KONSEP KESEJAHTERAAN HIDUP DALAM MANTRA TANDUR DI DESA KARANGNUNGGAL KECAMATAN CIBEBER KABUPATEN CIANJUR.

(1)

Yayah Sorayah, 2014

KONSEP KESEJAHTERAAN HIDUP DALAM MANTRA TANDUR DI DESA KARANGNUNGGAL KECAMATAN CIBEBER

KABUPATEN CIANJUR

SKRIPSI

disusun untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra

oleh Yayah Sorayah

1001032

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG 2014


(2)

Yayah Sorayah, 2014

KONSEP KESEJAHTERAAN HIDUP DALAM

MANTRA TANDUR DI DESA KARANGNUNGGAL

KECAMATAN CIBEBER KABUPATEN CIANJUR

Oleh Yayah Sorayah

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

© Yayah Sorayah 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

Yayah Sorayah, 2014

LEMBAR PENGESAHAN

YAYAH SORAYAH

KONSEP KESEJAHTERAAN HIDUP DALAM MANTRA TANDUR DI DESA KARANGNUNGGAL KECAMATAN CIBEBER

KABUPATEN CIANJUR

disetujui dan disahkan oleh:

Pembimbing I,

Dr. Sumiyadi, M.Hum. NIP 196603201991031004

Pembimbing II,

Drs. Memen Durachman, M.Hum. NIP 196306081988031002

Mengetahui,

Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dr. Dadang S. Anshori, M.Si. NIP 197204031999031002


(4)

THE CONCEPT OF PROSPERITY IN TRANSPLANTING SPELL AT DESA KARANGNUNGGAL KECAMATAN CIBEBER

KABUPATEN CIANJUR Yayah Sorayah

1001032

ABSTRACT

The title of the study is “Konsep Kesejahteraan Hidup dalam Mantra Tandur di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur”. The background of the study is come out caused by casting spell phenomena before a society’s group of people at Cianjur engage in farming. The study focuses on three variant of spells which is casted before planting that is called tandur (transplanting). The transplanting spell cast is conducting by someone called Candoli or the farmer. The goal of the study are to describe the structures, the spell cast contexts, the creating process, the function and meaning of the transplanting spell. The method used in this study is descriptive analysis method. It is kind of qualitative method. From the three variant spells investigated, the following are the result of the study. 1) The text of transplanting spells are constructed by particular structure which is emerge magical atmosphere and solemnity that explicitly telling the actual appealing in the farming activities. 2) the casting spell is conducted by doing a monologue in the solemn situation which is performed by the people who is engage in farming traditionally. 3) The creating process of the transplanting spells are structural and is given vertically and horizontally. 4) The transplanting spells for the owners have functions as educational device, cultural legality, and society’s projection system. 5) The meaning of transplanting spells are begging prosperity by getting wealth and spiritual composure, to show that human is extraordinary, as the honor to the ancestor, and as the form of pleading.


(5)

KONSEP KESEJAHTERAAN HIDUP DALAM MANTRA TANDUR DI DESA KARANGNUNGGAL KECAMATAN CIBEBER

KABUPATEN CIANJUR Yayah Sorayah

1001032

ABSTRAK

Judul penelitian ini adalah “Konsep Kesejahteraan Hidup dalam Mantra Tandur di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya fenomena penuturan mantra sebelum melaksanakan kegiatan bertani di suatu kelompok masyarakat di Cianjur. Penelitian dikhususkan membahas tiga varian mantra yang dituturkan sebelum melaksanakan penanaman padi yang disebut dengan tandur. Penuturan mantra tandur dilakukan oleh seorang Candoli ataupun petani. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan struktur, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi dan makna mantra tandur. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Metode tersebut merupakan metode penelitian kualitatif. Pengkajian dari tiga varian mantra tandur didapati hasil sebagai berikut. 1) Teks mantra tandur dibangun oleh struktur tertentu yang memunculkan efek magis dan suasana khusyuk yang menegaskan maksud tujuan permohonan dan keadaan yang dikehendaki dalam kegiatan pertanian. 2) Penuturan mantra dilakukan dengan cara monolog dalam suasana khidmat yang dilaksanakan oleh masyarakat yang masih melaksanakan kegiatan pertanian tradisional. 3) Penciptaan mantra tandur adalah terstruktur dan diwariskan dengan proses pewarisan vertikal dan horizontal. 4) Mantra tandur bagi pemiliknya memiliki fungsi sebagai alat pendidikan, pengesah kebudayaan dan sebagai sistem proyeksi masyarakat. 5) Makna yang terkandung dalam mantra tandur adalah sebagai permohonan kesejahteraan hidup berupa kepemilikan harta dan ketenangan batin, menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan, sebagai penghormatan kepada karuhun dan sebagai bentuk kesungguhan dalam berdoa.


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Masalah Penelitian ... 12

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Tujuan Penelitian ... 14

E. Manfaat Penelitian ... 14

F. Penjelasan Istilah ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 17

A. Landasan Teori ... 17

1. Mantra sebagai Folklor ... 17

2. Mantra sebagai Sastra Lisan ... 18

3. Struktur Teks ... 20

4. Konteks Penuturan ... 25

5. Proses Penciptaan ... 26

6. Semiotika ... 26

B. Kajian yang Relevan ... 30

1. Mantra Bercocok Tanam Padi ... 31

2. Mantra Pertanian Jagung ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 34


(7)

B. Metode Penelitian ... 34

C. Objek Penelitian ... 35

D. Prosedur Penelitian ... 35

E. Teknik Pengumpulan Data ... 36

F. Instrumen Penelitian ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Mantra Tandur Varian Satu ... 40

1. Struktur ... 44

2. Konteks Penuturan ... 140

3. Proses Penciptaan ... 150

4. Fungsi ... 151

5. Makna ... 155

B. Mantra Tandur Varian Dua ... 161

1. Struktur ... 163

2. Konteks Penuturan ... 228

3. Proses Penciptaan ... 238

4. Fungsi ... 239

5. Makna ... 242

C. Mantra Tandur Varian Tiga ... 246

1. Struktur ... 248

2. Konteks Penuturan ... 309

3. Proses Penciptaan ... 318

4. Fungsi ... 319

5. Makna ... 321

BAB V PENUTUP ... 325

A. Simpulan ... 325

B. Rekomendasi ... 329 DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1: Daftar isian lembar pengamatan ... 37

Tabel 3.2: Daftar pertanyaan informasi mantra ... 38

Tabel 3.3: Daftar Pertanyaan informasi kemasyarakatan ... 39

Tabel 4.1 Fungsi Sintaksis Kalimat 1 MT varian satu ... 45

Tabel 4.2 Fungsi Sintaksis Kalimat 2 MT varian satu ... 46

Tabel 4.3 Fungsi Sintaksis Kalimat 3 MT varian satu ... 48

Tabel 4.4 Fungsi Sintaksis Kalimat 4 MT varian satu ... 48

Tabel 4.5 Fungsi Sintaksis Kalimat 5 MT varian satu ... 49

Tabel 4.6 Fungsi Sintaksis Kalimat 6 MT varian satu ... 50

Tabel 4.7 Fungsi Sintaksis Kalimat 7 MT varian satu ... 51

Tabel 4.8 Fungsi Sintaksis Klausa Pertama pada Kalimat 8 MT varian satu .. 53

Tabel 4.9 Fungsi Sintaksis Klausa Kedua pada Kalimat 8 MT varian satu .... 53

Tabel 4.10 Fungsi Sintaksis Kalimat 9 MT varian satu ... 54

Tabel 4.11 Fungsi Sintaksis Kalimat 10 MT varian satu ... 56

Tabel 4.12 Fungsi Sintaksis Kalimat 11 MT varian satu ... 57

Tabel 4.13 Fungsi Sintaksis Kalimat 12 MT varian satu ... 58

Tabel 4.14 Fungsi Sintaksis Kalimat 13 MT varian satu ... 58

Tabel 4.15 Fungsi Sintaksis Kalimat 14 MT varian satu ... 59

Tabel 4.16 Fungsi Sintaksis Kalimat 15 MT varian satu ... 60

Tabel 4.17 Fungsi Sintaksis Kalimat 16 MT varian satu ... 60

Tabel 4.18 Fungsi Sintaksis Kalimat 17 MT varian satu ... 61

Tabel 4.19 Fungsi Sintaksis Kalimat 18 MT varian satu ... 61

Tabel 4.20 Fungsi Sintaksis Kalimat 19 MT varian satu ... 62

Tabel 4.21 Fungsi Sintaksis Kalimat 20 MT varian satu ... 63

Tabel 4.22 Fungsi Sintaksis Kalimat 21 MT varian satu ... 64

Tabel 4.23 Fungsi Sintaksis Kalimat 22 MT varian satu ... 64

Tabel 4.24 Fungsi Sintaksis Klausa Pertama pada Kalimat 23 MT varian satu. 66 Tabel 4.25 Fungsi Sintaksis Klausa Kedua pada Kalimat 23 MT varian satu 66


(9)

Tabel 4.27 Fungsi Sintaksis Kalimat 25 MT varian satu ... 68

Tabel 4.28 Fungsi Sintaksis Kalimat 26 MT varian satu ... 68

Tabel 4.29 Fungsi Sintaksis Kalimat 27 MT varian satu ... 69

Tabel 4.30 Fungsi Sintaksis Kalimat 28 MT varian satu ... 70

Tabel 4.31 Formula Bunyi pada MT varian satu ... 78

Tabel 4.32 Formula Irama MT varian satu ... 88

Tabel 4.33 Isotopi Tuhan MT varian satu ... 95

Tabel 4.34 Isotopi Makhluk MT varian satu ... 96

Tabel 4.35 Isotopi Harapan MT varian satu ... 99

Tabel 4.36 Isotopi Benda MT varian satu ... 100

Tabel 4.37 Isotopi Tempat MT varian satu ... 101

Tabel 4.38 Isotopi Kekuasaan MT varian satu ... 102

Tabel 4.39 Isotopi Kekayaan MT varian satu ... 104

Tabel 4.40 Isotopi Kesuburan MT varian satu ... 105

Tabel 4.41 Isotopi Perbuatan MT varian satu ... 106

Tabel 4.42 Isotopi Waktu MT varian satu ... 107

Tabel 4.43 Isotopi Kemurnian MT varian satu ... 108

Tabel 4.44 Isotopi Kegaiban MT varian satu ... 109

Tabel 4.45 Isotopi Ketidakmustahilan MT varian satu ... 110

Tabel 4.46 Isotopi Keagrarisan MT varian satu ... 112

Tabel 4.47 Isotopi Keperempuana MT varian satu ... 113

Tabel 4.48 Isotopi Kelelakian MT varian satu ... 114

Tabel 4.49 Isotopi Manusia MT varian satu ... 115

Tabel 4.50 Isotopi Kepemimpinan MT varian satu ... 116

Tabel 4.51 Isotopi Karuhun MT varian satu ... 117

Tabel 4.52 Isotopi Kenabian MT varian satu ... 118

Tabel 4.53 Isotopi Keislaman MT varian satu ... 119

Tabel 4.54 Isotopi Ucapan MT varian satu ... 119

Tabel 4.55 Isotopi Kepemilikan MT varian satu ... 121

Tabel 4.56 Isotopi Pasangan MT varian satu ... 121


(10)

