KAJIAN TRANSFORMASI MIHRAB DALAM ARSITEK
KAJIAN TRANSFORMASI MIHRAB
DALAM ARSITEKTUR MASJID
MELALUI IDENTIFIKASI FUNGSI, TEKNIS DAN ESTETIKA
Studi Kasus : Masjid-masjid Jami’ di Surakarta
Oleh :
Nur Rahmawati Syamsiyah,ST,MT1
Wisnu Setiawan, ST, M. Arch2
Ir. Widyastuti Nurjayanti, MT3
1,2,3
Staf pengajar Prodi Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Surakarta
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian
1. Masjid
Masjid adalah salah satu bentuk arsitektur yang merupakan ungkapan
fisik bangunan dari budaya masyarakat pada tempat dan jaman tertentu, dalam
rangka memenuhi suatu tuntutan kegiatan ritual/peribadatan. Arsitektur masjid di
Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi dan budaya, dan merupakan
peninggalan kejayaan kerajaan-kerajaan Islam. Sebelum abad ke-20 bentuk masjid
sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi dan budaya masyarakat setempat, dan bentuk
masjid ini diistilahkan ‘masjid lama’. Masyarakat di Indonesia hingga saat ini,
yang masih memegang teguh tradisi dan budaya peninggalan nenek moyang, tetap
mempertahankan bentuk masjid lama.
Gambar 1. Contoh masjid lama-atas (Masjid Kotagede)
dan masjid kontemporer-kiri (Masjid Teknik UGM)
(sumber : Abdullah Ebn Saleh,1999)
1
Khasanah arsitektur masjid saat ini di Indonesia sudah tampak
perkembangannya. Dimulai pada abad ke-20 disain masjid tersentuh oleh para
arsitek dan kaum akademisi. Sehingga muncul karakteristik bentuk tampilan
masjid yang berbeda dengan masjid-masjid lama. Dan muncul istilah ‘masjid
moderen’ atau ‘masjid kontemporer’. Bentuk masjid berbeda namun tetap
menampilkan komponen atau bagian masjid yang sama. Bagian-bagian masjid
tersebut adalah : ruang sholat/masjid utama, mihrab, mimbar, dan tempat wudlu.
Adapun bagian masjid yang selalu ada di masjid-masjid lama, namun tidak ada
dan belum tentu ada di masjid moderen adalah : maqsurah dan menara/minaret.
Dinamika perkembangan masjid hingga saat ini menunjukkan fenomena
fungsi masjid yang tidak sekedar menitikberatkan aktifitas yang bersifat akhirat.
Terutama masjid yang dibangun dewasa ini di era globalisasi memiliki
karakteristik sesuai menunjukkan fungsi identitas dan integritas umat Islam yang
mencerminkan tata nilai keislamannya. Sehingga sangat disayangkan bahwa
pembangunan masjid dewasa ini salah satunya untuk tujuan mengangkat harkat,
martabat dan derajat suatu kaum. Bagian dari masjid yang bisa mengangkat
harkat, martabat dan derajat suatu kaum dan umumnya menjadi simbol kesakralan
adalah mihrab (Ischak,2004).
2. Mihrab
Dalam sejarah kebudayaan Islam diketahui bahwa Masjid Nabawi
semasa Rasulullah SAW tidak memiliki mihrab dan tidak pernah dicontohkan
keberadaannya. Demikian juga pada masa Khulafaur-Rasyidin. Tidak ada sunnah
qauliah
(ucapan),
sunnah
amaliah
(perbuatan)
dan
sunnah
taqririyah
(persetujuan) dari Rasulullah SAW tentang mihrab (Al Qaradhawi,2000,h.83).
Mihrab adalah sebuah inovasi awal Arsitektur Islam khususnya
Arsitektur Masjid. Mihrab pertama kali masuk ke dalam khasanah Arsitektur
Masjid pada tahun 88 Hijriyah atau 708 Masehi. Orang yang pertamakali
meletakkan mihrab di dalam Masjid Nabawi adalah Umar bin Abdul Aziz, saat
menjabat Gubernur Madinah Munawarrah, pada masa kekhalifahan Walid bin
Abdul Malik. Pada masa jabatannya itu, Umar bin Abdul Aziz (708-711 M)
2
memerintahkan
untuk
merobohkan
Masjid
Nabawi
untuk
kemudian
memperbaharuinya dan memperluasnya. Proyek ini melibatkan para pekerja
Kristen Coptic yang membawa bentuk mihrab dari gereja mereka untuk
diterapkan di Masjid Nabawi (Creswell,1932,h.40). Proyek selesai tahun 91
Hijriyah atau 711 Masehi. Saat itu mihrab dibuat berbentuk ceruk pada dinding
dan berfungsi sebagai qibla‟axis atau petanda arah kiblat (Sumalyo,2000,h.30).
