INTERAKSI FAKTOR LINGKUNGAN DAN KONTROL
INTERAKSI FAKTOR LINGKUNGAN DAN KONTROL HORMONAL DALAM
FISIOLOGI REPRODUKSI KEPITING BAKAU
Oleh: Bruri Melky Laimeheriwa
Pendahuluan
Salah satu sumberdaya hayati perairan bernilai ekonomis tinggi dan potensial
untuk dibudidayakan adalah kepiting bakau (Scylla sp). Jenis kepiting ini disenangi
masyarakat karena bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting
(Catacutan, 2002). Kepiting bakau (Scylla spp.) hidup di ekosistem hutan bakau dan
estuaria, anggota suku Portunidae. Meningkatnya permintaan konsumen terutama
dari pasar luar negeri, menjadikan kepiting menjadi salah satu komoditas andalan
untuk ekspor non migas mendampingi udang windu. Permintaan kepiting yang terus
meningkatnya tersebut, selain disebabkan rasa dagingnya yang lezat, juga
kandungan gizinya yang tinggi, berdasarkan hasil analisis proksimat diketahui bahwa
daging kepiting bakau mengandung protein 47,31% dan lemak 11,20% (Karim, 2005).
Guna menunjang usaha budidaya kepiting yang efektif, efisien dan
menguntungkan secara ekonomis perlu dilakukan pengkajian terhadap sifat-sifat
bilologis khususnya fisiologi reproduksi kepiting bakau. Hal tersebut dimaksudkan
agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya memberikan pertumbuhan dan
reproduksi yang maksimal.
Aspek reproduksi kepiting bakau merupakan suatu proses hidup yang sangat
penting dimana melaluinya kepiting memelihara keragaman karakter, melakukan
adaptasi terhadap lingkungan yang labil serta mempertahankan dan memperbanyak
keberadaan sebagai suatu spesies. Banyak fenomena biologi terdapat dalam proses
ini, seperti penentuan kelamin, kematangan kelamin, peran dan fungsi organ kelamin
serta tingkah laku kelamin. Keberhasilan reproduksi hewan air khususnya kelas
krustasea merupakan hal mendasar bagi keberlangsungan biota tersebut. Krustasea
memiliki kemampuan adaptasi yang luas terhadap lingkungan dan memiliki strategi
reproduksi yang unik sesuai lingkungannya. Strategi adaptasi dan reproduksi ini, telah
menjadi hal yang menarik bagi para ilmuwan untuk mempelajarinya karena sangat
berkaitan dengan fungsi fisiologi dan tingkah laku yang diekspresikan secara spesifik
untuk setiap individu dalam satu spesies maupun antar spesies.
Pengetahuan tentang siklus reproduksi kepiting mulai dari proses
pembentukan sel kelamin sampai dengan terjadinya kematangan gonad sangat perlu
informasi yang tepat dan lengkap. Bukan pada level organ saja, tapi sampai pada
tingkat jaringan bahkan molekul, tetapi juga dalam kaitannya dengan fisiologi
reproduksi itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan
fisiologi reproduksi sangat dibutuhkan pada dewasa ini.
Tujuan paper ini adalah membahas regulasi mekanisme kontrol aksi hormon
dan perannya dalam sistem reproduksi kelas krustasea, khususnya kepiting. Penulis
berusaha untuk menelaah informasi (review) secara detail dari beberapa jurnal dan
artikel ilmiah dalam kaitannya dengan teori dalam fisiologi reproduksi kepiting.
Kiranya, hasil kajian ini menambah pemahaman dan pengalaman penulis sehingga
kelak dapat menerapkannya.
Adapun sistematika pembahasan dalam paper ini mencakup: pendahuluan,
daur hidup kepiting bakau, organ reproduksi kepiting bakau, sistem reproduksi
kepiting bakau, proses reproduksi kepiting bakau, kontrol hormonal dalam reproduksi
kepiting bakau, interkasi faktor lingkungan dengan fisiologi kepiting bakau, serta
pengaruh faktor lingkungan pada kadar hormon dan sistem reproduksi kepiting bakau.
Morfologi dan karakteristik kepiting bakau
Ciri morfologis kepiting bakau umumnya terdiri atas dua bagian yakni tubuh dan
kaki. Kaki kepiting bakau ada lima pasang terdiri dari sepasang capit, tiga pasang kaki
jalan, dan sepasang kaki renang yang berbentuk lebar dan pipih untuk berenang
(Gambar 1).
Kepiting bakau memiliki karapas berbentuk bundar telur, lebih lebar daripada
panjang (perbandingan panjang dengan lebar internal karapas 0,66-0,72); permukaan
karapas halus, lokos, dan agak mencembung; lekuk gastro-kardiak samar-samar
hingga sedang dalamnya. Sisi muka karapas (front margin, di antara dua mata) jelas
terpisahkan dari rigi-atas mata (supraorbital margin), terbagi atas empat taju yang
bervariasi dari gerigi yang rendah dan tumpul hingga yang tinggi dan tajam serupa
duri; lebar sisi muka ini bervariasi menurut spesies (perbandingan sisi muka dengan
lebar [internal] karapas 0,33-0,45). Rigi-atas mata dengan rekahan tengah (median
fissure) dan rekahan luar; rigi-bawah mata jelas bergerigi. Sisi anterolateral
(anterolateral margin, sebelah luar mata) masing-masing dengan 9 gerigi serupa duri
yang hampir sama ukurannya; sisi anterolateral lebih panjang dari sisi posterolateral
(pinggir belakang, dekat deretan kaki) yang halus tak bergerigi. Lengan sepit
(chelipeds) besar dan kokoh, permukaannya halus; merus (ruas pertama cheliped,
dari pangkal) dengan tiga duri besar di sisi anterior, dan dua yang lebih kecil di sisi
posterior; carpus (ruas kedua, di depan merus) dengan satu duri runcing di sisi dalam
dan 1-2 duri di sisi luar yang bervariasi dari besar dan kuat hingga kerdil atau
menumpul; propodus (ruas ujung, capit) dengan satu duri dekat pangkalnya, dan
sepasang duri besar di dekat jari penjepit (dactyl), duri-duri itu bervariasi besarnya
menurut spesies, sisi dalam penjepit dengan tonjolan-tonjolan serupa gigi. Kakikakinya kokoh, tiga pasang yang pertama serupa bentuknya, sepasang yang terakhir
dengan ruas ujung serupa dayung. Abdomen pada yang jantan ramping, ruas ke-3
hingga ke-5 menyatu; pada yang betina melebar. Warnanya bervariasi dari spesies
ke spesies.
Daur hidup kepiting bakau
Kepiting bakau melangsungkan perkawinannya di perairan hutan mangrove,
dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau
betina akan bermigrasi ke perairan laut atau menjauhi pantai, untuk mencari perairan
yang parameter lingkungannya (terutama suhu dan salinitas perairan) cocok, sebagai
tempat memijah. Selanjutnya, kepiting bakau jantan setelah melakukan perkawinan
akan tetap berada di perairan hutan mangrove, tambak atau sela-sela perakaran
mangrove (Gambar 2).
Perkembangan kepiting bakau dalam daur hidupnya dibagi atas tiga stadia,
yaitu: stadia embrionik, stadia larva dan stadia pascalarva). Secara terperinci,
perkembangan kepiting bakau (Scylla serrata) mulai dari telur hingga mencapai
dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaitu: stadia zoea, stadia
megalopa, stadia kepiting muda (juvenil) dan stadia kepiting bakau dewasa (Gambar
3). Setelah telur menetas di perairan laut, muncul larva tingkat I (zoea I) yang akan
terus menerus berganti kulit (moulting), kemudian terbawa arus ke perairan pantai,
hingga mencapai stadia zoea V. Proses ini memerlukan waktu minimal 18 hari. Setiap
kali pergantian kulit zoea tumbuh dan berkembang, yang antara lain ditandai oleh
penambahan setae renang pada endopod maxilliped-nya. Zoea V kemudian akan
mengalami pergantian kulit menjadi megalopa, yang bentuk tubuhnya sudah mirip
dengan kepiting dewasa, kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Megalopa
yang lebih mirip kepiting dewasa sering dirujuk sebagai kepiting pada stadia
pascalarva. Proses perkembangan dari stadia megalopa ke stadia kepiting bakau
muda (juvenil), memerlukan waktu antara 11-12 hari. Kepiting bakau muda akan
bermigrasi kembali ke hulu estuari, kemudian berangsur-angsur memasuki hutan
mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting bakau dewasa.
Organ Reproduksi kepiting bakau
Organ reproduksi kepiting bakau jantan maupun betina merupakan organ
berpasangan yang terletak pada bagian posterior thorax, dibawah karapaks dan
melintang pada bagian dorsal hepatopankreas (Gambar 4A). Organ reproduksi
kepiting bakau jantan terdiri atas sepasang testis dan sepasang vas deferens. Testis
berbentuk lonjong, berwarna putih dan terletak pada bagian atas bagian posterior
hepatopankreas dan jantung. Di bagian depan lambung, kedua bagian testis tersebut
menyatu. Pada setiap ujung posterior testis, muncul vas deferens yang mula-mula ke
sisi lateral, kemudian menuju ventral dan bermuara pada tungkai kaki jalan terakhir.
Organ reproduksi kepiting bakau betina terdiri atas sepasang indung telur
(ovarium), sepasang saluran telur (oviduct), serta sepasang wadah sperma
(spermatheca). Ovarium adalah organ berupa badan berbentuk sabit, terletak
melintang pada bagian dorsal hepatopankreas. Struktur morfologis ovarium
bervariasi, sesuai dengan umur dan tingkat perkembangannya. Oviduct muncul dari
bagian pertengahan ovarium. Pada bagian sisi terluar oviduct terdapat wadah
penyimpanan sperma (spermatheca). Ujung oviduct dan spermatheca berbentuk
corong, yang mengarah menuju ke bagian ventral tubuh secara vertikal, dan bermuara
pada bukaan kelamin yang terletak pada thorachic sternum (Gambar 4C).
Sistem Reproduksi kepiting bakau
Secara umum sistem reproduksi pada kepiting dapat dikemukakan sebagai
berikut: kepiting memiliki kelamin terpisah, dan dapat dibedakan dari pleopods
abdomen (Gambar 1A dan 1C). Pleopod jantan biasanya lebih besar dari betina.
Pleopods ini berfungsi sebagai organ kopulator untuk mentransfer spermatophores
dari jantan ke alat seksual betina. Kepiting betina dapat menyimpan spermatophores
dalam waktu lama, dan telur tidak harus dikeluarkan segera saat mating. Sperma di
spermatophores akan membuahi telur yang akan dikeluarkan individu betina. Telur
yang sudah dibuahi akan melekat pada pleopods betina dengan bantuan benang
panjang disekresikan oleh betina.
Secara morfologi, sistem reproduksi kepiting jantan terdiri dari sepasang testis,
vas deferens, vesikula seminalis dan aperture genital (Gambar 4B). Testis berwarna
putih dengan struktur memanjang dan terletak dekat daerah perikardial. Morfologi
testis mirip dengan morfologi ovarium dengan penampilan seperti huruf “H”. Dari
setiap testis akan muncul sebuah vas deferens dan terhubung ke luar oleh
gonophores, di mana terletak pada pereiopods kelima. Vas deferens memiliki tiga
daerah mikroskopis yang berbeda dan mengandung spermatophores dalam berbagai
tahap pematangan.
Spermatogenesis dicirikan dengan terdiferensiasinya sel-sel sperma, dan
terpelihara sebelum pembuahan. Testis krustasea mengandung 10-15 lobus, di mana
setiap lobus mengandung banyak tubulus seminiferus, yang bentuknya berubah
sesuai dengan tahap spermatogenesis. Spermatogenesis dimulai dengan
terdiferensiasi tubulus seminiferus (proacini) bagian atas lobus. Proses meiosis terjadi
pada asinus dengan mengembangkan proacini agak ke bagian atas proksimal setiap
lobus. Pada tahap ini, lobulus kebanyakan mengandung spermatosit primer.
Terdiferensiasinya spermatosit sekunder menjadi spermatid terjadi di tubulus
seminiferus, dimana terletak di pusat masing-masing lobus. Semua tubulus
seminiferus dipenuhi dengan spermatosit dan spermatid serta dikelilingi oleh lapisan
otheocytes yang berasal dari mesodermal. Kontrol hormonal spermatogenesis belum
sepenuhnya dipahami dalam krustasea, namun ada informasi bahwa MF sebagai
hormon reproduksi pada krustasea jantan.
Secara morfologi, sistem reproduksi kepiting betina terdiri dari sepasang
ovarium, oviduct, gonophores dan area penerimaan sperma (Gambar 4D). Lobus
ovarium dihubungkan oleh pusat jaringan ovarium. Lobus ovarium simetris terletak di
cephalothorax bagian atas perut dan hepatopancreas (HP). Saluran telur (oviduct)
akan muncul secara lateral dari masing-masing ovarium pada titik tepat di samping
jantung dan meluas bagian lambung dan melalui gonophore di area perut. Pada betina
reseptif, setiap pori dilengkapi dengan seberkas setae besar dan panjang, yang
berfungsi sebagai tabung untuk berjalannya ovum. Dalam keadaan matang penuh,
bentuk ovarium dapat mengisi daerah thoraks dari rongga tubuh sepenuhnya.
Oogenesis dimulai dengan adanya proliferasi dan diferensiasi oogonial
ovarium terjadi ketika ovarium berwarna putih buram (ovarium previtellogenic).
Selama vitelogenesis, ovarium mengalami perubahan warna kuning pucat
(vitellogenik tahap I) ke oranye (tahap II vitellogenik) dan kemudian menjadi coklat
(vitellogenik tahap III) ke coklat tua sebelum pemijahan. Pematangan ovarium
mencakup peningkatan ukuran ovarium dan diameter oosit, serta deposisi kuning telur
(yolk).
Proses reproduksi kepiting bakau
Kepiting bakau pada umumnya bersifat dieocious, yakni memiliki kelamin yang
terpisah. Scylla termasuk dalam kelompok Branchyncha, sehingga proses
fertilisasinya berlangsung di dalam tubuh. Fase-fase dalam proses reproduksi kepiting
bakau dimulai dari proses transfer sperma (kopulasi) dan perkembangan ovarium
yang berlangsung sekitar 30 hari, serta proses pemijahan, pembuahan, inkubasi dan
penetasan telur yang berlangsung sekitar 17 hari. Proses perkembangan gonad dapat
berlangsung apabila kepiting bakau betina telah mengalami proses kopulasi.
