KEDUDUKAN MATAHARI PADA AWAL WAKTU SALAT

KEDUDUKAN MATAHARI PADA AWAL WAKTU SHALAT
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN ILMU FALAK
ISMAIL
STAIN Malikussaleh Lhokseumawe
Email: [email protected]
ABSTRAK
Matahari merupakan benda langit dengan pancaran cahaya terkuat yang pernah
disaksikan oleh manusia. Matahari tersusun dari Inti Matahari, Lapisan Radiatif,
Lapisan Konvektif, Fotosfera, Kromosfera dan Korona. Matahari Memiliki dua
pergerakan semu yaitu gerak semu harian dan gerak semu tahunan. Gerak semu
harian Matahari inilah yang dijadikan sebagai patokan waktu shalat fardhu, baik
dalam Hukum Islam dan Ilmu Falak, Cuma yang ada perbedaan adalah hukum islam
memandang matahari untuk patokan waktu shalat dari segi sinar matahari yang
terlihat di Bumi, sedangkan ilmu falak memandang matahari untuk patokan waktu
shalat dari segi posisi titik Matahari dalam perjalanan semu di seputar Ekliptika.
Batas-batas waktu shalat menurut Hukum Islam dapat disimpulkan sebagai berikut,
Shalat zuhur sejak Matahari tergelincir sampai bayang-bayang sesuatu dua kali
panjangnya. Shalat Ashar dimulai sejak bayang-bayang sesuatu sama panjangnya
sampai sempurna terbenam Matahari. Shalat Magrib dimulai sempurna terbenam
Matahari sampai hilang mega merah. Shalat Insya dimulai semenjak hilang mega
merah sampai terbit fajar kedua atau fajar shadiq. Shalat subuh dimulai semenjak

terbit fajar kedua sampai terbit piringan atas Matahari. Sedangkan awal waktu shalat
dalam ilmu falak adalah sebagai berikut, Awal waktu Zuhur dimulai pada posisi
matahari 0 derjat atau tepat digaris meridian langit. Awal waktu Ashar dimulai pada
posisi matahari 51 derjat dihitung dari garis meridian langit. Awal waktu Magrib
dimulai pada posisi matahari -01 derjat dibawah ufuk barat atau 91 derjat dari garis
meridian. Awal waktu Insya dimulai pada posisi matahari -18 derjat di bawah ufuk
barat atau 108 derjat dari garis meridian. Awal waktu subuh dimulai pada posisi
matahari -20 derjat di bawah ufuk timur atau 110 derjat dari garis meridian.
Keywords : Sun and Prayer Time

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Matahari merupakan benda langit dengan pancaran cahaya terkuat yang
pernah disaksikan oleh manusia. Kuatnya cahaya Matahari menyebabkan bendabenda yang tersinarinya memiliki bayang-bayang tajam. Sinar Matahari berkecepatan
300 ribu Km perdetik, sedangkan jarak antara Bumi dan Matahari rata-rata 150 juta
Km dengan jarak terdekat sekitar 147 juta Km dan jarak terjauh sekitar 152 juta Km,

sehingga waktu yang diperlukan untuk sampainya cahaya Matahari ke permukaan
Bumi sekitar 8 menit. (Muhyiddin Khazin,2004, hal. 125).
Meskipun Matahari merupakan pusat tata surya, namun bagi kita di Bumi

justru kebalikan, seakan-akan Mataharilah yang berputar mengelilingi Bumi
sepanjang hari. Perputaran ini dikenal sebagai gerak semu harian Matahari dan
merupakan konsekuensi dari rotasi Bumi. Sebagai konsekuensi perputaran Bumi pada
sumbunya, maka kita menyaksikan Matahari seakan-akan bergerak secara teratur pada
satu garis dari hari ke hari.
Ketika Matahari terlihat di ufuk timur, kita mengatakan bahwa Matahari telah
terbit. Setelah Matahari terbit dengan perlahan-lahan melaju hingga mencapai titik
garis meridian langit (garis khayali yang menghubung titik utara, zenith dan titik
selatan), peristiwa ini dalam bahasa Aceh dikenal dengan Cot uroe timang, pada saat
ini semua benda yang tersinari oleh Matahari akan menghasilkan bayang-bayang yang
menuju ke arah utara atau selatan, bayang-bayang benda ini oleh ulama fiqh
menamakan dengan bayang Istiwa’. Bayang istiwa’ ini tidak selalu ada dalam setiap
hari di suatu tempat, dalam satu hari panjang bayang istiwa’ juga tidak selalu sama
antara satu tempat dengan tempat lain, hal ini dipengaruhi oleh nilai deklinasi
Matahari dalam setiap hari tidak selalu sama, semakin besar nilai deklinasi dari nilai
lintang tempat semakin panjang bayang istiwa’. Apabila harga deklinasi sama dengan
harga lintang tempat maka pada hari tersebut bayang istiwa’ tidak ada. Sekitar 2 menit
kemudian bayang-bayang benda tersebut akan meninggalkan titik utara atau selatan
dan melaju ke arah timur seiring dengan bergesernya Matahari ke arah barat,
peristiwa ini dalam ilmu fiqih dikenal dengan Tergelincirnya Matahari. Selanjutnya