Tabel 4.58 Isotopi Penghambaan MT varian satu ... 123

Tabel 4.59 Isotopi Arah MT varian satu ... 124

Tabel 4.60 Isotopi Kesucian MT varian satu ... 124

Tabel 4.61 Isotopi Doa MT varian satu ... 125

Tabel 4.62 Isotopi Bumi MT varian satu ... 126

Tabel 4.63 Isotopi Tujuan MT varian satu ... 128

Tabel 4.64 Isotopi Kepercayaan MT varian satu ... 129

Tabel 4.65 Isotopi Kehendak MT varian satu ... 131

Tabel 4.66 Isotopi Jumlah MT varian satu ... 131

Tabel 4.67 Isotopi Rupa MT varian satu ... 132

Tabel 4.68 Isotopi Keistimewaan MT varian satu ... 133

Tabel 4.69 Isotopi Permintaan MT varian satu ... 134

Tabel 4.70 Isotopi Upaya MT varian satu ... 135

Tabel 4.71 Isotopi Penghormatan MT varian satu ... 136

Tabel 4.72 Isotopi Permulaan MT varian satu ... 137

Tabel 4.73 Sistem Kekerabatan Tujuh Paturunan ... 147

Tabel 4.74 Fungsi Sintaksis Kalimat 1MT varian dua ... 164

Tabel 4.75 Fungsi Sintaksis Klausa Pertama pada Kalimat 2 MT varian dua 166

Tabel 4.76 Fungsi Sintaksis Klausa Kedua pada Kalimat 2 MT varian dua ... 166

Tabel 4.77 Fungsi Sintaksis Kalimat 3 MT varian dua ... 167

Tabel 4.78 Fungsi Sintaksis Kalimat 4 MT varian dua ... 169

Tabel 4.79 Fungsi Sintaksi Klausa Inti Kalimat 5 MT varian dua ... 171

Tabel. 4.80 Fungsi Sintaksis Klausa Sematan Kalimat 5 MT varian dua ... 171

Tabel 4.81 Fungsi Sintaksis Kalimat 6 MT varian dua ... 172

Tabel 4.82 Fungsi Sintaksis Kalimat 7 pada MT varian dua ... 173

Tabel 4.83 Fungsi Sintaksis Kalimat 8 MT varian dua ... 174

Tabel 4.84 Formula Bunyi MT varian dua ... 180

Tabel 4.85 Visualisasi Pola Irama MT varian dua ... 187

Tabel 4.86 Isotopi Keislaman MT varian dua ... 192

Tabel 4.87 Isotopi Tuhan MT varian dua ... 194


(11)

Tabel 4.89 Isotopi Manusia MT varian dua ... 195

Tabel 4.90 Isotopi Kekuasaan MT varian dua ... 196

Tabel 4.91 Isotopi Tempat MT varian dua ... 196

Tabel 4.92 Isotopi Karuhun MT varian dua ... 197

Tabel 4.93 Isotopi Keperempuanan MT varian dua ... 198

Tabel 4.94 Isotopi Kelelakian MT varian dua ... 198

Tabel 4.95 Isotopi Tumbuhan MT varian dua ... 199

Tabel 4.96 Isotopi Doa MT varian dua ... 200

Tabel 4.97 Isotopi Hasil MT varian dua ... 201

Tabel 4.98 Isotopi Panggilan MT varian dua ... 201

Tabel 4.99 Isotopi Permohonan MT varian dua ... 202

Tabel 4.100 Isotopi Kesuburan MT varian dua ... 203

Tabel 4.101 Isotopi Rupa MT varian dua ... 204

Tabel 4.102 Isotopi Sifat MT varian dua ... 205

Tabel 4.103 Isotopi Kepemilikan MT varian dua ... 206

Tabel 4.104 Isotopi Kekayaan MT varian dua ... 206

Tabel 4.105 Isotopi Waktu MT varian dua ... 207

Tabel 4.106 Isotopi Pasangan MT varian dua ... 208

Tabel 4.107 Isotopi Perbuatan MT varian dua ... 208

Tabel 4.108 Isotopi Harapan MT varian dua ... 209

Tabel 4.109 Isotopi Bumi MT varian dua ... 210

Tabel 4.110 Isotopi Penghambaan MT varian dua ... 211

Tabel 4.111 Isotopi Perumpamaan MT varian dua ... 212

Tabel 4.112 Isotopi Makhluk MT varia dua ... 212

Tabel 4.113 Isotopi Kegaiban MT varian dua ... 213

Tabel 4.114 Isotopi Ucapan MT varian dua ... 214

Tabel 4.115 Isotopi Ketidakmustahilan MT varian dua ... 215

Tabel 4.116 Isotopi Penghormatan MT varian dua ... 216

Tabel 4.117 Isotopi Kesejahteraan MT varian dua ... 217

Tabel 4.118 Isotopi Keagrarisan MT varian dua ... 218


(12)

Tabel 4.120 Isotopi Keniscayaan MT varian dua ... 220

Tabel 4.121 Isotopi Kehidupan MT varian dua ... 221

Tabel 4.122 Isotopi Keistimewaan MT varian dua ... 222

Tabel 4.123 Isotopi Keluasan MT varian dua ... 223

Tabel 4.124 Isotopi Tujuan MT varian dua ... 223

Tabel 4.125 Isotopi Contoh MT varian dua ... 224

Tabel 4.126 Isotopi Permulaan MT varian dua ... 225

Tabel 4.127 Fungsi Sintaksis Kalimat 3 MT varian tiga ... 250

Tabel 4.128 Fungsi Sintaksis Kalimat 4 MT varia tiga ... 251

Tabel 4.129 Fungsi Sintaksis Kalimat 5 MT varian tiga ... 252

Tabel 4.130 Fungsi Sintaksis Kalimat 6 MT varian tiga ... 254

Tabel 4.131 Fungsi Sintaksis Klausa Inti Kalimat 7 MT varian tiga ... 256

Tabel 4.132 Fungsi Sintaksis Klausa Sematan Kalimat 7 MT varian tiga ... 256

Tabel 4.133 Fungsi Sintaksis Klausa Pertama pada Kalimat 10 MT varian tiga.258 Tabel 4.134 Fungsi Sintaksis Klausa Kedua pada Kalimat 10 MT varian tiga . 258 Tabel 4.135 Formula Bunyi pada MT varian tiga ... 265

Tabel 4.136 Visualisasi Formula Irama MT varian tiga ... 270

Tabel 4.137 Isotopi Keislaman MT varian tiga ... 276

Tabel 4.138 Isotopi Arah MT varian tiga ... 277

Tabel 4.139 Isotopi Makhluk MT varian tiga ... 278

Tabel 4.140 Isotopi Kekuasaan MT varian tiga ... 279

Tabel 4.141 Isotopi Kesejahteraan MT varian tiga ... 280

Tabel 4.142 Isotopi Perbuatan MT varian tiga ... 281

Tabel 4.143 Isotopi Waktu MT varian tiga ... 281

Tabel 4.144 Isotopi Tumbuhan MT varian tiga ... 282

Tabel 4.145 Isotopi Hasil MT varian tiga ... 283

Tabel 4.146 Isotopi Doa MT varian tiga ... 283

Tabel 4.147 Isotopi Benda MT varian tiga ... 284

Tabel 4.148 Isotopi Nama MT varian tiga ... 285

Tabel 4.149 Isotopi Jumlah MT varian tiga ... 286


(13)

Tabel 4.151 Isotopi Kekuatan MT varian tiga ... 287

Tabel 4.152 Isotopi Perasaan MT varian tiga ... 288

Tabel 4.153 Isotopi Kemurnian MT varian tiga ... 288

Tabel 4.154 Isotopi Manusia MT varian tiga ... 289

Tabel 4.155 Isotopi Kegaiban MT varian tiga ... 289

Tabel 4.156 Isotopi Kehidupan MT varian tiga ... 290

Tabel 4.157 Isotopi Kepercayaan MT varian tiga ... 291

Tabel 4.158 Isotopi Keniscayaan MT varian tiga ... 292

Tabel 4.159 Isotopi Penghormatan MT varian tiga ... 293

Tabel 4.160 Isotopi Ucapan MT varian tiga ... 294

Tabel 4.161 Isotopi Panggilan MT varian tiga ... 295

Tabel 4.162 Isotopi Tujuan MT varain tiga ... 296

Tabel 4.163 Isotopi Harapan MT varian tiga ... 297

Tabel 4.164 Isotopi Bumi MT varian tiga ... 297

Tabel 4.165 Isotopi Keagrarisan MT varian tiga ... 298

Tabel 4.166 Isotopi Fatis MT varian tiga ... 299

Tabel 4.167 Isotopi Kesuburan MT varian tiga ... 300

Tabel 4.168 Isotopi Inti MT varian tiga ... 301

Tabel 4.169 Isotopi Permulaan MT varian tiga ... 301

Tabel 4.170 Isotopi Keistimewaan MT varian tiga ... 302

Tabel 4.171 Isotopi Kepemilikan MT varian tiga ... 303

Tabel 4.172 Isotopi Maksud MT varian tiga ... 303

Tabel 4.173 Isotopi Kemampuan MT varian tiga ... 304

Tabel 4.174 Isotopi Keperempuanan MT varian tiga ... 305

Tabel 4.175 Isotopi Kelelakian MT varian tiga ... 306


(14)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Unsur Pembentuk Tanda ... 27

Bagan 4.1 Pembentukan Tema dalam Teks MT varian satu ... 139

Bagan 4.2 Pembentukan Tema dalam Teks MT varian dua ... 228

Bagan 4.3 Pembentukan Tema dalam Teks MT varian tiga ... 309


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Bangunan Rumah di Kampung Pasarean ... 234

Gambar 4.2 Naktu Poe ... 236

Gambar 4.3 Naktu Bulan ... 236

Gambar 4.4 Endog semar ... 311


(16)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Sejak dulu masyarakat Indonesia telah mengenal mantra. Mantra merupakan perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib. Sebagaimana arti kata mantra yang terdapat dalam Kamus Basa Sunda (Danadibrata, 2009:428), mantra berasal dari Bahasa Sansakerta, yang identik dengan kata jampe atau ajian. Jampé memiliki arti sebagai ucapan, berupa pelafalan untaian kata yang tidak dipakai sehari-hari untuk menyembuhkan suatu penyakit atau mengembalikan pada keadaan semula (Danadibrata, 2009:281).