Umumnya kepiting bakau yang siap untuk matang gonad adalah yang ukuran lebar
karapaksnya berkisar antara 105-123 mm. Kepiting bakau dapat mencapai
kematangan gonad pada ukuran lebar karapaks 99.1mm.
Proses Kopulasi. Kawin (kopulasi) atau proses transfer sperma, hanya terjadi
pada kepiting bakau betina dan jantan yang telah dewasa kelamin. Kopulasi terjadi
pada saat karapaks kepiting bakau betina masih dalam keadaan lunak, atau sesaat
setelah proses moulting berlangsung. Kopulasi kepiting bakau pada umumnya terjadi
pada saat suhu perairan naik. Proses ini diawali dengan peristiwa pengeluaran
feromon ke dalam air oleh kepiting bakau betina sehingga mengundang kehadiran
kepiting bakau jantan pasangannya untuk mendekatinya kembali. Kepiting bakau
jantan akan melindungi kepiting bakau betina mulai proses moulting berlangsung
hingga karapaks mengeras. Sesaat sebelum karapaks kepiting bakau betina
mengeras, kepiting bakau jantan akan membantu membalikan tubuh kepiting bakau
betina yang masih berkulit lunak, hingga berada dalam posisi terlentang, yaitu perut
dan alat kelaminnya saling berhadapan. Pada saat itu, pleopod kepiting bakau jantan
akan berfungsi sebagai alat kopulasi. Pleopod pertama dimasukan ke dalam bukaan
kelamin betina, sedangkan pleopod kedua berperan untuk memompa kumpulan
kantong sperma (spermathopore). Spermatophore yang ditransfer oleh kepiting bakau
jantan akan disimpan di dalam wadah penyimpan sperma (spermatheca), yang
terdapat pada tubuh kepiting bakau betina, sampai telur matang dan siap untuk
dibuahi. Spermatophore yang tersimpan dalam spermatheca masih tetap hidup dan
aktif selama beberapa bulan. Sekali kopulasi, spermatozoa yang terdapat dalam
spermatheca cukup untuk melakukan pembuahan dalam dua kali pemijahan atau
lebih. Kepiting bakau betina bertelur yang ditangkap di laut dan dipelihara di
laboratorium, dapat memijah tiga kali dalam lima bulan tanpa melakukan proses
moulting dan kopulasi lagi. Dikatakan pula bahwa proses kopulasi pertama kali dapat
dilakukan oleh kepiting bakau dengan lebar karapaks antara 99.1-144.2 mm.
Proses Perkembangan Gonad. Dalam tubuh krustasea terdapat sistem syaraf
khas yang sangat berbeda dengan organisme lainnya. Mata yang selain menjalankan
fungsi utamanya sebagai organ penglihatan, juga merupakan lokasi dari organ-organ
penunjang reproduksi. Pada tangkai mata kepiting bakau terdapat organ-X yang
menghasilkan gonado inhibiting hormone (GIH), yang berfungsi secara langsung
untuk menghambat perkembangan kelenjar androgen pada jantan dan ovarium pada
betina sehingga spermatozoa atau ovum terhambat perkembangannya. Gonado
inhibiting hormone juga menghambat aktifitas organ-Y sehingga bebas menghasilkan
gonado stimulating hormone (GSH), yang bekerja merangsang pembentukan
spermatozoa pada jantan atau ovum pada betina.
Perkembangan ovarium diawali oleh proses vitelogenesis, yakni proses
pembentukan kuning telur yang ditandai dengan terjadinya deposisi vitelogenin ke
dalam ovum. Vitelogenin disekresi ke dalam darah (hemolimfa) dan dibawa ke ovum
untuk disintesis menjadi kuning telur. Vitelogenin adalah bahan baku atau prekursor
protein kuning telur yang disintesis untuk mematangkan sel telur (oocyte). Kuning telur
akan menjadi sumber nutrien selama perkembangan embrio. Sedangkan bahan baku
dari vetelogenin adalah vitelin, yang disintesis oleh jaringan ekstraovarium dan
dilepaskan ke dalam hemolimfa sebagai respons terhadap vitellogenin stimulating
ovarian hormone (VSOH).
Vitelin pada kepiting adalah gabungan pigmen dengan lipoprotein yang
berwarna jingga, serta mengandung 48% lemak, 50% protein dan 2% karbohidrat (Lee
1991). Konsentrasi lipovitelin akan terus meningkat menjadi komponen yang lebih
besar, seiring dengan perkembangan kematangan ovarium dan sel telur. Dikatakan
selanjutnya bahwa umumnya akumulasi lipoprotein akan segera diikuti oleh akumulasi
butiran minyak, yang pada krustasea akan nampak pada tingkat akhir vitelogenesis.
Lipovitelin dan butiran minyak berupa komponen kecil yang ditemukan pada sel telur
yang belum berkembang, dan konsentrasinya akan terus meningkat menjadi
komponen besar pada sel telur matang. Akumulasi lipoprotein akan diikuti oleh
akumulasi butiran minyak. Pada krustasea butiran-butiran minyak akan nampak pada
tahap akhir vitelogenesis.
Butir-butir kuning telur disintesa dalam badan golgi dan retikulum endoplasma,
sedangkan hepatopankreas merupakan sumber dari butir-butir minyak, yang dalam
proses pembentukannya dibantu oleh sel-sel folikel yang berperan penting. Secara
umum, hemolimfa juga memegang peranan penting dalam sintesa lipovitelin. Pada
awal vitelogenesis, terbentuk sebuah pembungkus folikel yang mengelilingi tiap
oocyte. Selanjutnya terbentuk jaringan berbentuk pipa (tubuler) yang menghubungkan
semua ruang ekstraseluler. Jaringan ini memudahkan pengangkutan substansi dari
hemolimfa ke oocyte. Jumlah jaringan tubuler tersebut akan menurun pada akhir
vitelogenesis.
Kematangan gonad kepiting bakau betina diklasifikasikan atas empat tingkat
yaitu belum matang, menjelang matang, matang dan salin. Tingkat kematangan
gonad pada kepiting bakau (Scylla serrata) betina berbeda menurut umur dan ukuran
tubuhnya. Kepiting bakau yang dipelihara dalam kondisi laboratorium, untuk pertama
kalinya matang Gonad setelah berumur sebelas bulan dengan rata-rata lebar
karapaks 114.2 mm. Alat-alat reproduksi kepiting di wilayah tropika sudah matang
pada umur kira-kira 18 bulan, sedangkan di wilayah subtropika, kematangan baru
akan dicapai pada umur kira-kira 36 bulan.
Proses Pemijahan. Telur-telur yang sudah matang akan dikeluarkan dalam
proses pemijahan melalui oviduct melewati wadah sperma (spermatheca) yang
berada pada bagian sisi luar oviduct, sehingga akan terbuahi oleh spermatozoa yang
tersimpan dalam spermatheca. Dengan demikian maka secara otomatis massa telur
yang telah keluar dan menempel pada rambut-rambut pleopod, adalah massa telur
yang yang telah terbuahi (zigote). Setelah telur hampir mencapai tingkat kematangan
sempurna, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut untuk memijah, dan
jumlah telur yang dikeluarkan dapat mencapai 1-8 juta butir, tergantung pada ukuran
induk. Setelah dikeluarkan, massa telur akan dikumpulkan dan dilekatkan pada
rambut-rambut pleopod, dengan bantuan sejenis perekat berwarna coklat.
Selanjutnya diinkubasikan pada rambut-rambut pleopod. Saat menempel pada
rambut-rambut pleopod, umumnya telur telah mencapai stadium blastula, dengan
ukuran rata-rata 63 µm. Proses pemijahan yang meliputi pengeluaran sampai
penyusunan massa telur pada rambut-rambut pleopod, berlangsung selama satu
sampai satu setengah jam, dan proses ini umumnya berlangsung pada bagian
perairan yang terlindung dan bersubstrat lumpur atau pasir.
Inkubasi Telur dan Penetasan Telur. Perkembangan telur (zigote) yang dierami
selama masa inkubasi, dapat teramati melalui perubahan warna massa zigote, dari
oranye menjadi coklat sampai kehitam-hitaman. Telur yang baru dikeluarkan
berwarna oranye, karena masih mengadung kuning telur. Telur makin lama makin
menghitam, seiring dengan berkurangnya volume kuning telur dan berkembangnya
embrio (Gambar 5). Warna hitam yang nampak umumnya disebabkan oleh bagian
mata embrio. Perkembangan embrio kepiting pada umumnya dimulai dari tahap
blastulasi, gastrulasi, penampakan pigmen, denyut jantung pertama kali, penampakan
anggota badan dan ciri morfologis lainnya. Pada kepiting Aratus pisori tahap
perkembangan yang dapat terlihat pertama kali adalah terbentuknya mata dan bintik
pigmen setelah outline embrio terlihat, yang disusul oleh penampakan abdomen dan
chepalothorax. Lama masa inkubasi kepiting adalah 16 hari, pada kepiting biru
(Callinectes sapidus), proses ini berlangsung selama 7-14 hari. Sedangkan proses
inkubasi kepiting bakau (S.serrata), berlangsung antara 9-11 hari.
Struktur dan sistem endokrin pada kepiting bakau
Jaringan saraf yang menjalin seluruh tubuh berakar di dalam otak maupun
sumsum tulang belakang pada hewan vertebrata dan ganglion pada invertebrata,
termasuk kepiting bakau. Sistim saraf pusat yang dimaksud adalah semua ganglia di
bagian kepala yaitu otak (ganglion cerebral), ganglion subesophageal, ganglion
thoracic, dan ganglion abdominal. Badan sel yang mengelompok disebut organ-X
dengan berbagai tanda untuk mengindi-kasikan lokasi spesifik, seperti lubang yang
berhubungan dengan alat sensori organ-X dan menghasilkan hormon. Ganglia utama
tangkai mata krustase meliputi: lamina ganglionaris, medulla eksterna, medulla
interna, dan medulla terminalis. Walaupun pada krustase penentuan kelamin
berdasarkan genetik, perkembangan dan fungsi gonad dan perkembangan
karakteristik sex sekunder dibawah kontrol hormon. Jika organ-Y yang terdapat di
bagian sisi anterior cepalothorax, dihilangkan sebelum dewasa maka perkembangan
gonad dapat terganggu serius, tetapi jika hewan sudah dewasa, maka gonad tidak
terpengaruh (Gambar 6).
Pada kepiting betina, hubungan timbal balik hormonal terletak antara ovari dan
organ- X yang agaknya mirip dengan hubungan pituitary pada vertebrata. Kelenjar
sinus menghasilkan hormon yang menghambat perkembangan telur selama periode
di luar musim berbiak dalam setahun. Selama musim berbiak, gonad stimulating
hormone (GSH) disekresikan, mungkin melalui central nervous system (CNS).
Sebagai hasil adanya stimulatori hormon, level darah dari gonad inhibiting (GIH)
menurun, mulai perkembangan telur, dan ovari menyebarkan hormon, menginisiasi
perubahan struktural sebagai persiapan bagi embrio telur.
Pengaturan sistem reproduksi pada kepiting bakau memerlukan neuropeptida,
ecdysone dan metil farnesoate (MF). Sumber utama neuropeptida adalah kelenjar
sinus organ X (XO-SG) kompleks yang terletak di ganglia tangkai mata. Sumber lain
(baik peptida atau neuromodulators) diproduksi di otak dan ganglia toraks
(TG). Sedangkan dua senyawa non-peptida lainnya (ecdysone steroid dan MF),
diproduksi oleh organ Y dan organ mandibula.
Jenis hormon, sumber produksi, organ target serta aksi fisiologi yang
ditimbulkan pada krustasea disajikan dalam tabel 1.
Kontrol hormonal dalam fisiologi reproduksi kepiting bakau
Kontrol hormonal reproduksi krustasea telah dipelajari di banyak spesies,
termasuk udang karang, udang, kepiting, lobster, dan lain-lain. Sejumlah hormon dari
organ neuroendokrin memainkan peran penting dalam mengendalikan pematangan
gonad. Jenis hormon, sumber produksi, organ target serta aksi fisiologi yang
ditimbulkan pada sistem reproduksi kepiting dapat dijelaskan pada Tabel 1.
Neurohormon yang berperan dalam siklus pematangan gonad kepiting bakau
adalah gonado inhibiting hormone (GIH), yang dihasilkan oleh organ-X serta
dilepaskan oleh sinus gland ke sirkulasi darah, dan gonado stimulating hormone
(GSH), yang dihasilkan oleh thoracic ganglion dan otak. Sistem kerja hormon dalam
proses reproduksi, kondisi lingkungan merupakan sumber rangsangan alami pertama
yang mempengaruhi susunan syaraf pusat. Sebelum dilepaskan ke organ sasaran,
GIH terlebih dahulu disimpan dalam sinus gland.
Fungsi GIH adalah secara langsung menghambat perkembangan kelenjar
androgen pada individu jantan dan ovarium pada individu betina, sehingga
spermatozoa atau ovum terhambat perkembangannya. Selain itu, GIH juga dapat
mempengaruhi perkembangan gonad secara langsung, dengan cara menghambat
aktivitas organ-Y. Padahal bila organ-Y bekerja aktif, akan dihasilkan GSH yang
berfungsi merangsang kelenjar adrogen untuk menghasilkan hormon androgen, yang
berfungsi merangsang testis untuk menghasilkan spermatozoa pada individu jantan,
dan merangsang ovum untuk menghasilkan telur pada individu betina. Apabila
konsentrasi GSH meningkat dan konsentrasi GIH menurun dalam sirkulasi darah
(hemolimfa) kepiting bakau, maka pematangan ovum akan segera berlangsung.
Peran neuropeptida dalam reproduksi. Peran hormon neuropeptida dalam
sistem reproduksi kepiting berdasarkan hasil-hasil penelitian adalah sebagai berikut:
pematangan gonad kepiting diatur oleh dua neuropeptida antagonistik: GIH (juga
disebut VIH, pada betina) yang disintesis dan disekresi dari kelenjar sinus-Organ X
(XO-SG) di tangkai mata (Gambar 9 dan tabel 1). dan gonad stimulating factor (GSF)
yang dihasilkan oleh otak (B) dan ganglion toraks/GT (tabel 1). CHH berperan
menghambat sintesis protein dan mRNA secara in vitro dan juga mempengaruhi
fisiologi ovarium. CHH memiliki peran tambahan dalam pengendalian molting dan
reproduksi, dimana CHH merangsang vitelogenesis pada tahap awal ovarium.
