HUBUNGAN ANTARA TRAITS KEPRIBADIAN IBU

HUBUNGAN ANTARA TRAITS KEPRIBADIAN IBU DAN KEMAJUAN TREATMENT ANAK-ANAK AUTISME

Skripsi

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh: Husnaini 2008-070-174

Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta April 2013

Hubungan antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan Treatment Anak-Anak Autisme

Oleh Husnaini 2008-070-174

Dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Di tetapkan di Jakarta pada tanggal 3 April 2013

Menyetujui, Pembimbing Skripsi

Dr. Magdalena S. Halim, Psi.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Dr. phil. Juliana Murniati, M.Si.

Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya April 2013

ABSTRAK

Husnaini, 2008-070-174 Hubungan Antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan Treatment Anak- Anak Autisme x+73 halaman, 7 tabel, 9 grafik Bibliografi 43 (1978-2013) Kata Kunci: Kepribadian, Big Five Personality, Ibu, Anak Autisme, Treatment,

Gangguan Spektrum Autisme (autisme) makin banyak dijumpai dalam dekade terakhir ini. Hingga tahun 2007, Center for Disease Control and Prevention menemukan peningkatan jumlah anak penyandang autisme menjadi 1 banding 150. Autisme di dalam DSM IV-TR (2000) termasuk kategori pervasive developmental disorder yakni gangguan perkembangan berat. Gejala utama autisme pada masa kanak-kanak dapat dikurangi dengan mengusahakan treatment (penanganan) yang memerlukan keterlibatan aktif orangtua dalam pelaksanaannya.

Orangtua perlu menempatkan diri dan mengambil peran yang proporsional dalam proses treatment anak. Pemilihan treatment yang dianggap tepat atau canggih ditunjang dengan terapis yang terlatih, tidak membuat peran orangtua berkurang dalam mendorong keberhasilan treatment yang dilakukan. Usaha dari orang tua untuk terus menerus melakukan pendampingan pada anak sangat diperlukan, sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses treatment anak.

Penelitian ini berfokus pada ibu karena pada umumnya ayah lebih disibukkan dengan pekerjaan dan perannya sebagai pencari nafkah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara domain serta facets kepribadian ibu yang akan dilihat dengan Big Five Personality dan kemajuan treatment anaknya yang menyandang autisme. Hal ini disebabkan olehcara setiap ibu menangani anak dapat saja berbeda-beda sesuai dengan kepribadian masing- masing dan dapat berhubungan dengan kemajuan treatment anak.

Penelitian ini menggunakan alat ukur NEO-PI-R yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae dan juga ATEC (Autism Treatment Evaluation Checklist) yang dikembangkan oleh Stephen Edelson dan Bernard Rimland. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik convenience sampling dengan jumlah sampel 31 ibu dari anak autisme.

Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi negatif antara Neuroticism (dengan tambahan korelasi pada facet A1 Anxiety) dan kemajuan treatment. Terdapat korelasi positif antara kemajuan treatment dan Conscientiousness (dengan tambahan korelasi pada facets C1 Competence, C2 Order, C4 Achievement striving , C5 Self discipline dan C6 Deliberation) juga pada O5 Ideas (salah satu facet dalam Openess). Kombinasi dua metode treatment (SI dan TW), jadwal terapi dua kali seminggu, ibu yang memiliki waktu lebih untuk menangani anak (berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan wiraswasta) dan juga menerapkan terapi di rumah, juga terbukti mendukung kemajuan treatment anak autisme.

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena hanya atas kehendak dan ridha-Nya saya akhirnya dapat menyelesaikan studi saya ini. Begitu banyak halangan dan rintangan dalam proses pembuatan skripsi ini, namun sebanyak itu pula kemudahan yang Allah berikan kepada saya. Selesainya skripsi ini tentu saja tak luput dari bantuan pihak-pihak di bawah ini:

1. Ibu Magdalena S. Halim, selaku pembimbing skripsi dari sejak menulis seminar semester 7 hingga di pengujung semester 9 ini. Terimakasih banyak atas kesabarannya, mengarahkan ide-ide acak dari kepala saya hingga menjadi sesuatu yang dapat dimengerti. Terimakasih atas waktunya disela-sela kesibukkannya, beliau selalu bersedia mendampingi dan membimbing hingga selesai. Terimakasih juga tak lupa atas keyakinannya, membuat saya yakin dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Mr. Stephen Edelson atas izinnya menggunakan ATEC dalam penelitian ini dan bersedia membalas email sesegera mungkin di tengah-tengah kesibukannya. Mr. Bernard Rimland (RIP) atas buah pemikiranya sehingga tersusunlah ATEC bersama Mr. Stephen Edelson. Semoga ATEC dapat membantu lebih banyak manusia di dunia ini.

3. Ibu Lidia Laksana Hidayat, Mba Penny Handayani, Mba Annelia Sari Sani, dan Mas Hosael Waluyo Erlan yang sudah bersedia meluangkan waktu membantu brainstorming, memberikan informasi-informasi mengenai bidang terkait, dan juga saran serta kritiknya yang sangat membantu penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dhevy Setya Wibawa, selaku pembimbing akademik yang begitu sabar mendengarkan keluhan maupun cerita-cerita. Terimakasih sudah menjadi figur yang membuat hati tenang saat sedang kacau.

5. Mas Taufiq Hidayat, terimakasih atas kesediaannya memberikan informasi, menanyakan kabar penulisan skripsi yang selalu memacu saya untuk semangat menyelesaikannya.

6. Seluruh pihak dari Pusat terapi Polaris, Sekolah Sarana Terpadu, Sekolah Pelita Hati, Pusat Terapi dan Training QQ Mitra Ananda, dan juga Milis Puterakembara yang telah membantu dalam pencarian responden maupun bahan-bahan terkait dengan skripsi ini.

7. Keluargaku tercinta. Mama Sri Redjeki dan Papa Deddy Alhurry, terimakasih atas segalanya yang kalian berikan baik dukungan materi maupun dukungan moril yang tak henti. Adikku yang paling special, Rahman, sumber inspirasiku dalam skripsi ini.

8. Orang-orang terdekatku. Reza Yanuarsyah, terimakasih untuk selalu ada, sabar, dan ceria menjalani hari-hari bersama. Ika Yuliyani, terimakasih atas persahabatan yang tak henti.

9. Sahabat di kampusku tercinta, Mayang Gita Mardian, Leonarda Anggia, dan juga Agnes Kusdinar Putri. Terimakasih atas segala dukungan dan pertemanan yang tulus.

10. Sahabat SMP dan SMA tersayang. Permorini Sari, Lidya Puspasari, Azizah Tri Wulandari, Silvya Jaidi, Novitania Mundayanti, dan juga Ira Indah. Terimakasih sudah menyemangati mengerjakan skripsi dari dini hari hingga malam suntuk.