Mantra juga dikenal masyarakat Indonesia sebagai rapalan „ucapan dalam bahasa tertentu‟ untuk maksud dan tujuan tertentu (maksud baik maupun maksud kurang baik). Mantra merupakan puisi lisan yang bersifat magis. Magis berarti sesuatu yang dipakai manusia untuk mencapai tujuannya dengan cara-cara yang istimewa. Perilaku magis disebut juga sebagai perilaku yang dilakukan untuk mencapai suatu maksud tertentu yang dipercaya manusia ada di alam supranatural (Rusyana, 1970:3).

Dalam dunia sastra, mantra adalah salah satu bentuk sastra lisan yaitu puisi rakyat, kalimatnya tidak berbentuk bebas melainkan berbentuk terikat (Danandjaja, 1984:46). Lebih lanjut, Zaimar (dalam Pudentia, 2008:221) menyatakan bahwa “berbagai teks lisan yang tidak bersifat naratif pun dapat dianggap sastra lisan, misalnya lagu-lagu, teks humor, teka-teki, dan jampi-jampi dukun”. Mantra dikategorikan sebagai sastra lisan karena berupa puisi magis yang dimiliki oleh masyarakat yang diperoleh dan disebarkan secara lisan.

Kata-kata yang merangkai sebuah mantra tersusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan efek-efek suara dan irama yang magis. Kata-kata dalam mantra pun ada beberapa yang merupakan kata arkais, yang tidak dikenal lagi saat ini. Penuturan mantra dapat dilakukan baik oleh orang yang memiliki kemampuan khusus dalam hal magis misalnya dukun ataupun oleh orang-orang secara umum. Mantra yang dituturkan oleh dukun biasanya mantra yang


(17)

2

dituturkan untuk maksud-maksud tertentu seperti untuk menangkal hujan, mantra pengobatan, mantra persalinan dan sebagainya. Mantra yang dapat dituturkan oleh kalangan umum adalah mantra yang sifatnya digunakan untuk laku sehari-hari, misalnya mantra akan mandi, mantra berdandan, mantra akan memulai pekerjaan, mantra akan bepergian dan yang lainnya.

Berbicara mengenai mantra tidak bisa terlepas dari tradisi masyarakat, khususnya tradisi lisan. Saat ini tradisi tulis bisa dikatakan lebih mendominasi. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa tradisi lisan merupakan tradisi yang lebih awal dikenal masyarakat dan tidak bisa dipisahkan dari tradisi tulis. Mantra sebagai bagian dari tradisi lisan mempunyai peluang bertahan, berkembang atau bisa juga punah. Perkembangan dan kepunahan suatu tradisi pun bergantung pada masyarakat pemilik tradisi. Kepunahan tradisi lisan disebabkan terlalu lama tidak diingat oleh masyarakat dan tidak pernah didengarkan lagi (Olrik dalam Sukatman, 2009:13).

Ali ( dalam Sukatman, 2009:3) juga menyatakan bahwa kepunahan tradisi lisan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sebagai dampak keberhasilan pembangunan diiringi merambahnya media audio-visual sehingga anak-anak melupakan tradisi lisan. Kedua, tidak ada alih cerita dan penutur generasi tua sudah banyak yang meninggal dunia dan generasi muda enggan mewarisi tradisi karena dianggap kuno. Ketiga, kurangnya kesadaran dari pemerintah maupun masyarakat akan pentingnya fungsi tradisi lisan.

Jika dilihat dari perkembangan tradisi lisan saat ini, tradisi lisan cenderung mendekati kepunahan. Misalnya saja dalam tradisi pernikahan, banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan adat pernikahan tradisional. Selain itu, permainan-permainan tradisional anak pun sudah mulai ditinggalkan. Permainan tradisional sepertinya “kalah saing” dengan permainan saat ini yang sarat dengan penggunaan teknologi. Penuturan mantra pun kini mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat. Hal ini sebagai akibat semakin berkembangnya pemikiran masyarakat di era modern yang menuntut serba praktis dan banyaknya pemikiran bahwa penggunaan mantra merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan dalam pandangan agama.


(18)

3

Penggunaan mantra di masyarakat modern saat ini sudah mulai ditinggalkan. Padahal, sebagai tradisi masyarakat yang sudah turun-temurun, mantra memiliki nilai kearifan yang perlu digali. Mantra sebagai sastra lisan yang lebih khusus sebagai folklor jelas memiliki nilai. Danandjaja (dalam Pudentia, 2008:73) mengungkapkan bahwa folklor baik secara terselubung maupun secara gamblang melukiskan cara berpikir pemiliknya. Ketika masyarakat sudah mulai meninggalkan tradisi, maka tidak dimungkiri bahwa sebenarnya masyarakat sudah meninggalkan nilai-nilai luhur yang dianutnya secara turun-temurun. Dalam kegiatan bertani misalnya, adanya penuturan mantra merupakan suatu upaya memohon perlindungan kepada yang kuasa di luar kekuasaan manusia. Hal tersebut menunjukkan adanya kesadaran bahwa manusia memiliki keterbatasan dan memiliki kemampuan untuk berusaha, salah satunya adalah berdoa kepada yang menguasai kehidupan. Oleh sebab itu, perlu kiranya ada penelitian mengenai mantra, bertujuan untuk menggali nilai-nilai kearifan dengan harapan dapat diejawantahkan dalam kehidupan masyarakat. Salah satu nilai yang dapat diambil dari pengkajian terhadap mantra ialah bahwa manusia memiliki potensi baik secara ragawi dan rohani. Potensi yang dimiliki tersebut semestinya dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Keberadaan mantra di masyarakat sangat bergantung pada tingkat kepercayaan masyarakat. Kepercayaan terhadap adanya jiwa yang menguasai alam sehingga dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia dan alam sekitar merupakan dasar adanya mantra yang digunakan masyarakat (Rusyana, 1970:5). Di Indonesia sendiri, masih ada beberapa kelompok masyarakat yang kuat kepercayaannya terhadap mantra. Biasanya, mantra menggunakan bahasa daerah masing-masing dan ada pula yang dipengaruhi bahasa tertentu. Ada banyak mantra yang dimiliki oleh masyarakat. Pada umumnya mantra digunakan sebagai doa untuk penolak bala, penjemput rezeki, mantra pemikat dan sebagainya.

Secara umum mantra berfungsi sebagai usaha mancapai satu tujuan dengan cara melakukan suatu kegiatan yang bersifat magis dan berkaitan dengan alam supranatural untuk tujuan baik atau jahat. Berdasarkan sifat dan akibatnya, mantra digolongkan menjadi mantra kebaikan dan mantra kejahatan. Berdasarkan


(19)

4

hubungan magisnya, mantra dibedakan menjadi mantra syirik yaitu mantra yang penggunaannya bersekutu dengan syetan dan mantra tauhid yang menurut kepercayaan penggunanya adalah mantra yang dalam penggunaannya memohon kepada Tuhan (Sukatman, 2009:62).

Lebih lanjut, Sukatman (2009:63) menyatakan bahwa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa berdasarkan isi dan fungsinya mantra digolongkan menjadi lima kelompok besar. Pertama, mantra penyucian roh, ialah mantra yang digunakan untuk menyucikan ruh manusia misalnya mantra ruwatan. Kedua, mantra aji kejayaan. Mantra aji kejayaan mencakup mantra kedigdayaan dan mantra pengasihan. Ketiga, mantra pertanian yang mencakup mantra penanaman, mantra petik dan mantra penyimpanan. Keempat, mantra pengobatan mencakup mantra untuk meyembuhkan sakit dan mantra untuk mengusir gangguan jin. Kelima, adalah mantra komunikasi magis. Mantra komunikasi magis mencakup mantra suguh sesaji, mantra pemanggil roh dan mantra pengusir roh. Mendapati fakta bahwa kegiatan bermantra mulai ditinggalkan, peneliti merasa tertarik untuk meneliti mantra.

Dalam penelitian ini, penelitian mantra terfokus pada mantra yang digunakan dalam pertanian padi. Dalam budaya Sunda terdapat beberapa ritual yang harus dilakukan ketika proses bertani padi. Ritual-ritual tersebut berupa perilaku yang harus dilakukan dan larangan yang tidak boleh dilakukan oleh pemilik sawah. Ritual-ritual tersebut dimaksudkan untuk menghormati yang berada di alam supranatural. Ada kepercayaan bahwa bumi tempat menanam padi tersebut ada yang menguasai dan mesti dihormati (Soeganda, 1982:150).

Ritual-ritual yang dilakukan ketika proses menanam padi tentunya melibatkan mantra yang digunakan sebagai doa. Mantra yang dituturkan sebagaimana sebelumnya telah disebutkan, bertujuan untuk menghormati yang berada di alam supranatural. Hal tersebut menunjukkan adanya pandangan bahwa ada penguasa(an) yang lain di luar manusia yang berada di alam. Selain itu, mantra juga dimaksudkan untuk mengusir hal-hal buruk yang akan mengganggu padi, seperti setan atau siluman (Soeganda, 1982:155). Pandangan lain menyatakan bahwa penggunaan mantra ketika bertani padi ialah sebagai


(20)

5

penghormatan kepada padi. Sebagaimana diketahui bahwa sumber makanan pokok di masyarakat Sunda adalah beras, dari beras itulah manusia mendapatkan tenaga untuk beraktivitas. Karenanya, perlu adanya suatu penghormatan kepada padi yang telah berjasa bagi kehidupan manusia.

Ritual-ritual tersebut tentu sudah ditinggalkan oleh masyarakat modern. Peursen (1988:34) menyatakan bahwa bagi masyarakat modern, ritual-ritual tersebut dianggap primitif. Akan tetapi, kata “primitif” tentu tidak cocok disematkan pada bentuk- bentuk ritual yang dilakukan oleh suatu kelompok tertentu. Pada kenyataannya dalam ritual-ritual tertentu menampilkan bahwa manusia berhubungan langsung dengan kekuatan-kekuatan alam yang rahasia. Pemahaman terhadap peristiwa tersebut begitu rumit dan tentu jauh dari kata primitif.

Keyakinan terhadap adanya kekuasaan di luar manusia berkaitan dengan alam pikiran mitis. Pada kebudayaan mitis, manusia menyadari bahwa adanya dunia transenden, ialah dunia tempat sesuatu berada yang memiliki kekuasaan di atas dan di luar jangkauan manusia. Pada kebudayaan mitis, manusia cenderung memiliki keyakinan terhadap mitos. Mitos ialah cerita yang bagi kelompok tertentu merupakan sebuah pedoman. Mitos memiliki tiga fungsi, yakni: menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-kekuatan di luar manusia; memberi jaminan pada kehidupan; dan perantara antara manusia dan kekuatan alam (Peursen, 1988:37-41).

