Timur (NTT) memperkirakan lima
paket calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (cawagub) akan bersaing dalam pemilihan
kepala daerah (pilkada) awal Juni 2008. Demikian Juru bicara KPU NTT, Hans Christian Louk
kepada SP di Kupang, Senin (3/3) pagi.
Dikatakan, perkiraan itu berdasarkan perolehan suara dan atau jumlah kursi partai politik
(parpol) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT. Kalau ada parpol yang
bergabung dengan Partai Golkar atau Partai Demorkasi Indo- nesia Pembaruan (PDI-P)
dalam mengusung salah satu paket calon, tentunya jumlah paket calon tidak akan mencapai
lima paket.
Partai Golkar yang memiliki 21 kursi di DPRD NTT, menyusul PDI-P dengan 12 kursi,
memenuhi persyaratan perolehan suara sekurang-kurangnya 15 persen atau setara dengan
9 kursi, sehingga kedua parpol itu dapat mengajukan paket calonya sendiri.
Sementara parpol lain yang memiliki kursi di DPRD NTT, harus berkoalisi untuk memenuhi
syarat untuk bisa mengajukan satu paket calon.
Dijelaskan, parpol yang memiliki kursi di DPRD NTT seperti PPDI (4 kursi), PKB (4) dan PPD
(1) apabila berkoalisi, sudah memenuhi syarat untuk mengajukan satu paket. Sementara
PDS (4), Demokrat (2), PKPI (2) dan PPP (1) dapat mengajukan satu paket serta Partai
Pelopor (2, PNBK (1), PPDK (1) ditambah parpol yang tidak memiliki kursi dapat berkoalisi
untuk mengajukan satu paket.
Belum Terbentuk
Sementara itu, sebanyak 79 dari 259 Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), untuk Pilkada
NTT, hingga berita ini diturunkan belum terbentuk. Padahal, batas waktu pembentukan PPK
sebelumnya dijadwalkan 26 Februari 2008, kemudian digeser ke 2 Maret 2008. Hal tersebut
diungkap Anggota KPU NTT, Jos Dasi Djawa secara terpisah.
Dikatakan, faktor geografis dan kondisi cuaca yang memburuk dalam beberapa pekan
terakhir, menjadi kendala pembentukan PPK. Seperti di Pulau Sabu yang terdiri dari lima
wilayah kecamatan, hingga kini belum terbentuk karena kondisi cuaca yang belum
memungkinkan adanya petugas datang ke pulau tersebut untuk pembentukan PPK.
Dijelaskan, PPK yang belum terbentuk itu tersebar di Kabupaten Kupang sebanyak 29 PKK),
Alor (17), Manggarai (9), Manggarai Timur (6), Sumba Barat Daya (6) dan Sumba Tengah
(4). Sedangkan perpanjangan waktu pembentukan PPK, tidak berdampak pada jadwal dan
tahapan pilkada yang sudah ditetapkan pada tanggal 2 Juni 2008. [120]