11. Teman-teman bimbinganku. Wiji Mulyati, Alfani Sweetlana, Dean Riani, Ivana Elim, Rudyanto, Samanta, dan juga Anastasia Silvyana. Terimakasih atas kebersamaannya selama ini.

12. Terakhir, terimakasih sebanyak-banyaknya kepada semua respondenku, para ibu-ibu super yang baik hati. Terimakasih atas kesediaannya berpartisipasi dalam penelitian ini.

Jakarta, 7 Maret 2013

Husnaini

DAFTAR ISI

ABSTRAK ii DAFTAR ISI vi DAFTAR TABEL viii DAFTAR GRAFIK ix DAFTAR LAMPIRAN

x BAB I

1 PENDAHULUAN

I.A Latar Belakang

I.B Masalah Penelitian 13

I.C Tujuan Penelitian 13

I.D Manfaat Penelitian 13

I.E Sistematika Penulisan 14 BAB II 16 LANDASAN TEORI 16

II.A Traits Kepribadian 16

II.A.1 Pengertian Kepribadian 16

II.A.2 Big Five Personality 17

II.A.3 Domain dan Facet Big Five Personality 17

II.A.4 Big Five Personality dalam Parenting 22

II.B Autisme 24

II.B.1 Pengertian Autisme 24

II.B.2 Treatment Anak Autisme 25

II.C Kemajuan Treatment Anak Autisme 28

II.C.1 Pengertian Kemajuan Treatment 28

II.C.2 Faktor-Faktor Pendukung Keberhasilan Treatment 31

II.C.3 Pengukuran Kemajuan Treatment 33

II. D Dinamika Hubungan Antara Traits Kepribadian Ibu dan Kemajuan Treatment Anak Autisme 34

II.E Hipotesis Penelitian 37 BAB III 38 METODE PENELITIAN 38

III.A Jenis Penelitian 38

III.B Variabel Penelitian 38

III.B.1 Variabel Pertama 38

III.B.2 Variabel Kedua 39

III.C. Populasi dan Sampel Penelitian 39

III.C.1. Karakteristik Populasi 39

III.C.2 Teknik Sampling 40

III.C.3 Jumlah Sampel 40

III.D Instrumen Penelitian 41

III.D.1 NEO PI-R 41

III.D.2 ATEC 42

III.E Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 43

III.F Metode Analisis Data 44

III.G Prosedur Penelitian 45

III.G.1 Prosedur Persiapan 45

III.G.2 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 46 BAB IV 47 ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA 47

IV. A Demografi Responden 47

IV. A. 1 Gambaran Usia Responden 47

IV.A.2 Gambaran Pekerjaan Responden 47

IV.A.3 Gambaran Usia Anak 48

IV.A.4 Gambaran Persentase Kehadiran Terapi Anak 48

IV.B Hasil dan Interpretasi Penelitian 49

IV.B.1 Uji Korelasi Traits Kepribadian Orangtua (beserta facets) dan Kemajuan Treatment Anak 49

IV.B.2 Analisa Tambahan 51 BAB V 58 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 58

V.A Kesimpulan 58

V.B Diskusi 59

V.C Saran 64

V.C.1 Saran Metodologis 64

V.C.2 Saran Praktis 65 DAFTAR PUSTAKA 68

DAFTAR TABEL

Tabel II.1. Tabel Domain dan Facets dari Big Five Personality 19 Tabel IV.1

Perhitungan Korelasi Pearson antara Domain dan Facets dalam Neuroticism, Extraversion, Openness to experience, Conscientiousness dan Kemajuan Terapi Anak Autisme

50 Tabel IV.2

Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Terapi yang diikuti 53 Tabel IV.3

Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Jadwal Terapi dalam Satu Minggu

54 Tabel IV.4

Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Penerapan Terapi di Rumah

55 Tabel IV.5

Persentase Kemajuan Treatment Anak Berdasarkan Jenis Pekerjaan Ibu

56

DAFTAR GRAFIK

Grafik II.1 Grafik Dinamika Hubungan antar Variabel 34 Grafik IV.1 Gambaran Usia Responden 47 Grafik IV.2 Gambaran Pekerjaan Responden 47 Grafik IV.3 Gambaran Usia Anak 48 Grafik IV.4 Gambaran Persentase Kehadiran Terapi Anak 48 Grafik IV. 5 Persebaran Skor NEO PI-R

51

DAFTAR LAMPIRAN

74

Lampiran 1: Contoh Kuesioner

BAB I PENDAHULUAN

I.A Latar Belakang

Selama dekade terakhir (2001-2011), kasus anak dengan gangguan autisme makin banyak dijumpai. Pada tahun 2001, data dari Center for Disease Control and Prevention Amerika Serikat menunjukkan bahwa terdapat 60 orang anak dari 10.000 kelahiran menyandang autisme (Dewanto, 2003). Hingga tahun 2007, Center for Disease Control and Prevention menemukan peningkatan jumlah anak penyandang autisme menjadi 1 banding 150. Chakrabarti dan Fombonne (dalam Parritz & Troy, 2011) mengungkapkan bahwa diagnosis autisme yang meningkat pada dua dekade terakhir ini disebabkan oleh peningkatan jumlah yang nyata di masyarakat serta meluasnya definisi autisme dan identifikasi autisme yang lebih baik dari sebelumnya (Parritz & Troy, 2011). Gejala-gejala tersebut telah muncul sebelum anak berusia 3 tahun.

Anak autisme juga sering menunjukkan beberapa gejala lainnya. Gejala tersebut antara lain adalah gangguan pola tidur dan pencernaan, mengamuk Autisme sendiri di dalam DSM IV-TR (2000) termasuk kategori pervasive developmental disorder yakni gangguan perkembangan berat. Gangguannya meliputi gangguan interaksi sosial (verbal dan non-verbal), komunikasi dan bahasa, serta pola perilaku atau minat yang terbatas dan stereotipikal (temper tantrum ). Anak kadang juga mencederai diri sendiri (self abuse) seperti menggigit Anak autisme juga sering menunjukkan beberapa gejala lainnya. Gejala tersebut antara lain adalah gangguan pola tidur dan pencernaan, mengamuk Autisme sendiri di dalam DSM IV-TR (2000) termasuk kategori pervasive developmental disorder yakni gangguan perkembangan berat. Gangguannya meliputi gangguan interaksi sosial (verbal dan non-verbal), komunikasi dan bahasa, serta pola perilaku atau minat yang terbatas dan stereotipikal (temper tantrum ). Anak kadang juga mencederai diri sendiri (self abuse) seperti menggigit

Gejala-gejala dan karakteristik dari autisme di atas dapat muncul dalam kombinasi yang sangat variatif, dari yang ringan hingga berat. Walaupun autisme didefinisikan sebagai suatu kumpulan perilaku, anak dengan autisme dapat menunjukkan bermacam-macam kombinasi perilaku dalam berbagai tingkat keparahan. Anak-anak dengan diagnosis yang sama dapat berperilaku sangat berbeda dan memiliki kemampuan yang beragam. Oleh karena itu, tidak ada tipe standar individu dengan autisme (“A Parent’s Handbook”, 2009).

