POLITIK DUNIA DAN GLOBALISASI PERGESERAN

POLITIK DUNIA DAN GLOBALISASI

PERGESERAN EKOSISTEM GLOBAL

Oleh :

ALIKHA NOVIRA

: 170820140502

FAUSTINA TAMISARI

: 170820140504

AHIRUL HABIB PADILAH

: 170820140512

FEYBE MARTINI POPPIE WUISAN

: 170820140514


PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016

1.1 Latar Belakang
Hubungan Internasional merupakan salah satu studi yang paling berkembang,
dan terus akan berkembang sesuai dengan dinamika isu di dunia ini. Salah satu kajian
dalam hubungan internasional yang menjadi perhatian dan akan terus berlanjut adalah
globalisasi. Globalisasi, merupakan suatu fenomena yang tentu saja dewasa ini, tidak
dapat dihindarkan lagi. Apakah kita mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, arus
globalisasi ini akan tetap datang. Secara harafiah, global berarti dunia, dan –isasi
mengacu kepada ‘menjadikan’ – singkatnya, globalisasi berarti ‘menjadikannya
global’. Isu-isu yang bersifat global, dan masalah globalisasi ini sendiri menjadi
fokus kajian dalam Hubungan Internasional. Clark melansir bahwa studi hubungan
internasional

cenderung


menggunakan

sudut

pandang

yang

pendek

dan

menguntungkan, melihat globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20.1 Banyak sekali
definisi akan konsep globalisasi ini, karena pandangan dan dampak akan globalisasi
ini berbeda bagi masing-masing orang. Menurut Held 2 , globalisasi dapat diartikan
sebagai berikut:
A process (or a set of processes) which embodies a transformation in the spatial organization
or social relations and transaction – assessed in terms of their extensity, intensity, velocity,
and impact – generating transcontinental or interregional flows and networks of activity,

interaction, and the exercises of power. (Held, et al, 1997)

Dengan begitu, globalisasi merupakan sebuah proses yang membawa
perubahan, transformasi. Arus globalisasi ini identik dengan liberalisasi dan
westernisasi, mengapa? karena entry point ini berasal dari faktor ekonomi melalui
perdagangan dan cenderung arus ini berasal dari negara-negara barat. Oleh sebab itu
sangat identik dengan meluasnya nilai-nilai atau value dari barat. Kedekatan global
tidak hanya mempengaruhi dimensi ekonomi – yang merupakan faktor terbesar yang
dipengaruhi, namun juga politik, sosial, dan budaya.
1

Ian Clark. 1997. Globalization and Fragmentation: International Relations in the Twentieth
Century. Oxford: Oxford University Press.
2
David Held, et al. 1999. Global transformations: politics, economics and culture . Stanford,
California: Stanford University Press.

1

Dampak dari globalisasi bisa positif dan juga negatif, tergantung dari

bagaimana suatu negara menerima arus globalisasi tersebut. Ada yang melihat
globalisasi sebagai suatu peluang, dan ada juga yang melihat globalisasi sebagai
ancaman. Pengertian globalisasi menurut Jan Art Scholte mencakup lima dimensi
yang setiap dari dimensi tersebut mempengaruhi karakteristik setiap aktor dengan
interaksinya:3
1. Internationalization
2. Liberalization
3. Universalization
4. Modernization
5. Deterritorialization
Hanya

saja,

berbicara

mengenai

globalisasi


tidak

hanya

sekedar

membicarakan masalah perubahan, ataupun manifestasi dan difusi, namun juga
masalah keamanan. Globalisasi sendiri bersifat bebas dan terbuka, erat kaitannya
dengan Liberalisme. Terdapat dua jenis keamanan, yang pertama adalah keamanan
tradisional, yang kedua adalah keamanan non-tradisional. Berbicara mengenai
keamanan non-tradisional, maka yang dijadian referent object adalah individu. Secara
singkat, membicarakan masalah keamanan tradisional, maka berdasarkan kategorisasi
Barry Buzan, maka state security menjadi fokus keamanan tradisional, dan keamanan
non-tradisional akan membicarakan human security. Isu yang dibahas dalam konsep
keamanan tradisional, yaitu mengenai militer dan ideologi. Lalu isu apa yang dibahas
dalam keamanan non-tradisional4? Isu yang dibahas dalam keamanan non-tradisional,
merujuk kepada permasalahan non-militer dan ideologi. Seperti halnya kesehatan,
Hak Asasi Manusia, penyelundupan, demokrasi, lingkungan, terorisme, dan lainnya.
Isu lingkungan sendiri menjadi salah satu isu keamanan dalam perspektif nonJan Art Scholte. 2000. Globalization: A Critical Introduction . New York: Sint Martin’s
Press. hal.14

4
Budi Winarno. 2014. Dinamika Isu-isu Global Kontemporer. Gejayan, Jogjakarta: CAPS
(Center of Academic Publishing Service)
3

2

tradisional yang cukup menyita perhatian masyarakat global. Isu mengenai
lingkungan hidup menjadi salah satu dalam daftar agenda global pada abad ke-21,
baik di kalangan pemimpin politik, pejabat pemerintah, ilmuwan, industrialis,
maupun dari masing-masing individu itu sendiri. Masalah yang tadinya tergolong ke
dalam low politics kemudian disandingkan dengan isu sentral dalam politik dunia –
yang saat ini menjadi permasalahan global, sejajar dengan masalah keamanan dan
ekonomi (high politics).5
Isu mengenai lingkungan muncul ke permukaan dan diperdebatkan karena
beberapa faktor sebagai berikut6:
1. Dengan berakhirnya rivalitas ideologi, maupun militer dalam Perang
Dingin, oleh dua negara superpower , yakni Amerika dan Rusia – maka
terdapat kesempatan untuk membahas isu-isu lain yang kemudian menjadi
perdebatan negara Barat.

