Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kompetensi Lintas Budaya Dengan Harga Diri Karyawan Grand Wahid Hotel Salatiga T1 132006703 BAB II

(1)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Harga Diri (Self Esteem)

2.1.1. Pengertian Harga Diri (Self Esteem)

Harga diri merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap individu karena merupakan kemampuan dasar individu untuk dapat menentukan arah dan tujuan hidupnya. Harga diri, menurut Robertiello (1986) merupakan tingkat dimana seseorang menilai (atau gagal menilai) dirinya sendiri. Penilaian itu bersifat individual dan diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya sendiri. Sedangkan Robbins (2002) mendefinisikan harga diri sebagai penilaian tentang diri sendiri yang menunjukkan seberapa besar merasa mampu, berhasil, dan berharga. Harga diri yang tinggi akan mengakibatkan individu menjadi orang yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Selain itu individu akan merasa lebih yakin dengan kemampuan yang dimilikinya dan akan merasa berguna bagi lingkungan sekitarnya. Hal tersebut akan sangat menguntungkan bagi individu karena akan terhindar dari stres, sehingga mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi secara positif. Hal ini senada dengan Coopersmith (dalam Handayani dkk, 1998) yang menyatakan, bahwa harga diri sebagai evaluasi individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang mengekspresikan sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat individu meyakini dirinya sendiri sebagai mampu, penting, berhasil, dan berharga. Harga diri berkembang sesuai dengan kualitas interaksi individu dengan lingkungannya.


(2)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa harga diri (self-esteem) merupakan penilaian individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, baik dari pengalaman yang dialami sendiri maupun pengalaman yang dipelajari dari orang lain, yang menunjukkan seberapa besar merasa mampu, berhasil, dan berharga.

2.1.2. Aspek-Aspek Harga Diri (Self Esteem)

Adapun aspek-aspek yang berhubungan dengan self-esteem, menurut Brown (dalam Sylviana, 2008) terdapat 3 aspek, yakni

a. Global self-esteem, merupakan variabel keseluruhan dalam diri individu secara keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi.

b. Self-evaluation, merupakan bagaimana cara seseorang dalam mengevaluasi variabel dan atribusi yang terdapat pada dirinya. Misalnya ada seseorang yang kurang yakin akan kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan memiliki self-esteem yang rendah dalam bidang akademis, sedangkan seseorang yang berpikir bahwa dirinya terkenal dan cukup disukai oleh orang lain, maka bisa dikatakan memiliki self-esteem sosial yang tinggi.

c. Emotion, adalah keadaan emosi sesaat terutama saat sesuatu yang muncul sebagai konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan self-esteem atau menurunkan self-esteem. Misalnya, seseorang memiliki self-esteem yang tinggi karena mendapat promosi jabatan, atau seseorang memiliki self-esteem yang rendah setelah mengalami perceraian.


(3)

2.1.3. Komponen Harga Diri (Self Esteem)

Komponen-komponen harga diri menurut Brown (dalam Hapsari, 2007) adalah feelings of belonging dan feelings of mastery.

a. Feelings of Belonging, adalah suatu perasaan dimana individu merasa dirinya bagian dari lingkungan tanpa ada batasan atas rasa kasih sayang atau nilai dari perasaan tersebut.

b. Feelings of Mastery, adalah suatu rasa dimana individu memiliki rasa penguasaan. Penguasaan termasuk persepsi bahwa individu itu memiliki pengaruh terhadap dunianya tidak hanya dalam skala yang besar tetapi meliputi pula hal-hal kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Sedangkan Reasoner (dalam Hapsari, 2007) menyebutkan beberapa komponen dari harga diri yaitu:

a. Security, yaitu perasaan individu yang mempunyai keyakinan kuat, meliputi perasaan aman dan nyaman, mengetahui apa yang diharapkan, mempunyai kemampuan untuk bergantung kepada diri sendiri dan situasi, mempunyai pemahaman akan peraturan dan batas.

b. Selfhood (lingkungan pribadi), dimana setiap individu mempunyai ciri khas, mempunyai pengetahuan tentang diri pribadi termasuk penggambaran diri yang akurat dan realistik akan peraturan, sikap, karakterisitk fisik.