Berkhas

12

Volume VI Maret 2008

Suara Pemabaruan

Senin, 03 Maret 2008

Pa r ipu r n a RU U Pe m ilu Alot
D ise pa k a t i, pe ngga bunga n di provinsi ha nya a t a s sisa sua ra ya ng k ura ng
da ri 5 0 pe rse n
SP/YC Kurniantoro
Ketua DPR Agung Laksono (kedua dari kanan) bersama wakil pemerintah, antara lain
Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa (kiri), Menteri Dalam Negeri Mardiyanto (kedua dari
kiri), dan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, menunggu rapat paripurna yang molor di
Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/3).
[JAKARTA] Sidang paripurna dengan agenda pemberian persetujuan DPR atas Rancangan
Undang-Undang (RUU) Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Senin (3/3), berjalan alot untuk
menentukan satu dari dua opsi. Opsi satu, sisa suara dibagi habis di dapil dengan
penggabungan di provinsi hanya atas sisa suara yang kurang dari 50 persen, sedangkan opsi
dua, dengan sisa suara kurang dari 30 persen.
Saat voting, opsi satu didukung Fraksi Partai Golkar (106) dan Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (106), Fraksi Kebangkitan Bangsa (49), Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera (41), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (13), Fraksi Partai Bintang Reformasi (6).
Opsi satu didukung 320 suara.
Opsi dua didukung Fraksi Partai Demokrat (59), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (43),
Fraksi Partai Amanat Nasional (51), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (5), dan Fraksi Partai
Damai Sejahtera (9). Opsi ini didukung 167 suara. Sedangkan 2 suara lagi abstain.
Sebelumnya, voting atas RUU Pemilu hanya menyisakan dua materi, yakni soal sisa suara
dan penentuan calon terpilih. Untuk materi penentuan calon terpilih, pimpinan DPR, fraksi,
dan pemerintah, pada rapat konsultasi, Minggu (2/3) malam, sepakat penentuan calon terpilih
berdasarkan nomor urut.
Sedangkan untuk materi sisa suara, hingga akhir pekan lalu hanya muncul dua opsi, yakni
digabung ke provinsi (opsi satu) atau dibagi habis di dapil dengan penggabungan di provinsi
hanya atas sisa suara yang kurang dari 30 persen (opsi dua). Dalam perkembangannya,
pada opsi dua muncul satu lagi opsi tambahan, yakni penggabungan sisa suara di provinsi
hanya atas sisa suara yang kurang dari 50 persen.
Khusus menyangkut sisa suara, Fraksi Partai Golkar pada mulanya berada pada kubu yang
mendukung opsi satu, bersama Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FDI-P), FKB,
Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD), dan Fraksi Partai Bintang Reformasi (FPBR).
Sedangkan, Fraksi Partai Demokrat yang dikenal sebagai fraksi pemerintah mendukung opsi
dua, bersama Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) dan Fraksi Partai Amanat
Nasional (PAN). Kalau opsi satu yang menang voting, ketiga fraksi itu akan banyak
kehilangan kursi di DPR.
Munculnya satu lagi opsi untuk materi sisa suara diduga kuat akibat intervensi pemerintah,
yang berhasil mengundurkan pelaksanaan voting dari Kamis (28/2) menjadi Senin (3/3).
Seperti diketahui, dalam rapat paripurna yang berakhir Kamis (28/2) malam, DPR
memutuskan menunda pelaksanaan voting atas dua materi RUU Pemilu hingga Senin (3/3)
pagi.
Terkait penundaan itu, beredar kabar bahwa Presiden Yudhoyono menelepon Wakil Presiden
Jusuf Kalla yang tengah berada di Jepang. Dikabarkan, Presiden Yudhoyono meminta Jusuf
Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar mendukung opsi dua atas materi sisa suara. Atas
permintaan tersebut, Jusuf Kalla meminta Agung Laksono menunda rapat paripurna DPR
hingga Senin ini.

Berkhas

13

Volume VI Maret 2008

Suara Pemabaruan

Senin, 03 Maret 2008

Berkaitan dengan munculnya opsi baru, anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Pataniari Siahaan menyatakan pelaksanaan voting
kemungkinan ditunda lagi selama satu minggu. "Kalau voting ditunda lagi, ini menunjukkan
DPR tidak memperhatikan kepentingan rakyat," katanya di Jakarta, Senin.
"Swinger"
Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan yang
berasal dari Fraksi Partai Golkar (FPG) menyatakan pihaknya tidak akan bersikukuh pada
satu opsi, yakni digabung ke provinsi (opsi pertama). FPG, kata Ferry, bersikap swinger atas
materi tersebut. Maksudnya, FPG bisa menerima pilihan mana pun yang disepakati saat
voting.
Khusus menyangkut opsi dua, ada beberapa fraksi menawarkan angka selain 30 persen,
yakni 40 persen atau 50 persen. Penetapan angka itu akan berpengaruh terhadap perolehan
kursi di parlemen.
Sebagai ilustrasi, di satu dapil BPP ditetapkan 100.000 suara. Dengan menerapkan
penggabungan sisa suara di provinsi (opsi satu), parpol yang memperoleh suara di atas
100.000 langsung mendapat satu kursi dan sisa suaranya digabung ke provinsi nantinya.
Sementara bagi parpol yang memperoleh suara di bawah 100.000 sama sekali tidak
memperoleh kursi, kecuali jika digabung di provinsi.
Sedangkan, pada opsi dua, parpol yang memperoleh suara kurang dari 100.000 namun
masih lebih dari 30 persen dari BPP, memiliki peluang memperoleh kursi. Ilustrasinya, Partai
A memperoleh 110.000, Partai B memperoleh 80.000 dan Partai C memperoleh 140.000.
Maka pembagian kursinya, Partai A memperoleh satu kursi dengan sisa suara 10.000, Partai
B memperoleh satu kursi tanpa sisa suara, dan Partai C memperoleh satu kursi dengan sisa
suara 40.000. Jika masih ada kursi yang belum dibagi, Partai C langsung berhak atas satu
kursi lagi karena sisa suaranya di atas 30 persen. Sedangkan bagi Partai A yang sisa
suaranya 10.000, tidak berhak dan sisa suaranya itu yang digabung ke provinsi. [L-10/Y-3]

