Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepedulian Guru-Guru PAK terhadap Keadilan dan Kesetaraan Jender di Aras SMU dan SMK di Salatiga T1 712008045 BAB II

(1)

9

BAB II

TEORI RUJUKAN

Guru adalah adalah Pahlawan tanpa tanda jasa, kata-kata ini tidak asing terdengar. Secara sederhana, guru juga dapat diartikan sebagai orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Karena tugas tersebut, guru dapat menambah kewibawaannya dan keberadaan guru sangat diperlukan masyarakat. Pada bagian ini akan di bahas tentang hakekat guru Pendidikan Agama Kristen (PAK), jati diri remaja, dan realita jender.

2.1. Guru PAK dan Kepemimpinannya

2.1.1. Hakikat Guru

Guru yang terampil tentunya akan terlebih dahulu memahami keadaan muridnya

kemudian dia akan tahu bagaimana cara mendidik muridnya dengan cara yang menarik, sehingga para murid akan terlebih dahulu menyenangi guru tersebut dan akan diikuti kesenangan terhadap

pelajaran yang akan diajarkan.12 Keterampilan dalam pekerjaan sangat didukung oleh teori yang

telah dipelajari. Seorang guru dituntut banyak belajar, membaca, dan mendalami teori tentang yang digelutinya, apa yang dipelajari tersebut bukanlah suatu yang permanen, melainkan akan mengalami perubahan dan mengikuti perkembangan kebutuhan manusia, oleh sebab itu memperkuat unsur rasionalitas yang menggalakkan sikap kritis terhadap teori sangatlah penting, karena penerapan lapangan tidak akan mencapai hasil maksimal bila dilakukan dengan

12 Yamin Martinis, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP,(Jakarta:Gaung Persada Press 2007):


(2)

10

raba, mencoba-coba, akan tetapi suatu penerapan harus memiliki pedoman teoritis yang teruji

kevalidannya.13

Zakiah Darajat, menyebutkan tidak sembarangan orang dapat melakukan tugas guru, melainkan orang-orang tertentu yang bisa memenuhi persyaratan yang dipandang mampu, yakni: bertaqwa kepada Tuhan: maksudnya bahwa guru yang tidak taqwa kepada Tuhan sangat sulit atau tidak mungkin bisa mendidik muridnya menjadi bertaqwa kepada Tuhan, mengingat guru harus memberikan keteladanan yang memadai dan sejauh mana guru memberikan keteladanan kepada muridnya maka sejauh itu pula muridnya dapat mengikuti teladan dari gurunya. Berilmu: banyak remaja pada masa kini masuk kuliah sekedar untuk memperoleh secarik lembar ijazah, yang pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri karena ijazah yang didapat tidak dibarengi dengan ilmu yang memadai. Guru yang dangkal penguasaan ilmunya, akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan para muridnya. Berkelakuan baik: mengingat tugas guru antara lain untuk mengembangkan akhlak yang mulia maka pastinya dia harus memberikan contoh berakhlak mulia terlebih dahulu. Sehat Jasmani: kesehatan fisik adalah guru tersebut tidak mengalami sakit yang kronis, menahun, atau jenis penyakit lainnya sehingga sangat menghalangi

tugasnya sebagai guru. 14

Menurut Gaff dan Smith pemberdayaan guru biasanya menggunakan tiga pendekatan: pendekatan personal, pendekatan instruksional, dan pendekatan organisasional. Pertama, Pendekatan Personal, aspek ini lebih menekankan pada aspek-aspek evektifitas mengajar, pengembangan professional, pertumbuhan pribadi, serta peningkatan kemampuan teknik dan keterampilan mengajar. Kedua, Pendekatan Instruksional, pendekatan ini menekankan pada

13 Sagala Syaiful, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, (Medan: Alfabeta,cv,2008):98 14 Idris M dan Marno, Strategi dan Metode Pengajaran, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2008):56


(3)

11

perbaikan pengajaran seperti pengembangan kurikulum, desain dan system pembelajaran, bahan-bahan pelajaran, pengembangan teori kearah efektivitas belajar siswa, serta media dan teknologi pembelajaran. Ketiga pendekatan organisasional, pendekatan ini memfokuskan pada lingkungan dan suasana di mana para komunitas sekolah (guru, murid, pimpinan, dan karyawan) berada,

maka sangatlah penting peranan setiap guru terhadap para muridnya.15

Dalam kaitan dengan jender, guru perlu mengintegrasikan bagaimana pemahamannya tentang jender dan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi kedalam tiga pendekatan, dan harapannya akan perusahaan pemulihan dan pelatihan jender yang lebih adil dan setara. Dengan demikian, sebagai guru kita tidak boleh melaksanakan pendidikan tanpa mempertimbangkan relevansi murid-murid tersebut.

Alkitab mengungkapkan banyak contoh mengenai perilaku pendidik yang menjadi teladan dalam kehidupan kristiani, dimana Yesus adalah Guru yang agung (Rabi). TuhanYesus mengajar dengan otoritas dan wibawa, Perjanjian Baru banyak menyebut Tuhan Yesus sebagai guru (Matius 12:38; 22:16, 24, 36) sebagai seorang guru, Tuhan Yesus sangat menguasai peranNya. Relasi antara Yesus sebagai guru dan para muridNya adalah antara pendidik dan peserta didik yang sangat baik (Yohanes 13:13). Sebagai seorang guru, Dia tidak membiarkan para muridNya mengatasi masalahnya sendiri tanpa pertolongan gurunya, terutama saat

menghadapi badai besar di Danau Galilea (Markus 4: 38).16

15 Ibid Idris M dan Marno: 78


(4)

12 2.1.2. Pendidikan Agama Kristen (PAK)

