31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Terapi Antiretroviral (ARV) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini berlangsung dari tanggal 17 Mei

  • – 20 Juni 2016 di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Haulussy Ambon dan di rumah masing-masing responden. Terkait dengan kerahasiaan status pasien yang dijaga oleh pihak rumah sakit maka data yang diambil dari pihak rumah sakit hanya berupa data kasus melalui wawancara dengan salah satu penanggung jawab klinik VCT.

  4.1. Gambaran Partisipan Jumlah partisipan yang di dapat sebanyak 5 orang.

  Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah ODHA yang sedang menjalani terapi antiretroviral di RSUD Dr. Haulussy Ambon dan bersedia untuk diwawancara.

Tabel 4.1. Karakteristik Partisipan

  No Inisial Umur (Thn) Lama

  Pengobatan Riwayat Putus Obat

  Tahap Pengobatan

  1 Ny. E 37 9 tahun - Lini I

  2 Ny. A 42 8 tahun - Lini I

  3 Ny. A 23 5 tahun - Lini II

  4 Tn. E

37 6 tahun

  3 Lini I

  5 Tn. S

57 7 tahun

  2 Lini I

4.2. Hasil Penelitian

  Data hasil wawancara dari setiap partisipan dianalisis berdasarkan berdasarkan indikator yang dipakai dalam pedoman wawancara. Dari hasil analisis tersebut dapat terlihat 5 tema yang diidentifikasikan dalam faktor-faktor kepatuhan terapi ARV pada ODHA di RSUD dr. Haulussy Ambon.

  Berikut adalah tema-tema faktor kepatuhan terapi yang merupakan hasil penelitian :

  4.2.1. Tanggung jawab dalam keluarga sebagai motivasi kepatuhan minum obat Dalam ungkapan partisipan mengenai apa yang menjadi motivasi untuk patuh minum obat, partisipan mengungkapkan hadirnya keluarga serta perannya dalam keluarga yang menjadi motivasi untuk tetap patuh menjalani pengobatan. Hal tersebut terungkap dari responden:

  P3:

  “sekarang kan su menikah.. jadi berfikir seng par diri sendiri lai. Su par keluarga. Jadi kalo macam berfikir.. kalo misalnya seng patuh berarti itu anggap saja beta ingin par kasi tinggal beta keluarga. Jadi yang mot ivasi beta sekarang, suami. “ (P3.42-45).

  (sekarang saya sudah menikah, jadi berfikir tidak untuk diri sendiri lagi. Sudah untuk keluarga. Jadi kalau misalnya tidak patuh berarti anggap saja saya

  P5:

  “Ya.. karna saya ada 1 nona (anak) yang cantik ini yang baru umur 4 tahun tanggal 1 kemarin ini.. 1 Juni ini, jadi saya ada.. bergairah untuk hidup.” (P5. 61-63)

  Selain keluarga, salah satu partisipan juga menambahkan adanya rasa takut untuk menjalani pengobatan lini II:

  P1:

  “Pertama beta pikir keluarga, beta punya anak. Jadi beta harus bisa kalau bisa sih beta harus patuh dengan obat supaya jangan sampe beta sakit. Nanti kalo beta sakit bagaimana beta pung rumahtangga? siapa yang ngurus anak? Mungkin motivasi pertama tu beta pung keluarga. Yang kedua, beta ketakutan sendiri untuk masuk.. pindah lagi ke lini II. Kalo lini II itu, obatnya sudah besar-besar dibandingkan lini I.” (P1. 45-51)

  (Pertama saya pikir keluarga, saya memiliki anak. Jadi saya harus bisa patuh dengan obat supaya tidak sakit. Nanti kalau saya sakit bagaimana rumahtangga saya? Siapa yang mengurus anak? Mungkin itu motivasi pertama, keluarga saya. Yang kedua, saya ketakutan sendiri untuk masuk.. pindah lagi ke lini II. Kalo lini II itu, obatnya sudah besar-besar dibandingkan lini I)

  Motivasi untuk patuh minum obat tidak lepas dari sikap individu sendiri. Keinginan untuk hidup dengan

  P2:

  “ya beta ingin hiduplah.. to.. ya paling tidak katong ingin hidup karna ada katong pung harapan kedepan ada anak-anak, ada keluarga lai tu, tanggung jawab jadi itu motivasinya..” (P2. 17-20)