Bentuk ceruk yang dimaksud pada masa itu sesungguhnya memiliki istilah thooq.1
Rumah Rasulullah
SAW dan para
istrinya
Arah kiblat sholat
Tengah masjid untuk
muamalah
Gambar 2. Rekonstruksi Bentuk Masjid Nabawi
(sumber : Abdullah Eben Saleh,1999)
Pada umumnya mihrab berbentuk ruang yang dibatasi dinding, dan
ditandai dengan ornamen/hiasan yang beragam, yang akan lebih menguatkan
kedudukannya sebagai tempat terhormat. Bentuk ruang mihrab persegi empat.
Dimensi dinding mihrab (panjang dan lebar) berbeda-beda dan tidak ada
ketentuan tentang hal ini. Begitupun dengan penekanan ornamen/hiasan akan
berbeda pada setiap masjid. Ada mihrab yang dihiasi dengan plisiran atau ukiran
sederhana pada ketiga dindingnya atau pada pintu mihrab atau pada bagian plafon.
Ornamen bersifat masif/permanen dengan material batu/keramik dan ada pula
bersifat semi permanen dengan material kayu.
Mihrab dianggap memiliki dimensi sosial budaya, yang paling bisa
ditonjolkan secara visual. Wujud fisik mihrab memiliki peran sebagai media
pengungkapan nilai-nilai atau budaya dari individu pelaku atau perancangnya atau
merupakan refleksi masyarakat sekitarnya. Mihrab pula yang umumnya menjadi
bagian mesjid yang paling bisa memperlihatkan ketinggian derajat suatu kaum,
1
Thooq berarti juga lubang pendek dibagian tengah dinding (Abu Ibrahim,1993)
3
sehingga dihiasi dengan berbagai hiasan dan ornamen kaligrafi yang istimewa,
baik bentuk maupun materialnya. Bentuk ornamen umumnya menyesuaikan style
bentuk hiasan yang sudah mentradisi dalam budaya masyarakat. Sisi lain
keberadaan mihrab yang berornamentasi menonjol akan memperkuat kedudukan
mihrab sebagai penunjuk arah kiblat dan point of interest interior masjid.
3. Proses Identifikasi Masalah
Perkembangan masjid di negara-negara Islam, termasuk di Indonesia
hingga sekarang ini memang belum pernah terdengar ada pengingkaran tentang
pendirian mihrab (sebagai tempat imam sholat) di dalam masjid. Namun apabila
dikembalikan pada asal muasal masjid yang telah dicontohkan Rasulullah SAW,
maka akan menjadi sesuatu yang penting untuk dikaji tentang keberadaan mihrab,
apakah mihrab-mihrab yang ada selama ini sesuai dengan syariat (sesuai yang
dicontohkan Rasulullah SAW) ataukah tidak sesuai.
Apabila diperhatikan hadits berikut, maka menjadi jelas bahwa
karakteristik proporsi ruang mihrab yang ada selama ini, di mana umumnya luas
dan megah adalah suatu kemubaziran :
“Nabi SAW berdiri sholat dekat sutrah (pembatas) yang berjarak antara
beliau dengan sutrah di depannya adalah 3 hasta”(HR. Bukhari dan Ahmad)
“Bila seseorang di antara kamu sholat menghadap sutrah, hendaknya dia
mendekati sutrahnya sehingga setan tidak dapat memutus sholatnya”
(HR.Abu Dawud,Al Bazzar,Hakim)
Mihrab di masjid-masjid jami’2 pada umumnya membuat jarak imam
dengan dinding di depannya (sebagai sutrah) bisa mencapai 2-4 meter (bahkan
lebih). Bahkan mihrab (thooq) dibangun tidak lagi berbentuk ceruk pada dinding,
sebagai penanda kiblat, melainkan telah bergeser menjadi bentuk ruang yang luas
dan megah, dengan beragam fungsi. Sehingga apabila mihrab dibangun dengan
Masjid Jami‟ adalah masjid yang diperuntukkan bagi peribadatan massal atau masjid untuk
sholat Jum’at (dan sholat fardhu), digunakan untuk ibadah mingguan, normalnya berukuran lebih
besar dari masjid-masjid lingkungan sekitar (masjid terdekat). Masjid Jami‟ dibangun untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat kota akan tempat ibadah dan pusat kegiatan serta pembinaan
umat Islam. Masjid Jami’ dikelola oleh masyarakat setempat dengan manajemen terstruktur.
Dengan begitu keberadaan masjid jami‟ terjaga kemakmurannya (Al Quradhawi,2000)
2
4
ukuran jarak imam dengan sutrah (dinding depan imam) melebihi 3 hasta atau
lebih kurang 120-150 cm, maka dapat dikatagorikan kemubaziran dan tidak sesuai
dengan syariat Islam.
Bagaimana sesungguhnya syariat (ilmu) tentang mihrab ini, sesungguhnya
sudah sangat jelas, yaitu tidak ada mihrab, tidak ada tempat yang dikhususkan
bagi imam. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk kembali kepada
pengaplikasian kemurnian syariat Islam tentang bagaimana sebenarnya „mihrab‟
dalam sebuah masjid.
