SEJARAH NABI MUHAMMAD SAW DALAM PANDANGA
KRITIK TERHADAP PANDANGAN HENDRIK KRAEMER
MENGENAI SEJARAH NABI MUHAMMAD SAW
DALAM BUKU AGAMA ISLAM
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Islamic Worldview
Dosen Pengampu:
Dr. Adian Husaini
Oleh
Muhammad Isa Anshory
Oleh
Muhammad Isa Anshory
FAKULTAS PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
1434 H/2013 M
Dalam sejarah Kristenisasi di Indonesia, nama Hendrik Kraemer cukup terkenal.
Seperti halnya Christiaan Snouck Hurgronje yang merupakan tokoh sentral dalam studi
agama dan kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai Islam, Hendrik Kraemer menjadi
tokoh penting dan dalam waktu yang sama tokoh kontroversial bagi dunia gereja dan misi –
tidak hanya berkenaan dengan Indonesia, tetapi juga pada skala internasional. Selama 15
tahun (1922–1937) tinggal di Indonesia, Kraemer memberikan banyak kontribusi kepada misi
Kristen. Carl F. Hallencreutz menulis, “Kraemer dipercaya dengan sebuah tugas missi
khusus, yaitu membantu para misionaris Belanda dalam konfrontasi mereka dengan Islam di
Jawa… Untuk melaksanakan tugas ini, Kraemer menggunakan dan selanjutnya
mengembangkan pandangan-pandangannya mengenai pendekatan missi.”1
Aktivitas dan karya Kraemer tentu tidak bisa dilepaskan dari upaya menjalankan
tugas khusus di atas, termasuk penulisan buku Agama Islam. Barangkali, ini adalah satusatunya buku Kraemer yang diterjemahkan langsung oleh penulisnya bersama asistennya,
Cornelis Taroreh, ke dalam bahasa Indonesia sebagai buku pegangan bagi orang Kristen di
Indonesia untuk memahami Islam. Oleh karena itu, buku ini penting dikaji secara kritis.
A. Mengenal Hendrik Kraemer
Hendrik Kraemer dilahirkan sebagai anak yatim di Amsterdam, Belanda, pada 17 Mei
1888, dalam sebuah keluarga imigran miskin dari Jerman. Kehidupannya berpindah dari
asuhan satu keluarga ke keluarga lainnya. Beberapa di antara keluarga tersebut adalah
penganut sosialisme. Pada akhirnya, dia tinggal di sebuah panti asuhan sempit yang kental
nuansa agama Kristen Protestannya. Oleh karena latar belakang ini, saat usia 12 tahun, dia
menyatakan, “Suatu saat, saya pasti akan menjadi seorang Kristen atau seorang sosialis.”
Pada usia 16 tahun, Kraemer mengambil keputusan untuk menjadi seorang misionaris
setelah seorang misionaris dari Papua New Guinea membangkitkan perasaannya bahwa dia
pantas menjadi misionaris.2 Setahun berikutnya, dia masuk sekolah pelatihan misionaris di
Rotterdam (1905–1909) untuk mempersiapkan tugasnya di Indonesia, yang saat itu masih
menjadi daerah jajahan Belanda. Dia belajar secara otodidak bahasa Latin yang disukainya.
Akan tetapi, dia tidak berhasil menyelesaikan ujian akhirnya karena gagal pada pelajaran
dogmatik yang memang tidak pernah disukainya. Pada 1911, dia kemudian memulai lagi
1
Carl F. Hallencreutz, Kraemer Towards Tambaran; A Study in Hendrik Kraemer's Missionary Approach,
(Uppsala: Almquist & Wiksells, 1966), hlm. 161, 162.
2
Alain Blancy, “Hendrik Kraemer 1888–1965” dalam Ion Bria dan Dagmar Heller (ed), Ecumenical Pilgrims;
Profiles of Pioneers in Christian Reconciliation, (Switzerland: World Council of Churches, 1995), hlm. 124.
studinya di Universitas Leiden. Di sini, Kraemer belajar linguistik. Selama setahun, dia
berhasil mempelajari bahasa Indonesia. Selain itu, dia juga mempelajari bahasa Jawa.3
Di Universitas ini, Kraemer bertemu beberapa misionaris penting, seperti J.H.
Oldham dan John R. Mott, yang mengajaknya bergabung ke dalam Gerakan Mahasiswa
Kristen. Dia pun segera menjadi salah seorang pemimpin yang menonjol di organisasi ini.4 Di
Universitas Leiden ini pula, Kraemer bertemu dengan Christiaan Snouck Hurgronje yang
kemudian menjadi supervisornya untuk mendapatkan gelar doktoral. Kraemer menyelesaikan
studi pada 1921 dengan disertasi berjudul Een Javaanse Primbon in de Zestiende Eeuw.5
Kraemer sempat menghabiskan waktunya selama beberapa bulan di Paris untuk
belajar Islam kepada Massignon. Dia juga menghabiskan waktu selama empat bulan di
Universitas Al-Azhar Kairo.6 Hal ini menjadi bekal penting baginya untuk menghadapi umat
Islam di kemudian hari.
Pada 1922, Kraemer ditugaskan oleh Dutch Bible Society (Masyarakat Alkitab
Belanda) untuk bekerja di Indonesia. Selama di Indonesia, Kraemer pertama-tama tinggal di
Yogyakarta, kemudian pindah ke Malang. Kraemer memahami dengan baik kebudayaan Jawa
dan juga menguasai bahasa Jawa. Dia ditunjuk untuk membantu merevisi terjemahan Bibel
dalam bahasa Jawa. Dia juga diminta mempelajari kecenderungan yang lebih belakangan
dalam masyarakat Indonesia (terutama di kalangan kaum intelektual muda Jawa) dan
perkembangan dalam Islam.7 Oleh karena penguasaannya atas kebudayaan Jawa, dia ditunjuk
sebagai penasihat perhimpunan mahasiswa Jong Java pada sekitar 1924. Dia
menyebarluaskan gagasan menyingkirkan unsur-unsur Islam dari masyarakat Jawa. Dia juga
mempunyai pandangan negatif mengenai Islam dan kurang apresiatif dibandingkan dengan
banyak misionaris Belanda lain. Baginya, Islam pada saat yang sama bersifat superfisial,
dangkal, miskin kandungannya, dan sama sekali tidak punya nilai yang bisa ditawarkan
kepada manusia lain. Bagi banyak kalangan, Kraemer adalah simbol arogansi dan intoleransi
misionaris.8
Kepada para anggota perhimpunan Jong Java, Kraemer memberikan serangkaian
kuliah tentang agama Kristen, juga tentang teosofi dan Katolik. Para mahasiswa Muslim
3
Ibid. Lihat juga Jan A. B. Jongeneel, “Kraemer, Hendrik,” dalam Biographical Dictionary of Christian
Missions, ed. Gerald H. Anderson (New York: Macmillan Reference USA, 1998), hlm. 374.
4
Alain Blancy, “Hendrik Kraemer 1888–1965”, hlm. 125.
5
Jan A. B. Jongeneel, “Kraemer, Hendrik,”, hlm. 375.
6
Alain Blancy, “Hendrik Kraemer 1888–1965”, hlm. 125.
7
Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596–1942),
(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 162.
8
Alwi Shihab, Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 56–57.
karenanya menuntut agar perhimpunan juga mensponsori kuliah tentang Islam. Pemimpin
rapat, Raden Samsurijal, mengajukan proposal untuk maksud ini pada pertemuan tahunan
perhimpunan yang ketujuh, yang diadakan di Yogyakarta menjelang akhir 1924. Begitu
proposal tersebut ditolak, Samsurijal dan sejumlah simpatisannya keluar untuk mendirikan
perhimpunan baru, Jong Islamieten Bond.
Dalam diskusi hangat tentang perpecahan di kalangan perhimpunan pemuda ini,
pemimpin Muslim Haji Agus Salim dikatakan mempromosikan kuliah tentang Islam dan
perpecahan.9 Apa yang dia lakukan sebenarnya hanyalah respons terhadap upaya Kraemer
untuk melenyapkan unsur Islam berapa pun harganya dari Jong Java. Harga tersebut memang
mahal. Selama periode 1925–1942, JIB berkembang menjadi sebuah organisasi intelektual
muda Muslim yang percaya diri. JIB dengan gigih melakukan penentangan terhadap Katolik
dan Kristen; baik dari dalam maupun dari luar Dewan Rakyat. Selain itu, JIB juga
menerbitkan sejumlah artikel anti-Kristen dalam majalah Het Licht serta berbagai publikasi
lainnya. Kraemer dan sebagian besar kalangan misionaris menempatkan diri di luar, bahkan
menentang kelompok tersebut.10 Dia tinggal di Indonesia hingga 1937, kemudian kembali ke
negerinya di Belanda.
Sebagai seorang orientalis yang sekaligus juga misionaris, Kraemer sangat produktif
menulis. Berbagai tulisannya terbit dalam bentuk buku maupun artikel-artikel. Di antara
bukunya adalah:
1. Een Javaansche Primbon Uit De Zestiende Eeuw: Inleiding, Vertaling en
Aanteekeningen terbit 1921
2. Agama Islam terbit 1928 dalam dua jilid
3. De Strijd Over Bali en De Zending terbit 1933
4. Waarom Zending Juist Nú; Aan Studia Over Het Good Recht en De Noodzaak Der
Zending Juist In Den Tegenwoordingen Tijd terbit 1936
5. Kerk en Zending terbit 1936
6. Eenige Grepen Uit De Moderne Apologie Van Den Islam
7. De Islam Als Godsdientig en Als Zendingsprobleem terbit 1938
8. The Christian Massage in A Non-Christian World terbit 1938
9. From Missionfield to Independent Church: Report on A Decisive Decade in The
Growth of Indigenous Churches in Indonesia terbit 1958
10. A Theology of The Laity terbit 1958
9
Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian, hlm. 162-163.
Ibid, hlm. 163.
10
Hendrik Kraemer meninggal di Driebergen pada 11 Nopember 1965. Usianya ketika
meninggal adalah 77 tahun. Meski telah meninggal, buku-bukunya masih banyak yang
tersebar dan dikaji oleh generasi setelahnya.
B. Buku Agama Islam dan Pengaruhnya di Hindia Belanda/Indonesia
Buku Agama Islam pada mulanya diterbitkan dalam dua jilid. Jilid pertama terbit pada
1928, lalu jilid kedua terbit lima tahun berikutnya, yaitu pada 1933. Setelah itu, buku ini
mengalami dua kali cetak ulang dengan dijadikan satu jilid. Buku yang menjadi acuan dalam
tulisan ini adalah cetakan pertama (1928 dan 1933) dan cetakan ketiga (1952).
Masa terbitnya buku Agama Islam adalah masa dimana terjadi pergumulan yang
semakin sengit antara umat Islam dan umat Kristen di Indonesia yang saat itu masih bernama
Hindia Belanda. Pada masa tersebut, gerakan umat Islam telah banyak yang terorganisasi
rapi. Beberapa Muslim yang sempat mengeyam pendidikan Barat di sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial Belanda tampil menjadi tokoh dan pemimpin umat. Lulusan
sekolah Belanda itu justru berani mengkritik kebijakan pemerintah kolonial. Majalah-majalah
Islam, seperti Pembela Islam, Panji Islam, dan Pedoman Masyarakat, sering memuat
kritikan-kritikan tersebut. Perjuangan untuk membela hak-hak umat Islam dan melawan
Kristenisasi juga dilakukan di Volksraad (Dewan Rakyat) yang telah dibentuk sejak 1916.11
Sementara itu, kegiatan zending dan misi Kristen telah menyebar ke seluruh wilayah
Indonesia walaupun belum merata. Sampai masa tersebut, daerah berpenduduk Muslim tetap
menjadi benteng yang sulit ditaklukkan. Di daerah seperti ini, tidak jarang zending dan misi
mendapatkan permusuhan dan kebencian dari kaum Muslim. Dihadapkan pada sikap ini dan
karena menganggap Islamisasi superfisial terhadap sebagian besar masyarakat Indonesia,
banyak misionaris Kristen mudah membuat pernyataan-pernyataan yang merendahkan
tentang Islam dan umat Islam.12
Keadaan di atas sedikit maupun banyak turut mempengaruhi latar belakang ditulisnya
buku Agama Islam oleh Hendrik Kraemer. Orang-orang Kristen tertuntut untuk mengetahui
lebih banyak Islam karena mereka hidup di tengah-tengah umat Islam. Dalam bab
pendahuluan, Kraemer menjelaskan tujuan penulisan buku ini, "dengan maksoed hendak
memberikan penerangan kepada peladjar-peladjar sekolah goeroe Kristen serta poen akan
memperloeaskan pemandangan orang-orang Maséhi terpeladjar tentang agama Islam. Itoe
11
Muhammad Isa Anshory, Mengkristenkan Jawa; Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi
Misi Kristen, (Solo: Pustaka Lir Ilir, 2013), hlm. 137.
12
Ibid, hlm. 139.
perloe, sebab pergaoelan Maséhi dan Islam, makin lama makin rapat di dalam kehidoepan
sehari-hari."13
Kraemer menyatakan bahwa dia tidak bermaksud hendak membantahi agama Islam
dengan menulis buku ini, namun hendak menerangkan agama itu menurut pelajaran kitabkitab agama itu sendiri.14 Pernyataan Kraemer ini berlainan antara teori dan praktek. Pada bab
pendahuluan terbitan pertama (1928), dia menulis bahwa bukunya ini disusun berdasarkan
usaha dan pendapat para cendekiawan Eropa (orientalis) yang mempelajari seluk beluk
agama Islam.15 Beberapa referensi memang dari buku karya ilmuwan Muslim, namun
sebagian besarnya adalah buku karya para orientalis. Dari 120 judul buku yang dia jadikan
referensi pada cetakan ketiga (1952), buku karya ilmuwan Muslim hanya sebanyak 26.
Selebihnya adalah buku karya orientalis, seperti A.J. Wensinck, Carl Brockelmann, C.
Snouck Hurgronje, Ignaz Goldziher, H. A. R. Gibb, Philip K. Hitti, Arthur Jeffery, Th. W.
Juynboll, D. S. Margoliouth, Reynold A. Nicholson, S. M. Zwemmer, G. W. J. Drewes, dan
sebagainya.16 Pendapat para orientalis tersebut tentu banyak mempengaruhi pendapat
Kraemer dalam buku Agama Islam. Oleh karena itu, pendapatnya banyak yang tidak sesuai
dengan pendapat para ilmuwan Muslim.
