GENETIK DAN DEPRESI PADA REMAJA
GENETIK DAN DEPRESI PADA REMAJA
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Genetika
Dosen : Dr. Yani Suryani S.Pdi,M.Si.
Disusun oleh
Yuni Setiyowati
1167020080
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan
dalam bentuk serta isi yang sederhana dengan judul Genetik dan Depresi pada
Remaja.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Genetika. Tulisan
ini adalah hasil kerja penulis yang dalam melaksanakan tugas ini disertai dengan
semangat dan tekad memberikan pembahasan yang lengkap dan terperinci
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan dan untuk
menyempurnakannya, Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari semua pihak demi perbaikan dalam penyusunan
makalah di masa yang akan datang.
Bandung, 12 November 2017
Penulis
1
KATA PENGANTAR.................................................................................................
i
DAFTAR ISI..............................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
1
A. Latar Belakang
........................................................................................................................
2
B. Rumusan Maslah
........................................................................................................................
2
C. Tujuan
........................................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
3
A. Pengertian Depresi
........................................................................................................................
3
B. Faktor Penyebab Depresi
........................................................................................................................
4
C. Genetik dan Depresi Remaja
........................................................................................................................
8
........................................................................................................................
D. Perbedaan Gender dalam Depresi
........................................................................................................................
10
BAB III PENUTUP....................................................................................................
13
A. Kesimpulan
2
........................................................................................................................
13
B. Saran
........................................................................................................................
13
DARTAR PUSTAKA.................................................................................................
14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman modern ini, banyak manusia yang mengalami stress, kecemasan,
dan kegelisahan. Sayangnya masih ada aja orang yang berfikir bahwa stress dan
depresi
bukanlah suatu penyakit. Padahal
stress dan depresi jauh lebih
bertanggung jawab terhadap banyak kematian. Karena stress dan depresi
merupakan sumber dari berbagai penyakit. Depresi yang dibiarkan berlarut
membebani pikiran akan dapat mengganggu kekebalan tubuh. Apabila kita berada
dalam emosi yang negative seperti rasa sedih, benci, iri, putus asa, kecemasan dan
rasa syukur dengan nikmat yang ada, maka sistem kekebalan kita akan melemah,
jauh dari itu penyebab seseorang stress sangat dipengaruhi oleh genetik dari setiap
individu.
Depresi yang terjadi pada manusia terbukti dipengaruhi oleh faktor genetika.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Ashley Winslow dan timnya dari
Massachusetts General Hospital mengungkap bahwa ada 15 area pada genom
manusia yang memengaruhi. Winslow mengatakan, hasil penelitian merupakan
sebuah loncatan. Keberhasilan riset genetika depresi bisa menjadi pemantik untuk
mengungkap lebih rinci lagi tentang sebab depresi dan memicu pengembangan
obat-obat baru. Winslow melakukan penelitian dengan metode pemindaian DNA.
Pendekatan penelitian itu telah dilakukan sebelumnya untuk mengungkap sebab
depresi. Namun, seringnya gagal. Keberhasilan langka diraih tahun lalu ketika
meneliti gen orang han di China. Keberhasilan kali ini menunjukkan bahwa
pemindaian DNA tetap bisa digunakan.
Douglas Levinson dari Stanford University yang tidak terlibat riset seperti
dikutip news.com,au, 4 Agustus 2016 mengungkapkan, " Mereka menunjukkan
bahwa depresi bisa dilacak." Untuk mengungkap faktor genetik depresi, ilmuwan
membandingkan DNA orang yang mengalami depresi dan tidak. Data penderita
diperoleh dari 121.000 pelanggan 23andMe, layanan periksa genetika dan
bioteknologi dan sekitar 300.000 orang pengguna layanan lainnya. Setiap orang
telah menyetujui penggunaan data untuk riset. Data dikombinasikan dengan 9.000
1
orang lain penderita depresi dan 9.500 orang yang tidak. Analisis statistik data dan
perbandingan genom antara orang yang mengalami depresi dan tidak
memungkinkan ilmuwan mengungkap beberapa gen penyebab depresi.
Perilaku remaja depresi mungkin berbeda dari perilaku orang dewasa yang
tertekan. Menurut saran dari psikiater, orang tua perlu waspada terhadap tandatanda depresi pada anak-anak mereka. Seorang anak yang dahulunya sering
bermain dengan teman-temannya dan dapat menghabiskan sebagian besar waktu
mereka bersamaan, tiba-tiba dia menyendiri dan tanpa ada kepentingan yang jelas.
Hal-hal yang seperti ini harus membuat orangtua waspada terhadap kebiasaan
yang abnormal dan sudah patut dicurigai adanya gangguan depresi. Remaja yang
depresi mungkin mengatakan mereka ingin mati atau mungkin berbicara tentang
bunuh diri. Karena merasa tertekan, remaja akan meningkatkan risiko untuk
melakukan bunuh diri. Bahkan, hal itu bisa menyeret kepada kebiasaan buruk dan
terjerumus penyalah gunaan alkohol, atau obat lain, sebagai cara untuk merasa
lebih baik.
Oleh karena itu genetik sangat berpengaruh terhadap depresi bagi
seseorang, jadi pada makalah ini akan membahas mengenai pengaruh genetika
terhadap depresi seorang remaja.
B. Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud depresi ?
b) Apa faktor yang mempengaruhi depresi ?
c) Bagaimana faktor genetik mempengaruhi depresi seseorang?
d) Bagaimana perbedaan gender mempengaruhi depresi remaja ?
C. Tujuan
a) Mengatahui apa yang dimaksud dengan depresi
b) Mengetahui foktor penyebab depresi
c) Memahami bagaimana genetik mempengaruhi depresi seseorang
d) Mengetahui perbedaan gender mempengaruhi depresi remaja.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Depresi
Menurut Sadock (2007) depresi merupakan suatu gangguan mood. Mood
adalah suasana perasaan yang meresap dan menetap yang dialami secara internal
dan yang mempengaruhi perilaku seseorang dan persepsinya terhadap dunia.
Kaplan dkk. (2010) berpendapat bahwa gangguan mood adalah suatu kelompok
klinis yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif
adanya penderitaan berat.
Kaplan dkk (2010) juga menyebutkan bahwa gangguan depresi adalah
gangguan yang sering, dengan prevalensi seumur hidup kira-kira 15 persen,
kemungkinan setinggi 25 persen pada wanita.
Maslim berpendapat (dalam Suprapti S. Markam 2008) bahwa depresi adalah
suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau
beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada
sinaps neuron di SSP (terutama pada sistem limbik).
Kartono (2002), menyatakan bahwa depresi adalah keadaan patah hati atau
putus asa yang disertai dengan melemahnya kepekaan terhadap stimulus tertentu,
pengurangan aktivitas fisik maupun mental dan kesulitan dalam berpikir. Lebih
lanjut Kartono menjelaskan bahwa gangguan depresi disertai kecemasan,
kegelisahan dan keresahan, perasaan bersalah, perasaan menurunnya martabat diri
atau kecenderungan bunuh diri.
