REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM KORPUS MEDI

REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM
KORPUS MEDIA SUNDA
(MANGLÈ, 1958-2013)1
Susi Yuliawati
Universitas Padjadjaran
susi.y@unpad.ac.id
Makalah ini mendeskripsikan penelitian tentang representasi perempuan dalam korpus
majalah Manglè dari periode 1958 hingga 2013. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk
mengkaji bagaimana perempuan dipandang oleh majalah Manglè dari masa ke masa melalui
analisis unsur-unsur leksikal. Pemilihan majalah Manglè sebagai sumber data didasari oleh
keberadaan majalah tersebut yang dipandang sebagai majalah berbahasa Sunda dengan usia
penerbitan terlama (57 tahun) dan bahkan hingga saat ini majalah tersebut masih tetap terbit.
Dengan menggunakan perspektif diakronis, data dibagi ke dalam empat periode berdasarkan
konteks ideologi gender negara, yaitu (1) demokrasi terpimpin (1958-1965), (2) orde baru
(1966-1998), (3) transisi menuju demokrasi (1999-2003), dan (4) reformasi (2004-2013).
Berdasarkan pembabakan tersebut, korpus majalah Manglè dikonstruksi dari sampel yang
dipilih dengan menggunakan teknik proportional cluster random sampling. Corpus software,
WordSmith Tools 6.0, selanjutnya digunakan untuk menentukan frekuensi penggunaan leksem
yang bermakna perempuan dan kolokasi signifikannya di setiap periode. Untuk
menginterpretasi representasi perempuan berdasarkan penggunaan leksem-leksem yang
bermakna perempuan, kolokasi signifikannya, dan kecenderungan perubahannya dari periode

ke periode, yang diperoleh dari metode linguistik korpus, kajian semiotika akan digunakan.
Keywords: Manglè, Sunda, perempuan, linguistik korpus, semiotika
1. Pendahuluan
Kata Sunda mengacu pada masyarakat dan juga bahasanya. Dalam kaitannya dengan
masyarakat, Sunda adalah kelompok etnis kedua terbesar di Indonesia yang tinggal di bagian
barat Pulau Jawa. Sementara itu, dalam kaitannya dengan bahasa, Sunda adalah bahasa lokal
di Indonesia dengan jumlah penuturnya sekitar 39 juta. Struktur masyarakat Sunda, seperti
kelompok etnis lainnya di Indonesia, dikonstruksi oleh berbagai unsur yang didasari atas
kategori sosial seperti usia, gender, agama, kedudukan, dan sebagainya. Menurut Weatherall
& Gallois (2003: 487-505), di antara kategori sosial tersebut, para psikolog berpendapat
bahwa yang terpenting dalam kehidupan manusia adalah identitas gender. Identitas gender ini
dilekatkan pada setiap manusia sejak mereka lahir yang selanjutnya akan sangat
memengaruhi pola interaksi sosialnya. Berbicara mengenai gender, khususnya perempuan,
masyarakat Sunda memiliki pandangan tertentu mengenai peran dan kedudukan perempuan.
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu dari perspektif sejarah dan kebudayaan,
perempuan dalam masyarakat Sunda pada awalnya direpresentasikan sebagai sosok yang
1 Dipresentasikan di Seminar Forum Linguistik Pascasarjana, Program Studi Linguistik, Departemen
Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
1


memiliki kekuatan untuk menuntut laki-laki demi menjaga kehormatannya. Hal ini, sebagai
contoh, tercermin dalam cerita Sangkuriang. Cerita tersebut mengisahkan tentang seorang
perempuan,