Buku Agama Islam menjadi buku pegangan bagi orang Kristen untuk menilai dan
memandang Islam beserta umatnya. Pada saat terbitnya, dimana terjadi pergumulan sengit
antara umat Islam dan umat Kristen serta persaingan antara dakwah Islam dan zending
Kristen, buku ini menjadi senjata bagi orang Kristen untuk menyerang Islam dan
menanamkan keragu-raguan kaum Muslim terhadapnya. Menanggapi buku Kraemer ini,
seorang mubaligh Muhammadiyah Surakarta, R. Moehammad Sardjana, pada 1934
menerbitkan buku berjudul Agama Kristen. Sardjana menyatakan, H. Kraemer mempunyai
niat menunjukkan pengetahuannya tentang agama Islam kepada umat Islam. Melalui buku
ini, Kraemer berharap dapat membelokkan umat Islam dari agama Islam ke agama Kristen.
Selain itu, Kraemer juga memberi taktik untuk pegangan kepada umat Kristen bagaimana
cara membantah agama Islam. Berdasarkan hal demikian, Sardjana memandang perlu jika
umat Islam juga menerbitkan buku Agama Kristen. Buku ini diharapkan bisa memberi tahu
semua pihak pembaca bagaimana kepercayaan orang Islam kepada agama Kristen.17
13
Hendrik Kraemer, Agama Islam, Jilid I, (Bandung: Uitgave N.V. v/h A.C. NIX & Co, 1928), hlm. i.
Ibid.
15
Ibid.
16
Lihat Hendrik Kraemer, Agama Islam, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1952), hlm. 303–308.
17
R. Mohammad Sardjana , Agama Kristen, Jilid I, (Solo: A. Kadir, 1934), hlm. 4–5.
14
C. Pandangan Hendrik Kraemer Mengenai Sejarah Nabi Muhammad SAW
Kraemer menulis sejarah Nabi Muhammad menurut perspektif seorang orientalis
misionaris yang tidak percaya. Ketidakpercayaan ini dia tulis di beberapa tempat. Misalnya,
Kraemer menulis di halaman 24 cetakan ketiga (1952), “Kalau orang percaya Muhammad
sesungguhnya nabi, maka untuk orang itu firman ilahilah yang dikabarkan oleh Muhammad.
Akan tetapi untuk siapa tidak menaruh kepercayaan itu, tidak bisa tidak segala yang
dimaklumkan oleh Muhammad, meskipun luhur adanya, adalah buah fikiran Muhammad
belaka, yang tidak ada alasan untuk menganggapinya sebagai firman ilahi, atau pula yang
dicampurkan dengan firman ilahi sehingga tak dapat dipastikan mana perkataan manusia dan
mana firman Tuhan. Dari kedua golongan ini, golongan yang pertama ialah umat Islam, dan
golongan yang kedua ialah segala orang yang bukan Muslim.” Oleh karena Kraemer
termasuk golongan yang kedua, tentu dia memandang semua yang disampaikan Nabi
Muhammad bukanlah wahyu dari Tuhan, namun adalah buah pikiran Muhammad belaka.
Kraemer juga menulis di halaman 43, “Dengan ringkas, pengertian dan pemandangan
kami yang tidak beragama Islam ialah, meskipun Nabi Muhammad sebenarnya seorang
paling besar adanya, nyata juga di dalam riwayat hidupnya sifat-sifat kelemahan manusia.”
Dia menulis lagi di halaman 44, “Untuk kami yang tidak dapat menaruh kepercayaan penuh
kepada Nabi Muhammad, kalau bertemu dengan saudara-saudara kami yang beragama Islam,
hanya ada satu jalan saja. Jalan itu ialah memperingatkan saudara-saudara itu bahwa
kepercayaan kami, sebagai orang Kristen, sepenuh-penuhnya kami letakkan kepada Tuhan
Isa, karena kami percayai Tuhan itu bukan membaharui aturan serta hukum agama saja
melainkan hati manusia juga.” Di atas ketidakpercayaan inilah, Kraemer menulis sejarah
Nabi Muhammad.
Kraemer mulai menceritakan sejarah hidup Nabi Muhammad dari kelahiran dan masa
kecilnya. Di sini, dia sudah membuat kesalahan dengan menyatakan bahwa ayah Nabi
meninggal waktu Nabi baru berumur dua bulan. (halaman 16 cetakan ketiga) Kraemer lalu
menceritakan masa muda Nabi Muhammad. Pada masa ini, Nabi Muhammad sempat bekerja
sebagai penggembala kambing, kemudian sebagai pedagang yang membantu Khadijah
mengawal kafilah ke Mesir, Irak, dan Suria.
Kraemer meragukan ke-ummi-an Nabi Muhammad. Dia menulis, “Di Makkah, kota
yang ramai perniagaannya, memang ada banyak orang yang pandai menulis dan membaca.
Sungguh pun begitu, tak dapat dipastikan entah Nabi Muhammad tahu menulis dan membaca
atau tidak. Orang Muslim pada umumnya berpendapat bahwa Nabi sama sekali tidak tahu
menulis dan membaca. Mereka berasa hal yang demikian menghormati Nabi, sebab memang
ajaib sekali seorang yang buta huruf dapat menyampaikan kitab, yang indah bahasanya dan
isinya, kepada sesama manusia. Dalam surat Al-A‘raf (Sura 7, ayat 157 dan 158) Nabi
Muhammad digelar al-nabi al-ummi, yang menurut banyak orang Muslim dapat
diterjemahkan dengan: nabi yang buta huruf. Akan tetapi ada juga beberapa ahli bahasa Arab
yang berpendapat bahwa bukan demikian terjemahan yang seharusnya.” (hlm. 17)
Kraemer kemudian menjelaskan dalam footnote bahwa sebelum Muhammad menjadi
Nabi, kerap kali beliau berjalan jauh untuk berniaga. Menurutnya, tidak gampang seseorang
yang buta huruf melakukan pekerjaan sesulit itu. (hlm. 17) Selanjutnya, Kraemer berusaha
menjelaskan makna al-nabi al-ummi dan al-rasul al-ummi dalam surat Al-A‘raf. Menurut
kesimpulannya, meskipun perkataan ummi itu barangkali dapat berarti “bodoh” atau pula
“biasa”, namun yang dimaksud di dalam Al-Qur’an ialah nama yang seringkali dipakai oleh
orang Yahudi dan orang Masehi tentang orang Arab yang menyembah berhala itu. Kalau
begitu, perkataan ummi itu artinya: yang tidak berpengetahuan tentang kitab agama, atau:
yang bukan ahl al-kitab. Jadi perkataan al-nabi al-ummi itu, menurut Kraemer, jika
diterjemahkan menurut bunyi Al-Qur’an, berarti Nabi yang berasal dari orang yang bukan
ahl al-kitab. (hlm. 18)
Dengan menolak makna ummi sebagai tidak bisa membaca dan menulis, Kraemer
dalam halaman-halaman selanjutnya menggambarkan bahwa Nabi Muhammadlah yang
mengarang Al-Qur’an. Kraemer menulis, “Baiklah sekarang kita menyelidiki apa yang
menggerakkan hati Nabi, serta pula apa isi pengajarannya pada mula-mulanya. Sumber
pengetahuan kita dalam hal ini ialah Qur’an. Dalam Qur’an ternyata bahwa ada dua soal yang
diutamakan oleh Nabi. Yang pertama ialah pengajaran tentang Allah Yang Maha Siksa, Yang
bermurka lagi adil. Pada hari kiamat segala sesuatu akan binasa karena kebesaranNya dan
kemulianNya. Soal yang kedua ialah Nabi menyatakan berang hatinya tentang pencabulan,
kelaliman dan kedegilan hati penduduk Makkah; begitu pula tentang kelobaan mereka dan
penganiayaan terhadap orang miskin, orang lemah, perempuan janda dan anak-anak piatu.”
(hlm. 20-21)
Kraemer kemudian menulis bahwa pada mulanya, Nabi Muhammad memberitahu
penduduk Makkah tentang nikmat di dalam surga yang akan dirasakan oleh orang yang
menyerahkan diri kepada kehendak dan kuasa Allah serta siksa di dalam neraka bagi orang
yang tidak bertaubat. Oleh karena penduduk Makkah memperolokkannya, Nabi lalu mencoba
cara lain dengan menceritakan kisah nabi-nabi terdahulu, seperti Ibrahim, Musa, Lut, Saleh,
dan Hud. (hlm. 21)
Di halaman-halaman lain, Kraemer menulis beberapa kalimat untuk menunjukkan
bahwa Nabi Muhammad mengubah-ubah penyampaian firman Allah sesuai kondisi yang
dihadapinya. Di halaman 27, dia menulis bahwa pada mula dakwahnya, Nabi mengemukakan
hari kiamat. Rupa-rupanya, hari kiamat ini tertunda. Lambat laun isi ayat yang beliau siarkan
di hadapan orang Makkah berkurang hebatnya. Umpamanya, pada permulaannya Nabi
mengemukakan bahwa Allah ialah Raja Hari Kiamat (Malik yaum al-din). Kini yang
dikemukakannya tentang Tuhan ialah: Tuhanlah Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, Yang
mengadakan langit dan bumi. Beliau tetap mencela orang-orang Makkah, tetapi kini alasan
yang dikemukakannya ialah sebab mereka tidak menyembah Allah Yang Esa melainkan
berhala yang banyak. Mereka dinamainya musyrik, artinya yang memberikan kawan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. (hlm. 27)
Menurut Kraemer, pengajaran Nabi Muhammad itu berasal dari pengaruh kitab agama
Yahudi dan Masehi. Nabi sangat memperhatikan orang Masehi atau orang Yahudi ketika
membaca kitab-kitab agama masing-masing atau kalau mereka berdoa. Dari sinilah,
kemudian timbul pertanyaan dalam hati Nabi: apa sebabnya bangsaku tidak berbuat
sedemikian? Niscaya celaka kami, kalau kami tidak mempunyai kitab agama sendiri, seperti
orang Masehi dan orang Yahudi. Akan tetapi, menurut Kraemer, Nabi Muhammad ternyata
salah sangka dan salah paham terhadap agama Yahudi dan Masehi. Disangkanya orang
Yahudi, begitu pula orang Masehi, sebangsa, sebahasa dan seasal, seperti orang Arab.
Berbeda dengan bangsa Yahudi, umat Masehi itu berbagi-bagi bangsanya dan bahasanya.
(hlm. 22)
Dengan keinsafan, Muhammad menjadi Nabi dan Rasul setelah melakukan
perenungan terhadap beberapa pertanyaan mengenai penantian bangsa Arab akan
dinyatakannya firman ilahi kepada mereka dengan bahasa Arab sebagaimana telah dinyatakan
kepada bangsa-bangsa lainnya, kapan dan bagaimana caranya firman ilahi itu akan
dinyatakan, serta siapa yang dipilih untuk menjadi pesuruh. Setelah sempat ragu, lambat laun
hati Nabi yakin dan insaf bahwa firman Allah akan dinyatakan kepada bangsa Arab juga dan
pengantarnya tidak lain adalah Muhammad. (hlm. 23) Jadi, kenabian dan kerasulan
Muhammad, menurut Kraemer, adalah melalui perenungan-perenungan. Setelah melakukan
perenungan, Muhammad mengangkat dirinya sendiri menjadi nabi dan rasul. Kraemer
menulis bahwa kenabian Muhammad sangat dipengaruhi oleh proses pergerakan dan
perkembangan jiwa yang sangat sukar diuraikan. Dia akhirnya menyatakan
ketidakpercayaannya terhadap kenabian Muhammad. (hlm. 24)
Seringkali orang Makkah mengganggu Nabi Muhammad dan orang-orang yang
mengikutinya. Oleh karena banyak kesusahan dan perlawanan yang dideritanya antara tahun
616 dan 618 M, Nabi Muhammad merasa sangat khawatir sehingga berniat berdamai dengan
orang Makkah. Kraemer menukil sebuah kisah yang menurutnya diceritakan dalam kitabkitab sejarah karangan orang Muslim dahulu. Suatu ketika, Nabi Muhammad mengaji di
hadapan orang Makkah. Nabi mengakui tiga tuhan sesembahan orang Makkah yaitu: Al-Lata,
Al-‘Uzza, dan Al-Manat. Akan tetapi, tidak lama kemudian Nabi menyesali perbuatannya.
Nabi memberitahukan bahwa pengakuannya itu tidak berdasarkan wahyu dari Allah, namun
waswas dari Iblis. (hlm. 26) Kraemer kemudian menulis di footnote bahwa kisah itu terdapat
dalam Al-Qur’an surat An-Najm: 19-20. Kisah ini dikenal dengan kisah gharaniq.
Pada mulanya, Nabi Muhammad tidak bermaksud sama sekali mengajarkan agama
yang baru. Maksud beliau semata-mata memasyhurkan firman ilahi dengan bahasa Arab,
seperti seringkali sudah disiarkan oleh nabi-nabi lain dengan bahasanya masing-masing.
(hlm. 24) Nabi berpendirian bahwa agama Islam sama dengan agama Yahudi dan Masehi. Hal
ini terjadi pada periode Makkah. (hlm. 25 dan 32) Akan tetapi, pendirian ini berubah setelah
Nabi hijrah ke Madinah. Orang Yahudi yang semula diharapkan akan menjadi sahabatnya
yang erat ternyata malah memperolok-olokkan Nabi Muhammad dengan mengatakan hikayat
nabi-nabi yang beliau ceritakan, apalagi segala yang beliau sebut wahyu ilahi, sama sekali
tidak sesuai dengan isi Kitab Taurat. Nabi kemudian menuduh mereka memalsukan isi Kitab
Taurat. Selanjutnya, Nabi mulai mengemukakan bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab
yang sejati lagi cocok isinya dengan isi kitab-kitab yang diturunkan Tuhan kepada nabi-nabi
dahulu kala, sedangkan Kitab Taurat dan Kitab Injil sebetulnya bukan Kitab Taurat dan Kitab
Injil yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. Nabi kini juga mengajarkan
bahwa agama Islam berdiri sendiri, sedangkan agama Yahudi dan Masehi berlawanan dengan
agama Islam. Jadi, menurut Kraemer, pendapat Nabi Muhammad yang baru ini ditimbulkan
oleh perselisihan beliau dengan orang Yahudi karena penolakan mereka terhadap agama yang
disampaikannya. (hlm. 32-33)
Di Madinah, Nabi Muhammad dan umat Islam hidup dalam kekurangan. Kraemer
menulis bahwa menurut adat Arab, dalam keadaan begitu jarah menjarah dianggap
pencaharian yang halal. Oleh karena itu, tidak mengherankan Nabi Muhammad dengan
pengikutnya mengintai orang-orang kafilah bangsa Quraisy dari Makkah. Selanjutnya,
terjadilah Perang Badar pada Ramadhan tahun 624 M. Pihak Muslim menang dan berhasil
merebut harta jarahan yang amat besar sehingga lepaslah mereka dari kemiskinan. Karena
mujur dalam jarah menjarah, makin lama makin besarlah pengaruh Nabi Muhammad di
Madinah. Kini Nabi mencampuri perkara-perkara duniawi sehingga terperosok dalam adat
kelakuan duniawi. (hlm. 33-34)
Setelah posisinya kuat dan berkuasa di Madinah, Nabi Muhammad menindak kaum
Yahudi yang menjadi rintangan bagi beliau. Yang pertama diserbu ialah Banu Qainuqa’.