  (ya saya ingin hidup. Setidaknya kami ingin hidup karena kami memiliki harapan kedepan ada anak- anak, ada keluarga juga, tanggung jawab jadi itu motivasinya)

  P4:

  “ya karna beta mau.. mau.. punya cita-cita lah deng ada beta pung keluarga jadi harus jadi orang.. harus lebih dari pada yang sekarang. Hari ini harus

lebih baik daripada hari kemarin. Itu saja

  ” (P4.90-93)

  (ya karena saya ingin memiliki cita-cita dalam hidup ini. Harus jadi lebih baik dari sekarang. Hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin)

  4.2.2. Penerimaan dan peran keluarga sebagai Pengawas Minum Obat (PMO)

  Partisipan menyatakan bahwa keberadaan mereka diterima dan pengobatan yang dijalani didukung oleh keluarga.

  P1:

  “kebanyakan seluruh anggota keluarga menerima bahkan beta minum satu gelas dengan dong juga seng ada masalah. Makan satu piring begitu, seng ada masalah. Paling 1,2 orang saja yang kadang-kadang masih.. orang bilang masih kaku. Tapi rata-rata beta pung keluarga besar semuanya

  (kebanyakan seluruh anggota keluarga menerima bahkan saya minum segelas dengan mereka tidak masalah. Makan sepiring tidak masalah. Hanya satu dua orang saja yang terkadang masih kaku. Tetapi rata-rata keluarga besar saya semuanya menerima)

  P2:

  “Kalo keluarga, malahan dong sendiri yang

menekan beta ikut pengobatan. Pas beta masih

tinggal deng mama tuh antua biasa cek.. kontrol. Beta

su minum ka balom. Tapi yang beta su bale deng

anak-anak sendiri nih paleng skali-skali sa baru antua

cek. Kalo seng ada dong, sapa yang mau lia beta

sampe sekarang” (P2.45-49)

  (kalau keluarga, bahkan mereka sendiri yang menekan saya ikut pengobatan. Saat saya masih tinggal dengan mama, beliau biasa mengecek.. kontrol. Saya sudah minum obat atau belum. Tetapi saat saya sudah kembali dengan anak-anak sendiri, sesekali saja beliau mengecek. Kalau tidak ada mereka siapa yang mengurus saya sampai sekarang)

  P3:

  “Dia selalu mendukung, malahan dia sering

mengingatkan untuk minum obat. Karna yang tau beta

pung status di keluarga tuh cuma beta mama deng

dia sa .

  ” (P3.57-59)

  (Dia selalau mendukung, bahkan dia sering mengingatkan untuk minum obat. Karena yang tahu status saya di keluarga hanya ibu saya dengan dia(suami) saja)

  ujian buat beta kan.. sehingga beta kan bisa, dengan ujian begitu beta bisa introspeksi diri kemudian benahi beta punya diri untuk jadi lebih baik.” (P4.108-112)

  (Dengan status saya ini memang keluarga tampak menerima saya dengan menanggapi bahwa keluarga itu anggap ya ini ujian untuk saya sehingga saya bisa introspeksi diri kemudian benahi diri saya untuk jadi lebih baik)

  P5: “Ya keluarga yang lain mendukung ya.

  Disuruh makan obat. Tadinya waktu saya putus juga mereka marah karna saya putus obat kan saya ada misinya bahwa ini separ ah apa kalo kita putus obat.” (P5.101-104)

  Seluruh partisipan mengakui adanya bantuan biaya pengobatan dari pihak keluarga dari awal pengobatan hingga sekarang. Beberapa diantaranya bahkan sempat didampingi keluarga saat mengambil obat di klinik:

  P1:

  “Ya suami yang bantu deng usaha kecil- kecilan. Karena suami pertama menikah tuh suami ojek.. jadi beta punya ongkos pi ambel.. karna 2009 tuh kan cuma ee.. bula-bale ambel obat aja. Jadi paleng biaya administrasi per bulan dengan transport.. transport kan diantar jadi paleng biaya par pengobatan tuh yan g dibiayai samua sama suami.” (P1.230-235).