Berkhas

14

Volume VI Maret 2008

Suara Pembaruan

Senin, 03 Maret 2008

Pa r pol Ba r u , bu a t Elit e a t a u Ra k y a t ?
Pengantar
Menjelang Pemilu 2009, partai politik (parpol) baru pun bermunculan. Di antara parpol-parpol
itu, ada yang memang baru pertama kali ingin ikut pemilu, tetapi ada juga yang sekadar ganti
nama. Wartawan SP Steven S Musa menurunkan laporan di seputar motivasi pendirian
parpol, apakah betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat atau hanya sekadar
tunggangan para elite.
SP/YC Kurniantoro
Petugas mendata berkas verifikasi partai politik di Departemen Hukum dan HAM, Jakarta,
Rabu (27/2).
Hari Rabu (27/2) lalu, terjadi hiruk-pikuk di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham)
sejak pagi hingga malam hari. Maklum, saat itu merupakan hari terakhir parpol untuk
melengkapi persyaratan guna diverifikasi secara administratif agar bisa memperoleh status
badan hukum.
Berbagai model dan cara diperlihatkan parpol-parpol tersebut untuk menunjukkan
eksistensinya. Ada yang hanya membawa massa dengan jumlah sedikit, tetapi ada pula yang
membawa massa dengan jumlah banyak. Tetapi yang jelas, mereka semua harus membawa
berkas yang dibutuhkan. Tepat pukul 00.00 WIB, Kamis (28/2), sebanyak 47 parpol baru
maupun parpol baru, namun bermuka lama, melengkapi persyaratan yang dibutuhkan.
Jumlah parpol sebanyak itu menunjukkan antusiasme warga untuk berperan aktif dalam
dunia politik. Terlepas dari semrawutnya sebagian besar manajemen parpol baru, kehadiran
mereka sesungguhnya mencerminkan keinginan mewujudkan sebuah negara dan
masyarakat yang dicita-citakan.
Parpol memang menjadi media atau sarana partisipasi warga negara dalam proses
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik, serta ikut menentukan siapa yang menjadi
penyelenggara negara pada berbagai lembaga negara di pusat dan di daerah. Karena pada
prinsipnya keanggotaan parpol terbuka bagi semua warga negara sehingga anggotanya bisa
berasal dari berbagai unsur bangsa, maka parpol dapat juga menjadi sarana integrasi
nasional.
Untuk memperjuangkan cita-citanya, parpol berupaya mencari dan mempertahankan
kekuasaan di lembaga legislatif dan eksekutif melalui pemilu. Apa pun sistem pemilu yang
dianut, parpol peserta pemilu berperan dalam proses pencalonan anggota yang akan mengisi
jabatan legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif.
Atas dasar itulah, maka tidak mengherankan jika sebagian parpol menghalalkan berbagai
cara untuk bisa meraih kekuasaan dan kedudukan penting di negara ini.
SP/YC Kurniantoro
Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya, Suhadi (kedua dari kiri), disaksikan Sekretaris
Jenderal, Ahmad Muzani (ketiga dari kanan) dan pengurus partai lainnya, menyerahkan
berkas verifikasi kepada panitia di Departemen Hukum dan HAM.