bernama

Dayang

Sumbi,

yang

menuntut

syarat

perkawinan

demi


mempertahankan kehormatannya kepada Sangkuriang yang ingin menikahinya. Selain itu,
perempuan digambarkan pula sebagai pihak yang memiliki kekuatan dan martabat yang lebih
tinggi daripada laki-laki. Hal ini, sebagai contoh, tampak dalam cerita pantun Lutung
Kasarung. Cerita pantun tersebut mengisahkan dua perempuan yang bernama Sunan Ambu
dan Ratu Purbasari yang masing-masing memiliki kekuasaan. Sunan Ambu diposisikan
sebagai penguasa di alam kahyangan, sedangkan Ratu Purbasari sebagai penguasa di
kerajaan (dunia). Akan tetapi, dalam tradisi tulis yang ditemukan pada abad ke-19, Wawacan
Sajarah Galuh, dan abad ke-20, Wawacan Carios Munada, posisi perempuan telah
mengalami pergeseran (Marlina, 2006). Di sini, perempuan direpresentasikan memiliki posisi
yang lebih rendah dari laki-laki. Menurut Stuers (1960) dan Wiraatmadja (1980), perubahan
ini terjadi disebabkan oleh feodalisme yang menempatkan perempuan sebagai simbol status
laki-laki sehingga perempuan dijadikan sebagai objek dan juga kebiasaan masyarakat Sunda
seperti pernikahan muda, kawin paksa, dan perceraian sepihak yang diputuskan oleh pihak
laki-laki tanpa persetujuan dari pihak perempuan (dalam Marlina, 2006).
Dalam konteks yang lebih luas, isu tentang perempuan Sunda sebagai bagian dari isu
perempuan Indonesia dapat ditinjau dari ideologi gender negara yang dikemukakan oleh
Blackburn (2004). Menurutnya, ideologi gender negera mengacu pada asumsi gender yang
dijadikan dasar oleh negara untuk bertindak dan memengaruhi konstruksi gender dalam
masyarakat. Asumsi tersebut mengekspresikan apa yang diyakini negara tentang bagaimana
pantasnya laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Selain itu, Blackburn (2004)

mendeskripsikan ideologi gender negara berdasarkan konteks politik Indonesia menjadi tujuh
periode, yaitu 1) masa kolonial 1900-1942; 2) pendudukan Jepang 1942-1945; 3) Revolusi
1945-1949; 4) negara demokrasi1949-1958; 5) Demokrasi Terpimpin 1958-1965; 6) Order
Baru, 1965-1998; and 7) transisi menuju demokrasi, 1998-2003. Ekspektasi negara berkaitan
dengan peran dan kedudukan perempuan dijabarkan di setiap periodenya.
Isu tentang perempuan Sunda ini telah menarik perhatian sejumlah peneliti untuk
mengkajinya dari beberapa perspektif seperti sastra, sejarah, sosiologi, dan linguistik.
Khususnya dari perspektif linguistik, sejauh pengamatan penulis, belum ditemukan penelitian
yang membahas isu perempuan Sunda dari metode linguistik korpus2. Daya tarik utama dari
2 Linguistik korpus adalah kajian bahasa yang didasari oleh sampel penggunaan bahasa yang secara nyata
digunakan oleh masyarakat. Sampel tersebut meliputi kumpulan teks (lisan dan tulisan) dalam skala besar.
2

metode linguistik korpus ini adalah kemampuannya dalam mengelola teks dalam skala besar
dan mengidentifikasi pola penggunaan bahasa dan frekuensinya, yang mungkin sulit jika
diidentifikasi dengan mengandalkan kemampuan penglihatan manusia. Selain itu, dengan
metode ini peneliti mampu menjelaskan secara empiris pola penggunaan bahasa berdasarkan
kemunculannya yang berulang-ulang di dalam korpus. Lebih jauh lagi, Baker (dalam Viana
dkk., 2011: 25-26) berpendapat bahwa linguistik korpus memiliki kontribusi terhadap tiga
aspek penelitian gender. Salah satunya disebutkan bahwa metode linguistik korpus dapat

membantu mengungkap representasi gender dalam masyarakat, misalnya bagaimana laki-laki
dan perempuan dibincangkan atau dituliskan serta bagaimana representasi tersebut berubah
dari masa ke masa. Ini mengindikasikan bahwa metode linguistik korpus memungkinkan
peneliti untuk menyelidiki bagaimana perempuan digambarkan melalui teks-teks yang
terdapat di dalam majalah Manglè dari masa ke masa.
Permasalahan