  (Ya suami yang membantu dengan usaha kecil- administrasi per bulan. Biaya pengobatan dibiayai suami) P2:

  “Ia, kamuka tu keluarga dampingi (P2. 60)

Cuma yang.. kalo yang su bula-bale par ambil obat nih

beta yang ambil sendiri (P2.62-63)Kebetulan

bersyukur mama tuh antua bantu beta.. biaya

pengobatan tuh antua yang biayai. Sampe sekarang

ini, karna su ada perobahan.. beta su bae,

pengobatan, Cuma ambel obat 25 ribu. Baru kan beta

ada dapa suami pung pensiun to jadi bisalah (P2.141-

144).

  (Ia, dulu itu keluarga mendampingi. Hanya kalau yang bolak-balik untuk ambil obat ini saya yang ambil sendiri. Kebetulan bersyukur meme membantu saya. Pengobatan dibiayai. Sampai sekarang karena saya sudah membaik, pengobatan, ambil obat 25 ribu. Saya mendapat dana pensiun suami jadi bisa diatasi.)

  P3: “Kalo suami seng sibuk dia batamang..

  

katong dua datang ambil. Atau ada jua yang beta

datang ambil sendiri. Tapi skarang kan beta ada tiap

kali disini jadi pendamping. Jadi kalo obat su abis,

beta langsung minta sa.” (P3.51-54). “Waktu pertama

kali pasti ada beban. Baru kan, belum kerja juga to..

Samua masih mama yang biayai.

  ” (P3.88-89). “Tapi

skarang jua jaga..kalo ada berkat lebih skali-skali kasi

gitu biar beta su menikah su tanggung jawab suami

dari antua tuh tetap adalah skali-skali.

  ” (P3.92-94)

  (kalau suami tidak sibuk dia menemani.. kami berdua pendamping. Jadi kalau obat sudah habis, saya langsung minta saja. Waktu pertma kali pasti jadi beban. Belum ada pekerjaan. Semua masih dibiayai mama. Tapi sekarang kalau ada berkat lebih sesekali walaupun saya sudah menikah sudah menjadi tanggung jawab suami beliau tetap ada)

  P5:

  “dia selalu dengan obat kalo saya telat atau saya ini lupa atau pergi lupa dia selalu telepon.. apa.. kiri m obat atau nyusul bawa obat “(P5.78-80). “Keluarga juga dorong yang penting makan obat, patuh, dokter bilang apa ini semua patuh.. masalah uang tidak perlu dipikirin. Apa saja yang dibutuhkan keluarga ini semua pendonor-pendonor itu siap. Jadi kita ade . kakak ada 10, semuanya siap “(P4. 109-113) istri saya yang selalu sama saya buat ambil obat.(P4.213-214)

  Partisipan lainnya mengakui tidak didampingi keluarga dalam pengobatan namun mendapat kepercayaan dari pihak keluarga dalam menjalani pengobatan ini.

  P4:

  “Seng. Kalo par.. Cuma par ambil obat gitu, dong percaya beta. Pokoknya percaya beta sa (P4.126-127)Kalo bantuan dari keluarga sih.. keluarga tuh pasti bantu saja. Beta pung biaya dari kemarin yang kira TB tuh sampe skarang ambil obat tiap bulan Cuma 25 ribu dong ada tetap bantu jua. Cuma kan.. ya artinya seng seintens kaya dolo beta

  (Tidak. Kalau hanya untuk ambil obat, mereka percaya saya. Intinya percaya saya saja. Kalau bantuan dari keluarga, tentu keluarga membantu. Biaya pengobatan dari TB dampai sekarang ambil obat setiap bulan hanya 25 ribu mereka tetap ada saja memberikan bantuan. Hanya saja tidak sintens seperti dulu saat saya lemah. Tetapi ada keluarga tetap membantu)

  4.2.3. Dukungan informasional dan emosional keluarga dalam mempertahankan kepatuhan minum obat pasien Dukungan informasional dapat diberikan dalam bentuk nasehat, saran bahkan solusi dari masalah. Seluruh partisipan mendapatkan saran ataupun nasehat yang seragam dari pihak keluarga untuk tetap mengikuti pengobatan secara teratur.

  R1:

  “Kalo saran sih paling tuh patuh dengan obat, seng boleh putus-putus minum obat, dengan rajin kontrol.. cek misalnya cek kesehatan kuh kaya katong karna katong minum obat teratur eh minum obat setiap hari, jadi yang katong musti rajin kontrol tuh L

  AB” (P1.146-150).