Menurut MT Indiarti (dalam buku Winaris 2011) depresi adalah reaksi
tubuh terhadap kondisi yang tidak menyenangkan atau situasi crowded secara
lingkungan sosial maupun fisik. Depresi mengakibatkan tubuh tidak memproduksi
hormon adrenalin sehingga sistem tubuh kurang siap dalam mempertahankan diri.
Menurut David D. Burns (1988) depresi adalah suatu penyakit dan tidak
perlu menjadi bagian dari kehidupan yang sehat. Depresi mayor adalah suasana
hati (afek) yang sedih atau kehilangan minat atau kesenangan dalam semua
aktifitas selama sekurang-kurangnya dua minggu yang disertai dengan beberapa
3
gejala yang berhubungan, seperti kehilangan berat badan dan kesulitan
berkosentrasi.
Individu yang mengalami depresi selalu menyalahkan diri sendiri, merasakan
kesedihan yang mendalam dan rasa putus asa tanpa sebab. Mereka
mempersepsikan diri sendiri dan seluruh alam dunia dalam suasana yang gelap
dan suram. Pandangan suram ini menciptakan perasaan tanpa harapan
danketidakberdayaan yang berkelanjutan (Albin, 1991).
Dari beberapa teori yang telah dipaparkan di atas tentang pengertian depresi
dapat disimpulkan bahwa depresi atau gangguan mood adalah suasana perasaan
sedih dan cemas yang menetap pada diri seseorang sehinnga dapat mempengaruhi
perilaku dan persepsi seseorang. Depresi terjadi karena adanya perubahan antara
norepinefrin dan serotonin yang merupakan bagian dari neurotransmitter. Keadaan
depresi dapat mengakibatkan tubuh seseorang tidak dapat memproduksi hormon
adrenalin, sehingga tubuh kurang siap dalam mempertahankan diri.
A. Faktor Penyebab Depresi
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi
menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial. Dari faktor biologi,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-hidroksi-indol-asetic-acid), HVA (homo-vanilic-acid), MPGH
(5-methoxy-0-hydroksi-phenil-glikol),
di
dalam
darah,
urin
dan
cairan
serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neuro-transmiter yang terkait dengan
patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat
mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki
serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin
pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang
menurunkan konsentrasi dopamine, seperti respirin, dan penyakit dimana
konsentrasi dopamin menurun, seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi.
Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan
bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
4
Hipotalamus
merupakan
pusat
pengaturan
aksis
neuroendokrin,
menerimaminput neuron yang mengandung neurotransmitter-amin-biogenic. Pada
pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini
terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik.
Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin-biogenic-central. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon
pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti (Landefeld,
dkk, 2004). Hipersekresi corticotropin relasing hormone (CRH) merupakan
gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi
yang terjadi diduga akibat adanya kerusakan pada sistem umpan balik kortisol di
sistem limpik atau adanya kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis hypothalamicpituitary-adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin-biogeniccentral. Aksis neuro-endokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid,
dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak
diteliti (Landefeld, dkk, 2004). Hipersekresi corticotropin relasing hormone
(CRH) merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien
depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanyak kerusakan pada sistem
umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem
monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).
Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah
berhubungan dengan para-ventriculer-nucleus (PVN), yang merupakan organ
utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi
mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH
(Landefeld, dkk., 2004). Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi
hormon
estrogen.
Estrogen
berfungsi
melindungi
sistem
dopaminergik
negrostriatal terhadap neurotoksin seperti methyl-phenyl-tetrahydro-prydine
(MPTP), neurotoxin 6-hydroxydopamine (6-OHDA) dan methamphetamine.
Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine-oxidase
(Unutzer, dkk., 2002).
5
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat
mengalami kehilangan secara selektif pada sel-sel saraf selama proses menua.
Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang
hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel
di dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius
(Kaplan,dkk., 2010). Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur
tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di
dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada
umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun.
Dari faktor genetik, penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa
angka resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang
menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan
dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan
40% pada kembar monozigot. Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan
secara khusus, hanyadisebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menanggapi stres (Kaplan, dkk., 2010).
Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang
terhadap penyakit adalah genetik. Dari faktor psikososial, menurut Freud dalam
teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan objek yang dicintai
(Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai
penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan
dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial,
hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan,
peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif
(Kaplan, 2010). Faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan
untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian,
perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik.
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa
kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang
berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan
penyebab stres lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
6
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset episode depresi adalah
kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut,
seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis, misalnya kekurangan
finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman
keamanan dapat menimbulkan depresi (Hardywinoto, 1999).
Dari faktor kepribadian, beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat
pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian
antisosial dan paranoid, yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif,
mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).
Dari faktor psikodinamika, berdasarkan teori psikodinamika Freud,
dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi
(Kaplan, 2010). Dalam upaya untuk mengerti depresi, Freud mendalilkan suatu
hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa
kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena
identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin
merupakan cara satusatunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek. Freud
membedakan melankolia atau depresi dari duka cita, atas dasar bahwa pasien
terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan
perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung
tidak demikian.
Dari faktor kognitif, adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu dapat
menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup,
penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif
tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010).
7
A. Genetik Pada Depresi Remaja
Depresi yang dialami oleh remaja telah menarik minat para peneliti klinis
sejak awal 1980 an (Marcotte,2002). Prevalensi penderita depresi pada usia
remaja menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi dibandingkan dengan usia
kanak‐kanak dan usia dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Radloff dan Rutter
pada remaja‐remaja di antara ras‐ras yang berbeda (dalam Marcotte, 2002)
menemukan bahwa simtom depresi meningkat mulai dari masa kanak‐kanak ke
masa remaja, dan tanda meningkatnya depresi muncul antara usia 13 – 15 tahun,
mencapai puncaknya sekitar usia 17 – 18 tahun, dan kemudian menjadi stabil
pada usia dewasa.
Meningkatnya depresi pada remaja awal, banyak dikaitkan dengan gender.
Seperti yang diungkapkan oleh Silverstein dan Lynch (2002), perbedaan gender
dalam simtomatologi depresi telah banyak mendapat perhatian, dan fakta saat ini
menunjukkan bahwa prevalensi depresi klinis dan subklinis lebih tinggi terjadi
diantara perempuan. Studi Marcotte (2002) terhadap populasi di Canada dan
Amerika Serikat menemukan bahwa ada sekitar 20 – 35% remaja laki‐laki
mengalami mood depresi dan sekitar 25 – 40% terjadi pada perempuan.