utama

dalam

penelitian

ini

adalah

bagaimana

perempuan


direpresentasikan oleh majalah Manglè melalui unsur-unsur leksikal yang terdapat di dalam
teks secara diakronis dalam periode 1958-2013. Mempertimbangkan panjangnya kurun waktu
tinjauan dan untuk mempermudah pengamatan kecenderuangan perubahan representasi
perempuan, data dibagi ke dalam empat periode berdasarkan ideologi gender negara. Untuk
memperoleh jawaban dari permasalahan utama tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu
dijelaskan, yaitu:
1. Secara paradigmatik, bagaimana perempuan ditandai melalui leksem dari satu periode ke
periode lain?
a. Leksem apa yang bermakna perempuan di setiap periode?
b. Bagaimana frekuensi kemunculan leksem tersebut di setiap periode?
c. Bagaimana kecenderungan penggunaan leksem berdasarkan perbandingan frekuensi
kemunculannya dari satu periode ke periode lain?
2. Secara sintagmatik, bagaimana perempuan direpresentasikan melalui analisis kolokasi
dari satu periode ke periode lain?
a. Apa kolokasi signifikan untuk setiap leksem dalam setiap periodenya?
b. Bagaimana profil semantis setiap leksem di setiap periode berdasarkan preferensi
semantis dan prosodi semantis?
c. Apa kecenderungan semantis yang ditunjukkan melalui perbandingan profil semantis
dari satu periode ke periode lain?

3. Bagaimana perempuan direpresentasikan berdasarkan profil semantis melalui kajian
semiotika?
Linguistik korpus diasosiasikan pula dengan penggunaan teknologi komputer untuk menyimpan dan
memanipulasi data.
3

2. Korpus Majalah Manglè
Dalam penelitian ini, penulis mengonstruksi korpus dari kumpulan teks yang diambil
dari majalah berbahasa Sunda, Manglè. Fokus kajiannya adalah keseluruhan rubrik yang ada
di dalam majalah tersebut, seperti catatan redaksi, cerita fiksi, laporan, sajak, dan sebagainya.
Sementara itu, bagian dari majalah yang tidak akan dijadikan sebagai data adalah teka-teki
silang, kuis, dan iklan. Secara historis 3, majalah Manglè dilahirkan pada 21 Oktober 1957 di
Bogor, dan menerbitkan edisi pertamanya pada 21 November 1957. Pada awalnya majalah ini
terbit satu bulan satu kali, tetapi kini Manglè terbit setiap minggu. Ditinjau dari sejarah
perkembangan media Sunda, majalah Manglè termasuk ke dalam salah satu media Sunda
tertua yang mampu bertahan hingga kini, bahkan pernah mengalami masa kejayaannya pada
tahun 1960-an dengan menerbitkan edisinya sebanyak 90.000 eksemplar4.
Majalah Manglè memiliki visi menjadi kebanggan orang Sunda seumur hidup.
Sementara itu, misinya adalah menjaga dan memelihara bahasa, sastra, dan filosofi Ki Sunda;
menjadi media komunikasi orang-orang Sunda sampai akhir zaman; menjaga dan

melestarikan budaya Sunda dengan kalangan etnis lainnya; dan profit oriented yang seimbang
antara rasa memiliki terhadap Sunda dengan taraf hidup pada masanya. Majalah ini berisi
55% rubrik hiburan dan human interest; 20% rubrik sejarah, kebudayaan, agama serta
pendidikan; dan 25% informasi berita.
Kata Manglè sendiri berarti hiasan bunga yang digunakan sebagai hiasan sanggul
perempuan. Kata tersebut melambangkan cita-cita majalah Manglè yang ingin berkembang
seindah dan seharum bunga5. Jika dilihat dari sampulnya, majalah ini selalu menampilkan
sosok perempuan Sunda dengan balutan kebaya dari edisi pertama hingga kini. Di sebagian
kecil sampul edisi Manglè ditampilkan sosok lelaki, tetapi selalu didampingi oleh perempuan.
Selain itu, banyak tulisan di majalah tersebut yang sering menyebut majalah Manglè sendiri
dengan sebutan Nyi Manglè. Nyi dalam bahasa Sunda adalah kata sapaan untuk perempuan
muda. Dengan demikian, meskipun majalah Manglè bukanlah majalah khusus untuk
perempuan, penulis melihat bahwa isu perempuan memiliki peran dalam majalah tersebut.
Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat bagaimana majalah ini memperbincangkan
perempuan dan bagaimana perempuan diperbincangkan.
Dalam penelitian ini, pembabakan dalam mengonstruksi korpus didasari oleh konteks
ideologi gender negara dari Blackburn (2006) dalam rentang tahun 1958-2003. Akan tetapi,
3 Website: http://sejarah.kompasiana.com/2011/07/05/hikayat-mangle-376605.html
4 Website: http://id.wikipedia.org/wiki/Manglé
5 http://sejarah.kompasiana.com/2011/07/05/hikayat-mangle-376605.html