2. Adanya kesadaran publik dan media, terhadap perubahan lingkungan
global karena berbagai gejala yang muncul, mengindikasi terjadinya
degradasi lingkungan global.
3. Komunitas para Ilmuwan memberikan hasil penelitian mereka dan
memberikan informasi terkait dengan kondisi lingkungan kepada dunia
dan juga para pembuat kebijakan.
Dalam perkembangannya saat ini, isu lingkungan hidup semakin meluas dan
kemudian menjadi perhatian global, karena beberapa hal sebagai berikut7:

5

Winarno. 2014. op.cit.
Peter Chalk. 2000. Non-Military Security and Global Order . Oxford: Oxford University
Press, dalam Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hal. 130
7
Owen Greene. “Environmental Issues,” dalam John Baylis and Steve Smith (eds.). 1999.
The Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations 2 nd edition. Oxford:
Oxford University Press.
6


3

1. Masalah

lingkungan

bersifat

global

secara

inheren.



CFCs

(chloroflourocarbons) yang terlepas ke atmosfir meyebabkan penipisan

ozon stratospheric secara global dimanapun ada CFCs dipancarkan. CFCs

terdapat dalam lemari es, Air Conditioning, aerosol, dan lainnya. Menjadi
salah satu penyebab terbesar penipisan ozon.
2. Beberapa masalah dikaitkan dengan eksploitasi the global commons, yaitu
sumber-sumber yang menjadi milik bersama. Misalnya seperti laut,
atmosfir, ruang angkasa, dan lainnya.
3. Banyak masalah lingkungan hidup yang secara intrinsik transnasional –
dalam arti melewati batas negara. Masalah tersebut belum tentu menjadi
masalah global, namun karena terjadi di banyak tempat, terjadi di
beberapa wilayah di dunia ini, maka itu yang menyebabkan hal tersebut
menjadi isu global.
4. Banyak proses eksploitasi berlebihan, menyebabkan degradasi lingkungan
hidup yang secara relatif dalam skala nasional – terjadi di sejumlah besar
wilayah di dunia, sehingga menyebabkan hal ini dipandang sebagai
masalah global. Misalnya, seperti deforestasi untuk usaha mebel, dengan
lahan yang akan digunakan untuk pertanian, urbanisasi, lalu kemudian
masalah polusi, dan yang lainnya. Lambat laun, masalah eksploitasi yang
berujung pada deforestasi berujung pada berkaitan erat dengan masalah
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas mengenai isu lingkungan, rumusan masalah yang
akan menjadi bahasan fokus dalam makalah ini adalah:
1.2.1 Bagaimana deforestasi dapat menyebabkan pergeseran ekosistem
global?
1.2.2 Kiat-kiat apa yang sudah dilakukan dalam mengatasi permasalahan
lingkungan global?
4

1.3 Pembahasan
Membicarakan mengenai lingkungan hidup, tentu tidak akan terlepas dari dua
pemikiran Environmentalist dan Green Politicians. Pandangan mereka berbeda,
walaupun sama-sama berpondasi pada lingkungan. Pemikir environmentalist percaya
bahwa struktur politik, sosial, ekonomi, dan normatif mampu mengatasi persoalan
lingkungan. Pemikiran mereka sejalan dengan pemikiran institusionalis liberal.
Sebaliknya. Green Politicians berpikir bahwa justru struktur itulah yang menjadi
penyebab masalah lingkungan yang ada. 8 Maka dari itu mereka berpikir harus
mengadakan rekonstruksi struktur yang ada saat ini. 9 Mereka berpendapat bahwa
negara yang menyebabkan isu lingkungan karena tindakan mereka selalu disertai
dengan muatan politik. 10 Pemikiran yang terkenal dari mereka adalah ‘Think
Globally, Act Locally’. Makalah ini sendiri condong kepada kaum environmentalist,


bahwa struktur yang ada, dipercaya dapat memperbaiki lingkungan. Dengan rezim
lingkungan dan juga konsep global governance, diharapkan menjadi struktur yang
dapat mengatasi masalah lingkungan, dengan berbagai upaya dan tindakan yang
dilakukan.
Periode krisis lingkungan dibagi menjadi dua11:
1. Pada masa pertama dipicu publikasi buku Silent Spring oleh Rachel Carson
(1962) mengenai penggunaan pestisida berlebihan di Amerika
2. Pada masa kedua, akar penyebab maupun kebijakan berskala global. Menurut
Homer-Dixon terdapat enam sumber: perubahan iklim oleh efek rumah kaca,
penipisan ozon, degradasi dan hilangnya tanah pertanian yang subur,

8
9

Winarno. 2014. op.cit. hal. 141
Scott Burchill dan Andrew Linklater. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung:

Nusadua.
10
11

Ibid.
Winarno. 2014. loc.cit.