Sehabis perang Uhud, Nabi menyerang Banu Nadhir dengan, menurut Kraemer, salah satu
alasan yang tidak penting untuk kita ketahui sekarang. Mereka terpaksa lari ke Khaibar, 30
km di sebelah utara Madinah. Hanya barang yang terbawa boleh dibawanya. Tanah mereka
diberikan Nabi kepada golongan Muhajir. Suku Yahudi berikutnya yang ditindak Nabi adalah
Banu Quraizah. Oleh sebab mereka selama Perang Parit (Khandaq) tidak menyatakan
pendiriannya, entah membantu entah melawan Nabi, mereka diserang dan ditaklukkan. Yang
laki-laki dibunuh, sedangkan yang perempuan beserta kanak-kanak dijual. (hlm. 34-35)
Dalam dua halaman ini, Kraemer menggambarkan bahwa Nabi lah yang salah dengan
melakukan tindak kezaliman terhadap orang-orang Yahudi.
Kraemer selanjutnya menceritakan peristiwa Perjanjian Hudaibiyah dan Fathu
Makkah. Di sini, dia membuat kesalahan bahwa Perjanjian Hudaibiyah dilatarbelakangi oleh
gagalnya keinginan orang Muslim untuk berziarah (umrah) dan menaklukkan kota Makkah.
(hlm. 38) Kesalahan lainnya, dia menyatakan bahwa Abbas, paman Nabi Muhammad, baru
masuk Islam setelah Perjanjian Hudaibiyah. (hlm. 38) Selain dua kesalahan ini, di bagian
akhir tulisannya mengenai Sejarah Nabi Muhammad, Kraemer juga membuat kesalahan
dengan menulis bahwa beberapa saat setelah Nabi meninggal, Umar mendatangkan
keputusan dengan memaksa orang Madinah melantik Abu Bakar jadi pengganti Nabi
Muhammad. (hlm. 41)
Demikianlah pandangan Hendrik Kraemer tentang sejarah Nabi Muhammad. Terlalu
banyak kesalahan yang dia tulis dalam 31 halaman (dari hlm 15 hingga 46) di buku Agama
Islam. Makalah ini hanya menampilkan beberapa kesalahan pokok. Selanjutnya, makalah ini
akan menampilkan kritik terhadap pandangan Hendrik Kraemer yang sudah ditulis secara
ringkas tadi.
D. Kritik terhadap Pandangan Hendrik Kraemer
Dari ringkasan pandangan Hendrik Kraemer mengenai sejarah Nabi Muhammad tadi,
ada beberapa poin pokok yang perlu dikritisi, yaitu:
1. Makna Ummi
Menurut Kraemer, makna ummi dalam QS Al-A‘raf: 157 dan 158 yang paling tepat
adalah Nabi yang berasal dari orang yang bukan ahl al-kitab. Marilah kita lihat penjelasan
para ulama mengenai makna ummi. Ibnul Manzhur dalam Lisân Al-‘Arab mengatakan bahwa
ummi adalah orang yang tidak bisa menulis. Dia lalu menukil perkataan Az-Zajaj, “Ummi
adalah orang yang berada pada fitrah (kondisi pembawaan) suatu bangsa. Dia tidak
mempelajari tulis menulis sehingga berada dalam bentuk mulanya.” Ibnu Manzhur juga
menukil perkataan Abu Ishaq, “Makna ummi adalah dihubungkan pada kondisi saat
dilahirkan oleh ibunya, yaitu tidak bisa menulis. Jadi, orang ummi itu tidak bisa menulis
karena tulis menulis adalah kemampuan yang diperoleh melalui usaha. Kata ini menunjukkan
seakan-akan dihubungkan pada kondisi saat dia dilahirkan atau saat ibunya melahirkannya.”
)إنناَّ أ أم ة أ.18 “Kami adalah
Dalam sebuah hadits disebutkan (ُسب
مي ن ة
و ل ل نل ك
ح أ
ةأ م
ن
ة ل ل ن لك كأتبُ ل
umat yang ummi. Kami tidak bisa menulis dan menghitung.” Maksudnya, mereka dalam
keadaan semula saat dilahirkan ibu mereka. Mereka tidak menguasai tulisan dan hitungan.
Jadi, mereka berada dalam keadaan pembawaan seperti saat pertama dilahirkan.
عثِت إللىَ أ أم أ
19
Dalam hadits lain disebutkan (منية
ن ة
ةأ م
)ب أ ع أ ع. “Aku diutus kepada umat
yang ummi.” Bangsa Arab disebut ummi karena di kalangan mereka sangat jarang yang bisa
tulis menulis. Nabi Muhammad saw disebut ummi karena bangsa Arab (saat itu) tidak bisa
menulis dan membaca tulisan. Allah mengutus beliau sebagai seorang rasul dalam keadaan
tidak bisa menulis dan membaca tulisan apa pun. Keadaan ini adalah salah satu tanda
mukjizat-Nya karena Nabi saw membacakan kitabullah kepada mereka dengan disyairkan
dari waktu ke waktu. Beliau membacakan dengan susunan yang diturunkan kepadanya tanpa
menngubah kata-katanya. Demikian Ibnu Manzhur menjelaskan.20
Dalam kitab-kitab tafsir, para ulama mengartikan kata ummi yang terdapat dalam QS
Al-A‘raf: 157 dan 158 sebagai orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Makna ini
dikemukakan oleh banyak ulama, seperti Muqatil bin Sulaiman21, Ath-Thabari22, Az-Zajaj23,
Al-Mawardi 24, Al-Wahidi25, As-Samarqandi26, dan Ibnul Jauzi.27 Selain makna ini, sebagian
18
HR Bukhari dan Muslim.
HR Ibnu Hiban.
20
Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414), 12/34.
21
Muqatil, Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, 1423 H), 2/67.
22
Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jâmi‘ Al-Bayân ‘An Ta’wîl Ayyi Al-Qur’ân, (Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 2000),
2/259.
23
Az-Zajaj, Ma‘ân Al-Qur’ân wa I‘râbuhu, (Beirut: ‘Alam Al-Kutub, 1988), 1/159.
24
Al-Mawardi, An-Nukat wa Al-‘Uyȗn, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tt), 1/149.
25
Al-Wahidi, Al-Wajîz fî Tafsîr Kitâb Al-‘Azîz, (Damaskus: Dar Al-Qalam, 1415 H), hlm. 416.
26
Abul Laits As-Samarqandi, Bahr Al-‘Ulȗm, (Maktabah Syamilah: 556).
27
Ibnul Jauzi, Zâd Al-Masîr fi ‘Ilm At-Tafsîr, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2009), 2/208.
19
ulama juga ada yang mengartikan ummi di sini sebagai orang yang berasal dari Ummul Qura
(Makkah), seperti As-Samarqandi28 dan Ibnul Jauzi.29
Dari sekian banyak pendapat para ulama, kata ummi diartikan sebagai orang yang
tidak bisa membaca dan menulis. Tidak ada yang mengartikan ummi sebagai orang yang
bukan Ahl Al-Kitab. Memang, dahulu orang Yahudi menyebut orang Arab sebagai orang
ummi. Sebutan ini bukan karena orang Arab adalah bangsa non-Yahudi, namun karena orang
Arab saat itu sangat sedikit yang bisa membaca dan menulis.
2. Nabi Muhammad Mengarang Al-Qur’an
Dalam beberapa ungkapan, Kraemer menggiring pembaca buku Agama Islam untuk
mempercayai bahwa Al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Prof. Dr. Wan Mohd. Nor Wan
Daud membantah pendapat bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad. Dalam
buku Konsep Pengetahuan dalam Islam, dia mengemukakan beberapa argumen yang
menunjukkan secara rasional bahwa bukan Nabi Muhammad, juga bukan orang lain, yang
menyusun Al-Qur’an, kemudian mengubahnya sebagai wahyu Tuhan. Pertama, Al-Qur’an
sendiri menantang orang-orang yang ragu di enam tempat tentang sumber ketuhanannya. 30
Al-Qur’an mengundang orang-orang yang ragu agar mencari ketidaksesuaian pesan dan
kandungannya (An-Nisa’: 82), atau membuat sepuluh surat (Hud: 13-14) atau satu surat saja
yang semisal (Al-Baqarah: 23-24, Yunus: 38) dengan minta pertolongan semua manusia dan
jin. Secara jelas, Al-Qur’an merupakan pencapaian tertinggi dalam bahasa Arab.
Ketidakmungkinannya untuk ditiru inilah yang dianggap oleh kaum Muslimin sebagai alasan
utama bahwa ia berasal dari Tuhan.
Kedua, asumsi bahwa Al-Qur’an merupakan produk sastra Muhammad sendiri secara
sadar tidaklah benar karena beberapa alasan. Jauh sebelum menjadi nabi (berdakwah), beliau
sudah dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya (al-amin). Tetapi beliau tidak pernah
dikenal sebagai orang yang suka membaca atau menulis karya-karya sastra atau syair.
Ketiga, sikap Nabi terhadap Al-Qur’an harus dipertimbangkan. Nabi Muhammad
tidak hanya menta‘zimkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pertama-tama membaca doa
ta‘awwudz dan basmalah sebelum membaca Al-Qur’an, tetapi juga terus-menerus membaca
ayat-ayat itu baik ketika dalam kesendirian ataupun ketika bersama para sahabat. Jika AlQur’an ciptaannya sendiri, ia tidak perlu membaca ayat-ayatnya di rumahnya sendiri untuk
memohon petunjuk dan kekuatan. Ia juga diketahui memanfaatkan banyak waktu malamnya
28
Abul Laits As-Samarqandi, Bahr Al-‘Ulȗm, (Maktabah Syamilah: 556).
Ibnul Jauzi, Zâd Al-Masîr fi ‘Ilm At-Tafsîr, 2/208.
30
QS Al-Baqarah: 23, An-Nisa’: 82, Yunus: 38, Hud: 13-14, Al-Isra’: 88, dan Ath-Thur: 34.
29
untuk shalat dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan seringkali menangis sedalamdalamnya.
Keempat, tema-tema yang terputus-putus dan beragam masih menjadi sifat ayat-ayat
yang konsisten dan utuh yang, sejak awal sekali, dipahami sesuai dengan konteks sosiohistoris ayat-ayat tertentu, adalah bukti bahwa Al-Qur’an tidak dapat dikuasai oleh pikiran
manusia. Seorang penulis akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengetengahkan
alur pikirannya yang teratur dan runtut, dan hasilnya akan, dalam semua kemungkinan –jika
dia harus menulis secara sporadis dalam situasi yang meliputinya secara emosional dalam
rentang waktu 23 tahun– tetap penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi serta tidak
membentuk suatu hal yang dapat dipikirkan secara keseluruhan. Pada sisi lain, sifat
kandungan Al-Qur’an yang terputus-putus dan secara historis berlawanan, memberikan satu
petunjuk dan rujukan bagi pemahaman dan pelaksanaan kaum Muslimin secara permanen.
Kelima, penyebutan Al-Qur’an tentang kelemahan dan kemanusiaan Muhammad
benar-benar tidak sesuai dengan sikap orang yang ingin mengklaim menerima pengetahuan
atau ilham dari Tuhan. Ia tentu tidak mau menunjukkan kecenderungan kesalahan
manusiawinya jika kasusnyab demikian. Al-Qur’an mengkritik beberapa tindakan Nabi
Muhammad di beberapa tempat (misalnya QS ‘Abasa: 1-5) dan di tempat lain
memperingatkannya dari pemutarbalikan wahyu Tuhan (QS Al-Isra’: 73-75)
Keenam, Al-Qur’an di samping mempunyai ayat-ayat tentang berbagai tema dan
ungkapan yang tumpang tindih, namun ia tetap hanya sebagai buku yang mudah dihapal, baik
sebagian maupun keseluruhan. Banyak kaum Muslimin yang, meskipun tidak memahami
bahasa Al-Qur’an, dapat menghapalnya di luar kepala. Al-Qur’an secara langsung menaungi
dan selalu menaungi sejarah kaum Muslimin. Mereka akan selalu menggunakannya sebagai
petunjuk dan sumber inspirasi. Al-Qur’an sendiri telah menetapkan tantangan bagi para
pencelanya agar membuat buku petunjuk yang lebih baik (QS Al-Qashash: 49)
Dengan demikian, jelas bahwa Muhammad saw atau orang lain tidak dapat
menghasilkan kitab semisal Al-Qur’an karena Al-Qur’an berasal dari Tuhan.31
3. Ajaran Nabi Muhammad Terpengaruh Agama Yahudi dan Masehi
Pandangan Hendrik Kraemer ini sebenarnya bukanlah pandangan baru. Dia hanya
menyampaikan kembali pandangan para orientalis sebelumnya. Sebagian orientalis
memandang bahwa kenabian Muhammad sebagai imitasi dari nabi-nabi dalam Bibel.
Menurut Gustave E. von Grunebaum, ajaran Yahudi dan Kristen merupakan instrumen bagi
31
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, (Bandung:Pustaka, 1997), hlm. 1-4.