Matahari akan terbenam di ufuk barat, disaat inilah awal malam pun tiba.
Perjalanan harian Matahari yang terbit dari Timur dan terbenam di Barat itu
bukanlah gerak Matahari yang sebenarnya, melainkan disebabkan oleh perputaran
Bumi pada porosnya dari barat ke timur (Rotasi Bumi) selama sehari semalam dengan
kecepatan 108 ribu Km perjam. Akibat dari rotasi ini antara lain adalah adanya
perbedaan waktu di satu daerah dengan daerah yang lain dan adanya siang dan malam
di permukaan Bumi.( M. Yusuf Harun, 2007, Hal. 35-37).
Gerak semu harian Matahari ini kemudian dijadikan patokan waktu di
permukaan Bumi dengan waktu tetap sehari semalam 24 jam atau dikenal dengan
waktu pertengahan. Kemudian waktu ini di abadikan dalam alat teknologi sepeti jam

dinding dan arloji yang kemudian dipedomani oleh semua jadwal kerja, siaran radio,
telivisi, jadwal imsakiyah dan jadwal awal waktu shalat.
Dalam asumsi masyarakat bahwa waktu shalat yang dipedomani sekarang
yang telah tersusun dengan rapi yang ada disetiap mesjid adalah waktu shalat yang
diwarisi dari Nabi melalui para fuqahak, padahal jadwal tersebut jelas-jelas disusun
oleh para ahli falak (al-Falakiyah) dengan kreatifitas mereka dalam menilai
pergerakan Matahari, hal ini untuk memudahkan umat dalam mengingat awal masuk
waktu shalat karena mengetahui masuk waktu adalah salah satu syarat sahnya shalat.
Pada awal waktu diwajibkan shalat yaitu pada malam Isra’ tahun ke 10 Nabi

Muhammad diangkat menjadi Rasul belum ada yang namanya Arloji dan jam dinding,
para sahabat melaksanakan shalat pada waktu itu dengan melihat tanda-tanda
pergerakan semu Matahari yaitu dengan melihat bayang-bayang suatu benda dan
cahaya di langit. Dari semua sumber yang kita dapatkan, bisa kita pastikan bahwa
jadwal shalat fardhu sepenuhnya berpatokan pada Matahari, yang jadi permasalahan
sekarang adalah dari sudut manakah matahari itu dijadikan patokan waktu shalat .
Atas dasar asumsi dan permasalahan di atas, penulis ingin mengkaji lebih
dalam tentang posisi Matahari yang sebenarnya dalam menentukan waktu shalat
dengan mengambil tema “Kedudukan Matahari Pada Awal Waktu Shalat Dalam
perspektif Hukum Islam dan Ilmu Falak”. semoga tulisan ini dapat menjawab seputar
waktu shalat dan bermamfaat kepada penulis dan peminat hukum Islam.
2. Fokus Masalah
Atas dasar asusmsi dan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka perlu
ditetapkan beberapa fokus masalah untuk dikaji dalam tulisan ini; pertama,
bagaimana penetapan awal waktu shalat fardhu dalam perspektif hukum Islam.
Kedua, bagaimana penetapan awal waktu shalat fardhu dalam perspektif ilmu falak.

B. Pembahasan
1. Sekilas Tentang Matahari
Matahari adalah sumber cahaya dan suhu panas yang dihasilkan dari aktivitas

internal Matahari oleh reaksi fungsi termonuklir yang menggabungkan inti-inti atom
hidogen untuk membentuk inti atom helium. Selanjutnya cahaya dan suhu panas
tersebut dipancarkan keseluruh penjuru, termasuk ke Bumi.( Muh. Ma’rufin Sudibyo,
2012, hal. 202). Secara tersirat, hal ini Allah SWT menjelaskan dalam surat Nuh ayat

16.

       
“Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari
sebagai pelita”
Dalam ayat di atas secara tersirat menunjukkan kalau cahaya Matahari
memang berasal dari dirinya sendiri, seperti halnya pelita (lampu minyak) yang
memancarkan cahaya sebagai akibat dari proses pembakaran pada dirinya sendiri.
Peranan Matahari sangat dihargai dalam Islam, disamping menjadi sumber
energi ia juga dijadikan sandaran dalam penentuan waktu, khususnya waktu shalat.
Waktu shalat ditentuka berdasarkan posisi Matahari dan secara kasat mata bergantung
pada bayang-bayang benda yang tersinari Matahari. Allah SWT berfirman dalam
surat An Nisa’ ayat 103,

           

   

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).”

