digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
Kant bahwa “meskipun bila de-ide dari akal budi bisa jadi tidak memiliki jalan representasi yang memadai [dalam dunia fenomena], ide-ide itu bisa dibangkitkan
dan dimunculkan dalam pikiran dengan artian bahwa ketidakmencukupan itu bisa direpresentasikan  melalui  akal”.
32
Dengan  kata  lain,  setiap  fenomena  dan penjelasan  tentang  the Thing  selamanya  tidak akan  mampu  memadai, melainkan
hanya  bisa  menjelaskan  secara  logis  kondisi  ketakterjelasan  tersebut.  Itulah  The Real
sebagai  sublime  object  yang  merupakan  rongga  kosong  void  yang terkandung di kedalaman identitas The Symbolic subjek.
Pertanyaan selanjutnya adalah jika memang The Real itu selamanya tidak mampu  terwadahi  oleh  simbolisasi,  lalu  bagaimana  subjek  yang  lack  akan  bisa
menghindar, atau setidaknya bertahan, dari menjalani hidup baca: identitas dalam kebohongan  atau  kepalsuan?  Bagaimana  ia  akan  mengatasi  hasratnya  akan
jouissance yang tersembunyi di balik fenomena? Bagaimana subjek akan mampu
menanggung  beban  siklus  tak  henti  dari  dorongan  drive?  Untuk  menjawabnya maka  penjelasan  ini  harus  masuk  ke  dalam  pembahasan  Lacanian  tentang
sublimasi.
D. Sublimasi Habaib
Sublimasi  adalah  pengalaman  akan  jouissance  the  experience  of jouissance
, yaitu momen ketika dorongan telah sampai pada objeknya di level The Imaginary
dan  The  Symbolic:  momen  dimana  subjek  bisa  menangkap  atau mengalami suatu kesan impression dan menyadarinya hanya pada saat momen itu
32
Slavoj Žižek, The sublime Object, 230.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
sudah berlalu. Sementara pada level The Real, dorongan itu selamanya tidak akan sampai  pada  jouissance  yang  sesungguhnya  the  Thing.
33
Dengan  kata  lain, mengalami jouissance adalah mengalami kesan dari peristiwa bersatunya objek di
level The Real dengan objek di level The Imaginary atau The Symbolic. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa sublimasi mensyaratkan terjadinya
hubungan  antar  objek  object  relations.  Relasi  objek  ini  menunjuk  ada  pola hubungan  yang  menggunakan  dorongan  sebagai  jembatan  relasional  antara
keduanya, antara dua objek dimana konsep sublimasi disandarkan: objek kesadaran dan ketaksadaran. Kedua objek tersebut tak lain adalah objek dari dorongan object
of drive di level The Imaginary dan The Symbolic selanjutnya akan disebut objek,
dan objek sublim di level The Real yang menjadi refren dari dorongan The Thing. Dan karena kenikmatan yang menjadi tujuan akhir dari dorongan itu adalah cinta
yang berada diluar konseptualisasinya sendiri, sementara demi tujuan akhir itu ia harus mengalamatkanmengorbankan dirinya pada objek The Imaginary atau The
Symbolic , maka sublimasi pun lebih berfokus pada objeknya dari pada cinta yang
menjadi tujuan akhirnya. Objek  di  sini  harus  dipahami  lebih  sebagai  objek  yang  dalam  dirinya
terkandung suatu ‘rentang jarak’ distance yang membelahnya menjadi dua bagian ekstrim, yaitu sebagai objek The Imaginary atau The Symbolic di satu sisi dan objek
The Real The Thing di sisi lainnya. Hanya dengan menempatkannya pada jarak
inilah  dorongan bisa menemukan keberadaan naturalnya sebagai hasil dari relasi objek  yang  ditandai  oleh  adanya  jarak  antara  kedua  bagian  ekstrim  yang
33
Marc De Kesel, Eros and Ethics, 170.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
dikandungnya. Di titik inilah sublimas i bekerja dengan “mengangkat objek hingga
sampai pada derajat The Ting ”.