Hormon MIH berperan pada transkripsi neuropeptide mRNA dan penurunan
pematangan gonad di fase awal (previtellogenic) dan peningkatan pematangan
gonad menjelang akhir (vitellogenik tahap III). MIH berperan mengkoordinasi molting
dan reproduksi pada krustasea, dan sekaligus menghambat molting dan menginduksi
pematangan ovarium (Gambar 7).
Peran VIH dalam reproduksi kepiting betina. VIH pada kepiting berperan
untuk menghambat aktivitas genital dengan cara menghambat vitelogenesis
sekunder. Organ target VIH adalah ovarium dan HP. Peningkatan transkripsi
vitellogenin (Vg) dalam ovarium dari VIH menunjukkan adanya pengaruh negatif dari
VIH pada ekspresi gen Vg, dan dengan demikian berarti perannya sebagai VIH
(Gambar 3). Kehadiran VIH dalam embrio dan larva merupakan indikasi adanya peran
penghambatan perkembangan gonad sebelum masa remaja. Aksi fisiologis VIH
dalam menghambat vitelogenesis sekunder adalah sebagai berikut: VIH dapat
bertindak langsung pada oosit dengan menghambat penyerapan Vg atau sintesis
protein kuning telur; VIH dapat menghambat pelepasan GSH dari TG atau otak dari
sistem saraf pusat atau organ mandibula; VIH mungkin mengikat Vg, mencegah
pengikatan reseptor, atau mengikat reseptor untuk memblokir pengikatan (Gambar 8).
Peran ekstrak eyestalk dalam reproduksi kepiting bakau. Eyestalk (tangkai
mata) pada kepiting dikenal sebagai pengontrol fungsi testis. Eyestalk mengandung
faktor penghambat yang disebut GIH (Gambar 4 dan 5). Penghilangan eyestalk
kepiting jantan dewasa merangsang spermatogenesis dewasa sebelum waktunya.
ESA kepiting, dapat meningkatkan ukuran testis dua kali lipat dan berhasil mating.
Pemotongan eyestalk pada kepiting jantan juga tingkatkan indeks testis, berat
spermatophore dan jumlah sperma tetapi tidak mempengaruhi viabilitas sperma. ESA
pada kepiting menunjukkan jumlah sperma, diameter kepala sperma lebih besar dan
sperma bertahan lama dibandingkan dengan yang tidak ESA (Gambar 7 dan 9).
Peran GSFs dalam reproduksi kepiting bakau. Efek dari ESA dan
penyuntikan TG atau otak menunjukkan adanya GSF. Ekstrak jaringan otak serta TG
merangsang pertumbuhan ovarium in vivo dan in vitro; tetapi ekstrak otak lebih efektif
daripada TG (Gambar 9). Ekstrak otak dan TG berperan merangsang pematangan
ovarium dan perkembangan oosit sekunder. Penyuntikan ekstrak TG ke jantan
menghasilkan AGS bersamaan dengan timbulnya spermatogenesis, kenaikan indeks
gonad, dan tubulus testis dan vas deferens membesar. Pada kepiting bakau, produksi
GSF berfluktuasi tergantung pada tahap siklus reproduksi tahunan kepiting bakau
Peran hormon androgenik dalam reproduksi kepiting. Dari hasil-hasil
penelitian pada kepiting yang diperoleh dari literatur, didapati hal pokok sebagai
berikut: AG ditemukan di sepanjang daerah distal pada saluran gamet jantan. Pada
kepiting jantan, selain GIH dan GSF, AGH memiliki peran penting dalam
spermatogenesis (Gambar 5). AGH berperan pengembangan gamet jantan dan
seksual sekunder, penghambatan sintesis Vg dan meransang spermatogenesis.
Ketika ekstrak AG diinjeksikan ke betina A. vulgare pada tahap perkembangan, maka
terjadi sex reversal setelah diferensiasi gonad. Hal ini menunjukkan bahwa itu adalah
faktor diferensiasi seks dan bukan merupakan faktor penentu seks. AG disuntik ke
kepiting Scylla paramamosain betina dapat menghambat kemajuan lebih lanjut dari
indung telur. Kerusakan ovarium terlihat 7-26 hari setelah pemberian AG. Pemberian
ekstrak AG juga menyebabkan penyerapan asam amino oleh jaringan ovarium
berkurang 50%. Hal ini menunjukkan bahwa AGH tampaknya berfungsi sebagai faktor
pembeda seks dan dapat meningkatkan karakteristik seks jantan dan menghambat
vitelogenesis. Penghilangkan AG dari lobster jantan muda dan setelah dewasa
mereka tidak berkompetesis dengan jantan lain dan tidak menunjukkan perilaku kawin
dengan betina. Hal ini menunjukkan bahwa AG tidak hanya bertanggung jawab untuk
karakteristik seks jantan, tetapi juga mungkin terlibat dalam perilaku jantan seperti
pada udang karang.
Peran peptida opioid dalam reproduksi krustasea. Peptida opioid adalah
asam amino urutan pendek yang berikatan dengan reseptor tertentu di otak; opiat dan
opioid meniru efek dari peptida tersebut. Peptida opioid berperan dalam kontrol
reproduksi kepiting (Gambar 10 dan Tabel 1). Peran neurotransmiter dalam
reproduksi telah dipelajari pada beberapa spesies kepiting. Ditemukan bahwa amina
biogenik 5-hydroxytryptamine (5-HT) dan octopamine (OA) berperan penting dalam
menentukan perilaku kawin spesies ini. 5-HT dan dopamin (DA) bertindak sebagai
neurotransmitter dan terlibat dalam pelepasan hormon-saraf. Pemberian 5-HT
mengaktifkan pelepasan GSF dari TG. Pemberian 5-HT juga merangsang
pematangan ovarium dan perkembangan embrio, dan peningkatan indeks ovarium
serta diameter oosit. Indeks gonadosomatik (GSI) kepiting juga dirangsang oleh
makanan yang mengandung spiperone. Demikian pula, kadar lipid dan kolesterol dari
kedua ovarium dan HP meningkat secara substansial. Selain efek dari 5-HT pada
kepiting betina, juga memiliki peran dalam sistem reproduksi kepiting jantan.
Pemberian 5-HT pada kepiting jantan merangsang sikap dominan perilaku reproduksi
jantan dan merangsang perkembangan testis. 5-HT tidak langsung merangsang
pelepasan GSF, tetapi merangsang AGS untuk mensintesis dan melepaskan AGH,
sehingga merangsang perkembangan testis.
Peran steroid dan MF dalam reproduksi kepiting. Pemberian sintetis
metionin-enkephalin pada kepiting bakau ternyata menghambat pematangan ovarium
bahkan pertumbuhan testis menurun setelah penyuntikan metionin-enkephalin.
Sebaliknya Nalokson, (suatu antagonis reseptor enkephalinergic), dapat merangsang
pertumbuhan ovarium. Pematangan ovarium pada kepiting juga dirangsang oleh
makanan yang mengandung nalokson. Antagonis peptida opioid (Nalokson dan
leucine-enkephalin) juga berperan dalam pengaturan pematangan ovarium. Injeksi
leucine-enkephalin merangsang molting dan pematangan ovarium serta
meningkatkan vitelogenesis
Peran Hormon Ecdysteroids dalam reproduksi kepiting. Meskipun
ecdysteroids dianggap sebagai hormon molting, studi terbaru menunjukkan bahwa
ecdysteroids memainkan peran utama dalam mengatur vitelogenesis, pematangan
ovarium dan sintesis protein pada kepiting (Gambar 10 dan tabel 1). Pada kepiting,
ecdysone dan metabolit biologis aktif, 20-hydroxyecdysone, disintesis dari sterol pada
Organ-Y. Ecdysteroids telah diidentifikasi dalam ovarium dan telur kepiting bakau
sedangkan 20-hydroxyecdysone mirip dengan fisiologis estrogen. Adanya
peningkatan kadar ecdysteroids di ovarium kepiting C. maenas selama
perkembangan ovarium. Sebuah korelasi positif antara vitelogenesis dan hemolymph
ekdisteroid telah diamati pada kepiting laba-laba. 20- Hydroxyecdysone berperan
merangsang ekspresi gen VG1 (MeVg1) pada testis dan ovarium dan merangsang
sintesis DNA.
Peran hormon steroid vertebrata dan prostaglandin mamalia. Steroid
vertebrata terdiri atas Progesteron (17-hidroksiprogesteron, 20-hidroksiprogesteron
dan 6-hidroksiprogesteron) dan estradiol (17-estradiol, estrone dan testosteron). Ada
hubungan positif antara tingkat Vg di hemolymph dan tingkat peredaran progesteron
dan 17-estradiol pada kepiting. Fluktuasi kadar estradiol dan progesteron dalam
ovarium dan hemolymph pada tahap vitellogenik berbeda pada Scylla serrata.
Progesteron dan estradiol berperan merangsang ekspresi gen MeVg1 di kedua HP
dan ovarium serta vitelogenesis beberapa jenis kepiting. Fungsi reproduksi dan
perkembangan ovarium kepiting juga diketahui berada di bawah kendali
prostaglandin. Dimana terjadi kenaikan bertahap prostaglandin E2 ovarium (PGE2)
dan prostaglandin F2 (PGF2) selama vitelogenesis dan secara signifikan PGE2
merangsang cAMP dalam jaringan ovarium kepiting. Kehadiran dan pengaruh
prostaglandin, terutama prostaglandin D2 (PGD2), PGF2 dan PGE2, dalam jaringan
ovarium dan pematangan juga telah dipelajari dalam kepiting. Pencampuran
prostaglandin menjadi pelet makanan, dapat merangsang pematangan ovarium.
Hormon mamalia juga memiliki pengaruh pada reproduksi dan pemijahan kepiting.
Sebagai contoh, ada efek GSH (FSH dan LH) pada pematangan ovarium. Respon
ovarium dari FSH dan LH mamalia menunjukkan bahwa gonadotropin dapat berfungsi
pada invertebrata. Namun, sampai saat ini tidak ada struktur mirip FSH dan LH yang
telah diisolasi dari invertebrata apapun. Penyuntikan human chorionic gonadotropin
(HCG) merangsang pematangan dan pemijahan kepiting. Pola yang sama dalam
pematangan ovarium kepiting yang diberi makanan yang mengandung HCG. HCG
positif berperan mensintesis vitellogene kepiting betina.
Peran Hormon Methyl Farnesoate (MF) dalam reproduksi kepiting. MF
adalah sesquiterpene ditemukan di organ mandibular (MO). MF diatur negatif oleh
faktor penghambat organ mandibula yang dihasilkan oleh eyestalk SG (Gambar 10
dan Tabel 1). MF secara struktural mirip dengan JHS, hanya berbeda dalam kehadiran
epoksida pada akhir terminal. JH berperan dalam beberapa aspek reproduksi pada
kepiting, termasuk vitelogenesis sekunder dan serapan Vg. MF berkorelasi dengan
pematangan ovarium dan molting pada kepiting serta MF meningkatkan Vg di
hemolymph dari ESA kepiting. ESA meningkatkan kadar MF dan meningkatkan indeks
ovarium. Kadar MF tinggi juga berkorelasi dengan perilaku kawin; jantan dengan
kadar MF yang lebih tinggi sangat aktif, sedangkan jantan dengan kadar lebih rendah
tidak menunjukkan perilaku kawin. MF merangsang testis baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan merangsang (GSF atau AGH) atau menghambat
sekresi GIH. Kadar MF juga dapat berubah, tergantung pada warna, perilaku,
reproduksi, molting dan stres (Nagaraju, 2007).
Interaksi faktor lingkungan dengan fisiologi kepiting bakau
Kualitas lingkungan adalah fakor penting yang dapat mempengaruhi
keberadaan dan pertumbuhan semua organisme termasuk kepiting bakau. Dengan
demikian maka di alam, kepiting bakau hanya akan menempati bagian-bagian
perairan yang memiliki kondisi kualitas lingkungan yang mampu ditolelir olehnya.
Untuk mengetahui habitat alami kepiting bakau, maka perlu diketahui toleransi
kepiting bakau terhadap karakteristik kualitas lingkungan yang menjadi habitatnya.
Suhu. Kepiting bakau dapat mentolelir perairan dengan kisaran suhu antara
12.0-35.0°C. Kepiting bakau dapat tumbuh cepat pada perairan dengan kisaran suhu
23.0-32.0°C. Suhu air dapat mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas dan nafsu makan
kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20 °C akan mengakibatkan aktifitas
dan nafsu makan kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan
akan berhenti walaupun kepiting masih dapat tetap hidup. Di perairan hutan
mangrove, kepiting bakau dijumpai pada perairan dengan kisaran suhu 28.8°C-36.0°C,
sedangkan di perairan Laguna, kepiting bakau dijumpai pada kisaran 13-40°C.
Kepiting bakau juga dijumpai pada perairan dengan kisaran suhu air 27.6-30.5°C.
Pada perairan hutan mangrove Tanjung Pasir Tanggerang, kepiting bakau bakau
dijumpai pada perairan dengan suhu rata-rata 28.8°C (Wahyuni & Ismail 1987),
sedangkan pada perairan hutan mangrove Teluk Pelita jaya Seram Barat Maluku,
kepiting dijumpai pada perairan dengan suhu air berkisar antara 26.0-30.5°C. Di
Hawai, kepiting bakau betina bermigrasi untuk memijah ke perairan dengan kisaran
suhu air antara 24-28°C (rata-rata 25°C), sedangkan di Thailand untuk memijah
kepiting bakau mencari perairan dengan suhu rata-rata 29.0°C. Perairan yang bersuhu
tinggi cenderung akan meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau sehingga waktu
untuk mencapai dewasa menjadi singkat. Suhu perairan juga dapat mempengaruhi
tingkat perkembangan larva kepiting bakau. Tingkat zoea V pertama kali dapat dicapai
dalam waktu 15 hari pada suhu air rata-rata 27.5°C; 14-15 hari pada suhu air rata-rata
22.5°C; 13-14 hari pada suhu air rata-rata 27°C; dan 14-18 hari pada suhu air rta-rata
27.0°C (Heasman 1980). Di samping kepadatan makanan, suhu perairan diduga
berperan terhadap efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan
larva kepiting bakau. Dikatakan juga bahwa kepiting bakau tumbuh lebih cepat pada
perairan dengan kisaran suhu 23-32°C.