Tergelincirnya Matahari merupakan peristiwa yang sangat penting karena
menjadi basis perhitungan seluruh waktu shalat. Kesalahan dalam menentukan kapan
Matahari tergelincir akan berpotensi membuat seluruh waktu shalat lainnya yang telah
diperhitungkan menjadi keliru. Karena itulah, peradaban Islam amat familiar dengan
pengembangan instrumen-instrumen guna mendapatkan posisi Matahari untuk
menentukan waktu shalat, yang dikenal sebagai jam Matahari ( sundial atau bencet).
Matahari adalah bintang yang garis tengahnya 1,392 juta km dengan massa
1.990 triliun ton. Sebagai benda langit, Matahari juga berotasi, periode rotasi
Matahari tidak seragam di setiap titik, di khatulistiwa periodenya 25,4 hari, sedangkan
di kutub 36 hari. Secara fisik, Matahari adalah plasma yang tersusun dari 75%
hidrogen, 24% helium, dan 1% unsur-unsur lainnya. (Muh. Ma’rufin Sudibyo, 2012, hal.
219-228).

a. Bagian-Bagian Matahari

Matahari terdiri dari enam lapisan yaitu,

1. Inti Matahari
Inti Matahari adalah lapisan terdalam Matahari dengan garis tengah 280.000 km
(20% garis tengah Matahari). Inti Matahari merupakan gumpalan raksasa yang cair
dan superpanas degan suhu 14 juta C dan tekanan sebesar 100 miliar kali lipat
tekanan atmosfer Bumi. Demikian besar suhu dan tekanannya sehingga pada inti
Mataharilah yang terdapat reaksi fungsi termonuklir. Dengan demikian, inti Matahari
merupakan kawasan pembangkit energi Matahari. (Muh. Ma’rufin Sudibyo, 2012, hal.
219-228).

2. Lapisan Radiatif
Lapisan radiatif adalah lapisan atas inti Matahari yang tebalnya 350.000 km.
Lapisan ini bertugas menyalurkan energi yang diproduksi oleh inti Matahari menuju
ke permukaan Matahari. Karena padatnya lapisan ini dan energi Matahari sepenuhnya
dibawa oleh sinar gamma maka terjadilah mekanisme hamburan Compton. Pada
mekanisme ini, sinar gamma dipantul-pantulkan oleh plasma di dalam lapisan radiatif
sehingga secara perlahan-lahan mengalami penyusutan energi. Akibatnya, sinar
gamma pun perlahan-lahan berubah menjadi cahaya tampak, ultraungu, dan
inframerah serta gelombang radio lainnya, baik panjang maupun pendek. (Muh.

Ma’rufin Sudibyo, 2012, hal. 219-228).

3. Lapisan Konvektif.
Lapisan konvektif adalah satu lapisan Matahari yang ada di atas lapisan radiatif
yang tebalnya 200.000 km. Pada lapisan ini terjadi proses konveksi (aliran material)
yang membawa panas dari lapisan radiatif menuju fotosfera. Setibanya di fotosfera,
material tersebut mendingin, lalu terbenam lagi untuk menerima panas dari lapisan
radiatif dan mengulangi siklusnya secara berkesinambungan. (Muh. Ma’rufin Sudibyo,
2012, hal. 219-228).

4. Fotosfera
Fotosfera adalah permukaan Matahari yang terlihat. Fotosfera ini berada di atas
lapisan konvektif yang memiliki ketebalan 600 km dan berfungsi sebagai lapisan yang
melepaskan cahaya dan energi Matahari lainnya ke antariksa. Dari fotosfer, cahaya
Matahari hanya membutuhkan waktu 8,33 menit untuk sampai ke Bumi. Jadi, sinar
Matahari yang kita lihat dan rasakan sekarang merupakan hasil pancaran fotosfera
8,33 menit yang lalu yang telah dihasilkan oleh inti Matahari sejak ribuan tahun
silam.
5. Kromosfera


Kromosfera adalah lapisan atmosfer bawah

dengan ketebalan 2.500 km.

Kromosfera terdapat di atas lapisan fotosfera yang memiliki warna kemerahan yang
disebabkan oleh melimpahnya atom hidrogen yang memancarkan cahaya kemerahan
dengan panjang gelombangnya 6563 Angstrom. Kromosfera merupakan lapisan
tempat proses-proses yang menakjubkan di fotosfera yang membumbung tinggi ke
atas sebagai lidah api. Kejadian ini dapat berlangsung antara beberapa jam hingga
berbulan-bulan.
6. Korona
Korona adalah lapisan atmosfer teratas Matahari. Di korona suhunya sangat panas
hingga men apai 3 hingga

juta

. Seperti halnya kromosfer, manusia hanya dapat

melihat korona ketika gerhana Matahri total terjadi atau dengan menggunakan
teleskop yang dilengkapi koronagraf. (Muh. Ma’rufin Sudibyo, 2012, hal. 219-228).

b. Gerak Semu Harian dan Tahunan Matahari
1. Gerak Semu Harian Matahari
Gerak semu harian Matahari adalah pergerakan Matahari dari arah timur ke barat
yang dipengaruhi oleh perputaran Bumi pada porosnya dari arah barat ke timur
(Rotasi) dengan kecepatan rata-rata 180 ribu km perjam, dalam satu kali putaran
penuh selama 24 jam. Akibat dari rotasi ini antara lain adalah adanya perbedaan
waktu dan pergantian siang-malam di permukaan Bumi. Permukaan Bumi yang
menghadap

Matahari

adalah

siang,

sedangkan

permukaan

Bumi


yang

membelakanginya adalah malam. Bumi sebelah timur akan mengalami waktu duluan
ketimbang Bumi sebelah baratnya dengan selisih waktu 1 jam untuk 15 derajat bujur,
atau 4 menit untuk setiap 1 derajat bujur. Nilai ini didapatkan dari pembagian waktu
yang diperlukan Matahari untuk satu kali putaran penuh (360 derajat) selama 24 jam.
(Muhyiddin Khazin,2004, hal. 128).