Dahulu dikatakan autisme merupakan kelainan seumur hidup, tetapi kini terbukti bahwa gejala utama autisme pada masa kanak-kanak dapat dikurangi dengan mengusahakan treatment (Handojo, 2003). Jenis-jenis treatment yang ada juga beraneka ragam. Treatment psikologis terbukti merupakan terapi paling efektif yang menekankan pada teknik sosial dan perilaku (Parritz & Troy, 2011). Dalam terapi perilaku ini ada terapi wicara (dengan metode ABA, Applied Behavior Analysis ), dan terapi sosialisasi. Treatment dengan basis sensori-motor juga terbukti mendukung contohnya terapi okupasi dan sensori integrasi.

Treatment selanjutnya yang juga populer diterapkan pada anak autisme adalah biomedikasi. Diet juga termasuk dalam jenis penanganan biomedikasi. Diet yang dilakukan berbeda-beda tergantung pada alergi dan kekurangan vitamin atau mineral yang dapat menyebabkan timbulnya simptom autisme. Salah satu diet yang dirasa para orengtua sangat membantu adalah diet gluten-free, casein-free (Department of Health (2004). Selain diet, penanganan biomedikasi juga termasuk Treatment selanjutnya yang juga populer diterapkan pada anak autisme adalah biomedikasi. Diet juga termasuk dalam jenis penanganan biomedikasi. Diet yang dilakukan berbeda-beda tergantung pada alergi dan kekurangan vitamin atau mineral yang dapat menyebabkan timbulnya simptom autisme. Salah satu diet yang dirasa para orengtua sangat membantu adalah diet gluten-free, casein-free (Department of Health (2004). Selain diet, penanganan biomedikasi juga termasuk

Treatment-treatment yang disebutkan di atas tentunya tidak akan berhasil tanpa adanya campur tangan dari orangtua, karena itu mereka perlu terlibat secara aktif untuk mendukung treatment. Danuatmojo (2003) juga menyimpulkan bahwa minimal ada lima tahap dalam treatment anak dengan autisme. Kelima tahap tersebut adalah tahap diagnosis, tahap observasi, tahap penyusunan program, tahap pelaksanaan program, dan tahap evaluasi serta follow-up.

Pada tahap diagnosis, orang tua berperan untuk memberikan informasi akurat tentang perkembangan anak sejak bayi sampai anak diduga menderita autisme. Ketepatan informasi yang diberikan oleh orang tua dalam proses diagnosis ini akan membantu para ahli terkait untuk menegakkan diagnosis. Ketika tahap observasi, peran orangtua adalah membantu memberikan informasi tentang perilaku anak sehari-hari. Pengamatan yang akurat terhadap perilaku anak akan mempermudah dalam membuat “base line” sebagai titik awal dalam pelaksanaan treatment .

Pada tahap penyusunan program, keterlibatan orangtua sangat penting karena orangtua adalah penanggung jawab penuh dalam pelaksanaan treatment nantinya. Pada tahap ini, orangtua dapat mengusulkan program yang akan dijalani, tim terapis yang dibentuk, dan jadwal kegiatan anak. Keterlibatan orangtua dalam tahap pelaksanaan treatment tidak berarti berkurang. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan oleh orang tua adalah konsistensi dan kesinambungan. Hal-hal yang Pada tahap penyusunan program, keterlibatan orangtua sangat penting karena orangtua adalah penanggung jawab penuh dalam pelaksanaan treatment nantinya. Pada tahap ini, orangtua dapat mengusulkan program yang akan dijalani, tim terapis yang dibentuk, dan jadwal kegiatan anak. Keterlibatan orangtua dalam tahap pelaksanaan treatment tidak berarti berkurang. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan oleh orang tua adalah konsistensi dan kesinambungan. Hal-hal yang

Tahap akhir dari pelaksanaan treatment pada anak autisme adalah evaluasi dan follow-up . Pada tahap ini, orangtua dapat melaporkan perubahan-perubahan pada diri anak yang terjadi selama proses treatment. Laporan ini akan digunakan oleh terapis untuk menyimpulkan hasil yang dicapai oleh anak selama proses terapi. Hasil ini akan diolah oleh tim terapi untuk penyusunan program selanjutnya.

Parritz dan Troy (2011) mengatakan bahwa mengasuh anak autisme jelas merupakan tugas yang lebih sulit dibandingkan mengasuh anak yang tidak berkebutuhan khusus. Seperti yang dikatakan oleh orangtua anak autisme dalam sebuah video dari lembaga Autism Speaks, Amerika Serikat (Thierry & Watkins, 2006), “autism never took a day off on me…”, mengasuh dan merawat anak penyandang autisme jelas menyita banyak waktu dan tenaga.

Orangtua juga dituntut untuk mendampingi anaknya sehingga mereka, terutama ibu, ada yang memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya, seperti salah satu orangtua yang berkata dalam video tersebut, “I have to stay home with him is because I have to facilitate the therapies, going here, going there, the medication, the constant medical appointments…” . Selain dalam video, seorang ibu dari anak autisme yang saya jumpai juga berkata, “…ternyata memang ga bisa ditinggal dan dititipkan ke suster atau pembantu, jadi saat itu saya putuskan, Orangtua juga dituntut untuk mendampingi anaknya sehingga mereka, terutama ibu, ada yang memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya, seperti salah satu orangtua yang berkata dalam video tersebut, “I have to stay home with him is because I have to facilitate the therapies, going here, going there, the medication, the constant medical appointments…” . Selain dalam video, seorang ibu dari anak autisme yang saya jumpai juga berkata, “…ternyata memang ga bisa ditinggal dan dititipkan ke suster atau pembantu, jadi saat itu saya putuskan,

Orangtua pun harus mampu merangkap menjadi terapis untuk penanganan di rumah yang lebih memakan waktu daripada di sekolah ataupun di tempat terapi. Bahkan pada anak yang masih balita, terputusnya proses terapi selama satu minggu saja dapat menyebabkan regresi atau kemunduran perilaku yang sangat banyak (Handojo, 2003). Pendapat ini menunjukan bahwa orangtua, mau ataupun tidak, harus juga menjadi “terapis” yang pada kenyataannya tidak mudah karena dalam penanganannya membutuhkan “hati” dan juga konsistensi yang tinggi.