Pendidikan bertujuan untuk menggerakkan kita melampaui keterbatasan-keterbatasan

masa kini menuju realisasi dari kemungkinan-kemungkinan yang penuh.17 Di masa depan jika

dilihat dari dasar katanya, istilah pendidikan diterjemahkan dari bahasa Inggris, education, dan juga diambil dari bahasa Latin, ducere, yang berarti membimbing (to lead), dengan demikian arti kata pendidikan adalah suatu tindakan untuk membimbing ke luar. Untuk itu, terlebih dahulu kita harus memahami unsur-unsur yang terdapat dan membentuk proses pendidikan, yakni: konteks/setting, dasar pendidikan, pendidik, peserta didik, isi pendidikan, metode yang dipakai, dan waktu. Kebanyakan orang memahami bahwa konsep pendidikan sama dengan konsep

sekolah, padahal sebenarnya tidak demikian.18

Menurut Sijabat dan Richmond pendidikan pada dasarnya selalu menuju proses pembentukan kepribadian secara utuh (holistik), biasanya ditujukan kepada manusia tidak selalu melembaga/institusional, dan terjadi secara berkesinambungan. Sementara konsep sekolah selalu berkaitan dengan proses belajar mengajar yang konkret, menekankan hasil yang tampak, pengaruhnya segera dan nyata. Sekolah biasanya berbentuk institusional, berjenjang,

menekankan proses belajar, dan biasanya berbentuk lembaga formal.19

Menurut Josep Stalin pendidikan adalah sebuah senjata yang akibatnya tergantung pada tangan yang memegangnya dan kepada siapa senjata itu diarahkan. Jika konsep pendidikan kita kaitkan dengan PAK, Wyckoff berpendapat bahwa menjadi pembimbing dalam pelaksanaan PAK baik dalam teori maupun praktik mengkomunikasikan kepada pengelola, pendidik, dan peserta didik dengan suatu keyakinan bahwa apabila mereka memusatkan pikiran dan pelayanan

17 Dien Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif Dan Menarik.(Yogyakarta:Andi Offset,2006):46-47 18 Ibid: 3-4


(5)

13

pada unsur-unsur tersebut mereka akan melaksanakannya dengan baik, kemudian Robert W. Pazmino mengungkapkan bahwa pendidikan Kristen merupakan upaya sistematis yang didukung dengan upaya spiritualitas dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai, sikap, keterampilan, maupun tingkah laku yang konsisten dengan iman Kristen, mengusahakan adanya perubahan, pembaharuan, serta reformasi pada aras pribadi, aras kelompok, bahkan aras struktur

karena kuasa Roh Kudus sehingga peserta didik dapat hidup dengan kehendak Allah.20

Mengacu kepada pendidikan Agama Kristen, Groome mencoba mendefinisikan agama sebagai pencarian manusia terhadap yang transenden dimana hubungan seseorang dengan suatu dasar keberadaan yang mutlak dibawa ke dalam kesadaran dan dengan itu diberi ekspresi

(perwujudan). 21 Ada empat elemen inti yang bisa menjelaskan hakikat dari Pendidikan Agama

Kristen, yakni:

 PAK adalah suatu usaha pendidikan. Merupakan usaha yang sadar, sistematis, dan

berkesinambungan apa pun bentuknya. Ini tak berarti bahwa pendidikan hanya terbatas pada pendidikan yang formal baik di sekolah ataupun didalam gereja, melainkan juga pendidikan yang dilakukan dengan pendekatan sosialisasi.

 PAK adalah pendidikan yang khusus yakni dalam dimensi religious manusia. Ini berarti

usaha tersebut dikhususkan pada bagaimana pencarian yang transenden serta pemberian ekspresi dari seseorang terhadap yang transenden tadi dikembangkan.

 PAK adalah menunjuk kepada persekutuan iman yang melakukan tugas pendidikan

agamawi, yakni persekutuan iman Kristen. Sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab, hal ini sebagai suatu warisan, tidak hanya untuk transmisi warisan Kristen tetapi bagaimana

20 Ibid :7


(6)

14

membentuk masa depan sesuai dengan visi Allah berdasarkan warisan masa lampau dan tindakan kreatf masa kini.

 PAK adalah usaha pendidikan bagaimana pun juga mempunyai hakikat politis. Oleh

karena itu PAK juga turut berpartisipasi dalam hakikat politis pendidikan secara umum. Artinya dalam PAK tidak hanya ada intervensi dalam kehidupan individual seseorang dibidang kerohanian saja, tetapi juga mempengaruhi cara dan sikap mereka ketika

menjalani kehidupan dalam konteks masyarakatnya.22

Dari ke-4 elemen diatas, maka dapat dilihat bahwa penekanan apa dan bagaimana PAK pada hakikatnya, PAK mencakup berbagai aspek pengaplikasiannya dalam hidup manusia. Pada umumnya kebanyakan orang berfikir bahwa PAK itu hanya ditujukan kepada orang yang ingin belajar mengenai agama saja, dengan kata lain PAK itu hanya mempelajari bagaimana isi Alkitab, bagaimana cerita tentang Tuhan Yesus, dan bagaimana sebenarnya religious itu. Dengan membudayanya stereotip seperti ini maka kebanyakan orang hanya mendalami bagian tersebut saja, dan kebenarannya belajar tentang PAK bukan hannya mempelajari aspek spiritual saja melainkan aspek sosial, politis, budaya dan lain sebagainya.

Kebanyakan guru-guru PAK juga mungkin memiliki pemahaman yang telah disebutkan di atas, terutama hubungan dengan realitas jender, sangat berpengaruh kepada para murid yang telah mereka didik dan pada akhirnya para muridpun mewarisi pemahaman yang didapatkan melalui pendidik mereka. Dalam penjelasan sebelumnya memaparkan bahwa bagaimana sebenarnya seorang pemimpin atau guru yang bijaksana, yakni seorang pemimpin atau seorang guru yang memusatkan diri pada bagaimana dia, apa yang diketahuinya, dan apa yang akan dilakukannya. Dengan keadaan seperti ini guru sebagai sang teladan dan pemimpin terhadap para

22 Ibid:25-26


(7)

15

muridnya hendaknya menyikapi bagaimanakah mengatasi hal tersebut. Apakah kita masih berada dalam keterbelengguan keadaan ini saja, atau sebaliknya, mau membuka mata dengan kaca mata baru.

2.2. Jender dalam Perspektif Teori dan Pustaka

2.2.1. Seks dan Jender

Seperti yang telah dijelaskan di awal penulisan ini dalam latar belakang masalah, penulis telah menjelaskan perbedaan antara konsep seks dan jender. Untuk lebih jelasnya penulis akan

memaparkan kembali bagaimana sebenarnya seks, dan jender. 23

Tujuan untuk memahami jender adalah untuk memutuskan ketimpangan jender dalam rangka meningkatkan kesetaraan dan keadilan jender. Seks secara etimologi adalah jenis kelamin, istilah jenis kelamin (laki-laki/perempuan) dalam bahasa Indonesia sering digunakan dalam konsep seks dan jender, walaupun pada dasarnya keduanya mengandung makna berbeda. Secara istilah seks adalah berkenaan dengan perbedaan secara biologis dan fisiologis antara laki-laki dan perempuan yang dilihat secara anatomis dan reproduksi, sedangkan jender yang mengacu pada perbedaan peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu tingkah laku sosial yang terstruktur. Intinya bahwa secara terminology jender merupakan konsep mengenai peran laki-laki

dan perempuan di suatu masa dan kultur tertentu yang dikonstruksi social bukan biologis.24