2. Gerak Semu Tahunan Matahari
Gerak semu tahunan Matahari adalah gerak edaran Bumi dalam mengelilingi
Matahari dari arah barat ke timur (Revolusi Bumi dengan ke epatan sekitar 30 km
per detik. Satu kali putaran penuh 3 0 ) memerlukan waktu 365, 2425 hari. Jangka
waktu revolusi Bumi ini dijadikan dasar dalam perhitungan tahun syamsyiyah. Bentuk
peredaran Bumi di ekuator langit adalah lonjong (bulat telur), sehingga
mengakibatkan deklinasi Matahari berbeda-beda.
Ketika Matahari di ekuator pada tanggal 21 Maret dan 23 Desember nilai deklinasi
Matahari adalah 0 derajat, kemudian Matahari berangsur berpindah ke arah utara

dengan nilai deklinasi tertinggi pada tanggal 21 Juni yaitu + 3
selatan dengan nilai deklinasi tertinggi pada tanggal 2

menit dan ke arah

esember yaitu - 3

menit. (Muhyiddin Khazin,2004, hal. 129-130).

2. Macam-macam Waktu
Untuk lebih mudah memahami waktu shalat kita terlebih dahulu harus memahami
waktu sebenarnya yang digunakan oleh penduduk bumi. Dalam permasalahan waktu,
ada dua macam waktu yang benar-benar harus diperhatikan, yaitu:
1. Waktu setempat
Waktu setempat adalah waktu pertengahan menurut bujur tempat di suatu tempat,
sehingga sebanyak bujur tempat di permukaan bumi sebanyak itu pula waktu
pertengahan didapatkan. Waktu pertengahan ini juga disebut dengan Local Mean
Time (LMT). (Muhyiddin Khazin,2004, hal. 69).
2. Waktu Daerah
Waktu daerah adalah waktu yang diberlakukan untuk satu wilayah bujur tempat
tertentu, sehingga dalam satu wilayah bujur tersebut hanya berlaku satu waktu daerah
(zona Time). Oleh karenanya, daerah dalam satu wilayah itu disebut daerah kesatuan
waktu. (Muhyiddin Khazin,2004, hal. 69).
Pembagian wilayah daerah kesatuan waktu pada dasarnya berdasarkan pada
kelipatan bujur tempat 15 derjat (360 derjat dibagi 24 jam dikali 1 derjat) yang
dihitung mulai bujur tempat yang melewati kota Greenwich yang telah disepakati
sebagai bujur 0 dejat.
Untuk wilayah Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden RI (soeharto) Nomor
41 Tahun 1987 tanggal 26 November 1987 untuk selanjutnya mencabut Keputusan
Presiden (Soekarno) Nomor 243 tahun 1963, waktu daerah atau daerah kesatuan
waktu dibagi menjadi 3 wilayah yaitu waktu Indonesia Barat (WIB), waktu Indonesia
tengah (WITA), dan waktu Indonesia timur (WIT).
a. Waktu Indonesia Barat (WIB) yang berpedoman pada 105 derjat Bujur Timur
(BT) atau GMT + 7 Jam, meliputi:
1. Seluruh propinsi daerah tingkat I Sumatra.
2. Seluruh propinsi daerah tingkat I Jawa dan Madura
3. Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Barat
4. Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Tengah

b. Waktu Indonesia Tengah (WITA) yang berpedoman pada 120 derjat Bujur
Timur (BT) atau GMT + 8 Jam, meliputi:
1. Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Timur
2. Propinsi daerah tingkat I Kalimantan Selatan
3. Propinsi daerah tingkat I Bali
4. Propinsi daerah tingkat I Nusa Tenggara Barat
5. Propinsi daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur
6. Propinsi daerah tingkat I Timor Timur
7. Propinsi daerah tingkat I sulawesi
c. Waktu Indonesia Timur (WIT) yang berpedoman pada 135 derjat Bujur Timur
(BT) atau GMT + 9 jam, meliputi:
1. Propinsi daerah tingkat I Maluku
2. Propinsi daerah tingkat I Irian Jaya. (Muhyiddin Khazin,2004, hal. 70).

3. Kedudukan Matahari Pada Awal Waktu Shalat Menurut Hukum Islam
a. Al-Qur’an

           
          
Artinya: Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa
aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. An Nisa’ ayat 103

             
 
Artinya: dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat). (Al-Isra’ ayat . 8

              
 
Artinya: dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang
baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.(Hud ayat 114).

