MAKALAH HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN Dis

MAKALAH
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata
dari Ibu Dhian Indah Astanti, S.H, M.H

Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Anik Listyorini
Dian Rosita
Dui Kustiri
Mita Yuana S
Muji Siti Aisyah
Rizka Fitria Sari
Rizki Wulan Sari


A.141.13.0003
A.131.13.0099
A.131.13.0115
A.131.13.0089
A.131.13.0037
A.131.13.0091
A.131.13.0101

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta

karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan


makalah yang berjudul “Harta Benda Dalam Perkawinan” ini tepat pada waktunya.
Kami mengharapkan makalah ini dapat memberikan informasi dan menambah
wawasan pengetahuan kepada kita semua tentang kedudukan harta dalam
perkawinan dan apa yang terjadi dengan harta perkawinan jika terjadi perceraian.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, tidak lepas
dari kesalahan dan kekurangan Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Kami
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.

Semarang, April 2014
Penulis,

BAB I
PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG
Harta benda dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan penunjang


manusia. Dengan adanya harta benda berbagai kebutuhan hidup seperti makanan,
pakaian, tempat tinggal, transportasi, rekreasi, penunjang beribadah dan sebagainya
dapat dipenuhi. Dalam perkawinan kedudukan harta benda disamping sarana untuk
memenuhi kebutuhan tersebut di atas, juga berfungsi sebagai pengikat perkawinan.
Tetapi banyak juga ditemukan keluarga yang memiliki banyak harta benda dalam
perkawinan menjadi sumber masalah dan penyebab terjadinya perselisihan dan
perceraian suami isteri. Oleh sebab itu perlu ditinjau dari beberapa segi agar hal yang
tidak baik dapat dihindari.
Ada aspek lain yang perlu ditinjau dari segi hukum karena status harta benda
sebagai salah satu simbol duniawi sering membawa mala petaka yang fatal antara
suami isteri. Hal ini terjadi karena sangat banyak di antara pasangan suami isteri
tidak mengerti dengan perkawinan yang sedang dijalaninya secara benar. Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami akan menjelaskan mengenai Kedudukan Harta
Dalam Perkawinan dan beberapa hal yang berkaitan dengannya. Walaupun makalah
kami jauh dari kesempurnaan, tetapi kami berharap semoga dapat bermanfaat untuk
kita semua.
B. PERMASALAHAN
Dari latar belakang tersebut, kami menemukan beberapa permasalahan
yang akan kami coba ulas dalam makalah ini. Permasalahan tersebut antara lain :
1. Apa saja jenis harta dalam perkawinan?

2. Apa itu harta bersama dan apa yang tidak termasuk harta bersama?
3. Bagaimana yang terjadi dengan harta perkawinan jika terjadi perceraian,
perlukah dibuat perjanjian kawin?
4. Bagaimanakah pemanfaatan harta benda dalam perkawinan?

C. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
dan mempelajari lebih dalam mengenai harta dalam perkawinan dan apa yang terjadi
dengan harta perkawinan jika terjadi perceraian.
D. PEMBATASAN MASALAH
Agar mengena pada sasaran, kami membatasi permasalahan yang akan kami bahas
dalam makalah ini meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.

Harta benda dalam perkawinan
Harta bersama dan Harta bawaan

Akibat Perceraian Terhadap Harta Perkawinan
Perjanjian Perkawinan
Pemanfaatan Harta dalam Perkawinan

BAB II
PEMBAHASAN

1. HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Menurut pasal 35 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), harta
benda dalam perkawinan terbagi dalam tiga bentuk yakni harta bersama, harta
bawaan dan harta perolehan.
a.