  (Kalau saran itu patuh dengan obat, tidak outus minum dengan rajin kontrol.. mengecek kesehatan karena minum obat setiap hari jadi harus rajin kontrol LAB)

  

bilang ikut begitu saja maksudnya kaya macam ikut

ar

ahan dokter saja.”(P3.72-74). “Mama Cuma kasi

saran, untuk minum obat teratur, jaga jang sampe

drop.” (P3.97-98).

  (Jadi beliau bilang ikuti perkembangan apapun yang diarahkan suster dan dokter. Mama hanya memberikan saran untuk minum obat teratur jaga jangan sampai drop)

  P4:

  “Nasehat sih kaya, sudahlah memang balom

ada obat par kasi sembuh tapi dengan ada obat par

setidaknya par tolonglah. Ya kalo bisa sih minum yang

batul. Tapi memang dong percaya beta soal minum-

minum obat nih. Dengan yang tadi pertama beta

bilang tuh keluarga bilang bahwa, ini ujian. Ujian..

cobaan buat katong supaya katong juga bisa

introspeksi diri. Bisa melindungi katong pung diri. .

   (P4.197-203).

  (Nasehat seperti, memang belum ada obat untuk menyembuhkan tetapi ada obat untuk tolong setidaknya. Ya kalau bisa minum dengan benar. Tapi memang mereka percaya saya mengenai minum obat. Dengan yang sudah saya bilang bahwa keluarga melihat ini sebagai ujian untuk introspeksi diri. Bisa melindungi diri kami)

  P5:

  “Istri saya biasa kita berdua ngobrol-ngobrol,

dia yang paling menguatkan. Gak usah banyak

pikiran, kita sudah ada nona ini jadi harus.. nda usah mikir yang berat-berat. Itu dia serin g bicara” (P5.95- Dalam dukungan informasional yang diberikan keluarga, salah satu partisipan mengungkapkan adanya upaya keluarga yang melakukan pendekatan dengan salah satu ODHA yang diketahui keluarga.

  P2:

  “kebetulan itu, Sdri. E kan di LSM to, jadi katong deng Sdri. E.. ada teman sebaya begitu par datang untuk liat katong to.. rekan-rekan kaya katong begini. Jadi dong pendekatan deng Sdri. E lalu Sdri. E datang cari katong di rumah.” (P2.66-69). “Kalo keluarga, sarannya Cuma pengobatan saja.. seng ada macam diskriminasi.. seng. Kalo dari beta pihak keluarga, seng.”(P2.71-72)

  (kebetulan ada teman di LSM jadi ada teman sebaya rekan-rekan seperti kami untuk melihat kami. Jadi mereka pendekatan dengan Sdri. E kemudian Sdri. E datang ke rumah. Kalau saran dari keluarga hanya pengobatan saja. Tidak ada diskriminasi dari pihak keluarga)

  Setiap partisipan pada penelitian ini mendapatkan bentuk dukungan emosional yang cukup beragam.

  Beberapa partisipan menceritakan adanya kasih sayang dalam keluarga, nasehat dan sikap keluarga yang tidak membeda-bedakan setelah mengetahui status partisipan sebagai ODHA serta dukungan spiritual membuat partisipan

  P1:

  “Dukungan dari beta keluarga yang bikin beta

nyaman mungkin, kasih sayang. Seng ada

diskriminasi terus dukungan kasih sayang kemudian

dong memberikan beta kebebasan untuk bisa apa

orang bilang yang namanya orang tua tuh pengen

anaknya tuh suk ses dalam orang bilang karir” (P1.157-161).

  (Dukungan dari keluarga yang membuat saya nyaman mungkin kasih sayang. Tidak ada diskriminasi dan mereka memberikan saya kebebasan untuk bisa sukses dalam karir)

  P2:

  “segala sesuatu bisa katong terbuka deng

dong. Deng dong jua tahu katong pung kehidupan to.

Dong mendukung katong dalam segala hal. Dalam

pengobatan, dalam katong punya makan hari-hari,

katong pung kehidupan hari-hari, terutama juga

dukungan spiritual, doa..” (P2.79-83).