Mitos Nyi Pohaci Sanghiang Sri misalnya, bagi masyarakat Sunda merupakan pedoman dalam hidupnya. Untuk menghormati Nyi Pohaci Sanghiang Sri dan mengingat jasanya kepada manusia, masyarakat Sunda menanam tanaman-tanaman, terutama padi yang dianggap berasal dari jasad Nyi Pohaci Sanghiang Sri. Dalam kegiatan pertanian tersebut dilakukan ritual-ritual karena percaya bahwa dengan melakukan ritual tertentu akan memperoleh keberhasilan pertanian seperti yang diperoleh oleh generasi terdahulu.

Dalam pertanian orang Sunda dikenal tahapan-tahapan kegiatan dalam bertani, yaitu pertama, menyiapkan lahan perbenihan di sawah. Kedua, menyiapkan benih di rumah. Ketiga, menabur benih atau tebar di lahan


(21)

6

persemaian setelah satu malam benih direndam dalam air dan dibiarkan di tempat kering selama satu malam pula. Keempat, menyiapkan lahan sawah. Kelima, setelah benih tumbuh menjadi padi yang masih muda, dilakukan penanaman padi di lahan yang sudah disediakan. Keenam, pemeliharaan tanaman padi dengan menyiangi dan memberikan pupuk. Ketujuh, panen yaitu memotong padi yang sudah berbuah. Sebelum panen, biasanya dilakukan kenduri pada petang hari sehari sebelum padi dipanen. Kedelapan, menyimpan padi di lumbung. Penyimpanan padi di lumbung yang dinamakan leuit sudah mulai jarang sekarang, hanya sedikit saja kelompok masyarakat yang masih memiliki leuit sebagai tempat penyimpanan padi (Iskandar, 2011: 106-125).

Penelitian ini mengkaji mantra menanam padi. Berdasarkan klasifikasi mantra yang dipaparkan Rusyana (1970:12), mantra menanam padi merupakan jenis mantra yang berupa jangjawokan, yaitu mantra yang digunakan ketika akan memulai suatu kegiatan atau pekerjaan. Mantra menanam padi (tandur) sendiri merupakan bagian dari jangjawokan tatanen, yaitu jangjawokan dalam pertanian. Dalam penyebutan lokal, mantra menanam padi disebut dengan jampé tandur. Jampé secara istilah merupakan salah satu klasifikasi dari mantra (Rusyana, 1970:13), namun pada umumnya masyarakat menyebut mantra sebagai jampé atau dalam bahasa indonesia disebut dengan “jampi”. Hal tersebut menunjukkan bahwa menurut pandangan masyarakat jampi sama dengan mantra, sedangkan dalam istilah akademik, jampé adalah salah satu dari jenis mantra.

Dalam penelitian ini digunakan istilah mantra tandur, istilah ini akan mudah dikenali oleh berbagai kalangan masyarakat pada umumya. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan mantra tandur dalam penelitian ini adalah mantra yang berjenis jangjawokan yang dituturkan sebelum melakukan tandur. Akan tetapi sebutan lokal untuk mantra tandur ini adalah jampé tandur. Agar tidak rumit dalam memahami objek penelitian, baiknya dipaparkan terlebih dahulu pengertian antara jampé dan jangjawokan. Rusyana (1970:13) menyatakan bahwa jampé merupakan mantra yang digunakan untuk menyembuhkan sakit baik karena penyakit maupun karena kecelakaan, sedangkan jangjawokan ialah mantra yang digunakan ketika akan melakukan suatu pekerjaan yang bertujuan supaya


(22)

7

hasilnya unggul dan yang menuturkannya mendapat keselamatan (Rusyana, 1970:12). Jelaslah perbedaan antara jampé dan jangjawokan. Keduanya adalah jenis mantra tetapi dalam klasifikasi yang berbeda, jangjawokan merupakan mantra untuk beraktivitas sedangkan jampé adalah mantra unttuk pengobatan. Namun, sebagian masyarakat pada umumnya menyebutkan jampé untuk segala jenis mantra yang mereka gunakan, termasuk dalam penyebutan mantra untuk menanam padi, yakni jampé tandur.

Mantra tandur merupakan salah satu mantra yang masih digunakan oleh sebagian masyarakat Cianjur. Mantra tandur yang selanjutnya disingkat menjadi MT, ialah salah satu mantra yang dituturkan dalam rangkaian kegiatan bercocok tanam padi. Di Cianjur, ada beberapa kelompok masyarakat yang dalam kegiatan bertaninya masih menggunakan mantra. Salah satu daerah yang dalam kegiatan bertaninya masih menggunakan mantra yaitu Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur.

Penuturan MT biasanya dilakukan dalam pertanian tradisional. Hampir seluruh kegiatan bertani tradisional selalu dimulai dengan menuturkan mantra. Mantra yang paling utama dalam rangkaian bercocok tanam padi yaitu mantra tebar (menebar benih), mantra tandur (menanam padi), dan mantra dibuat (panen). Ketiga mantra tersebut dikatakan sebagai mantra yang utama karena dituturkan pada kegiatan yang secara berurutan langsung berkaitan dengan padi. Penuturan mantra-mantra tersebut dilakukan oleh seorang Candoli. Danadibrata (2009:126) menyatakan Candoli adalah perempuan yang bertugas menjaga tempat penyimpanan beras dan bahan-bahan makanan yang lainnya di acara hajatan. Namun, di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur Candoli memiliki arti sebagai orang yang memiliki keahlian dalam hal yang berkaitan dengan metafisika. Lebih sederhananya, Candoli bisa disebut juga sebagai dukun (dukun putih).

Sebelum melaksanakan salah satu kegiatan dalam rangkaian kegiatan bertani, pemilik sawah biasanya meminta bantuan seorang Candoli untuk menuturkan mantra. Misalnya saja pada saat akan tandur, pemilik sawah akan meminta Candoli untuk datang ke sawahnya dan menuturkan mantra di sana.


(23)

8

Permintaan seseorang kepada Candoli untuk menuturkan mantra disebut ngacandoli. Selain meminta bantuan Candoli, pemilik sawah juga bisa melakukannya sendiri. Penuturan mantra oleh pemilik sawah pun caranya hampir sama dengan yang dilakukan oleh Candoli. Sebelum tandur dilaksanakan, pemilik sawah akan menuturkan mantra di sawah yang akan ditanami padi. Penuturan mantra oleh pemilik sawah tanpa meminta bantuan Candoli tentu saja bisa dilaksanakan apabila pemilik sawah juga mengetahui tata cara dan syarat-syarat penutran mantra dalam rangkaian kegiatan bertani.

MT dituturkan ketika akan menanam padi di lahan yang sudah dipersiapkan. Dalam istilah Sunda, proses ini dikenal dengan sebutan melak paré yang artinya menanam padi. Penyebutan tandur sebenarnya adalah akronim dari tan yaitu tanam dan dur yang berarti mundur, tanam mundur (Darpan, 2013:19). Disebut tanam mundur karena pelaksanaannya adalah menanamkan padi pada petak-petak yang telah disediakan, dan orang yang menanam padi tersebut berjalan mundur mengikuti petak-petak tanah yang sudah dibuat garis pada lahan yang akan ditanami. Jika si penanam berjalan maju, maka padi yang sudah ditanamnya mungkin bisa terinjak. Sebelum tandur, Candoli akan menuturkan mantra di sawah yang akan ditanami atau di rumahnya.

Penuturan MT tersebut merupakan sebuah doa dan pengharapan agar padi yang ditanam subur. Berdasarkan keterangan informan (Bapak Kosasih), MT berisi permohonan izin kepada yang Mahakuasa untuk menjaga padi yang ditanam. Selain itu, penuturan mantra tersebut juga sebagai pemberitahuan kepada Nyi Pohaci Sanghiang Sri, yaitu Dewi Padi dalam kepercayaan orang Sunda, bahwa jiwanya akan dititipkan kepada alam yang akan menumbuhkannya.

Menurut Garna (2008:213) mantra yang dituturkan ketika menanam padi ialah sebagai permohonan izin kepada leluhur yang menguasai bumi, dikenal dengan sebutan Ambu Handap. Penuturan mantra ketika menanam padi juga adalah sebagai doa untuk Nyi Pohaci Sanghiang Sri yang akan dikawinkan. Penanaman padi atau yang dikenal dengan tandur ialah menikahkan padi dengan tanah (Garna, 2008:214). Penuturan mantra tersebut bersifat preventif untuk menjaga segala kemungkinan yang terjadi dari aktivitas penanaman padi.


(24)

9

Penuturan MT tidak hanya dilakukan oleh petani di Cianjur. Di beberapa tempat khususnya di Jawa Barat, penuturan mantra dalam bertani masih dilaksanakan. Penuturan mantra tersebut biasanya masih dituturkan di tengah-tengah masyarakat agraris yang tradisional. Darpan dkk (2013) menyatakan bahwa beberapa daerah yang dalam kegiatan bertaninya masih menggunakan mantra yaitu Garut, Majalengka, Sumedang, Subang , Ciamis dan Cirebon. Selain di Jawa Barat, penuturan mantra ketika tandur juga masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Banten, khusunya Orang Baduy (Garna, 2008:214). Lebih lanjut, beberapa sumber lain menyatakan bahwa penuturan mantra dalam pertanian masih dilaksanakan oleh masyarakat tradisional, misalnya penuturan mantra bertani jagung yang dilakukan masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara (Harmin, 2013). Bisa jadi mantra pertanian dalam penamaannya berbeda di setiap daerah, tetapi dalam pelaksanaannya hampir sama dengan MT yang menjadi objek dalam penelitian ini.

Namun, meski masih dituturkan di beberapa daerah, MT sebenarnya sudah mulai jarang atau bahkan tidak dikenal oleh sebagian besar masyarakat. MT sebagai bagian dari tradisi lisan kini mulai beranjak menuju kepunahan. Perkembangan pembangunan dan laju kemodernan memberikan imbas yang kurang baik bagi kelestarian tradisi lisan, termasuk juga terhadap MT. Di Desa Karangnunggal sendiri, mantra tersebut dituturkan oleh sebagian kecil kelompok masyarakat saja. Tidak semua petani masih melaksanakan upacara-upacara dalam memulai kegiatan bertaninya, termasuk kegiatan bermantra. Penuturan mantra yang mulai ditinggalkan juga disebabkan oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan keyakinan agama yang juga memengaruhi pola berpikir masyarakat.