34
Sebagaimana  yang  sudah  peneliti  jelaskan  sebelumnya,  bahwa  The  Real adalah  suatu  kondisi  yang  akan  selalu  didamba  oleh  Habaib,
“cinta  Rasul”, “membina akhlak” dan “ridho Ilahi” sebagai object petit a akan selalu mendorong
mereka untuk kembali ke tatanan The Real. Namun, pergerakan ke arah The Real menjadi  sebuah  pencarian  dan  tujuan  abadi,  sebab  The  Real  tidak  akan  pernah
kembali. “Cinta  Rasul”,  “membina  akhlak”  dan  “ridho  Ilahi”  adalah  hal  yang
mustahil dibahasakan, ia melampaui bahasa. Sementara untuk mencapainya, ketiga Habib
tersebut  menggunakan  bahasa,  padahal  bahasa  selalu  bermasalah,  bahasa tidak  pernah purna. Oleh  karena itu,  bahasa  tidak  mungkin  membahasakan  yang
mustahil  dibahasakan.  Tetapi  sekalipun  begitu,  konsep “cinta Rasul”, “membina
akhlak” dan “ridho Ilahi” setidaknya telah menjadi fantasi bagi mereka. Fantasi itu telah  mengajari  mereka  bagaimana  caranya  menikmati  sesuatu.  Jika  sebelumnya
mereka  adalah  subjek  yang  lack,  maka  fantasi  itu  yang  akan  memberikan kenikmatan  total  pada  mereka.  Fantasi  itu  sudah  menjanjikan  mereka  untuk
terbebas  dari  segala  kekurangan.  Dengan  kata  lain,  mereka  bisa  menjadi  subjek yang utuh dalam sementara waktu ketika mereka melahirkan fantasi.
Untuk  lebih  mendalaminya  lagi,  pembahasan  ini  akan  merujuk  pada bagaimana Žižek menjelaskan logika esensi Hegelian, yaitu pertautan antara dua
titik  ekstrim  yang  terkandung  dalam  sebuah  objek:  bentuk  form  dan  esensi essence.  Hegel  menjelaskan  bahwa  esensi  merupakan  hal  tertentu,  sesuatu  a
34
Ibid., 173-174.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
thing ,  yang  tak  termediasi,  dan  hanya  memungkinkan  untuk  menjelaskan  atau
menyatakan dirinya, dan terpahami, melalui ekspresinya yang termanifestasi dalam bentuk formal tertentu. Manifestasi ini bergerak dari jalinan antara berbagai materi
yang menghasilkan suatu kondisi keberadaanisi, hingga secara formal menemukan bentuknya dalam realitas empiris.
Di  sinilah,  bentuk,  hadir  sebagai  suatu  pergerakan  eksternal  external circumstances
yang  membuat  realisasi  dari  esensi  itu  menjadi  mungkin.  Hal terpenting untuk diingat adalah bahwa proses formalisasi tersebut sama sekali tidak
melibatkan suatu kondisi keberadaan yang baru, melainkan hanya menerjemahkan apa yang telah dimilikinya ke dalam wilayah formal. Jadi pada dasarnya hubungan
antara  bentuk  dan  esensi  ini  tak  lain  adalah  hubungan  antara  bentuk  dan  dirinya sendiri it self: di satu sisi ia merupakan penampilan empiris dari berbagai kondisi
keberadaan partikular yang tak berbentuk, di sisi lain —dengan demikian—ia juga
adalah abstraksi universal dari berbagai hal yang berbeda.
35
Secara  dialektis,  pertautan  ini  menjadi  kondisi  dari  antagonisme  dan kemustahilan  yang  terkandung  dalam  setiap  upaya  untuk  menakar  atau
mengkoordinasikan keduanya bentuk sebagai tesis dan esensi sebagai anti-tesis pada  wilayah  sintesis,  yang  mana  itu  menjadi  mungkin  hanya  jika  dengan
melibatkan  fantasi,  konten  imajiner  yang  mengandung  daya  tarik  misterius  pada proses ketika esensi menemukan bentuk positif aktualitasnya. Inilah apa yang Žižek
sebut sebagai redoubled: seolah-olah bahwa di dalam dunia akal sehat sensible
35
Slavoj Žižek, Tarrying with The Negative, 135-136.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
yang biasa, faktual dan empiris, terkandung dunia yang berada di luar akal sehat suprasensible
atau semacam ‘materialitas spiritual’.
36
Apa  yang  selanjutnya  hadir  dalam  hubungan  dialektis  antara  esensi  dan bentuk  ini  adalah  sifat  keduanya  yang  dihasilkan  dari  pertautan  tersebut,  bahwa
esensi hanya bisa dipahami sebagai potensi atau kemungkinan terkait upaya yang dikandung oleh bentuk dalam menyatakan dirinya for-itself. Sementara bentuk itu
sendiri harus ditempatkan sebagai aktualitas yang pada dirinya sendiri in-itself ia tidak pernah tuntas atau sempurna.
37
Jika objek for-itself itu dikembalikan menjadi in-itself
, maka yang terjadi adalah tepat seperti penjelasan Lacanian tentang poin de capiton
,  yaitu  ketika  penanda  hadir  tanpa  petanda.