Muhammad dalam membentuk ide-ide kenabiannya. Ahrens lebih menekankan agama
Kristen sebagai sumber awal inspirasi Muhammad. Pada awal kehidupannya, Muhammad
terpengaruh oleh Kristen di wilayah Hijaz. Oleh karena itu, agama Kristen lebih dominan
mempengaruhi Muhammad dalam merumuskan ajarannya. J. Wellhausen memandang
Muhammad adalah murid pendeta Kristen dari arah selatan (Yaman). Sementara itu, Richard
Bell melihat pengaruh Kristen terutama dari arah utara (Syria) karena Kristen Syiria yang
menolak penyaliban Yesus serta doktrin mengenai Maryam. Arthur Jeffery juga berpendapat
bahwa Bibel merupakan sumber awal pengetahuan Muhammad sebagai basis kerasulannya.
Konsep tentang nabi, rasul, wahyu, dan kitab suci diambil dari Bibel.32
Mengapa para orientalis tadi menyatakan bahwa ajaran Nabi Muhammad terpengaruh
agama Yahudi dan Kristen? Menurut Moh. Natsir Mahmud, mereka melakukan itu karena
motif politik. Para orientalis tadi hidup pada masa kolonial ketika Dunia Islam masih berada
di tangan imperialisme Barat. Imperialisme tidak dapat dipisahkan dari Kristenisasi. Pada
abad 19, kegiatan imperialisme semakin meningkat dan agama Kristen menjadi salah satu
media imperialisme. Para sarjana Barat ahli agama Kristen, seperti J. Wellhausen, berusaha
mencari naskah Bibel yang asli untuk memperkokoh kedudukan Kristen, namun tidak
berhasil. Memperkokoh kedudukan Kristen tidak hanya dilakukan dengan merenovasi agama
itu, tetapi juga menyerang agama bangsa jajahan, terutama Islam diletakkan sebagai agama
sub-ordinat, lebih rendah dari agama Kristen karena merupakan tiruan dari agama Kristen.
Sikap ini menyuburkan kembali apologi Kristen terhadap Islam seperti apologi pada masa
Perang Salib.33
Di kalangan orientalis sendiri, ada yang menolak pengaruh agama Yahudi dan Kristen
terhadap Nabi Muhammad. Misalnya, Philip K. Hitti menyatakan bahwa kedua agama itu
tidak pernah menarik minat orang Arab di Hijaz dan sekitarnya, kecuali beberapa orang
tertentu. J. Fuck juga menolak pengaruh agama Yahudi dan Kristen terhadap Muhammad,
karena bila Muhammad terpengaruh agama itu akan membawa pada kontradiksi yang sulit
diatasi. Misalnya saja tentang konsep ketuhanan. Meskipun demikian, J. Fuck juga
menempatkan Islam lebih rendah dari Kristen.34
4. Kisah Gharaniq
32
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Berbagai Pendekatan Barat dalam Studi Islam, (Kudus: MASEIFA
Jendela Ilmu, 2013), hlm. 127.
33
Ibid, hlm. 128.
34
Ibid, hlm. 129.
Kisah gharaniq, yaitu kisah damainya Nabi Muhammad saw dan mau mengakui
tuhan-tuhan sesembahan orang Quraisy pada saat mereka tidak berhenti mengganggu dakwah
beliau, adalah kisah yang sumbernya sangat lemah, bahkan tidak jelas. Kisah ini memang
sempat ditulis oleh beberapa mufassir dan penulis sejarah Nabi. Kemudian, sekelompok
orientalis, seperti Sir William Muir, menyebarkan dan mempertahankan cerita ini. Sebenarnya,
cerita ini penuh dengan kontradiksi. Oleh karena itu, Ibnu Ishaq tidak ragu-ragu menyatakan
bahwa cerita ini adalah hasil karya orang-orang atheis.35
Muhammad Husain Haekal mengkritik cerita ini dengan mengemukakan beberapa
argumen. Pertama, cerita ini kacau dari segi ilmiah. Apabila cerita ini diteliti secara ilmiah,
ternyata ia tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Cerita ini dimuat dalam beberapa sumber
yang beraneka ragam. Adanya keanekaragaman sumber itu menunjukkan bahwa hadits-hadits
yang dijadikan sumber tersebut palsu dan buatan orang atheis, seperti dinyatakan oleh Ibnu
Ishaq. Tujuannya adalah hendak menanamkan kesangsian tentang kebenaran dakwah
Muhammad dan risalah Tuhan.
Kedua, konteks surat An-Najm menolak. Bukti lain yang lebih kuat dan pasti ialah
konteks atau susunan surat An-Najm yang sama sekali tidak menyinggung soal gharaniq.
Konteks itu seperti dalam firman Allah berikut, “Sesungguhnya dia telah melihat sebagian
tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. Maka apakah patut kamu (hai orangorang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-‘Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling
terakhir (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan
untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya;
Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka.
Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (An-Najm: 18-23)
Susunan ini jelas sekali bahwa Lata dan ‘Uzza adalah nama yang dibuat-buat oleh
kaum musyrik dan leluhur mereka, sedangkan Allah tidak memberikan satu keterangan pun
untuk menyembahnya. Bagaimana mungkin susunan itu akan berjalan sebagai berikut, “Maka
apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-‘Uzza, dan
Manah yang ketiga, yang paling terakhir (sebagai anak perempuan Allah)? Itu gharaniq yang
luhur, perantaraannya dapat diharapkan. Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan
untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.
35
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993), hlm. 116.
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya;
Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya.”
Susunan ini rusak, kacau, dan bertentangan satu sama lain. Dari pujian kepada Lata,
‘Uzza, dan Manat yang paling terakhir dan celaan dalam empat ayat berturut-turut tidak dapat
diterima akal. Tidak akan ada orang yang berpendapat begitu.
Ketiga, segi semantik. Muhammad Husain Haekal menukil argumen Muhammad
Abduh. Menurut Muhammad Abduh, belum pernah ada orang Arab yang menamakan dewadewa mereka dengan gharaniq; baik dalam sajak-sajak atau dalam pidato-pidato mereka.
Tidak ada pula berita yang dibawa orang bahwa nama demikian itu pernah dipakai dalam
percakapan mereka. Akan tetapi, yang ada adalah sebutan ghurnuq dan ghirniq sebagai nama
sejenis burung air, entah hitam atau putih, serta sebutan untuk pemuda yang putih dan tampan.
Dari semua itu, tidak ada yang cocok untuk diberi arti dewa. Orang-orang Arab dahulu juga
tidak ada yang menamakannya demikian.
Keempat, kejujuran Nabi Muhammad tidak membenarkan adanya cerita ini. Sejak
kecil, semasa kanak-kanak, dan semasa dewasa, belum pernah terbukti beliau berdusta,
sehingga beliau diberi gelar “Al-Amin” pada waktu usianya belum lagi mencapai dua puluh
lima tahun. Orang yang sudah dikenal sejak kecil hingga usia tuanya begitu jujur, bagaimana
bisa dipercaya bahwa beliau mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Allah, lalu beliau lebih
takut kepada manusia daripada kepada Allah? Hal ini tidak mungkin.36
5. Nabi Muhammad Melakukan Penjarahan
Kraemer menyatakan bahwa kehidupan Nabi Muhammad dan umat Islam di Madinah
berada dalam kekurangan. Oleh karena itu, beliau beserta umatnya melakukan penjarahan
terhadap kafilah dagang Quraisy dalam Perang Badar sehingga terbebas dari kemiskinan.
Karena sukses dalam penjarahan, pengaruh beliau di Madinah semakin besar. (hlm. 33-34)
Dengan gambaran tadi, Kraemer hendak membangun citra negatif terhadap Islam.
Memang dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa Nabi saw memerintahkan para
sahabatnya untuk menghadang kafilah dagang Abu Sufyan yang kembali dari Syam.
Kalaupun kaum Muslimin mengambil barang-barang dari kafilah dagang tersebut, hal ini
sebenarnya adalah tindakan balasan atas perampasan yang dilakukan oleh orang-orang
Quraisy terhadap harta mereka di Makkah. Orang Quraisy telah menyakiti kaum Muslimin
dan mengusir mereka dari kampung halamannya setelah lebih dahulu menimpakan
bermacam-macam hal yang tiada tertanggung rasa sakitnya. Harta benda yang tertinggal di
36
Ibid, hlm. 120-122.
Makkah, sebab kaum Muslimin hijrah, diambil saja dengan paksa. Oleh karena itu, setelah
Rasulullah mendirikan negaranya di Madinah, “hutang piutang” dengan kaum musyrikin
inilah yang hendak diselesaikannya lebih dahulu.37
Upaya penghadangan ini pun gagal. Abu Sufyan mengetahui bahwa kafilahnya akan
dihadang. Dia bersama rekan-rekannya kemudian memutar jalur dan meminta bantuan orang
Quraisy. Di Makkah, orang Quraisy segera mempersiapkan pasukan. Di bawah pimpinan Abu
Jahal, seribu orang Quraisy berangkat dengan tekad memerangi Nabi Muhammad dan kaum
Muslimin. Sementara itu, Nabi Muhammad dan kaum Muslimin hanya berjumlah 313 orang.
Itupun berangkat meninggalkan Madinah tanpa ada niat untuk berperang. Kedua pasukan
yang dari segi jumlah, persenjataan, dan persiapan tidak imbang ini akhirnya bertemu di
Sumur Badar. Pasukan kaum Muslimin berhasil meraih kemenangan. Mereka mendapatkan
harta yang ditinggalkan oleh pasukan Quraisy.38 Dalam situasi perang, sudah lazim pihak
yang menang akan mendapatkan harta pihak yang kalah. Pada zaman modern ini pun, kita
sering melihat bangsa Barat melakukan berbagai macam kejahatan dan tipu muslihat untuk
merampas harta kekayaan kaum Muslimin; baik melalui perang militer maupun penekanan
politik.
Saat pertama datang ke Madinah, harta perbekalan kaum Muslimin dari Makkah
(Muhajirin) nyaris habis. Mereka bisa terus bertahan, bahkan terbebas dari kemiskinan, bukan
karena sukses dalam penjarahan. Kaum Muslimin Madinah (Anshar) rela berbagi harta
dengan saudara mereka yang datang dari Makkah. Sebagian kaum Muhajirin menerima harta
dari kaum Anshar. Sebagian yang lain menolak dan lebih memilih melakukan usaha sendiri
untuk mencari nafkah. Dalam kelompok terakhir ini, ada Abdurrahman bin Auf yang
meminta ditunjukkan di mana pasar Madinah. Dia merintis dagang hingga akhirnya sukses.
Selain berdagang, ada sahabat lain yang memilih bercocok tanam, seperti Abu Bakar, Umar,
Ali, dan lainnya.39 Jadi, kaum Muhajirin terbebas dari kemiskinan karena kerja keras mereka.
6. Nabi Muhammad Menzalimi Kaum Yahudi
Pada saat awal datang di Madinah, Nabi Muhammad berusaha menjalin persahabatan
dan mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi. Semula kaum Yahudi menyambut baik
kedatangan beliau dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus
merangkulnya ke pihak mereka. Selain itu, mereka berharap bisa meminta bantuan kepada
beliau untuk membentuk sebuah Jazirah Arab. Dengan demikian, mereka akan dapat
37
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Singapura: Pustaka Nasional, 2006), hlm. 124.
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 248-260.
39
Ibid, hlm. 197-198.
38
membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi –bangsa pilihan Tuhan– dari Palestina,
sebuah tanah yang dijanjikan untuk mereka.40
Ketika ajaran Nabi Muhammad semakin meninggalkan pengaruh di Madinah dan
banyak orang datang untuk menyatakan keislamannya, kaum Yahudi mulai memikirkan
kembali posisi mereka terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka kemudian
membuat ulah untuk melemahkan kekuatan kaum Muslimin di Madinah, seperti berusaha
mengungkit-ungkit permusuhan suku Aus dan Khazraj pada zaman jahiliyah agar kedua
pihak ini kembali bermusuhan.41
Kabilah Yahudi, Banu Qainuqa‘, mengkhianati janji, menyebarkan hasutan dan cacian
terhadap Nabi, serta menantang kaum Muslimin agar berperang melawan mereka. Oleh
karena itu, Nabi menghukum mereka dengan mengepung mereka selama 15 hari, lalu
mengusir mereka dari Madinah.42 Kabilah Yahudi lainnya, Banu Nadhir, juga mengkhianati
perjanjian damai. Pada waktu Rasulullah bersama beberapa orang sahabat bertamu di salah
satu rumah mereka, bersepakatlah mereka untuk membunuh Nabi saw dengan cara
menjatuhkan batu dari loteng. Nabi diberitahu oleh malaikat Jibril tentang rencana jahat
mereka sehingga berhasil selamat. Sebagai hukuman, Nabi mengultimatum mereka untuk
meninggalkan kampung halaman mereka. Pada mulanya mereka bersedia, namun berubah
sikap setelah Abdullah bin Ubay berjanji akan membantu mereka dengan mengirimkan 2000
pasukan. Merasa ada yang mendukung, mereka semakin berani melawan kaum Muslimin.
Saat Nabi saw bersama pasukan kaum Muslimin datang di tempat mereka, Bani Nadhir
menyambutnya dengan lemparan batu dan anak panah. Pasukan kaum Muslimin berhasil
menaklukkan mereka, selanjutnya mengusir mereka dari kampung halaman mereka.43
Selanjutnya adalah Banu Quraizhah. Ketika berkecamuk Perang Khandaq pada 5 H,
mereka membatalkan secara sepihak perjanjian damai yang mereka sepakati bersama Nabi.
Mereka juga bersekutu dengan orang-orang Yahudi lainnya beserta orang-orang musyrik
Makkah untuk memerangi umat Islam. Oleh karena itu, Nabi menghukum mereka dengan
mengusirnya dari Madinah.44
Jadi, hukuman yang dilakukan Nabi Muhammad kepada orang-orang Yahudi tersebut
adalah karena ulah mereka sendiri. Dalam sejarah, orang-orang Yahudi memang dikenal
40
Ibid, hlm. 196.
Ibid, hlm. 216.
42
Hamka, Sejarah Umat Islam, hlm. 125-126.
43
Mustafa As-Siba‘i, Sari Sejarah Perjuangan Rasulullah SAW, (Jakarta: Media Dakwah, 1983), hlm. 107-108.
44
Ibid, hlm. 113-114.
41
sering mengkhianati janji, melakukan kecurangan, dan membunuh para nabi. Semua ini jelas
merupakan kesalahan, namun mereka tidak pernah berhenti darinya.