5

deforestasi, pengurangan dan polusi suplai air bersih, dan penipisan daerah
penangkapan ikan  hal ini menyebabkan scarcity
DEFORESTASI
Deforestasi adalah proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan
untuk diambil kayunya atau mengubah peruntukan lahan hutan menjadi non-hutan.
Bisa juga disebabkan oleh kebakaran hutan baik yang disengaja atau terjadi secara
alami. Deforestasi mengancam kehidupan umat manusia dan spesies mahluk hidup
lainnya. Sumbangan terbesar dari perubahan iklim yang terjadi saat ini diakibatkan
oleh deforestasi. Deforestasi adalah masalah global yang terus meningkat dengan
konsekuensi-konsekuensi lingkungan dan ekonomi, termasuk beberapa yang mungkin
tidak sepenuhnya dipahami sampai terlalu terlambat untuk mencegah mereka.
Deforestasi mengacu pada kehilangan atau kerusakan hutan yang terjadi secara alami,
terutama akibat aktivitas manusia seperti penebangan, menebang pohon untuk bahan
bakar, tebang dan bakar pertanian, pembukaan lahan untuk penggembalaan ternak,
operasi pertambangan, ekstraksi minyak, pembangunan bendungan, dan perkotaan
atau jenis lain dari ekspansi pembangunan dan populasi. Tidak semua deforestasi
disengaja. Beberapa mungkin didorong oleh kombinasi proses-proses alamiah dan
kepentingan manusia. Kebakaran hutan membakar bagian besar hutan setiap tahun,
misalnya, dan meskipun api adalah bagian alami dari siklus hidup hutan,
penggembalaan berikutnya oleh ternak atau satwa liar setelah kebakaran dapat
mencegah pertumbuhan pohon muda.
Deforestasi terjadi karena desakan konverasi lahan untuk permukiman,
infrastruktur, dan pemanenan hasil kayu untuk industri. Selain itu juga terjadi
konversi lahan untuk perkebunan, pertanian, peternakan dan pertambangan.
Berdasarkan catatan organisasi lingkungan WWF, faktor terbesar yang menyebabkan
deforestasi antara lain:


Konversi Pertanian

6

Populasi manusia yang terus membengkak membutuhkan pasokan bahan
pangan yang semakin besar. Untuk memenuhi itu, kebun-kebun baru untuk
kedelai

dan

gula

di

Brasil

dibuka

secara

massif.

Permintaan

terhadap biofuel juga telah mengakibatkan perluasan perkebunan kelapa sawit


di Indonesia secara massif.
Illegal Logging

Hampir 50% pemanenan kayu di hutan-hutan alam merupakan illegal logging.
Pemerintah di berbagai negara telah mencoba mengawasi mulai dari
pemanenan kayu di hutan hingga penjualannya. Namun hal ini belum bisa
memberantas illegal logging dengan efektif. Hutan hujan tropis di Brasil,


Kongo, Indonesia dan Rusia masih menjadi ajang pembalakan liar.
Kebakaran Hutan
Jutaan hektar hutan telah lenyap akibat kebakaran hutan setiap tahunnya.
Deforestasi dari kebakaran hutan lebih banyak dibanding deforestasi akibat
konversi pertanian dan illegal logging disatukan. Kerugian yang ditimbulkan
akibat kebakaran hutan juga lebih besar, karena berpotensi menghilangkan
plasma nutfah dan ancaman langsung bagi manusia, seperti gangguan
kesehatan, kehilangan materi, dan jiwa.



Penggunaan Kayu Bakar
Penggunaan kayu untuk bahan bakar di seluruh dunia masih signifikan
sebagai salah satu pendorong deforestasi. Setengah dari praktek illegal
logging didorong oleh konsumsi kayu bakar.

Desakan kebutuhan konversi lahan hutan diperparah dengan lemahnya
pengawasan dan metode yang digunakan dalam mengelola hutan. Sebut saja misalnya
pembersihan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Masih banyak yang
menggunakan cara-cara dengan membakar hutan. Metode ini banyak digunakan
selain karena biayanya yang murah, abu hasil pembakaran akan memperkaya tanah
dengan sejumlah mineral yang dibutuhkan tanaman. Pembakaran juga efektif untuk