Salinitas. Salinitas perairan diduga mempengaruhi struktur dan fungsi organ
organisme perairan, melalui perubahan tekanan osmotik, proporsi relatif bahan
pelarut, koefisien absorsi dan kejenuhan kelarutan, kerapatan dan fiskositas,
perubahan penyerapan sinar, pengantaran suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan
mengubah komposisi spesies pada situasi ekologis saat itu. Selanjutnya ditambahkan
bahwa keanekaragaman organisme dan jumlah spesies akan mencapai maksimum
pada perairan-perairan samudera (salinitas 30-40‰), dan kemudian berturut-turut
menurun pada perairan tawar (salinitas lebih kecil dari 0.5‰), perairan payau
(salinitas 0.5-30.0‰), perairan hypersaline (salinitas 40-80‰) dan brine water
(salinitas lebih dari 80‰). Tiap fase dari siklus hidup suatu spesies membutuhkan
kisaran salintas yang berbeda. Salinitas perairan berpengaruh terhadap tiap fase
kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat ganti kulit. Kisaran salinitas yang ideal
untuk pertumbuhan kepiting bakau belum dapat ditentukan, akan tetapi kepiting bakau
pada tingkat zoea sangat sensitif terhadap perairan bersalinitas rendah. Sebaliknya
kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan
salinitas 15-20‰ dan kemudian beruaya ke perairan laut dalam untuk memijah.
Secara umum kisaran salinitas yang dapat ditolelir oleh kepiting bakau cukup luas.
Kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15‰ sampai
lebih besar dari 30‰. Kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas 2-50‰,
walaupun belum diketahui pengaruh nilai salinitas tersebut terhadap
pertumbuhannya. Scylla serrta mampu mentolelir perairan dengan salinitas sampai
60‰. Wahyuni dan Ismail (1987), menjumpai kepiting bakau dewasa di perairan
mangrove Tanjung Pasir, Tanggerang pada kisaran salinitas 0-18‰. Wahyuni dan
Sunaryo (1981) menjumpai kepiting bakau dewasa pada perairan mangrove Muara
Dua Segara Anakan yang bersalinitas 2-34‰, sedangkan Retnowati
(1991),menjumpai kepiting bakau pada perairan mangrove Muara Kamal dengan
kisaran salinitas 5-30‰.
Kedalaman Air. Kedalaman air dipengaruhi salah satunya, oleh peristiwa
pasang surut. Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat
terjadi kerkawinan. Walaupun demikian, kepiting bakau dapat hidup pada perairan
yang dangkal. Kepiting bakau dijumpai pada kedalaman 30.0-79.0 cm di perairan
dekat hutan mangrove, dan 30.0-125.0 cm di muara sungai. Pada siang hari kepiting
bakau terlihat menuju perairan yang dangkal, sedangkan kepiting bakau jenis S.
serrata tertangkap di perairan sekitar hutan mangrove ketika air laut surut. Larva
kepiting bakau yang berasal dari laut dan banyak dijumpai di sekitar estuaria dan
hutan mangrove karena terbawa arus dan air pasang, akan menempel pada akar-akar
mangrove untuk berlindung. Kepiting bakau pada stadia juvenil (first crab) mengikuti
pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencari makanan, kemudian kembali ke zona
subtidal pada saat air surut. Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni
tetap zona intertidal, dan sering membenamkan diri dalam substrat lumpur atau
menggali lubang pada substrat lunak. Kepiting bakau sebelum moulting (premoult),
membenamkan diri dalam lumpur atau masuk kedalam lubang, sampai karapaksnya
mengeras. Dengan demikian kemungkinan besar untuk mendapatkan kepiting bakau
yang memiliki karapaks yang lunak, adalah dengan mencarinya pada bagian hutan
mangrove yang bersubstrat dasar lumpur.
Derajat Keasaman. Perairan yang mempunyai substrat lumpur cendrung
mempunyai pH asam. Sedangkan perairan yang substratnya banyak mengandung
kalsium dalam bentuk CaCO3, bersifat basa. Dari hasil penelitian Sudiarta (1988),
dikatakan bahwa kisaran pH antara 7.9-8.3 dapat mendukung kehidupan kepiting
bakau yang dipelihara. Pada perairan mangrove Segara Anakan Cilacap, kepiting
bakau dijumpai pada kisaran pH 6.16-7.50,sedangkan di pertambakan Muara Kamal,
kepiting bakau dijumpai pada kisaran pH 7.0-8.0 (Retnowati 1991). Kepiting bakau
dijumpai pada kisaran pH 6.21-8.50. Selain itu, penelitian lain melaporkan bahwa
kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat
lumpur dengan pH rata-rata 6.16; kisaran nilai pH 6.5-7.0; dan pada perairan dengan
pH rata-rata 6.5.
Fraksi Substrat. Fraksi substrat di sekitar hutan mangrove umumnya terdiri atas
lumpur dan liat. Hal ini dimungkinkan karena partikel lumpur dan liat dapat mengendap
cepat akibat gerakan air di sekitarnya yang relatif tenang dan terlindung. Substrat di
hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau, terutama untuk
melangsungkan perkawinan. Habitat kepiting bakau adalah pada perairan intertidal
(dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di dalam dan di sekitar
hutan mangrove yang didominasi oleh kandungan lumpur, mengandung banyak
bahan organik yang berasal dari serasah mangrove, yang terurai membentuk partikel
detritus yang kemudian akan mengendap pada substrat. Serasah dikenal merupakan
makanan alami kepiting bakau seperti yang dikemukakan oleh Moosa et al. (1985).
Substrat halus (lumpur dan liat) yang mengandung banyak serasah dan bahan
organik, juga mendukung kehidupan berbagai organisme, terutama organisme
pemakan detritus dari kelompok gastropoda (Ellobiidae & Potamididae). Gastropoda
diketahui merupakan salah satu makanan alami kepiting bakau karena 89% isi
lambung kepiting bakau adalah bivalva, gastropoda dan moluska lainnya. Dengan
demikian dalam kaitannya dengan kehidupan dan distribusi kepiting bakau,
kandungan substrat dasar perairan hutan mangrove merupakan faktor pendukung
penting, karena mempengaruhi kehidupan dan distribusi moluska yang merupakan
makanan alami kepiting bakau.
Peran faktor lingkungan terhadap kadar hormon dan reproduksi kepiting
Faktor lingkungan seperti salinitas, suhu dan musiman berperan penting dalam
mengatur fisiologi kepiting, termasuk reproduksi, perilaku, molting, morfogenesis dan
makanan. Peningkatan suhu (32°C), anoksia (0,25 ppm. O2) dan penurunan salinitas
diikuti oleh peningkatan yang signifikan dalam kadar hemolymph MF. Demikian pula,
kepiting stenohaline, L. emarginata, menunjukkan peningkatan kadar hemolymph MF
saat ditransfer ke salinitas rendah (20 ppt.). Sebaliknya, kepiting euryhaline, C.
sapidus, air salinitas rendah (15 ppt.) tidak meningkatkan kadar hemolymph MF
(Gambar 10).
Koordinasi neuroendokrin dengan faktor lingkungan yang sesuai sangat
penting untuk memastikan bahwa sistem reproduksi dan molting tahunan tetap
berlangsung. Penyinaran juga berperan kuat dalam reproduksi beberapa spesies
kepiting. Pematangan ovarium dan Vg sintesis meningkat secara signifikan ketika
penyinaran diberikan. Penelitian menunjukkan bahwa suhu tinggi menyebabkan stres
beberapa kepiting jantan. Suhu 24-27°C menunda spermatophore dan melanisasi,
dan 33°C terbukti menjadi akut bagi kualitas sperma.
Kesimpulan dan rekomendasi
Mekanisme kontrol (Regulasi) sistem endokrin baik neuroendokrin maupun
non-neuroendokrin dalam fisiologi reproduksi kepiting merupakan dasar penelitian
dan topik yang terus berkembang. Selain itu, Hormon peptida dan neurotransmiter
berpengaruh dalam sistem reproduksi dan non-reproduktif krustasea. Fungsi dan
perilakunya yang beragam pada organ target, masih belum jelas. Pendekatan dsRNAi
/microRNAi memberikan perspektif baru pada GIH atau gonad dari rangsangan
peptida dan protein.
Rekomendasi ke depan adalah perlu studi untuk membandingkan secara
integrasi fisiologi reproduksi (seperti salinitas, suhu, dll) dan pengembangan
pendekatan klasik untuk menjawab banyak pertanyaan menarik tentang peptida dan
protein yang berasal eyestalk, otak dan TG pada krustasea maupun hewan air lainnya.
Referensi:
Akta, M. and Kumlu, M. (2005). Gonadal maturation and spawning in Penaeus
semisulcatus de Hann, 1844 by hormone injection. Turk. J. Zool. 29, 193-199.
Alfaro, J., Zúñiga, G. and Komen, J. (2004). Induction of ovarian maturation and
spawning by combined treatment of serotonin and a dopamine antagonist,
spiperone in Litopenaeus stylirostris and Litopenaeus vannamei. Aquaculture
236, 511-522.
Brown, M., Sieglaff, D. and Rees, H. (2009). Gonadal ecdysteroidogenesis in
Arthropoda: occurrence and regulation. Annu. Rev. Entomol. 54, 105-125.
Chamberlain, G. and Lawrence, A. (2009). Effect of light intensity and male and female
eyestalk ablation on reproduction of Penaeus stylirostris and P. vannamei. J.
World Aquac. Soc. 12, 357-372.
Depiereux S, Le Gac F, De Meulder B, Pierre M, Helaers R, Guiguen Y, et al. (2015)
Meta-Analysis of Microarray Data of Rainbow Trout Fry Gonad Differentiation
Modulated
by
Ethynylestradiol.
PLoS
ONE
10(9):
e0135799.
doi:10.1371/journal.pone.0135799
Donelson JM, McCormick MI, Booth DJ, Munday PL (2014) Reproductive Acclimation
to Increased Water Temperature in a Tropical Reef Fish. PloS ONE 9(5):
e97223. doi:10.1371/journal.pone.0097223
Gallo A, Tosti E (2015) Reprotoxicity of the Antifoulant Chlorothalonil in Ascidians: An
Ecological
Risk
Assessment.
PLoS
ONE
10(4):
e0123074.
doi:10.1371/journal.pone.0123074
Gao J, Munch SB (2015) Does Reproductive Investment Decrease Telomere Length
in
Menidia
menidia?
PLoS
ONE
10(5):
e0125674.
doi:10.1371/journal.pone.0125674
Heger Z, Michalek P, Guran R, Havelkova B, Kominkova M, Cernei N, et al. (2015)
Exposure to 17β-Oestradiol Induces Oxidative Stress in the Non-Oestrogen
Receptor Invertebrate Species Eisenia fetida. PLoS ONE 10(12): e0145426.
doi:10.1371/journal.pone.0145426
Johnson JI, Kavanaugh SI, Nguyen C, Tsai P-S (2014) Localization and Functional
Characterization of a Novel Adipokinetic Hormone in the Mollusk, Aplysia
californica. PLoS ONE 9(8): e106014. doi:10.1371/journal.pone.0106014
LeBlanc GA, Wang YH, Holmes CN, Kwon G, Medlock EK (2013) A Transgenerational
Endocrine Signaling Pathway in Crustacea. PLoS ONE 8(4): e61715.
doi:10.1371/journal.pone.0061715
Martins RST, Gomez A, Zanuy S, Carrillo M, Canário AVM (2015) Photoperiodic
Modulation of ircadian Clock and Reproductive Axis Gene Expression in the
Pre-Pubertal European Sea Bass Brain. PLoS ONE 10(12): e0144158.
doi:10.1371/journal.pone.0144158
Mauro A, Martelli A, Berardinelli P, Russo V, Bernabo` N, et al. (2014) Effect of
Antiprogesterone RU486 on VEGF Expression and Blood Vessel Remodeling
on Ovarian Follicles before Ovulation. PLoS ONE 9(4): e95910.
doi:10.1371/journal.pone.0095910
Nagasawa K, Oouchi H, Itoh N, Takahashi KG, Osada M (2015) In Vivo Administration
of Scallop GnRH-Like Peptide Influences on Gonad Development in the Yesso
Scallop, Patinopecten yessoensis. PLoS ONE 10(6): e0129571.
doi:10.1371/journal.pone.0129571
Ruther J, McCaw J, Bo¨ cher L, Pothmann D, Putz I (2014) Pheromone Diversification
and Age-Dependent Behavioural Plasticity Decrease Interspecific Mating Costs
in Nasonia. PLoS ONE 9(2): e89214. doi:10.1371/journal.pone.0089214
Sahu DK, Panda SP, Meher PK, Das P, Routray P, Sundaray JK, et al. (2015)
Construction, De-Novo Assembly and Analysis of Transcriptome for
Identification of Reproduction-Related Genes and Pathways from Rohu, Labeo
rohita
(Hamilton).
PloS
doi:10.1371/journal.pone.0132450
ONE
10(7):
e0132450.
Senthilkumaran B, Sreenivasulu G, Wang D-S, Sudhakumari C-C, Kobayashi T,
Nagahama Y (2015) Expression Patterns of CREBs in Oocyte Growth and
Maturation
of
Fish.
PLoS
ONE
10(12):
e0145182.
doi:10.1371/journal.pone.0145182
Shen Z, Fahey JV, Bodwell JE, Rodriguez-Garcia M, Rossoll RM, et al. (2013)
Estradiol Regulation of Nucleotidases in Female Reproductive Tract Epithelial
Cells
and
Fibroblasts.
PLoS
ONE
8(7):
e69854.
doi:10.1371/journal.pone.0069854
Takae S, Kawamura K, Sato Y, Nishijima C, Yoshioka N, et al. (2014) Analysis of LateOnset Ovarian Insufficiency after Ovarian Surgery: Retrospective Study with 75
Patients of Post-Surgical Ovarian Insufficiency. PLoS ONE 9(5): e98174.
doi:10.1371/journal.pone.0098174
Tsai PS, Sun B, Rochester JR, Wayne NL (2010) Gonadotropinreleasing hormonelike molecule is not an acute reproductive activator in the gastropod, Aplysia
californica. Gen Comp Endocrinol 166:280–288
Verma SK, Alim A (2014) Differential Activity of Stanniocalcin in Male and Female
Fresh Water Teleost Mastacembelus armatus (Lacepede) during Gonadal
Maturation. PLoS ONE 9(7): e101439. doi:10.1371/journal.pone.0101439
Waltrick D, Jones SM, Simpfendorfer CA, Awruch CA (2014) Endocrine Control of
Embryonic Diapause in the Australian Sharpnose Shark Rhizoprionodon
taylori. PLoS ONE 9(7): e101234. doi:10.1371/journal.pone.0101234
Wilkosz P, Greggains GD, Tanbo TG, Fedorcsak P (2014) Female Reproductive
Decline I
FISIOLOGI REPRODUKSI KEPITING BAKAU
Oleh: Bruri Melky Laimeheriwa
Pendahuluan
Salah satu sumberdaya hayati perairan bernilai ekonomis tinggi dan potensial
untuk dibudidayakan adalah kepiting bakau (Scylla sp). Jenis kepiting ini disenangi
masyarakat karena bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting
(Catacutan, 2002). Kepiting bakau (Scylla spp.) hidup di ekosistem hutan bakau dan
estuaria, anggota suku Portunidae. Meningkatnya permintaan konsumen terutama
dari pasar luar negeri, menjadikan kepiting menjadi salah satu komoditas andalan
untuk ekspor non migas mendampingi udang windu. Permintaan kepiting yang terus
meningkatnya tersebut, selain disebabkan rasa dagingnya yang lezat, juga
kandungan gizinya yang tinggi, berdasarkan hasil analisis proksimat diketahui bahwa
daging kepiting bakau mengandung protein 47,31% dan lemak 11,20% (Karim, 2005).