MENGENAI SEJARAH NABI MUHAMMAD SAW
DALAM BUKU AGAMA ISLAM
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Islamic Worldview
Dosen Pengampu:
Dr. Adian Husaini
Oleh
Muhammad Isa Anshory
Oleh
Muhammad Isa Anshory
FAKULTAS PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR
1434 H/2013 M
Dalam sejarah Kristenisasi di Indonesia, nama Hendrik Kraemer cukup terkenal.
Seperti halnya Christiaan Snouck Hurgronje yang merupakan tokoh sentral dalam studi
agama dan kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai Islam, Hendrik Kraemer menjadi
tokoh penting dan dalam waktu yang sama tokoh kontroversial bagi dunia gereja dan misi –
tidak hanya berkenaan dengan Indonesia, tetapi juga pada skala internasional. Selama 15
tahun (1922–1937) tinggal di Indonesia, Kraemer memberikan banyak kontribusi kepada misi
Kristen. Carl F. Hallencreutz menulis, “Kraemer dipercaya dengan sebuah tugas missi
khusus, yaitu membantu para misionaris Belanda dalam konfrontasi mereka dengan Islam di
Jawa… Untuk melaksanakan tugas ini, Kraemer menggunakan dan selanjutnya
mengembangkan pandangan-pandangannya mengenai pendekatan missi.”1
Aktivitas dan karya Kraemer tentu tidak bisa dilepaskan dari upaya menjalankan
tugas khusus di atas, termasuk penulisan buku Agama Islam. Barangkali, ini adalah satusatunya buku Kraemer yang diterjemahkan langsung oleh penulisnya bersama asistennya,
Cornelis Taroreh, ke dalam bahasa Indonesia sebagai buku pegangan bagi orang Kristen di
Indonesia untuk memahami Islam. Oleh karena itu, buku ini penting dikaji secara kritis.
A. Mengenal Hendrik Kraemer
Hendrik Kraemer dilahirkan sebagai anak yatim di Amsterdam, Belanda, pada 17 Mei
1888, dalam sebuah keluarga imigran miskin dari Jerman. Kehidupannya berpindah dari
asuhan satu keluarga ke keluarga lainnya. Beberapa di antara keluarga tersebut adalah
penganut sosialisme. Pada akhirnya, dia tinggal di sebuah panti asuhan sempit yang kental
nuansa agama Kristen Protestannya. Oleh karena latar belakang ini, saat usia 12 tahun, dia
menyatakan, “Suatu saat, saya pasti akan menjadi seorang Kristen atau seorang sosialis.”
Pada usia 16 tahun, Kraemer mengambil keputusan untuk menjadi seorang misionaris
setelah seorang misionaris dari Papua New Guinea membangkitkan perasaannya bahwa dia
pantas menjadi misionaris.2 Setahun berikutnya, dia masuk sekolah pelatihan misionaris di
Rotterdam (1905–1909) untuk mempersiapkan tugasnya di Indonesia, yang saat itu masih
menjadi daerah jajahan Belanda. Dia belajar secara otodidak bahasa Latin yang disukainya.
Akan tetapi, dia tidak berhasil menyelesaikan ujian akhirnya karena gagal pada pelajaran
dogmatik yang memang tidak pernah disukainya. Pada 1911, dia kemudian memulai lagi
1
Carl F. Hallencreutz, Kraemer Towards Tambaran; A Study in Hendrik Kraemer's Missionary Approach,
(Uppsala: Almquist & Wiksells, 1966), hlm. 161, 162.
2
Alain Blancy, “Hendrik Kraemer 1888–1965” dalam Ion Bria dan Dagmar Heller (ed), Ecumenical Pilgrims;
Profiles of Pioneers in Christian Reconciliation, (Switzerland: World Council of Churches, 1995), hlm. 124.
studinya di Universitas Leiden. Di sini, Kraemer belajar linguistik. Selama setahun, dia
berhasil mempelajari bahasa Indonesia. Selain itu, dia juga mempelajari bahasa Jawa.3
Di Universitas ini, Kraemer bertemu beberapa misionaris penting, seperti J.H.
Oldham dan John R. Mott, yang mengajaknya bergabung ke dalam Gerakan Mahasiswa
Kristen. Dia pun segera menjadi salah seorang pemimpin yang menonjol di organisasi ini.4 Di
Universitas Leiden ini pula, Kraemer bertemu dengan Christiaan Snouck Hurgronje yang
kemudian menjadi supervisornya untuk mendapatkan gelar doktoral. Kraemer menyelesaikan
studi pada 1921 dengan disertasi berjudul Een Javaanse Primbon in de Zestiende Eeuw.5
Kraemer sempat menghabiskan waktunya selama beberapa bulan di Paris untuk
belajar Islam kepada Massignon. Dia juga menghabiskan waktu selama empat bulan di
Universitas Al-Azhar Kairo.6 Hal ini menjadi bekal penting baginya untuk menghadapi umat
Islam di kemudian hari.
Pada 1922, Kraemer ditugaskan oleh Dutch Bible Society (Masyarakat Alkitab
Belanda) untuk bekerja di Indonesia. Selama di Indonesia, Kraemer pertama-tama tinggal di
Yogyakarta, kemudian pindah ke Malang. Kraemer memahami dengan baik kebudayaan Jawa
dan juga menguasai bahasa Jawa. Dia ditunjuk untuk membantu merevisi terjemahan Bibel
dalam bahasa Jawa. Dia juga diminta mempelajari kecenderungan yang lebih belakangan
dalam masyarakat Indonesia (terutama di kalangan kaum intelektual muda Jawa) dan
perkembangan dalam Islam.7 Oleh karena penguasaannya atas kebudayaan Jawa, dia ditunjuk
sebagai penasihat perhimpunan mahasiswa Jong Java pada sekitar 1924. Dia
menyebarluaskan gagasan menyingkirkan unsur-unsur Islam dari masyarakat Jawa. Dia juga
mempunyai pandangan negatif mengenai Islam dan kurang apresiatif dibandingkan dengan
banyak misionaris Belanda lain. Baginya, Islam pada saat yang sama bersifat superfisial,
dangkal, miskin kandungannya, dan sama sekali tidak punya nilai yang bisa ditawarkan
kepada manusia lain. Bagi banyak kalangan, Kraemer adalah simbol arogansi dan intoleransi
misionaris.8
Kepada para anggota perhimpunan Jong Java, Kraemer memberikan serangkaian
kuliah tentang agama Kristen, juga tentang teosofi dan Katolik. Para mahasiswa Muslim
3
Ibid. Lihat juga Jan A. B. Jongeneel, “Kraemer, Hendrik,” dalam Biographical Dictionary of Christian
Missions, ed. Gerald H. Anderson (New York: Macmillan Reference USA, 1998), hlm. 374.
4
Alain Blancy, “Hendrik Kraemer 1888–1965”, hlm. 125.
5
Jan A. B. Jongeneel, “Kraemer, Hendrik,”, hlm. 375.
6
Alain Blancy, “Hendrik Kraemer 1888–1965”, hlm. 125.
7
Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596–1942),
(Bandung: Mizan, 1995), hlm. 162.
8
Alwi Shihab, Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 56–57.
karenanya menuntut agar perhimpunan juga mensponsori kuliah tentang Islam. Pemimpin
rapat, Raden Samsurijal, mengajukan proposal untuk maksud ini pada pertemuan tahunan
perhimpunan yang ketujuh, yang diadakan di Yogyakarta menjelang akhir 1924. Begitu
proposal tersebut ditolak, Samsurijal dan sejumlah simpatisannya keluar untuk mendirikan
perhimpunan baru, Jong Islamieten Bond.
Dalam diskusi hangat tentang perpecahan di kalangan perhimpunan pemuda ini,
pemimpin Muslim Haji Agus Salim dikatakan mempromosikan kuliah tentang Islam dan
perpecahan.9 Apa yang dia lakukan sebenarnya hanyalah respons terhadap upaya Kraemer
untuk melenyapkan unsur Islam berapa pun harganya dari Jong Java. Harga tersebut memang
mahal. Selama periode 1925–1942, JIB berkembang menjadi sebuah organisasi intelektual
muda Muslim yang percaya diri. JIB dengan gigih melakukan penentangan terhadap Katolik
dan Kristen; baik dari dalam maupun dari luar Dewan Rakyat. Selain itu, JIB juga
menerbitkan sejumlah artikel anti-Kristen dalam majalah Het Licht serta berbagai publikasi
lainnya. Kraemer dan sebagian besar kalangan misionaris menempatkan diri di luar, bahkan
menentang kelompok tersebut.10 Dia tinggal di Indonesia hingga 1937, kemudian kembali ke
negerinya di Belanda.
Sebagai seorang orientalis yang sekaligus juga misionaris, Kraemer sangat produktif
menulis. Berbagai tulisannya terbit dalam bentuk buku maupun artikel-artikel. Di antara
bukunya adalah:
1. Een Javaansche Primbon Uit De Zestiende Eeuw: Inleiding, Vertaling en
Aanteekeningen terbit 1921
2. Agama Islam terbit 1928 dalam dua jilid
3. De Strijd Over Bali en De Zending terbit 1933
4. Waarom Zending Juist Nú; Aan Studia Over Het Good Recht en De Noodzaak Der
Zending Juist In Den Tegenwoordingen Tijd terbit 1936
5. Kerk en Zending terbit 1936
6. Eenige Grepen Uit De Moderne Apologie Van Den Islam
7. De Islam Als Godsdientig en Als Zendingsprobleem terbit 1938
8. The Christian Massage in A Non-Christian World terbit 1938
9. From Missionfield to Independent Church: Report on A Decisive Decade in The
Growth of Indigenous Churches in Indonesia terbit 1958
10. A Theology of The Laity terbit 1958
9
Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian, hlm. 162-163.
Ibid, hlm. 163.
10
Hendrik Kraemer meninggal di Driebergen pada 11 Nopember 1965. Usianya ketika
meninggal adalah 77 tahun. Meski telah meninggal, buku-bukunya masih banyak yang
tersebar dan dikaji oleh generasi setelahnya.
B. Buku Agama Islam dan Pengaruhnya di Hindia Belanda/Indonesia
Buku Agama Islam pada mulanya diterbitkan dalam dua jilid. Jilid pertama terbit pada
1928, lalu jilid kedua terbit lima tahun berikutnya, yaitu pada 1933. Setelah itu, buku ini
mengalami dua kali cetak ulang dengan dijadikan satu jilid. Buku yang menjadi acuan dalam
tulisan ini adalah cetakan pertama (1928 dan 1933) dan cetakan ketiga (1952).
Masa terbitnya buku Agama Islam adalah masa dimana terjadi pergumulan yang
semakin sengit antara umat Islam dan umat Kristen di Indonesia yang saat itu masih bernama
Hindia Belanda. Pada masa tersebut, gerakan umat Islam telah banyak yang terorganisasi
rapi. Beberapa Muslim yang sempat mengeyam pendidikan Barat di sekolah-sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial Belanda tampil menjadi tokoh dan pemimpin umat. Lulusan
sekolah Belanda itu justru berani mengkritik kebijakan pemerintah kolonial. Majalah-majalah
Islam, seperti Pembela Islam, Panji Islam, dan Pedoman Masyarakat, sering memuat
kritikan-kritikan tersebut. Perjuangan untuk membela hak-hak umat Islam dan melawan
Kristenisasi juga dilakukan di Volksraad (Dewan Rakyat) yang telah dibentuk sejak 1916.11
Sementara itu, kegiatan zending dan misi Kristen telah menyebar ke seluruh wilayah
Indonesia walaupun belum merata. Sampai masa tersebut, daerah berpenduduk Muslim tetap
menjadi benteng yang sulit ditaklukkan. Di daerah seperti ini, tidak jarang zending dan misi
mendapatkan permusuhan dan kebencian dari kaum Muslim. Dihadapkan pada sikap ini dan
karena menganggap Islamisasi superfisial terhadap sebagian besar masyarakat Indonesia,
banyak misionaris Kristen mudah membuat pernyataan-pernyataan yang merendahkan
tentang Islam dan umat Islam.12
Keadaan di atas sedikit maupun banyak turut mempengaruhi latar belakang ditulisnya
buku Agama Islam oleh Hendrik Kraemer. Orang-orang Kristen tertuntut untuk mengetahui
lebih banyak Islam karena mereka hidup di tengah-tengah umat Islam. Dalam bab
pendahuluan, Kraemer menjelaskan tujuan penulisan buku ini, "dengan maksoed hendak
memberikan penerangan kepada peladjar-peladjar sekolah goeroe Kristen serta poen akan
memperloeaskan pemandangan orang-orang Maséhi terpeladjar tentang agama Islam. Itoe
11
Muhammad Isa Anshory, Mengkristenkan Jawa; Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi
Misi Kristen, (Solo: Pustaka Lir Ilir, 2013), hlm. 137.
12
Ibid, hlm. 139.
perloe, sebab pergaoelan Maséhi dan Islam, makin lama makin rapat di dalam kehidoepan
sehari-hari."13
Kraemer menyatakan bahwa dia tidak bermaksud hendak membantahi agama Islam
dengan menulis buku ini, namun hendak menerangkan agama itu menurut pelajaran kitabkitab agama itu sendiri.14 Pernyataan Kraemer ini berlainan antara teori dan praktek. Pada bab
pendahuluan terbitan pertama (1928), dia menulis bahwa bukunya ini disusun berdasarkan
usaha dan pendapat para cendekiawan Eropa (orientalis) yang mempelajari seluk beluk
agama Islam.15 Beberapa referensi memang dari buku karya ilmuwan Muslim, namun
sebagian besarnya adalah buku karya para orientalis. Dari 120 judul buku yang dia jadikan
referensi pada cetakan ketiga (1952), buku karya ilmuwan Muslim hanya sebanyak 26.
Selebihnya adalah buku karya orientalis, seperti A.J. Wensinck, Carl Brockelmann, C.
Snouck Hurgronje, Ignaz Goldziher, H. A. R. Gibb, Philip K. Hitti, Arthur Jeffery, Th. W.
Juynboll, D. S. Margoliouth, Reynold A. Nicholson, S. M. Zwemmer, G. W. J. Drewes, dan
sebagainya.16 Pendapat para orientalis tersebut tentu banyak mempengaruhi pendapat
Kraemer dalam buku Agama Islam. Oleh karena itu, pendapatnya banyak yang tidak sesuai
dengan pendapat para ilmuwan Muslim.