Pengetahuan pertanian modern sudah semakin pesat. Banyak petani yang memilih bercocok tanam dengan cara yang lebih modern. Kegiatan pertanian modern sudah meninggalkan cara lama dalam bertani sehingga penuturan mantra pun ditinggalkan. Pengetahuan agama yang sudah lebih mapan dimiliki oleh masyarakat, juga mengakibatkan mantra tidak lagi dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan bermantra merupakan tradisi totemisme, sedangkan di beberapa agama penuturan mantra


(25)

10

merupakan kegiatan yang tidak dibenarkan. Penelitian ini bukan merupakan gugatan terhadap adanya larangan penuturan mantra. Akan tetapi, penelitian ini melihat sisi lain dari mantra yang perlu digali. Penelitian ini memaparkan mantra yang dipandang dari sisi apa dan bagaimana konsep-konsep yang ada di dalamnya

Sejalan dengan pernyataan Danandjaja bahwa folklor mengungkapkan cara berpikir pemiliknya (dalam Pudentia, 2008:73), MT mencerminkan bagaimana alam pikiran petani. Sebagai tradisi masyarakat, MT memiliki nilai-nilai yang patut dianut oleh masyarakat pemiliknya. Dalam MT cara berpikir petani dapat terlihat, baik mengenai padi, alam, Tuhan dan kehidupan. Penelitian ini memaparkan bagaimana pandangan pemilik MT tentang konsep kesejahteraan hidup yang terkandung dalam MT.

Mengapa MT? Secara umum tentu telah diketahui bahwa proses bertani terdiri atas beberapa rangkaian. Dimulai dengan mempersiapkan lahan di sawah maupun di ladang, menyemai benih padi, kemudian menanam padi, serta memanen sampai dengan menyimpan padi yang telah dipanen di tempat khusus yang dinamakan leuit. Akan tetapi, proses utama dalam bertani ialah ketika tebar, tandur dan dibuat. Proses tersebut dikatakan utama karena memang langsung melibatkan padi. Dari proses utama tersebut itu ada satu yang paling utama, yaitu tandur. Kegiatan bertani tidak akan selesai bila tandur tidak dilaksanakan.

Tandur merupakan kegiatan menanam padi, yang artinya menitipkan padi kepada alam dalam waktu yang lama sampai ia siap untuk dipanen. Dalam tandurlah keberhasilan pertanian ditentukan. Ketika tandur petani harus benar-benar meletakan padi dengan jarak yang tepat. Petani harus memastikan bahwa jumlah air di lahan tanduran cukup, tidak kurang dan tidak lebih. Selain itu, batang padi yang ditanam pun harus diperhatikan, apakah padi akan tumbuh atau malah mati, maka petani harus jeli memilih batang padi yang akan ditanam. Jika padi tidak tumbuh atau rusak, petani harus segera mengganti batang padi yang rusak dengan batang padi yang lain, kegiatan ini dinamakan ngayuman. Semua itu merupakan upaya untuk memperoleh hasil tanaman padi terbaik. Mengingat pentingnya tandur dan sebelum pelaksanaannya dilakukan penuturan mantra, maka penuturan mantra tersebut menarik untuk dikaji.


(26)

11

Penelitian tentang MT didasari oleh karena MT sarat akan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai yang terkadung di dalamnya jelas merupakan warisan leluhur yang mesti dijaga dan dipertahankan. Dalam MT kita dapat memperoleh pandangan mengenai hubungan manusia dengan Tuhan dan alam. Tanpa adanya penelitian, maka nilai-nilai yang mungkin masih belum terungkap tidak akan diketahui. MT tersebut menarik untuk dikaji karena mantra ini mencerminkan pemikiran petani mengenai padi dan kekuasaan yang melingkupinya. Penelitian ini pun dapat dikatakan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kelestarian MT dengan cara mendokumentasikannya. Pendokumentasian ini perlu dilakukan agar MT tidak punah, mengingat bahwa penutur MT ini didominasi oleh generasi tua, sedangkan generasi saat ini belum ada yang tertarik untuk melanjutkan tradisi bermantra.

Ketidaktertarikan generasi saat ini terhadap tradisi bermantra menurut Ali (dalam Sukatman, 2009:3) disebabkan adanya anggapan bahwa tradisi tersebut kuno. Hal tersebut memang benar adanya. Menurut informan, keturunannya belum ada yang mau mewarisi tradisi bermantra karena hal tersebut merupakan kebiasaan lama. Ditambah lagi dengan keadaan bahwa anak dan cucunya memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga tidak tertarik untuk mewarisi tradisi bermantra. Selain itu, penutur mantra pun tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mewariskan mantra-mantra kepada keturunannya yang mungkin pemikirannya sudah lebih modern. Dalam pewarisannya, penutur mantra tidak bisa sembarangan mewariskan kemampuan bermantra yang dimiliknya kepada siapa saja. Penutur harus mewariskan mantra kepada orang yang memang cocok untuk mewarisinya.

Penelitian mengenai mantra yang digunakan dalam pertanian pernah dilakukan oleh Rakem dalam skripsinya berjudul Mantra Bercocok Tanam Padi Sawah di Desa Leuweunggede pada tahun 2008. Kajian tersebut memaparkan mengenai struktur, konteks penuturan, proses penciptaan, dan fungsi. Mantra-mantra yang dianalisis adalah Mantra-mantra membakar kemenyan ketika akan membajak sawah, mantra menebar benih, dan mantra ketika padi beuneur hejo (ketika padi sudah mulai terlihat bulirnya yang hijau dan berisi), memotong padi dan


(27)

12

menyimpan ke lumbung. Kajian tersebut baru membahas satu variasi teks mantra, padahal dimungkinkan adanya varian teks mantra bertani padi yang lain yang dapat memperkaya kajian.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, kajian mengenai MT ini membahas apa kandungan teks MT. Dalam kajian ini digunakan tiga varian teks MT. Tiga teks MT tersebut diperoleh dari Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur. Meski ketiga teks MT berasal dari desa yang sama, akan tetapi masing-masing teks MT tersebut diperoleh dari tiga tempat yang berbeda di desa Karangnunggal. Penelitian ini dilakukan di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur mengingat kecamatan Cibeber merupakan salah satu daerah penghasil beras di Cianjur, salah satu lokasi penghasilnya adalah Desa Karangnunggal. Selain itu, Desa Karangnunggal merupakan desa yang masih melaksanakan pertanian tradisional, yang dalam kegiatan pertaniannya masih melaksanakan ritual-ritual baik berupa penuturan mantra maupun dalam bentuk aktivitas yang berkaitan dengan tradisi dalam pertanian. Mendapati adanya tiga varian teks MT yang berbeda dari satu tempat, menunjukkan bahwa tempat tersebut yakni Desa Karangnunggal memiliki kekayaan tradisi maupun sastra lisan khususnya dalam bidang mantra pertanian yang menarik untuk dikaji.

B. Masalah Penelitian 1. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan, yaitu:

a. kemajuan pembangunan dan medernisasi menyebabkan perkembangan tradisi lisan terhambat bahkan hampir punah.

b. tradisi lisan mulai ditinggalkan oleh masyarakat terutama oleh generasi muda.

c. kurangnya upaya pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan tradisi lisan termasuk mantra.


(28)

13

d. adanya keyakinan bahwa penuturan mantra merupakan perbuatan yang dilarang dalam beberapa agama, karena dianggap mempercayai selain Tuhan.

e. penutur mantra sudah mulai berkurang.

f. pewarisan mantra terhambat sebab generasi muda tidak tertarik menjadi penutur mantra yang dianggap kuno.

g. penutur tidak tahu cara mewariskan MT kepada generasi selanjutnya. h. penuturan MT sudah jarang dilaksanakan.

i. seiring dengan pembangunan, lahan-lahan pertanian pun ikut berkurang akibatnya kegiatan pertanian juga mulai berkurang dan begitu pula dengan penuturan MT yang semakin jarang atau bahkan tidak dilaksanakan.

j. jenis-jenis mantra dalam pertanian yang beragam dan penuturan yang semakin langka membuat mantra pertanian termasuk MT sulit diketahui.

2. Batasan Masalah

Penelitian ini terfokus pada mantra menanam padi. Mantra menanam padi yang dianalisis adalah mantra yang dituturkan sebelum menanam padi di petakan sawah yang dikenal dengan mantra tandur. Dalam pembahasannya mengambil tiga teks MT yang ada di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang dan batasan masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya, dirumuskanlah rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah struktur teks MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur yang mencerminkan kesejahteraan hidup?

2. Bagaimanakah konteks penuturan MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur?

3. Bagaimana proses penciptaan MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur?


(29)

14

4. Apa fungsi MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur?

5. Apa makna MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur?

D.Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut, ditetapkanlah bahwa penelitian ini dilakukan untuk memperoleh deskripsi mengenai hal-hal berikut.

1. Struktur MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur. 2. Konteks penuturan MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten

Cianjur.

3. Proses penciptaan dan proses pewarisan MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur.

4. Fungsi MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur. 5. Makna yang terkandung dalam MT di Desa Karangnunggal Kecamatan

Cibeber Kabupaten Cianjur.

E.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoretis maupun manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

a. Menambah pengetahuan mengenai MT yang ada di masyarakat.

b. Memberikan pengetahuan mengenai perkembangan sastra lisan di masyarakat, khususnya mantra menanam padi.

c. Menambah khazanah ilmu pengetahuan, khususnya sastra lisan.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai langkah pendokumentasian sastra lisan khususnya MT. b. Menggali kearifan dan nilai di masyarakat yang harus dilestarikan.

c. Sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai sastra lisan atau penelitian lainnya.


(30)

15

F.Penjelasan Istilah

Dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep agar tidak menimbulkan pengaburan makna. Konsep-konsep tersebut disusun atau dibuat untuk menyederhanakan istilah, pada intinya konsep-konsep tersebut berupa istilah praktis yang digunakan oleh peneliti dalam deskripsi maupun analisis objek penelitian, yaitu teks mantra tandur.

1. Mantra Tandur (MT), yaitu mantra menanam padi yang dituturkan sebelum menanam padi di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur. 2. Konsep kesejahteraan hidup adalah pemikiran petani yang tercermin dalam MT

mengenai kesejahteraan yang diperoleh dalam kehidupan.

3. Analisis struktur adalah analisis terhadap bagian-bagian pembangun MT yaitu formula sintaksis, formula bunyi, formula irama, majas dan tema.

4. Konteks penuturan adalah gambaran situasi atau peristiwa bagaimana MT dituturkan serta bagaimana kondisi budaya masyarakat pemiliki MT.

5. Proses penciptaan, ialah bagaimana cara penciptaan MT ketika dituturkan. 6. Proses pewarisan, yaitu bagaimana cara penutur pewarisi MT.