c. Affiliation, yaitu perasaan memiliki. Dimana individu merasa diterima atau mempunyai hubungan, khususnya pada hubungan yang dianggap penting, memiliki perasaan diakui, dihargai, dan dihormati oleh orang lain, mempunyai kemampuan untuk menemukan kesenangan, memiliki kesadaran dan kemampuan


(4)

dalam membentuk hubungan, mampu memberi dukungan atas keputusan kelompok.

d. Mission (misi dan tujuan), dimana setiap individu mempunyai tujuan dan motivasi untuk hidup, mempunyai tanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang diambil, mempunyai kemampuan dalam membentuk tujuan yang realistik dan dapat diterima, mampu mengikuti rencana, mempunyai insisatif dan tanggung jawab atas aksinya, individu mampu mencari alternatif atas masalahnya, mampu mengevaluasi dirinya sendiri berdasarkan atas apa yang telah dilakukan. e. Competence (keahlian), yaitu perasaan yang dimiliki individu dimana setiap

individu merasa berhasil dan mampu menyelesaikan hal-hal yang penting dan berharga, mempunyai kesadaran akan kelebihan dan menerima kelemahan. Berani mengambil resiko dalam berbagi ide dan opini. Perasaan sukses yang dimiliki oleh individu berdasarkan pengalaman pribadi dimana dianggap penting oleh individu itu sendiri, kegagalan bagi individu tidak hanya sebagai isu tapi merupakan fakta dan individu menganggap kesalahan yang dilakukannya merupakan alat dalam belajar, mampu memberi penilaian akan kemajuan yang telah dibuat, mampu memberikan umpan balik dalam usahanya menerima kelemahan dan mencari keuntungan dari kesalahan yang dilakukan.

2.2. Kompetensi Lintas Budaya

2.2.1. Pengertian Kompetensi Lintas Budaya

Mason mendefininisikan kompetensi lintas budaya sebagai “kemampuan untuk berinteraksi secara effektif dengan orang dari semua kebudayaan, ras, etnis dan factor-faktor lainnya. Ia mencakup pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan


(5)

dan kesamaan. Kompetensi mencakup kepekaan dan juga kemampuan untuk bekerja secara effektif dengan kebudayaan” (Mason, 1996). Mason juga membedakan kompetensi lintas budaya dalam dua level, yaitu level individual dan level organisasional. Pada level individual Mason mendefinisikan kompetensi lintas

budaya sebagai: “the state of being capable of functioning effectively in the context of

cultural differences.” Sedangkan pada level organisasi kompetensi lintas budaya adalah “A set of congruent practice skills, attitudes, policies and structures, which come together in a system, agency, or among professionals and enable that system, agency or those professionals to work effectively in the context of cultural

differences.”

Pembahasan tentang kompetensi lintas budaya di sini lebih dibatasi pada kompetensi individual. Dari perspektif ini definisi Mason tersebut bisa dimaknai sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang (baik secara pribadi, berkelompok, organisasi atau dalam etnik dan ras) dalam melaksanakan aktifitas-aktifitas perjumpaan lintas budaya dan subbudaya. Dalam aktifitas tersebut, seseorang tidak hanya mengenali dan menghargai budaya orang lain, tapi juga bisa bekerjasama dengan orang yang berbeda budayanya itu (Mason, 1996). Kompetensi lintas budaya berkaitan dengan suatu keadaan dan kesiapan individu sehingga kapasitasnya dapat berfungsi efektif dalam situasi perbedaan budaya.

Mudzakir (2009) menjelaskan, apabila dasar pemahaman lintas budaya telah diletakkan, pembelajaran melalui latihan yang berkelanjutan atau pengalaman di tempat kerja, secara bertahap dapat mencapai apresiasi yang lebih halus tentang perbedaan budaya. Pemahaman lintas budaya tersebut terdiri dari:


(6)

1) Cross Cultural Knowledge

Pengetahuan lintas budaya sangat penting bagi dasar pemahaman lintas budaya. Tanpa hal ini apresiasi lintas budaya tidak akan terjadi. Ia merujuk kepada pengenalan tingkat permukaan dengan karakteristik budaya, nilai, kepercayaan, dan perilaku.