23 Muawanah Elfi, Pendidikan Jender dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Teras,2009): 1 24Ibid:4-7


(8)

16

2.2.2. Kesetaraan dan Keadilan Jender

Dalam realita penerapan jender dapat menimbulkan diskriminasi, oleh karena itu ada usaha untuk merealisasikan kesetaraan dan keadilan jender. Kesetaraan jender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, social budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Menurut Ashgar kesetaraan adalah penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara dan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama baik itu dalam

bidang social, ekonomi, spiritual, maupun politik.25

Di pihak lain keadilan jender menonjolkan pentingnya kesetaraan dalam menikmati hasil, keadilan jender adalah suatu proses untuk menjadi adil antara laki-laki dan perempuan, dimana bobot hak perempuan sama dengan bobot hak laki-laki. Untuk menciptakan keadilan jender diperlukan pemenuhan atas kepentingan praktis jender dan kepentingan strategis jender. Kepentingan/keperluan praktis jender adalah keperluan yang diidentifikasi untuk membantu perempuan yang masih di bawah (subordinasi). Keadilan jender secara fundamental bertujuan

menghilangkan dominasi, siapapun pelakunya baik laki-laki ataupun perempuan.26

2.2.3. Ketidakadilan Jender di Bidang Pendidikan

Ketidakadilan jender di bidang pendidikan terjadi antara lain dari gejala berbedanya akses atau peluang bagi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Pada tahap SD, SLTP, dan SMU kesempatan memperoleh pendidikan untuk perempuan nampaknya relatif tinggi

25 Fasli Jalal, Sosialisasi Pengarusutamaan Gender.(Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional,2003):18-20 26 Ibid: 25


(9)

17

dibandingkan dengan laki-laki.27 Dari hasil pengamatan, proses pembelajaran cenderung masih

belum berwawasan jender dan cenderung memihak laki-laki (bias toward male). Laki-laki cenderung ditempatkan pada posisi yang lebih menguntungkan dalam keseluruhan proses pendidikan misalnya dalam memimpin kelas, memimpin organisasi siswa, memimpin kelompok belajar, atau mengemukakan pendapat dan sebagainya. Walaupun angka partisipasinya berbeda, perempuan lebih mampu bertahan dibandingkan dengan laki-laki, angka putus sekolah siswa perempuan selalu lebih kecil khususnya pada SMU/SMK dan Perguruan Tinggi, siswa perempuan juga lebih banyak yang dapat menyelesaikan sekolah sampai lulus dibandingkan dengan laki-laki.

Dari gejala tersebut mununjukkan bahwa peserta didik perempuan lebih optimal dalam memanfaatkan kesempatan belajar. Di dalam pemilihan jurusan juga sangat kelihatan laki-laki lebih dominan dalam memilih program studi yang mempelajari bidang-bidang pertanian, kehutanan, teknologi dan industri, mesin atau elektro sementara itu perempuan lebih banyak mempelajari jurusan ketatausahaan, tata boga, pekerjaan sosial, seni dan kerajinan, tat arias, serta

tekhnologi kerumahtanggaan.28 Ini terjadi karena stereotip yang telah tertanam di kebudayaan

kita mengenai keahlian yang dianggap sesuai dengan peran jenisnya.

2.2.4. Agama dan Jender

Agama merupakan salah satu kebutuhan penting spiritual manusia yang merupakan kehidupan mereka lahir dan batin. Dalam beraktivitas sering kali manusia mencari landasan untuk berpijak agar kuat dan tenang batinnya.

27 Ibid: 31


(10)

18

Selama ini, masyarakat menjadikan agama sebagai landasan dan pegangan hidup mereka. Jika ajaran agama yang berkembang masih bias jender, maka dapat dipastikan bahwa kehidupan masyarakat akan penuh dengan ketidakadialan jender. Sebaliknya jika yang dipegangi masyarakat adalah ajaran agama yang sensitif jender maka warna kehidupan masyarakat tentu penuh dengan keadilan jender. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana jender dilihat dari agama Kristen.

Sebenarnya ajaran resmi gereja kristen yang berbicara tentang kesetaraan dan keadilan jender belum ada, namun demikian cukup banyak pernyataan resmi gereja yang memperlihatkan

bahwa laki-laki dan perempuan menempati kedudukan yang setara.29 Hal ini tampak dalam kitab

suci (Perjanjian Lama) maupun dalam ajaran gereja secara khusus dan dalam ajaran sosial gereja mengenai kesamaan harkat dan martabat laki-laki dan perempuan.

Dalam Kitab Perjanjian Lama:

Melalui ajaran penciptaan di dalam kejadian 1:27 menyatakan Allah menciptakan manusia menurut gambarNya sendiri, menurut gambar Allah diciptakan dia laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan bukan saja memiliki kesetaraan yang menyangkut kesamaan martabatnya namun juga mengemban tugas yang sama dalam mengelola bumi dan dalam karya bersama-sama, sebagaimana tertuang dalam kejadian 1:28 “Allah memberkati mereka lalu berfirman: Beranak cuculah dan bertambah banyak penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut, dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Dengan begitu maka keduanya haruslah saling melengkapi, saling menolong, menjadi partner dan sama-sama pula menjadi bagian dari yang lain, dan tak

29 Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah. Penyadaran Gender Bagi Pendidik. (Jawa


(11)

19

terpisahkan antara yang satu dengan yang lain sebagaimana kehendak Allah sendiri yang tertuang di dalam kejadian 2:24 “sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya

dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging”.30

Dalam kisah perceraian (Markus 10:1-12) perempuan bisa direndahkan kedudukannya sebagai obyek perceraian tersisih dan terhina, tetapi sekaligus juga mendapatkan kedudukan baru yang diteguhkan. Dalam kisah ini tercermin bahwa dunia yang dikuasai laki-laki dan perlakuan semena-mena terhadap perempuan, namun di dalam Kejadian 1, Yesus berdiri dalam tradisi Iman dan tidak menampilkan gagasan ketergantungan perempuan kepada laki-laki. Adanya keseimbangan peranan laki-laki dan perempuan , Markus 10:11 yang melihat sebagai zinah bila menceraikan istri dan menikahi perempuan lain. Pandangan ini menunjukkan bahwa ada

persamaan hak dan tanggung jawab bagi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga.31

Dalam Kitab Perjanjian Baru:

Maria ibu Yesus merupakan tokoh panutan sebab ia mampu memperlihatkan diri sebagai perempuan otonom yang berani menentukan keputusan secara mandiri, serta memperlihatkan ketaatannya pada kehendak Allah secara konsekuen dan penuh rasa tanggung jawab. Lukas 1:26-31Malaikat Gabriel memberi kabar kepada bunda Maria bahwa ia akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang hendaknya dinamai Yesus, dengan berani ia bertanya untuk menentukan langkah berikutnya (Lukas 1:34) Bagaimana mungkin hal itu terjadi karena

saya belum bersuami.32

Namun ketika malaikat Gabriel mengatakan kepadanya: Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah yang Maha tinggi akan menaungi Engkau, sebab itu anak yang akan kau

30 Ibid: 91

31 Ibid:92 32 Ibid:92-93


(12)

20

lahirkan akan disebut Kudus, anak Allah. Mariapun secara tegas dan dengan penuh rasa tanggung jawab serta menyadari konsekwensinya tanpa harus meminta pendapat kepada siapapun, baik kepada ayahnya maupun kepada Yusuf yang adalah tunangannya, padahal pada saat itu budaya patriarkhi sangatlah kuat. Namun Maria menjawab, sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu (Lukas 1:38). Dari jawaban itu maka kelihatan bahwa Maria bukan saja pasrah dan taat kepada Allah tetapi juga ia berani menghadapi segala resiko yang ada, seperti hamil di luar nikah, dicemooh orang banyak dan seterusnya. Sikap otonom seperti ini dengan dijiwai oleh kesadaran atas suatu karya besar yang melibatkan keselamatan manusia dengan menyingkirkan kepentingan pribadi adalah suatu sikap

yang selayaknya menjadi panutan bagi perempuan dan laki-laki. 33

Beberapa kali Yesus Kristus membuka wawasan tentang martabat dan peranan perempuan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat sama seperti laki-laki. Matius 12:48 “Siapakah ibuku? Dan siapa saudara-saudaraku?” Dan kemudian dilanjutkan: “Siapa yang melakukan kehendak Bapa Ku di Surga, Dialah saudaraku laki-laki, Dialah saudaraKu perempuan, Dialah IbuKu.” (Matius 12:50).

Pada saat Tuhan Yesus dihadapkan pada perempuan yang tertangkap basah berbuat zina Dia dimintai pendapat tentang hukuman apa yang harus diberikan kepada perempuan itu, Yesus menjawab demikian: “Barangsiapa diantara kamu tidak pernah berbuat dosa, hendaklah ia pertama kali melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yohanes 8:4-5, 7b), jawaban ini bermakna ganda bahwa dosa zina tidak hanya dilakukan oleh perempuan saja tetapi laki-laki juga bisa melakukannya artinya laki-laki dan perempuan sama rentannya untuk terjatuh kedalam dosa yang sama. Demikian juga cerita tentang Yesus dijamu oleh satu keluarga, dimana Marta sibuk didapur ketika Yesus dan murid-muridnya dating sedangkan Maria saudaranya duduk

33 Ibid:94


(13)

21

bersama para murid mendengarkan firman Allah, Martapun marah dan meminta Yesus menegur Maria, namun Yesus menjawab: “Marta Marta engkau kuatir dan menyusahkan dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik yang tidak akan diambil darinya.” (Lukas10:38-42) Jawaban ini menunjukkan bahwa perempuan tidak harus melayani tetapi boleh belajar apa saja, sebab yang penting dalam hal ini adalah masalah pilihan. Semua pekerjaan sama baiknya sejauh itu merupakan secara otonom, bukan karena

paksaan masyarakat maupun karena tuntutan tradisi dan adat istiadat.34 Dan masih banyak lagi

cerita di alkitab mengenai kesetaraan jender.

Melihat apa yang ditemukan dalam kitab suci maupun dalam gereja seharusnya perempuan dan laki-laki mempunyai peran dalam tataran yang sama dalam segala hal kecuali jika berkaitan dengan kodratnya sebagai perempuan yang bisa hamil, melahirkan, dan menyusui. Namun pelaksanaannya dalam realitas kehidupan ini masih banyak diwarnai oleh budaya patriarkhi, tafsir-tafsir yang bias jender sehingga menempatkan perempuan dalam subordinat.

2.3. Jati Diri Remaja

Pelayanan kepada remaja di sekolah dalam konteks masyarakat Indonesia adalah suatu bidang yang strategis, tetapi juga sangat menantang karena remaja berada dalam fase kehidupan yang sangat penting bagi masa depannya.

Hal ini juga dikaitkan dengan jati diri dan peran jender dalam dirinya. Masa remaja adalah masa transisi dengan berbagai gejolak yang muncul, masa remaja adalah masa dimana mereka mempertanyakan berbagai hal yang selama ini diajarkan kepada mereka baik di bidang iman maupun moralitas. Lebih dari itu masa remaja juga masa yang penuh keterbukaan dan masa

34 Ibid :26


(14)

22

dimana mereka mengambil keputusan penting yang mempunyai konsekuensi penting bagi masa

depan mereka.35

Wayne Rice dalam Nuhamara berpendapat bahwa ada 4 signifikansi khusus terhadap remaja:

a. Masa Remaja adalah Masa Transisi

Masa remaja adalah masa yang amat meresahkan (unsettling) di dalam kehidupan seseorang. Pada masa pubertas seseorang mengalami perubahan, baik secara fisik maupun perubahan-perubahan yang lain dari masa kanak-kanak menuju ke masa dewasa. Menurut Erik Erikson pada masa remaja seorang individu mulai melihat/menyadari diri sendiri, mempunyai masa lalu dan masa depan yang secara eksklusif merupakan dirinya sendiri. Masa remaja adalah masa dimana seseorang membuat kenangan dan antisipasi tentang masa depan, pencarian ini terdiri dari suatu rasa kesadaran tentang keunikan pribadi yang berusaha memiliki pengalaman yang berkesinambungan dan solidaritas dengan ideal-ideal kelompok, sehingga sangat dibutuhkan banyak perhatian dan bimbingan terhadap mereka.

b. Masa Remaja adalah Masa Bertanya

Pada masa ini remaja mengalami perkembangan dalam kognitifnya, umumnya mereka mulai mempertanyakan banyak hal yang sudah diajarkan kepada mereka. Banyak mitos masa kanak-kanak yang diragukan pada waktu mereka menemukan cara-cara baru dalam memandang realitas, mereka tidaklah percaya pada semua hal yang pernah dikatakan/diajarkan baik dari orang tua maupun guru mereka sebagai hal yang benar, mereka ingin mengerti bagi diri mereka sendiri.