             
       
Artinya: Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih
pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya
kamu merasa senang.(Thaha ayat 130).
b. Hadis

‫ﻮﻘﭟ ﺍﻠﻈﻬﺮ ﺇﺫﺍ ﺯﺍﻟﺖ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻮﻜﺍﻦ ﻈﻞ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻜﻄﻮﻟﻪ ﻤﺍﻟﻡ ﻴﺤﺿﺮ ﺍﻟﻌﺻﺮ ﻮﻮﻘﺖ ﺍﻟﻌﺻﺮ‬
‫ﻤﺍﻟﻡ ﺘﺼﻔﺮ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻮﻮﻘﺖ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻤﻐﺮﺐ ﻤﺍﻟﻡ ﻴﻐﺮﺐ ﺍﻟﺸﻔﻖ ﻮﻮﻘﺖ ﺼﻼﺓ ﺍﻟﻐﺸﺍﺀ ﺇﻟﻰ ﻨﺼﻑ‬
‫ﺍﻟﻴﻞ ﺍﻷﻮﺴﻁ ﻮﻮﻘﺖ ﺼﻼﺓ ﺍﻟﺼﺑﺡ ﻤﻦ ﻄﻟﻭﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮﻤﺍﻟﻢ ﺘﻄﻟﻊ ﺍﻟﺷﻤﺲ‬
Artinya : waktu dhuhur apabila matahari tergelincir sampai bayang-bayang seseorang
sama dengan tingginya, yaitu selama belum datang waktu asar. Waktu asar itu selama
matahari belum menguning. Waktu magrib selama mega merah belum hilang. Waktu
insya’ sampai tengah malam. Waktu subuh mulai terbit fajar selama matahari belum
terbit.(HR. Muslim dari Abdullah bin Amr).
‫ﺗﺴﺤﺮﻨﺍ ﻤﻊ ﺍﻟﻨﺑﻲ ﺼﻟﻰ ﺍﻟﻟﻪ ﻋﻟﻴﻪ ﻮﺴﻟﻡ ﺜﻡ ﻘﺍﻡ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻘﻟﺖ ﻜﻡ ﻜﺍﻦ ﺑﻴﻦ ﺍﻷﺫﺍﻦ ﻮﺍﻟﺴﺤﻮﺮ ﻗﺍﻝ ﻗﺪﺭ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻴﺔ‬
Artinya : Kami (zaid bin Tsabit) sahur bersama Rasulullah SAW, kemudian
melakukan shalat subuh . Saya bertanya “Berapa lama ukuran antara sahur dan shalat

subuh?” Rasulullah menjawab “Seukuran memba a 50 ayat al-qur’an”. HR. Bukhari
dan Muslim dari Zaid bin Tsabit).
c. Fuqahak
Sebelum manusia menemukan ilmu perhitungan, pada zaman Rasulullah waktu
shalat ditentukan berdasarkan observasi terhadap gejala alam dengan melihat
langsung Matahari. Lalu berkembang dengan dibuatnya jam Surya atau jam Matahari
serta jam Istiwa’ atau sering disebut Tongkat Istiwa’ dengan kaedah bayangan
Matahari. Dari sudut pandang ilmu fiqh penentuan waktu shalat sangat penting
dikarenakan mengetahui masuk waktu shalat termasuk salahsatu syarat sahnya shalat,
sebagaimana yang diucapkan oleh Syeh Syamsyuddin Muhammad bin khatib AsSyarboini.

,‫اول اخلمسة (معرفة) دخول (الوقت) يقينا او ظنا باالجتهاد كما دل عليه كالمه يف اجملموع‬
‫ فمن صلى بدوهنا مل‬,‫وليس املراد مدلول املعرفة الذي هو العلم مبعىن اليقني ليخرج الظن‬
.‫تصح صالته وان وقعت يف الوقت‬
Maksudnya: salah satu dari pada lima syarat sahnya shalat adalah mengetahui
masuknya waktu shalat secara yakin atau dhan dengan cara berijtihat, bukanlah yang
dimaksut ma’rifah disini adalah mengetahui sampai tingkatan yakin.

Apabila

seseorang melaksanakan shalat dengan tidak mengetahui masuk waktu maka
shalatnya tidak sah walaupun dilaksanakan tepat pada waktunya.(Syeh Syamsyuddin
Muhammad bin khatib As-syarboini, hal. 255).
Atas dasar ini, maka semua Fuqahak dalam tulisannya mencantumkan waktu
shalat fardhu seperti didapatkan di dalam kitab-kitab fiqh berikut:

‫(وقت الظهر من الزوال) اى وقت زوال الشمس فيما يظهر لنا اليف الواقع (اىل مصري ظل‬
.‫الشئ مثله غري ظل االستواء) اى الظل املوجود عنده‬
Maksudnya: awal waktu shalat Zuhur adalah saat Matahari tergelincir pada
pandangan mata kita hingga jadilah panjang bayangan suatu benda seukuran benda
tersebut, tidak termasuk bayang istiwa’ yaitu bayangan mengarah ke utara atau selatan
yang didapatkan pada saat matahari tergelincir. (Syeh Zakaria Al-ansari, hal. 234236).