Guna menunjang usaha budidaya kepiting yang efektif, efisien dan
menguntungkan secara ekonomis perlu dilakukan pengkajian terhadap sifat-sifat
bilologis khususnya fisiologi reproduksi kepiting bakau. Hal tersebut dimaksudkan
agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya memberikan pertumbuhan dan
reproduksi yang maksimal.
Aspek reproduksi kepiting bakau merupakan suatu proses hidup yang sangat
penting dimana melaluinya kepiting memelihara keragaman karakter, melakukan
adaptasi terhadap lingkungan yang labil serta mempertahankan dan memperbanyak
keberadaan sebagai suatu spesies. Banyak fenomena biologi terdapat dalam proses
ini, seperti penentuan kelamin, kematangan kelamin, peran dan fungsi organ kelamin
serta tingkah laku kelamin. Keberhasilan reproduksi hewan air khususnya kelas
krustasea merupakan hal mendasar bagi keberlangsungan biota tersebut. Krustasea
memiliki kemampuan adaptasi yang luas terhadap lingkungan dan memiliki strategi
reproduksi yang unik sesuai lingkungannya. Strategi adaptasi dan reproduksi ini, telah
menjadi hal yang menarik bagi para ilmuwan untuk mempelajarinya karena sangat
berkaitan dengan fungsi fisiologi dan tingkah laku yang diekspresikan secara spesifik
untuk setiap individu dalam satu spesies maupun antar spesies.
Pengetahuan tentang siklus reproduksi kepiting mulai dari proses
pembentukan sel kelamin sampai dengan terjadinya kematangan gonad sangat perlu
informasi yang tepat dan lengkap. Bukan pada level organ saja, tapi sampai pada
tingkat jaringan bahkan molekul, tetapi juga dalam kaitannya dengan fisiologi
reproduksi itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan
fisiologi reproduksi sangat dibutuhkan pada dewasa ini.
Tujuan paper ini adalah membahas regulasi mekanisme kontrol aksi hormon
dan perannya dalam sistem reproduksi kelas krustasea, khususnya kepiting. Penulis
berusaha untuk menelaah informasi (review) secara detail dari beberapa jurnal dan
artikel ilmiah dalam kaitannya dengan teori dalam fisiologi reproduksi kepiting.
Kiranya, hasil kajian ini menambah pemahaman dan pengalaman penulis sehingga
kelak dapat menerapkannya.
Adapun sistematika pembahasan dalam paper ini mencakup: pendahuluan,
daur hidup kepiting bakau, organ reproduksi kepiting bakau, sistem reproduksi
kepiting bakau, proses reproduksi kepiting bakau, kontrol hormonal dalam reproduksi
kepiting bakau, interkasi faktor lingkungan dengan fisiologi kepiting bakau, serta
pengaruh faktor lingkungan pada kadar hormon dan sistem reproduksi kepiting bakau.
Morfologi dan karakteristik kepiting bakau
Ciri morfologis kepiting bakau umumnya terdiri atas dua bagian yakni tubuh dan
kaki. Kaki kepiting bakau ada lima pasang terdiri dari sepasang capit, tiga pasang kaki
jalan, dan sepasang kaki renang yang berbentuk lebar dan pipih untuk berenang
(Gambar 1).
Kepiting bakau memiliki karapas berbentuk bundar telur, lebih lebar daripada
panjang (perbandingan panjang dengan lebar internal karapas 0,66-0,72); permukaan
karapas halus, lokos, dan agak mencembung; lekuk gastro-kardiak samar-samar
hingga sedang dalamnya. Sisi muka karapas (front margin, di antara dua mata) jelas
terpisahkan dari rigi-atas mata (supraorbital margin), terbagi atas empat taju yang
bervariasi dari gerigi yang rendah dan tumpul hingga yang tinggi dan tajam serupa
duri; lebar sisi muka ini bervariasi menurut spesies (perbandingan sisi muka dengan
lebar [internal] karapas 0,33-0,45). Rigi-atas mata dengan rekahan tengah (median
fissure) dan rekahan luar; rigi-bawah mata jelas bergerigi. Sisi anterolateral
(anterolateral margin, sebelah luar mata) masing-masing dengan 9 gerigi serupa duri
yang hampir sama ukurannya; sisi anterolateral lebih panjang dari sisi posterolateral
(pinggir belakang, dekat deretan kaki) yang halus tak bergerigi. Lengan sepit
(chelipeds) besar dan kokoh, permukaannya halus; merus (ruas pertama cheliped,
dari pangkal) dengan tiga duri besar di sisi anterior, dan dua yang lebih kecil di sisi
posterior; carpus (ruas kedua, di depan merus) dengan satu duri runcing di sisi dalam
dan 1-2 duri di sisi luar yang bervariasi dari besar dan kuat hingga kerdil atau
menumpul; propodus (ruas ujung, capit) dengan satu duri dekat pangkalnya, dan
sepasang duri besar di dekat jari penjepit (dactyl), duri-duri itu bervariasi besarnya
menurut spesies, sisi dalam penjepit dengan tonjolan-tonjolan serupa gigi. Kakikakinya kokoh, tiga pasang yang pertama serupa bentuknya, sepasang yang terakhir
dengan ruas ujung serupa dayung. Abdomen pada yang jantan ramping, ruas ke-3
hingga ke-5 menyatu; pada yang betina melebar. Warnanya bervariasi dari spesies
ke spesies.
Daur hidup kepiting bakau
Kepiting bakau melangsungkan perkawinannya di perairan hutan mangrove,
dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau
betina akan bermigrasi ke perairan laut atau menjauhi pantai, untuk mencari perairan
yang parameter lingkungannya (terutama suhu dan salinitas perairan) cocok, sebagai
tempat memijah. Selanjutnya, kepiting bakau jantan setelah melakukan perkawinan
akan tetap berada di perairan hutan mangrove, tambak atau sela-sela perakaran
mangrove (Gambar 2).
Perkembangan kepiting bakau dalam daur hidupnya dibagi atas tiga stadia,
yaitu: stadia embrionik, stadia larva dan stadia pascalarva). Secara terperinci,
perkembangan kepiting bakau (Scylla serrata) mulai dari telur hingga mencapai
dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan, yaitu: stadia zoea, stadia
megalopa, stadia kepiting muda (juvenil) dan stadia kepiting bakau dewasa (Gambar
3). Setelah telur menetas di perairan laut, muncul larva tingkat I (zoea I) yang akan
terus menerus berganti kulit (moulting), kemudian terbawa arus ke perairan pantai,
hingga mencapai stadia zoea V. Proses ini memerlukan waktu minimal 18 hari. Setiap
kali pergantian kulit zoea tumbuh dan berkembang, yang antara lain ditandai oleh
penambahan setae renang pada endopod maxilliped-nya. Zoea V kemudian akan
mengalami pergantian kulit menjadi megalopa, yang bentuk tubuhnya sudah mirip
dengan kepiting dewasa, kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Megalopa
yang lebih mirip kepiting dewasa sering dirujuk sebagai kepiting pada stadia
pascalarva. Proses perkembangan dari stadia megalopa ke stadia kepiting bakau
muda (juvenil), memerlukan waktu antara 11-12 hari. Kepiting bakau muda akan
bermigrasi kembali ke hulu estuari, kemudian berangsur-angsur memasuki hutan
mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting bakau dewasa.
Organ Reproduksi kepiting bakau
Organ reproduksi kepiting bakau jantan maupun betina merupakan organ
berpasangan yang terletak pada bagian posterior thorax, dibawah karapaks dan
melintang pada bagian dorsal hepatopankreas (Gambar 4A). Organ reproduksi
kepiting bakau jantan terdiri atas sepasang testis dan sepasang vas deferens. Testis
berbentuk lonjong, berwarna putih dan terletak pada bagian atas bagian posterior
hepatopankreas dan jantung. Di bagian depan lambung, kedua bagian testis tersebut
menyatu. Pada setiap ujung posterior testis, muncul vas deferens yang mula-mula ke
sisi lateral, kemudian menuju ventral dan bermuara pada tungkai kaki jalan terakhir.
Organ reproduksi kepiting bakau betina terdiri atas sepasang indung telur
(ovarium), sepasang saluran telur (oviduct), serta sepasang wadah sperma
(spermatheca). Ovarium adalah organ berupa badan berbentuk sabit, terletak
melintang pada bagian dorsal hepatopankreas. Struktur morfologis ovarium
bervariasi, sesuai dengan umur dan tingkat perkembangannya. Oviduct muncul dari
bagian pertengahan ovarium. Pada bagian sisi terluar oviduct terdapat wadah
penyimpanan sperma (spermatheca). Ujung oviduct dan spermatheca berbentuk
corong, yang mengarah menuju ke bagian ventral tubuh secara vertikal, dan bermuara
pada bukaan kelamin yang terletak pada thorachic sternum (Gambar 4C).
Sistem Reproduksi kepiting bakau
Secara umum sistem reproduksi pada kepiting dapat dikemukakan sebagai
berikut: kepiting memiliki kelamin terpisah, dan dapat dibedakan dari pleopods
abdomen (Gambar 1A dan 1C). Pleopod jantan biasanya lebih besar dari betina.
Pleopods ini berfungsi sebagai organ kopulator untuk mentransfer spermatophores
dari jantan ke alat seksual betina. Kepiting betina dapat menyimpan spermatophores
dalam waktu lama, dan telur tidak harus dikeluarkan segera saat mating. Sperma di
spermatophores akan membuahi telur yang akan dikeluarkan individu betina. Telur
yang sudah dibuahi akan melekat pada pleopods betina dengan bantuan benang
panjang disekresikan oleh betina.
Secara morfologi, sistem reproduksi kepiting jantan terdiri dari sepasang testis,
vas deferens, vesikula seminalis dan aperture genital (Gambar 4B). Testis berwarna
putih dengan struktur memanjang dan terletak dekat daerah perikardial. Morfologi
testis mirip dengan morfologi ovarium dengan penampilan seperti huruf “H”. Dari
setiap testis akan muncul sebuah vas deferens dan terhubung ke luar oleh
gonophores, di mana terletak pada pereiopods kelima. Vas deferens memiliki tiga
daerah mikroskopis yang berbeda dan mengandung spermatophores dalam berbagai
tahap pematangan.
Spermatogenesis dicirikan dengan terdiferensiasinya sel-sel sperma, dan
terpelihara sebelum pembuahan. Testis krustasea mengandung 10-15 lobus, di mana
setiap lobus mengandung banyak tubulus seminiferus, yang bentuknya berubah
sesuai dengan tahap spermatogenesis. Spermatogenesis dimulai dengan
terdiferensiasi tubulus seminiferus (proacini) bagian atas lobus. Proses meiosis terjadi
pada asinus dengan mengembangkan proacini agak ke bagian atas proksimal setiap
lobus. Pada tahap ini, lobulus kebanyakan mengandung spermatosit primer.
Terdiferensiasinya spermatosit sekunder menjadi spermatid terjadi di tubulus
seminiferus, dimana terletak di pusat masing-masing lobus. Semua tubulus
seminiferus dipenuhi dengan spermatosit dan spermatid serta dikelilingi oleh lapisan
otheocytes yang berasal dari mesodermal. Kontrol hormonal spermatogenesis belum
sepenuhnya dipahami dalam krustasea, namun ada informasi bahwa MF sebagai
hormon reproduksi pada krustasea jantan.
Secara morfologi, sistem reproduksi kepiting betina terdiri dari sepasang
ovarium, oviduct, gonophores dan area penerimaan sperma (Gambar 4D). Lobus
ovarium dihubungkan oleh pusat jaringan ovarium. Lobus ovarium simetris terletak di
cephalothorax bagian atas perut dan hepatopancreas (HP). Saluran telur (oviduct)
akan muncul secara lateral dari masing-masing ovarium pada titik tepat di samping
jantung dan meluas bagian lambung dan melalui gonophore di area perut. Pada betina
reseptif, setiap pori dilengkapi dengan seberkas setae besar dan panjang, yang
berfungsi sebagai tabung untuk berjalannya ovum. Dalam keadaan matang penuh,
bentuk ovarium dapat mengisi daerah thoraks dari rongga tubuh sepenuhnya.
Oogenesis dimulai dengan adanya proliferasi dan diferensiasi oogonial
ovarium terjadi ketika ovarium berwarna putih buram (ovarium previtellogenic).
Selama vitelogenesis, ovarium mengalami perubahan warna kuning pucat
(vitellogenik tahap I) ke oranye (tahap II vitellogenik) dan kemudian menjadi coklat
(vitellogenik tahap III) ke coklat tua sebelum pemijahan. Pematangan ovarium
mencakup peningkatan ukuran ovarium dan diameter oosit, serta deposisi kuning telur
(yolk).
Proses reproduksi kepiting bakau
Kepiting bakau pada umumnya bersifat dieocious, yakni memiliki kelamin yang
terpisah. Scylla termasuk dalam kelompok Branchyncha, sehingga proses
fertilisasinya berlangsung di dalam tubuh. Fase-fase dalam proses reproduksi kepiting
bakau dimulai dari proses transfer sperma (kopulasi) dan perkembangan ovarium
yang berlangsung sekitar 30 hari, serta proses pemijahan, pembuahan, inkubasi dan
penetasan telur yang berlangsung sekitar 17 hari. Proses perkembangan gonad dapat
berlangsung apabila kepiting bakau betina telah mengalami proses kopulasi.
Umumnya kepiting bakau yang siap untuk matang gonad adalah yang ukuran lebar
karapaksnya berkisar antara 105-123 mm. Kepiting bakau dapat mencapai
kematangan gonad pada ukuran lebar karapaks 99.1mm.