4

karena pembabakan yang dibahas oleh Blackburn (2006) hingga tahun 2003, sedangkan
penelitian ini meliputi teks yang terbit hingga tahun 2013, penulis menambahkan satu periode
yang dikenal secara umum di masyarakat dengan sebutan Reformasi. Berikut adalah rincian
pembagian periode dalam korpus: 1) Demokrasi Terpimpin (1958 - 1965); 2) Oder Baru
(1966 - 1998); 3) Transisi menuju demokrasi (1999 - 2003); dan 4) Reformasi (2004 -2013).
Jumlah edisi majalah Manglè yang telah terbit dari tahun 1958-2013 adalah 2.455 edisi.
Mengingat banyaknya jumlah edisi Manglè dalam kurun waktu tersebut dan keterbatasan
kapasitas corpus software, korpus tidak dikonstruksi dari keseluruhan populasi majalah,
melainkan diambil dari sampel per periode saja. Dengan menggunakan teknik proportional
cluster random sampling, korpus disusun dari 92 edisi majalah yang tersebar secara
proporsional dari masing-masing periode.
Untuk membuat korpus majalah Manglè, semua sumber data harus dalam versi
elektronik. Oleh karena itu, sumber data dalam versi cetak harus diubah ke dalam versi
elektronik dengan cara dipindai dengan menggunakan pemindai OCR (optical character
recognition). Proses tersebut akan memungkinkan hasil pemindaian terbaca sebagai teks dan
disimpan dalam bentuk plain text atau txt.
3. Linguistik Korpus
Meneliti sampel penggunaan bahasa yang secara aktual diperoleh dari masyarakat,

dengan menggunakan bantuan komputer untuk menyimpan dan memanipulasi data, dikenal
dengan nama linguistik korpus. Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengobservasi
kumpulan teks (lisan maupun tulisan) dalam skala besar secara empiris. Selanjutnya,
berdasarkan bukti penggunaan bahasa yang ada tersebut, peneliti dapat mengkaji beragam
aspek bahasa sesuai dengan tujuan penelitiannya.
Linguistik korpus biasanya identik dengan metode penelitian gabungan (kuantitatif
dan kualitatif). Pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh kemampuan linguistik korpus dalam
menyediakan data kuantitatif sebagai dasar untuk penafsiran secara kualitatif. Data kuantitatif
yang paling mendasar adalah daftar frekuensi kata. Frekuensi di sini mengacu pada angka
yang menunjukkan tingkat kemunculan kata dalam korpus. Biasanya tidak banyak yang dapat
digali dari daftar frekuensi kemunculan kata, terutama dalam kaitannya dengan kesahihan
hipotesis penelitian (McEnery dkk., 2006). Terlebih-lebih ada kecenderungan yang
menunjukkan bahwa kata yang lebih sering muncul adalah kata gramatikal dibandingkan
dengan kata leksikal (Lauder, 2009: 9). Namun, frekuensi kemunculan kata bisa menjadi
informasi statistik yang sangat penting ketika peneliti membandingkan tingkat penggunaan
5

dua kata ataupun lebih. Sebagai contoh, dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata yang
menandai perempuan, misalnya mojang, wanoja, dan awèwè. Berdasarkan daftar frekuensi
kata, dapat diketahui mana yang paling sering atau jarang digunakan di antara ketiga kata