Islam menempatkan ilmu sebagai landasan pertama sebelum amal. Setiap
amalan/perbuatan yang dilakukan harus berdasarkan ilmu, termasuk amalan
membangun masjid. Bagaimana ilmu syariat menjelaskannya, maka itulah yang
diikuti. Salah satu syariat Islam menjelaskan tentang ‘mihrab‟, dan inilah
permasalahan masjid yang menjadi penting untuk diangkat dalam penelitian ini.
4. Masjid-masjid Jami’ di Surakarta
Surakarta adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki fenomena
menarik dalam hal perkembangan Islam. Ditandai dengan perkembangan masjidmasjid jami’ dengan keberagaman bentuknya, termasuk di dalamnya bentuk
mihrab. Beberapa bentuk mihrab menunjukkan adanya transformasi bentuk.
Transformasi bentuk ini sangat menarik untuk dikaji, terutama bila dilihat
berdasarkan nilai-nilai hakiki dalam proses perancangannya, yaitu fungsi, teknis
dan estetika.
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimanakah identifikasi dan kategorisasi bentuk mihrab pada
masjid-masjid jami’ di Surakarta berdasarkan nilai-nilai arsitektural
fungsi, teknis dan estetik.
2.
Bagaimanakah konsep mihrab yang mendekati syariat Islam,
berdasarkan kategorisasi bentuk dan visualisasi konsep arsitekturalnya.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Transformasi Bentuk dalam Arsitektur
Transformasi bentuk dalam arsitektur terutama sekali merupakan hasil dari
proses sosial budaya. Termasuk didalamnya adalah perubahan-perubahan yang
paling berguna terhadap lingkungan fisik. Perubahan bentuk terjadi salah satunya
karena penetrasi (Krier,2001,h.46). Bangunan peribadatan mengambil prinsip
penetrasi untuk memperkuat keindahan visual dan kedudukan fungsi ruang. Salah
satu prinsip penetrasi yang sesuai untuk bangunan peribadatan adalah bentuk
struktur diafan atau struktur tembus cahaya (Ven,1991,h.25)
Perubahan bentuk atau transformasi terjadi karena perluasan, perbanyakan,
pemisahan, regenerasi dan pergandaan. Bentuk dapat diubah guna menanggapi
perubahan-perubahan lingkungan (eksternal) dan tuntutan dari dalam (internal).
Perubahan-perubahan lingkungan ini adalah ciri arsitektur, yang tidak lepas dari
unsur tradisi dan budaya masyarakat. Tradisi telah mengakar dan tetap, namun
budaya bisa berkembang, berubah sesuai tuntutan kebutuhan.
B. Arsitektur Islam
Lingkup arsitektur secara umum terbagi dalam dua tingkatan, yaitu
pertama lingkup fisik, yang langsung menentukan bentuk dan gaya. Kedua adalah
referensi kerangka sosial, budaya dan ekonomi, yang luas memberikan nilai-nilai
pada suatu bentuk arsitektur (Frishman dalam Sumalyo, 2000,h.24).
Ada pendapat bahwa arsitektur Islam mengambil / dipengaruhi oleh sosial
budaya masyarakat non Islam yang mana arsitektur Islam lebih hanya sebagai
pengguna atau peminjam gaya, yang sebenarnya tidak memiliki gaya asli. (Briggs
dalam Arnold, 2003, h. 155). Arsitektur Islam pada intinya bukan terletak pada
perwujudan bentuk fisiknya, melainkan nilai hakiki dan semangat moral yang
terkandung didalamnya, yang merujuk pada ayat-ayat Quraniyah (Al Qur’an) dan
ayat-ayat Kauniyah (bentuk hukum alam) serta sunnah Rasulullah SAW.
(Noe’man,2003).
6
Konsep Arsitektur Islam berkembang karena kecenderungan masuknya
budaya daerah (vernacularism). Bentuk setempat kadang menjadi ciri regionalism
arsitektur. Karya arsitektur yang paling banyak dibahas dan dianggap memiliki
konsep-konsep Arsitektur Islam adalah masjid (Sumalyo,2000,h.24).
C. Arsitektur Masjid
Masjid Nabawi yang dibangun Nabi Muhammad di Madinah tahun 622
adalah prototype awal dari masjid yang ada. Berbentuk persegi empat dengan
enam serambi yang bertiang, tertutup dikelilingi dinding bata dan batu. Masjid
dibangun tanpa mihrab.
Perkembangan arsitektur masjid didominasi oleh perkembangan gaya
arsitekturnya. Corak hypostyle berasal dari Arab dan mendominasi gaya arsitektur
masjid pada abad VII. Corak ini masih digunakan hingga kini, dan bercampur
dengan berbagai unsur seni dan budaya pada jaman dan tempat di mana masjid
didirikan (Sumalyo, 2000,h.24 dan Abdullah Eben Saleh,1999,h.58,59).
Gambar 3.Hypostyle, Pola typical
masjid-masjid di Arab pada periode
awal perkembangan masjid.