‫(وهو) اى مصري ظل الشئ مثله (اول وقت العصر) وعبارة الوجيز وغريه "وبه يدخل وقت العصر‬
.‫(ويبقى) وقته (حىت تغرب) الشمس‬
Maksudnya: panjang sesuatu benda sama dengan benda merupakan awal waktu ashar.
alam ‘ibarat kitap Wajiz “Masuk waktu Ashar” dan kekal waktu ashar hingga
terbenam Matahari.(Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Zuz. I, Hal. 128).

‫واملغرب واوله تكامل الغروب ويبقى ىف القدمي وهو املختار حىت يغيب الشفق االمحر‬
Maksudnya: awal waktu Magrib adalah sempurna terbenam Matahari dan akhir waktu
magrib menurut pendapat Kadim hingga hilang mega merah, pendapat kadim dalam
hal ini Al-mukhtar (pendapat yang banyak dipilih oleh ulama).(Imam An-nawawi,
Hal. 161).

.‫والعشاء واوله مغيب الشفق وهو احلمرة ويقال الصفرة بعدها وقال املذىن البياض واخره طلوع الفجر‬
Maksudnya: awal waktu Insya adalah hilang mega merah, ada yang berpendapat mega
kuning dan menurut Al-Muzani mega putih. Adan akhir waktu insya adalah terbit
fajar shadiq. (Imam An-nawawi, Hal. 162).

‫وقت ( صبح ) من الفجر الصادق ( إىل ) طلوع ( مشس ) خلرب مسلم وقت صالة الصبح من طلوع‬
‫الفجر ما مل تطلع الشمس ويف الصحيحني خرب من أدرك ركعة من الصبح قبل أن تطلع الشمس فقد‬
‫أدرك الصبح وطلوعها هنا بطلوع بعضها خبالف غروهبا فيما مر إحلاقا ملا مل يظهر مبا ظهر فيهما‬
Maksudnya: awal waktu shalat Subuh adalah mulai keluar fajar sadik hingga keluar
matahari karena ada hadis yang diriwayat oleh Muslim “ waktu shalat Subuh mulai
dari pada keluar Fajar hingga tidak keluar Matahari” dan hadis Bukhari Muslim
“siapa saja yang mendapatkan satu rakaat dari pada shalat subuh sebelum keluar
Matahari maka ia sudah mendapatkan subuh”. Yang dimaksut dengan keluar Matahari
adalah keluar sebagian piringan atas Matahari, sedangkan yang dimaksut terbenam
Matahari adalah terbenam seluruh piringan atas Matahari. (Syeh Zakariya Al-ansari,
Hal. 234-236).

Dengan memperhatikan tiga landasan hukum Islam di atas, dapat dipahami dan
disimpulkan bahwa batasan waktu shalat fardhu berpatokan pada cahaya matahari
atau keadaan alam yang terlihat di Bumi bukan pada titik pusat Matahari dengan

pergerakan semu dari timur ke barat. Kedudukan Matahari pada waktu shalat menurut
hukum Islam dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Shalat zuhur sejak Matahari tergelincir sampai bayang-bayang sesuatu dua
kali panjangnya.
2. Shalat Ashar dimulai sejak bayang-bayang sesuatu sama panjangnya sampai
sempurna terbenam Matahari.
3. Shalat Magrib dimulai sempurna terbenam Matahari sampai hilang mega
merah.
4. Shalat Insya dimulai semenjak hilang mega merah sampai terbit fajar kedua
atau fajar shadiq.
5. Shalat subuh dimulai semenjak terbit fajar kedua sampai terbit piringan atas
Matahari.

4. Kedudukan Matahari Pada Awal Waktu Shalat Menurut ilmu falak
Berdasarkan kepada ketentuan hukum Islam tentang waktu-waktu shalat di atas,
yakni tergelincir matahari, panjang pendek bayang-bayang suatu benda, terbenam
matahari, mega merah, terbit matahari dan fajar menyingsing, seluruhnya adalah
fenomena matahari. Oleh karena itulah ilmu falak memahami waktu-waktu shalat
tersebut didasarkan pada fenomena matahari. Kemudian diterjemahkan dengan posisi
matahari pada saat-saat mewujudkan keadaan-keadaan yang merupakan pertanda bagi
awal atau akhir waktu shalat.
Kedudukan matahari pada awal waktu shalat menurut ilmu falak adalah
sebagai berikut:
1. Waktu Zuhur
Waktu zuhur dimulai sesaat matahari terlepas dari titik meridian langit.
Mengingat bahwa sudut waktu itu dihitung dati meridian, maka ketika
matahari di meridian tentunya mempunyai sudut waktu 0 derjat. Untuk
mengetahui kapan matahari terlepas dari titik meridian di suatu daerah untuk
hari tertentu dapat diketahui dengan rumus: MP + I = wakyu zuhur. MP = 12e+ kwd. Kwd = (λt – λ)/15. (A. Jamil, 2009, hal. 33).
2. Waktu Asar
Awal waktu asar dimulai ketika panjang bayang matahari sama dengan
bendanya apabila disaat matahari berkulminasi tidak ada bayang. Apabila disaat
matahari berkulminasi ada terdapat bayang, maka untuk awal waktu asar harus