Kemajuan anak dalam treatment dipengaruhi oleh berat-ringannya derajat kelainan. Semakin berat derajat kelainannya, semakin sulit untuk berkembang menjadi ‘normal’. Akan tetapi perlu diingat bahwa seringan apapun kelainannya, anak tetap harus ditangani agar gangguannya tidak berubah menjadi lebih berat. Intensitas treatment juga mempengaruhi kemajuan. Semakin intens anak ditangani, baik di institusi maupun di rumah, terbukti semakin baik perkembangannya.

Treatment apapun sebenarnya dapat membantu perkembangan anak, namun untuk kemajuan yang maksimal butuh intervensi sedini mungkin sehingga deteksi gangguan sejak kecil sangat penting. Untuk mendeteksi gangguan dan intervensi, sangat bergantung kepada orangtua masing-masing. Usia yang ideal untuk penanganan adalah kurang dari 5 tahun, tepatnya 2-3 tahun karena pada saat itulah otak anak sedang dalam perkembangan yang paling pesat (Handojo, 2003).

Treatment yang ideal seharusnya dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan kombinasi okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan- pilihan orangtua terhadap berbagai jenis treatment yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah treatment yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh- sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, orangtua harus mengidentifikasi jenis treatment yang cocok bagi anak dan melaksanakannya secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan, orangtua dapat melakukan perubahan treatment (Handojo, 2003).

Keterlibatan orangtua dalam proses treatment juga mempengaruhi kelancaran proses treatment. Orangtua perlu menempatkan diri dan mengambil peran yang proporsional dalam proses treatment anak. Mereka tidak boleh terlalu acuh ataupun terlalu ingin mencampuri proses treatment yang sedang berlangsung ataupun terlalu acuh terhadap anaknya. Kedua perlakuan yang ekstrim ini sangat merugikan dan dapat menghambat kemajuan treatment. Pada dasarnya, untuk mendukung kemajuan anak sangat dibutuhkan partisipasi aktif orangtua dalam waktu yang lama, bahkan bisa long-life (Handojo, 2003).

Dawson dan Osterling (dalam Ambarini, 2006) mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan treatment pada anak autisme, yaitu: isi kurikulum atau program penanganan, lingkungan pengajaran yang sangat mendukung, dampak pada rutinitas, yaitu bagaimana pengaruh treatment yang dilakukan terhadap kegiatan yang dilakukan sehari-hari, pendekatan fungsional pada perilaku yang bermasalah dan keterlibatan orang tua dalam treatment.

Berdasarkan sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan treatment tersebut, faktor peran orangtua sangatlah berpengaruh. Pemilihan treatment yang dianggap tepat dan canggih ditunjang dengan terapis yang terlatih, tidak membuat peran orangtua berkurang dalam mendorong keberhasilan treatment yang dilakukan. Usaha dari orang tua untuk terus menerus melakukan pendampingan pada anak sangat diperlukan, sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses treatment anak.

Mintowati (2009) melakukan sebuah penelitian untuk mengetahui hubungan intensitas terapi dan faktor keluarga dalam menunjang keberhasilan treatment pada anak autismenya. Penelitian ini dilakukan pada 31 anak autisme. Variabel bebas penelitian ini adalah durasi terapi perminggu dan faktor keluarga (jumlah saudara kandung, tingkat pendidikan orangtua, durasi orangtua bekerja, tingkat pengetahuan orangtua tentang autisme, dan peran orangtua).

Melalui hasil penelitian ini diperoleh satu variabel bermakna dari 6 variabel yang diteliti. Variabel tersebut adalah peran orangtua. Sebanyak 74,2% orangtua anak autisme yang diteliti memiliki peran yang baik terhadap anak autismenya. Penelitian yang dilakukan oleh Mintowati ini menunjukkan bahwa dari sejumlah faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilah treatment, terbukti peran orangtua adalah faktor yang paling besar memberikan sumbangan pada tingkat keberhasilan treatment anak autisme.

Pentingnya peran orangtua dalam proses pendidikan lanjutan anak autisme juga dikemukakan oleh Vrugteveen (dalam Ginanjar, 2000). Pertama, orangtua khususnya ibu, dapat mengajarkan dan membantu anak mengerjakan pekerjaan Pentingnya peran orangtua dalam proses pendidikan lanjutan anak autisme juga dikemukakan oleh Vrugteveen (dalam Ginanjar, 2000). Pertama, orangtua khususnya ibu, dapat mengajarkan dan membantu anak mengerjakan pekerjaan

Berdasarkan perbincangan dengan seorang terapis sensori integrasi untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Pusat Terapi X (Cijantung, Jakarta Timur), Taufiq Hidayat, diketahui bahwa karakteristik orangtua yang kurang mendukung kemajuan anak autisme adalah orangtua yang enggan bertanya ataupun bercerita mengenai hambatannya dalam menangani anak di rumah, acuh terhadap saran yang diberikan terapis dan tidak mau menjalankan saran-saran terapis, ataupun juga orangtua yang kurang konsisten dalam menjalani saran-saran tersebut (T. Hidayat, komunikasi pribadi, 7 September 2011).

Pendapat ini juga didukung oleh hasil perbincangan peneliti dengan salah satu psikolog anak yang juga menangani anak berkebutuhan khusus, Penny Handayani. Beliau menuturkan bahwa paling sulit adalah bekerjasama dengan orangtua yang tidak mau terbuka mengenai masalahnya dengan anak dan juga orangtua yang tidak menjalankan saran yang ia berikan. Sementara itu, orangtua yang hanya mau terbuka menceritakan masalah-masalahnya dengan anak namun tidak mau menjalankan saran juga menyulitkan proses konseling yang bertujuan untuk perbaikan kondisi anaknya (P. Handayani, komunikasi pribadi, 15 November 2011).

Melalui wawancara tersebut dengan terapis, diketahui juga adanya perbedaan tingkat kemajuan dari dua anak yang sama-sama menjalani terapi sensori intergrasi (komunikasi pribadi, 7 September 2011). Pada awalnya, keduanya mengalami masalah propriosceptif dan komunikasi yang terlihat jelas. Kebutuhan untuk bergerak sangat besar, tidak merespon bila dipanggil dan tidak terlihat minat untuk terlibat dalam komunikasi (T. Hidayat, komunikasi pribadi, 7 September 2011).

Kedua anak tersebut menunjukkan tingkat perkembangan yang berbeda dalam jangka waktu 1-2 bulan ini. Anak pertama sudah dapat duduk dengan cukup tenang untuk sekitar 1 menit, sementara anak kedua belum menunjukkan perubahan. Walaupun belum dapat berkomunikasi verbal, dalam merespon panggilan, anak pertama telah menunjukkan peningkatannya dengan menengok ketika dipanggil namanya lebih dari satu kali sementara anak kedua tidak menunjukkan adanya peningkatan. Satu hal yang luar biasa adalah anak pertama sudah menunjukkan adanya ketertarikan dalam komunikasi di sekelilingnya (misalnya, antara ayahnya dengan terapis).