Proses Kopulasi. Kawin (kopulasi) atau proses transfer sperma, hanya terjadi
pada kepiting bakau betina dan jantan yang telah dewasa kelamin. Kopulasi terjadi
pada saat karapaks kepiting bakau betina masih dalam keadaan lunak, atau sesaat
setelah proses moulting berlangsung. Kopulasi kepiting bakau pada umumnya terjadi
pada saat suhu perairan naik. Proses ini diawali dengan peristiwa pengeluaran
feromon ke dalam air oleh kepiting bakau betina sehingga mengundang kehadiran
kepiting bakau jantan pasangannya untuk mendekatinya kembali. Kepiting bakau
jantan akan melindungi kepiting bakau betina mulai proses moulting berlangsung
hingga karapaks mengeras. Sesaat sebelum karapaks kepiting bakau betina
mengeras, kepiting bakau jantan akan membantu membalikan tubuh kepiting bakau
betina yang masih berkulit lunak, hingga berada dalam posisi terlentang, yaitu perut
dan alat kelaminnya saling berhadapan. Pada saat itu, pleopod kepiting bakau jantan
akan berfungsi sebagai alat kopulasi. Pleopod pertama dimasukan ke dalam bukaan
kelamin betina, sedangkan pleopod kedua berperan untuk memompa kumpulan
kantong sperma (spermathopore). Spermatophore yang ditransfer oleh kepiting bakau
jantan akan disimpan di dalam wadah penyimpan sperma (spermatheca), yang
terdapat pada tubuh kepiting bakau betina, sampai telur matang dan siap untuk
dibuahi. Spermatophore yang tersimpan dalam spermatheca masih tetap hidup dan
aktif selama beberapa bulan. Sekali kopulasi, spermatozoa yang terdapat dalam
spermatheca cukup untuk melakukan pembuahan dalam dua kali pemijahan atau
lebih. Kepiting bakau betina bertelur yang ditangkap di laut dan dipelihara di
laboratorium, dapat memijah tiga kali dalam lima bulan tanpa melakukan proses
moulting dan kopulasi lagi. Dikatakan pula bahwa proses kopulasi pertama kali dapat
dilakukan oleh kepiting bakau dengan lebar karapaks antara 99.1-144.2 mm.
Proses Perkembangan Gonad. Dalam tubuh krustasea terdapat sistem syaraf
khas yang sangat berbeda dengan organisme lainnya. Mata yang selain menjalankan
fungsi utamanya sebagai organ penglihatan, juga merupakan lokasi dari organ-organ
penunjang reproduksi. Pada tangkai mata kepiting bakau terdapat organ-X yang
menghasilkan gonado inhibiting hormone (GIH), yang berfungsi secara langsung
untuk menghambat perkembangan kelenjar androgen pada jantan dan ovarium pada
betina sehingga spermatozoa atau ovum terhambat perkembangannya. Gonado
inhibiting hormone juga menghambat aktifitas organ-Y sehingga bebas menghasilkan
gonado stimulating hormone (GSH), yang bekerja merangsang pembentukan
spermatozoa pada jantan atau ovum pada betina.
Perkembangan ovarium diawali oleh proses vitelogenesis, yakni proses
pembentukan kuning telur yang ditandai dengan terjadinya deposisi vitelogenin ke
dalam ovum. Vitelogenin disekresi ke dalam darah (hemolimfa) dan dibawa ke ovum
untuk disintesis menjadi kuning telur. Vitelogenin adalah bahan baku atau prekursor
protein kuning telur yang disintesis untuk mematangkan sel telur (oocyte). Kuning telur
akan menjadi sumber nutrien selama perkembangan embrio. Sedangkan bahan baku
dari vetelogenin adalah vitelin, yang disintesis oleh jaringan ekstraovarium dan
dilepaskan ke dalam hemolimfa sebagai respons terhadap vitellogenin stimulating
ovarian hormone (VSOH).
Vitelin pada kepiting adalah gabungan pigmen dengan lipoprotein yang
berwarna jingga, serta mengandung 48% lemak, 50% protein dan 2% karbohidrat (Lee
1991). Konsentrasi lipovitelin akan terus meningkat menjadi komponen yang lebih
besar, seiring dengan perkembangan kematangan ovarium dan sel telur. Dikatakan
selanjutnya bahwa umumnya akumulasi lipoprotein akan segera diikuti oleh akumulasi
butiran minyak, yang pada krustasea akan nampak pada tingkat akhir vitelogenesis.
Lipovitelin dan butiran minyak berupa komponen kecil yang ditemukan pada sel telur
yang belum berkembang, dan konsentrasinya akan terus meningkat menjadi
komponen besar pada sel telur matang. Akumulasi lipoprotein akan diikuti oleh
akumulasi butiran minyak. Pada krustasea butiran-butiran minyak akan nampak pada
tahap akhir vitelogenesis.
Butir-butir kuning telur disintesa dalam badan golgi dan retikulum endoplasma,
sedangkan hepatopankreas merupakan sumber dari butir-butir minyak, yang dalam
proses pembentukannya dibantu oleh sel-sel folikel yang berperan penting. Secara
umum, hemolimfa juga memegang peranan penting dalam sintesa lipovitelin. Pada
awal vitelogenesis, terbentuk sebuah pembungkus folikel yang mengelilingi tiap
oocyte. Selanjutnya terbentuk jaringan berbentuk pipa (tubuler) yang menghubungkan
semua ruang ekstraseluler. Jaringan ini memudahkan pengangkutan substansi dari
hemolimfa ke oocyte. Jumlah jaringan tubuler tersebut akan menurun pada akhir
vitelogenesis.
Kematangan gonad kepiting bakau betina diklasifikasikan atas empat tingkat
yaitu belum matang, menjelang matang, matang dan salin. Tingkat kematangan
gonad pada kepiting bakau (Scylla serrata) betina berbeda menurut umur dan ukuran
tubuhnya. Kepiting bakau yang dipelihara dalam kondisi laboratorium, untuk pertama
kalinya matang Gonad setelah berumur sebelas bulan dengan rata-rata lebar
karapaks 114.2 mm. Alat-alat reproduksi kepiting di wilayah tropika sudah matang
pada umur kira-kira 18 bulan, sedangkan di wilayah subtropika, kematangan baru
akan dicapai pada umur kira-kira 36 bulan.
Proses Pemijahan. Telur-telur yang sudah matang akan dikeluarkan dalam
proses pemijahan melalui oviduct melewati wadah sperma (spermatheca) yang
berada pada bagian sisi luar oviduct, sehingga akan terbuahi oleh spermatozoa yang
tersimpan dalam spermatheca. Dengan demikian maka secara otomatis massa telur
yang telah keluar dan menempel pada rambut-rambut pleopod, adalah massa telur
yang yang telah terbuahi (zigote). Setelah telur hampir mencapai tingkat kematangan
sempurna, kepiting bakau betina akan bermigrasi ke perairan laut untuk memijah, dan
jumlah telur yang dikeluarkan dapat mencapai 1-8 juta butir, tergantung pada ukuran
induk. Setelah dikeluarkan, massa telur akan dikumpulkan dan dilekatkan pada
rambut-rambut pleopod, dengan bantuan sejenis perekat berwarna coklat.
Selanjutnya diinkubasikan pada rambut-rambut pleopod. Saat menempel pada
rambut-rambut pleopod, umumnya telur telah mencapai stadium blastula, dengan
ukuran rata-rata 63 µm. Proses pemijahan yang meliputi pengeluaran sampai
penyusunan massa telur pada rambut-rambut pleopod, berlangsung selama satu
sampai satu setengah jam, dan proses ini umumnya berlangsung pada bagian
perairan yang terlindung dan bersubstrat lumpur atau pasir.
Inkubasi Telur dan Penetasan Telur. Perkembangan telur (zigote) yang dierami
selama masa inkubasi, dapat teramati melalui perubahan warna massa zigote, dari
oranye menjadi coklat sampai kehitam-hitaman. Telur yang baru dikeluarkan
berwarna oranye, karena masih mengadung kuning telur. Telur makin lama makin
menghitam, seiring dengan berkurangnya volume kuning telur dan berkembangnya
embrio (Gambar 5). Warna hitam yang nampak umumnya disebabkan oleh bagian
mata embrio. Perkembangan embrio kepiting pada umumnya dimulai dari tahap
blastulasi, gastrulasi, penampakan pigmen, denyut jantung pertama kali, penampakan
anggota badan dan ciri morfologis lainnya. Pada kepiting Aratus pisori tahap
perkembangan yang dapat terlihat pertama kali adalah terbentuknya mata dan bintik
pigmen setelah outline embrio terlihat, yang disusul oleh penampakan abdomen dan
chepalothorax. Lama masa inkubasi kepiting adalah 16 hari, pada kepiting biru
(Callinectes sapidus), proses ini berlangsung selama 7-14 hari. Sedangkan proses
inkubasi kepiting bakau (S.serrata), berlangsung antara 9-11 hari.
Struktur dan sistem endokrin pada kepiting bakau
Jaringan saraf yang menjalin seluruh tubuh berakar di dalam otak maupun
sumsum tulang belakang pada hewan vertebrata dan ganglion pada invertebrata,
termasuk kepiting bakau. Sistim saraf pusat yang dimaksud adalah semua ganglia di
bagian kepala yaitu otak (ganglion cerebral), ganglion subesophageal, ganglion
thoracic, dan ganglion abdominal. Badan sel yang mengelompok disebut organ-X
dengan berbagai tanda untuk mengindi-kasikan lokasi spesifik, seperti lubang yang
berhubungan dengan alat sensori organ-X dan menghasilkan hormon. Ganglia utama
tangkai mata krustase meliputi: lamina ganglionaris, medulla eksterna, medulla
interna, dan medulla terminalis. Walaupun pada krustase penentuan kelamin
berdasarkan genetik, perkembangan dan fungsi gonad dan perkembangan
karakteristik sex sekunder dibawah kontrol hormon. Jika organ-Y yang terdapat di
bagian sisi anterior cepalothorax, dihilangkan sebelum dewasa maka perkembangan
gonad dapat terganggu serius, tetapi jika hewan sudah dewasa, maka gonad tidak
terpengaruh (Gambar 6).
Pada kepiting betina, hubungan timbal balik hormonal terletak antara ovari dan
organ- X yang agaknya mirip dengan hubungan pituitary pada vertebrata. Kelenjar
sinus menghasilkan hormon yang menghambat perkembangan telur selama periode
di luar musim berbiak dalam setahun. Selama musim berbiak, gonad stimulating
hormone (GSH) disekresikan, mungkin melalui central nervous system (CNS).
Sebagai hasil adanya stimulatori hormon, level darah dari gonad inhibiting (GIH)
menurun, mulai perkembangan telur, dan ovari menyebarkan hormon, menginisiasi
perubahan struktural sebagai persiapan bagi embrio telur.
Pengaturan sistem reproduksi pada kepiting bakau memerlukan neuropeptida,
ecdysone dan metil farnesoate (MF). Sumber utama neuropeptida adalah kelenjar
sinus organ X (XO-SG) kompleks yang terletak di ganglia tangkai mata. Sumber lain
(baik peptida atau neuromodulators) diproduksi di otak dan ganglia toraks
(TG). Sedangkan dua senyawa non-peptida lainnya (ecdysone steroid dan MF),
diproduksi oleh organ Y dan organ mandibula.
Jenis hormon, sumber produksi, organ target serta aksi fisiologi yang
ditimbulkan pada krustasea disajikan dalam tabel 1.
Kontrol hormonal dalam fisiologi reproduksi kepiting bakau
Kontrol hormonal reproduksi krustasea telah dipelajari di banyak spesies,
termasuk udang karang, udang, kepiting, lobster, dan lain-lain. Sejumlah hormon dari
organ neuroendokrin memainkan peran penting dalam mengendalikan pematangan
gonad. Jenis hormon, sumber produksi, organ target serta aksi fisiologi yang
ditimbulkan pada sistem reproduksi kepiting dapat dijelaskan pada Tabel 1.
Neurohormon yang berperan dalam siklus pematangan gonad kepiting bakau
adalah gonado inhibiting hormone (GIH), yang dihasilkan oleh organ-X serta
dilepaskan oleh sinus gland ke sirkulasi darah, dan gonado stimulating hormone
(GSH), yang dihasilkan oleh thoracic ganglion dan otak. Sistem kerja hormon dalam
proses reproduksi, kondisi lingkungan merupakan sumber rangsangan alami pertama
yang mempengaruhi susunan syaraf pusat. Sebelum dilepaskan ke organ sasaran,
GIH terlebih dahulu disimpan dalam sinus gland.
Fungsi GIH adalah secara langsung menghambat perkembangan kelenjar
androgen pada individu jantan dan ovarium pada individu betina, sehingga
spermatozoa atau ovum terhambat perkembangannya. Selain itu, GIH juga dapat
mempengaruhi perkembangan gonad secara langsung, dengan cara menghambat
aktivitas organ-Y. Padahal bila organ-Y bekerja aktif, akan dihasilkan GSH yang
berfungsi merangsang kelenjar adrogen untuk menghasilkan hormon androgen, yang
berfungsi merangsang testis untuk menghasilkan spermatozoa pada individu jantan,
dan merangsang ovum untuk menghasilkan telur pada individu betina. Apabila
konsentrasi GSH meningkat dan konsentrasi GIH menurun dalam sirkulasi darah
(hemolimfa) kepiting bakau, maka pematangan ovum akan segera berlangsung.
Peran neuropeptida dalam reproduksi. Peran hormon neuropeptida dalam
sistem reproduksi kepiting berdasarkan hasil-hasil penelitian adalah sebagai berikut:
pematangan gonad kepiting diatur oleh dua neuropeptida antagonistik: GIH (juga
disebut VIH, pada betina) yang disintesis dan disekresi dari kelenjar sinus-Organ X
(XO-SG) di tangkai mata (Gambar 9 dan tabel 1). dan gonad stimulating factor (GSF)
yang dihasilkan oleh otak (B) dan ganglion toraks/GT (tabel 1). CHH berperan
menghambat sintesis protein dan mRNA secara in vitro dan juga mempengaruhi
fisiologi ovarium. CHH memiliki peran tambahan dalam pengendalian molting dan
reproduksi, dimana CHH merangsang vitelogenesis pada tahap awal ovarium.
Hormon MIH berperan pada transkripsi neuropeptide mRNA dan penurunan
pematangan gonad di fase awal (previtellogenic) dan peningkatan pematangan
gonad menjelang akhir (vitellogenik tahap III). MIH berperan mengkoordinasi molting
dan reproduksi pada krustasea, dan sekaligus menghambat molting dan menginduksi
pematangan ovarium (Gambar 7).