Buku Agama Islam menjadi buku pegangan bagi orang Kristen untuk menilai dan
memandang Islam beserta umatnya. Pada saat terbitnya, dimana terjadi pergumulan sengit
antara umat Islam dan umat Kristen serta persaingan antara dakwah Islam dan zending
Kristen, buku ini menjadi senjata bagi orang Kristen untuk menyerang Islam dan
menanamkan keragu-raguan kaum Muslim terhadapnya. Menanggapi buku Kraemer ini,
seorang mubaligh Muhammadiyah Surakarta, R. Moehammad Sardjana, pada 1934
menerbitkan buku berjudul Agama Kristen. Sardjana menyatakan, H. Kraemer mempunyai
niat menunjukkan pengetahuannya tentang agama Islam kepada umat Islam. Melalui buku
ini, Kraemer berharap dapat membelokkan umat Islam dari agama Islam ke agama Kristen.
Selain itu, Kraemer juga memberi taktik untuk pegangan kepada umat Kristen bagaimana
cara membantah agama Islam. Berdasarkan hal demikian, Sardjana memandang perlu jika
umat Islam juga menerbitkan buku Agama Kristen. Buku ini diharapkan bisa memberi tahu
semua pihak pembaca bagaimana kepercayaan orang Islam kepada agama Kristen.17
13
Hendrik Kraemer, Agama Islam, Jilid I, (Bandung: Uitgave N.V. v/h A.C. NIX & Co, 1928), hlm. i.
Ibid.
15
Ibid.
16
Lihat Hendrik Kraemer, Agama Islam, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1952), hlm. 303–308.
17
R. Mohammad Sardjana , Agama Kristen, Jilid I, (Solo: A. Kadir, 1934), hlm. 4–5.
14
C. Pandangan Hendrik Kraemer Mengenai Sejarah Nabi Muhammad SAW
Kraemer menulis sejarah Nabi Muhammad menurut perspektif seorang orientalis
misionaris yang tidak percaya. Ketidakpercayaan ini dia tulis di beberapa tempat. Misalnya,
Kraemer menulis di halaman 24 cetakan ketiga (1952), “Kalau orang percaya Muhammad
sesungguhnya nabi, maka untuk orang itu firman ilahilah yang dikabarkan oleh Muhammad.
Akan tetapi untuk siapa tidak menaruh kepercayaan itu, tidak bisa tidak segala yang
dimaklumkan oleh Muhammad, meskipun luhur adanya, adalah buah fikiran Muhammad
belaka, yang tidak ada alasan untuk menganggapinya sebagai firman ilahi, atau pula yang
dicampurkan dengan firman ilahi sehingga tak dapat dipastikan mana perkataan manusia dan
mana firman Tuhan. Dari kedua golongan ini, golongan yang pertama ialah umat Islam, dan
golongan yang kedua ialah segala orang yang bukan Muslim.” Oleh karena Kraemer
termasuk golongan yang kedua, tentu dia memandang semua yang disampaikan Nabi
Muhammad bukanlah wahyu dari Tuhan, namun adalah buah pikiran Muhammad belaka.
Kraemer juga menulis di halaman 43, “Dengan ringkas, pengertian dan pemandangan
kami yang tidak beragama Islam ialah, meskipun Nabi Muhammad sebenarnya seorang
paling besar adanya, nyata juga di dalam riwayat hidupnya sifat-sifat kelemahan manusia.”
Dia menulis lagi di halaman 44, “Untuk kami yang tidak dapat menaruh kepercayaan penuh
kepada Nabi Muhammad, kalau bertemu dengan saudara-saudara kami yang beragama Islam,
hanya ada satu jalan saja. Jalan itu ialah memperingatkan saudara-saudara itu bahwa
kepercayaan kami, sebagai orang Kristen, sepenuh-penuhnya kami letakkan kepada Tuhan
Isa, karena kami percayai Tuhan itu bukan membaharui aturan serta hukum agama saja
melainkan hati manusia juga.” Di atas ketidakpercayaan inilah, Kraemer menulis sejarah
Nabi Muhammad.
Kraemer mulai menceritakan sejarah hidup Nabi Muhammad dari kelahiran dan masa
kecilnya. Di sini, dia sudah membuat kesalahan dengan menyatakan bahwa ayah Nabi
meninggal waktu Nabi baru berumur dua bulan. (halaman 16 cetakan ketiga) Kraemer lalu
menceritakan masa muda Nabi Muhammad. Pada masa ini, Nabi Muhammad sempat bekerja
sebagai penggembala kambing, kemudian sebagai pedagang yang membantu Khadijah
mengawal kafilah ke Mesir, Irak, dan Suria.
Kraemer meragukan ke-ummi-an Nabi Muhammad. Dia menulis, “Di Makkah, kota
yang ramai perniagaannya, memang ada banyak orang yang pandai menulis dan membaca.
Sungguh pun begitu, tak dapat dipastikan entah Nabi Muhammad tahu menulis dan membaca
atau tidak. Orang Muslim pada umumnya berpendapat bahwa Nabi sama sekali tidak tahu
menulis dan membaca. Mereka berasa hal yang demikian menghormati Nabi, sebab memang
ajaib sekali seorang yang buta huruf dapat menyampaikan kitab, yang indah bahasanya dan
isinya, kepada sesama manusia. Dalam surat Al-A‘raf (Sura 7, ayat 157 dan 158) Nabi
Muhammad digelar al-nabi al-ummi, yang menurut banyak orang Muslim dapat
diterjemahkan dengan: nabi yang buta huruf. Akan tetapi ada juga beberapa ahli bahasa Arab
yang berpendapat bahwa bukan demikian terjemahan yang seharusnya.” (hlm. 17)
Kraemer kemudian menjelaskan dalam footnote bahwa sebelum Muhammad menjadi
Nabi, kerap kali beliau berjalan jauh untuk berniaga. Menurutnya, tidak gampang seseorang
yang buta huruf melakukan pekerjaan sesulit itu. (hlm. 17) Selanjutnya, Kraemer berusaha
menjelaskan makna al-nabi al-ummi dan al-rasul al-ummi dalam surat Al-A‘raf. Menurut
kesimpulannya, meskipun perkataan ummi itu barangkali dapat berarti “bodoh” atau pula
“biasa”, namun yang dimaksud di dalam Al-Qur’an ialah nama yang seringkali dipakai oleh
orang Yahudi dan orang Masehi tentang orang Arab yang menyembah berhala itu. Kalau
begitu, perkataan ummi itu artinya: yang tidak berpengetahuan tentang kitab agama, atau:
yang bukan ahl al-kitab. Jadi perkataan al-nabi al-ummi itu, menurut Kraemer, jika
diterjemahkan menurut bunyi Al-Qur’an, berarti Nabi yang berasal dari orang yang bukan
ahl al-kitab. (hlm. 18)
Dengan menolak makna ummi sebagai tidak bisa membaca dan menulis, Kraemer
dalam halaman-halaman selanjutnya menggambarkan bahwa Nabi Muhammadlah yang
mengarang Al-Qur’an. Kraemer menulis, “Baiklah sekarang kita menyelidiki apa yang
menggerakkan hati Nabi, serta pula apa isi pengajarannya pada mula-mulanya. Sumber
pengetahuan kita dalam hal ini ialah Qur’an. Dalam Qur’an ternyata bahwa ada dua soal yang
diutamakan oleh Nabi. Yang pertama ialah pengajaran tentang Allah Yang Maha Siksa, Yang
bermurka lagi adil. Pada hari kiamat segala sesuatu akan binasa karena kebesaranNya dan
kemulianNya. Soal yang kedua ialah Nabi menyatakan berang hatinya tentang pencabulan,
kelaliman dan kedegilan hati penduduk Makkah; begitu pula tentang kelobaan mereka dan
penganiayaan terhadap orang miskin, orang lemah, perempuan janda dan anak-anak piatu.”
(hlm. 20-21)
Kraemer kemudian menulis bahwa pada mulanya, Nabi Muhammad memberitahu
penduduk Makkah tentang nikmat di dalam surga yang akan dirasakan oleh orang yang
menyerahkan diri kepada kehendak dan kuasa Allah serta siksa di dalam neraka bagi orang
yang tidak bertaubat. Oleh karena penduduk Makkah memperolokkannya, Nabi lalu mencoba
cara lain dengan menceritakan kisah nabi-nabi terdahulu, seperti Ibrahim, Musa, Lut, Saleh,
dan Hud. (hlm. 21)
Di halaman-halaman lain, Kraemer menulis beberapa kalimat untuk menunjukkan
bahwa Nabi Muhammad mengubah-ubah penyampaian firman Allah sesuai kondisi yang
dihadapinya. Di halaman 27, dia menulis bahwa pada mula dakwahnya, Nabi mengemukakan
hari kiamat. Rupa-rupanya, hari kiamat ini tertunda. Lambat laun isi ayat yang beliau siarkan
di hadapan orang Makkah berkurang hebatnya. Umpamanya, pada permulaannya Nabi
mengemukakan bahwa Allah ialah Raja Hari Kiamat (Malik yaum al-din). Kini yang
dikemukakannya tentang Tuhan ialah: Tuhanlah Yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, Yang
mengadakan langit dan bumi. Beliau tetap mencela orang-orang Makkah, tetapi kini alasan
yang dikemukakannya ialah sebab mereka tidak menyembah Allah Yang Esa melainkan
berhala yang banyak. Mereka dinamainya musyrik, artinya yang memberikan kawan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. (hlm. 27)
Menurut Kraemer, pengajaran Nabi Muhammad itu berasal dari pengaruh kitab agama
Yahudi dan Masehi. Nabi sangat memperhatikan orang Masehi atau orang Yahudi ketika
membaca kitab-kitab agama masing-masing atau kalau mereka berdoa. Dari sinilah,
kemudian timbul pertanyaan dalam hati Nabi: apa sebabnya bangsaku tidak berbuat
sedemikian? Niscaya celaka kami, kalau kami tidak mempunyai kitab agama sendiri, seperti
orang Masehi dan orang Yahudi. Akan tetapi, menurut Kraemer, Nabi Muhammad ternyata
salah sangka dan salah paham terhadap agama Yahudi dan Masehi. Disangkanya orang
Yahudi, begitu pula orang Masehi, sebangsa, sebahasa dan seasal, seperti orang Arab.
Berbeda dengan bangsa Yahudi, umat Masehi itu berbagi-bagi bangsanya dan bahasanya.
(hlm. 22)
Dengan keinsafan, Muhammad menjadi Nabi dan Rasul setelah melakukan
perenungan terhadap beberapa pertanyaan mengenai penantian bangsa Arab akan
dinyatakannya firman ilahi kepada mereka dengan bahasa Arab sebagaimana telah dinyatakan
kepada bangsa-bangsa lainnya, kapan dan bagaimana caranya firman ilahi itu akan
dinyatakan, serta siapa yang dipilih untuk menjadi pesuruh. Setelah sempat ragu, lambat laun
hati Nabi yakin dan insaf bahwa firman Allah akan dinyatakan kepada bangsa Arab juga dan
pengantarnya tidak lain adalah Muhammad. (hlm. 23) Jadi, kenabian dan kerasulan
Muhammad, menurut Kraemer, adalah melalui perenungan-perenungan. Setelah melakukan
perenungan, Muhammad mengangkat dirinya sendiri menjadi nabi dan rasul. Kraemer
menulis bahwa kenabian Muhammad sangat dipengaruhi oleh proses pergerakan dan
perkembangan jiwa yang sangat sukar diuraikan. Dia akhirnya menyatakan
ketidakpercayaannya terhadap kenabian Muhammad. (hlm. 24)
Seringkali orang Makkah mengganggu Nabi Muhammad dan orang-orang yang
mengikutinya. Oleh karena banyak kesusahan dan perlawanan yang dideritanya antara tahun
616 dan 618 M, Nabi Muhammad merasa sangat khawatir sehingga berniat berdamai dengan
orang Makkah. Kraemer menukil sebuah kisah yang menurutnya diceritakan dalam kitabkitab sejarah karangan orang Muslim dahulu. Suatu ketika, Nabi Muhammad mengaji di
hadapan orang Makkah. Nabi mengakui tiga tuhan sesembahan orang Makkah yaitu: Al-Lata,
Al-‘Uzza, dan Al-Manat. Akan tetapi, tidak lama kemudian Nabi menyesali perbuatannya.
Nabi memberitahukan bahwa pengakuannya itu tidak berdasarkan wahyu dari Allah, namun
waswas dari Iblis. (hlm. 26) Kraemer kemudian menulis di footnote bahwa kisah itu terdapat
dalam Al-Qur’an surat An-Najm: 19-20. Kisah ini dikenal dengan kisah gharaniq.
Pada mulanya, Nabi Muhammad tidak bermaksud sama sekali mengajarkan agama
yang baru. Maksud beliau semata-mata memasyhurkan firman ilahi dengan bahasa Arab,
seperti seringkali sudah disiarkan oleh nabi-nabi lain dengan bahasanya masing-masing.
(hlm. 24) Nabi berpendirian bahwa agama Islam sama dengan agama Yahudi dan Masehi. Hal
ini terjadi pada periode Makkah. (hlm. 25 dan 32) Akan tetapi, pendirian ini berubah setelah
Nabi hijrah ke Madinah. Orang Yahudi yang semula diharapkan akan menjadi sahabatnya
yang erat ternyata malah memperolok-olokkan Nabi Muhammad dengan mengatakan hikayat
nabi-nabi yang beliau ceritakan, apalagi segala yang beliau sebut wahyu ilahi, sama sekali
tidak sesuai dengan isi Kitab Taurat. Nabi kemudian menuduh mereka memalsukan isi Kitab
Taurat. Selanjutnya, Nabi mulai mengemukakan bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab
yang sejati lagi cocok isinya dengan isi kitab-kitab yang diturunkan Tuhan kepada nabi-nabi
dahulu kala, sedangkan Kitab Taurat dan Kitab Injil sebetulnya bukan Kitab Taurat dan Kitab
Injil yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Musa dan Nabi Isa. Nabi kini juga mengajarkan
bahwa agama Islam berdiri sendiri, sedangkan agama Yahudi dan Masehi berlawanan dengan
agama Islam. Jadi, menurut Kraemer, pendapat Nabi Muhammad yang baru ini ditimbulkan
oleh perselisihan beliau dengan orang Yahudi karena penolakan mereka terhadap agama yang
disampaikannya. (hlm. 32-33)
Di Madinah, Nabi Muhammad dan umat Islam hidup dalam kekurangan. Kraemer
menulis bahwa menurut adat Arab, dalam keadaan begitu jarah menjarah dianggap
pencaharian yang halal. Oleh karena itu, tidak mengherankan Nabi Muhammad dengan
pengikutnya mengintai orang-orang kafilah bangsa Quraisy dari Makkah. Selanjutnya,
terjadilah Perang Badar pada Ramadhan tahun 624 M. Pihak Muslim menang dan berhasil
merebut harta jarahan yang amat besar sehingga lepaslah mereka dari kemiskinan. Karena
mujur dalam jarah menjarah, makin lama makin besarlah pengaruh Nabi Muhammad di
Madinah. Kini Nabi mencampuri perkara-perkara duniawi sehingga terperosok dalam adat
kelakuan duniawi. (hlm. 33-34)
Setelah posisinya kuat dan berkuasa di Madinah, Nabi Muhammad menindak kaum
Yahudi yang menjadi rintangan bagi beliau. Yang pertama diserbu ialah Banu Qainuqa’.