7

menghilangkan gangguan gulma seperti benih-benih rumput. Namun pada prakteknya
metode pembersihan lahan dengan pembakaran sering menyebabkan kebakaran hutan
yang tidak terkendali. Akibatnya, ratusan ribu bahkan jutaan hektar hutan yang bukan
menjadi sasaran ikut terbakar habis. Hutan masih mencakup sekitar 30% dari
permukaan bumi, namun setiap tahun sekitar 12-15 juta hektar hutan (sekitar 78.000
mi2) kira-kira setara dengan empat kali ukuran Kosta Rika lenyap dari muka bumi,
yang dikonversi ke pertanian tanah atau dibersihkan untuk tujuan lain.
Deforestasi terjadi baik di hutan temperate maupun di hutan hujan tropis.
Hanya saja saat ini dunia sangat mengkhawatirkan laju deforestasi yang terjadi di
hutan hujan tropis. Hal ini tidak terlepas dari penyustan hutan hujan tropis yang
sangat besar. Padahal hutan tersebut berfungsi sebagai penyangga kehidupan di bumi
yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan menjadi penyimpan cadangan
biomassa karbon paling besar. Negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis
tercatat mengalami deforestasi signifikan. Negara-negara tersebut diantaranya Brasil,
Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo. Indonesia merupakan negara dengan
deforestasi paling paling parah di dunia. Bila ditarik satu abad kebelakang, Indonesia
telah kehilangan 15,79 juta hektar hutan hujan tropis. Luas ini hampir sepertiga dari
luas negara Spanyol. Pada tingkat deforestasi saat ini, hutan hujan tropis bisa dihapus
sebagai fungsi ekosistem dalam waktu kurang dari 100 tahun.
Gas rumah kaca bertanggung jawab terhadap terjadinya pemanasan global.
Dari sekian jenis gas rumah kaca, karbon dioksida (CO2) merupakan gas rumah kaca
yang paling banyak dihasilkan. Untuk kasus deforestasi, emisi CO2 yang dikeluarkan
menyumbangkan 6-17% terhadap emisi global. Angka ini menunjukkan deforestasi
penyumbang CO2 terbesar kedua setelah pembakaran bahan bakar fosil.
Hutan merupakan penyimpan cadangan karbon yang besar. Lebih dari 300
milyar ton karbon tersimpan di hutan dan pohon-pohon yang ada di bumi. Jumlah
tersebut 40 kali lebih besar dari karbon yang dihasilkan akibat pembakaran bahan
bakar fosil. Angka tersebut dengan jelas menerangkan pentingnya peran hutan dalam
menjaga perubahan iklim.
8

Jumlah karbon yang terlepas ke atmosfir dalam deforestasi tidak hanya
disebabkan oleh lepasnya karbon dari biomassa tumbuhan yang mati. Tetapi juga
mengurangi kemampuan bumi untuk menyerap kembali karbon dari atmosfir melalui
proses fotosintesis. Selain itu pada tipe-tipe hutan tertentu, seperti hutan gambut,
apabila vegetasi pohon di atasnya hilang maka tanah gambut akan melepaskan karbon
yang tersimpan di dalam tanah.
Para ilmuwan memperkirakan bahwa 80% dari semua spesies di Bumi hidup
di hutan hujan tropis. Deforestasi di wilayah-wilayah menghapuskan habitat kritis,
mengganggu ekosistem dan menyebabkan kepunahan banyak spesies potensi,
termasuk spesies tak tergantikan yang bisa digunakan untuk membuat obat-obatan,
yang mungkin penting untuk penyembuhan atau pengobatan yang efektif penyakit
dunia yang paling menghancurkan. Deforestasi yang berkontribusi pada pemanasan
global juga memiliki dampak signifikan pada perekonomian global. Sementara
beberapa orang dapat menerima manfaat ekonomi langsung dari kegiatan yang
mengakibatkan deforestasi, keuntungan jangka pendek yang mereka terima tidaklah
dapat mengimbangi berbagai kerugian jangka panjang yang ada.

Contoh Kasus: Kerusakan Hutan di Kalimantan
Penebangan hutan secara ilegal (illegal logging) sebenarnya persoalan klasik
bagi masyarakat Indonesia. Setiap hari, kegiatan tersebut marak dilakukan di
sejumlah kawasan hutan dengan diketahui petugas instansi berwenang, aparat dan
masyarakat setempat. Meskipun berkali-kali diberitakan bahwa penertiban terus
diupayakan, namun penebangan dan perusakan hutan semakin merajalela.
Di kabupaten Ketapang misalnya, sasaran penebangan liar adalah Taman
Nasional Gunung Palung. Sasaran penebangan adalah pohon-pohon dengan jenis
Kayu Ramin, Meranti, Klansau, Mabang, Bedaru, dan jenis Kayu Tengkawang yang
termasuk jenis kayu dilindungi. Setiap hari jumlah truk yang mengangkut kayu ini ke
wilayah Malaysia sekitar 50-60 truk. Menurut Sekjen “Silva Indonesia”,