(15)

23

Dengan memahami perubahan pola pikir dalam diri remaja ke arah yang lebih rasional inilah maka sangat berbahaya jika guru hanya menjejali para remaja dengan aktivitas yang tidak berarti. Sehingga guru sangat perlu memberikan jawaban yang sungguh dan jujur terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul sebagai pertumbuhan diri mereka didalam pengajarannya.

c. Masa Remaja adalah Masa Keterbukaan

Bagi kebanyakan remaja usaha untuk mencari/mendapatkan identitas baru, merupakan suatu proses yang penuh dengan coba-coba yang menyebabkan karakteristik mereka sukar ditebak. Mereka akan menerima suatu hal pada suatu kesempatan, tetapi pada lain kesempatan mereka menolaknya sama sekali. Bagi kebanyakan remaja hidup dapat diumpamakan dengan permainan jigsaw puzzle di mana banyak dari potongannya masih hilang.

d. Masa Remaja adalah Masa Mengambil Keputusan

Kebanyakan remaja terlibat dalam periode fact finding yang menyebabkan kebanyakan dari asumsi-asumsi, konklusi-konklusi, dan keputusan-keputusan mereka agak tidak menentu dan sementara saja. Remaja akan membuat sejumlah keputusan dan komitmen beberapa diantaranya mungkin bertahan lama. Yang harus disadari oleh para guru adalah bahwa kecendrungan untuk memaksa remaja mengambil

keputusan adalah tndakan yang sangat berbahaya.36

36 Ibid:11-15


(16)

24

2.4. Teori Pembagian Kerja Berbasis Jender

Pembagian kerja berbasis jender merupakan salah satu faktor terjadinya kesenjangan jender, sehingga penulis mencoba melihat dan memahami melalui teori nature dan nurture, teori fungsional, dan teori feminis.

2.4.1. Teori Nature dan Nurture

Teori Nature “Kodrat Alam” dan Teori Nurture “Kebudayaan” sering digunakan dalam membedah sekaligus membenarkan perbedaan sifat, posisi, dan peran antara laki-laki dan

perempuan. Secara biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. 37 Teori nature: Laki-laki

memiliki penis, jakun, dan dapat memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki rahim, buah dada, memproduksi indung telur, dan air susu. Apa yang dimiliki laki-laki tidak dimiliki perempuan begitu pula sebaliknya. Kodrat fisik yang berbeda berpengaruh pada kondisi psikis masing-masing. Perempuan dengan kodrat fisik melahirkan tersebut berakibat pada perkembangannya perangi psikologis yang dibutuhkan untuk mengasuh anak yang dilahirkan, seperti perangi keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, kasih sayang dan sebagainya. Sedangkan laki-laki dengan kodrat fisik yang dimilikinya menunjukkan bahwa fisik laki-laki kuat, kodrat fisik yang kuat berdampak pada perangi psikologis yang tegar bahkan kasar,dengan kodrat fisik dan psikologis tersebut laki-laki dikonstruksikan berperan disektor publik yang keras, sekaligus memberi perlindungan pada pihak yang lebih lemah yakni perempuan.

Sanderson berpendapat bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam membentuk pembagian peran antara kedua jenis kelamin tersebut.

37 Muthali’in, Achmat, Bias Jender dalam Pendidikan. (Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2001)


(17)

25

Teori Nurture: pada hakekatnya teori ini bertentangan dengan teori Nature, teori ini tidak setuju bahwa pemilahan posisi dan peran laki-laki dan perempuan merupakan kodrat alam. Menurut Sanderson faktor biologis tidak menyebabkan keunggulan laki-laki terhadap perempuan, pemilahan sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing-masing. Dengan demikian apa yang disebut dengan sifat kelaki-lakian dan keperempuanan merupakan hasil pemupukan melalui kebudayaan, lebih khususnya melalui pendidikan. Budiman memberikan pendapatnya mengenai usaha untuk membagi manusia menjadi dua golongan laki-laki dan perempuan dan usaha untuk membedakan keduanya dalam posisi dan peranan sosial yang berbeda merupakan suatu tindakan yang direncanakan. Jadi apa yang disebut dengan kodrat perempuan merupakan buatan, yaitu hasil kombinasi antara tekanan dan paksaan di suatu pihak dengan rangsangan yang tidak wajar,

sekaligus menyesatkan pihak lain khususnya perempuan.38

2.4.2. Teori Feminisme Radikal

Teori ini sesuai dengan namanya, radikal yang berarti mencari persoalan sampai ke

akar-akarnya, kaum feminisme radikal melihat penyebab utama adanya ketidakadilan bagi perempuan didalam dunia pendidikan adalah kerena sistem patriarchal yang berlaku di masyarakat setempat, selain itu juga melihat kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, karena hal ini menentukan keterbelakangan perempuan di berbagai bidang. Peran seksualitas merupakan tempat yang sangat penting karena penindasan berawal dari dominasi atas tubuh dan seksualitas perempuan yang ditemui di ranah privat termasuk pendidikan. Diskursus yang dipakai dalam teori ini adalah

budaya patriarchal, pemberdayaan perempuan, dan mensentralkan kepentingan perempuan.39

38 Ibid:25


(18)

26 2.4.3. Teori Feminisme Marxis dan Sosialis

Bahasa yang sering digunakan dalam teori ini adalah yang berkaitan dengan kelas, produksi, kemiskinan, dan seterusnya. Teori ini juga memberikan tekanan kepada teori alienasi atau keterasingan perempuan yang berbeda dengan yang dialami oleh laki-laki, seperti yang diungkapkan oleh Foreman bahwa laki-laki sangat menonjol perannya dibidang sosial, bisnis, industri dan juga didalam keluarga, sehingga dia dapat mengekspresikan dirinya dalam keempat bidang tersebut. Aliran ini juga memandang kaum perempuan pada umumnya masih menduduki posisi rendah dimasyarakat dengan peringkat gaji yang juga rendah. Penindasan kepada perempuan perlu diatasi dengan kekuatan dan posisi ekonomi yang baik dari perempuan itu sendiri. Menurut teori ini ketidaksetaraan di dalam pendidikan terjadi karena institusi-institusi pendidikan justru menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan telah dijadikan bisnis yang lebih melayani kelas ekonomi atas, pendidikan telah kehilangan makna bukan untuk mencerdaskan bangsa melainkan untuk menguntungkan kantong masing-masing. Hubungan kekuasaan antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah sangat kelihatan sehingga kelompok miskin tereksploitasi dan

berada didalam kebodohan secara terus menerus. 40

Melalui pengungkapan dari teori-teori feminisme ini, dapat disimpulkan bahwa walaupun realita teori ini bermacam-macam dan cara pandang yang berbeda-beda namun mereka memiliki satu tujuan ataupun arahan, yakni mereka ingin kesetaraan dan keadilan jender antara laki-laki dan perempuan dapat terlaksana, walaupun disadari ini agak sulit namun mereka berusaha untuk mengatasinya melalui teori-teori yang ada yang telah dijabarkan.