Sepanjang hidupnya laki‐laki memiliki resiko antara 8 ‐12% terkena depresi
unipolar, dan sekitar 25% perempuan Amerika akan mengalami depresi klinis
selama kehidupannya (McGrath, 2002). Kebanyakan data mengindikasikan
tingginya prevalensi yang tidak seimbang ini dimulai saat remaja, yaitu selama
periode usia 6 – 12 tahun, tingkat depresi untuk laki‐laki dan perempuan relatif
sama (Gladstone & Koening, 2002). Namun selama periode remaja awal dan
tengah, untuk perempuan meningkat tajam sehingga jumlah penderita depresi
perempuan dua kali lipat dibanding remaja laki‐laki. Penemuan epidemiologi
mengindikasikan bahwa perbandingan 2 : 1 ini terus berlanjut dari remaja sampai
dewasa, termasuk periode usia 18 – 24 tahun yang dikarakteristikkan sebagai
masa dewasa awal (Gladstone & Koenig, 2002). Berdasarkan hasil penelitiannya
Hankin et al. (dalam Calvete dan Cardenoso, 2005) menyatakan bahwa perbedaan
depresi mulai tampak pada usia sekitar 13 – 15 tahun dan perbedaan mencolok
terjadi pada usia 15 – 18 tahun, yang mana remaja perempuan lebih depresif
8
daripada remaja laki‐laki. Namun ada satu pengecualian berdasar studi yang
dilakukan oleh Nolen‐Hoeksema (1987 – 1990) terhadap populasi mahasiswa,
bahwa ternyata pada populasi mahasiswa tidak terdapat perbedaan yang menyolok
dalam depresi di antara laki‐laki dengan perempuan.
Mekanisme yang sebelumnya tidak dikenal untuk depresi berat dan dapat
memandu strategi terapi masa depan bagi gangguan mood ini melemahkan.
Depresi mayor adalah gangguan kejiwaan yang bertanggung jawab untuk
kerugian substansial dalam produktivitas kerja dan bahkan dapat mengakibatkan
bunuh diri di beberapa individu. Perawatan kini untuk depresi besar sangat
diperlukan tetapi kemanjuran klinis mereka masih tidak memuaskan, seperti yang
tercermin dari tingginya tingkat resistensi dan efek samping pengobatan, jelas
penulis studi Dr Martin A. Kohli dari Max Planck Institute of Psychiatry di
Munich, Jerman. Identifikasi mekanisme yang menyebabkan depresi ada baiknya
untuk penemuan antidepresan yang lebih baik.
Meskipun ada kemungkinan bahwa kombinasi faktor risiko genetik dan
lingkungan berkontribusi terhadap depresi berat, identifikasi gen risiko-conferring
telah menjadi tantangan karena kompleksitas genetika dan faktor lingkungan yang
cukup besar yang terkait dengan penyakit. Dr Kohli dan rekan melakukan
penelitian asosiasi genome ketat pasien yang didiagnosis dengan depresi besar dan
subyek
kontrol
tidak
cocok
dengan
sejarah
penyakit
jiwa.
Mereka
mengidentifikasi SLC6A15, gen yang kode untuk protein transporter asam amino
neuron, sebagai kerentanan gen baru untuk depresi besar. Temuan itu dikonfirmasi
dalam studi diperluas meneliti lebih dari 15.000 orang. Para peneliti memeriksa
relevansi fungsional hubungan genetik antara SLC6A15 dan depresi berat. Sudah
subyek nondepressed membawa varian genetik risiko-conferring menunjukkan
ekspresi yang lebih rendah SLC6A15 di hippocampus, suatu wilayah otak yang
terlibat dalam depresi besar. Selain itu, dengan menggunakan pencitraan otak
manusia, pembawa varian risiko dengan sejarah kehidupan yang positif dari
depresi berat menunjukkan hippocampi lebih kecil. Akhirnya, pada model tikus,
ekspresi SLC6A15 rendah hippocampal itu terkait dengan efek stres sosial kronis,
faktor risiko terbukti untuk depresi. Ketika SLC6A15 berkurang dapat
9
mengakibatkan gangguan dari sirkuit saraf yang terkait dengan kerentanan untuk
depresi besar. Hasilnya mendukung gagasan bahwa SLC6A15 rendah ekspresi,
terutama di hippocampus, dapat meningkatkan kerentanan stres individu dengan
mengubah integritas neuronal dan neurotransmisi rangsang di wilayah otak kunci
( Eric, 2002).
A. Perbedaan Gender dalam Depresi
Perbedaan tingginya jumlah penderita depresi pada remaja perempuan dan
laki‐laki pada dasarnya telah nampak sejak memasuki periode usia remaja tengah.
Ada faktor‐faktor yang dapat menyebabkan hal ini terjadi. Menurut Pettersen
(1991) ada tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan gender
dalam depresi, yaitu: pertama karakteristik dari gender itu sendiri, kedua sumber‐
sumber untuk mengatasi masalah (coping resources), dan ketiga kejadian‐kejadian
menekan yang dialami remaja laki‐laki dan perempuan.
Pertama, perubahan‐perubahan pada saat pubertas baik fisik maupun
hormonal yang terjadi pada remaja awal, berpengaruh pada meningkatnya
kesadaran remaja perempuan dan laki‐laki atas tubuh dan jenis kelaminnya.
Perubahan tersebut akan dipersepsikan secara berbeda oleh remaja perempuan dan
laki‐laki. Remaja perempuan memiliki penilaian yang negatif terhadap tubuhnya,
mereka sering merasa tidak puas dengan tubuhnya; mereka merasa tubuhnya tidak
menarik, kelihatan gemuk dan wajahnya tidak cantik. Sebaliknya, remaja laki‐laki
mempersepsikan perubahan itu sebagai hal yang positif. Menurut Steinberg
(2002), remaja perempuan memiliki hormon oxytocin yang lebih tinggi dibanding
laki‐laki. Hal ini menyebabkan remaja perempuan memiliki ketertarikan yang
lebih tinggi pada hubungan interpersonal. Tingginya intensitas untuk berhubungan
dengan orang lain, membuat remaja perempuan lebih tergantung pada orang lain
yang dianggap dapat memberikan dukungan sosial. Akibatnya, remaja perempuan
lebih peka terhadap penolakan orang lain, mudah merasa tidak puas dengan
hubungan interpersonal; sehingga kondisi ini diyakini sebagai resiko munculnya
simtom depresi. Kedua, adanya perbedaan strategi dalam mengatasi masalah
diantara remaja perempuan dan laki‐laki menyebabkan perempuan lebih banyak
10
yang menderita depresi daripada lakilaki. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Petersen (1991) ditemukan bahwa remaja perempuan lebih banyak menggunakan
strategi mengatasi masalah yang tidak efektif, seperti melalui cara internalisasi,
intelektualisasi dan rasionalisasi, dibanding remaja laki‐laki. Strategi mengatasi
masalah yang tidak efektif ini, tidak mampu mengurangi tekanan dari kejadian
negatif yang dialaminya, sehingga mereka tidak mampu mempertahankan
keseimbangan emosi. Kondisi ini menyebabkan remaja perempuan mengalami
depresi lebih tinggi daripada laki‐laki. Sebaliknya, remaja laki‐laki lebih sering
menggunakan strategi mengatasi masalah yang bersifat eksternalisasi, seperti
agresif, hiperaktif, memberontak dan melarikan diri.