2 Cross Cultural Awareness

Kesadaran lintas budaya berkembang dari pengetahuan lintas budaya kala pembelajar memahami dan mengapresiasi secara internal suatu budaya. Ini mungkin akan disertai dengan perubahan pada perilaku dan sikap pembelajar, seperti fleksibilitas dan keterbukaan yang lebih besar.

3) Cross Cultural Sensitivity

Kepekaan lintas budaya merupakan hasil yang wajar dari kesadaran, dan merujuk kepada kemampuan untuk membaca situasi, konteks, dan perilaku yang secara budaya berakar dan dapat bereaksi kepadanya dengan tepat. Respons yang cocok menuntut bahwa pelaku tidak lagi membawa secara budaya tafsirannya sendiri yang telah ditentukan terhadap situasi atau perilaku (misalnya baik/buruk, benar/salah), yang hanya dapat dirawat dengan pengetahuan dan kesadaran lintas budaya.

4) Cross Cultural Competence

Kompetensi lintas budaya haruslah menjadi tujuan bagi mereka yang berhadapan dengan klien, pelanggan atau kolega multibudaya. Kompetensi merupakan tahap final dari pemahaman lintas budaya, dan menunjukkan kemampuan pelaku untuk mengerjakan lintas budaya secara efektif. Kompetensi lintas budaya melampaui pengetahuan, kesadaran dan kepekaan karena ia merupakan pencernaan,


(7)

per-paduan dan transformasi dari semua keterampilan dan informasi yang dicari, diterapkan untuk menciptakan sinergi budaya di tempat kerja.

Keberagaman budaya harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak berdampak buruk terhadap kinerja organisasi tetapi justru memperkaya khasanah sumber daya. Kekayaan ini dioptimalkan sebagai modal hidup nan aktif bagi pencapaian kinerja yang lebih baik. Dengan kompetensi lintas budaya yang baik dimungkinkan pengelolaan keragaman ini dari tataran perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi. Dengan mengakomodir dinamika multikultural, kerangka manajemen ditransformasikan dari keseragaman menjadi kohesi atas keragaman. Transformasi ini pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas kinerja organisasi.

2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kompetensi Lintas Budaya

Kompetensi lintas budaya tidak begitu saja dimiliki oleh seseorang. Ia juga tidak serta-merta muncul ketika seseorang mempelajari budaya orang atau kelompok lain. Kompetensi lintas budaya memerlukan sebuah pengalaman pribadi akan perjumpaan dengan orang atau kelompok budaya yang berlainan. Dalam perjumpaan lintas budaya, tiga hal penting perlu dimiliki oleh seseorang, yaitu kesadaran, pengetahuan dan keterampilan (Mason 2009).

1. Kesadaran (awareness) adalah reaksi seseorang terhadap orang yang berbeda secara budaya. Untuk memahami budaya orang lain, pertama-tama seseorang perlu memahami kebudayaannya sendiri. Mereka perlu mengeksplorasi diri mereka sendiri untuk memeriksa kebudayaannya sendiri dan proses sosialisasi yang mempengaruhi mereka ketika mereka berinteraksi dengan orang atau kelompok budaya yang lain. Pemeriksaan ini diperlukan supaya seseorang bisa


(8)

menyadari berbagai bias dan prasangka yang ada dalam diri mereka dan kemudian mengeliminasinya dalam proses-proses perjumpaan lintas budaya.

2. Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan merupakan komponen kedua dari kompetensi lintas budaya. Ia merujuk kepada pengenalan terhadap karakteristik nilai, kepercayaan, dan perilaku dari orang atau kelompok budaya yang lain. Aspek pengetahuan biasanya diperoleh dengan mempelajari budaya-budaya yang lain, lewat bermacam-macam cara, seperti membaca buku, berbicara dan berinteraksi dengan orang yang berasal dari kebudayaan lain.