2.5. Teori Ketidakadilan Jender

Sesungguhnya perbedaan jender dengan pemilihan sifat, peran dan posisi tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan atau tidak ada yang menjadi korban,

40 Ibid: 15


(19)

27

namun pada kenyataannnya perbedaan jender ini telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan tetapi juga bagi kaum laki-laki. Ketidakadilan jender adalah suatu system dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan jender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan terutama bagi

kaum perempuan.41 Ada beberapa teori ketidakadilan jender dapat dijabarkan:

2.5.1. Marginalisasi Perempuan

Tidak sedikit proses dalam masyarakat dan Negara yang memarginalkan masyarakat,

salah satu diantaranya adalah proses eksploitasi dalam pembangunan, salah satu proses eksploitasi itu berbentuk pemiskinan satu jenis kelamin tertentu, yaitu kaum perempuan hal ini terjadi karena berlakunya keyakinan jender, ada berbagai macam bentuk serta mekanisme proses marginalisasi perempuan akibat jender tersebut yakni, dari kebijakan pemerintah, keyakinan atau tafsiran terhadap ajaran agama, tradisi atau kebiasaan, dan bahkan berasal dari asumsi ilmu pengetahuan.

Marginalisasi juga terjadi akibat adanya diskriminasi terhadap pembagian kerja menurut jender, ada jenis pekerjaan tertentu yang dianggap cocok untuk perempuan karena keyakinan jender, karena perempuan dianggap tekun, sadar, dan ramah maka pekerjaan yang cocok bagi mereka adalah sekretaris, perawat/suster, guru TK, kasir, pramugari, atau penerima tamu dan perempuan biasa diberi gaji yang rendah. Adanya anggapan bahwa perempuan sebagai istri harus bekerja dibidang domestik menyebabkan banyak perempuan kehilangan kesempatan untuk

41 Muthali’in, Achmat, Bias Jender dalam Pendidikan.(Surakarta:Muhammadiyah University


(20)

28

bekerja dan menerima upah di sector publik, secara tidak langsung hal ini menjadikan

perempuan tergantung secara ekonomi kepada suaminya.42

2.5.2. Subordinasi Perempuan

Berawal dari pemahaman bahwa perempuan itu adalah makhluk yang emosional, maka ia dipandang tidak dapat memimpin dan arena itu ditempatkan pada posisi yang tidak penting, hal ini melahirkan subordinasi terhadap perempuan. Rachman melukiskan subordinasi perempuan seperti gelas kaca dan kayu bakar, dalam analogi gelas kaca perempuanlah yang harus mengalami peristiwa yang retak dan pecah, dan dalam analogi kayu bakar laki-laki yang berperan sebagai api, sedangkan perempuan sebagai kayu bakarnya laki-lakilah yang berpeluang membakar dan menghanguskan sang kayu, oleh sebab itu perempuanlah yang berpotensial terbakar menjadi debu yang tidak lagi berarti apa-apa.

Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai “reproduksi” dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan “produksi” yang dikuasai oleh laki-laki. Salah satu bukti dari rendahnya penghargaan terhadap pekerjaan “reproduksi” tersebut adalah bahwa pekerjaan ini hampir-hampir tidak dihargai secara ekonomis, meski tingkat kerumitan dan waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan tersebut tidak lebih ringan dari pekerjaan “produksi”, keadaan seperti ini menyebabkan baik laki-laki maupun perempuan sendiri akhirnya menganggap bahwa pekerjaan “reproduksi” yang

dikategorikan domestik tersebut lebih rendah dan ditinggalkan.43

2.5.3. Stereotip Jenis Kelamin

Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip itu adalah

42 Ibid:33


(21)

29

bersumber dari pandangan yang bias jender. Stereotip bias jender merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokkan kaum perempuan. Faqih mengatakan bahwa label dan pada kondisi tertentu menjadikan perempuan terpojok dan tidak menguntungkan eksistensi dirinya.

Salah satu pelabelan yang dimaksud adalah perempuan sebagai ibu rumah tangga, akibat dari pelabelan ini jika perempuan hendak aktif dalam kegiatan yang dianggap wilayah laki-laki seperti kegiatan politik, olah raga keras dan yang lainnya dianggap tidak sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan. Terkait dengan stereotip ini adalah dinomorduakannya pendidikan kaum perempuan, perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi-tinggi, perempuan sebaiknya menjadi ibu rumah tangga, pendidik anak, dan pendamping suami tidak memerlukan pendidikan yang tinggi, karena pada akhirnya cukup di dapur.

2.5.4. Beban Kerja Lebih Berat

Asumsi teori hukum alam (teori natur) menyatakan bahwa perempuan secara alami memiliki sifat keibuan, penyabar, penyayang, lemah lembut, dan rajin. Sifat seperti ini sangat cocok untuk menjadi ibu rumah tangga dan sekaligus bukan kepala rumah tangga, akibatnya semua pekerjaan domestik akan dilakukan oleh perempuan/ibu/istri, oleh karena itu semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawabnya sehingga beban pekerjaan perempuan menjadi lebih berat. Semua pekerjaan rumah tangga akan dilakukan sendiri, jika bagi keluarga menengah beban ini akan diberikan kepada pembantu yang pada umumnya adalah perempuan, sementara itu bagi kalangan keluarga miskin beban kerja perempuan akan menjadi beerlipat ganda mereka juga harus membantu bekerja di sector publik untuk membantu mencari nafkah tambahan bagi keluarganya.