tersebut. Namun, tentunya analisis lebih lanjut perlu dilakukan untuk mencari implikasiimplikasi apa yang dapat dibahas dari tingkat frekuensi kemunculan kata-kata tersebut.
Selain daftar frekuensi kata, linguistik korpus menyediakan data statistik mengenai
kolokasi signifikan. Kolokasi di sini mengacu pada pola kemunculan kata-kata yang
menyanding suatu kata. Berdasarkan uji statistik, dapat diketahui kata-kata mana yang
memiliki tingkat kedekatan yang lebih erat dengan suatu kata dibandingkan tingkat
kemunculannya berdasarkan peluang. Analisis kolokasi ini bukan hanya digunakan untuk
menunjukkan bagaimana suatu kata diasosiasikan dengan makna tertentu, tetapi dapat pula
ditujukan untuk membuat profil semantis6. Pola semantis yang ditawarkan oleh Sinclair
(2003), untuk membuat profil semantis, adalah preferensi semantis 7. Bila profil semantis
suatu kata ditafsirkan lebih lanjut, bagaimana kata digunakan untuk mengkonstruksi makna
pada tataran ekstra-linguistik dapat ditunjukkan (Lauder, 2009: 10-16). Artinya, jika suatu
kata dimaknai secara kuat dengan serangkaian kata tertentu, pemaknaan tersebut
menunjukkan keyakinan, pemahaman, atau ekspektasi penutur akan suatu realitas.
Firth (1957), Sinclair (1987, 2004), dan Stubbs (2002) berpendapat bahwa suatu kata
memang memiliki kecenderungan untuk disandingkan dengan kata-kata tertentu dalam
konteks tertentu oleh penutur. Kecenderungan tersebut sangat erat kaitannya dengan
kebudayaan dalam kompetensi komunikasi. Jawarska & Khirsnamurthy (2012: 405)
mempertegas pula bahwa secara normal, komunitas tutur suatu bahasa memang memiliki
suatu rentang leksikal yang digunakan dalam berkomunikasi. Akan tetapi, untuk mengacu
pada suatu fenomena atau kelompok tertentu, mereka cenderung memilih pilihan-pilihan kata
tertentu dibandingkan jenis kata lainnya yang menunjukkan pandangannya akan realitas.
Stubbs (2002: 19) menambahkan bahwa pemilihan kata tersebut sangat bergantung pada
konvensi linguistik dan inferensi-inferensi yang diperoleh dari pengetahuan akan realitas.
Sebagai ilustrasi bagaimana kata-kata menciptakan makna kultural dan sosial, dalam
bahasa Sunda terdapat sejumlah kata yang digunakan untuk menyebut perempuan, di
antaranya awèwè, istri, mojang, dan wanoja. Keseluruhan kata tersebut menandai perempuan,
6 Profil semantis adalah penyajian serangkaian makna kata yang diidentifikasi dari analisis preferensi semantis
kolokasi signifikan (Lauder, 2009: xiv).
7 Preferensi semantis adalah hubungan antara lema dan serangkaian kata yang berkaitan secara semantis, bukan
hubungan antarkata secara individual, misalnya lema large sering disandingkan dengan kata-kata yang
bermakna “kuantitas dan ukuran” (Stubbs, 2002). Lindquist (2009: 57) mendefinisikan preferensi semantis
sebagai relasi antara kata dan kata-kata yang memiliki hubungan makna di dalam medan makna.
6