Sehabis perang Uhud, Nabi menyerang Banu Nadhir dengan, menurut Kraemer, salah satu
alasan yang tidak penting untuk kita ketahui sekarang. Mereka terpaksa lari ke Khaibar, 30
km di sebelah utara Madinah. Hanya barang yang terbawa boleh dibawanya. Tanah mereka
diberikan Nabi kepada golongan Muhajir. Suku Yahudi berikutnya yang ditindak Nabi adalah
Banu Quraizah. Oleh sebab mereka selama Perang Parit (Khandaq) tidak menyatakan
pendiriannya, entah membantu entah melawan Nabi, mereka diserang dan ditaklukkan. Yang
laki-laki dibunuh, sedangkan yang perempuan beserta kanak-kanak dijual. (hlm. 34-35)
Dalam dua halaman ini, Kraemer menggambarkan bahwa Nabi lah yang salah dengan
melakukan tindak kezaliman terhadap orang-orang Yahudi.
Kraemer selanjutnya menceritakan peristiwa Perjanjian Hudaibiyah dan Fathu
Makkah. Di sini, dia membuat kesalahan bahwa Perjanjian Hudaibiyah dilatarbelakangi oleh
gagalnya keinginan orang Muslim untuk berziarah (umrah) dan menaklukkan kota Makkah.
(hlm. 38) Kesalahan lainnya, dia menyatakan bahwa Abbas, paman Nabi Muhammad, baru
masuk Islam setelah Perjanjian Hudaibiyah. (hlm. 38) Selain dua kesalahan ini, di bagian
akhir tulisannya mengenai Sejarah Nabi Muhammad, Kraemer juga membuat kesalahan
dengan menulis bahwa beberapa saat setelah Nabi meninggal, Umar mendatangkan
keputusan dengan memaksa orang Madinah melantik Abu Bakar jadi pengganti Nabi
Muhammad. (hlm. 41)
Demikianlah pandangan Hendrik Kraemer tentang sejarah Nabi Muhammad. Terlalu
banyak kesalahan yang dia tulis dalam 31 halaman (dari hlm 15 hingga 46) di buku Agama
Islam. Makalah ini hanya menampilkan beberapa kesalahan pokok. Selanjutnya, makalah ini
akan menampilkan kritik terhadap pandangan Hendrik Kraemer yang sudah ditulis secara
ringkas tadi.
D. Kritik terhadap Pandangan Hendrik Kraemer
Dari ringkasan pandangan Hendrik Kraemer mengenai sejarah Nabi Muhammad tadi,
ada beberapa poin pokok yang perlu dikritisi, yaitu:
1. Makna Ummi
Menurut Kraemer, makna ummi dalam QS Al-A‘raf: 157 dan 158 yang paling tepat
adalah Nabi yang berasal dari orang yang bukan ahl al-kitab. Marilah kita lihat penjelasan
para ulama mengenai makna ummi. Ibnul Manzhur dalam Lisân Al-‘Arab mengatakan bahwa
ummi adalah orang yang tidak bisa menulis. Dia lalu menukil perkataan Az-Zajaj, “Ummi
adalah orang yang berada pada fitrah (kondisi pembawaan) suatu bangsa. Dia tidak
mempelajari tulis menulis sehingga berada dalam bentuk mulanya.” Ibnu Manzhur juga
menukil perkataan Abu Ishaq, “Makna ummi adalah dihubungkan pada kondisi saat
dilahirkan oleh ibunya, yaitu tidak bisa menulis. Jadi, orang ummi itu tidak bisa menulis
karena tulis menulis adalah kemampuan yang diperoleh melalui usaha. Kata ini menunjukkan
seakan-akan dihubungkan pada kondisi saat dia dilahirkan atau saat ibunya melahirkannya.”
)إنناَّ أ أم ة أ.18 “Kami adalah
Dalam sebuah hadits disebutkan (ُسب
مي ن ة
و ل ل نل ك
ح أ
ةأ م
ن
ة ل ل ن لك كأتبُ ل
umat yang ummi. Kami tidak bisa menulis dan menghitung.” Maksudnya, mereka dalam
keadaan semula saat dilahirkan ibu mereka. Mereka tidak menguasai tulisan dan hitungan.
Jadi, mereka berada dalam keadaan pembawaan seperti saat pertama dilahirkan.
عثِت إللىَ أ أم أ
19
Dalam hadits lain disebutkan (منية
ن ة
ةأ م
)ب أ ع أ ع. “Aku diutus kepada umat
yang ummi.” Bangsa Arab disebut ummi karena di kalangan mereka sangat jarang yang bisa
tulis menulis. Nabi Muhammad saw disebut ummi karena bangsa Arab (saat itu) tidak bisa
menulis dan membaca tulisan. Allah mengutus beliau sebagai seorang rasul dalam keadaan
tidak bisa menulis dan membaca tulisan apa pun. Keadaan ini adalah salah satu tanda
mukjizat-Nya karena Nabi saw membacakan kitabullah kepada mereka dengan disyairkan
dari waktu ke waktu. Beliau membacakan dengan susunan yang diturunkan kepadanya tanpa
menngubah kata-katanya. Demikian Ibnu Manzhur menjelaskan.20
Dalam kitab-kitab tafsir, para ulama mengartikan kata ummi yang terdapat dalam QS
Al-A‘raf: 157 dan 158 sebagai orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Makna ini
dikemukakan oleh banyak ulama, seperti Muqatil bin Sulaiman21, Ath-Thabari22, Az-Zajaj23,
Al-Mawardi 24, Al-Wahidi25, As-Samarqandi26, dan Ibnul Jauzi.27 Selain makna ini, sebagian
18
HR Bukhari dan Muslim.
HR Ibnu Hiban.
20
Ibnu Manzhur, Lisân Al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414), 12/34.
21
Muqatil, Tafsîr Muqâtil bin Sulaimân, (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, 1423 H), 2/67.
22
Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jâmi‘ Al-Bayân ‘An Ta’wîl Ayyi Al-Qur’ân, (Beirut: Mu’assasah Ar-Risalah, 2000),
2/259.
23
Az-Zajaj, Ma‘ân Al-Qur’ân wa I‘râbuhu, (Beirut: ‘Alam Al-Kutub, 1988), 1/159.
24
Al-Mawardi, An-Nukat wa Al-‘Uyȗn, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tt), 1/149.
25
Al-Wahidi, Al-Wajîz fî Tafsîr Kitâb Al-‘Azîz, (Damaskus: Dar Al-Qalam, 1415 H), hlm. 416.
26
Abul Laits As-Samarqandi, Bahr Al-‘Ulȗm, (Maktabah Syamilah: 556).
27
Ibnul Jauzi, Zâd Al-Masîr fi ‘Ilm At-Tafsîr, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2009), 2/208.
19
ulama juga ada yang mengartikan ummi di sini sebagai orang yang berasal dari Ummul Qura
(Makkah), seperti As-Samarqandi28 dan Ibnul Jauzi.29
Dari sekian banyak pendapat para ulama, kata ummi diartikan sebagai orang yang
tidak bisa membaca dan menulis. Tidak ada yang mengartikan ummi sebagai orang yang
bukan Ahl Al-Kitab. Memang, dahulu orang Yahudi menyebut orang Arab sebagai orang
ummi. Sebutan ini bukan karena orang Arab adalah bangsa non-Yahudi, namun karena orang
Arab saat itu sangat sedikit yang bisa membaca dan menulis.
2. Nabi Muhammad Mengarang Al-Qur’an
Dalam beberapa ungkapan, Kraemer menggiring pembaca buku Agama Islam untuk
mempercayai bahwa Al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Prof. Dr. Wan Mohd. Nor Wan
Daud membantah pendapat bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad. Dalam
buku Konsep Pengetahuan dalam Islam, dia mengemukakan beberapa argumen yang
menunjukkan secara rasional bahwa bukan Nabi Muhammad, juga bukan orang lain, yang
menyusun Al-Qur’an, kemudian mengubahnya sebagai wahyu Tuhan. Pertama, Al-Qur’an
sendiri menantang orang-orang yang ragu di enam tempat tentang sumber ketuhanannya. 30
Al-Qur’an mengundang orang-orang yang ragu agar mencari ketidaksesuaian pesan dan
kandungannya (An-Nisa’: 82), atau membuat sepuluh surat (Hud: 13-14) atau satu surat saja
yang semisal (Al-Baqarah: 23-24, Yunus: 38) dengan minta pertolongan semua manusia dan
jin. Secara jelas, Al-Qur’an merupakan pencapaian tertinggi dalam bahasa Arab.
Ketidakmungkinannya untuk ditiru inilah yang dianggap oleh kaum Muslimin sebagai alasan
utama bahwa ia berasal dari Tuhan.
Kedua, asumsi bahwa Al-Qur’an merupakan produk sastra Muhammad sendiri secara
sadar tidaklah benar karena beberapa alasan. Jauh sebelum menjadi nabi (berdakwah), beliau
sudah dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya (al-amin). Tetapi beliau tidak pernah
dikenal sebagai orang yang suka membaca atau menulis karya-karya sastra atau syair.
Ketiga, sikap Nabi terhadap Al-Qur’an harus dipertimbangkan. Nabi Muhammad
tidak hanya menta‘zimkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pertama-tama membaca doa
ta‘awwudz dan basmalah sebelum membaca Al-Qur’an, tetapi juga terus-menerus membaca
ayat-ayat itu baik ketika dalam kesendirian ataupun ketika bersama para sahabat. Jika AlQur’an ciptaannya sendiri, ia tidak perlu membaca ayat-ayatnya di rumahnya sendiri untuk
memohon petunjuk dan kekuatan. Ia juga diketahui memanfaatkan banyak waktu malamnya
28
Abul Laits As-Samarqandi, Bahr Al-‘Ulȗm, (Maktabah Syamilah: 556).
Ibnul Jauzi, Zâd Al-Masîr fi ‘Ilm At-Tafsîr, 2/208.
30
QS Al-Baqarah: 23, An-Nisa’: 82, Yunus: 38, Hud: 13-14, Al-Isra’: 88, dan Ath-Thur: 34.
29
untuk shalat dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan seringkali menangis sedalamdalamnya.
Keempat, tema-tema yang terputus-putus dan beragam masih menjadi sifat ayat-ayat
yang konsisten dan utuh yang, sejak awal sekali, dipahami sesuai dengan konteks sosiohistoris ayat-ayat tertentu, adalah bukti bahwa Al-Qur’an tidak dapat dikuasai oleh pikiran
manusia. Seorang penulis akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengetengahkan
alur pikirannya yang teratur dan runtut, dan hasilnya akan, dalam semua kemungkinan –jika
dia harus menulis secara sporadis dalam situasi yang meliputinya secara emosional dalam
rentang waktu 23 tahun– tetap penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi serta tidak
membentuk suatu hal yang dapat dipikirkan secara keseluruhan. Pada sisi lain, sifat
kandungan Al-Qur’an yang terputus-putus dan secara historis berlawanan, memberikan satu
petunjuk dan rujukan bagi pemahaman dan pelaksanaan kaum Muslimin secara permanen.
Kelima, penyebutan Al-Qur’an tentang kelemahan dan kemanusiaan Muhammad
benar-benar tidak sesuai dengan sikap orang yang ingin mengklaim menerima pengetahuan
atau ilham dari Tuhan. Ia tentu tidak mau menunjukkan kecenderungan kesalahan
manusiawinya jika kasusnyab demikian. Al-Qur’an mengkritik beberapa tindakan Nabi
Muhammad di beberapa tempat (misalnya QS ‘Abasa: 1-5) dan di tempat lain
memperingatkannya dari pemutarbalikan wahyu Tuhan (QS Al-Isra’: 73-75)
Keenam, Al-Qur’an di samping mempunyai ayat-ayat tentang berbagai tema dan
ungkapan yang tumpang tindih, namun ia tetap hanya sebagai buku yang mudah dihapal, baik
sebagian maupun keseluruhan. Banyak kaum Muslimin yang, meskipun tidak memahami
bahasa Al-Qur’an, dapat menghapalnya di luar kepala. Al-Qur’an secara langsung menaungi
dan selalu menaungi sejarah kaum Muslimin. Mereka akan selalu menggunakannya sebagai
petunjuk dan sumber inspirasi. Al-Qur’an sendiri telah menetapkan tantangan bagi para
pencelanya agar membuat buku petunjuk yang lebih baik (QS Al-Qashash: 49)
Dengan demikian, jelas bahwa Muhammad saw atau orang lain tidak dapat
menghasilkan kitab semisal Al-Qur’an karena Al-Qur’an berasal dari Tuhan.31
3. Ajaran Nabi Muhammad Terpengaruh Agama Yahudi dan Masehi
Pandangan Hendrik Kraemer ini sebenarnya bukanlah pandangan baru. Dia hanya
menyampaikan kembali pandangan para orientalis sebelumnya. Sebagian orientalis
memandang bahwa kenabian Muhammad sebagai imitasi dari nabi-nabi dalam Bibel.
Menurut Gustave E. von Grunebaum, ajaran Yahudi dan Kristen merupakan instrumen bagi
31
Wan Mohd. Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan dalam Islam, (Bandung:Pustaka, 1997), hlm. 1-4.