38
Inilah  penjelasan  yang disediakan  Hegel untuk memahami objek  in-itself  melalui jalan  for-itself, bahwa
objek adalah sebuah upaya aktualitas untuk menyatakan diri atau potensialitasnya sendiri,  upaya  yang  hanya  bertumpu  pada  prinsip  bahwa  aktualitas  itu  adalah
mungkin. Dengan kata lain objek for-itself
adalah kondisi ‘kemungkinan’ condition of  possibility
dari  ‘kemustahilan’,  dimana  status  dari  ‘kemungkinan’  itu  akan lenyap  dalam  aktualitas  itu  sendiri.
39
Pada  titik  inilah Žižek—via Hegel—secara
implisit  telah  melakukan  penggeledahan  terhadap  apa  yang  dimaksudkan  oleh Lacan  tentang  sublimasi  sebagai  suatu  pengalaman  akan  jouissance.
Žižek menemukan  bahwa  ‘mengalami  jouissance’  tak  lain  adalah  mengalami  ‘kondisi
36
Ibid., 138.
37
Ibid., 141.
38
Ibid., 148.
39
Ibid., 159.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
kemungkinan’: pengalaman yang hanya akan dialami oleh subjek jika ia sampai pada
apa yang dimaksudkan oleh Žižek sebagai ‘presupposing the positing’.
40
Dalam  relasi  objek  yang  mengandung  aktivitas  refleksi  dari  esensi  ke bentuk, pengalaman akan ‘kondisi kemungkinan’ bukanlah ketika bentuk, dalam
empirisitas  dan  positivitasnya,  merupakan  kehadiran  yang  merefleksikan  esensi positing reflection, bukan juga ketika bentuk menemukan esensi transendentalnya
dengan sesuatu yang bersifat external dan in-itself external reflection.
41
‘Kondisi kemungkinan’ lebih terletak pada determinate reflection, yaitu ketika esensi—mau
tidak  mau —harus  merefleksikan  ketakterkiraannya  presupposition  ke  dalam
keterbatasan bentuk
42
yang dalam dirinya sendiri in-itself ia adalah penanda tanpa petanda. Dengan demikian yang terlahir adalah persetujuan akan keniscayaan gap
baca: jarak yang menganga di antara The Real dan Simbolisasi, dimana dengan menempatkan  objek  sebagai  satu-
satunya ‘kemungkinan’ untuk sampai pada the Thing
yang mustahil, apa yang dibayangkan dengan sublimasi sebagai pengalaman akan kemustahilan jouissance itu menjadi mungkin.
Dengan jalan ini maka cinta sebagai ‘ketakmungkinan’ yang menjadi tujuan dari ‘dorongan’ itu bisa terbuka untuk dialami bukan sebagai cinta, tetapi sebagai
‘kemungkinan’  akan  cinta.  Singkatnya,  selama  ada  dorongan,  maka  pasti  ada ‘kemungkinan’ untuk ‘mengalami ‘jouissance’ sebagai yang tak mungkin. Inilah
semangat yang dikandung oleh “but still” dalam frasa Sloterdijk. Inilah ideologi, dimana  subjek  adalah  subjek  politik  ketika  dalam  mencari  jouissance  dan
40
Zuhdi Siswanto, “Patriotisme”, 43.
41
Slavoj Žižek, The sublime Object, 241.
42
Ibid., 259.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
memposisikan dirinya di tengah realitas masyarakat, ia mampu melampaui hasrat dan  menyandarkan  pergerakannya  pada  dorongan  yang  tak  pernah  usai,  yang
membuatnya berada selamanya dalam posisi sebagai subjek yang kekurangan.
43
43
Zuhdi Siswanto, “Patriotisme”, 44.
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id  digilib.uinsby.ac.id
BAB IV
ANALISIS KERJA IDEOLOGI DALAM PRAKTIK KOMODIFIKASI AGAMA MELALUI SUBJEK HABAIB
Sebagai  ujung  akhir  kajian,  bagian  ini  akan  membahas  terkait  analisis bagaimana  ideologi  bekerja  dalam  praktik  komodifikasi  agama  melalui  subjek
Habaib menurut Slavoj
Žižek. Dan sebagai jawaban dari rumusan masalah kedua, pembahasan  ini  akan  dimulai  dengan  melihat  kembali  situasi  yang  terjadi  dan
dialami  oleh  Habaib,  juga  berbagai  macam  bentuk  respons  mereka  terhadap upayanya  dalam  membangun  kembali  hubungan  kesatuan  primordialnya  dengan
Islam.  Secara  lebih  spesifik,  situasi  yang  akan  dilihat  dari  kondisi  Habaib  yang telah  disajikan  dalam  Bab  Tiga  adalah  situasi  bimbang  yang  kini  membayangi
kehidupan mereka, serta kecenderungan mereka untuk selalu menjelaskan kepada Liyan
tentang dorongan dalam diri mereka.
A. Habaib dan Tindakan sebagai Ideologi