  (Segala sesuatu kami bisa terbuka dengan mereka. Mereka tahu kehidupan kami. Mereka mendukung kami dalam segala hal. Dalam pengobatan, makanan sehari-hari, kehidupan sehari-hari, terutama spritual dan doa )

  P3:

  “yang bikin beta nyaman tuh karna dong

selalu kasi beta nasehat.. kaya macam masukan-

masukan par beta pung kesehatan ataupun

maksudnya sering-sering bicara deng beta.. seng..

maksudnya beta seng rasa minder karna dalam

keluarga seng ada yang menjauhkan dan seng ada

  (yang membuat saya nyaman itu karena mereka selalu memberi nasehat. Seperti masukan-masukan untuk kesehatan saya atau pun sering berbicara dengan saya. Saya tidak merasa minder karena dalam keluarga tidak ada yang menjauhi)

  P4:

  “ya macam tadi tu, dong seng bedakan beta

dari beta masih ketahuan TB sampe su positif HIV,

diskriminasi gitu, seng. mungkin karna hidup

kekeluargaan yang tinggi kan. Hidup kekeluargaan

masih kental.” (P4.216-219).”Beta nih kan anak yang

tua. Jadi dalam struktural keluarga tuh beta seng ada

kurang sedikitpun apa masalah kewenangan

bagitu”(P4.352-354).

  (ya seperti tadi itu, mereka tidak membedakan saya dari saya masih ketahuan TB sampai sudah positif HIV, tidak ada diskriminasi. Mingkin karena hidup kekeluargaan yang tinggi. Saya anak sulung. Jadi kewenangan dalam struktural keluarga tidak berkurang sedikitpun)

  P5:

  “mereka mendukung pengobatan ini tapi takut

sepertinya dengan penyakit ini. gitu loh. Jadi

mungkin.. apa.. mau salaman gitu, kita liat mereka

dekat-dekat aja tuh masih.. bahkan ada kakak yang

tua, punya anak, dia punya cucu-cucu dia larang main

  “ Ya kalo dari istri, ya dia cukup ke sini “(P5.149-152).

membantu skali. Karna dia yang mengurus

semuanya. Kalo dengan saya itu, ya seperti tadi saya

bilang dia memang sering-sering ngobrol. Dia istri

  4.2.4. Ketersediaan stok obat ARVdan akses pelayanan kesehatan Mengenai pelayanan kesehatan, seluruh partisipan menceritakan hal yang sama terkait dengan ketersediaan stok obat ARV yang sempat kosong namun mampu diatasi oleh pihak rumah sakit dengan cara mengecer obat.

  P1:

  “Kalo terlambat ambil obat memang.. pasti ada, sering. Sering maksudnya.. pertama itu, eem.. bukan berarti beta putus obat. Tapi karena memang beta stok obat masih ada dirumah” (P1.242-244).

  “ Biasa dari rumah sakit tuh dong ambil kebijakan, untuk ee.. mengecar. Mengecer obat.” (R1.273-274).

  (kalau terlambat ambil obat memang pasti ada sering. Sering maksudnya pertama itu bukan berarti saya putus obat. Tapi karena memang stok obat saya masih ada di rumah. Biasanya dari rumah sakit mengambil kebijakan untuk mengecer obat.)

  P2:

  “..kadang kala jua kalo ada obat yang pengiriman dari sana terlambat, katong masih dapat satu botol untuk satu bulan. Tapi kalo benar-benar terlambat tuh berarti 1 botol dibagi-bagi. Tapi seng

putus sampe sekarang” (P2.100-104).

  (Kadang jika ada keterlambatan pengiriman obat, kami masih dapat satu botol untuk satu bulan. Tapi kalo benar-benar terlambat berarti 1 botol dibagi-bagi.

  P3:

  “Stok obat kan dalam tahun kemarin kan

sempat kosong. Ya tahun kemarin ada.. tahun ini ada.

Tapi kan dari petugas rumah sakit kan.. tepi seng

sampe putus. Kan biar cicil tapi dapat minum. Seng

putus. Memang rumah sakit memang punya

pengiriman dari pusat ke sini kan ada sempat lambat.

Tapi petugas klinik mengatasi dengan cara mengecer

obat to biar samua pasien dapat. Jadi seng ada yang

putus.” (P3.164-170).

  (stok obat dalam tahun kemarin sempat kosong. Ya tahun kemarin ada, tahun ini ada. Tapi petugas klinik mengatasi dengan cara mengecer obat agar semua pasien bisa mendapat obat. Jadi tidak ada yang putus)

  P4: “stok obat sempat kosong tahun lalu” (P4.292).