9

pengangkutan ini berlangsung siang dan malam dihadapan mata aparat instansi
berwenang tanpa ada pemungutan dana reboisasi dan pajak lainnya “.
Sekitar 80 % dari 90.000 ha luas TNGP sudah dirambah para penebang dan
mengalami rusak berat yang membawa dampak bagi masyarakat dan ekologi
lingkungan di sekitarnya. Dampak kerusakan terhadap ekologi lingkungan
menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi hutan itu sendiri maupun
lingkungan di sekelilingnya. Kerugian di bidang Ekonomi, terbukti setiap hari kayu
ilegal berbentuk balok yang diselundupkan dari Kal-Bar ke Serawak mencapai 10.000
m kubik. Kayu-kayu ini terbebas dari iuran resmi seperti dana reboisasi, provisi
sumber daya hutan, dan pajak ekspor. Diprediksi kerugian negara mencapai Rp. 5,35
milyar per hari, atau sekitar Rp 160,5 milyar perbulan. Masalah degradasi
tanah Akibat penebangan liar yang terjadi di kalimantan banyak lahan kering yang
tidak digarap. Akibatnya erosi menjadi mudah terjadi dan tanah berkurang
kesuburannya.
Masalah pemanasan global, akibat yang akan muncul akibat pemanasan global
ini, antara lain terjadinya perubahan iklim. Hal ini akan mempercepat penguapan air
sehingga berpengaruh pada curah hujan dan distribusinya. Akibat selanjutnya adalah
terjadinya banjir dan erosi di daerah-daerah tertentu. Seperti kasus yang terjadi di
Pontianak (Kalimantan Barat) yang menelan korban materi dan nyawa yang sangat
besar. Masalah kepunahan keranekaragaman hayati menurut penelitian para ahli,
dikatakan bahwa jumlah spesies binatang atau spesies burung semakin berkurang,
khususnya di Kalimantan Barat. Akibat penebangan hutan yang dilakukan terus
menerus, banyak hewan yang menyingkir dan mencari habitat yang baru. Misalnya,
harimau Kalimantan semakin terjepit karena tempat tinggalnya semakin sempit dan
terus di babat.
Laporan FAO tahun 1989, laju kerusakan hutan di Kalimantan mencapai lebih
dari 600 ribu hektare per tahun. Ini paling tinggi dibanding pulau-pulau lainnya di

10

Indonesia. Menurut Save Our Borneo (SOB), Juni 2008 sekitar 80 persen kerusakan
hutan di Kalimantan karena pengembangan sawit oleh perusahaan besar. Sekitar 20
persen karena pertambangan dan transmigrasi. Selain dari itu, saat ini makin banyak
izin penambangan batu bara yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan di
Kalimantan. Kondisi ini khawatir menyebabkan kerusakan lingkungan yang
meluas. Gusti yang adalah Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan
Selatan itu juga memperkirakan, model penambangan batu bara saat ini mengulang
kesalahan sama seperti pada penjualan kayu dari hutan-hutan Kalimantan.
Banjir yang terjadi di beberapa tempat di Kalimantan akibat kerusakan hutan.
Banjir hanya salah satu akibat dari kerusakan hutan yang berdampak pada lingkungan
hidup. Tidak hanya banjir pada musim hujan,bahaya kekeringan terjadi ketika musim
kemarau datang. Di sini hutan berfungsi sebagai pengatur hidro-orologis bagi
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Selain banjir dan kekeringan, masih
banyak lagi dampak negatif dari kerusakan hutan. Kerusakan lingkungan hutan
seperti ini merupakan kerusakan akibat ulah manusia yang menebang pada daerah
hulu sungai bahkan pembukaan hutan yang dikonversi dalam bentuk penggunaan
lain.
Tak hanya dari itu kebakaran hutan yang cukup besar menimbulkan dampak
yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan hewan. Dampak
negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah
melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari
udara dan meningkatkan gas rumah kaca. Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak
negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran
pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi
udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran
hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan.
Sementara pada transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus
tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.

11

Kerugian karena terganggunya kesehatan masyarakat, penundaan atau
pembatalan penerbangan, dan kecelakaan transportasi di darat, dan di air memang
tidak bisa diperhitungkan secara tepat, tetapi dapat dipastikan cukup besar
membebani masyarakat dan pelaku bisnis. Dampak kebakaran hutan Indonesia
berupa asap tersebut telah melintasi batas negara terutama Singapura, Brunai
Darussalam, Malaysia dan Thailand

Protokol Kyoto
Dengan berdasarkan banyak sekali isu – isu yang berkaitan dengan perubahan
iklim akhir –akhir ini, yang biasa kita kita dengar mengenai climate change atau
perubahan iklim atau yang sangat populer yaitu Global Warming atau pemanasan
global . yang tidak bisa dipungkiri bahwa manusia merupaka pelopordari adanya isu
– isu ini dikarenakan manusia yang semakin lama menjadi manusia yang konsumtif
yang tidak pernah puas,mengambil keuntungan dari bumi tanpa memperhitungkan
akibatnya dan juga yang menyediakan kebutuhan manusia berasal dari alam dan
sangat disayangkan manusia menjadi aktor utama yang tidak sadar untuk menjamin
pelestarian alam itu sendiri. Banyak sekali ahli – ahli dan juga masyarakat yang
sangat gencar – gencarnya membuat kampanye “TO SAVE THE EARTH”. Para
pemimpin duniapun merasa perlu membuat ketentuan dalam rangka mengurangi
pencemaran yang ternadi di bumi ini. Dalam KTT Bumi tentang Lingkungan dan
Pembangunan di Rio de Janerio, Brasil tahun 1992, telah disepakati berbagai rencana
besar yang terkait dengan upaya konservasi lingkungan bumi dan pada saat yang
sama juga meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Termasuk diantaranya adalah
kesepakatan terhadap dokumen mengenai Konvesi Kerangka Kerja PBB tetang
Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention and Climate Chanfe UNFCCC), yang diklarifikasi oleh pemenritah Indonesia melalui Undang – Undang
Nomor 6 Tahun 1994. Pada CoP (Conferences of Parties) ke III di Kyoto Jepang
ditetapkan Protokol Kyoto 1997 sebagai tindak lanjut atas Konvensi Perubahan Iklom