dikurangi nilai bayang tersebut. (Susiknan Azhari, 2008, hal. 229). Oleh karena itu,
kedudukan matahari pada posisi awal waktu ashar dihitung dari titik meridian dengan
rumus sebagai berikut: SW + MP + i. Sw = osˉ¹

os Z – sin do x sin Lu) / (cos do

x cos Lu)) / 15.
Z ashar= tanˉ¹ tan abs do – Lu) + 1) .
3. Waktu Magrib
Awal waktu magrib adalah waktu matahari terbenam. Dikatakan matahari
terbenam apabila menurut pandangan mata kita piringan atas matahari
besinggungan dengan ufuk. Kedudukan matahari atau posisi matahari pada awal
waktu magrib dihitung dari ufuk sepanjang lingkaran vertical(Susiknan Azhari,
2008, hal. 230). dengan rumus sebagai berikut: (SW + MP) + i
Sw = osˉ¹

os Z – sin do x sin Lu) / (cos do x cos Lu)) / 15. Z magrib adalah

91.
4. Waktu Insya
Ketika matahari terbenam di ufuk barat, permukaan bumi tidak langsung
gelap. Hal ini disebabkan ada partikel-partikel di angkasa yang membias sinar
matahari, sehingga walaupun sinar matahri tidak lagi mengenai bumi namun
masih ada bias cahaya dari partikel-partikel tersebut yang dikenal dengan cahaya
senja.
Disaat matahari terbenam cahaya senja berwarna kuning kemerah-merahan
yang lama-lama berubah menjadi merah kehitam-hitaman yang pada akhirnya
kondisi bumi akan gelap. Pada saat posisi matahari berada antara -6 derjat ampai 12 derjat di bawah ufuk benda-benda dilapangan terbuka sudah samar-samar batas
bentuknya. Pada saat posisi matahari berada antara -12 derjat sampai -18 derjat di
bawah ufuk permukaan bumi sudah gelap, hal ini disebabkan cahaya partikel yang
merah kehitam-hitaman telah hilang. Maka disaat inilah ditetapkan sebgai awal
waktu insya. (A. Jamil, 2009, hal. 44). Untuk mengetahui kapan matahari berada
pada posisi -18 derjat kita bias menggunakan rumus : (SW + MP) + i
Sw = osˉ¹
108.

os Z – sin do x sin Lu) / (cos do x cos Lu)) / 15. Z insya adalah

5. Waktu Subuh
Waktu subuh juga ditetapkan pada bias cahaya partikel yang disebut cahaya
fajar. Hanya saja cahaya fajar lebih kuat daripada cahaya senja sehingga pada
posisi matahari -20 derjat di bawah ufuk timur sudah didapatkan cahaya fajar yang
menjadi patokan awal waktu shubuh. Untuk menentukan posisi matahari pada
waktu tersebut kita bias menggunakan rumis: (SW + MP) + i
Sw = osˉ¹

os Z – sin do x sin Lu) / (cos do x cos Lu)) / 15. Z subuh adalah

110. (Muhyiddin Khazin,2004, hal. 92).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu falak menetapkan
waktu-waktu shalat berdasarkan posisi matahari yang berpatokan pada perjalanan
semu matahari, bukan dengan sinar matahari. Setelah posisi matahari diketahui baru
diklaborasikan dengan waktu pertengahan yang bisa dipedomani dengan mudah oleh
manusia dengan disimpan di arloji yang biasa kita pakai sekarang. Kedudukan
matahari pada setiap awal waktu shalat dalam ilmu falak adalah sebagai berikut.
1. Awal waktu Zuhur

: 0 derjat atau tepat digaris meridian langit.

2. Awala waktu Ashar

: 51 derjat dihitung dari garis meridian langit.

3. Awal waktu Magrib : -01 derjat dibawah ufuk barat atau 91 derjat dari garis
meridian.
4. Awal waktu Insya

: -18 derjat di bawah ufuk barat atau 108 derjat dari

garis meridian.
5. Awal waktu subuh

: -20 derjat di bawah ufuk timur atau 110 derjat dari

garis meridian.
Rumus-rumus di atas berfungsi untuk menentukan posisi matahari pada awal
waktu shalat sekaligus menyesuaikan dengan waktu pertengahan sehingga untuk
mengetahui masuk waktu shalat tidak selalu harus menyaksikan tanda-tanda alam
yang dipengaruhi oleh matahari atau fenomena matahari. Untuk lebih jelas kita bisa
membuat satu contoh penentuan waktu shalat dengan menyelesaikan rumus di atas.
Contoh: tentukan jadwal shalat untuk wilayah Lhokseumawe pada tanggal 21 Mei
2013 ?.
Diketahui:

Lintang tempat

: 5˚ ’ 1” LU

Bujur Tempat

: 9 ˚ 09’ 0 ” BT.