Melalui wawancara lanjutan yang peneliti lakukan bersama terapis Taufiq Hidayat (T. Hidayat, komunikasi pribadi, 5 Oktober 2011), ditemukan pula beberapa perbedaan perilaku orangtua dari kedua anak tersebut. Ayah dan ibu dari anak yang pertama selalu rutin mengikuti sesi terapi seminggu dua kali, aktif bertanya tentang penanganan anak di rumah dan juga selalu menceritakan kejadian-kejadian penting di rumah berkaitan dengan anaknya. Ibunya juga selalu bersedia menerapkan saran terapis dalam menangani anak tersebut di rumah Melalui wawancara lanjutan yang peneliti lakukan bersama terapis Taufiq Hidayat (T. Hidayat, komunikasi pribadi, 5 Oktober 2011), ditemukan pula beberapa perbedaan perilaku orangtua dari kedua anak tersebut. Ayah dan ibu dari anak yang pertama selalu rutin mengikuti sesi terapi seminggu dua kali, aktif bertanya tentang penanganan anak di rumah dan juga selalu menceritakan kejadian-kejadian penting di rumah berkaitan dengan anaknya. Ibunya juga selalu bersedia menerapkan saran terapis dalam menangani anak tersebut di rumah

Gambaran kedua perilaku orangtua di atas menunjukkan adanya perbedaan dalam karakter kepribadian mereka. Peran ayah cukup terlihat pada anak pertama dan pada anak kedua tidak. Ibu pertama lebih terbuka baik dengan saran terapis, maupun dalam menceritakan kejadian sehari-hari yang berkaitan dengan anaknya. Beliau konsisten dalam mengantarkan terapi dan menangani anak sehari-hari dengan baik. Karakter ibu yang seperti di atas ini dinilai sebagai karakter orangtua yang positif dalam mendukung kemajuan treatment anak autisme. Berbeda dengan ibu pertama, ibu kedua kurang konsisten dalam menjalankan saran terapis dan juga dengan jadwal terapi karena jadwal pribadinya yang padat. Selain itu, beliau menunjukkan rasa percaya yang kurang terhadap orang lain dengan tidak membiarkan anaknya ditangani oleh pengasuh. Padahal, mungkin saja kemajuan anaknya akan lebih cepat bila rutin diantar pengasuh untuk datang terapi.

Peneliti juga percaya selain penanganan secara teknis seperti mengantarkan anak terapi, orangtua, terutama dalam hal ini ibu, juga perlu melibatkan kasih sayang dan unconditioned love dalam merawat anaknya. Hal ini juga yang mungkin bisa membedakan kualitas penanganan antara ibu yang satu dengan yang lainnya. Walaupun dengan frekuensi ataupun jumlah waktu penanganan yang setara, ibu yang mendidik dan merawat dengan kehangatan tentu akan lebih berdampak positif pada sang anak dibandingkan dengan ibu yang melakukannya sebagai tugas ataupun hanya keharusan semata tanpa melibatkan kehangatan.

Melalui perbedaan karakter yang terlihat di atas, peneliti tertarik untuk meneliti traits pada ibu dari anak autisme yang merupakan bagian dari pribadinya. Hal ini bertujuan untuk melihat lebih jelas ada tidaknya hubungan antara kepribadian ibu dari anak autisme dengan kemajuan treatment sang anak. Peneliti memilih untuk menggunakan pendekatan Big Five Personality dari Costa dan McCrae (1992).

Peneliti memiliki beberapa alasan untuk menggunakan pendekatan Big Five Personality dari Costa dan McCrae untuk melihat traits kepribadian. Pertama, Big Five Personality merepresentasikan sebuah kelompok traits kepribadian yang komprehensif dan juga berbasis empiris (Piedmont, 1998). Kedua, domain- domain dari Big Five Personality juga dapat menjelaskan karakteristik pribadi orangtua dari hasil wawancara informal peneliti dengan terapis Taufiq Hidayat di atas (komunikasi pribadi, 5 Oktober 2011).

Peneliti akan menggunakan alat tes kepribadian NEO PI-R yang dikembangkan oleh Costa dan McCrae (1992) berdasarkan teori Big Five Personality dan telah diadaptasi dalam bahasa Indonesia oleh Halim, M. S.,

Derksen, J. J. L. dan van der Staak, C. P. F. (2004) . NEO PI-R adalah alat tes kepribadian yang mengukur 5 domain utama dari kepribadian. Kelima traits tersebut adalah neuroticism (N), extraversion (E), openness to experience (O), agreeableness (A), dan conscientiousness (C) (Trull, 2005).

Apabila dikaitkan dengan domain-domain dalam NEO PI-R, ibu anak pertama seolah menunjukkan pribadi dengan skor Extraversion, dan Openness to experience yang cenderung tinggi. Selain itu, dengan rutin mengantarkan anak terapi dan menjalankan penanganan di rumah dengan teratur, ibu anak ini juga mungkin memiliki tingkat Conscientiousness yang di atas rata-rata. Berbeda dengan ibu anak pertama, ibu anak kedua diperkirakan menunjukkan pribadi dengan tingkat Neuroticism yang lebih tinggi karena memiliki kecemasan dan ketidakpercayaan untuk menyerahkan anaknya kepada pengasuh. Selain itu, ada kemungkinan juga tingkat Agreeableness dan juga Openness to experience-nya cenderung rendah mengingat ibu ini terlihat kurang bersedia dan patuh menjalankan saran-saran dari terapis dalam mengasuh anak di rumah.

Uraian di atas membuat peneliti memiliki asumsi bahwa traits kepribadian ibu berhubungan dengan kemajuan treatment anak karena traits sendiri berkontribusi pada perbedaan individu dalam berperilaku dan juga pada konsistensi perilaku tersebut (Feist & Feist, 2006). Traits juga menjelaskan mengapa setiap ibu memiliki caranya sendiri untuk berperan dalam usaha pemulihan (treatment) anaknya. Berdasarkan asumsi tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian untuk melihat kenyataan di lapangan agar dapat menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara traits kepribadian ibu dengan kemajuan treatment anak autisme Uraian di atas membuat peneliti memiliki asumsi bahwa traits kepribadian ibu berhubungan dengan kemajuan treatment anak karena traits sendiri berkontribusi pada perbedaan individu dalam berperilaku dan juga pada konsistensi perilaku tersebut (Feist & Feist, 2006). Traits juga menjelaskan mengapa setiap ibu memiliki caranya sendiri untuk berperan dalam usaha pemulihan (treatment) anaknya. Berdasarkan asumsi tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian untuk melihat kenyataan di lapangan agar dapat menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara traits kepribadian ibu dengan kemajuan treatment anak autisme

I.B Masalah Penelitian

Apakah ada hubungan antara domain serta facets kepribadian ibu yang akan dilihat dengan Big Five Personality dan kemajuan treatment anaknya yang menyandang autisme?