Ketiga, ada perubahan‐perubahan perkembangan baik fisik maupun hormonal
dialami remaja. Remaja perempuan lebih cepat masak daripada remaja laki‐laki,
akibatnya perempuan lebih awal mengalami perubahan perkembangan. Perubahan
hormonal yang mengakibatkan perubahan pada tubuh, membuat remaja
perempuan mudah merasa tertekan, dibanding laki‐laki. Steinberg (2002)
menemukan fakta bahwa ternyata perempuan lebih rentan terhadap pengaruh
genetik daripada laki‐laki, sehingga remaja perempuan yang orangtuanya
mengalami depresi, cenderung lebih rentan mengalami depresi dibandingkan
remaja laki‐laki yang mempunyai orangtua depresi. Di sisi lain, Dacey (1997)
melaporkan bahwa ada perbedaan kejadian‐kejadian menekan yang dialami oleh
remaja perempuan dan laki‐laki. Remaja perempuan, pada usia 12 tahun sampai
14 tahun lebih banyak mengalami kejadian negatif sehari‐harinya dibanding
remaja laki‐laki, dan remaja perempuan lebih merasa tertekan dengan problem
keluarga, seperti : perceraian, dan kematian orangtua.
Menurut Kendall & Hammen (1998) terjadinya perbedaan depresi diantara
remaja perempuan dan laki‐laki disebabkan oleh adanya perbedaan dalam cara
menghayati dan mengekspresikan gangguan psikologis itu sendiri. Perbedaan ini
menyangkut cara mengekspresikan konflik dan kekecewaan mereka. Di sisi lain,
kebanyakan masyarakat memiliki standar dan harapan yang berbeda pada perilaku
yang ditampilkan oleh perempuan dan laki‐laki. Budaya di Amerika Serikat,
mengharapkan laki‐laki menjadi kuat, dominan, bebas/mandiri, rasional, dan
11
dapat mengontrol situasi dan emosi. Sementara perempuan menjadi lebih
emosional dan tergantung, butuh bantuan dan perlindungan dari laki‐laki.
Perbedaan terhadap harapan ini memberi kesempatan pada perempuan menjadi
lebih bebas untuk mengekspresikan emosi dan kebutuhannya.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini yaitu bahwa depresi merupakan suasana
perasaan sedih dan cemas yang menetap pada diri seseorang sehinngga dapat
mempengaruhi perilaku dan persepsi seseorang. Depresi terjadi karena adanya
perubahan antara norepinefrin dan serotonin yang merupakan bagian dari
neurotransmitter. Keadaan depresi dapat mengakibatkan tubuh seseorang tidak
dapat memproduksi hormon adrenalin, sehingga tubuh kurang siap dalam
mempertahankan diri. Seorang remaja laki-laki dan perempuan mempunyai
tingkat depresi penyebabnya antara lain, pertama karakteristik dari gender itu
sendiri, kedua sumber‐sumber untuk mengatasi masalah (coping resources), dan
ketiga kejadian‐kejadian menekan yang dialami remaja laki‐laki dan perempuan.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.
Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka.
13
DAFTAR PUSTAKA
Albin, R. S. 1991. Emosi : Bagaimana Mengenal, Menerima dan
Mengarahkannya.Yogyakarta : Kanisius.
Dacey, J.dan Kenny, M. 1997. Adolescent Development. Chicago : Brown &
Benchmar Publishers.
Eric, J. Dkk. 2002. Neurobiology of Depression. Journal Neuron. Vol. 34(1) : 13
25.
Calvete, E. dan Cardenoso, O. 2005. Gender Differences in Cognitive
Vulnerability to Depression and Behavior Problem in Adolescents.
Journal of Abnormal Child Psychology. Vol.33 : 179 – 203.
Gladstone, T.R.G. dan Koenig, L.J., 2002. Sex Differences in Depression across
the High School to College Transition. Journal of Youth and Adolescence.
Vol.23(6): 643‐663.
Hardywinoto, S.T. 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek.
Jakarta: PT. Gramedia.
Kaplan, dkk. 2010. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis. Jilid Satu. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Kaplan, H.I. 2010. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya Medika.
Landefeld, dkk. 2004. Current Geriatric Diagnosis and Treatment (Lange
Current Series). USA: McGraw-Hill Medical.
Kartono, Kartini. 2002. Patologi Sosial 3 “Gangguan-Ganguan Kejiwaan”.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kendal dan Hemmen. 1998. Directing Misperceptions: Researching the Issues
Facing Manual-Based Treatments. Journal Clinical Phsycologi science
and Pratice. Vol. 5(3): 396-399.
McGrath, dkk. 2002. Adolescent Depression in a School‐Based Community
Sample: Preeliminary Findings on Contributing Social Factors. Journal of
Youth and Adolescence. Vol. 23(6): 601-616.
Marcotte, D., 2002. Irrational Beliefs and Depression in Adolescence. Journal o
Adolescence. Vol. 31: 935 – 948.
Marcotte, D., Alain, M., dan Gosselin, MJ. 2002. Gender Differences in
14
Adolescent Depression: Gender‐ Typed Characteristic or Problem Solving
Skill Deficits? AJournal of Research. Vol. 4(1): 31‐43.
Petersen, A.C, dkk. 1991.Adolescent Depression: Why more Girls? Journal of
Youth Adolescents. Vol. 20: 247 ‐271.
Sadock BJ. 2007. Depressive Disorders and Suicide. Behavior
Sciences/Clinical
Psychiatry.
Silverstein, B., dan Lynch, A.D. 2002. Gender Differences in Depression: the
Role Played by Paternal Attitudes of Males Superiority and Maternal
Modeling of Gender‐Related Limitations. Sex Roles: A Journal of
Research. Vol. 38(8): 539‐550.
Steinberg, L & Silk, J.S.2002. Parenting adolescents. New Jersey: Lawrence
Erlbraum Associates, Publishers.Handbook of Parenting.
Unutzer, J. dkk “Collaborative Care Management of Late-Life Depression in the
Primary Care Setting: A Randomized Controlled Trial”. Journal of the American
Medical Association. Vol. ses 12 September 2017).
15
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Genetika
Dosen : Dr. Yani Suryani S.Pdi,M.Si.
Disusun oleh
Yuni Setiyowati
1167020080
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan
dalam bentuk serta isi yang sederhana dengan judul Genetik dan Depresi pada
Remaja.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Genetika. Tulisan
ini adalah hasil kerja penulis yang dalam melaksanakan tugas ini disertai dengan
semangat dan tekad memberikan pembahasan yang lengkap dan terperinci
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan dan untuk
menyempurnakannya, Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari semua pihak demi perbaikan dalam penyusunan
makalah di masa yang akan datang.
Bandung, 12 November 2017
Penulis
1
KATA PENGANTAR.................................................................................................
i
DAFTAR ISI..............................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
1
A. Latar Belakang
........................................................................................................................