tetapi dalam penggunaannya masing-masing kata tersebut tidak memiliki makna yang serupa,
sehingga tidak selalu dapat saling menggantikan dalam konteks yang berbeda. Artinya,
masing-masing kata memiliki kecenderungan untuk menggambarkan atau menilai perempuan
dalam konteks yang berbeda-beda. Berdasarkan teks yang ada di dalam korpus yang penulis
buat, misalnya terdapat beberapa kalimat seperti di bawah ini:
(1) ...ceuk pamajikanana, eta awèwè teh jahat....
‘...menurut istrinya, perempuan itu jahat...’
(2) Tapi saupami istri kahiji sareng kadua masih jumeneng...
‘Akan tetapi, seandainya istri pertama dan kedua masih hidup...’
(3) Samemeh paturay jeung MR, mojang geulis nu mikaresep olahraga,...
‘Sebelum berpisah dengan MR, perempuan cantik yang menyukai olahraga,...
(4) Suksesna Cikal ti 4 sadulur jadi wanoja karir, teu leupas ti rorojongan sepuhna...
‘Kesuksesan Cikal di antara empat saudaranya menjadi wanita karir, tidak lepas dari
dukungan orangtuanya..’
Berdasarkan keempat contoh di atas, tampak bahwa terdapat perbedaan dalam menandai
perempuan (awèwè, istri, mojang, dan wanoja) dan kata-kata tersebut dikaitkan dengan topik
yang berbeda pula dalam beragam konteks. Berdasarkan kata-kata yang menyandingnya, kata
awèwè tampak dikaitkan dengan karakter yang tidak baik (jahat),

istri dengan institusi

perkawinan (kahiji sareng kadua ‘pertama dan kedua’), mojang dengan penampilan secara
fisik (geulis ‘cantik’), dan wanoja dengan pekerjaan (karir ‘karir’). Kata-kata tersebut tentu
tidak begitu saja dipilih oleh penutur bahasa Sunda, melainkan ada hal-hal yang
melatarbelakanginya seperti keyakinan, ekspektasi, dan penilaian penutur tentang identitas
perempuan. Untuk dapat menafsirkan latar belakang diperlukan kajian semiotika sehingga
dapat ditelusuri konsep, yang ada dalam kognisi, yang direpresentasikan melalui kata-kata
yang dipilih.
4. Semiotika
Para Antropolog, Kroeber dan Kluckhon (1963), mendefiniskan kebudayaan,
berdasarkan 150 definisi kualitatif tentang kebudayaan yang tersebar di beragam literatur
ilmiah, sebagai berikut:



Kebudayaan adalah cara hidup yang didasari oleh sistem pemaknaan bersama.
Kebudayaan diturunkan dari generasi ke generasi melalui sistem pemaknaan bersama.

Sistem pemaknaan bersama yang dimaksud dikenal dengan istilah signifying order.
Signifying order adalah kumpulan tanda (kata-kata, bahasa tubuh, simbol visual, dan
sebagainya), kode (bahasa, kesenian, dan sebagainya), dan teks (lisan atau tulisan) yang
diciptakan dan digunakan oleh suatu kelompok sosial untuk melakukan kegiatan rutinitas
sehari-hari dan merencakan kegiatannya di masa mendatang. Setiap kebudayaan, betapa pun
7