7. Fungsi, ialah fungsi MT bagi masyarakat pemiliknya. 8. Makna, maksud yang terkandung dalam MT.

G.Sistematika Penulisan

Kajian ini terdiri atas lima bab. Bab satu ialah pendahuluan yang terdiri atas latar belakang penelitian, masalah yang dibahas dalam penelitian, rumusan masalah, tujuan dilakukannya penelitian, manfaat penelitian, uraian penjelasan mengenai istilah-istilah khusus yang digunakan dalam penelitian dan sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini. Bab dua yaitu landasan teori. Pada bab ini dipaparkan mengenai teori-teori yang digunakan dalam kajian. Pada bab dua juga dipaparkan tentang penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Bab tiga yakni metode penelitian, dalam bagian tersebut dipaparkan mengenai pendekatan penelitian yang dilakukan, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian, objek penelitian, prosedur penelitian yang dilakukan, teknik pengumpulan data, dan instrumen penelitian. Bab empat adalah


(31)

16

hasil penelitian, pada bagian ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai objek penelitian. Bab lima ialah bab penutup dalam kajian ini, terdiri atas simpulan dari hasil pembahasan dan rekomendasi yang diajukan untuk penelitian selanjutnya. Selain lima bab yang dipaparkan tersebut, bagian yang juga penting dalam kajian ini ialah daftar bahan bacaan yang menjadi acuan dalam penulisan kajian ini, bagian tersebut terdapat pada daftar pustaka dalam kajian ini.


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Penelitian

Pendekatan didefinisikan sebagai cara-cara mendekati objek. Model pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan folklor modern. Pendekatan folklor modern yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yang bersifat holistik. Pendekatan holistik banyak digunakan oleh para ahli folklor modern. Pendekatan ini memperhatikan kedua aspek yang ada dalam folklor, yaitu folk dan lore-nya (Danandjaja dalam Pudentia, 2008:61).

Karena pendekatan dalam penelitian ini merupakan pendekatan holistik sebagaimana yang dilakukan dalam kajian folklor modern, maka ada tiga pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama pendekatan objektif, pendekatan ini memusatkan perhatian pada unsur teks (Ratna, 2011:73). Analisisnya berupa analisis terhadap struktur. Kedua, pendekatan etnografis, Amir (2013:188) menyatakan bahwa pendekatan ini memperluas analisis teks dengan menghimpun informasi tentang kebudayaan masyarakat pemilik teks. Dan ketiga, pendekatan yang digunakan ialah pendekatan semiotika. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkapkan makna dengan menggunakan analisis tiga aspek semotika yang ada dalam teks mantra. Pendekatan semiotik umumnya dilakukan pada teks tulis. Namun, Zaimar (dalam Pudentia, 2008:) menyatakan bahwa pada umumnya pendekatan yang dilakukan pada penelitian sastra tertulis sama saja dengan penelitian sastra lisan, hanya saja tentu ada hal-hal khusus dalam pelaksanaannya. Pendekatan semiotik ini merupakan proses lanjutan dari pendekatan struktur, karena pada umumnya untuk mendapatkan suatu pemaknaan terhadap teks dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotik yang terlebih dulu diawali dengan melakukan pendekatan struktur.

B.Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode tersebut merupakan metode gabungan dari dua metode. Penggabungan dua metode dalam sebuah penelitian diperbolehkan dengan syarat


(33)

35

kedua metode yang digabungkan tidak bertentangan (Ratna, 2011:53). Metode deskriptif analisis ialah cara mendeskripsikan fakta-fakta pada objek penelitian kemudian dianalisis. Penelitian ini mendekripsikan MT, kemudian dari hasil deskripsi tersebut, dilakukan analisis mengenai MT baik struktur, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi dan maknanya. Metode ini bersifat kualitatif karena pengkajian yang dilakukan menitikberatkan pada fenomena-fenomena yang ada di masyarakat. Hasil dari kajian ini bukan merupakan penilaian terhadap benar atau tidaknya suatu objek, akan tetapi hasilnya berupa pemaparan fakta-fakta mengenai objek yang ada di masyarakat dan pemaknaannya.

C.Objek Penelitian

Objek penelitian berupa penuturan MT yang dituturkan oleh candoli atau dukun dan petani. Penuturan MT tersebut direkam untuk kemudian menjadi data penelitian yang akan dianalisis. Teks MT yang digunakan dalam penelitian ini ialah tiga varian teks MT yang berada di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur. Teks MT tersebut menggunakan bahasa Sunda dan terdapat kalimat berbahasa Arab serta bahasa Jawa.

D.Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan melaksanakan serangkaian kegiatan. kegiatan yang dilakukan terdiri atas langkah-langkah yang dilakukan secara bertahap. Langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pertama, melakukan perekaman penuturan MT. Perekaman MT dilakukan pada tanggal 24 Februari 2013 dan 10 Mei 2013 . Alat yang digunakan untuk perekaman tersebut ialah kamera digital dan alat rekam “H4n” serta handphone yang kompatibel.

Kedua, melakukan transkripsi data. Transkripsi ialah kegiatan mengalihkan tuturan dalam bentuk suara ke dalam tulisan dengan menggunakan lambang-lambang bunyi. Rekaman penuturan MT yang sudah didapatkan, ditranskripsi ke dalam bentuk tulisan.


(34)

36

Ketiga, melakukan penerjemahan MT. MT berbahasa Sunda pada umumnya dan ada beberapa kalimat berbahasa Arab dan Jawa, penerjemahan yang dilakukan ialah menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan cara penerjemahan harfiah. Penerjemahan harfiah ialah penerjemahan dari bahasa tertentu ke bahasa yang lain sesuai dengan maksud kalimat.

Keempat, analisis MT. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori struktur yang digunakan dalam analisis teks. Selain itu, MT dianalisis terkait bagaimana konteks penuturan dan proses penciptaan juga apa fungsi dan makna MT bagi masyarakat pemiliknya dengan menggunakan teori semiotika.

Terakhir, kelima menyimpulkan hasil analisis. MT yang dianalisis berjumlah tiga varian teks, dari setiap teks MT yang dianalisis tersebut, ditarik kesimpulan secara keseluruhan.

E.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupeten Cianjur yaitu:

1. Perekaman

Perekaman dilakukan ketika informan menuturkan MT. Perekaman berupa rekaman visual dan audio visual. Perekaman tersebut dilakukan untuk mengambil data asli penuturan langsung dari penutur, selain itu juga sebagai dokumentasi data. Perekaman penuturan MT dilakukan pada 24 Februari 2013 dan 10 Mei 2013.

2. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan kegiatan pengumpulan atau penyimpanan informasi. Pendokumentasian yang dilakukan dalam penelitian ini ialah pencatatan dan mengambil foto. Pencatatan dilakukan untuk mencatat informasi-informasi yang berkaitan dengan MT yang diperlukan dalam proses analisis. Pengambilan foto bertujuan untuk mengabadikan proses perekaman dan mengambil foto informan.


(35)

37

3. Wawancara

Wawancara yang dilakukan merupakan wawancara sederhana untuk mengetahui informasi mengenai teks MT. Wawancara dilakukan pada 24 Februari 2013 dan 10 Mei 2013. Wawancara dilakukan dengan mengacu pada pedoman wawancara yang berisi beberapa pertanyaan. Daftar pertanyaan yang diajukan ialah daftar pertanyaan bebas terkait informasi yang diperlukan dalam penelitian.

4. Pengamatan

Pengamatan dilakukan untuk melihat penuturan MT yang dilaksanakan sesuai konteks penuturannya. Dalam hal ini, pengamatan dilakukan untuk mengetahui kebenaran data dan fakta di lapangan, apakah MT masih digunakan atau sudah mulai ditinggalkan. Selain itu, pengamatan dilakukan untuk melihat bagaimana cara-cara penuturan MT dan bagaimana situasi ketika MT dituturkan serta bagaimana situasi budaya masyarakat pemilik MT.

F.Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Lembar Pengamatan, berupa lembar isian yang harus diisi saat penelitian atau saat mengamati penuturan mantra maupun kondisi masyarakat pemilik MT. Adapun komponen dari lembar pengamatan terdiri atas daftar isian sebagai berikut.

Tabel 3.1: Daftar Isian Lembar Pengamatan.

No. Pertanyaan Keterangan

1. Dimana lokasi penuturan? Deskripsikan lokasi 2. Kapan mantra dituturkan?

3. Bagaimana suasana pada saat penuturan mantra? 4. Apakah ada hadir pada saat penuturan mantra? 5. Apakah ada perlengkapan lain yang disertakan


(36)

38

6 Apakah penutur menuturkan mantra dengan lancar?

2. Lembar wawancara yang terdiri atas beberapa pertanyaan bebas yang berkaitan dengan upaya memperoleh informasi mengenai MT dan kondisi lingkungan masyarakat. Ada dua lembar wawancara yang digunakan dalam penelitian. Lembar wawancara pertama berisi daftar pertanyaan yang diajukan kepada penutur mantra. Lembar wawancara kedua memuat daftar pertanyaan yang diajukan pada informan lain di lokasi penelitian. Adapun daftar pertanyaan yang diajukan adalah sebagai berikut.

Tabel 3.2: Daftar Pertanyaan Informasi Mantra Nama Informan :

Lokasi :

No. Pertanyaan Keterangan

1. Dari siapakah Anda belajar mantra menanam padi? 2. Bagaimana caranya Anda memiliki mantra menanam

padi?

3. Kapan mantra tersebut dituturkan?

4. Apakah mantra menanam padi masih digunakan oleh masyarakat?

5. Apakah ada syarat atau peralatan yang harus


(37)

39

Tabel 3.3: Daftar Pertanyaan Informasi Kemasyarakatan Nama Informan :

Lokasi :

No. Pertanyaan Keterangan

1. Bahasa apa yang digunakan masyarakat di desa ini? 2. Apakah ada sekolah di desa ini? Jika tidak ada,

kemanakah anak-anak sekolah?

3. Selain sekolah, apakah ada lembaga pendidikan yang lain berada di desa ini?

4. Apa saja mata pencaharian masyarakat di desa ini? 5. Apa saja kegiatan keagamaan di desa ini?

6. Bagaimana sistem kekerabatan yang berlaku di desa ini?

7. Apakah ada kesenian di desa ini?

8. Apakah ada tradisi atau upacara-upacara lain yang dilakukan masyarakat di desa ini?

9. Apakah masyarakat di desa ini masih menggunakan perabot yang tradisional?

10. Apakah masyarakat di desa ini sudah menggunakan barang elektronik?


(38)

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan ketiga teks MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur didapati simpulan bahwa kesejahteraan hidup bagi manusia yang diwakili oleh petani adalah keadaan hidup yang tercukupi secara materi dan memiliki kepuasan batin. Kepemilikan materi atau kekayaan tidak terasa utuh apabila tidak disertai dengan kepuasan batin yang ditandai dengan ketenangan, rasa aman, dan rasa syukur. Konsep kesejahteraaan tersebut tercermin dalam struktur teks MT dan konteks penuturannya. Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan butir-butir yang menjadi jawaban atas lima pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah.