3. Keterampilan (skill). Aspek ini menunjuk pada kemampuan untuk bekerja secara effektif dengan orang-orang yang berbeda budaya. Dalam dunia kerja, Hsien-Wu mengembangkan aspek skill ini ke dalam apa yang disebutnya sebagai social skill. Social Skill adalah sub-constructs dari dari social effectiveness construct, yaitu kemampuan untuk membaca memahami dan mengontrol interaksi social secara effektif. Social Skill terdiri atas tiga hal penting, yaitu social presentation, social scanning dan social flexibility.

2.3. Hubungan antara Kompetensi Lintas Budaya dengan Harga diri Karyawan Kompetensi berasal dari bahasa Inggris ”competence” yang berarti kemampuan, keahlian. Kompetensi yang ada dalam diri seseorang merupakan suatu potensi bawaan dan bisa berkembang oleh lingkungan sekitar. Kompetensi didasari pada kemampuan dalam melaksanakan sesuatu yang didapatkan seseorang melalui pendidikan. Kompetensi lintas budaya adalah kemampuan mengenali dan saling menghargai perbedaan-perbedaan apapun untuk menjamin efektivitas perilaku


(9)

organisasi. Kompetensi ini menunjukkan kemampuan individu dapat menerima, menghargai bahkan mencairkan sekat-sekat budaya untuk membangun budaya organisasi. Beberapa indikator kompetensi lintas budaya, antara lain mampu berpikir global dan bertindak secara lokal, bekerja efektif dengan orang dari budaya yang berbeda, menyukai pengalaman dalam menyelami budaya yang berbeda, belajar dengan orang lain dari budaya yang berbeda, mengetahui agar setiap budaya perlu dilestarikan, bekerja efektif dengan orang dari latar belakang budaya berbeda.

Kemampuan yang dimaksud dalam kompetensi lintas budaya seperti tersebut di atas, hanya mungkin dimiliki oleh individu yang memiliki harga diri yang tinggi karena individu dengan harga diri yang tinggi cenderung memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Individu akan merasa yakin atas kemampuannya dan dapat menghadapi tantangan di dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Robbins (2002) yang menyatakan, bahwa harga diri adalah penilaian tentang diri sendiri yang menunjukkan seberapa besar merasa mampu, berhasil, dan berharga. Harga diri yang tinggi akan mengakibatkan individu menjadi orang yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Selain itu individu akan merasa lebih yakin dengan kemampuan yang dimilikinya dan akan merasa berguna bagi lingkungan sekitarnya. Dengan demikian kompetensi lintas budaya mempunyai hubungan dengan harga diri.


(10)

2.4. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: ada hubungaan yang signifikan antara kompetensi lintas budaya dengan harga diri karyawan.


(1)

dan kesamaan. Kompetensi mencakup kepekaan dan juga kemampuan untuk bekerja secara effektif dengan kebudayaan” (Mason, 1996). Mason juga membedakan kompetensi lintas budaya dalam dua level, yaitu level individual dan level organisasional. Pada level individual Mason mendefinisikan kompetensi lintas budaya sebagai: “the state of being capable of functioning effectively in the context of cultural differences.” Sedangkan pada level organisasi kompetensi lintas budaya adalah “A set of congruent practice skills, attitudes, policies and structures, which come together in a system, agency, or among professionals and enable that system, agency or those professionals to work effectively in the context of cultural differences.”

Pembahasan tentang kompetensi lintas budaya di sini lebih dibatasi pada kompetensi individual. Dari perspektif ini definisi Mason tersebut bisa dimaknai sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang (baik secara pribadi, berkelompok, organisasi atau dalam etnik dan ras) dalam melaksanakan aktifitas-aktifitas perjumpaan lintas budaya dan subbudaya. Dalam aktifitas tersebut, seseorang tidak hanya mengenali dan menghargai budaya orang lain, tapi juga bisa bekerjasama dengan orang yang berbeda budayanya itu (Mason, 1996). Kompetensi lintas budaya berkaitan dengan suatu keadaan dan kesiapan individu sehingga kapasitasnya dapat berfungsi efektif dalam situasi perbedaan budaya.