Peran VIH dalam reproduksi kepiting betina. VIH pada kepiting berperan
untuk menghambat aktivitas genital dengan cara menghambat vitelogenesis
sekunder. Organ target VIH adalah ovarium dan HP. Peningkatan transkripsi
vitellogenin (Vg) dalam ovarium dari VIH menunjukkan adanya pengaruh negatif dari
VIH pada ekspresi gen Vg, dan dengan demikian berarti perannya sebagai VIH
(Gambar 3). Kehadiran VIH dalam embrio dan larva merupakan indikasi adanya peran
penghambatan perkembangan gonad sebelum masa remaja. Aksi fisiologis VIH
dalam menghambat vitelogenesis sekunder adalah sebagai berikut: VIH dapat
bertindak langsung pada oosit dengan menghambat penyerapan Vg atau sintesis
protein kuning telur; VIH dapat menghambat pelepasan GSH dari TG atau otak dari
sistem saraf pusat atau organ mandibula; VIH mungkin mengikat Vg, mencegah
pengikatan reseptor, atau mengikat reseptor untuk memblokir pengikatan (Gambar 8).
Peran ekstrak eyestalk dalam reproduksi kepiting bakau. Eyestalk (tangkai
mata) pada kepiting dikenal sebagai pengontrol fungsi testis. Eyestalk mengandung
faktor penghambat yang disebut GIH (Gambar 4 dan 5). Penghilangan eyestalk
kepiting jantan dewasa merangsang spermatogenesis dewasa sebelum waktunya.
ESA kepiting, dapat meningkatkan ukuran testis dua kali lipat dan berhasil mating.
Pemotongan eyestalk pada kepiting jantan juga tingkatkan indeks testis, berat
spermatophore dan jumlah sperma tetapi tidak mempengaruhi viabilitas sperma. ESA
pada kepiting menunjukkan jumlah sperma, diameter kepala sperma lebih besar dan
sperma bertahan lama dibandingkan dengan yang tidak ESA (Gambar 7 dan 9).
Peran GSFs dalam reproduksi kepiting bakau. Efek dari ESA dan
penyuntikan TG atau otak menunjukkan adanya GSF. Ekstrak jaringan otak serta TG
merangsang pertumbuhan ovarium in vivo dan in vitro; tetapi ekstrak otak lebih efektif
daripada TG (Gambar 9). Ekstrak otak dan TG berperan merangsang pematangan
ovarium dan perkembangan oosit sekunder. Penyuntikan ekstrak TG ke jantan
menghasilkan AGS bersamaan dengan timbulnya spermatogenesis, kenaikan indeks
gonad, dan tubulus testis dan vas deferens membesar. Pada kepiting bakau, produksi
GSF berfluktuasi tergantung pada tahap siklus reproduksi tahunan kepiting bakau
Peran hormon androgenik dalam reproduksi kepiting. Dari hasil-hasil
penelitian pada kepiting yang diperoleh dari literatur, didapati hal pokok sebagai
berikut: AG ditemukan di sepanjang daerah distal pada saluran gamet jantan. Pada
kepiting jantan, selain GIH dan GSF, AGH memiliki peran penting dalam
spermatogenesis (Gambar 5). AGH berperan pengembangan gamet jantan dan
seksual sekunder, penghambatan sintesis Vg dan meransang spermatogenesis.
Ketika ekstrak AG diinjeksikan ke betina A. vulgare pada tahap perkembangan, maka
terjadi sex reversal setelah diferensiasi gonad. Hal ini menunjukkan bahwa itu adalah
faktor diferensiasi seks dan bukan merupakan faktor penentu seks. AG disuntik ke
kepiting Scylla paramamosain betina dapat menghambat kemajuan lebih lanjut dari
indung telur. Kerusakan ovarium terlihat 7-26 hari setelah pemberian AG. Pemberian
ekstrak AG juga menyebabkan penyerapan asam amino oleh jaringan ovarium
berkurang 50%. Hal ini menunjukkan bahwa AGH tampaknya berfungsi sebagai faktor
pembeda seks dan dapat meningkatkan karakteristik seks jantan dan menghambat
vitelogenesis. Penghilangkan AG dari lobster jantan muda dan setelah dewasa
mereka tidak berkompetesis dengan jantan lain dan tidak menunjukkan perilaku kawin
dengan betina. Hal ini menunjukkan bahwa AG tidak hanya bertanggung jawab untuk
karakteristik seks jantan, tetapi juga mungkin terlibat dalam perilaku jantan seperti
pada udang karang.
Peran peptida opioid dalam reproduksi krustasea. Peptida opioid adalah
asam amino urutan pendek yang berikatan dengan reseptor tertentu di otak; opiat dan
opioid meniru efek dari peptida tersebut. Peptida opioid berperan dalam kontrol
reproduksi kepiting (Gambar 10 dan Tabel 1). Peran neurotransmiter dalam
reproduksi telah dipelajari pada beberapa spesies kepiting. Ditemukan bahwa amina
biogenik 5-hydroxytryptamine (5-HT) dan octopamine (OA) berperan penting dalam
menentukan perilaku kawin spesies ini. 5-HT dan dopamin (DA) bertindak sebagai
neurotransmitter dan terlibat dalam pelepasan hormon-saraf. Pemberian 5-HT
mengaktifkan pelepasan GSF dari TG. Pemberian 5-HT juga merangsang
pematangan ovarium dan perkembangan embrio, dan peningkatan indeks ovarium
serta diameter oosit. Indeks gonadosomatik (GSI) kepiting juga dirangsang oleh
makanan yang mengandung spiperone. Demikian pula, kadar lipid dan kolesterol dari
kedua ovarium dan HP meningkat secara substansial. Selain efek dari 5-HT pada
kepiting betina, juga memiliki peran dalam sistem reproduksi kepiting jantan.
Pemberian 5-HT pada kepiting jantan merangsang sikap dominan perilaku reproduksi
jantan dan merangsang perkembangan testis. 5-HT tidak langsung merangsang
pelepasan GSF, tetapi merangsang AGS untuk mensintesis dan melepaskan AGH,
sehingga merangsang perkembangan testis.
Peran steroid dan MF dalam reproduksi kepiting. Pemberian sintetis
metionin-enkephalin pada kepiting bakau ternyata menghambat pematangan ovarium
bahkan pertumbuhan testis menurun setelah penyuntikan metionin-enkephalin.
Sebaliknya Nalokson, (suatu antagonis reseptor enkephalinergic), dapat merangsang
pertumbuhan ovarium. Pematangan ovarium pada kepiting juga dirangsang oleh
makanan yang mengandung nalokson. Antagonis peptida opioid (Nalokson dan
leucine-enkephalin) juga berperan dalam pengaturan pematangan ovarium. Injeksi
leucine-enkephalin merangsang molting dan pematangan ovarium serta
meningkatkan vitelogenesis
Peran Hormon Ecdysteroids dalam reproduksi kepiting. Meskipun
ecdysteroids dianggap sebagai hormon molting, studi terbaru menunjukkan bahwa
ecdysteroids memainkan peran utama dalam mengatur vitelogenesis, pematangan
ovarium dan sintesis protein pada kepiting (Gambar 10 dan tabel 1). Pada kepiting,
ecdysone dan metabolit biologis aktif, 20-hydroxyecdysone, disintesis dari sterol pada
Organ-Y. Ecdysteroids telah diidentifikasi dalam ovarium dan telur kepiting bakau
sedangkan 20-hydroxyecdysone mirip dengan fisiologis estrogen. Adanya
peningkatan kadar ecdysteroids di ovarium kepiting C. maenas selama
perkembangan ovarium. Sebuah korelasi positif antara vitelogenesis dan hemolymph
ekdisteroid telah diamati pada kepiting laba-laba. 20- Hydroxyecdysone berperan
merangsang ekspresi gen VG1 (MeVg1) pada testis dan ovarium dan merangsang
sintesis DNA.
Peran hormon steroid vertebrata dan prostaglandin mamalia. Steroid
vertebrata terdiri atas Progesteron (17-hidroksiprogesteron, 20-hidroksiprogesteron
dan 6-hidroksiprogesteron) dan estradiol (17-estradiol, estrone dan testosteron). Ada
hubungan positif antara tingkat Vg di hemolymph dan tingkat peredaran progesteron
dan 17-estradiol pada kepiting. Fluktuasi kadar estradiol dan progesteron dalam
ovarium dan hemolymph pada tahap vitellogenik berbeda pada Scylla serrata.
Progesteron dan estradiol berperan merangsang ekspresi gen MeVg1 di kedua HP
dan ovarium serta vitelogenesis beberapa jenis kepiting. Fungsi reproduksi dan
perkembangan ovarium kepiting juga diketahui berada di bawah kendali
prostaglandin. Dimana terjadi kenaikan bertahap prostaglandin E2 ovarium (PGE2)
dan prostaglandin F2 (PGF2) selama vitelogenesis dan secara signifikan PGE2
merangsang cAMP dalam jaringan ovarium kepiting. Kehadiran dan pengaruh
prostaglandin, terutama prostaglandin D2 (PGD2), PGF2 dan PGE2, dalam jaringan
ovarium dan pematangan juga telah dipelajari dalam kepiting. Pencampuran
prostaglandin menjadi pelet makanan, dapat merangsang pematangan ovarium.
Hormon mamalia juga memiliki pengaruh pada reproduksi dan pemijahan kepiting.
Sebagai contoh, ada efek GSH (FSH dan LH) pada pematangan ovarium. Respon
ovarium dari FSH dan LH mamalia menunjukkan bahwa gonadotropin dapat berfungsi
pada invertebrata. Namun, sampai saat ini tidak ada struktur mirip FSH dan LH yang
telah diisolasi dari invertebrata apapun. Penyuntikan human chorionic gonadotropin
(HCG) merangsang pematangan dan pemijahan kepiting. Pola yang sama dalam
pematangan ovarium kepiting yang diberi makanan yang mengandung HCG. HCG
positif berperan mensintesis vitellogene kepiting betina.
Peran Hormon Methyl Farnesoate (MF) dalam reproduksi kepiting. MF
adalah sesquiterpene ditemukan di organ mandibular (MO). MF diatur negatif oleh
faktor penghambat organ mandibula yang dihasilkan oleh eyestalk SG (Gambar 10
dan Tabel 1). MF secara struktural mirip dengan JHS, hanya berbeda dalam kehadiran
epoksida pada akhir terminal. JH berperan dalam beberapa aspek reproduksi pada
kepiting, termasuk vitelogenesis sekunder dan serapan Vg. MF berkorelasi dengan
pematangan ovarium dan molting pada kepiting serta MF meningkatkan Vg di
hemolymph dari ESA kepiting. ESA meningkatkan kadar MF dan meningkatkan indeks
ovarium. Kadar MF tinggi juga berkorelasi dengan perilaku kawin; jantan dengan
kadar MF yang lebih tinggi sangat aktif, sedangkan jantan dengan kadar lebih rendah
tidak menunjukkan perilaku kawin. MF merangsang testis baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan merangsang (GSF atau AGH) atau menghambat
sekresi GIH. Kadar MF juga dapat berubah, tergantung pada warna, perilaku,
reproduksi, molting dan stres (Nagaraju, 2007).
Interaksi faktor lingkungan dengan fisiologi kepiting bakau
Kualitas lingkungan adalah fakor penting yang dapat mempengaruhi
keberadaan dan pertumbuhan semua organisme termasuk kepiting bakau. Dengan
demikian maka di alam, kepiting bakau hanya akan menempati bagian-bagian
perairan yang memiliki kondisi kualitas lingkungan yang mampu ditolelir olehnya.
Untuk mengetahui habitat alami kepiting bakau, maka perlu diketahui toleransi
kepiting bakau terhadap karakteristik kualitas lingkungan yang menjadi habitatnya.
Suhu. Kepiting bakau dapat mentolelir perairan dengan kisaran suhu antara
12.0-35.0°C. Kepiting bakau dapat tumbuh cepat pada perairan dengan kisaran suhu
23.0-32.0°C. Suhu air dapat mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas dan nafsu makan
kepiting bakau. Suhu air yang lebih rendah dari 20 °C akan mengakibatkan aktifitas
dan nafsu makan kepiting bakau menurun secara drastis. Pada saat itu pertumbuhan
akan berhenti walaupun kepiting masih dapat tetap hidup. Di perairan hutan
mangrove, kepiting bakau dijumpai pada perairan dengan kisaran suhu 28.8°C-36.0°C,
sedangkan di perairan Laguna, kepiting bakau dijumpai pada kisaran 13-40°C.
Kepiting bakau juga dijumpai pada perairan dengan kisaran suhu air 27.6-30.5°C.
Pada perairan hutan mangrove Tanjung Pasir Tanggerang, kepiting bakau bakau
dijumpai pada perairan dengan suhu rata-rata 28.8°C (Wahyuni & Ismail 1987),
sedangkan pada perairan hutan mangrove Teluk Pelita jaya Seram Barat Maluku,
kepiting dijumpai pada perairan dengan suhu air berkisar antara 26.0-30.5°C. Di
Hawai, kepiting bakau betina bermigrasi untuk memijah ke perairan dengan kisaran
suhu air antara 24-28°C (rata-rata 25°C), sedangkan di Thailand untuk memijah
kepiting bakau mencari perairan dengan suhu rata-rata 29.0°C. Perairan yang bersuhu
tinggi cenderung akan meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau sehingga waktu
untuk mencapai dewasa menjadi singkat. Suhu perairan juga dapat mempengaruhi
tingkat perkembangan larva kepiting bakau. Tingkat zoea V pertama kali dapat dicapai
dalam waktu 15 hari pada suhu air rata-rata 27.5°C; 14-15 hari pada suhu air rata-rata
22.5°C; 13-14 hari pada suhu air rata-rata 27°C; dan 14-18 hari pada suhu air rta-rata
27.0°C (Heasman 1980). Di samping kepadatan makanan, suhu perairan diduga
berperan terhadap efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan
larva kepiting bakau. Dikatakan juga bahwa kepiting bakau tumbuh lebih cepat pada
perairan dengan kisaran suhu 23-32°C.