Berkhas

15

Volume VI Maret 2008

Suara Pembaruan

Senin, 03 Maret 2008

Janji
Memang pada masa awal pendiriannya, setiap parpol memiliki visi dan misi yang ideal, yakni
memperjuangkan aspirasi rakyat dan juga ingin memperbaiki kondisi bangsa. Namun sayang,
begitu memegang kekuasaan, idealisme yang semula digenggam erat, seolah terlepas,
berganti dengan nafsu ingin mempertahankan kekuasaan tersebut. Mereka pun melupakan
janji-janji yang ditebar selama kampanye untuk memikat pemilih.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika ruangan tempat pendaftaran parpol di Depkumham
dipenuhi janji-janji parpol yang sedang mendaftar. Hampir sebagian besar mereka menjawab
dengan lantang bahwa partai merekalah yang akan memperjuangkan nasib bangsa ini.
Mungkin tidak semua parpol bertingkah seperti itu. Banyak juga parpol baru yang berusaha
belajar dari pengalaman parpol-parpol sebelumnya yang telah menimbulkan trauma
masyarakat.
Ada elite yang menjamin parpolnya tidak akan berkelakuan, seperti parpol-parpol
sebelumnya. Misalnya Partai Kristen Demokrat (PKD), tidak segan-segan membuang
kadernya jika berkelakuan buruk saat duduk di parlemen. "Di PKD tidak ada tempat bagi
bandit-bandit politik," tegas Ketua Umum DPP PKD Tommy Sihotang.
Tommy mengungkapkan PKD akan menjadi partai alternatif dan harapan baru bagi
konstituen yang mayoritas beragama Kristen. Apalagi, kata Tommy yang berprofesi sebagai
pengacara, banyak konstituen Kristen mengalami trauma dan kecewa terhadap partai-partai
yang sebelumnya juga mengklaim bernapaskan Kristen. "Kita tidak mau memanfaatkan
kondisi tersebut. Tetapi kita yakin, konstituen partai yang frustrasi, pasti akan ke kami," ujar
dia.
Kenapa Tommy merasa yakin terhadap partainya? Menurut dia, orang yang berpolitik harus
selalu mengabdi pada keyakinannya.
Begitu juga dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang menjamin partainya
tidak akan bertingkah seperti parpol-parpol sebelumnya. Sekjen DPP Gerindra Ahmad
Muzani menyatakan pihaknya mendirikan partai tersebut karena bangsa Indonesia saat ini
sudah kehilangan kedaulatannya. "Selama ini kita selalu diatur oleh impor. Atas dasar itulah,
kami ingin memperbaiki bangsa ini," ujar Muzani.
Dia mengungkapkan, pembentukan partainya diawali oleh gerakan-gerakan kaum muda yang
ingin memajukan bangsa ini.
Lain halnya dengan Partai Republika Nusantara (Republikan). Menurut salah seorang Ketua
DPP Republikan, Anton Suseno, partainya akan berupaya memperoleh ISO 2000 dari sisi
manajemen. Anton yang juga mantan atlet tenis meja nasional itu mengungkapkan jika nanti
kader partainya berkelakuan buruk, masyarakatlah yang akan mencabut ISO tersebut.
"Bukan masalah jamin atau tidak menjamin, kalau memang kami menjadi partai yang buruk
dan melupakan konstituen, silakan masyarakat mencabut ISO kami," kata dia.
Terkait fenomena itu, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago
menyatakan kehadiran banyak parpol baru menandakan bahwa mempunyai partai dan duduk
di tingkat elite, masih tetap menyenangkan. Enaknya, karena mendapat bantuan dana dan
jika partai tersebut menempatkan kader di legislastif atau eksekutif, akan mendapat insentif
tambahan. "Karena itu sebenarnya mereka tidak perlu menjadi partai yang besar. Yang kecil
saja sudah cukup, karena partai itu akan selalu menjadi alat kepentingan para elite untuk
mendapat kekuasaan," kata dia.

Berkhas

16

Volume VI Maret 2008

Suara Pembaruan

Senin, 03 Maret 2008

Andrinof pun tak lupa melontarkan kritik terhadap parpol-parpol baru. "Kalau memang benar