UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI MAHASISWA M

UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI MAHASISWA MELALUI
METODE PEMBELAJARAN AKTIF (ACTIVE LEARNING)
Wahyuningsih Santosa

Strategi atau metode yang digunakan dalam proses pembelajaran (learning
process), tidak dapat dipungkiri lagi, sangat berpengaruh terhadap hasil atau tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai. Banyak referensi atau bahkan hasil penelitian yang
telah membuktikan hal ini. Tujuan pembelajaran inilah, dengan demikian, yang menjadi
alasan kuat dipakainya suatu strategi atau teknik atau metode pembelajaran tertentu.
Tujuan pembelajaran dapat sekedar berupa penyampaian informasi atau
pengetahuan kepada mahasiswa, begitupun dapat pula berupa pencapaian keahliankeahlian atau kompetensi-kompetensi tertentu yang diinginkan dari mahasiswa.
Pembelajaran juga dapat ditujukan untuk mengubah sikap mahasiswa.
Tentu kita telah sering mendengar melalui berbagai seminar ataupun ulasan di
berbagai media massa, dan perlu rasanya kita renungkan untuk kemudian mengambil
tindakan, bahwa tuntutan dunia industri dan bisnis atas lulusan perguruan tinggi yang
akan mereka pekerjakan saat ini semakin berat. Semakin dipercaya pula bahwa Indeks
Prestasi yang tinggi saja bukan jaminan lulusan tersebut akan berprestasi dalam bekerja.
Di sisi dunia industri, mereka semakin dituntut kerja keras dan cepat agar dapat
menang dalam persaingan bebas, sehingga setiap peluang yang muncul pun harus dengan
segera ditangkap dan dimanfaatkannya. Akibatnya semakin banyak perusahaan yang
mencari kandidat-kandidat pekerja yang dapat dengan segera memiliki kesiapan untuk

diberdayakan. Itu artinya mereka mencari kandidat pekerja yang mampu menunjukkan
berbagai kompetensi sebagaimana dibutuhkannya untuk mencapai kinerja yang tinggi.
Dari beberapa sumber, dapat disebutkan antara lain bahwa seorang lulusan yang akan
mudah diterima di dunia kerja harus memiliki kompetensi-kompetensi seperti konseptual,
komunikasi, kepemimpinan, organisasi, hubungan interpersonal dan juga kompetensi
teknis tentunya.

Apakah Pembelajaran Aktif itu?
Dalam kebanyakan sistem pengajaran yang dilakukan di Indonesia selama ini,
bahkan juga masih banyak di negara lain, metode kuliah atau ceramah menjadi andalan
utama. Dalam metode ini, dosen secara aktif memberikan atau mentransfer pengetahuanpengetahuan kepada para mahasiswanya. Sementara mahasiswa lebih banyak bersifat
mendengarkan dan mencatat serta mencoba memahami apa saja yang disampaikan oleh
dosennya.
Cranton, dalam Hisyam Zaini dkk (2002), menyatakan bahwa metode kuliah atau
ceramah ini identik dengan istilah Lecturer-Centered Method, karena pengajar atau dosen
adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap penyampaian materi
pengetahuan kepada para mahasiswa, sehingga arah komunikasipun cenderung satu arah
yaitu dari dosen kepada mahasiswa. Cranton berpendapat bahwa metode ceramah tetap
akan efektif, namun jika digunakan untuk pengajaran pada tingkatan yang rendah, yaitu
pada level pengetahuan dan komprehensi dalam ranah kognitif Bloom (Bloom’s

taxonomy). Metode ceramah tidak seefektif metode diskusi jika digunakan untuk
menggugah pendapat mahasiswa, apalagi merubah sikap mahasiswa, dan terlebih jika
digunakan untuk meningkatkan ketrampilan atau kompetensi mahasiswa.
Dalam bukunya “Strategi Pembelajaran di Perguruan Tinggi”, Hisyam Zaini dkk
(2002) selanjutnya menyatakan bahwa filosofi mengajar yang baik adalah bukan sekedar
mentransfer pengetahuan kepada mahasiswa, akan tetapi bagaimana membantu
mahasiswa agar dapat melakukan pembelajaran (learning). Ini berarti bahwa pemegang
peran sentral dalam proses pembelajaran bukan si dosen melainkan para mahasiswa,
dengan kata lain bahwa mahasiswalah yang harus aktif melakukan pembelajaran. Inilah
ide dasar dari kegiatan pembelajaran aktif.
Jika didefinisikan, Hisyam Zaini dkk lebih lanjut mengatakan bahwa
pembelajaran aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak mahasiswa untuk belajar
secara aktif, yang berarti bahwa mahasiswa mendominasi kegiatan pembelajaran. Dengan
demikian mahasiswa aktif menggunakan otak, baik untuk menemukan ide pokok dari
materi kuliah, memecahkan masalah, ataupun mengaplikasikan apa saja yang baru
mereka pelajari ke dalam suatu permasalahan yang ada dalam kehidupan nyata.