  

”Bukan kosong sama skali. Ada tapi diencer. Diencer

sedikit.. maksudnya kaya 1 bulan mustinya kasi 1

bulan, jadinya 2 minggu begitu. Untuk antisipasi saja

to. Nanti kalo kemudian sampe 2 minggu, nanti kalo

kemudian sampe 2 minggu su mau abis ini dikasi 1

minggu lai dolo. Sambil tunggu-tunggu.. karna banyak

kali pemakaiannya sama to”(P4.296-302)

  P5:

  “Dulu pernah kosong di RSU. Ia.. kita cari obat

di teman-teman sampe Jakarta. Kalo kirim dari sana ke sini.. hahaa.. j adi kita takut putus obatnya” (P5.215-

217) “Dari RSU juga yang sisa sedikit-sedikit yang di

simpan untuk mendesak, dikasi. Datang tuh dapat 2

butir.. hahaa.. kadang-kadang tuh semakin menipis, Secara keseluruhan partisipan dalam penelitian ini bertempat tinggal di kota Ambon. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan yang di berikan masih bisa di jangkau dari segi jarak serta biaya yang harus di keluarkan setiap kali pengambilan obat.

  P1:

  “Seng ada masalah to. karna Ambon kan kecil jadi. kalo naik angkot lumayan pengeluarannya karna 2 kali naik. Pengambilan 1 bulan, per orang itu katong mengeluarkan biaya 25 ribu. Cuma karna kebetulan beta pung suami su mengakses BPJS, jadi setiap bulan katong minta rujukan di dokter yang BPJS. Jadi ambil obat gratis”(P1.299-304).

  P2:

  “Seng jauh juga sih.. su biasa. Memang nai angkot dua kali tapi paling Cuma transport pulang bale, hitung 20 ribu.. tambah deng uang ambil obat 25 ribu ya tarulah 50 ribu 1 bulan. Seng begitu memberatkan sih” (P2.172-175).

  P3:

  “ Tapi “Jarak lumayan jauh.” (P3.145). maksudnya perjalanannya kan agak lama tuh. Tapi maksudnya seng bosan sih karna su biasa setiap bulan pulang bale.” (P3.147-149)

  P4:

  “Mudah.. masih..karna maksunya kan masih tinggal dalam kota Ambon kan. Dan akses obat tuh kan hanya 1 pintu saja di Ambon.” (P4.229-230).

  P5:

  “Ya.. Tidak begitu jauh dari sini RSU dan cukup

  4.2.5. Kualitas layanan kesehatan yang di berikan Dalam ungkapan mengenai pelayanan kesehatan di klinik VCT-CST tempat para partisipan mengambil obat

  ARV partisipan menceritakan pelayanan yang diberikan. Beberapa partisipan mengungkapkan sikap perawat di klinik yang ramah dan terbuka dalam berkomunikasi dengan responden.

  P3:

  “susternya bagus.. maksudnya katong tanya, katong rasakan apa, katong bicara, katong tanya tetap antua menjawab. Jadi antua memberikan masukan ataupun apa yang katong tanyakan antua tetap menjawab.. maksudnya bicara dengan enak, nyambung la i gitu.” (P3.134-138).

  P5:

  “Ya.. biasa-biasa saja. Paling datang ambil obat, gitu.. kalo kemarin kan baru cek up sekali suster Y suruh to. Cek up ambil darah untuk cek up semuanya. Dan hasilnya bagus sih. Mereka sangat ramah ya. Apalagi suster Y tuh ramah skali jadi kita gak canggung.” (P5.224-228).

  Partisipan lain menceritakan keterlambatan pengambilan obat dari partisipan yang tidak begitu ditanggapi oleh perawat di klinik. Selain itu pengobatan di atas satu tahun yang sudah tidak diingatkan lagi dan di

  P1:

  “Ya seperti biasa kaya misalakan kan kalo katong ambil obat tuh kan ada kartu obat tuh.. jadi tanggal bale harus sesuai deng tanggal bale. Kalo katong terlambat, misalkan 3 hari atau 4 hari nanti ditanya kenapa terlambat. Katong harus memberikan alasan to. Cuma itu dari pihak medis maksudnya suster.. tapi kalo misalkan yang seng datang ambel kadang-kadang ya itu dong seng ada tanggapan balik untuk respon untuk telpon macam dong pung niat untuk dong telepon gitu ke pasien. Jadi orang bilang kaya ada pembiaran” (P1.196-204)