Mudzakir (2009) menjelaskan, apabila dasar pemahaman lintas budaya telah diletakkan, pembelajaran melalui latihan yang berkelanjutan atau pengalaman di tempat kerja, secara bertahap dapat mencapai apresiasi yang lebih halus tentang perbedaan budaya. Pemahaman lintas budaya tersebut terdiri dari:


(2)

1) Cross Cultural Knowledge

Pengetahuan lintas budaya sangat penting bagi dasar pemahaman lintas budaya. Tanpa hal ini apresiasi lintas budaya tidak akan terjadi. Ia merujuk kepada pengenalan tingkat permukaan dengan karakteristik budaya, nilai, kepercayaan, dan perilaku.

2 Cross Cultural Awareness

Kesadaran lintas budaya berkembang dari pengetahuan lintas budaya kala pembelajar memahami dan mengapresiasi secara internal suatu budaya. Ini mungkin akan disertai dengan perubahan pada perilaku dan sikap pembelajar, seperti fleksibilitas dan keterbukaan yang lebih besar.

3) Cross Cultural Sensitivity

Kepekaan lintas budaya merupakan hasil yang wajar dari kesadaran, dan merujuk kepada kemampuan untuk membaca situasi, konteks, dan perilaku yang secara budaya berakar dan dapat bereaksi kepadanya dengan tepat. Respons yang cocok menuntut bahwa pelaku tidak lagi membawa secara budaya tafsirannya sendiri yang telah ditentukan terhadap situasi atau perilaku (misalnya baik/buruk, benar/salah), yang hanya dapat dirawat dengan pengetahuan dan kesadaran lintas budaya.

4) Cross Cultural Competence

Kompetensi lintas budaya haruslah menjadi tujuan bagi mereka yang berhadapan dengan klien, pelanggan atau kolega multibudaya. Kompetensi merupakan tahap final dari pemahaman lintas budaya, dan menunjukkan kemampuan pelaku untuk mengerjakan lintas budaya secara efektif. Kompetensi lintas budaya melampaui pengetahuan, kesadaran dan kepekaan karena ia merupakan pencernaan,


(3)

per-paduan dan transformasi dari semua keterampilan dan informasi yang dicari, diterapkan untuk menciptakan sinergi budaya di tempat kerja.

Keberagaman budaya harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak berdampak buruk terhadap kinerja organisasi tetapi justru memperkaya khasanah sumber daya. Kekayaan ini dioptimalkan sebagai modal hidup nan aktif bagi pencapaian kinerja yang lebih baik. Dengan kompetensi lintas budaya yang baik dimungkinkan pengelolaan keragaman ini dari tataran perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi. Dengan mengakomodir dinamika multikultural, kerangka manajemen ditransformasikan dari keseragaman menjadi kohesi atas keragaman. Transformasi ini pada akhirnya akan meningkatkan efektivitas kinerja organisasi.

2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kompetensi Lintas Budaya

Kompetensi lintas budaya tidak begitu saja dimiliki oleh seseorang. Ia juga tidak serta-merta muncul ketika seseorang mempelajari budaya orang atau kelompok lain. Kompetensi lintas budaya memerlukan sebuah pengalaman pribadi akan perjumpaan dengan orang atau kelompok budaya yang berlainan. Dalam perjumpaan lintas budaya, tiga hal penting perlu dimiliki oleh seseorang, yaitu kesadaran, pengetahuan dan keterampilan (Mason 2009).

1. Kesadaran (awareness) adalah reaksi seseorang terhadap orang yang berbeda secara budaya. Untuk memahami budaya orang lain, pertama-tama seseorang perlu memahami kebudayaannya sendiri. Mereka perlu mengeksplorasi diri mereka sendiri untuk memeriksa kebudayaannya sendiri dan proses sosialisasi yang mempengaruhi mereka ketika mereka berinteraksi dengan orang atau kelompok budaya yang lain. Pemeriksaan ini diperlukan supaya seseorang bisa


(4)

menyadari berbagai bias dan prasangka yang ada dalam diri mereka dan kemudian mengeliminasinya dalam proses-proses perjumpaan lintas budaya.

2. Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan merupakan komponen kedua dari kompetensi lintas budaya. Ia merujuk kepada pengenalan terhadap karakteristik nilai, kepercayaan, dan perilaku dari orang atau kelompok budaya yang lain. Aspek pengetahuan biasanya diperoleh dengan mempelajari budaya-budaya yang lain, lewat bermacam-macam cara, seperti membaca buku, berbicara dan berinteraksi dengan orang yang berasal dari kebudayaan lain.