Definisi lain yang dikutip dari www.acu.edu (2000), pembelajaran aktif adalah
suatu kegiatan pembelajaran yang dirancang sebagai kegiatan pembelajaran yang bersifat
multi arah, sehingga kegiatan pembelajaran inipun dapat terjadi dari dosen ke mahasiswa,

mahasiswa ke dosen, dan dari mahasiswa ke mahasiswa lainnya. Sementara bentuk
kegiatannya dapat berupa bicara, menulis, membaca, diskusi, debat, berperan, permainan
peran, interview, penulisan jurnal, dan sebagainya. Adapun bentuk keterlibatan dalam
kegiatan pembelajaran dapat berupa suatu kelas, tim-tim, kelompok-kelompok kecil, trio,
pasangan atau bahkan individual.
Dari dua definisi diatas, jelas sekali bahwa metode pembelajaran aktif merupakan
metode pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Mahasiswa harus menjadi subyek
dalam hal ini, tidak sekedar obyek didik seperti wadah kosong yang menunggu untuk
diisi oleh pihak lain. Dengan pembelajaran aktif, mahasiswa akan menjadi kreatif dan
selalu tertantang untuk ‘mengisi’ dirinya, yang tidak akan rela membiarkan dirinya keluar
ruangan kelas dengan kondisi tetap ‘kosong’.
Mengapa Pembelajaran Aktif?
Banyak perguruan tinggi di berbagai negara saat ini beralih dari metode kuliah
atau ceramah (lecture) konvensional ke metode pembelajaran aktif. Mengapa demikian?
David G. Brown dan Curtis W. Ellison dalam artikel berjudul "Seven Principles
of Good Practice in Undergraduate Education" (www.acu.edu, 2000) menyatakan:
"Active Learning is not merely a set of activities, but rather an attitude on the part of
both students and faculty that makes learning effective. The objective of Active Learning
is to stimulate lifetime habits of thinking, to stimulate students to think about HOW as
well as WHAT they are learning and to increasingly take responsibility for their own

education."
Belajar aktif diperlukan tidak hanya untuk mendapatkan hasil belajar yang
maksimum, tetapi juga mendorong kebiasaan berpikir kritis mahasiswa sekaligus
meningkatkan tanggung jawab mahasiswa atas pendidikan mereka sendiri. Ketika
mahasiswa hanya bersifat pasif, atau hanya menerima apa yang diberikan oleh dosen,
maka ada kecenderungan untuk dengan cepat melupakan apa yang baru diterimanya itu.

Hal ini dengan tepat diungkapkan oleh Konfusius, seorang filsuf Cina, yang mengatakan
(Hisyam Zaini dkk, 2002):
Apa yang saya dengar, saya lupa
Apa yang saya lihat, saya ingat
Apa yang saya lakukan, saya paham
Belajar tidak bisa hanya mengandalkan indera pendengaran, jika ingin informasi
yang diterima dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Belajar aktif kemudian
menjadi salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengikat informasi-informasi yang
diterima untuk kemudian menyimpannya dalam otak. Karena dalam pembelajaran aktif
mahasiswa ‘melakukan’ sesuatu untuk mendapatkan berbagai informasi atau pengetahuan
melalui diskusi, debat atau aktivitas belajar aktif lainnya, maka pengikatan informasi
dapat lebih optimal terjadi.
Mel Silberman (www.acu.edu, 2000), juga menyatakan bahwa pembelajaran

sebenarnya adalah bukan hanya mengingat karena sebagian besar yang kita ingat dapat
hilang dalam hitungan jam. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa jika pembelajaran
dilakukan secara aktif maka si pembelajar akan mencari sesuatu untuk menjawab
pertanyaan, mencari informasi untuk menyelesaikan masalah, atau mencari cara untuk
melakukan suatu pekerjaan. Agar kegiatan ini berjalan dengan baik, lingkungan atau
kondisi yang memungkinkan terjadinya diskusi atau eksplorasi ide tentu harus diciptakan.
Bahwa pembelajaran aktif lebih efektif, juga dibuktikan melalui salah satu riset
yang dilakukan oleh Edgar Dale (www.acu.edu, 2000) yang menghasilkan sebuah
diagram yang disebut Dale’s Cone berikut ini:

Diagram Dale’s Cone menunjukkan efektivitas pembelajaran berdasar metode atau media
yang digunakan. Berdasar riset Dale, metode belajar yang paling tidak efektif, yang
terletak paling atas dari kerucut, yaitu belajar melalui presentasi simbol-simbol verbal
seperti mendengarkan kata-kata yang diucapkan, oleh guru atau dosen misalnya.
Sementara metode yang paling efektif, yang terletak di dasar kerucut, adalah metode
belajar yang melalui pengalaman pembelajaran secara langsung seperti pengalaman
lapangan atau pengalaman nyata menyelesaikan masalah.
Hasil riset berikutnya, disebut The Learning Pyramid, dilakukan oleh National
Training


Laboratories

in

Bethel,

Maine

(www.acu.edu,

2000).

Piramid

ini

menggambarkan tingkat retensi rata-rata yang diperoleh dari berbagai metode
pengajaran:

Ditunjukkan dalam piramid bahwa persentase retensi (ingatan) yang dicapai melalui

metode kuliah (lecture), yang berada paling atas dari piramid, adalah rata-rata hanya 5%.
Sebaliknya, metode ‘teach others/immediate use’ mencapai rata-rata retensi 90%. Dapat
dilihat lebih jauh hasil riset tersebut bahwa metode diskusi mencapai hasil retensi yang
jauh lebih tinggi juga dibanding metode kuliah biasa, yaitu 50%. Begitupun metode
praktek yang dalam hal ini dapat berupa praktek riel menyelesaikan masalah atau praktek
langsung pada pekerjaan yang sebenarnya dapat mencapai retensi mencapai 75%.
Riset literatur yang dilakukan oleh Chickering & Gamson pada tahun 1987
(Bonwell & Eison, 2000), merekomendasikan bahwa mahasiswa harus melakukan
sesuatu yang lebih daripada sekedar mendengar. Mahasiswa harus membaca, menulis,
diskusi, dan mencoba menyelesaikan masalah-masalah. Dan lebih penting lagi, selain
mahasiswa harus terlibat aktif, mereka diarahkan untuk mempraktekkan cara berpikir
yang lebih tinggi, yaitu analisis, sintesis dan evaluasi.
Diskusi di kelas adalah salah satu strategi paling populer dalam melaksanakan
pembelajaran aktif dengan alasan yang sangat baik dan kuat. McKeachie et al (Bonwell
& Eison, 2000) menyatakan, bahwa jika tujuan belajar adalah meningkatkan retensi
informasi jangka panjang, memotivasi mahasiswa untuk belajar lebih lanjut,
memungkinkan mahasiswa mengaplikasikan informasi dalam setting yang baru, atau

mengembangkan keterampilan berpikir mahasiswa, maka diskusi lebih baik daripada
kuliah/ceramah.

Mencermati beberapa hasil riset tersebut diatas, semakin mengukuhkan bahwa
metode pembelajaran aktif terbukti lebih efektif memberikan hasil berupa tercapainya
tujuan-tujuan pembelajaran yang lebih tinggi. Hisyam Zaini dkk juga menunjukkan
bahwa

memberi

pertanyaan

kepada

mahasiswa

dan

meminta

mereka

untuk


mendiskusikannya mampu meningkatkan nilai evaluasi dengan kenaikan yang signifikan.
Lebih jauh lagi, mahasiswa akan terlatih untuk berpikir secara kritis, kreatif dan penuh
tanggung jawab atas kegiatan pembelajarannya sendiri. Diskusi dan adu argumentasi
yang secara kontinyu dilakukan akan meningkatkan kompetensi komunikasi mahasiswa
yang sangat dibutuhkannya ketika mereka bekerja, begitupun akan melatih mereka untuk
saling menghargai ide atau pendapat orang lain. Menyelesaikan tugas-tugas secara
berpasangan atau dalam kelompok-kelompok kecil merupakan ajang untuk melatih kerja
sama tim yang juga sangat penting dalam dunia kerja dimana kita tahu bahwa kita tidak
mungkin mampu mencapai tujuan-tujuan organisasi sendirian. Merencanakan dan
mengatur jadwal penyelesaian tugas-tugas, akan melatih keterampilan pengorganisasian
yang sangat baik. Sementara menjadi ketua dan memimpin diskusi kelompok atau diskusi
kelas, akan menjadi ajang yang baik untuk melatih leadership.
PBL di FE Usakti
Melihat berbagai keuntungan atau benefit dari metobe pembelajaran aktif, tepat
kiranya jika Fakultas Ekonomi Usakti mencoba menerapkan metode ini dalam kegiatan
pembelajarannya. Dimulai dengan kelompok yang tidak terlalu besar, diharapkan dalam
jangka panjang metode ini akan semakin membudaya sehingga keinginan kita semua
untuk menciptakan lulusan yang kompeten pun akan terwujud.
Metode PBL (Problem Based Learning) merupakan salah satu metode