(22)

30

Ketidakadilan disini sangatlah kelihatan meski beban kerjanya lebih berat, paling tidak waktu yang digunakan lebih lama tetapi curahan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut samasekali tidak dihargai secara ekonomi, bahkan status sosialnya dalam masyarakat dipandang lebih rendah dari pekerjaan publik. Ketidakadilannya berlipat ganda, tidak

berharga secara ekonomis sekaligus rendah secara sosial. 44

2.5.5. Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan yang mengenai perempuan pada umumnya disebabkan karena adanya pandangan jender “Gender Related Violence”. Bentuk kekerasannya bisa bisa kekerasan fisik maupun non fisik yang berlaku ditingkat rumah tangga, tingkat Negara, bahkan sampai pada tafsir agama. Kekerasan kepada perempuan dapat dibagi menjadi tiga yakni,kekerasan yang dilakukan oleh keluarga, kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, dan kekerasan yang

dilakukan oleh negara.45

Melalui penjabaran pembagian kerja berbasis jender dengan teori yang ada penulis menarik kesimpulan bahwa kehidupan perempuan selalu dinomorduakan. Karena akan selalu kembali ke kodratnya bahwa perempuan itu sangat emosional, perempuan dianggap lemah, dan tempatnya didapur. Untuk mengatasi kesenjangan jender dibidang pendidikan tidaklah hal yang mudah dilakukan, namun pemaham dari berbagai teori dan model-model yang dikemukakan kiranya dapat memandu penulis untuk melihat dari berbagai sisi kehidupan para korban dan kerugian organisasi yang seharusnya tidak terjadi dibidang pendidikan.

44 Ibid:39


(1)

25

Teori Nurture: pada hakekatnya teori ini bertentangan dengan teori Nature, teori ini tidak setuju bahwa pemilahan posisi dan peran laki-laki dan perempuan merupakan kodrat alam. Menurut Sanderson faktor biologis tidak menyebabkan keunggulan laki-laki terhadap perempuan, pemilahan sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap biologis masing-masing. Dengan demikian apa yang disebut dengan sifat kelaki-lakian dan keperempuanan merupakan hasil pemupukan melalui kebudayaan, lebih khususnya melalui pendidikan. Budiman memberikan pendapatnya mengenai usaha untuk membagi manusia menjadi dua golongan laki-laki dan perempuan dan usaha untuk membedakan keduanya dalam posisi dan peranan sosial yang berbeda merupakan suatu tindakan yang direncanakan. Jadi apa yang disebut dengan kodrat perempuan merupakan buatan, yaitu hasil kombinasi antara tekanan dan paksaan di suatu pihak dengan rangsangan yang tidak wajar,

sekaligus menyesatkan pihak lain khususnya perempuan.38

2.4.2. Teori Feminisme Radikal

Teori ini sesuai dengan namanya, radikal yang berarti mencari persoalan sampai ke

akar-akarnya, kaum feminisme radikal melihat penyebab utama adanya ketidakadilan bagi perempuan didalam dunia pendidikan adalah kerena sistem patriarchal yang berlaku di masyarakat setempat, selain itu juga melihat kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, karena hal ini menentukan keterbelakangan perempuan di berbagai bidang. Peran seksualitas merupakan tempat yang sangat penting karena penindasan berawal dari dominasi atas tubuh dan seksualitas perempuan yang ditemui di ranah privat termasuk pendidikan. Diskursus yang dipakai dalam teori ini adalah

budaya patriarchal, pemberdayaan perempuan, dan mensentralkan kepentingan perempuan.39

38 Ibid:25


(2)

26

2.4.3. Teori Feminisme Marxis dan Sosialis

Bahasa yang sering digunakan dalam teori ini adalah yang berkaitan dengan kelas, produksi, kemiskinan, dan seterusnya. Teori ini juga memberikan tekanan kepada teori alienasi atau keterasingan perempuan yang berbeda dengan yang dialami oleh laki-laki, seperti yang diungkapkan oleh Foreman bahwa laki-laki sangat menonjol perannya dibidang sosial, bisnis, industri dan juga didalam keluarga, sehingga dia dapat mengekspresikan dirinya dalam keempat bidang tersebut. Aliran ini juga memandang kaum perempuan pada umumnya masih menduduki posisi rendah dimasyarakat dengan peringkat gaji yang juga rendah. Penindasan kepada perempuan perlu diatasi dengan kekuatan dan posisi ekonomi yang baik dari perempuan itu sendiri. Menurut teori ini ketidaksetaraan di dalam pendidikan terjadi karena institusi-institusi pendidikan justru menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan telah dijadikan bisnis yang lebih melayani kelas ekonomi atas, pendidikan telah kehilangan makna bukan untuk mencerdaskan bangsa melainkan untuk menguntungkan kantong masing-masing. Hubungan kekuasaan antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah sangat kelihatan sehingga kelompok miskin tereksploitasi dan

berada didalam kebodohan secara terus menerus. 40

Melalui pengungkapan dari teori-teori feminisme ini, dapat disimpulkan bahwa walaupun realita teori ini bermacam-macam dan cara pandang yang berbeda-beda namun mereka memiliki satu tujuan ataupun arahan, yakni mereka ingin kesetaraan dan keadilan jender antara laki-laki dan perempuan dapat terlaksana, walaupun disadari ini agak sulit namun mereka berusaha untuk mengatasinya melalui teori-teori yang ada yang telah dijabarkan.

2.5. Teori Ketidakadilan Jender

Sesungguhnya perbedaan jender dengan pemilihan sifat, peran dan posisi tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan atau tidak ada yang menjadi korban,


(3)

27

namun pada kenyataannnya perbedaan jender ini telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan saja bagi kaum perempuan tetapi juga bagi kaum laki-laki. Ketidakadilan jender adalah suatu system dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan jender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan terutama bagi

kaum perempuan.41 Ada beberapa teori ketidakadilan jender dapat dijabarkan:

2.5.1. Marginalisasi Perempuan

Tidak sedikit proses dalam masyarakat dan Negara yang memarginalkan masyarakat, salah satu diantaranya adalah proses eksploitasi dalam pembangunan, salah satu proses eksploitasi itu berbentuk pemiskinan satu jenis kelamin tertentu, yaitu kaum perempuan hal ini terjadi karena berlakunya keyakinan jender, ada berbagai macam bentuk serta mekanisme proses marginalisasi perempuan akibat jender tersebut yakni, dari kebijakan pemerintah, keyakinan atau tafsiran terhadap ajaran agama, tradisi atau kebiasaan, dan bahkan berasal dari asumsi ilmu pengetahuan.