Harta Bersama (psl 36 ayat (1) UUP No 1/1974).
Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh sesudah suami-istri berada
dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha salah
seorang dari mereka. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri, sehingga
baik suami maupun istri punya hak dan kewajiban yang sama untuk
memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak. Bila
terjadi perceraian, maka menurut pasal 37 UUP, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan ‘hukumnya’ masing-masing
adalah hukum yang berlaku sebelumnya bagi suami istri, yaitu hukum agama,
hukum adat dan hukum-hukum lain (KUH Perdata misalnya).

b. Harta Bawaan (psl 36 ayat ( 2) UUP)
Yaitu harta benda yang telah dimiliki masing-masing suami-istri sebelum
mereka melangsungkan perkawinan, baik yang berasal dari warisan, hibah,
atau usaha mereka sendiri-sendiri. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing
pemiliknya yaitu suami atau istri. Artinya, seorang istri atau suami berhak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya
masing-masing. Tetapi bila suami istri menentukan lain yang dituangkan dalam
perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta bawaan dilakukan
sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta
bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Untuk itu penyimpanan suratsurat berharga sangat penting disini.
c. Harta Perolehan
Yaitu harta masing-masing suami-istri yang dimilikinya sesudah mereka berada
dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka baik
seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan
masing-masing. Pada dasarnya penguasaan harta perolehan ini sama seperti

harta bawaan, yakni suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum mengenai harta perolehannya masing-masing dan jika ada
kesepakatan lain yang dibuat dalam perjanjian perkawinan maka penguasaan
harta perolehan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian. Demikian juga jika
terjadi perceraian.

2. HARTA BERSAMA DAN HARTA BAWAAN
Seperti telah dijelaskan di atas, harta bersama atau lebih sering disebut
dengan harta gono-gini adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh
selama perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja,
isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang
diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka.
Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama atas
harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat
persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda
tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan
surat-surat berharga. Sepanjang tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan,
apabila terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami berhak
atas separoh (seperdua) dari harta bersama.

Sebelum memasuki perkawinan adakalanya suami atau isteri sudah memiliki
harta benda. Dapat saja merupakan harta milik pribadi hasil usaha sendiri, harta
keluarganya atau merupakan hasil warisan yang diterima dari orang tuanya. Harta
benda yang telah ada sebelum perkawinan ini bila dibawa kedalam perkawinan tidak
akan berubah statusnya. Pasal 35 ayat 2 UU nomor 1 tahun 1974 menetapkan bahwa
harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri adalah dibawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Masing-masing berhak
menggunakan untuk keperluan apa saja.
Sehinggam menurut hukum perkawinan yang berlaku (Undang-Undang No 1
thn 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), harta kekayaan yang
dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak termasuk dalam harta bersama
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

3. AKIBAT PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA

Berdasarkan Pasal 37 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.

Dalam


penjelasan Pasal 37 tersebut, ditegaskan bahwa yang

dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum Agama, hukum adat, dan
hukum-hukum lainnya. Oleh karena itu, bagi pemeluk agama Islam berlakulah
peraturan yang ditetapkan itu dalam kompilasi hukum Islam.
Bagi umat Katolik pada dasarnya tidak ada perceraian dalam agama. Namun
dalam praktiknya, pasangan Katolik tetap dapat bercerai secara perdata, walaupun
secara Katolik perceraian tersebut dianggap tidak sah. Dalam hal yang demikian,
perceraian dan pembagian harta bersama berpedoman pada ketentuan-ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).
Berdasarkan Pasal 126 KUHPer, harta bersama bubar demi hukum salah
satunya karena perceraian. Lalu, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama
mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa
mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu (Pasal 128 KUHPer).
H. Hilman Hadikusuma menjelaskan dalam buku “Hukum Perkawinan
Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat Hukum Agama” (hlm. 189), akibat
hukum yang menyangkut harta bersama berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan ini
diserahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa
yang akan berlaku, dan jika tidak ada kesepakatan antara mantan suami-istri, hakim

dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya.
Selain itu, akibat perceraian terhadap harta bersama juga dapat ditentukan
oleh hukum adat yang digunakan para pihak, apabila para pihak menggunakan
hukum adat untuk mengatur akibat perceraian. Sehingga, segala sesuatu mengenai
harta bersama diatur berdasarkan hukum adat yang berlaku masing-masing, dan tidak
ada kesamaan antara masyarakat adat yang satu dan yang lainnya.