12

1992 (UNFCCC) yang berisi mekanisme dalam mereduksi emisi gas rumah kaca
yang sangat berpengaruh terhadap iklim.
Menurut rilis pers PBB Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di
mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka
secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu
diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun
2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah
untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan,
nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata
selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan
8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan
penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."
Ada enam negara yang telah menanda tangani namun belum meratifikasi
protokol itu. Tiga di antaranya adalah negara-negara Annex I:
1. Australia (tidak berminat untuk meratifikasi)
2. Monako
3. Amerika Serikat -- AS, pengeluar terbesar gas rumah kaca, tidak berminat
untuk meratifikasi.
4. Sisanya adalah: Kroasia, Kazakhstan, dan Zambia. AS, Australia, Italia,
Tiongkok, India dan negara-negara berkembang telah bersatu untuk melawan
strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol Kyoto II atau persetujuan
lainnya yang bersifat mengekang.
Kerangka Konvensi Perubahan Iklim dibuka untuk penandatanganan dari 0414 Juli 1992 di Rio de Janeiro pada Konferensi PBB tentang lingkungan dan
pembangunan dan dari 20 Juni 1992 hingga 19 Juli 1993 di New York. Konvensi
mulai berlaku pada tahun 1994. saat ini, 195 negara, termasuk Rusia, merupakan
pihak dalam konvensi. UNFCCC adalah instrumen kunci dari kerjasama internasional
13

dalam stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tersebut yang
akan mencegah buatan manusia dampak berbahaya terhadap lingkungan. Area
Jenderal memerangi perubahan iklim global yang diatur dalam Konvensi (itu
sebabnya konvensi adalah karakter kerangka). Agar dapat mengoptimalkan biaya
yang dikeluarkan untuk pelaksanaan kewajiban untuk mengurangi dan membatasi
emisi gas rumah kaca, Protokol Kyoto menetapkan disebut mekanisme fleksibilitas
memungkinkan untuk perdagangan di kuota emisi antara negara-negara anggota dan
partisipasi mereka dalam Proyek Implementasi Bersama.
Peranan Protokol Kyoto
1.

Merumuskan mekanisme dan target penurunan emisi secara transparan

2.

Mekanisme antar negara maju dan antara negara maju berkembang maju

3.

Target penurunan emisi dalam perode komitmen pertama (2008 2012) sebesar
5% di bawah tingkat emisi tahun 1990 atau sebesar 13.7 Gt 2008-2012

4.

Setiap negara maju ) memiliki komitmen yg berbeda sesuai dengan tingkat
emisinya pada tahun 1990

5.

Negara berkembang tidak memiliki obligasi untuk menurunkan emisi

Kyoto Protocol: Sectors/source Categories:

1. Energi : pembakaran bahan bakar, emisi buronan dari bahan bakar
2. proses industriproduk mineral, industri kimia, produksi logam, produksi
lainnya dll
3. Pelarut dan lainnya penggunaan produk
4. Pertanian
5. Limbah : Pembuangan limbah padat di tanah, penanganan air limbah,
pembakaran sampah dll.

UNFCCC-Kyoto Protocol: Implementation Actors

14

1. Conference of the Parties (COP)
2. Secretariat
3. Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA)
4. Subsidiary Body for Implementation (SBI)
5. Joint Working Group on Compliance (JWG)
6. National UNFCCC focal points
7. National CDM authorities (DNA)
8. Others (IPCC, GEF etc.)
Kyoto Protocol : Implementasi Dari Mekanisme – Mekanisme
1. Implementasi bersama : Kegiatan yang dilaksanakan bersama-sama antara
dikembangkan / Pihak negara EIT (ERU)
2. Perdagangan emisi : Dapat digunakan sebagai pelengkap untuk tindakan
untuk memenuhi komitmen pengurangan (AAU)
3. Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) : Pihak negara berkembang dapat
secara sukarela mengurangi emisi melalui kegiatan bersama dengan Partai
maju (CER)

Salah satu Program dari Kyoto Protocol adalah Clean Development
Mechanism (CDM) dimana CDM Protokol Kyoto memungkinkan diterapkannya tiga
mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanisms) agar negara Annex I dapat tetap
memenuhi komitmennya dengan biaya yang tidak terlalu tinggi. Ketiga mekanisme
tersebut adalah:
1. Joint Implementation (JI), kerjasama antara sesama negara Annex I
(negara maju) dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca; biasanya
ini dilakukan dengan investasi asing antar negara Annex I yang diimbali
dengan unit penurunan emisi (Emission Reduction Unit– ERU);
15