  P2:

  “Pelayanan di klinik.. di Rumah sakit..katong kan tiap bulan ambil obat, pelayanan bagus, pengobatan tetap sampe skarang katong masih ambel. Suster-suster semua baik. (P2.98- 100).“Kamuka yang awal-awal tu sa dong kasi ingat par minum obat musti. Deng paleng kalo beta terlambat datang 1, 2 hari begitu kan dapa tanya to

  ”(P2.107-109)

  RP:

  “Ya begitulah.. datang kasi obat la sudah”(P4.253). “Biasa pengobat baru. Kalo baru- baru begitu kan masih ada. Masih harus diawasi kan. Tapi kalo su pengobatan di atas 1 tahun akang t indakan Cuma ambil obat saja.”(P4.256-259)

4.3. Pembahasan

  Dalam pembahasan ini peneliti akan mendiskusikan penelitian dilakukan dengan cara membandingkan pada penelitian sebelumnya.

  

1. Tanggung jawab dalam keluarga sebagai motivasi

kepatuhan minum obat

  Penelitian ini menemukan bahwa adanya rasa tanggung jawab partisipan terhadap keluarga merupakan alasan utama bagi partisipan untuk dapat bertahan hidup dan tidak ingin sakit. Interaksi yang terjalin antara partisipan dengan pihak anggota keluarga yang telah mengetahui status partisipan sebagai ODHA mampu mendorong partisipan untuk patuh dalam menjalani terapi melalui peran keluarga sebagai pengawas minum obat.

  Hal serupa juga pernah dikemukakan Yuniar dan Lestari (2014) dalam hasil penelitiannya bahwa faktor yang mendukung ODHA dalam minum obat ARV adalah faktor keluarga, teman selain itu faktor internal dalam diri ODHA seperti motivasi diri untuk tetap hidup dan melakukan aktifitas yang baik.Dalam membahas motivasi sebagai salah satu faktor kepatuhan, persepsi seseorang turut memegang peranan penting sebelum melaksanakan atau memilih suatu tindakan atau pekerjaan. Dalam hal ini tanggung jawabnya tentu dapat membantu untuk membentuk persepsi pasien. Hal tersebut yang akan memunculkan alasan dari sikap kepatuhan pasien sebagai motivasi.

  

2. Penerimaan dan peran keluarga sebagai Pengawas

Minum Obat (PMO)

  Pada penelitian ini, status para partisipan sebagai orang dengan HIV/AIDS dapat diterima oleh pihak keluarga. Keluarga yang mengetahui status tersebut bahkan turut serta berperan sebagai pengawas minum obat bagi responden. Dalam penelitiannya Payuk, Arsin & Abdullah (2012) mengungkapkan bahwa ODHA yang memiliki kualitas hidup yang baik, berbanding terbalik dengan ODHA yang mendapatkan dukungan yang kurang. Dukungan keluarga (orangtua, suami, istri, anak atau saudara) dapat meningkatkan kepatuhan minum obat ARV bagi ODHA. Keluarga dalam hal ini bisa berfungsi menjadi pengawas minum obat. Dukungan dari teman melalui sms dan telepon untuk mengingatkan jadwal minum obat memberikan pengaruh dalam meningkatkan kepatuhan minum obat (Yuniar, 2013). menjalani terapi antiretroviral ini. Oleh sebab itu penilaian pihak keluarga mengenai status pasien dengan HIV/AIDS turut memberikan pengaruh selama pengobatan. Keluarga yang mengetahui dan menerima anggota keluarganya dengan status HIV/AIDS dapat dilibatkan oleh pihak petugas kesehatan di klinik sebagai pengawas minum obat. Hal tersebut dibutuhkan terkait dengan tingkat kepatuhan yang tinggi untuk mencegah resistensi.