4. PERJANJIAN PERKAWINAN
Seringkali pihak isteri dirugikan dan mengalami ketidakadilan dalam
pembagian harta bersama. Ketidakadilan ini terkait dengan masalah pembakuan
peran suami isteri dalam Undang-Undang No. 1 thn 1974 tentang Perkawinan (UUP)
yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

UUP juga telah menempatkan isteri sebatas pengelola rumah tangga (domestik)
dengan aturan yang mewajibkan isteri mengatur urusan rumah tangga sebaikbaiknya. Dampaknya, banyak isteri yang tidak memiliki kesempatan bekerja dan
mencari nafkah sendiri sehingga tidak bisa mengolah ketrampilan yang dimilikinya
untuk memperoleh penghasilan. Dalam hal ini, para isteri mengalami ketergantungan
ekonomi terhadap suaminya. Bagaimana jika kemudian terjadi perceraian? Isteri
yang telah "dirumahkan" tentu akan mengalami kesulitan untuk mandiri secara
ekonomi. Beban isteri pun semakin berat jika dalam perkawinan sudah lahir anakanak yang menjadi tanggungannya.Jadi perlu sekali dibuat suatu kesepakatan

perjanjian sebelum perkawinan yang bebas dari tekanan dan ancaman agar jika
terjadi sesuatu yang tidak adil maka setidaknya istri mendapat setengah bagian harta
gono gini sesuai dengan hukum yang berlaku.
Jika Anda tidak menghendaki harta kekayaan yang Anda peroleh selama
masa perkawinan menjadi harta bersama, Anda harus membuat perjanjian
perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal-hal yang dapat
diatur dalam perjanjian perkawinan ,diantaranya, adalah :
a) Ketentuan pembagian harta bersama termasuk prosentase pembagian harta

bersama jika terjadi perceraian;
b) Pengaturan atau penanganan urusan keuangan keluarga selama perkawinan

berlangsung;
c) Pemisahan harta selama perkawinan berlangsung, artinya harta yang anda

peroleh dan harta suami terpisah sama sekali.
Membuat perjanjian perkawinan adalah hal yang penting untuk mencegah
terjadinya ketidakadilan dalam pembagian harta bersama sebaiknya di sahkan
didepan notaris dan dicatatkan di KUA untuk agama islam dan non islam di Kantor
Catatan Sipil.

5. PEMANFAATAN HARTA DALAM PERKAWINAN
Dalam hal penggunaan harta benda milik bersama ini menurut pasal 36 ayat 1
UU nomor 1 tahun 1974 menetapakan bahwa suami atau isteri dapat bertindak bila
atas dasar peretujuan kedua belah pihak. Menurut pasa 92 Inpres nomor 1 tahun 1991

suami atau isteri tanpa adanya persetujuan pihak lainnya tidak boleh menjual atau
memindahtangankan harta milik bersama.
Harta benda milik bersama hanya dapat digunakan untuk keperluan seharihari semua pihak terkait menurut atau untuk memenuhi kebutuhan bersama atau
kebutuhan apa yang menjadi tanggung jawabnya.menurut yang wajar dan layak. Bila
ada ada kelebihan wajib disimpan sebagai cadangan atau sebagai modal dan
investasi. Tidak boleh dibelanjakan secara boros, karena orang pemboros adalah
sahabat setan di dunia dan sahabat setan juga di dalam neraka kelak. Harta milik
bersama dapat dipergunakan oleh pihak ketiga sebagai pinjaman atau hibah dengan
syarat harus disetujui oleh suami / isteri dan anak-anak. Harta bersama dalam
perkawinan adalah milik suami /isteri dan semua anak-anak

BAB III
PENUTUP

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas. Karena kami
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan Dan kami juga sangat
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.lbh-apik.or.id/ pemisahan-harta-perk.htm diakses tanggal 2 April 2014
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No.
23);
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
4. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam).
5. H. Hilman Hadikusuma “Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan
Hukum Adat Hukum Agama” Mandar Maju, Bandung, 1990
6. Adi Condro Bawono, S.H., M.H. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/
/dampak-perceraian-terhadap-harta-bersama- Diakses tanggal 2 April 2014
7. http://www.ajihoesodo.com/index.php?option= seputar-masalah-harta-bersamadalam-tinjauan-hukum. Diakses tanggal 2 April 2014