I.C Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara domain serta facets kepribadian ibu yang akan dilihat dengan Big Five Personality dan kemajuan treatment anaknya yang menyandang autisme. Peneliti juga akan melakukan analisis tambahan mengenai gambaran profil kepribadian ibu serta hubungan antara kemajuan treatment dan faktor-faktor lainnya.

I.D Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pada bidang ilmu psikologi mengenai ciri kepribadian ibu yang memiliki anak autisme serta melihat hubungannya dalam kemajuan treatment anak. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kepribadian ibu yang memiliki anak penyandang autisme.

Secara praktis, penelitian ini bermanfaat dalam memberikan pengetahuan bagi orangtua, terutama ibu, yang memiliki anak penyandang autisme mengenai karakteristik (traits) kepribadian ibu yang berhubungan positif, negatif, ataupun yang tidak berhubungan dengan kemajuan treatment anak. Dengan mengetahui hal tersebut, para orangtua juga dapat belajar dan mencoba mengembangkan sikap maupun perilaku-perilaku yang mendukung kemajuan anaknya. Selain itu, hasil penelitian ini juga berguna bagi lembaga-lembaga terapi maupun para terapis untuk mengetahui gambaran kepribadian orangtua klien mereka sehingga dapat membantu kerjasama antara orangtua dengan terapis dalam mendukung perkembangan anaknya.

I.E Sistematika Penulisan

BAB I: PENDAHULUAN Berisi tentang uraian latar belakang masalah mengenai autisme di dunia dan di Indonesia, rumitnya penanganan anak autisme, peran orangtua, khususnya ibu dalam kemajuan treatment anak autisme, masalah yang dibahas dalam penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian. BAB II: LANDASAN TEORI Berisi teori-teori mengenai definisi kepribadian, Big Five Personality (sejarah singkat teori dan penjelasan domain), Big Five Personality dalam parenting, pengertian autisme, pengertian kemajuan treatment, faktor-faktor pendukung keberhasilan treatment, Autism Treatment Evaluation Checklist, dan dinamika antara traits kepribadian Big Five Personality dengan kemajuan treatment anak autisme.

BAB III: METODE PENELITIAN Berisi metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Uraian mengenai jenis penelitian yaitu penelitian non-eksperimental, alat ukur penelitian (NEO PI-R dan ATEC), prosedur penelitian, serta metode pengolahan data yang dilakukan dengan teknik statistic. BAB IV: ANALISA DAN HASIL PENELITIAN Berisi hasil pengambilan data dan analisa hasil data yang didapat dari alat ukur penelitian. BAB V: KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Berisi kesimpulan dari hasil analisa Bab IV dan diskusi yang berkaitan antara teori dalam Bab LANDASAN TEORI dan hasil analisis data. Saran untuk penelitian yang dilakukan juga dicantumkan di bab ini untuk meningkatkan kualitas penelitian dan sebagai masukan bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian yang sejenis.

BAB II LANDASAN TEORI

Pada bab ini peneliti akan membahas teori-teori yang menjadi dasar penelitian. Teori yang akan dibahas meliputi definisi kepribadian, Big Five Personality (sejarah singkat teori dan penjelasan domain serta facets), Big Five Personality dalam parenting, pengertian autisme dan kemajuan treatment, faktor-faktor pendukung keberhasilan treatment, Autism Treatment Evaluation Checklist, dan dinamika antara traits kepribadian Big Five Personality dengan kemajuan treatment anak autisme.

II.A Traits Kepribadian

II.A.1 Pengertian Kepribadian

Kepribadian (personality) berasal dari sebuah kata bahasa Latin, persona. Istilah persona menunjuk kepada topeng sandiwara para aktor Romawi pada pertunjukan drama Yunani. Para aktor mengenakan sebuah topeng (persona) untuk memproyeksi sebuah peran yang ia mainkan. Setelah istilah personality muncul, personality (kepribadian) diyakini lebih dari sekedar persona. Walau tidak ada satu definisi yang dapat diterima oleh semua teoretikus, kepribadian diyakini merupakan sebuah pola sifat (traits) yang relatif permanen dan memiliki karakteristik unik yang konsisten, memberikan kekhasan pada perilaku seseorang (Feist & Feist, 2006).

Traits memiliki kontribusi pada perbedaan individu dalam berperilaku, konsistensi perilaku dalam satu kurung waktu dan pada kestabilan perilaku dalam Traits memiliki kontribusi pada perbedaan individu dalam berperilaku, konsistensi perilaku dalam satu kurung waktu dan pada kestabilan perilaku dalam

II.A.2 Big Five Personality

Banyak pendekatan yang dikembangkan untuk mempelajari kepribadian contohnya adalah pendekatan psychoanalysis, behaviouristic, dan humanistic. Salah satu pendekatan yang terkenal adalah pendekatan trait yang awalnya dipelopori oleh Allport dan Cattell. Penelitian mengenai traits dimulai pada tahun 1930-an oleh Allport dan Odbert, kemudian dilanjutkan oleh Cattell pada tahun 1940-an, dan juga Tupes, Christal, serta Norman pada 1960-an (Feist & Feist, 2006).

Pada akhir 1970-an, Costa dan McCrae bertemu dan mereka bersama-sama meneliti mengenai pendekatan ini dengan menggunakan teknik analisis faktor untuk menguji kestabilan dan struktur dari kepribadian, hingga awal 1980-an. Ketika itu, Costa dan McCrae hanya berfokus pada dua dimensi utama yaitu Neuroticism (N) dan Extraversion (E). Hasil penelitian tersebut menemukan satu faktor baru yang mereka sebut dengan Openess to Experience (O). Sementara itu, Costa dan McCrae belum sepenuhnya mengembangkan faktor keempat dan kelima, A dan C (Agreeableness dan Conscientiousness), hingga sampai NEO-PI disusun pada tahun 1992 (Feist & Feist, 2006).