tinggi sistem teknologinya, akan melacak asal usul signifying order leluhurnya. Oleh karena
itu, kebudayaan manusia dapat didefinisikan sebagai cara hidup yang didasari oleh signifying
order yang dikembangkan dalam konteks sukunya serta diturunkan melalui signifying order
tersebut dari generasi ke generasi (Danesi dan Peron, 1999). Hal ini mengidikasikan pula
bahwa untuk memahami suatu kebudayaan, diperlukan suatu kajian yang mempelajari tanda.
Ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia disebut dengan semiotika.
Artinya segala sesuatu yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni
sesuatu yang harus dimaknai (Hoed, 2011: 3). Kajian semiotika tidak hanya meliputi tanda
dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga segala sesuatu yang mewakili sesuatu (Chandler,
2002: 2). Berdasarkan model tanda yang dikemukakan oleh Peirce, disebutkan bahwa sesuatu
yang pertama (bersifat konkret) adalah suatu “representasi” yang dinamai dengan
representamen (sign vehicle atau ground), sedangkan sesuatu yang kedua (terdapat dalam
kognisi) disebut object (referent). Proses hubungan dari representamen ke object disebut
dengan semiosis. Dalam pemaknaan suatu tanda, proses semiosis ini belum lengkap karena
kemudian ada satu proses lagi yang disebut interpretant (proses penafsiran). Oleh karena itu,
pemaknaan suatu tanda terjadi dalam bentuk proses semiosis dari yang konkret ke dalam
kognisi manusia yang hidup bermasyarakat.
5. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan metode gabungan.
Dengan menggunakan rancangan ini, penulis akan mengintegrasikan atau menggabungkan
metode analisis kuantitatif dan kualitatif. Holmes & Meyerhoff (dalam Litosseliti, 2010: 32)
berpendapat bahwa metode gabungan ini menggunakan pola-pola yang diidentifikasi melalui
analisis kuantitatif sebagai dasar yang esensial untuk menginterpretasi teks secara kualitatif
dengan lebih terperinci.
Dalam kaitannya dengan penelitian linguistik korpus, Kwary dan Arum (2011: 213)
menyebutkan bahwa penelitian linguistik korpus perlu menggunakan rancangan metode
gabungan karena data statistik yang diperoleh dari analisis korpus, perlu diinterpretasikan
lebih lanjut dengan menggunakan pertimbangan kualitatif. Dengan demikian, data kuantitatif
yang diperoleh dari perhitungan otomatis yang dilakukan oleh software korpus harus
dianalisis lebih lanjut dengan pendekatan kualitatif. Hal ini berarti bahwa dalam linguistk
korpus bukan hanya analisis secara kualitatif yang diperlukan, tetapi kuantitatif juga. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh McEnery dkk. (2006: 52 - 57) yang menyebutkan
bahwa salah satu keuntungan yang sangat kentara dari penggunaaan korpus (dibandingkan
8

dengan penelitian yang mengandalkan intuisi semata) adalah data kuantitatif terpercaya yang
disediakan oleh korpus. Uji statistik dalam linguistik korpus ini biasanya digunakan untuk
menghitung frekuensi, baik berupa raw frequency maupun normalized frequency, dan
menentukan kolokasi signifikan, baik dengan menggunakan uji chi-square, MI (mutual
information), t-score, z-score, atau log-likelihood. Akan tetapi, hasil dari uji statistik ini tidak
serta merta dapat mengungkap banyak hal berkenaan dengan validitas hipotesis penelitian.
Oleh karena itu, perlu interpretasi data lebih lanjut secara kualitatif.
Software yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak pencari
pola kata yang disebut dengan Wordsmith Tools Version 6. Perangkat lunak ini dapat
mengidentifikasi pola kata dalam teks dengan menggunakan dua fitur utamanya, yaitu
konkord (concord) dan daftar kata (wordlist). Berikut adalah langkah-langkah metodologis
yang diterapkan dalam penelitian ini:
1. menyusun korpus majalah Manglé dari semua teks dalam rubrik majalah, kecuali tekateki silang, kuis, dan iklan. Kumpulan teks tersebut dipilih dari sampel edisi yang
diperoleh dari kurun 1958-2013 dengan menggunakan teknik proportional cluster
random sampling.
2. Pengidentifikasian secara paradigmatik leksem-leksem yang bermakna perempuan
berdasarkan frekuensi kemunculannya di setiap periode. Pengidentifikasian ini dilakukan
dengan membuat wordlist untuk setiap periode. Tingkat frekeunsi kemunculan leksem di
setiap periode tersebut kemudian dinormalisasi, sehingga dapat dilihat bagaimana
kecenderungan penggunaan dan perubahannya secara diakronis.
3. Pengidentifikasian secara sintagmatik relasi setiap leksem yang termasuk ke dalam medan
leksikal perempuan dengan kata-kata penyandingnya melalui analisis kolokasi. Dalam hal
ini, ditentukan kolokasi untuk setiap leksem yang mengacu pada medan leksikal
perempuan di setiap periode melalui uji statistik mutual-information (MI). Uji statistik ini
menghitung derajat kedekatan setiap leksem dengan kata-kata yang menyandingnya,
sehingga diperoleh kolokasi signifikan untuk setiap leksem di setiap periode.
4. Pembuatan profil semantis untuk setiap leksem yang termasuk ke dalam medan leksikal
perempuan di setiap periode berdasarkan preferensi semantis dari kolokasinya.
5. Menginterpretasi profil semantis dengan kajian semiotika untuk merumuskan representasi
perempuan oleh majalah Manglè dari masa ke masa.
DAFTAR PUSTAKA
Baker, P. et al. 2013. Sketching Muslims: A Corpus Driven Analysis of Representations
around the Word ‘Muslim’ in the British Press 1998 – 2009. Oxford University
Press.