(sumber:Abdullah Ebn
Saleh,1999,h.59)
D. Mihrab dalam Syariat Islam
Mihrab dalam tata bahasa Arab berarti tempat yang tertutup, tempat
yang tersembunyi, dan bermakna diantaranya : kamar, masjid dengan seluruhnya,
rumah bagian depan, tempat yang paling mulia, tempat duduk paling depan,
tempat dimana para raja, penguasa dan orang-orang besar itu duduk, semua
tempat yang tinggi, bangunan dan istana yang tinggi, tempat tinggal,
yang
berfungsi sebagai tempat melakukan ibadah (tidak hanya ibadah sholat). Terdapat
ayat-ayat Al Qur’an yang menyebutkan kata mihrab, diantaranya adalah QS.Al
Imron ayat 37 dan 39. Sebagian orang awam menggunakan ayat ini sebagai dalil
7
digunakannya mihrab dalam masjid. Mihrab yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah tempat tertutup, di mana Siti Maryam (ayat 37) dan Zakariya (ayat 39)
berdiam diri untuk beribadah, menyendiri, dan bermunajat kepada Allah SWT
(Ibnu Katsir,jilid 2, 2005,h.42), bukan mihrab sebagaimana pengertiannya selama
ini (mihrab untuk tempat imam di masjid). Bagian di dalam masjid yang dipahami
selama ini berupa ceruk di dinding atau ruang yang relatif kecil sebenarnya dalam
syariat Islam disebut thooq, bukan mihrab. Kapan, bagaimana dan siapa yang
memunculkan penamaan mihrab untuk (yang sebenarnya) thooq belum diketahui
hingga saat ini.
Dalam Kitab Al-Qaulus Shawab Fi Hukmil Mihrab (Abu Ibrahim,1993)
disebutkan beberapa dalil yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah
membuat mihrab untuk masjidnya sendiri (baik Masjid Quba maupun Masjid
Nabawi). Mihrab adalah suatu perkara yang diada-adakan, tidak pernah
Rasulullah SAW mencontohkannya.
E. “Sutrah”, Pembatas Sholat
Sutrah adalah benda yang diletakkan di depan seseorang yang tengah
mengerjakan sholat. Sutrah dalam sholat menjadi kewajiban bagi imam dan
orang-orang yang sholat sendirian, sekalipun di dalam masjid besar/masjid jami’.
Sutrah yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah berjarak 3 hasta dari posisi
berdiri. Apabila diandaikan, maka posisi sutrah dan posisi tempat sujud kurang
lebih cukup untuk dilewati seekor anak kambing (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW mencontohkan beberapa benda yang dapat digunakan sebagai
sutrah, tatkala beliau sholat di dalam masjid, maupun saat melakukan
safar/perjalanan, diantaranya adalah tombak, anak panah, tiang, tembok, pelana
kuda, kendaraan (hewan tunggangan seperti kuda atau onta), orang, tempat tidur
dan pohon. Diwajibkannya sutrah adalah agar sholat seseorang tidak terganggu
oleh orang yang lewat atau terganggu oleh syetan, karena syetan akan memutus
(membatalkan) sholat (HR. Abu Dawud, Al Bazzir, Hakim). Sutrah bagi makmum
dalam sholat berjamaah adalah imam.
8
F. Fungsi, Teknis, dan Estetika dalam Arsitektur
Organisasi arsitektur dapat disusun melalui nilai-nilai yang hakiki. yang
dipadukan dalam suatu proses perancangan, yaitu nilai fungsi, nilai teknis dan
nilai estetika (Snyder,1991,h.74). Ketiganya sama pentingnya dalam mewujudkan
disain.
Segala bentuk yang ada dalam arsitektur harus mempunyai fungsi. Suatu
bentuk fungsional yang sempurna tidak perlu diikuti oleh bentuk arsitektur yang
baik, moderen, atau mahal. Dalam hal ini perlu pendekatan estetika, sehingga ada
suatu keseimbangan bentuk. Bentuk dalam suatu fungsi bangunan adalah warisan
estetis yang berkesinambungan, dan mengandung konteks emosional kekaguman,
kesenangan, kepercayaan, kenyamanan dan sebagainya (Snyder,1991,h.74-80).
Ruang interior yang terbentuk dari kumpulan / susunan bentuk dasar
(geometris dan non-geometris) di atas bisa memiliki hubungan langsung dengan
bentuk eksteriornya (Krier, 2001, h.43). Bangunan dengan karakter ruang sakral
(seperti bangunan peribadatan) sering melibatkan konstruksi komposit atau
campuran yang darinya dapat ditampilkan sifat meruang yang paling kaya dan
menarik. Di dalamnya terdapat hirarki seremonial tertentu(Krier, 2001, h.56-57).
Ragam hias ini banyak digunakan pada bagian sekuen-sekuen ruang
dalam masjid, seperti mihrab, plisiran dinding, kolom. Berbentuk pengembangan
dari lingkaran atau bentuk dasar bujursangkar dengan delapan titik bintang.
Ragam hias berbentuk kaligrafi menempati posisi utama (penting), karena
merupakan visualisasi firman Allah SWT yang berupa ayat-ayat dalam Al Qur’an
(Michell,1991 ,h.148,169).