  

3. Dukungan informasional dan emosional keluarga

dalam mempertahankan kepatuhan minum obat pasien

  Hasil penelitian menunjukan bentuk dukungan informasional yang didapat partisipanberupa nasehat atau saran dari keluarga sedangkan dukungan emosional yang ada tergambar dalam keadaan keluarga yang tidak mendiskriminasi serta adanya kasih saying dari keluarga yang membuat partisipan merasa nyaman. Hal yang sama pernah ditemukan pada penelitian Chakrapani, velayudham & Shunmugam (2014) di India Selatan yang mengungkapkan bahwa kurangnya dukungan keluarga dan ketakutan didiskriminasi merupakan hambatan

  Terkait dengan pembahasan di atas dapat dilihat bahwa proses pengobatan yang harus berlangsung seumur hidup ini tidak menutup kemungkinan bahwa di dalamnnya pasien mengalami kejenuhan. Dukungan informasional dan emosional sebagai bagian dari bentuk dukungan keluarga diharapkan dapat membantu mempertahankan kepatuhan minum obat.

  

4. Ketersediaan stok obat ARVdan akses pelayanan

kesehatan

  Ketersediaan obat ARV dari rumah sakit yang menyediakan sangat penting mengingat kebutuhan ODHA yang harus mengkonsumsi obat tersebut setiap hari. Dalam penelitian ini para partisipan mengaku sempat diberikan obat dengan jumlah yang lebih sedikit dari biasanya akibat kekurangan stok obat diklinik.Meskipun demikian akses menuju kIinik tidak menjadi hambatan untuk partisipan kembali mengambil obat. Hal ini dukung dengan hasil penelitian Senkonago, Guwatudde, Breda & Khoshnood (2011) di Uganda yang menemukan bahwa salah satu alasan ketidakpatuhan terapi ARV disebabkan pasien kehabisan obat dan tidak ada transportasi ke klinik

  Seperti telah diuangkapkan Senkonagi dkk (2011) pada penelitian diatas yang mendukung hasil penelitian ini, peneliti juga menyimpulkan bahwa ketersediaan obat dan akses ke klinik tempat mengambil obat turut berpengaruh dalam kepatuhan terapi. Hal ini mengingat obat ARV yang hanya dapat di akses hanya melalui rumah sakit umum Dr. Haulussy Ambon untuk provinsi Maluku, banyaknya pasien yang mengikuti pengobatan dan obat yang harus diminum setiap harinya serta jarak tempuh dan biaya yang di keluarkan dapat menjadi penghambat bagi pasien yang memiliki keterbatasan waktu dan keadaan ekonomi.

5. Kualitas layanan kesehatan yang di berikan

  Dalam penyelengaraan layanan kesehatan, kepuasan layanan merupakan hal yang perlu di perhatikan karena cukup berpengaruh dalam kepatuhan minum obat.Penelitian ini menemukan bahwa dalam penyelengaraan layanan kesehatan yang di berikan diklinik partisipan dilayani dengan ramah dan komunikasi yang baik membuat partisipan measa nyaman. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan petugas kesehatan dalam menanggapi stigma tentang HIV yang beredar dapat membantu pasien untuk tetap mengikuti pengobatan.

  Hasil tema mengenai kualitas layanan kesehatan ini dapat disimpulkan peneliti bahwa komunikasi yang baik dengan pihak yang berwenang (perawat, konselor dan dokter) di klinik pada setiap kunjungan dapat membantu mempertahankan kepatuhan minum obat pada pasien.

4.4. Keterbatasan Penelitian

  Keterbatasan pada penelitian ini adalah hanya membahas mengenai tiga faktor kepatuhanyaitu motivasi, dukungan keluarga dan pelayanan kesehatanberdasarkan teori kepatuhan Neven (2012) sehingga peneliti dalam area penelitian ini diharapkanmengangkat landasan teori yang berbeda agar fakor kepatuhan yang diteliti lebih bervariasi.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Make a Match untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SD Negeri Sraten

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Make a Match untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SD Negeri Sraten

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Make a Match untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SD Negeri Sraten

0 0 96

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar Bahasa Indonesia dengan Metode Team Games Tournament Berbantuan Media Kartu Kata

0 0 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Model Think Pair and Share terhadap Hasil Belajar Muatan I

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Model Think Pair and Share terhadap Hasil Belajar Muatan IPA pada Siswa Kelas 4 Se

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Model Think Pair and Share terhadap Hasil Belajar Muatan IPA pada Siswa Kelas 4 Se

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Model Think Pair and Share terhadap Hasil Belajar Muatan IPA pada Siswa Kelas 4 Se

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Model Think Pair and Share terhadap Hasil Belajar Muatan IPA pada Siswa Kelas 4 Se

0 0 95

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Terapi Antiretroviral (ARV) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

0 0 18