2. International Emission Trading (IET), perdagangan ERU antara Negara
Annex I;
3. Clean Development Mechanism (CDM), pada dasarnya adalah gabungan
dari JI dan IET yang berlangsung antara negara Annex I dengan negara
non-Annex I dengan persyaratan mendukung pembangunan berkelanjutan
di negara non-Annex I. Komoditas yang digunakan bukanlah ERU
melainkan CER (Certified Emission Reduction) yaitu jumlah penurunan
emisi yang telah disertifikasi.
Clean Development Mechanism merupakan salah satu upaya negara-negara di

dunia yang merasa khawatir bahwa dunia tidak akan dapat mendukung kehidupan
manusia dengan stabil akibat adanya perubahan iklim yang ekstrim yang dipengaruhi
oleh adanya efek Gas Rumah Kaca. Gas Rumah Kaca akan menyebabkan temperatur
bumi meningkat dan berpengaruh besar terhadap perubahan iklim. Protokol Kyoto
memperbolehkan negara-negara maju untuk mencapai target pengurangan emisinya
melalui tiga jenis mekanisme yaitu Emissions Trading (perdagangan emisi di antara
negara maju); Joint Implementation (transfer emisi di antara negara maju melalui
proyek khusus pengurangan emisi); dan CDM. CDM merupakan mekanisme
pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca di negara maju dengan
melibatkan negara berkembang. Mekanisme ini memungkinkan negara maju untuk
mencapai sebagian keharusan pengurangan emisi melalui proyek di negara
berkembang yang dapat mengurangi emisi atau sequester CO2 dari atmosfir. Saat ini
negara-negara berkembang tidak memiliki kewajiban untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca yang mereka hasilkan. Akan tetapi mereka dapat berpartisipasi secara
sukarela dalam pengurangan emisi global dengan menjadi tuan rumah bagi proyek
pelaksanaan CDM.
CDM memungkinkan pemerintah dan pihak swasta di negara Annex I untuk
mengembangkan proyek yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca di negara
berkembang. Implementasi CDM Mekanisme CDM memungkinkan Negara Annex I
untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di
16

dalam negerinya sendiri (domestic action). Oleh karenanya, CDM beserta dengan dua
mekanisme lainnya dikenal sebagai mekanisme flexisbiliti (flexibility mechanisms).
Dalam melaksanakan CDM, komoditi yang diperjualbelikan adalah reduksi emisi
GRK tersertifikasi yang biasa dikenal sebagai CER (Certified Emission Reduction).
CER ini diperhitungkan sebagai upaya Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan
nilai CER ini serta dengan nilai penurunan emisi yang dikenal secara domistik dank
arena dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan emisi GRK Negara
Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B protocol Kyoto. Meskipun belum
diputuskan, pada dasarnya CDM dapat dilakukan dengan tiga cara (dikenal sebagai
CDM architecture), yaitu:
1. Bilateral CDM – pelaksanaan CDM antara satu Negara Annex I dan satu

Negara berkembang. Pada umumnya CDM ini dilakukan dalam bentuk
investasi asing yang besarnya serta dengan potensi reduksi emisi GRK yang
dapat dihailkan olleh kegiatan tersebut.
2. Multilateral CDM – dengan mekanisme yang serupa dengan bilateral CDM

tetapi berlangsung tidak antara satu Negara Annex I dan satu Negara
berkembang, melainkan antara beberapa Negara Annex I dengan beberapa
Negara berkembang melalui sebuah lembaga “Clearinghause”.
3. Unilateral CDM – pelaksanaan kegiatan yang memiliki potensi reduksi emisi

GRK dibiayai dengan investasi domestic. Pada gilirannya, investor dalam
negeri ini akan mendapatkan CER yang nantinya dapat dijual kepada Negara
Annex I.
Indonesia sebagai salah satu Negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto
melalui Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2004 pada tanggal 23 Juni 2004 telah
melalukan beberapa langkah dalam rangka pelaksanaan ketentuan Protokol
khususnya seperti membentuk KMPB (Komisi Mekanisme Pembangunan Bersih)
yang berfungsi memberikan persetujuan terhadap usulan proyek yang masuk
berdasarkan kriteria pembangunan berkelanjutan dan melakukan tracking dan
pelaporang tahunan ke Sekretariat UNFCCC.
17

Hubungan Antara UNFCCC, Protokol Kyoto Dan REDD
REDD merupakan suatu pendekatan dan aksi yang dapat mengurangi emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan. Seperti yang menjadi tujuan dari Protokol Kyoto
dan UNFCCC sendiri yaitu adanya pengurangan emisi (emission reduction). REDD
berpotensi mengurangi emisi GRK dengan biaya rendah dan waktu yang singkat dan
pada saat yang sama membantu mengurangi tingkat kemiskinan dan memungkinkan
pembangunan berkelanjutan. REDD dianggap sebagai cara paling nyata, murah, cepat
dan saling menguntungkan dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK);
nyata karena seperlima dari emisi GRK berasal dari deforestasi dan degradasi hutan
(DD); murah karena sebagian besar DD hanya menguntungkan secara marjinal
sehingga pengurangan emisi GRK dari hutan akan lebih murah ketimbang alat atau
instrumen mitigasi lainnya; cepat karena pengurangan yang besar pada emisi GRK
dapat dicapai dengan melakukan reformasi kebijakan dan tindakan-tindakan lain yang
tidak tergantung pada inovasi teknologi; saling menguntungkan karena berpotensi
untuk memperoleh pendapatan dalam jumlah besar dan perbaikan kepemerintahan
dapat

menguntungkan

kaum

miskin

di

negara-negara

berkembang

dan

memberikan manfaat lingkungan lain selain yang berkaitan dengan iklim.
REDD Plus
REDD+ menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah
ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negaranegara berkembang. Dua
ketetapan awal REDD adalah:
1.