G. Simbolisasi dalam Arsitektur
Suatu elemen (dalam bangunan) merupakan simbol, manakala dapat
dipersepsikan secara visual dan memiliki asosiasi budaya yang serta merta dapat
diterima (Grabar,1980,h.7). Pendekatan ikonografi menunjukkan adanya kekuatan
elemen bangunan (kadang dianggap sebagai simbol), yang turun temurun menjadi
model bagi bangunan-bangunan lain yang sukses dan menirunya (contoh adalah
sebuah mihrab dalam masjid).
9
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi fungsi, teknis (proporsi) dan estetika mihrab pada
masjid-masjid jami’ di Surakarta
2. Mengidentifikasi dan membuat kategorisasi bentuk mihrab pada masjidmasjid jami’ di Surakarta, dengan pendekatan bentuk yang sesuai syariat
Islam.
3. Menemukan dan merumuskan konsep mihrab yang mendekati syariat
berdasarkan identifikasi dan kategorisasi bentuk mihrab pada masjidmasjid jami’ di Surakarta
B. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Bermanfaat dalam pengembangan ilmu Arsitektur Islam, terutama
dalam memberikan khasanah ilmu pengetahuan tentang komponen dalam
Arsitektur Masjid.
2. Manfaat Praktis
a. Bermanfaat dalam rangka dakwah bagi masyarakat luas, sebagai suatu
langkah revisi terhadap konsep mihrab, yang selama ini diyakini
keberadaannya, sekaligus memberikan pengetahuan tentang ‘mihrab’
dalam arti sebenarnya.
b. Mendapatkan konsep mihrab yang sesuai dengan syariat Islam.
10
IV. METODE PENELITIAN
A. Bahan Penelitian
Bahan penelitian tersebut adalah transformasi atau pergeseran atau
perubahan suatu bentuk (mihrab). Transformasi ini dilihat dari karakteristik
bentukan berdasarkan aspek fungsi, teknis dan estetis. Transformasi bentuk dilihat
pula dari sesuatu yang melatarbelakanginya, yang didukung faktor sosial budaya.
B. Materi/Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah mihrab, yaitu suatu bentuk ruang (space) yang
menjadi komponen utama dalam masjid. Mihrab yang dibahas adalah yang
terdapat pada masjid-masjid jami’ di Surakarta, yang dianggap telah mewakili
masjid-masjid di kota Surakarta. Masjid-masjid tersebut adalah : Masjid Agung
Surakarta, Masjid Pura Mangkunegaran (Al Wustho), Masjid Al Fatih, Masjid
Assagaf, Masjid Tegalsari, Masjid Sholihin, Masjid Mujahidin dan Masjid As
Shodiq.
C. Langkah Penelitian
1. Pendataan Masjid
a. Metode Penentuan Objek Penelitian
Masjid-masjid
jami’
yang
menjadi
subjek
penelitian
dipilih
berdasarkan pemikiran latarbelakang pendirian masjid, yang bisa diidentifikasi
dari
karakteristik kegiatannya. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan
informasi pengelola masjid, masjid terpilih memiliki latar belakang pendirian
dan kegiatan yang didasari pemikiran (fikroh).
b. Sumber Data
Data primer langsung pada mihrab, berupa dimensi, proporsi,
ornamentasi,
konstruksi,
fungsi,
jarak
antara imam
berdiri
dengan
sutrah/pembatas, eksisting mihrab dari aspek cahaya dan udara. Data sekunder
berupa data pendukung, yaitu data fisik (gamba)r maupun data non fisik
(sejarah, struktur organisasi, status, kegiatan dan kemakmuran masjid)
11
c. Teknik Pengumpulan Data
Observasi lapangan, Interview terbuka dan terstruktur dengan takmir
masjid, arsitek/perancang masjid, tokoh masyarakat sekitar masjid, jamaah
masjid, narasumber bidang syariat Islam dan narasumber bidang Arsitektur
Islam, Studi Pustaka, Studi kearsipan melalui pengamatan gambar masjid,
pengambilan foto interior dan eksterior serta foto komponen masjid.
2. Pemeriksaan Validitas Data
Validitas data merupakan langkah pemantapan perolehan data, untuk
meningkatkan kepercayaan dan kebenaran data. Langkah yang diambil adalah:
mencari informasi dari sumber lain (informan/narasumber) dengan cara yang
sama atau berbeda, perpanjangan waktu penelitian, terutama saat pencarian
data, dan overlaping waktu pencarian data dan analisis data, sehingga dapat
dilakukan pengecekan/pemeriksaan data secara berulang.