Marginalisasi juga terjadi akibat adanya diskriminasi terhadap pembagian kerja menurut jender, ada jenis pekerjaan tertentu yang dianggap cocok untuk perempuan karena keyakinan jender, karena perempuan dianggap tekun, sadar, dan ramah maka pekerjaan yang cocok bagi mereka adalah sekretaris, perawat/suster, guru TK, kasir, pramugari, atau penerima tamu dan perempuan biasa diberi gaji yang rendah. Adanya anggapan bahwa perempuan sebagai istri harus bekerja dibidang domestik menyebabkan banyak perempuan kehilangan kesempatan untuk

41 Muthali’in, Achmat, Bias Jender dalam Pendidikan.(Surakarta:Muhammadiyah University


(4)

28

bekerja dan menerima upah di sector publik, secara tidak langsung hal ini menjadikan

perempuan tergantung secara ekonomi kepada suaminya.42

2.5.2. Subordinasi Perempuan

Berawal dari pemahaman bahwa perempuan itu adalah makhluk yang emosional, maka ia dipandang tidak dapat memimpin dan arena itu ditempatkan pada posisi yang tidak penting, hal ini melahirkan subordinasi terhadap perempuan. Rachman melukiskan subordinasi perempuan seperti gelas kaca dan kayu bakar, dalam analogi gelas kaca perempuanlah yang harus mengalami peristiwa yang retak dan pecah, dan dalam analogi kayu bakar laki-laki yang berperan sebagai api, sedangkan perempuan sebagai kayu bakarnya laki-lakilah yang berpeluang membakar dan menghanguskan sang kayu, oleh sebab itu perempuanlah yang berpotensial terbakar menjadi debu yang tidak lagi berarti apa-apa.

Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai “reproduksi” dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan “produksi” yang dikuasai oleh laki-laki. Salah satu bukti dari rendahnya penghargaan terhadap pekerjaan “reproduksi” tersebut adalah bahwa pekerjaan ini hampir-hampir tidak dihargai secara ekonomis, meski tingkat kerumitan dan waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan tersebut tidak lebih ringan dari pekerjaan “produksi”, keadaan seperti ini menyebabkan baik laki-laki maupun perempuan sendiri akhirnya menganggap bahwa pekerjaan “reproduksi” yang

dikategorikan domestik tersebut lebih rendah dan ditinggalkan.43

2.5.3. Stereotip Jenis Kelamin

Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip itu adalah

42 Ibid:33 43 Ibid:35-37


(5)

29

bersumber dari pandangan yang bias jender. Stereotip bias jender merupakan suatu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokkan kaum perempuan. Faqih mengatakan bahwa label dan pada kondisi tertentu menjadikan perempuan terpojok dan tidak menguntungkan eksistensi dirinya.

Salah satu pelabelan yang dimaksud adalah perempuan sebagai ibu rumah tangga, akibat dari pelabelan ini jika perempuan hendak aktif dalam kegiatan yang dianggap wilayah laki-laki seperti kegiatan politik, olah raga keras dan yang lainnya dianggap tidak sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan. Terkait dengan stereotip ini adalah dinomorduakannya pendidikan kaum perempuan, perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi-tinggi, perempuan sebaiknya menjadi ibu rumah tangga, pendidik anak, dan pendamping suami tidak memerlukan pendidikan yang tinggi, karena pada akhirnya cukup di dapur.

2.5.4. Beban Kerja Lebih Berat

Asumsi teori hukum alam (teori natur) menyatakan bahwa perempuan secara alami memiliki sifat keibuan, penyabar, penyayang, lemah lembut, dan rajin. Sifat seperti ini sangat cocok untuk menjadi ibu rumah tangga dan sekaligus bukan kepala rumah tangga, akibatnya semua pekerjaan domestik akan dilakukan oleh perempuan/ibu/istri, oleh karena itu semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawabnya sehingga beban pekerjaan perempuan menjadi lebih berat. Semua pekerjaan rumah tangga akan dilakukan sendiri, jika bagi keluarga menengah beban ini akan diberikan kepada pembantu yang pada umumnya adalah perempuan, sementara itu bagi kalangan keluarga miskin beban kerja perempuan akan menjadi beerlipat ganda mereka juga harus membantu bekerja di sector publik untuk membantu mencari nafkah tambahan bagi keluarganya.


(6)

30

Ketidakadilan disini sangatlah kelihatan meski beban kerjanya lebih berat, paling tidak waktu yang digunakan lebih lama tetapi curahan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut samasekali tidak dihargai secara ekonomi, bahkan status sosialnya dalam masyarakat dipandang lebih rendah dari pekerjaan publik. Ketidakadilannya berlipat ganda, tidak

berharga secara ekonomis sekaligus rendah secara sosial. 44

2.5.5. Kekerasan terhadap Perempuan

Kekerasan yang mengenai perempuan pada umumnya disebabkan karena adanya pandangan jender “Gender Related Violence”. Bentuk kekerasannya bisa bisa kekerasan fisik maupun non fisik yang berlaku ditingkat rumah tangga, tingkat Negara, bahkan sampai pada tafsir agama. Kekerasan kepada perempuan dapat dibagi menjadi tiga yakni,kekerasan yang dilakukan oleh keluarga, kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, dan kekerasan yang

dilakukan oleh negara.45

Melalui penjabaran pembagian kerja berbasis jender dengan teori yang ada penulis menarik kesimpulan bahwa kehidupan perempuan selalu dinomorduakan. Karena akan selalu kembali ke kodratnya bahwa perempuan itu sangat emosional, perempuan dianggap lemah, dan tempatnya didapur. Untuk mengatasi kesenjangan jender dibidang pendidikan tidaklah hal yang mudah dilakukan, namun pemaham dari berbagai teori dan model-model yang dikemukakan kiranya dapat memandu penulis untuk melihat dari berbagai sisi kehidupan para korban dan kerugian organisasi yang seharusnya tidak terjadi dibidang pendidikan.

44 Ibid:39 45 Ibid: 40-41


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kompetensi Pedagogik dan Motivasi Kerja Guru terhadap Kinerja Guru SMK Negeri se-Kota Salatiga T1 162009041 BAB II

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepedulian Guru-Guru PAK terhadap Keadilan dan Kesetaraan Jender di Aras SMU dan SMK di Salatiga T1 712008045 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepedulian Guru-Guru PAK terhadap Keadilan dan Kesetaraan Jender di Aras SMU dan SMK di Salatiga T1 712008045 BAB IV

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepedulian Guru-Guru PAK terhadap Keadilan dan Kesetaraan Jender di Aras SMU dan SMK di Salatiga T1 712008045 BAB V

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepedulian Guru-Guru PAK terhadap Keadilan dan Kesetaraan Jender di Aras SMU dan SMK di Salatiga

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sekolah Guru B di Salatiga T1 152008006 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sekolah Guru B di Salatiga T1 152008006 BAB II

0 0 20

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sekolah Guru B di Salatiga T1 152008006 BAB IV

0 0 45

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sekolah Guru B di Salatiga T1 152008006 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dampak Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran di SMK Diponegoro Salatiga T1 162009034 BAB II

0 0 27