II.A.3 Domain dan Facet Big Five Personality

Costa dan McCrae (dalam Piedmont, 1998) memberikan penjelasan pada kelima dimensi, Neuroticism, Extraversion, Openess to Experience, Agreeableness dan Conscientiousness sebagai berikut: Costa dan McCrae (dalam Piedmont, 1998) memberikan penjelasan pada kelima dimensi, Neuroticism, Extraversion, Openess to Experience, Agreeableness dan Conscientiousness sebagai berikut:

ketidakstabilan emosional. Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada domain ini cenderung mudah mengalami tekanan psikologis, pikiran- pikiran yang tidak realistis, hasrat atau dorongan yang berlebihan, dan respon coping permasalahan yang maladaptif.

b. Extravertion (E). Pada tahun 1985, Costa dan McCrae mendefinisikan domain ini sebagai domain yang mewakili kuantitas dan intensitas interaksi antar personal, kebutuhan stimulasi dan kapasitas kegembiraan. Domain ini membedakan pribadi yang suka bergaul, aktif, dan individu yang berorientasi pada hubungan antar manusia dengan pribadi yang suka menyendiri, tenang, pemalu, dan pendiam.

c. Openess to Experience (O). Openess to experience digambarkan sebagai

karakteristik yang secara proaktif mencari pengalaman baru dan juga mengapresiasinya untuk dirinya sendiri, dan sebagai toleransi terhadap eksplorasi hal-hal yang tidak biasa. Domain ini membedakan pribadi yang penasaran, memiliki pemikiran-pemikiran orisinil, tidak tradisional, dan kreatif dengan mereka yang konvensional (kuno), tidak artistik, dan tidak analitis.

d. Agreeableness (A). Domain ini menguji sikap-sikap yang dipegang seseorang dalam berhadapan dengan orang lain. Sikap-sikap ini dapat saja sangat pro-person, kasih sayang, percaya kepada orang lain, memaafkan, dan berhati lembut serta dapat juga berlawanan seperti antagonis, sinis, manipulatif, pendendam, dan kejam.

e. Conscientiousness (C). Domain ini mengukur derajat seseorang dalam hal

mengatur, ketekunan, dan motivasi dalam perilaku mencapai tujuan. Dimensi ini membedakan orang yang dapat diandalkan dan pemilih dengan mereka yang lesu dan ceroboh. Domain ini juga merepresentasikan kontrol diri seseorang dan kemampuan untuk menunda pemuasan kebutuhannya.

Pada tahun 1992, Costa dan McCrae mengembangkan alat ukur kepribadian berdasarkan pendekatan traits. Alat ukur tersebut bernama NEO Personality Inventory Revised (NEO PI-R). Pada alat ukur ini, Costa dan McCrae membagi setiap domain Big Five Personality ke dalam enam facet yang berbeda-beda dan lebih spesifik. Masing-masing facet tersebut diukur melalui 8 item. Berarti, NEO- PI-R memiliki 240 item secara keseluruhan. Berikut ini adalah tabel yang berisi penjelasan facet dari masing-masing domain (Piedmont, 1998):

Tabel II.1. Tabel Domain dan Facet dari Big Five Personality

Neuroticism N1 (anxiety) Mengukur kecenderungan untuk mengalami kecemasan dan kegelisahan

N2 (angry Mengukur kecenderungan individu untuk hostility )

mengekspresikan rasa marah N3 (depression) Mengukur kecenderungan merasakan kesedihan dan merasa bersalah N4 (self-

Mengukur kecenderungan merasa tidak consciousness) nyaman berada di antara orang lain

N5 Mengukur kecenderungan untuk merasa (impulsiveness)

tidak mampu mengendalikan diri dan menahan diri

N6 Mengukur kecenderungan kerentanan diri

(vulnerability) Extraversion E1 (warmth)

Mengukur kecenderungan individu menunjukkan kehangatan dan keramahan terhadap orang lain E2 Mengukur kecenderungan individu

(gregariousness) membutuhkan kehadiran orang lain E3 Mengukur kecenderungan individu

(assertiveness) mendominasi, bersemangat, dan berpengaruh terhadap orang lain

E4 (activity) Mengukur kecenderungan individu dalam kebutuhan untuk beraktivitas

E5 (excitement Mengukur kecenderungan individu seeking)

membutuhkan stimulasi yang mendebarkan E6 (positive

Mengukur kecenderungan individu emotions)

mengalami emosi positif Openess To

O1 (fantasy) Mengukur kecenderungan individu Experience memiliki imajinasi dan kehidupan fantasi yang aktif

O2 (aesthetics) Mengukur kecenderungan individu memiliki penghargaan yang mendalam terhadap karya seni dan keindahan

O3 (feelings) Mengukur kecenderungan individu menujukkan kondisi emosi yang lebih mendalam

O4 (actions) Mengukur kecenderungan individu mencoba hal-hal baru dan bervariasi

O5 (ideas) Mengukur kecenderungan individu untuk membuka diri mengenai ide-ie yang baru dan tidak kontroversial

O6 (values) Mengukur kecenderungan individu untuk O6 (values) Mengukur kecenderungan individu untuk

Agreeableness A1 (trust) Mengukur kecenderungan individu untuk percaya bahwa orang lain jujur dan memiliki maksud baik A2 Mengukur kecenderungan individu untuk

(straightforward bersikap apa adanya, tulus, dan tidak pura- ness)

pura

A3 (altruism) Mengukur kecenderungan individu untuk memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain

A4 (compliance) Mengukur kecenderungan individu untuk memaafkan, melupakan, meredam agresi, dan tunduk pada orang lain

A5 (modesty) Mengukur kecenderungan individu menunjukkan sikap rendah hati A6 Mengukur kecenderungan individu merasa

(tendermindedne iba dan simpati terhadap orang lain. ss)

Conscientious C1 (competence) Mengukur kecenderungan individu untuk ness mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi hidup

C2 (order) Mengukur kecenderungan individu untuk mejaga segala sesuatu dengan rapi dan sebaik mungkin

C3 (dutifulness) Mengukur kecenderungan individu untuk berpegang pada prinsip-prinsip etis dan memenuhi kewajiban moral

C4 (achievement Mengukur kecenderungan individu dalam C4 (achievement Mengukur kecenderungan individu dalam

C5 (self- Mengukur kecenderungan individu untuk discipline) tahan melaksanakan tugas dan motivasi diri

C6 (deliberation) Mengukur kecenderungan individu untuk berhati-hati sebelum mengambil tindakan

II.A.4 Big Five Personality dalam Parenting

Nigg dan Hinshaw (1998) menemukan bahwa kepribadian orangtua berkontribusi dalam memprediksi perilaku anak. Hal ini disebabkan karena konstruk kepribadian orangtua ini juga menghasilkan kontribusi khusus pada parenting . Kepribadian dapat mempengaruhi cara individu memanfaatkan dukungan yang ia miliki. Kepribadian juga mempengaruhi cara individu tersebut merespon serta beradaptasi dalam setiap situasi. Salah satu temuan yang paling konsisten dari penelitian mengenai traits ibu dalam parenting anak berkebutuhan khusus yaitu tingkat N yang tinggi berhubungan dengan kurang adaptifnya pengasuhan anak secara keseluruhan (Clarke, 2006). Bahkan, Metsapelto dan Pulkkinen (2003) menemukan bahwa orangtua (sampel non-klinis) dengan tingkat N yang tinggi memiliki parental nurturance serta pengetahuan mengenai kegiatan anak yang rendah. N yang tinggi juga memiliki asosiasi dengan parental rejection yang dapat membawa dampak negatif pada pengasuhan anak (Spinath & O’Connor, 2003).