3. Analisis Data
a. Analisis dilakukan sejak awal pencarian data secara terus menerus
hingga selesai penelitian
b. Data fungsi meliputi : fungsi utama mihrab tempat sholat imam dan
fungsi tambahan meliputi tempat mimbar, sound system, rak/lemari
kitab, dan tempat menyimpan petunjuk waktu/jam. Data teknis
meliputi : dimensi ruang mihrab yaitu panjang, lebar dan tinggi,
konstruksi ruang mihrab yaitu bentuk plafon dan elemen jendela. Data
estetis meliputi keberadaan ornamentasi atau ragam hias kaligrafi dan
flora. Data disusun dalam bentuk matriks untuk mempermudah proses
analisa identifikasi. Hasil identifikasi selanjutnya diinterpretasikan.
c. Hasil interpretasi berupa kategorisasi masjid, yaitu kategori masjid
yang sesuai syariat Islam dan kategori yang tidak sesuai syariat Islam.
d. Dari kategorisasi akan muncul konsep mihrab. Konsep mihrab sesuai
materi penelitian diverifikasi atau dibandingkan dengan konsep mihrab
dalam syariat Islam (seperti yang telah dicontohkan Rasulullah SAW).
12
e. Apabila ditemukan pergeseran fungsi, teknis dan estetis mihrab dari
konsep mihrab dalam syariat Islam dan konsep mihrab yang diteliti,
maka dilakukan identifikasi seberapa jauh pergeseran terhadap konsep
awal mihrab.
D. Metode Penelitian
1. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menjelaskan terjadinya
transformasi atau pergeseran bentuk mihrab, melalui identifikasi fungsi
dan estetika, yang ditafsirkan dari latar belakang berdirinya masjid.
2. Metode kuantitatif digunakan menunjukkan proporsi mihrab secara
teknis berdasarkan ukuran-ukurannya, sehingga ditemukan seberapa jauh
penyimpangan konsep mihrab tersebut dari konsep awalnya. Proporsi
diteliti dengan cara membandingkan proporsi panjang, lebar, dan indeks
perbandingan keduanya. Dari indeks ini dapat diketahui kecenderungan
dan simpangan terhadap parameter tolok ukurnya. Sebagai tolok ukur,
digunakan masjid dengan tanpa mihrab yang berarti memiliki panjang dan
lebar masing-masing 0 (nol). Di sini, proporsi diambil dengan membagi
lebar dengan panjangnya. Khusus untuk proporsi acuan, ditentukan
nilainya adalah 0, karena apabila diambil hasil pembagian lebar dengan
panjang akan menghasilkan nilai tak terhingga.
Rasio Proporsi : Lebar / Panjang
Jika dianggap kondisi tanpa mihrab secara teknis adalah yang paling ideal
dari sisi kaidah, maka masjid yang memiliki proporsi lebar dibagi panjang
yang semakin mendekati angka nol adalah yang semakin baik.
Dari angka skore yang ditemukan, dilakukan penjenjangan dengan
membagi nilai rasio menjadi 4 kategori nilai, dengan nilai maksimal 20
untuk kategori paling baik dan minimal 5 untuk kategori paling buruk.
No.
1
2
3
4
Parameter Penilaian
Tanpa mihrab
Indeks Proporsi 0 < R < 0,5
Indeks Proporsi 0,5 < R < 1,0
Indeks Proporsi 1,0 < R < 1,5
Bobot Nilai
20
15
10
5
Skala
Sesuai dengan syariah
Mendekati sesuai
Agak sesuai
Tidak sesuai syariah
13
E. Kerangka Pemikiran
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran
(sumber : analisis peneliti, 2006)
14
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Masjid-masjid Jami’ di Surakarta
Terdapat 461 masjid yang menyebar di wilayah Surakarta (Kanwil Depag
Jawa Tengah,2005). Lebih kurang 87% termasuk dalam kategori masjid jami’.
Masjid sebagai subjek penelitian dipilih delapan masjid, yaitu Masjid Agung
Surakarta, Masjid Al Wustho, Masjid Al Fatih, Masjid Assagar, Masjid Tegalsari,
Masjid Sholihin, Masjid Mujahidin dan Masjid As Shodiq, dengan pertimbangan
sudah mewakili masjid-masjid yang menyebar di wilayah Surakarta, dilihat dari
bentuk mihrabnya. Pertimbangan lain adalah latarbelakang pendirian masjid atau
latarbelakang kegiatan dakwah, yang diduga setiap masjid memiliki perbedaan.
Keterangan :
1. Masjid Assagaf
2. Masjid Agung Surakarta
3. Masjid Al Fatih
4. Masjid As Shodiq
5. Masjid Al Wustho
6. masjid Sholihin
7. Masjid Tegalsari
8. Masjid Mujahidin
Gambar 5. Peta Surakarta dan Letak Masjid Jami’ sebagai Objek Penelitian
(sumber : dokumentasi peneliti,2006)
B. Data Masjid dan Analisis Identifikasi Fungsi dan Estetika
Adapun data-data masjid objek penelitian sebagaimana tercantum dalam
lampiran 1, merupakan data sekaligus analisis identifikasi fungsi dan estetika.
Analisis dilakukan secara kualitatif. Sementara itu analisis identifikasi teknis
dibuat terpisah dan dilakukan dengan cara kuantitatif.
15
1. Landasan Utama Analisa
Konsep awal adalah bahwa mihrab dalam sebuah masjid itu sebenarnya
tidak ada dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Konsep dasar
fungsi adalah bahwa mihrab hanyalah untuk imam. Konsep dasar estetika adalah
dilarangnya berlebihan dalam menghias masjid (termasuk mihrab), karena
termasuk tindakan pemborosan, kemubaziran, dan akan mengganggu konsentrasi
sholat.