2
B. Rumusan Maslah
........................................................................................................................
2
C. Tujuan
........................................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
3
A. Pengertian Depresi
........................................................................................................................
3
B. Faktor Penyebab Depresi
........................................................................................................................
4
C. Genetik dan Depresi Remaja
........................................................................................................................
8
........................................................................................................................
D. Perbedaan Gender dalam Depresi
........................................................................................................................
10
BAB III PENUTUP....................................................................................................
13
A. Kesimpulan
2
........................................................................................................................
13
B. Saran
........................................................................................................................
13
DARTAR PUSTAKA.................................................................................................
14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman modern ini, banyak manusia yang mengalami stress, kecemasan,
dan kegelisahan. Sayangnya masih ada aja orang yang berfikir bahwa stress dan
depresi
bukanlah suatu penyakit. Padahal
stress dan depresi jauh lebih
bertanggung jawab terhadap banyak kematian. Karena stress dan depresi
merupakan sumber dari berbagai penyakit. Depresi yang dibiarkan berlarut
membebani pikiran akan dapat mengganggu kekebalan tubuh. Apabila kita berada
dalam emosi yang negative seperti rasa sedih, benci, iri, putus asa, kecemasan dan
rasa syukur dengan nikmat yang ada, maka sistem kekebalan kita akan melemah,
jauh dari itu penyebab seseorang stress sangat dipengaruhi oleh genetik dari setiap
individu.
Depresi yang terjadi pada manusia terbukti dipengaruhi oleh faktor genetika.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Ashley Winslow dan timnya dari
Massachusetts General Hospital mengungkap bahwa ada 15 area pada genom
manusia yang memengaruhi. Winslow mengatakan, hasil penelitian merupakan
sebuah loncatan. Keberhasilan riset genetika depresi bisa menjadi pemantik untuk
mengungkap lebih rinci lagi tentang sebab depresi dan memicu pengembangan
obat-obat baru. Winslow melakukan penelitian dengan metode pemindaian DNA.
Pendekatan penelitian itu telah dilakukan sebelumnya untuk mengungkap sebab
depresi. Namun, seringnya gagal. Keberhasilan langka diraih tahun lalu ketika
meneliti gen orang han di China. Keberhasilan kali ini menunjukkan bahwa
pemindaian DNA tetap bisa digunakan.
Douglas Levinson dari Stanford University yang tidak terlibat riset seperti
dikutip news.com,au, 4 Agustus 2016 mengungkapkan, " Mereka menunjukkan
bahwa depresi bisa dilacak." Untuk mengungkap faktor genetik depresi, ilmuwan
membandingkan DNA orang yang mengalami depresi dan tidak. Data penderita
diperoleh dari 121.000 pelanggan 23andMe, layanan periksa genetika dan
bioteknologi dan sekitar 300.000 orang pengguna layanan lainnya. Setiap orang
telah menyetujui penggunaan data untuk riset. Data dikombinasikan dengan 9.000
1
orang lain penderita depresi dan 9.500 orang yang tidak. Analisis statistik data dan
perbandingan genom antara orang yang mengalami depresi dan tidak
memungkinkan ilmuwan mengungkap beberapa gen penyebab depresi.
Perilaku remaja depresi mungkin berbeda dari perilaku orang dewasa yang
tertekan. Menurut saran dari psikiater, orang tua perlu waspada terhadap tandatanda depresi pada anak-anak mereka. Seorang anak yang dahulunya sering
bermain dengan teman-temannya dan dapat menghabiskan sebagian besar waktu
mereka bersamaan, tiba-tiba dia menyendiri dan tanpa ada kepentingan yang jelas.
Hal-hal yang seperti ini harus membuat orangtua waspada terhadap kebiasaan
yang abnormal dan sudah patut dicurigai adanya gangguan depresi. Remaja yang
depresi mungkin mengatakan mereka ingin mati atau mungkin berbicara tentang
bunuh diri. Karena merasa tertekan, remaja akan meningkatkan risiko untuk
melakukan bunuh diri. Bahkan, hal itu bisa menyeret kepada kebiasaan buruk dan
terjerumus penyalah gunaan alkohol, atau obat lain, sebagai cara untuk merasa
lebih baik.
Oleh karena itu genetik sangat berpengaruh terhadap depresi bagi
seseorang, jadi pada makalah ini akan membahas mengenai pengaruh genetika
terhadap depresi seorang remaja.
B. Rumusan Masalah
a) Apa yang dimaksud depresi ?
b) Apa faktor yang mempengaruhi depresi ?
c) Bagaimana faktor genetik mempengaruhi depresi seseorang?
d) Bagaimana perbedaan gender mempengaruhi depresi remaja ?
C. Tujuan
a) Mengatahui apa yang dimaksud dengan depresi
b) Mengetahui foktor penyebab depresi
c) Memahami bagaimana genetik mempengaruhi depresi seseorang
d) Mengetahui perbedaan gender mempengaruhi depresi remaja.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Depresi
Menurut Sadock (2007) depresi merupakan suatu gangguan mood. Mood
adalah suasana perasaan yang meresap dan menetap yang dialami secara internal
dan yang mempengaruhi perilaku seseorang dan persepsinya terhadap dunia.
Kaplan dkk. (2010) berpendapat bahwa gangguan mood adalah suatu kelompok
klinis yang ditandai oleh hilangnya perasaan kendali dan pengalaman subjektif
adanya penderitaan berat.
Kaplan dkk (2010) juga menyebutkan bahwa gangguan depresi adalah
gangguan yang sering, dengan prevalensi seumur hidup kira-kira 15 persen,
kemungkinan setinggi 25 persen pada wanita.
Maslim berpendapat (dalam Suprapti S. Markam 2008) bahwa depresi adalah
suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau
beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada
sinaps neuron di SSP (terutama pada sistem limbik).
Kartono (2002), menyatakan bahwa depresi adalah keadaan patah hati atau
putus asa yang disertai dengan melemahnya kepekaan terhadap stimulus tertentu,
pengurangan aktivitas fisik maupun mental dan kesulitan dalam berpikir. Lebih
lanjut Kartono menjelaskan bahwa gangguan depresi disertai kecemasan,
kegelisahan dan keresahan, perasaan bersalah, perasaan menurunnya martabat diri
atau kecenderungan bunuh diri.
Menurut MT Indiarti (dalam buku Winaris 2011) depresi adalah reaksi
tubuh terhadap kondisi yang tidak menyenangkan atau situasi crowded secara
lingkungan sosial maupun fisik. Depresi mengakibatkan tubuh tidak memproduksi
hormon adrenalin sehingga sistem tubuh kurang siap dalam mempertahankan diri.
Menurut David D. Burns (1988) depresi adalah suatu penyakit dan tidak
perlu menjadi bagian dari kehidupan yang sehat. Depresi mayor adalah suasana
hati (afek) yang sedih atau kehilangan minat atau kesenangan dalam semua
aktifitas selama sekurang-kurangnya dua minggu yang disertai dengan beberapa
3
gejala yang berhubungan, seperti kehilangan berat badan dan kesulitan
berkosentrasi.