9

Baker, P. 2010. Will Ms ever be as frequent as Mr? A corpus-based comparison of gendered
terms across four diacronic corpora of British English. Equinox Publishing.
Baker, P., Hardie, A. & McEnery, T. 2006. A Glossary of Corpus Linguistics. Edinburg:
Edinburg University Press.
Baker, P., 2005. Public Discourses of Gay Men. London: Routledge.
Blackburn. S. 2004. Women and the State in Modern Indonesia. USA: Cambridge University
Press.
Cameron, D. 1995. Rethinking Language and Gender Studies: Some Issues for the 1990s.
dalam Mills, S. (Peny.) Language and Gender: Interdiciplinary Perspectives.
London: Longman.
Chandler, Daniel. 2002. The Basic: Semiotics. USA and Canada: Routledge.
Cheng, Winnie. 2012. Exploring Corpus Linguistics. Language in Action. London & New
York: Routledge.
Danesi, M. & Peron, P. 1999. Analyzing Cultures: An Introduction and Handbook. USA:
Indiana University Press.
Facchinetti, R. 2007. Corpus Linguistics 25 Years On. Amsterdam – New York: Rodopi.
Firth, J.R. 1957. Papers in Linguistics. Oxford University Press.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu.
Jawarska, S. & Krishnamurthy, R. 2012. On the F Word: A Corpus-Based Analysis of the
Media Representation of Feminism in British and German Press Discourse, 1990 2009 in Discourse & Society. Sage Publication.
Kuntjara, E. 2012. Gender, Bahasa, dan Kekuasaan. Jakarta: Libri.
Kwary, D. A. dan Arum, K. W. A. 2011. ‘Lincoln’s vs. Obama’s presidencies: A diachronic
corpus based analysis of the adjectival collocates of [man] and [woman] in the
American English’. ReVEL 9(17): 211–225.
Kwary, D.A. 2013. Creating and Testing the Indonesian High Frequency Word List in Kolitas
11: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Kaya Kesebelas Tingkat Internasional. Pusat
Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Lauder, A. F. 2009. A Collocation Analysis of Keywords in a News Media Corpus. The role of
lexis in the news agenda and issue representation.
Marlina, Itje. 2006. Kedudukan Wanita Menak dalam Struktur Masyarakat Sunda (Studi
Kasus di Kota Bandung). Sosiohumaniora. Vol. B. No.2. Jul 2006: 185-205
McEnery, T. & Hardie, A. 2012. Corpus Linguistics. Cambridge.
McEnery, T., Xiao, R., & Tono, Y. 2006. Corpus-Based Language Studies: An Advanced
Resources Book. New York: Routledge.
Sinclair, J. 1987. Looking Up: An Account of the COBUILD Project in Lexical Computing.
London: Collins.
Sinclair, J. 2003. Reading Concordances. London: Pearson Education Limited.
Sinclair, J. 2004. Trust the Text. London & New York: Routledge
Stubbs, M. 2008. Three Concepts of Keyword. Makalah yang dipresentasikan di Conference
of Keyness in the Certosa di Pontignano, University of Siena.
Stubbs, M. 2002. Words and Phrases: Corpus Studies of Lexical Semantics. Blackwell
Publishing.
Tognini-Bonelli, E. 2001. Corpus Linguistics at Work. Amsterdam: John Benjamins.
Viana, V., Zyngier, S., and Barnbrook, G. 2011. Perspectives on Corpus Linguistics.
Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Vreede-De Stuers, C. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia. Gerakan dan Pencapaian
(Terjemahan). Jakarta: Komunitas Bambu.
Weatherall & Gallois. 2003. Gender and Identity: Representation and Social Action in The
Handbook of Language and Gender. Oxford: Blackwell Publishing

10