1. Struktur

MT varian satu terdiri atas 28 kalimat dengan jenis kalimat tunggal sederhana, kalimat tunggal luas, kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Kalimat dalam MT varian satu didominasi kalimat yang predikatnya berkategori verba dan adjektiva, selain itu terdapat beberapa kalimat inversi dan keterangan yang menandai bahwa penekanan maksud dalam MT varian satu adalah terhadap keadaan hasil dan tujuan. Pola bunyi dan pola irama yang ritmis pada MT varian satu menimbulkan efek magis dan menciptakan suasana yang khusyuk. Tema teks MT varian satu adalah tentang permohonan manusia untuk memperoleh keberhasilan upaya berupa tanaman yang subur.

Pada teks MT varian dua terdapat delapan kalimat. Kalimat-kalimat dalam MT varian dua terdiri atas kalimat tunggal sederhana, kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Pola kalimat dalam MT varian dua didominasi dengan penyebutan keterangan yang didahulukan menunjukkan bahwa yang diutamakan dalam teks MT varian dua adalah sasaran penerima tuturan. Pola bunyi yang menimbulkan efek magis dan pola irama yang ritmis menimbulkan suasana yang menunjukkan kesungguhan dalam permohonan. Tema teks MT


(39)

326

varian dua adalah permohonan manusia kepada Tuhan dengan melakukan upaya tertentu untuk memperoleh kemakmuran hidup.

Teks MT varian tiga terdiri atas sepuluh kalimat dengan jenis kalimat tunggal sederhana, kalimat tunggal luas, kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat dan kalimat tak berklausa. Kalimat yang membangun MT varian tiga adalah kalimat yang berpredikat verba dan terdapat pula pola kalimat inversi dan didominasi oleh keterangan. Pola tersebut membentuk tanda bahwa teks MT varian tiga mengutamakan keadaan. Dari hal itu dapat dipahami bahwa teks tersebut menekankan harapan dan mengutamakan pada tujuan penuturan mantra. Pola bunyi pada MT varian tiga memunculkan bunyi eufoni yang menimbulkan suasana khusyuk. Pola iramanya adalah pola yang berdasarkan pada metrum dan ritme, menimbulkan suasana yang terfokus. Tema teks MT varian tiga adalah permohonan manusia kepada Tuhan dengan segala upaya untuk memperoleh hasil pertanian berkulitas baik.

Secara umum, struktur yang membangun teks MT merupakan kalimat-kalimat yang berpredikat verba aktif dan didominasi oleh kalimat-kalimat yang inversi dan mendahulukan keterangan. Hal tersebut menujukkan bahwa yang diutamakan dalam penuturan MT adalah suatu keadaan dan tujuan penerima permohonan yaitu para leluhur. Pola bunyi menunjukkan bahwa MT merupakan sebuah teks yang sakral karena mengandung efek magis ketika dituturkan. Pola irama juga mendukung suatu permohonan yang dipanjatkan secara sungguh-sungguh, yaitu permohonan kepada Tuhan agar kegiatan pertanian memperoleh hasil yang baik.

2. Konteks Penuturan MT

Penuturan MT dilakukan baik oleh petani maupun candoli pada pagi hari maupun pada petang hari sebelum hari pelaksanaan tandur. Penuturan dilakukan dengan tuturan yang cepat dan suara lirih dengan menghadap ke arah kiblat atau ke arah mengepulnya asap pembakaran kemenyan. Dalam penuturan MT varian satu dan MT varian dua peralatan yang digunakan adalah kemenyan, arang, dan tempat pembakaran yang disebut parupuyan. Pada penuturan MT varian tiga digunakan peralatan yang berupa kemenyan, arang, parupuyan dan endog semar.


(40)

327

Penuturan MT dilakukan dengan cara monolog dalam suasana yang tenang. Penuturan dalam suasana yang tenang tersebut mendukung pelaksanaan berdoa yang khusyuk.

Penuturan MT dilakukan oleh masyarakat yang bermata pencaharian di bidang agraris yang tradisional. Masyarakat pemilik MT ialah masyarakat yang masih menggunakan sistem pengetahuan tradisional. Selain itu pula, penuturan MT didukung oleh sistem kepercayaan, kesenian dan sistem organisasi masyarakat yang bersifat tradisional dan sedikit dipengaruhi kemodernan.

3. Proses Penciptaan

Proses penciptaan teks MT ialah tersetruktur. Hal tersebut terlihat dari cara penuturan yang berdasarkan hafalan dan terkadang melihat teks yang telah ditulis. Pewarisan MT diwariskan secara vertikal dan horizontal untuk MT varian satu dan MT varian dua. Pewarisan tersebut ditandai dengan cara pewarisan dari generasi sebelumnya, sedangkan generasi sebelumnya mendapatkan tuturan teks dari hasil belajar kepada gurunya. Pada teks MT varian tiga pewarisan berbentuk pewarisan yang vertikal karena diwariskan secara turun temurun dalam keluarga.

4. Fungsi

Ketiga teks MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur memiliki fungsi yang sama bagi masyarakat pemiliknya. Fungsi MT tersebut adalah sebagai berikut:

a. sebagai alat pendidikan, di dalam teks MT terdapat gambaran tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya termasuk dengan lingkungannya;

b. sebagai sistem proyeksi, teks MT menerangkan gambaran angan-angan masyarakat tentang keadaan tanaman yang subur dan keadaan hidup yang makmur; dan

c. sebagai pengesah kebudayaan, dalam teks MT terdapat teks yang menjadi ciri keislaman dan ciri kepercayaan lama. Kedua kebudayaan tersebut


(41)

328

berakulturasi membentuk kebudayaan yang harmonis antara keduanya dan masyarakat membenarkan terhadap kebudayaan tersebut.

5. Makna

Makna yang terkadung dalam teks MT adalah harapan manusia memperoleh kesejahteraan hidup. Kesejahteraan hidup yang dimaksud adalah dimilikinya harta maupun materi untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya dan juga ketenangan batin yang dirasakan. Kepemilikah harta ataupun kekayaan berkaitan dengan kepuasan lahir. Kekayaan secara lahir tidak utuh sebagai kekayaan bila tidak diiringi oleh kepuasan batin. Kepuasan batin tersebut diperoleh dari keberkahan atas kekayaan yang dimiliki.

Untuk mewujudkan harapan tersebut, manusia melakukan berbagai cara. Caranya ialah dengan berusaha secara lahir dan batin. Upaya secara lahir ialah dengan cara mengolah alam, sedangkan upaya secara batin dilakukan dengan cara berdoa kepada Tuhan. Doa yang dipanjatkan kepada Tuhan merupakan doa yang penuh kesungguhan dan juga sebagai penyerahan diri. Dalam teks MT terlihat bahwa manusia mencoba untuk berupaya dan hasilnya adalah bagaimana kehendak Tuhan. Agar hasil yang diperoleh sesuai dengan harapan, maka manusia berdoa sebagai bentuk kesadaran pula bahwa manusia maupun makhluk yang lainnya tidak memiliki daya apa pun kecuali adanya kehendak dari Tuhan.

Selain berdoa kepada Tuhan, manusia yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan makhluk yang lainnya, juga tetap menghormati para leluhur sebagai pendahulu mereka. Penghormatan kepada leluhur tersebut merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada mereka atas pengetahuan mengenai pertanian yang diwariskan secara turun-temurun. Oleh sebab itu, ketika hendak melaksanakan kegiatan bertani, nama leluhur selalu disebut sebagai tanda mengundang dan meminta agar mereka mau menjaga tanaman agar terhindar dari berbagai gangguan baik gangguan manusia maupun makhluk yang lain. Panggilan kepada karuhun dalam kaitannya dengan penuturan teks MT bukan merupakan penghambaan tetapi sebagai penghormatan dan permintaan bantuan.


(42)

329

B. Rekomendasi

Setelah menyelesaikan kajian ini, ada beberapa saran yang diajukan bagi peneliti dan masyarakat yang memiliki minat terhadap kajian mantra maupun bentuk sastra lisan yang lainnya. Adapun saran yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut.

1. Aspek yang dikaji dalam penelitian tentang mantra ini dapat lebih luas lagi, atau dapat mengangkat aspek lain yang belum tergali dalam penelitian ini. 2. Penelitian terhadap mantra dalam pertaian dapat ditingkatkan kembali dengan

bentuk kajian maupun jenis mantra pertanian yang lain dan lebih bervariatif. 3. Perhatian terhadap sastra lisan khususnya dalam bentuk mantra yang ada di

masyarakat perlu ditingkatkan lagi, mengingat sudah mulai berkurangnya minat masyarakat terutama generasi muda untuk melestarikan tradisi termasuk sastra lisan yang dimiliki oleh kelompoknya.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A. (2013) Sastra lisan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Badrun, A. (2003) Patu mbojo: struktur, konteks pertunjukkan, proses penciptaan, dan fungsi. Disertasi, Program Studi Ilmu Susastra FIB, Universitas Indonesia. Damaianti, V. S. dan Sitaresmi, N. (2005) Sintaksis bahasa Indonesia. Bandung: Pusat Studi Literasi.

Danadibrata, R.A. (2009) Kamus basa Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. Danandjaja, J. (1984). Folklor Indonesia; ilmu gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta: PT Grafiti Pers.

Danandjaja, J. (2008) “Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-Bahan Tradisi Lisan” dalam Pudentia (Ed.). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosasi Tradisi Lisan.

Danasasmita, S. (2012) Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung. PT Kiblat Buku Utama.

Darpan, dkk. (2013) Kompendium istilah sistem pertanian tradisional Sunda. Bandung: Pustaka Jaya dan Universitas Padjadjaran.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008) Kamus besar bahasa Indonesia, Pusat Bahasa edisi keempat. Jakarta: Gramedia.

Ekadjati, E. S. (1993) Kebudyaan Sunda (suatu pendekatan sejarah). Bandung: Pustaka Jaya.

Endraswara, S. (2013) Folklor Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Galba, S (Ed.). (2005) Kehidupan sosial budaya masyarakat Sunda, Banten dan Lampung. Bandung: ALQAPRINT dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Harmin. (2013) Tradisi bertani jagung masyarakat Muna (kajian struktur kegiatan, struktur teks, konteks penuturan, proses penciptaan, dan fungsi mantra serta model pembelajaran di SMA). Tesis, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.

Iskandar, J. dan Budiawati S. I. (2011) Agroekosistem orang Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.


(44)

Junus, U. (1981) Mitos dan komunikasi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Keraf, G. (2010) Diksi dan gaya bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lord, A.B. (1976) The singer of tales. New York: Atheneum.

Luxemburg, J.V dkk. (1991) Tentang sastra (diterjemahkan Akhadiati Ikram). Jakarta: Intermasa.

Peursen, C.A.V. (1998) Strategi kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Pradopo, R. D. (2009) Pengkajian puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pudentia, MPSS (Ed.). (2008) Metodologi kajian sastra lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Ramlan. (2005) Ilmu bahasa Indonesia sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono. Rakem. (2008) Mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede (analisis struktur, konteks penuturan, proses penciptaan, dan fungsi). Skripsi, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia Indonesia.