Salinitas. Salinitas perairan diduga mempengaruhi struktur dan fungsi organ
organisme perairan, melalui perubahan tekanan osmotik, proporsi relatif bahan
pelarut, koefisien absorsi dan kejenuhan kelarutan, kerapatan dan fiskositas,
perubahan penyerapan sinar, pengantaran suara dan daya hantar listrik. Hal ini akan
mengubah komposisi spesies pada situasi ekologis saat itu. Selanjutnya ditambahkan
bahwa keanekaragaman organisme dan jumlah spesies akan mencapai maksimum
pada perairan-perairan samudera (salinitas 30-40‰), dan kemudian berturut-turut
menurun pada perairan tawar (salinitas lebih kecil dari 0.5‰), perairan payau
(salinitas 0.5-30.0‰), perairan hypersaline (salinitas 40-80‰) dan brine water
(salinitas lebih dari 80‰). Tiap fase dari siklus hidup suatu spesies membutuhkan
kisaran salintas yang berbeda. Salinitas perairan berpengaruh terhadap tiap fase
kehidupan kepiting bakau, terutama pada saat ganti kulit. Kisaran salinitas yang ideal
untuk pertumbuhan kepiting bakau belum dapat ditentukan, akan tetapi kepiting bakau
pada tingkat zoea sangat sensitif terhadap perairan bersalinitas rendah. Sebaliknya
kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada perairan dengan
salinitas 15-20‰ dan kemudian beruaya ke perairan laut dalam untuk memijah.
Secara umum kisaran salinitas yang dapat ditolelir oleh kepiting bakau cukup luas.
Kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15‰ sampai
lebih besar dari 30‰. Kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas 2-50‰,
walaupun belum diketahui pengaruh nilai salinitas tersebut terhadap
pertumbuhannya. Scylla serrta mampu mentolelir perairan dengan salinitas sampai
60‰. Wahyuni dan Ismail (1987), menjumpai kepiting bakau dewasa di perairan
mangrove Tanjung Pasir, Tanggerang pada kisaran salinitas 0-18‰. Wahyuni dan
Sunaryo (1981) menjumpai kepiting bakau dewasa pada perairan mangrove Muara
Dua Segara Anakan yang bersalinitas 2-34‰, sedangkan Retnowati
(1991),menjumpai kepiting bakau pada perairan mangrove Muara Kamal dengan
kisaran salinitas 5-30‰.
Kedalaman Air. Kedalaman air dipengaruhi salah satunya, oleh peristiwa
pasang surut. Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat
terjadi kerkawinan. Walaupun demikian, kepiting bakau dapat hidup pada perairan
yang dangkal. Kepiting bakau dijumpai pada kedalaman 30.0-79.0 cm di perairan
dekat hutan mangrove, dan 30.0-125.0 cm di muara sungai. Pada siang hari kepiting
bakau terlihat menuju perairan yang dangkal, sedangkan kepiting bakau jenis S.
serrata tertangkap di perairan sekitar hutan mangrove ketika air laut surut. Larva
kepiting bakau yang berasal dari laut dan banyak dijumpai di sekitar estuaria dan
hutan mangrove karena terbawa arus dan air pasang, akan menempel pada akar-akar
mangrove untuk berlindung. Kepiting bakau pada stadia juvenil (first crab) mengikuti
pasang tertinggi di zona intertidal untuk mencari makanan, kemudian kembali ke zona
subtidal pada saat air surut. Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni
tetap zona intertidal, dan sering membenamkan diri dalam substrat lumpur atau
menggali lubang pada substrat lunak. Kepiting bakau sebelum moulting (premoult),
membenamkan diri dalam lumpur atau masuk kedalam lubang, sampai karapaksnya
mengeras. Dengan demikian kemungkinan besar untuk mendapatkan kepiting bakau
yang memiliki karapaks yang lunak, adalah dengan mencarinya pada bagian hutan
mangrove yang bersubstrat dasar lumpur.
Derajat Keasaman. Perairan yang mempunyai substrat lumpur cendrung
mempunyai pH asam. Sedangkan perairan yang substratnya banyak mengandung
kalsium dalam bentuk CaCO3, bersifat basa. Dari hasil penelitian Sudiarta (1988),
dikatakan bahwa kisaran pH antara 7.9-8.3 dapat mendukung kehidupan kepiting
bakau yang dipelihara. Pada perairan mangrove Segara Anakan Cilacap, kepiting
bakau dijumpai pada kisaran pH 6.16-7.50,sedangkan di pertambakan Muara Kamal,
kepiting bakau dijumpai pada kisaran pH 7.0-8.0 (Retnowati 1991). Kepiting bakau
dijumpai pada kisaran pH 6.21-8.50. Selain itu, penelitian lain melaporkan bahwa
kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat
lumpur dengan pH rata-rata 6.16; kisaran nilai pH 6.5-7.0; dan pada perairan dengan
pH rata-rata 6.5.
Fraksi Substrat. Fraksi substrat di sekitar hutan mangrove umumnya terdiri atas
lumpur dan liat. Hal ini dimungkinkan karena partikel lumpur dan liat dapat mengendap
cepat akibat gerakan air di sekitarnya yang relatif tenang dan terlindung. Substrat di
hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau, terutama untuk
melangsungkan perkawinan. Habitat kepiting bakau adalah pada perairan intertidal
(dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di dalam dan di sekitar
hutan mangrove yang didominasi oleh kandungan lumpur, mengandung banyak
bahan organik yang berasal dari serasah mangrove, yang terurai membentuk partikel
detritus yang kemudian akan mengendap pada substrat. Serasah dikenal merupakan
makanan alami kepiting bakau seperti yang dikemukakan oleh Moosa et al. (1985).
Substrat halus (lumpur dan liat) yang mengandung banyak serasah dan bahan
organik, juga mendukung kehidupan berbagai organisme, terutama organisme
pemakan detritus dari kelompok gastropoda (Ellobiidae & Potamididae). Gastropoda
diketahui merupakan salah satu makanan alami kepiting bakau karena 89% isi
lambung kepiting bakau adalah bivalva, gastropoda dan moluska lainnya. Dengan
demikian dalam kaitannya dengan kehidupan dan distribusi kepiting bakau,
kandungan substrat dasar perairan hutan mangrove merupakan faktor pendukung
penting, karena mempengaruhi kehidupan dan distribusi moluska yang merupakan
makanan alami kepiting bakau.
Peran faktor lingkungan terhadap kadar hormon dan reproduksi kepiting
Faktor lingkungan seperti salinitas, suhu dan musiman berperan penting dalam
mengatur fisiologi kepiting, termasuk reproduksi, perilaku, molting, morfogenesis dan
makanan. Peningkatan suhu (32°C), anoksia (0,25 ppm. O2) dan penurunan salinitas
diikuti oleh peningkatan yang signifikan dalam kadar hemolymph MF. Demikian pula,
kepiting stenohaline, L. emarginata, menunjukkan peningkatan kadar hemolymph MF
saat ditransfer ke salinitas rendah (20 ppt.). Sebaliknya, kepiting euryhaline, C.
sapidus, air salinitas rendah (15 ppt.) tidak meningkatkan kadar hemolymph MF
(Gambar 10).
Koordinasi neuroendokrin dengan faktor lingkungan yang sesuai sangat
penting untuk memastikan bahwa sistem reproduksi dan molting tahunan tetap
berlangsung. Penyinaran juga berperan kuat dalam reproduksi beberapa spesies
kepiting. Pematangan ovarium dan Vg sintesis meningkat secara signifikan ketika
penyinaran diberikan. Penelitian menunjukkan bahwa suhu tinggi menyebabkan stres
beberapa kepiting jantan. Suhu 24-27°C menunda spermatophore dan melanisasi,
dan 33°C terbukti menjadi akut bagi kualitas sperma.
Kesimpulan dan rekomendasi
Mekanisme kontrol (Regulasi) sistem endokrin baik neuroendokrin maupun
non-neuroendokrin dalam fisiologi reproduksi kepiting merupakan dasar penelitian
dan topik yang terus berkembang. Selain itu, Hormon peptida dan neurotransmiter
berpengaruh dalam sistem reproduksi dan non-reproduktif krustasea. Fungsi dan
perilakunya yang beragam pada organ target, masih belum jelas. Pendekatan dsRNAi
/microRNAi memberikan perspektif baru pada GIH atau gonad dari rangsangan
peptida dan protein.
Rekomendasi ke depan adalah perlu studi untuk membandingkan secara
integrasi fisiologi reproduksi (seperti salinitas, suhu, dll) dan pengembangan
pendekatan klasik untuk menjawab banyak pertanyaan menarik tentang peptida dan
protein yang berasal eyestalk, otak dan TG pada krustasea maupun hewan air lainnya.
Referensi:
Akta, M. and Kumlu, M. (2005). Gonadal maturation and spawning in Penaeus
semisulcatus de Hann, 1844 by hormone injection. Turk. J. Zool. 29, 193-199.
Alfaro, J., Zúñiga, G. and Komen, J. (2004). Induction of ovarian maturation and
spawning by combined treatment of serotonin and a dopamine antagonist,
spiperone in Litopenaeus stylirostris and Litopenaeus vannamei. Aquaculture
236, 511-522.
Brown, M., Sieglaff, D. and Rees, H. (2009). Gonadal ecdysteroidogenesis in
Arthropoda: occurrence and regulation. Annu. Rev. Entomol. 54, 105-125.
Chamberlain, G. and Lawrence, A. (2009). Effect of light intensity and male and female
eyestalk ablation on reproduction of Penaeus stylirostris and P. vannamei. J.
World Aquac. Soc. 12, 357-372.
Depiereux S, Le Gac F, De Meulder B, Pierre M, Helaers R, Guiguen Y, et al. (2015)
Meta-Analysis of Microarray Data of Rainbow Trout Fry Gonad Differentiation
Modulated
by
Ethynylestradiol.
PLoS
ONE
10(9):
e0135799.
doi:10.1371/journal.pone.0135799
Donelson JM, McCormick MI, Booth DJ, Munday PL (2014) Reproductive Acclimation
to Increased Water Temperature in a Tropical Reef Fish. PloS ONE 9(5):
e97223. doi:10.1371/journal.pone.0097223
Gallo A, Tosti E (2015) Reprotoxicity of the Antifoulant Chlorothalonil in Ascidians: An
Ecological
Risk
Assessment.
PLoS
ONE
10(4):
e0123074.
doi:10.1371/journal.pone.0123074
Gao J, Munch SB (2015) Does Reproductive Investment Decrease Telomere Length
in
Menidia
menidia?
PLoS
ONE
10(5):
e0125674.
doi:10.1371/journal.pone.0125674
Heger Z, Michalek P, Guran R, Havelkova B, Kominkova M, Cernei N, et al. (2015)
Exposure to 17β-Oestradiol Induces Oxidative Stress in the Non-Oestrogen
Receptor Invertebrate Species Eisenia fetida. PLoS ONE 10(12): e0145426.
doi:10.1371/journal.pone.0145426
Johnson JI, Kavanaugh SI, Nguyen C, Tsai P-S (2014) Localization and Functional
Characterization of a Novel Adipokinetic Hormone in the Mollusk, Aplysia
californica. PLoS ONE 9(8): e106014. doi:10.1371/journal.pone.0106014
LeBlanc GA, Wang YH, Holmes CN, Kwon G, Medlock EK (2013) A Transgenerational
Endocrine Signaling Pathway in Crustacea. PLoS ONE 8(4): e61715.
doi:10.1371/journal.pone.0061715
Martins RST, Gomez A, Zanuy S, Carrillo M, Canário AVM (2015) Photoperiodic
Modulation of ircadian Clock and Reproductive Axis Gene Expression in the
Pre-Pubertal European Sea Bass Brain. PLoS ONE 10(12): e0144158.
doi:10.1371/journal.pone.0144158
Mauro A, Martelli A, Berardinelli P, Russo V, Bernabo` N, et al. (2014) Effect of
Antiprogesterone RU486 on VEGF Expression and Blood Vessel Remodeling
on Ovarian Follicles before Ovulation. PLoS ONE 9(4): e95910.
doi:10.1371/journal.pone.0095910
Nagasawa K, Oouchi H, Itoh N, Takahashi KG, Osada M (2015) In Vivo Administration
of Scallop GnRH-Like Peptide Influences on Gonad Development in the Yesso
Scallop, Patinopecten yessoensis. PLoS ONE 10(6): e0129571.
doi:10.1371/journal.pone.0129571
Ruther J, McCaw J, Bo¨ cher L, Pothmann D, Putz I (2014) Pheromone Diversification
and Age-Dependent Behavioural Plasticity Decrease Interspecific Mating Costs
in Nasonia. PLoS ONE 9(2): e89214. doi:10.1371/journal.pone.0089214
Sahu DK, Panda SP, Meher PK, Das P, Routray P, Sundaray JK, et al. (2015)
Construction, De-Novo Assembly and Analysis of Transcriptome for
Identification of Reproduction-Related Genes and Pathways from Rohu, Labeo
rohita
(Hamilton).
PloS
doi:10.1371/journal.pone.0132450
ONE
10(7):
e0132450.
Senthilkumaran B, Sreenivasulu G, Wang D-S, Sudhakumari C-C, Kobayashi T,
Nagahama Y (2015) Expression Patterns of CREBs in Oocyte Growth and
Maturation
of
Fish.
PLoS
ONE
10(12):
e0145182.
doi:10.1371/journal.pone.0145182
Shen Z, Fahey JV, Bodwell JE, Rodriguez-Garcia M, Rossoll RM, et al. (2013)
Estradiol Regulation of Nucleotidases in Female Reproductive Tract Epithelial
Cells
and
Fibroblasts.
PLoS
ONE
8(7):
e69854.
doi:10.1371/journal.pone.0069854
Takae S, Kawamura K, Sato Y, Nishijima C, Yoshioka N, et al. (2014) Analysis of LateOnset Ovarian Insufficiency after Ovarian Surgery: Retrospective Study with 75
Patients of Post-Surgical Ovarian Insufficiency. PLoS ONE 9(5): e98174.
doi:10.1371/journal.pone.0098174
Tsai PS, Sun B, Rochester JR, Wayne NL (2010) Gonadotropinreleasing hormonelike molecule is not an acute reproductive activator in the gastropod, Aplysia
californica. Gen Comp Endocrinol 166:280–288
Verma SK, Alim A (2014) Differential Activity of Stanniocalcin in Male and Female
Fresh Water Teleost Mastacembelus armatus (Lacepede) during Gonadal
Maturation. PLoS ONE 9(7): e101439. doi:10.1371/journal.pone.0101439
Waltrick D, Jones SM, Simpfendorfer CA, Awruch CA (2014) Endocrine Control of
Embryonic Diapause in the Australian Sharpnose Shark Rhizoprionodon
taylori. PLoS ONE 9(7): e101234. doi:10.1371/journal.pone.0101234
Wilkosz P, Greggains GD, Tanbo TG, Fedorcsak P (2014) Female Reproductive
Decline I