Muhammad dalam membentuk ide-ide kenabiannya. Ahrens lebih menekankan agama
Kristen sebagai sumber awal inspirasi Muhammad. Pada awal kehidupannya, Muhammad
terpengaruh oleh Kristen di wilayah Hijaz. Oleh karena itu, agama Kristen lebih dominan
mempengaruhi Muhammad dalam merumuskan ajarannya. J. Wellhausen memandang
Muhammad adalah murid pendeta Kristen dari arah selatan (Yaman). Sementara itu, Richard
Bell melihat pengaruh Kristen terutama dari arah utara (Syria) karena Kristen Syiria yang
menolak penyaliban Yesus serta doktrin mengenai Maryam. Arthur Jeffery juga berpendapat
bahwa Bibel merupakan sumber awal pengetahuan Muhammad sebagai basis kerasulannya.
Konsep tentang nabi, rasul, wahyu, dan kitab suci diambil dari Bibel.32
Mengapa para orientalis tadi menyatakan bahwa ajaran Nabi Muhammad terpengaruh
agama Yahudi dan Kristen? Menurut Moh. Natsir Mahmud, mereka melakukan itu karena
motif politik. Para orientalis tadi hidup pada masa kolonial ketika Dunia Islam masih berada
di tangan imperialisme Barat. Imperialisme tidak dapat dipisahkan dari Kristenisasi. Pada
abad 19, kegiatan imperialisme semakin meningkat dan agama Kristen menjadi salah satu
media imperialisme. Para sarjana Barat ahli agama Kristen, seperti J. Wellhausen, berusaha
mencari naskah Bibel yang asli untuk memperkokoh kedudukan Kristen, namun tidak
berhasil. Memperkokoh kedudukan Kristen tidak hanya dilakukan dengan merenovasi agama
itu, tetapi juga menyerang agama bangsa jajahan, terutama Islam diletakkan sebagai agama
sub-ordinat, lebih rendah dari agama Kristen karena merupakan tiruan dari agama Kristen.
Sikap ini menyuburkan kembali apologi Kristen terhadap Islam seperti apologi pada masa
Perang Salib.33
Di kalangan orientalis sendiri, ada yang menolak pengaruh agama Yahudi dan Kristen
terhadap Nabi Muhammad. Misalnya, Philip K. Hitti menyatakan bahwa kedua agama itu
tidak pernah menarik minat orang Arab di Hijaz dan sekitarnya, kecuali beberapa orang
tertentu. J. Fuck juga menolak pengaruh agama Yahudi dan Kristen terhadap Muhammad,
karena bila Muhammad terpengaruh agama itu akan membawa pada kontradiksi yang sulit
diatasi. Misalnya saja tentang konsep ketuhanan. Meskipun demikian, J. Fuck juga
menempatkan Islam lebih rendah dari Kristen.34
4. Kisah Gharaniq
32
Moh. Natsir Mahmud, Orientalisme; Berbagai Pendekatan Barat dalam Studi Islam, (Kudus: MASEIFA
Jendela Ilmu, 2013), hlm. 127.
33
Ibid, hlm. 128.
34
Ibid, hlm. 129.
Kisah gharaniq, yaitu kisah damainya Nabi Muhammad saw dan mau mengakui
tuhan-tuhan sesembahan orang Quraisy pada saat mereka tidak berhenti mengganggu dakwah
beliau, adalah kisah yang sumbernya sangat lemah, bahkan tidak jelas. Kisah ini memang
sempat ditulis oleh beberapa mufassir dan penulis sejarah Nabi. Kemudian, sekelompok
orientalis, seperti Sir William Muir, menyebarkan dan mempertahankan cerita ini. Sebenarnya,
cerita ini penuh dengan kontradiksi. Oleh karena itu, Ibnu Ishaq tidak ragu-ragu menyatakan
bahwa cerita ini adalah hasil karya orang-orang atheis.35
Muhammad Husain Haekal mengkritik cerita ini dengan mengemukakan beberapa
argumen. Pertama, cerita ini kacau dari segi ilmiah. Apabila cerita ini diteliti secara ilmiah,
ternyata ia tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Cerita ini dimuat dalam beberapa sumber
yang beraneka ragam. Adanya keanekaragaman sumber itu menunjukkan bahwa hadits-hadits
yang dijadikan sumber tersebut palsu dan buatan orang atheis, seperti dinyatakan oleh Ibnu
Ishaq. Tujuannya adalah hendak menanamkan kesangsian tentang kebenaran dakwah
Muhammad dan risalah Tuhan.
Kedua, konteks surat An-Najm menolak. Bukti lain yang lebih kuat dan pasti ialah
konteks atau susunan surat An-Najm yang sama sekali tidak menyinggung soal gharaniq.
Konteks itu seperti dalam firman Allah berikut, “Sesungguhnya dia telah melihat sebagian
tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar. Maka apakah patut kamu (hai orangorang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-‘Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling
terakhir (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan
untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya;
Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka.
Sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (An-Najm: 18-23)
Susunan ini jelas sekali bahwa Lata dan ‘Uzza adalah nama yang dibuat-buat oleh
kaum musyrik dan leluhur mereka, sedangkan Allah tidak memberikan satu keterangan pun
untuk menyembahnya. Bagaimana mungkin susunan itu akan berjalan sebagai berikut, “Maka
apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-‘Uzza, dan
Manah yang ketiga, yang paling terakhir (sebagai anak perempuan Allah)? Itu gharaniq yang
luhur, perantaraannya dapat diharapkan. Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan
untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.
35
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993), hlm. 116.
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya;
Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya.”
Susunan ini rusak, kacau, dan bertentangan satu sama lain. Dari pujian kepada Lata,
‘Uzza, dan Manat yang paling terakhir dan celaan dalam empat ayat berturut-turut tidak dapat
diterima akal. Tidak akan ada orang yang berpendapat begitu.
Ketiga, segi semantik. Muhammad Husain Haekal menukil argumen Muhammad
Abduh. Menurut Muhammad Abduh, belum pernah ada orang Arab yang menamakan dewadewa mereka dengan gharaniq; baik dalam sajak-sajak atau dalam pidato-pidato mereka.
Tidak ada pula berita yang dibawa orang bahwa nama demikian itu pernah dipakai dalam
percakapan mereka. Akan tetapi, yang ada adalah sebutan ghurnuq dan ghirniq sebagai nama
sejenis burung air, entah hitam atau putih, serta sebutan untuk pemuda yang putih dan tampan.
Dari semua itu, tidak ada yang cocok untuk diberi arti dewa. Orang-orang Arab dahulu juga
tidak ada yang menamakannya demikian.
Keempat, kejujuran Nabi Muhammad tidak membenarkan adanya cerita ini. Sejak
kecil, semasa kanak-kanak, dan semasa dewasa, belum pernah terbukti beliau berdusta,
sehingga beliau diberi gelar “Al-Amin” pada waktu usianya belum lagi mencapai dua puluh
lima tahun. Orang yang sudah dikenal sejak kecil hingga usia tuanya begitu jujur, bagaimana
bisa dipercaya bahwa beliau mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Allah, lalu beliau lebih
takut kepada manusia daripada kepada Allah? Hal ini tidak mungkin.36
5. Nabi Muhammad Melakukan Penjarahan
Kraemer menyatakan bahwa kehidupan Nabi Muhammad dan umat Islam di Madinah
berada dalam kekurangan. Oleh karena itu, beliau beserta umatnya melakukan penjarahan
terhadap kafilah dagang Quraisy dalam Perang Badar sehingga terbebas dari kemiskinan.
Karena sukses dalam penjarahan, pengaruh beliau di Madinah semakin besar. (hlm. 33-34)
Dengan gambaran tadi, Kraemer hendak membangun citra negatif terhadap Islam.
Memang dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa Nabi saw memerintahkan para
sahabatnya untuk menghadang kafilah dagang Abu Sufyan yang kembali dari Syam.
Kalaupun kaum Muslimin mengambil barang-barang dari kafilah dagang tersebut, hal ini
sebenarnya adalah tindakan balasan atas perampasan yang dilakukan oleh orang-orang
Quraisy terhadap harta mereka di Makkah. Orang Quraisy telah menyakiti kaum Muslimin
dan mengusir mereka dari kampung halamannya setelah lebih dahulu menimpakan
bermacam-macam hal yang tiada tertanggung rasa sakitnya. Harta benda yang tertinggal di
36
Ibid, hlm. 120-122.
Makkah, sebab kaum Muslimin hijrah, diambil saja dengan paksa. Oleh karena itu, setelah
Rasulullah mendirikan negaranya di Madinah, “hutang piutang” dengan kaum musyrikin
inilah yang hendak diselesaikannya lebih dahulu.37
Upaya penghadangan ini pun gagal. Abu Sufyan mengetahui bahwa kafilahnya akan
dihadang. Dia bersama rekan-rekannya kemudian memutar jalur dan meminta bantuan orang
Quraisy. Di Makkah, orang Quraisy segera mempersiapkan pasukan. Di bawah pimpinan Abu
Jahal, seribu orang Quraisy berangkat dengan tekad memerangi Nabi Muhammad dan kaum
Muslimin. Sementara itu, Nabi Muhammad dan kaum Muslimin hanya berjumlah 313 orang.
Itupun berangkat meninggalkan Madinah tanpa ada niat untuk berperang. Kedua pasukan
yang dari segi jumlah, persenjataan, dan persiapan tidak imbang ini akhirnya bertemu di
Sumur Badar. Pasukan kaum Muslimin berhasil meraih kemenangan. Mereka mendapatkan
harta yang ditinggalkan oleh pasukan Quraisy.38 Dalam situasi perang, sudah lazim pihak
yang menang akan mendapatkan harta pihak yang kalah. Pada zaman modern ini pun, kita
sering melihat bangsa Barat melakukan berbagai macam kejahatan dan tipu muslihat untuk
merampas harta kekayaan kaum Muslimin; baik melalui perang militer maupun penekanan
politik.
Saat pertama datang ke Madinah, harta perbekalan kaum Muslimin dari Makkah
(Muhajirin) nyaris habis. Mereka bisa terus bertahan, bahkan terbebas dari kemiskinan, bukan
karena sukses dalam penjarahan. Kaum Muslimin Madinah (Anshar) rela berbagi harta
dengan saudara mereka yang datang dari Makkah. Sebagian kaum Muhajirin menerima harta
dari kaum Anshar. Sebagian yang lain menolak dan lebih memilih melakukan usaha sendiri
untuk mencari nafkah. Dalam kelompok terakhir ini, ada Abdurrahman bin Auf yang
meminta ditunjukkan di mana pasar Madinah. Dia merintis dagang hingga akhirnya sukses.
Selain berdagang, ada sahabat lain yang memilih bercocok tanam, seperti Abu Bakar, Umar,
Ali, dan lainnya.39 Jadi, kaum Muhajirin terbebas dari kemiskinan karena kerja keras mereka.
6. Nabi Muhammad Menzalimi Kaum Yahudi
Pada saat awal datang di Madinah, Nabi Muhammad berusaha menjalin persahabatan
dan mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi. Semula kaum Yahudi menyambut baik
kedatangan beliau dengan dugaan bahwa mereka akan dapat membujuknya dan sekaligus
merangkulnya ke pihak mereka. Selain itu, mereka berharap bisa meminta bantuan kepada
beliau untuk membentuk sebuah Jazirah Arab. Dengan demikian, mereka akan dapat
37
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Singapura: Pustaka Nasional, 2006), hlm. 124.
Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, hlm. 248-260.
39
Ibid, hlm. 197-198.
38
membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi –bangsa pilihan Tuhan– dari Palestina,
sebuah tanah yang dijanjikan untuk mereka.40
Ketika ajaran Nabi Muhammad semakin meninggalkan pengaruh di Madinah dan
banyak orang datang untuk menyatakan keislamannya, kaum Yahudi mulai memikirkan
kembali posisi mereka terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka kemudian
membuat ulah untuk melemahkan kekuatan kaum Muslimin di Madinah, seperti berusaha
mengungkit-ungkit permusuhan suku Aus dan Khazraj pada zaman jahiliyah agar kedua
pihak ini kembali bermusuhan.41
Kabilah Yahudi, Banu Qainuqa‘, mengkhianati janji, menyebarkan hasutan dan cacian
terhadap Nabi, serta menantang kaum Muslimin agar berperang melawan mereka. Oleh
karena itu, Nabi menghukum mereka dengan mengepung mereka selama 15 hari, lalu
mengusir mereka dari Madinah.42 Kabilah Yahudi lainnya, Banu Nadhir, juga mengkhianati
perjanjian damai. Pada waktu Rasulullah bersama beberapa orang sahabat bertamu di salah
satu rumah mereka, bersepakatlah mereka untuk membunuh Nabi saw dengan cara
menjatuhkan batu dari loteng. Nabi diberitahu oleh malaikat Jibril tentang rencana jahat
mereka sehingga berhasil selamat. Sebagai hukuman, Nabi mengultimatum mereka untuk
meninggalkan kampung halaman mereka. Pada mulanya mereka bersedia, namun berubah
sikap setelah Abdullah bin Ubay berjanji akan membantu mereka dengan mengirimkan 2000
pasukan. Merasa ada yang mendukung, mereka semakin berani melawan kaum Muslimin.
Saat Nabi saw bersama pasukan kaum Muslimin datang di tempat mereka, Bani Nadhir
menyambutnya dengan lemparan batu dan anak panah. Pasukan kaum Muslimin berhasil
menaklukkan mereka, selanjutnya mengusir mereka dari kampung halaman mereka.43
Selanjutnya adalah Banu Quraizhah. Ketika berkecamuk Perang Khandaq pada 5 H,
mereka membatalkan secara sepihak perjanjian damai yang mereka sepakati bersama Nabi.
Mereka juga bersekutu dengan orang-orang Yahudi lainnya beserta orang-orang musyrik
Makkah untuk memerangi umat Islam. Oleh karena itu, Nabi menghukum mereka dengan
mengusirnya dari Madinah.44
Jadi, hukuman yang dilakukan Nabi Muhammad kepada orang-orang Yahudi tersebut
adalah karena ulah mereka sendiri. Dalam sejarah, orang-orang Yahudi memang dikenal
40
Ibid, hlm. 196.
Ibid, hlm. 216.
42
Hamka, Sejarah Umat Islam, hlm. 125-126.
43
Mustafa As-Siba‘i, Sari Sejarah Perjuangan Rasulullah SAW, (Jakarta: Media Dakwah, 1983), hlm. 107-108.
44
Ibid, hlm. 113-114.
41
sering mengkhianati janji, melakukan kecurangan, dan membunuh para nabi. Semua ini jelas
merupakan kesalahan, namun mereka tidak pernah berhenti darinya.