Ratna, Ny. K. (2011) Teori, metode dan teknik penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusyana, Y. (1970) Bagbagan mantra Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda.

Sibarani, R. (2013) “Folklor sebagai Media dan Sumber Pendidikan: Sebuah Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai Budaya Batak Toba” dalam Endraswara (Ed.). Folklor Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sitaresmi, N. dan Fasya, M. (2011) Pengantar semantik bahasa Indonesia. Bandung: UPI PRESS.

Soeganda, R. A.P. (1982) Upacara adat di Pasundan. Bandung: Sumur Bandung. Sukatman. (2009) Butir-butir tradisi lisan Indonesia. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Sumarjo, J. dan Saini K.M. 1988. Apresiasi kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. Taum, Y.Y. (2011) Studi sastra lisan. Yogyakarta: Lamalera.


(45)

Teeuw, A. (1994) Indonesia antara kelisanan dan keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A. (2003) Sastera dan ilmu sastera. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Widianti, T. (2010) Analisis struktur, konteks penuturan, proses penciptaan, dan fungsi mantra pengobatan di Desa Belendung Subang. Skripsi, Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS,Universitas Pendidikan Indonesia.

Zaimar Okke K.S. (1991) Menelusuri makna ziarah karya Iwan Simatupang. Jakarta: Intermasa.

Zaimar Okke K.S. (2008) “ Metodologi Penelitian Tradisi Lisan” dalam Pudentia (Ed.) Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Zaimar Okke K.S. (2008) Semiotik dan penerapannya dalam karya sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Zoest, A. V. dan Sudjiman, P. (1992) Serba-serbi semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


(1)

327

Penuturan MT dilakukan dengan cara monolog dalam suasana yang tenang. Penuturan dalam suasana yang tenang tersebut mendukung pelaksanaan berdoa yang khusyuk.

Penuturan MT dilakukan oleh masyarakat yang bermata pencaharian di bidang agraris yang tradisional. Masyarakat pemilik MT ialah masyarakat yang masih menggunakan sistem pengetahuan tradisional. Selain itu pula, penuturan MT didukung oleh sistem kepercayaan, kesenian dan sistem organisasi masyarakat yang bersifat tradisional dan sedikit dipengaruhi kemodernan.

3. Proses Penciptaan

Proses penciptaan teks MT ialah tersetruktur. Hal tersebut terlihat dari cara penuturan yang berdasarkan hafalan dan terkadang melihat teks yang telah ditulis. Pewarisan MT diwariskan secara vertikal dan horizontal untuk MT varian satu dan MT varian dua. Pewarisan tersebut ditandai dengan cara pewarisan dari generasi sebelumnya, sedangkan generasi sebelumnya mendapatkan tuturan teks dari hasil belajar kepada gurunya. Pada teks MT varian tiga pewarisan berbentuk pewarisan yang vertikal karena diwariskan secara turun temurun dalam keluarga.

4. Fungsi

Ketiga teks MT di Desa Karangnunggal Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur memiliki fungsi yang sama bagi masyarakat pemiliknya. Fungsi MT tersebut adalah sebagai berikut:

a. sebagai alat pendidikan, di dalam teks MT terdapat gambaran tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya termasuk dengan lingkungannya;

b. sebagai sistem proyeksi, teks MT menerangkan gambaran angan-angan masyarakat tentang keadaan tanaman yang subur dan keadaan hidup yang makmur; dan

c. sebagai pengesah kebudayaan, dalam teks MT terdapat teks yang menjadi ciri keislaman dan ciri kepercayaan lama. Kedua kebudayaan tersebut


(2)

328

berakulturasi membentuk kebudayaan yang harmonis antara keduanya dan masyarakat membenarkan terhadap kebudayaan tersebut.

5. Makna

Makna yang terkadung dalam teks MT adalah harapan manusia memperoleh kesejahteraan hidup. Kesejahteraan hidup yang dimaksud adalah dimilikinya harta maupun materi untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya dan juga ketenangan batin yang dirasakan. Kepemilikah harta ataupun kekayaan berkaitan dengan kepuasan lahir. Kekayaan secara lahir tidak utuh sebagai kekayaan bila tidak diiringi oleh kepuasan batin. Kepuasan batin tersebut diperoleh dari keberkahan atas kekayaan yang dimiliki.

Untuk mewujudkan harapan tersebut, manusia melakukan berbagai cara. Caranya ialah dengan berusaha secara lahir dan batin. Upaya secara lahir ialah dengan cara mengolah alam, sedangkan upaya secara batin dilakukan dengan cara berdoa kepada Tuhan. Doa yang dipanjatkan kepada Tuhan merupakan doa yang penuh kesungguhan dan juga sebagai penyerahan diri. Dalam teks MT terlihat bahwa manusia mencoba untuk berupaya dan hasilnya adalah bagaimana kehendak Tuhan. Agar hasil yang diperoleh sesuai dengan harapan, maka manusia berdoa sebagai bentuk kesadaran pula bahwa manusia maupun makhluk yang lainnya tidak memiliki daya apa pun kecuali adanya kehendak dari Tuhan.

Selain berdoa kepada Tuhan, manusia yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan makhluk yang lainnya, juga tetap menghormati para leluhur sebagai pendahulu mereka. Penghormatan kepada leluhur tersebut merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada mereka atas pengetahuan mengenai pertanian yang diwariskan secara turun-temurun. Oleh sebab itu, ketika hendak melaksanakan kegiatan bertani, nama leluhur selalu disebut sebagai tanda mengundang dan meminta agar mereka mau menjaga tanaman agar terhindar dari berbagai gangguan baik gangguan manusia maupun makhluk yang lain. Panggilan kepada karuhun dalam kaitannya dengan penuturan teks MT bukan merupakan penghambaan tetapi sebagai penghormatan dan permintaan bantuan.


(3)

329

B. Rekomendasi

Setelah menyelesaikan kajian ini, ada beberapa saran yang diajukan bagi peneliti dan masyarakat yang memiliki minat terhadap kajian mantra maupun bentuk sastra lisan yang lainnya. Adapun saran yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut.

1. Aspek yang dikaji dalam penelitian tentang mantra ini dapat lebih luas lagi, atau dapat mengangkat aspek lain yang belum tergali dalam penelitian ini. 2. Penelitian terhadap mantra dalam pertaian dapat ditingkatkan kembali dengan

bentuk kajian maupun jenis mantra pertanian yang lain dan lebih bervariatif. 3. Perhatian terhadap sastra lisan khususnya dalam bentuk mantra yang ada di

masyarakat perlu ditingkatkan lagi, mengingat sudah mulai berkurangnya minat masyarakat terutama generasi muda untuk melestarikan tradisi termasuk sastra lisan yang dimiliki oleh kelompoknya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A. (2013) Sastra lisan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Badrun, A. (2003) Patu mbojo: struktur, konteks pertunjukkan, proses penciptaan, dan fungsi. Disertasi, Program Studi Ilmu Susastra FIB, Universitas Indonesia. Damaianti, V. S. dan Sitaresmi, N. (2005) Sintaksis bahasa Indonesia. Bandung: Pusat Studi Literasi.

Danadibrata, R.A. (2009) Kamus basa Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. Danandjaja, J. (1984). Folklor Indonesia; ilmu gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta: PT Grafiti Pers.

Danandjaja, J. (2008) “Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-Bahan Tradisi Lisan” dalam Pudentia (Ed.). Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosasi Tradisi Lisan.

Danasasmita, S. (2012) Nyukcruk sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung. PT Kiblat Buku Utama.

Darpan, dkk. (2013) Kompendium istilah sistem pertanian tradisional Sunda. Bandung: Pustaka Jaya dan Universitas Padjadjaran.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008) Kamus besar bahasa Indonesia, Pusat Bahasa edisi keempat. Jakarta: Gramedia.

Ekadjati, E. S. (1993) Kebudyaan Sunda (suatu pendekatan sejarah). Bandung: Pustaka Jaya.

Endraswara, S. (2013) Folklor Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Galba, S (Ed.). (2005) Kehidupan sosial budaya masyarakat Sunda, Banten dan Lampung. Bandung: ALQAPRINT dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

Harmin. (2013) Tradisi bertani jagung masyarakat Muna (kajian struktur kegiatan, struktur teks, konteks penuturan, proses penciptaan, dan fungsi mantra serta model pembelajaran di SMA). Tesis, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia.

Iskandar, J. dan Budiawati S. I. (2011) Agroekosistem orang Sunda. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.


(5)

Junus, U. (1981) Mitos dan komunikasi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Keraf, G. (2010) Diksi dan gaya bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lord, A.B. (1976) The singer of tales. New York: Atheneum.

Luxemburg, J.V dkk. (1991) Tentang sastra (diterjemahkan Akhadiati Ikram). Jakarta: Intermasa.

Peursen, C.A.V. (1998) Strategi kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Pradopo, R. D. (2009) Pengkajian puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pudentia, MPSS (Ed.). (2008) Metodologi kajian sastra lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Ramlan. (2005) Ilmu bahasa Indonesia sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono. Rakem. (2008) Mantra bercocok tanam padi sawah di Desa Leuweunggede (analisis struktur, konteks penuturan, proses penciptaan, dan fungsi). Skripsi, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS, Universitas Pendidikan Indonesia Indonesia.

Ratna, Ny. K. (2011) Teori, metode dan teknik penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusyana, Y. (1970) Bagbagan mantra Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda.

Sibarani, R. (2013) “Folklor sebagai Media dan Sumber Pendidikan: Sebuah Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai Budaya Batak Toba” dalam Endraswara (Ed.). Folklor Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Sitaresmi, N. dan Fasya, M. (2011) Pengantar semantik bahasa Indonesia. Bandung: UPI PRESS.

Soeganda, R. A.P. (1982) Upacara adat di Pasundan. Bandung: Sumur Bandung. Sukatman. (2009) Butir-butir tradisi lisan Indonesia. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Sumarjo, J. dan Saini K.M. 1988. Apresiasi kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. Taum, Y.Y. (2011) Studi sastra lisan. Yogyakarta: Lamalera.


(6)

Teeuw, A. (1994) Indonesia antara kelisanan dan keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teeuw, A. (2003) Sastera dan ilmu sastera. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Widianti, T. (2010) Analisis struktur, konteks penuturan, proses penciptaan, dan fungsi mantra pengobatan di Desa Belendung Subang. Skripsi, Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS,Universitas Pendidikan Indonesia.

Zaimar Okke K.S. (1991) Menelusuri makna ziarah karya Iwan Simatupang. Jakarta: Intermasa.

Zaimar Okke K.S. (2008) “ Metodologi Penelitian Tradisi Lisan” dalam Pudentia (Ed.) Metodologi kajian tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.

Zaimar Okke K.S. (2008) Semiotik dan penerapannya dalam karya sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Zoest, A. V. dan Sudjiman, P. (1992) Serba-serbi semiotika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.