Deklinasi Matahari

: 0˚ 10’ 1 ”

Jawaban:
1. Waktu Zuhur.
Rumus: MP + i. MP = 12 – e + kwd. Kwd = (λt – λ)/15.
Kwd = (105 - 9 ˚ 9’ ” / 15 = 0,5 3 59 59
MP = 12-00:03:25 + 0,523259259 = 12:27:58
Waktu zuhur = 12:27:58 + 2 = 12:29:58 WIB
2. Waktu Ashar
Rumus: (SW + MP) + i.
Sw = osˉ¹

os Z – sin do x sin Lu) / (cos do x cos Lu)) / 15.

Z ashar = tanˉ¹ tan abs do – Lu) + 1).
Do – LU = 0˚ 10’ 1 ” - 5˚ ’ 1” = 15˚ ’ 35”
Za = tanˉ¹ tan15˚ ’ 35” + 1 = 51.75572683
Sw = osˉ¹

os51. 55

83 – sin 0˚ 10’ 1 ”x sin 5˚ ’ 1” /

os 0˚ 10’

1 ” x os 5˚ ’ 1”)) / 15 = 3,40085984
Waktu ashar = 3,40085984 +12:27:58 = 15:52 + 2 menit = 15:54 WIB
3. Waktu Magrib
Rumus: (SW + MP) + i.
Sw = osˉ¹

os 91 – sin 0˚ 10’ 1 ”x sin 5˚ ’ 1” /

os 0˚ 10’ 1 ” x os

5˚ ’ 1”)) / 15 = 6,197316796
Wm = (6,197316796 + 12,46573919) = 18:39:47 + 2 menit = 18:41:47 WIB
4. Waktu Insya
Rumus: (SW + MP) + i.
Sw = osˉ¹

os 108 – sin 0˚ 10’ 1 ”x sin 5˚ ’ 1” /

os 0˚ 10’ 1 ” x os

5˚ ’ 1”)) / 15 =7,421012885
Wi = (7,421012885 + 12,46573919) =19:53:13 + 2 menit = 19:55:13 WIB
5. Waktu Subuh
Rumus: (SW + MP) + i.

Sw = cosˉ¹

os110 – sin 0˚ 10’ 1 ”x sin 5˚ ’ 1” /

os 0˚ 10’ 1 ” x os

5˚ ’ 1”)) / 15 =7,566875322
Ws = (-7,566875322 + 12,46573919) = 4:53:56 + 2 menit = 4:55:56 WIB
C. Penutup
Setelah penulis menguraikan dan membandingkan tentang kedudukan
matahari pada awal waktu shalat dalam dua perspektif yaitu hukum Islam dan ilmu
falak, maka penulis berkesimpulan bahwa ada perbedaan antara hukum Islam dan
ilmu falak dalam melihat Matahari untuk menetapkan awal waktu shalat fardhu:
1. Dalam hukum Islam, penetapan awal waktu shalat fardhu berdasarkan
fenomena Matahari yang berpatokan pada sinar Matahari yang terlihat di
Bumi yaitu:
a. Shalat zuhur sejak Matahari tergelincir sampai bayang-bayang sesuatu dua
kali panjangnya.
b. Shalat Ashar dimulai sejak bayang-bayang sesuatu sama panjangnya
sampai sempurna terbenam Matahari.
c. Shalat Magrib dimulai sempurna terbenam Matahari sampai hilang mega
merah.
d. Shalat Insya dimulai semenjak hilang mega merah sampai terbit fajar
kedua atau fajar shadiq.
e. Shalat subuh dimulai semenjak terbit fajar kedua sampai terbit piringan
atas Matahari.
2. Ilmu falak menetapkan waktu shalat fardhu berdasarkan posisi Matahari dalam
menepuh perjalan semu di ekliptika langit yang disebabkan oleh rotasi Bumi.
Posisi Matahari pada awal waktu shalat dalam ilmu falak adalah sebagai
berikut:
a. Awal waktu Zuhur adalah 0 derjat atau tepat digaris meridian langit di
suatu tempat.
b. Awala waktu Ashar adalah 51 derjat dihitung dari garis meridian langit.
c. Awal waktu Magrib adalah -01 derjat dibawah ufuk barat atau 91 derjat
dari garis meridian.
d. Awal waktu Insya adalah -18 derjat di bawah ufuk barat atau 108 derjat
dari garis meridian.

e. Awal waktu subuh adalah -20 derjat di bawah ufuk timur atau 110 derjat
dari garis meridian.

Daftar Pustaka
A. Jamil, Ilmu Falak (teori & aplikasi), Cet. I, (Jakarta : Amzah, 2009).
Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya, ed. Revisi

Semarang,

Kumudasmoro Grafindo semarang, 1994).
Imam An-nawawi, kitab Tahkek, Bairut.
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli, Zuz. I.
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta : Buana
Pustaka, 2004).
M. Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak, Cet. II, (Banda Aceh : Pena, 2007)
Muh. Ma’rufin Sudibyo, Ensiklopedia Fenomena Alam Dalam Al-Qur’an, (Solo :
Tinta Medina, 2012).
Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008).
Syeh Syamsyuddin Muhammad bin khatib As-syarboini, Muqni Al-muhktaj.
Syeh Zakaria Al-ansari, Tuhfah At-tulab bisyarhi tahrir tangkih Al-lubab.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124