Individu yang mengalami depresi selalu menyalahkan diri sendiri, merasakan
kesedihan yang mendalam dan rasa putus asa tanpa sebab. Mereka
mempersepsikan diri sendiri dan seluruh alam dunia dalam suasana yang gelap
dan suram. Pandangan suram ini menciptakan perasaan tanpa harapan
danketidakberdayaan yang berkelanjutan (Albin, 1991).
Dari beberapa teori yang telah dipaparkan di atas tentang pengertian depresi
dapat disimpulkan bahwa depresi atau gangguan mood adalah suasana perasaan
sedih dan cemas yang menetap pada diri seseorang sehinnga dapat mempengaruhi
perilaku dan persepsi seseorang. Depresi terjadi karena adanya perubahan antara
norepinefrin dan serotonin yang merupakan bagian dari neurotransmitter. Keadaan
depresi dapat mengakibatkan tubuh seseorang tidak dapat memproduksi hormon
adrenalin, sehingga tubuh kurang siap dalam mempertahankan diri.
A. Faktor Penyebab Depresi
Kaplan menyatakan bahwa faktor penyebab depresi dapat secara buatan dibagi
menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial. Dari faktor biologi,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-hidroksi-indol-asetic-acid), HVA (homo-vanilic-acid), MPGH
(5-methoxy-0-hydroksi-phenil-glikol),
di
dalam
darah,
urin
dan
cairan
serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neuro-transmiter yang terkait dengan
patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat
mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki
serotonin yang rendah. Pada terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin
pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang
menurunkan konsentrasi dopamine, seperti respirin, dan penyakit dimana
konsentrasi dopamin menurun, seperti parkinson, adalah disertai gejala depresi.
Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan
bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
4
Hipotalamus
merupakan
pusat
pengaturan
aksis
neuroendokrin,
menerimaminput neuron yang mengandung neurotransmitter-amin-biogenic. Pada
pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini
terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik.
Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis hypothalamic-pituitary-adrenal
(HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin-biogenic-central. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon
pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti (Landefeld,
dkk, 2004). Hipersekresi corticotropin relasing hormone (CRH) merupakan
gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi
yang terjadi diduga akibat adanya kerusakan pada sistem umpan balik kortisol di
sistem limpik atau adanya kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis hypothalamicpituitary-adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin-biogeniccentral. Aksis neuro-endokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid,
dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak
diteliti (Landefeld, dkk, 2004). Hipersekresi corticotropin relasing hormone
(CRH) merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien
depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanyak kerusakan pada sistem
umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan pada sistem
monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010).
Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah
berhubungan dengan para-ventriculer-nucleus (PVN), yang merupakan organ
utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi
mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH
(Landefeld, dkk., 2004). Pada orang lanjut usia terjadi penurunan produksi
hormon
estrogen.
Estrogen
berfungsi
melindungi
sistem
dopaminergik
negrostriatal terhadap neurotoksin seperti methyl-phenyl-tetrahydro-prydine
(MPTP), neurotoxin 6-hydroxydopamine (6-OHDA) dan methamphetamine.
Estrogen bersama dengan antioksidan juga merusak monoamine-oxidase
(Unutzer, dkk., 2002).
5
Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter. Sistem saraf pusat
mengalami kehilangan secara selektif pada sel-sel saraf selama proses menua.
Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada seluruh otak selama rentang
hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan yang lebih besar pada sel-sel
di dalam lokus seroleus, substansia nigra, serebelum dan bulbus olfaktorius
(Kaplan,dkk., 2010). Bukti menunjukkan bahwa ada ketergantungan dengan umur
tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik, serotonergik, dan dopaminergik di
dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas menurun menjadi setengah pada
umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur 60-an tahun.
Dari faktor genetik, penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa
angka resiko di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang
menderita depresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan
dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan
40% pada kembar monozigot. Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan
secara khusus, hanyadisebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menanggapi stres (Kaplan, dkk., 2010).
Proses menua bersifat individual, sehingga dipikirkan kepekaan seseorang
terhadap penyakit adalah genetik. Dari faktor psikososial, menurut Freud dalam
teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan objek yang dicintai
(Kaplan, 2010). Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai
penyebab gangguan mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan
dengan kehilangan. Faktor psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial,
hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan,
peningkatan isolasi diri, keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif
(Kaplan, 2010). Faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan
untuk mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian,
perpisahan, kemiskinan dan penyakit fisik.
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa
kehidupan dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang
berulang, teori kognitif dan dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan
penyebab stres lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
6
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor
lingkungan yang paling berhubungan dengan onset episode depresi adalah
kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stressor psikososial yang bersifat akut,
seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stressor kronis, misalnya kekurangan
finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman
keamanan dapat menimbulkan depresi (Hardywinoto, 1999).
Dari faktor kepribadian, beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat
pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga
mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian
antisosial dan paranoid, yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif,
mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).
Dari faktor psikodinamika, berdasarkan teori psikodinamika Freud,
dinyatakan bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi
(Kaplan, 2010). Dalam upaya untuk mengerti depresi, Freud mendalilkan suatu
hubungan antara kehilangan objek dan melankolia. Ia menyatakan bahwa
kekerasan yang dilakukan pasien depresi diarahkan secara internal karena
identifikasi dengan objek yang hilang. Freud percaya bahwa introjeksi mungkin
merupakan cara satusatunya bagi ego untuk melepaskan suatu objek. Freud
membedakan melankolia atau depresi dari duka cita, atas dasar bahwa pasien
terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam hubungan dengan
perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang berkabung
tidak demikian.
Dari faktor kognitif, adanya interpretasi yang keliru terhadap sesuatu dapat
menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup,
penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif
tersebut menyebabkan perasaan depresi (Kaplan, 2010).
7
A. Genetik Pada Depresi Remaja
Depresi yang dialami oleh remaja telah menarik minat para peneliti klinis
sejak awal 1980 an (Marcotte,2002). Prevalensi penderita depresi pada usia
remaja menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi dibandingkan dengan usia
kanak‐kanak dan usia dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Radloff dan Rutter
pada remaja‐remaja di antara ras‐ras yang berbeda (dalam Marcotte, 2002)
menemukan bahwa simtom depresi meningkat mulai dari masa kanak‐kanak ke
masa remaja, dan tanda meningkatnya depresi muncul antara usia 13 – 15 tahun,
mencapai puncaknya sekitar usia 17 – 18 tahun, dan kemudian menjadi stabil
pada usia dewasa.
Meningkatnya depresi pada remaja awal, banyak dikaitkan dengan gender.