3. Keterampilan (skill). Aspek ini menunjuk pada kemampuan untuk bekerja secara effektif dengan orang-orang yang berbeda budaya. Dalam dunia kerja, Hsien-Wu mengembangkan aspek skill ini ke dalam apa yang disebutnya sebagai social skill. Social Skill adalah sub-constructs dari dari social effectiveness construct, yaitu kemampuan untuk membaca memahami dan mengontrol interaksi social secara effektif. Social Skill terdiri atas tiga hal penting, yaitu social presentation, social scanning dan social flexibility.

2.3. Hubungan antara Kompetensi Lintas Budaya dengan Harga diri Karyawan Kompetensi berasal dari bahasa Inggris ”competence” yang berarti kemampuan, keahlian. Kompetensi yang ada dalam diri seseorang merupakan suatu potensi bawaan dan bisa berkembang oleh lingkungan sekitar. Kompetensi didasari pada kemampuan dalam melaksanakan sesuatu yang didapatkan seseorang melalui pendidikan. Kompetensi lintas budaya adalah kemampuan mengenali dan saling menghargai perbedaan-perbedaan apapun untuk menjamin efektivitas perilaku


(5)

organisasi. Kompetensi ini menunjukkan kemampuan individu dapat menerima, menghargai bahkan mencairkan sekat-sekat budaya untuk membangun budaya organisasi. Beberapa indikator kompetensi lintas budaya, antara lain mampu berpikir global dan bertindak secara lokal, bekerja efektif dengan orang dari budaya yang berbeda, menyukai pengalaman dalam menyelami budaya yang berbeda, belajar dengan orang lain dari budaya yang berbeda, mengetahui agar setiap budaya perlu dilestarikan, bekerja efektif dengan orang dari latar belakang budaya berbeda.

Kemampuan yang dimaksud dalam kompetensi lintas budaya seperti tersebut di atas, hanya mungkin dimiliki oleh individu yang memiliki harga diri yang tinggi karena individu dengan harga diri yang tinggi cenderung memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Individu akan merasa yakin atas kemampuannya dan dapat menghadapi tantangan di dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Robbins (2002) yang menyatakan, bahwa harga diri adalah penilaian tentang diri sendiri yang menunjukkan seberapa besar merasa mampu, berhasil, dan berharga. Harga diri yang tinggi akan mengakibatkan individu menjadi orang yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Selain itu individu akan merasa lebih yakin dengan kemampuan yang dimilikinya dan akan merasa berguna bagi lingkungan sekitarnya. Dengan demikian kompetensi lintas budaya mempunyai hubungan dengan harga diri.


(6)

2.4. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: ada hubungaan yang signifikan antara kompetensi lintas budaya dengan harga diri karyawan.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Pemasaran Grand Wahid Hotel Salatiga dalam Upaya Meningkatkan Pelayanan terhadap konsumen

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Iklim Organisasi dengan Komitmen Organisasi pada Karyawan Hotel Grand Wahid Salatiga

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kompetensi Lintas Budaya Dengan Harga Diri Karyawan Grand Wahid Hotel Salatiga T1 132006703 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kompetensi Lintas Budaya Dengan Harga Diri Karyawan Grand Wahid Hotel Salatiga T1 132006703 BAB IV

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kompetensi Lintas Budaya Dengan Harga Diri Karyawan Grand Wahid Hotel Salatiga T1 132006703 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kompetensi Lintas Budaya Dengan Harga Diri Karyawan Grand Wahid Hotel Salatiga

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Kompetensi Lintas Budaya Dengan Harga Diri Karyawan Grand Wahid Hotel Salatiga

0 0 29

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Pemasaran Grand Wahid Hotel Salatiga

0 3 11

T1 Abstract Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Komunikasi Pemasaran Terpadu Grand Wahid Hotel Salatiga dalam Meningkatkan Okupansi Paket Edutrip

0 1 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Hotel Grand Wahid Salatiga dalam Membangun Brand Image Melalui Media Promosi

0 0 20