Jika N merepresentasikan emosi-emosi negatif, E diibaratkan sebagai emosi positif. Kombinasi dari tingginya N dan rendahnya E menunjukkan hubungan yang paling dekat dengan depresi (Chioqueta & Stiles, 2005). Selain itu, interaksi Jika N merepresentasikan emosi-emosi negatif, E diibaratkan sebagai emosi positif. Kombinasi dari tingginya N dan rendahnya E menunjukkan hubungan yang paling dekat dengan depresi (Chioqueta & Stiles, 2005). Selain itu, interaksi

Belsky, Crnic, dan Woodworth (1995) menemukan bahwa ibu dengan E yang tinggi lebih menunjukkan emosi-emosi positif, lebih peka, dan terlihat lebih menstimulasi secara kognitif selama berinteraksi dengan anaknya. Menariknya, trait

E ini merupakan domain multifacet yang mencakup aspek kehangatan (warmth) dan juga assertiveness. Bukti aspek assertiveness dalam trait ini direfleksikan dalam perilaku asertif yang terlihat pada orangtua (Clark, Kochanska, & Ready, 2000).

Salah satu traits yang paling sering diabaikan dalam penelitian mengenai parenting adalah O, namun sebuah penelitian mengungkap bukti yang menghubungkan faktor ini dengan parenting. Ibu-ibu yang memiliki angka rendah pada O memiliki over-protectiveness yang tinggi (Spinath & O-Connor, 2003). Seiring dengan bukti tersebut, O juga berkorelasi negatif dengan perilaku mengekang dan berkorelasi positif dengan parental nurturance (Metsapelto & Pulkkinen, 2003).

Bukti-bukti yang berhubungan dengan A ibu dalam parenting cukup terbatas. Meskipun begitu, A menunjukkan kecenderungan dalam memprediksi ketanggapan ibu dalam menangani anak (Clark, Kochanska, & Ready, 2000). Seperti layaknya bukti yang ditemukan mengenai E, ibu yang memiliki A yang tinggi juga menunjukkan emosi yang lebih positif, lebih peka terhadap keadaan anak, dan menstimulasi anak secara kognitif ditambah lagi tidak sering terpisah dengan anaknya (Belsky et al., 1995).

Kochanska, Friesenborg, Lange, dan Martel (2004) menemukan bahwa Conscientiousness orangtua diprediksi sebagai aspek pelaksana dalam parenting. Hal tersebut mengacu pada sikap penjagaan anak yang konsisten dan berkelanjutan. C menunjukkan hubungan yang paling konsisten dengan perilaku pengasuhan yang menguntungkan. Orangtua dengan tingkat C yang tinggi diasosiasikan dengan kedisiplinan yang konsisten, keterlibatan dan gaya pengasuhan yang lebih positif (Clarke, 2006). Ibu-ibu dengan C rendah dapat kurang konsisten dalam cara mereka mengasuh dan mempunyai kesulitan lebih besar dalam mengawasi anak mereka. Hubungan ini akan semakin erat jika tingkat N-nya juga tinggi.

II.B Autisme

II.B.1 Pengertian Autisme

Autis berasal dari kata “autos” yang artinya segala sesuatu yang mengarah pada diri sendiri. Dalam DSM IV autistic disorder adalah adanya gangguan atau abnormalitas perkembangan pada interaksi sosial dan komunikasi serta ditandai dengan terbatasnya aktifitas dan ketertarikan. (American Psychiatric Association, 2000). Prevalensi nya adalah 5 : 10.000 dengan perbandingan antara anak laki- laki dan perempuan adalah 4 : 1.

Perilaku autistik digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang excessive (berlebihan) dan perilaku yang deficit (berkekurangan). Perilaku excessive di antaranya hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menggigit, mencakar, memukul, dsb. Anak juga sering kali menyakiti dirinya sendiri (self- abused ). Perilaku deficit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang Perilaku autistik digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang excessive (berlebihan) dan perilaku yang deficit (berkekurangan). Perilaku excessive di antaranya hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menggigit, mencakar, memukul, dsb. Anak juga sering kali menyakiti dirinya sendiri (self- abused ). Perilaku deficit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang

Delapan puluh persen anak autisme memiliki IQ dibawah 70 (Davison, 1998). Akan tetapi, autisme berbeda dengan retardasi mental. Penderita retardasi mental menunjukkan hasil yang memprihatinkan pada semua bagian dari sebuah tes inteligensi. Berbeda dengan anak autisme, mereka mungkin menunjukkan hasil yang buruk pada hal yang berhubungan dengan bahasa tetapi mereka ada yang menunjukkan hasil yang baik pada kemampuan visual-spatial, perkalian empat digit, atau memiliki long term memory yang baik. Mereka mungkin memiliki bakat besar tersembunyi yang perlu digali.

II.B.2 Treatment Anak Autisme

Tujuan utama dari treatment pada anak autisme adalah untuk memaksimalkan potensi anak dan membantu anak dan keluarganya melakukan coping yang efektif terhadap gangguan yang diderita anak (Mash & Wolfe, 1999). Treatment yang diterapkan orangtua pada anak autisme ada bermacam-macam diantaranya adalah treatment perilaku, biomedikasi, dan sensori-motor serta floor time (Stacey, 2003).

Treatment perilaku yang paling umum dilakukan adalah Applied Behavioral Analysis (ABA) yang ditemukan oleh Lovaas pada tahun 1987 (Maurice, 1996). Treatment ini secara sistematis berfokus pada pembagian satu perilaku menjadi unit-unit perilaku yang lebih kecil atau sederhana. Jika anak menampilkan Treatment perilaku yang paling umum dilakukan adalah Applied Behavioral Analysis (ABA) yang ditemukan oleh Lovaas pada tahun 1987 (Maurice, 1996). Treatment ini secara sistematis berfokus pada pembagian satu perilaku menjadi unit-unit perilaku yang lebih kecil atau sederhana. Jika anak menampilkan

Treatment biomedikasi dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu medikasi (treatment obat), diet, dan megavitamin. Treatment medikasi menggunakan bantuan obat-obatan untuk mengontrol gejala- gejala autisme yang bersifat merusak atau agresif. Obat yang paling sering digunakan adalah yang termasuk tranquilizers major seperti haloperidol atau haldol (Powers, 1989; Maurice, 1996). Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa terapi ini dapat mengakibatkan efek samping seperti meningkatkan perilaku stereotipikal pada anak autisme (Campbell dalam Maurice, 1996).