Seperti yang diungkapkan oleh Silverstein dan Lynch (2002), perbedaan gender
dalam simtomatologi depresi telah banyak mendapat perhatian, dan fakta saat ini
menunjukkan bahwa prevalensi depresi klinis dan subklinis lebih tinggi terjadi
diantara perempuan. Studi Marcotte (2002) terhadap populasi di Canada dan
Amerika Serikat menemukan bahwa ada sekitar 20 – 35% remaja laki‐laki
mengalami mood depresi dan sekitar 25 – 40% terjadi pada perempuan.
Sepanjang hidupnya laki‐laki memiliki resiko antara 8 ‐12% terkena depresi
unipolar, dan sekitar 25% perempuan Amerika akan mengalami depresi klinis
selama kehidupannya (McGrath, 2002). Kebanyakan data mengindikasikan
tingginya prevalensi yang tidak seimbang ini dimulai saat remaja, yaitu selama
periode usia 6 – 12 tahun, tingkat depresi untuk laki‐laki dan perempuan relatif
sama (Gladstone & Koening, 2002). Namun selama periode remaja awal dan
tengah, untuk perempuan meningkat tajam sehingga jumlah penderita depresi
perempuan dua kali lipat dibanding remaja laki‐laki. Penemuan epidemiologi
mengindikasikan bahwa perbandingan 2 : 1 ini terus berlanjut dari remaja sampai
dewasa, termasuk periode usia 18 – 24 tahun yang dikarakteristikkan sebagai
masa dewasa awal (Gladstone & Koenig, 2002). Berdasarkan hasil penelitiannya
Hankin et al. (dalam Calvete dan Cardenoso, 2005) menyatakan bahwa perbedaan
depresi mulai tampak pada usia sekitar 13 – 15 tahun dan perbedaan mencolok
terjadi pada usia 15 – 18 tahun, yang mana remaja perempuan lebih depresif
8
daripada remaja laki‐laki. Namun ada satu pengecualian berdasar studi yang
dilakukan oleh Nolen‐Hoeksema (1987 – 1990) terhadap populasi mahasiswa,
bahwa ternyata pada populasi mahasiswa tidak terdapat perbedaan yang menyolok
dalam depresi di antara laki‐laki dengan perempuan.
Mekanisme yang sebelumnya tidak dikenal untuk depresi berat dan dapat
memandu strategi terapi masa depan bagi gangguan mood ini melemahkan.
Depresi mayor adalah gangguan kejiwaan yang bertanggung jawab untuk
kerugian substansial dalam produktivitas kerja dan bahkan dapat mengakibatkan
bunuh diri di beberapa individu. Perawatan kini untuk depresi besar sangat
diperlukan tetapi kemanjuran klinis mereka masih tidak memuaskan, seperti yang
tercermin dari tingginya tingkat resistensi dan efek samping pengobatan, jelas
penulis studi Dr Martin A. Kohli dari Max Planck Institute of Psychiatry di
Munich, Jerman. Identifikasi mekanisme yang menyebabkan depresi ada baiknya
untuk penemuan antidepresan yang lebih baik.
Meskipun ada kemungkinan bahwa kombinasi faktor risiko genetik dan
lingkungan berkontribusi terhadap depresi berat, identifikasi gen risiko-conferring
telah menjadi tantangan karena kompleksitas genetika dan faktor lingkungan yang
cukup besar yang terkait dengan penyakit. Dr Kohli dan rekan melakukan
penelitian asosiasi genome ketat pasien yang didiagnosis dengan depresi besar dan
subyek
kontrol
tidak
cocok
dengan
sejarah
penyakit
jiwa.
Mereka
mengidentifikasi SLC6A15, gen yang kode untuk protein transporter asam amino
neuron, sebagai kerentanan gen baru untuk depresi besar. Temuan itu dikonfirmasi
dalam studi diperluas meneliti lebih dari 15.000 orang. Para peneliti memeriksa
relevansi fungsional hubungan genetik antara SLC6A15 dan depresi berat. Sudah
subyek nondepressed membawa varian genetik risiko-conferring menunjukkan
ekspresi yang lebih rendah SLC6A15 di hippocampus, suatu wilayah otak yang
terlibat dalam depresi besar. Selain itu, dengan menggunakan pencitraan otak
manusia, pembawa varian risiko dengan sejarah kehidupan yang positif dari
depresi berat menunjukkan hippocampi lebih kecil. Akhirnya, pada model tikus,
ekspresi SLC6A15 rendah hippocampal itu terkait dengan efek stres sosial kronis,
faktor risiko terbukti untuk depresi. Ketika SLC6A15 berkurang dapat
9
mengakibatkan gangguan dari sirkuit saraf yang terkait dengan kerentanan untuk
depresi besar. Hasilnya mendukung gagasan bahwa SLC6A15 rendah ekspresi,
terutama di hippocampus, dapat meningkatkan kerentanan stres individu dengan
mengubah integritas neuronal dan neurotransmisi rangsang di wilayah otak kunci
( Eric, 2002).
A. Perbedaan Gender dalam Depresi
Perbedaan tingginya jumlah penderita depresi pada remaja perempuan dan
laki‐laki pada dasarnya telah nampak sejak memasuki periode usia remaja tengah.
Ada faktor‐faktor yang dapat menyebabkan hal ini terjadi. Menurut Pettersen
(1991) ada tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan gender
dalam depresi, yaitu: pertama karakteristik dari gender itu sendiri, kedua sumber‐
sumber untuk mengatasi masalah (coping resources), dan ketiga kejadian‐kejadian
menekan yang dialami remaja laki‐laki dan perempuan.
Pertama, perubahan‐perubahan pada saat pubertas baik fisik maupun
hormonal yang terjadi pada remaja awal, berpengaruh pada meningkatnya
kesadaran remaja perempuan dan laki‐laki atas tubuh dan jenis kelaminnya.
Perubahan tersebut akan dipersepsikan secara berbeda oleh remaja perempuan dan
laki‐laki. Remaja perempuan memiliki penilaian yang negatif terhadap tubuhnya,
mereka sering merasa tidak puas dengan tubuhnya; mereka merasa tubuhnya tidak
menarik, kelihatan gemuk dan wajahnya tidak cantik. Sebaliknya, remaja laki‐laki
mempersepsikan perubahan itu sebagai hal yang positif. Menurut Steinberg
(2002), remaja perempuan memiliki hormon oxytocin yang lebih tinggi dibanding
laki‐laki. Hal ini menyebabkan remaja perempuan memiliki ketertarikan yang
lebih tinggi pada hubungan interpersonal. Tingginya intensitas untuk berhubungan
dengan orang lain, membuat remaja perempuan lebih tergantung pada orang lain
yang dianggap dapat memberikan dukungan sosial. Akibatnya, remaja perempuan
lebih peka terhadap penolakan orang lain, mudah merasa tidak puas dengan
hubungan interpersonal; sehingga kondisi ini diyakini sebagai resiko munculnya
simtom depresi. Kedua, adanya perbedaan strategi dalam mengatasi masalah
diantara remaja perempuan dan laki‐laki menyebabkan perempuan lebih banyak
10
yang menderita depresi daripada lakilaki. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Petersen (1991) ditemukan bahwa remaja perempuan lebih banyak menggunakan
strategi mengatasi masalah yang tidak efektif, seperti melalui cara internalisasi,
intelektualisasi dan rasionalisasi, dibanding remaja laki‐laki. Strategi mengatasi
masalah yang tidak efektif ini, tidak mampu mengurangi tekanan dari kejadian
negatif yang dialaminya, sehingga mereka tidak mampu mempertahankan
keseimbangan emosi. Kondisi ini menyebabkan remaja perempuan mengalami
depresi lebih tinggi daripada laki‐laki. Sebaliknya, remaja laki‐laki lebih sering
menggunakan strategi mengatasi masalah yang bersifat eksternalisasi, seperti
agresif, hiperaktif, memberontak dan melarikan diri.