2. Parameter Identifikasi Fungsi, Teknis dan Estetika
Tabel 1. Parameter Penilaian Aspek Fungsi
(sumber : analisis peneliti, 2006)
No
Parameter Penilaian
Bobot
Nilai
Skala
1.
Efektifitas fungsi : hanya untuk sholat imam
20
2.
Fungsi tambahan sebagai tempat mimbar
(efektifitas ruang)
Fungsi tambahan sebagai tempat petunjuk
waktu (jam), tempat menyimpan kitab (rak
buku)
Fungsi utama dan tambahan, namun
memiliki ornamen atau elemen bercorak
dengan warna yang seharusnya dihindari,
yaitu kuning dan merah (kadang akhirnya
mihrab hanya berfungsi sebagai simbol)
15
Mendekati
syariah
Kurang
mendekati
syariah
3.
4.
10
5
Tidak
mendekati/
tidak
sesuai
Tabel 3. . Parameter Penilaian Aspek Teknis (Proporsi)
(sumber : analisis peneliti,2006)
No.
1
2
3
4
Parameter Penilaian
Tanpa mihrab
Indeks Proporsi 0 < R < 0,5
Indeks Proporsi 0,5 < R < 1,0
Indeks Proporsi 1,0 < R < 1,5
Bobot Nilai
20
15
10
5
Skala
Sesuai syariah
Mendekati sesuai
Agak sesuai
Tidak sesuai syariah
Tabel 4. Parameter Penilaian Aspek Teknis (Jarak Sutrah 150 cm)
(sumber : analisis peneliti,2006)
No.
1
2
3
4
Parameter Penilaian
Jarak 0 m
Jarak 0 - 0.50 m
Jarak 0.50 – 1.00 m
Jarak > 1.00 m
Bobot Nilai
20
15
10
5
Skala
Sesuai syariah
Mendekati sesuai
Agak sesuai
Tidak sesuai syariah
16
Tabel 4. Parameter Penilaian Aspek Estetika
(sumber : analisis peneliti, 2006)
No
Parameter Penilaian
Bobot
Nilai
Skala
1.
Tanpa ornamen/ ragam hias, baik di dalam
dan di luar mihrab serta tanpa relung
Konstruksi dan elemen penutup dinding
sebagai pembeda dari elemen masjid yang
lain (dinding tanpa ornamen)
Penggunaan gaya Ornamen/ Ragam hias
(termasuk ragam hias kaligrafi) hanya pada
satu sisi/bagian mihrab (arah hadap sholat)
Penggunaan gaya Ornamen/ Ragam hias
(termasuk ragam hias kaligrafi) di seluruh
bagain mihrab (bahkan seluruh interior
masjid)
20
Mendekati
syariah
Tidak
mendekati/
tidak sesuai
syariah
2.
3.
4.
15
10
5
3. Analisa
25
20
20
20
20
Nilai
15
15
10
10
10
10
5
5
th
o
18
Al
78
Fa
tih
18
As
91
sa
ga
f
19
Te
23
ga
ls
ar
i
19
Sh
28
ol
ih
in
19
M
uj
54
ah
id
in
As
19
62
Sh
od
iq
20
01
Al
W
us
Ag
un
g
17
57
0
Nama Masjid dan Tahun Berdiri
Diperoleh
hasil
bahwa
mihrab
masjid
yang
mendekati syariat adalah
Masjid Agung Surakarta dan
Masjid Assagaf, dan As
Shodiq, dengan masingmasing point 20, karena
fungsi mihrab masih murni,
yaitu hanya diperuntukkan
bagi imam (untuk memimpin
sholat).
Grafik 1. Grafik Penilaian Identifikasi Fungsi Mihrab
(sumber : analisis peneliti,2006)
25
20
20
Nilai
15
15
10
10
10
10
10
10
5
5
0
Agung
1757
Al
Wustho
1878
Al Fatih
1891
Assagaf Tegalsari Sholihin
1923
1928
1954
Nama Masjid
Mujahidin
1962
As
Shodiq
2001
Penggunaan ornamen dan
pemakaian konstruksi serta
material yang berbeda, dan
dikhususkan bagi mihrab,
rata-rata digunakan di masjid
penelitian.
Umumnya
ornamen kaligrafi. Hanya
masjid Ash Shodiq yang
lebih
mendekati
syariat
Islam,
karena
tidak
mengunakan ornamen.