pembelajaran aktif yang populer diterapkan di berbagai perguruan tinggi di banyak
negara. Dalam metode ini mahasiswa dihadapkan pada masalah-masalah (problems/tasks)
yang harus diselesaikannya secara kelompok atau berpasangan. Masalah-masalah ini
diambil dari dunia nyata yang menuntut penyelesaian, tentu saja, berdasar konsep atau
teori yang tepat. Agar dapat menyelesaikannya mahasiswa harus aktif mencari berbagai

informasi atau pengetahuan atau konsep serta teori yang mendasari untuk kemudian
didiskusikan bersama-sama. Diskusi dapat terjadi selama di kelas bersama seluruh
anggota kelas maupun di luar kelas bersama kelompok-kelompok kerja masing-masing
agar dapat menyampaikan hasil tepat pada waktunya. Disini seluruh mahasiswa diberi
ruang untuk menunjukkan peran aktifnya, tanpa pandang bulu, sehingga memotivasi
mereka untuk menunjukkan bahwa sebenarnya mereka mampu berpendapat, memberi
masukan atau bahkan mengoreksi ide yang kurang tepat. Diskusi di kelas akan dipimpin
oleh seorang ketua, yang juga seorang mahasiswa anggota kelas bersangkutan secara
bergantian setiap sesinya.
Tujuan penerapan PBL ini tentu saja bukan hanya pada level pengetahuan atau
komprehensi, dimana mahasiswa hanya dapat mendefinisikan atau menginterpretasikan
berbagai ilmu. Atau bahwa tujuannya hanya mentransfer informasi dan pengetahuanpengetahuan saja ke mahasiswa. Namun lebih jauh dari itu, tujuan penerapan PBL adalah
untuk meningkatkan kompetensi-kompetensi atau keterampilan-keterampilan penting
yang terasah selama sesi-sesi diskusi berlangsung seperti keterampilan konseptual,

komunikasi, memberikan ide-ide, keterampilan mendengarkan, kerjasama, perencanaan
dan pengorganisasian, kepemimpinan, serta keterampilan teknis lainnya. Jika ini
terwujud, maka kita akan memiliki suatu keunikan dan nilai lebih dari lulusan yang kita
hasilkan. Tentu peran fakultas sangat vital disini, terutama dalam penyediaan berbagai
perangkat yang dibutuhkan serta penciptaan lingkungan yang kondusif.
Adakah kendala yang dihadapi? Tentu saja, karena melaksanakan suatu perubahan
memang tidak mudah. Apalagi perubahan strategi yang kemudian menuntut perubahanperubahan operasionalnya. Begitupun dengan penerapan PBL yang dapat dikatakan
sebagai bagian dari apa yang disebut dengan educational reform. Persepsi tentang peran
fakultas atau peran dosen dalam hal ini tentu perlu adanya penyesuaian, rasa
ketidaknyamanan atau kekhawatiran pun juga ada, termasuk kendala keterbatasan saranasarana atau sumber daya lainnya yang diperlukan untuk menfasilitasi perubahan tersebut.
Ada juga beberapa kekhawatiran lain yang juga muncul, termasuk wacana tentang
tidak tepatnya metode PBL diterapkan disini. Namun rupanya kekhawatiran ini tidak
perlu diteruskan, karena beberapa narasumber yang kompeten membantah hal tersebut.
Risiko lain yang mungkin muncul adalah kekhawatiran bahwa mahasiswa mungkin saja

tidak mau berpartisipasi, tidak mau berpikir secara higher-order, atau tidak mempelajari
materi secara memadai. Bonwell & Eison menegaskan bahwa kekhawatiran atau risiko
semacam ini dapat diatasi dengan sukses melalui perencanaan yang hati-hati dan
mendalam. Yang pasti, perubahan ini harus dimulai dengan kemauan dan usaha yang kuat
dari seluruh anggota fakultas.

Referensi
Bonwell, Charles C. & Eison, James A, 2000, Active Learning: Creating Excitement in
the Classroom, www.ntlf.edu.
Center for Teaching and Learning (Teaching Resources), 2000, Active Learning,
www.umn.edu.
Fink, L. Dee, 1999, Active Learning, www.hcc.hawaii.edu.
Hisyam Zaini, Bermawy Munthe & Sekar Ayu Aryani, 2002, Strategi Pembelajaran di
Perguruan Tinggi, Center for Teaching Staff Development (CSTD), IAIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta.
www.acu.edu, 2000, What is Active Learning.