mengurangi emisi dari deforestasi dan

2.

mengurangi emisi dari degradasi hutan

Beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui:

18

1.

peranan konservasi

2.

pengelolaan hutan secara lestari

3.

peningkatan cadangan karbon hutan
Proposal REDD pada umumnya bertujuan mengurangi GRK dengan biaya

serendah-rendahnya, dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Proposalproposal
tersebut dapat dievalusi berdasarkan kriteria 3E (Stern 2008): Apakah mekanisme ini
mencapai target emisi GRK (efektivitas)? Apakah target dicapai dengan biaya
serendah mungkin (efisiensi)? Bagaimana manfaat dan tanggung jawab tersebar di
antara para pihak dan apakah manfaat tambahannya (ekuitas dan manfaat tambahan)?
Tantangan yang dihadapi oleh dunia internasional adalah memastikan bahwa skema
yang akan diterapkan oleh UNFCCC dapat memberikan—dan tidak menutup—
kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk dapat melaksanakan REDD
sehingga dapat membawa manfaat tambahan berkaitan dengan pemberantasan
kemiskinan, perlindungan hak azasi manusia, dan jasa lingkungan nonkarbon, serta
menghindari pengaruh yang merugikan.
KESIMPULAN
Permasalahan lingkungan merupakan isu non-tradisional, yang secara inheren
bersifat global dan tidak dapat dibaikan. Ketika permasalahan lingkungan ini menjadi
perhatian global, banyak pemikiran-pemikiran yang berpondasi pada lingkungan dan
berusaha memberikan pandangan akan pentingnya isu lingkungan dan upaya
mengatasinya. Dengan melihat struktur-struktur yang ada, fokus terhadap dimensi
environmentalist lebih condong untuk membawa keberhasilan, asalkan dijalankan

sesuai dengan prosedur dan yang seharusnya. Masalah deforestasi disini dianggap
sebagai salah satu isu lingkungan yang cukup banyak memberikan andil dalam
perubahan iklim dan juga kerusakan lingkungan. Dengan berbagai progam yang
dicanangkan oleh berbagai organisasi internasional, institusi dan bahkan LSM yang
sejalan dengan kaun environmentalist, serta protokol dan ketentuan yang dikeluarkan,

19

diharapkan isu lingkungan ini dapat diatasi mengingat bumi yang semakin parah
kerusakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Angelsen, A dan Atmedja S. 2010. Melangkah Maju dengan REDD; Isu, Pilihan dan Implikasi .
CIFOR. Bogor. Indonesia
Babiker, M. H., and Jacoby, H. D. 1999. Developing country effects of Kyoto-type emissions
restrictions. Joint Program on the Science and Policy of Global Change Report No. 53.
Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge

Burchill, Scott dan Andrew Linklater. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusadua.
Chalk, Peter. 2000. Non-Military Security and Global Order . Oxford: Oxford University Press, dalam
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Clark, Ian. 1997. Globalization and Fragmentation: International Relations in the Twentieth Century.
Oxford: Oxford University Press.
Greene, Owen. “Environmental Issues,” dalam John Baylis and Steve Smith (eds.). 1999. The
Globalization of World Politics: An Introduction to International Relations 2 nd edition.
Oxford: Oxford University Press.
Held, David, et al. 1999. Global transformations: politics, economics and culture . Stanford,
California: Stanford University Press
Indonesia and Climate Change; Current Status and Policy. 2007. PEACE

Scholte, Jan Art. 2000. Globalization: A Critical Introduction . New York: Sint Martin’s Press.
Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-isu Global Kontemporer. Gejayan, Jogjakarta: CAPS ( Center of
Academic Publishing Service)
Publikasi
REDD Plus dalam Struktur Negosiasi global . Versi September 2011. Foundation for International
Environmental Law and Development.
The list of parties to the Convention in Annex I differs only slightly from the Annex B grouping
developed in the Kyoto Protocol and used in this analysis.

20

United Nations 1992. Framework Convention on Climate Change. United Nations, New York.
United Nations. 1997. Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate
Change , Conference of the Parties on Its Third Session, FCCC/CP/1997/L.7/Add.1,0
December

Website

http://www.fairclimate.com/
http://www.cifor.org/publications/
http://unfccc.int/methods_science/redd
http://www.redd-indonesia.org/
http://cdmrulebook.org/
http://www.gazprom.com/nature/kioto/
http://www.unep.org
http://unfccc.int/
http://communitycarbonfund.org
http://agiwoles.blogspot.co.id/
http://www.antaranews.com/berita/49890/253-kasus-pembalakan-liar-terjadi-di-kalbar
http://news.liputan6.com/read/86820/menekan-penebangan-liar-di-kalimantan-barat
http://wwf.panda.org/about_our_earth/deforestation/
http://www.worldwildlife.org/threats/deforestation
http://environment.nationalgeographic.com/environment/global-warming/deforestation-overview/
http://www3.epa.gov/climatechange/ghgemissions/gases/co2.html

21