Ketiga, ada perubahan‐perubahan perkembangan baik fisik maupun hormonal
dialami remaja. Remaja perempuan lebih cepat masak daripada remaja laki‐laki,
akibatnya perempuan lebih awal mengalami perubahan perkembangan. Perubahan
hormonal yang mengakibatkan perubahan pada tubuh, membuat remaja
perempuan mudah merasa tertekan, dibanding laki‐laki. Steinberg (2002)
menemukan fakta bahwa ternyata perempuan lebih rentan terhadap pengaruh
genetik daripada laki‐laki, sehingga remaja perempuan yang orangtuanya
mengalami depresi, cenderung lebih rentan mengalami depresi dibandingkan
remaja laki‐laki yang mempunyai orangtua depresi. Di sisi lain, Dacey (1997)
melaporkan bahwa ada perbedaan kejadian‐kejadian menekan yang dialami oleh
remaja perempuan dan laki‐laki. Remaja perempuan, pada usia 12 tahun sampai
14 tahun lebih banyak mengalami kejadian negatif sehari‐harinya dibanding
remaja laki‐laki, dan remaja perempuan lebih merasa tertekan dengan problem
keluarga, seperti : perceraian, dan kematian orangtua.
Menurut Kendall & Hammen (1998) terjadinya perbedaan depresi diantara
remaja perempuan dan laki‐laki disebabkan oleh adanya perbedaan dalam cara
menghayati dan mengekspresikan gangguan psikologis itu sendiri. Perbedaan ini
menyangkut cara mengekspresikan konflik dan kekecewaan mereka. Di sisi lain,
kebanyakan masyarakat memiliki standar dan harapan yang berbeda pada perilaku
yang ditampilkan oleh perempuan dan laki‐laki. Budaya di Amerika Serikat,
mengharapkan laki‐laki menjadi kuat, dominan, bebas/mandiri, rasional, dan
11
dapat mengontrol situasi dan emosi. Sementara perempuan menjadi lebih
emosional dan tergantung, butuh bantuan dan perlindungan dari laki‐laki.
Perbedaan terhadap harapan ini memberi kesempatan pada perempuan menjadi
lebih bebas untuk mengekspresikan emosi dan kebutuhannya.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini yaitu bahwa depresi merupakan suasana
perasaan sedih dan cemas yang menetap pada diri seseorang sehinngga dapat
mempengaruhi perilaku dan persepsi seseorang. Depresi terjadi karena adanya
perubahan antara norepinefrin dan serotonin yang merupakan bagian dari
neurotransmitter. Keadaan depresi dapat mengakibatkan tubuh seseorang tidak
dapat memproduksi hormon adrenalin, sehingga tubuh kurang siap dalam
mempertahankan diri. Seorang remaja laki-laki dan perempuan mempunyai
tingkat depresi penyebabnya antara lain, pertama karakteristik dari gender itu
sendiri, kedua sumber‐sumber untuk mengatasi masalah (coping resources), dan
ketiga kejadian‐kejadian menekan yang dialami remaja laki‐laki dan perempuan.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.
Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka.
13
DAFTAR PUSTAKA
Albin, R. S. 1991. Emosi : Bagaimana Mengenal, Menerima dan
Mengarahkannya.Yogyakarta : Kanisius.
Dacey, J.dan Kenny, M. 1997. Adolescent Development. Chicago : Brown &
Benchmar Publishers.
Eric, J. Dkk. 2002. Neurobiology of Depression. Journal Neuron. Vol. 34(1) : 13
25.
Calvete, E. dan Cardenoso, O. 2005. Gender Differences in Cognitive
Vulnerability to Depression and Behavior Problem in Adolescents.
Journal of Abnormal Child Psychology. Vol.33 : 179 – 203.
Gladstone, T.R.G. dan Koenig, L.J., 2002. Sex Differences in Depression across
the High School to College Transition. Journal of Youth and Adolescence.
Vol.23(6): 643‐663.
Hardywinoto, S.T. 1999. Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai Aspek.
Jakarta: PT. Gramedia.
Kaplan, dkk. 2010. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis. Jilid Satu. Jakarta : Bina Rupa Aksara.
Kaplan, H.I. 2010. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya Medika.
Landefeld, dkk. 2004. Current Geriatric Diagnosis and Treatment (Lange
Current Series). USA: McGraw-Hill Medical.
Kartono, Kartini. 2002. Patologi Sosial 3 “Gangguan-Ganguan Kejiwaan”.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kendal dan Hemmen. 1998. Directing Misperceptions: Researching the Issues
Facing Manual-Based Treatments. Journal Clinical Phsycologi science
and Pratice. Vol. 5(3): 396-399.
McGrath, dkk. 2002. Adolescent Depression in a School‐Based Community
Sample: Preeliminary Findings on Contributing Social Factors. Journal of
Youth and Adolescence. Vol. 23(6): 601-616.
Marcotte, D., 2002. Irrational Beliefs and Depression in Adolescence. Journal o
Adolescence. Vol. 31: 935 – 948.
Marcotte, D., Alain, M., dan Gosselin, MJ. 2002. Gender Differences in
14
Adolescent Depression: Gender‐ Typed Characteristic or Problem Solving
Skill Deficits? AJournal of Research. Vol. 4(1): 31‐43.
Petersen, A.C, dkk. 1991.Adolescent Depression: Why more Girls? Journal of
Youth Adolescents. Vol. 20: 247 ‐271.
Sadock BJ. 2007. Depressive Disorders and Suicide. Behavior
Sciences/Clinical
Psychiatry.
Silverstein, B., dan Lynch, A.D. 2002. Gender Differences in Depression: the
Role Played by Paternal Attitudes of Males Superiority and Maternal
Modeling of Gender‐Related Limitations. Sex Roles: A Journal of
Research. Vol. 38(8): 539‐550.
Steinberg, L & Silk, J.S.2002. Parenting adolescents. New Jersey: Lawrence
Erlbraum Associates, Publishers.Handbook of Parenting.
Unutzer, J. dkk “Collaborative Care Management of Late-Life Depression in the
Primary Care Setting: A Randomized Controlled Trial”. Journal of the American
Medical Association. Vol. ses 12 September 2017).
15