Grafik 2. Penilaian Identifikasi Estetika Mihrab
(sumber : analisis peneliti,2006)
17
Tabel 5. Analisa Proporsi dan Jarak Sutrah Mihrab
(sumber : analisis peneliti,2006)
Panjang Lebar Rasio Nilai
Jarak Nilai
(m)
(m)
L/P proprs sutrah sutrah
No
Masjid
1
2
3
4
5
6
7
8
Masjid Agung
Masjid Al Wustho
Masjid Al Fatih
Masjid Assagaf
Masjid Tegalsari
Masjid Solikhin
Masjid Mujahiddin
Masjid As Shodiq
1.55
3.30
2.00
1.00
4.00
2.65
2.00
0
2.22
3.10
2.00
1.50
1.50
1.35
1.50
0
25
1.432
0.939
1.000
1.500
0.375
0.509
0.750
0
5
10
10
5
15
10
10
20
10
5
15
20
20
20
20
20
25
20
20
20
20
20
20
20
Mujahidin
As
Shodiq
20
15
15
15
10
10
10
10
Nilai
Nilai
0.72
1.60
0.5
0
0
0
0
0
10
5
15
10
10
5
5
5
5
Masjid As
Shodiq
Masjid
Mujahiddin
Masjid
Solikhin
Masjid
Tegalsari
Masjid
Assagaf
Masjid Al
Fatih
Masjid Al
Wustho
Masjid
Agung
0
0
Agung
Grafik 3. Analisis Proporsi Mihrab
(sumber : analisis peneliti,2006)
40
35
Nilai
15
25
10
20
15
10
5
5
10
0
Agung
10
15
5
20
20
20
10
10
20
20
20
Mujahidin
As
Shodiq
5
Al
Wustho
Al Fatih
Assagaf
Tegalsari Sholihin
Nama Masjid
Al Fatih
Assagaf
Tegalsari Sholihin
Grafik 4. Analisis Identifikasi Jarak Sutrah
(sumber : analisis peneliti,2006)
45
30
Al
Wustho
Nama Masjid
Nama Masjid
Grafik 5. Analisis Proporsi dan Jarak Sutrah
(sumber : analisis peneliti,2006)
Masjid yang sesuai syariat, baik
proporsi maupun jarak sutrah
adalah Masjid As Shodiq. Masjid
Tegalsari
mendekati
syariat,
sedangkan masjid yang lain tidak
sesuai. Ketidaksesuaian karena
proporsi
yang
besar,
yang
disebabkan kedalaman atau lebar
mihrab yang lebih panjang dari
panjangnya, sehingga jarak sutrah
melebihi ketentuan
4. Hasil
Berdasarkan hasil analisa terhadap identifikasi fungsi, teknis dn estetika,
maka diperoleh hasil kategori masjid yang sesuai syariat, masjid yang
mendekati sesuai dan masjid yang tidak sesuai syariat Islam.
18
Tabel 6. Hasil Analisis Identifikasi Fungsi, Teknis, Estetika
(sumber : analisis peneliti, 2006)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Nama Masjid
Masjid Agung
Masjid Al Wustho
Masjid Al Fatih
Masjid Assagaf
Masjid Tegalsari
Masjid Sholihin
Masjid Mujahiddin
Masjid As Shodiq
Nilai
55
30
45
50
55
55
55
80
Kategori
Mendekati sesuai Syariat Islam
Tidak sesuai Syariat Islam
Tidak sesuai Syariat Islam
Tidak sesuai Syariat Islam
Mendekati sesuai Syariat Islam
Mendekati sesuai Syariat Islam
Mendekati sesuai Syariat Islam
Sesuai Syariat Islam
Tabel 7. Penilaian Kategori
(sumber : analisis peneliti, 2006)
No
1
2
3
Range Nilai
80
55 - 80
30 < 55
Kategori
Sesuai Syariat Islam
Mendekati sesuai Syariat Islam
Tidak sesuai Syariat Islam
180
160
140
Nilai
120
80
100
80
55
40
20
0
50
45
60
20
10
5
20
30
Agung
Al
Wustho
5
20
5
20
10
15
10
10
10
5
10
5
Al Fatih
55
55
55
10
20
15
10
10
20
10
15
15
20
10
10
20
Mujahidin
As
Shodiq
20
Assagaf Tegalsari Sholihin
20
20
Nama Masjid
Fungsi
Proporsi
Jarak sutrah
Estetika
Total
Grafik 6. Total Penilaian Identifikasi Fungsi,
Teknis dan Estetika
(sumber : analisis peneliti, 2006)
Masjid yang sesuai syariat
adalah Masjid As Shodiq,
yang tidak sesuai syariat
Islam adalah Masjid Al
Wustho, Masjid Al Fatih,
Masjid
Assagaf,
dan
masjid yang mendekati
sesuai syariat Islam adalah
Masjid Agung Surakarta,
Masjid Tegalsari, Masjid
Sholihin,
dan
Masjid
Mujahidin.
5. Interpretasi Hasil
Mihrab adalah komponen masjid, yang secara umum senantiasa muncul di
dalam setiap perencanaan masjid. Mihrab akan memiliki fungsi manakala
kehadirannya dikaitkan dengan komponen masjid yang lain. Hal ini terbukti
dengan pengidentifikasian terhadap terjadinya transformasi atau pergeseran fungsi
mihrab. Transformasi fungsi mihrab karena kebutuhan efektifitas dan efisiensi
ruang secara arsitektural. Dalam hal ini indikatornya adalah komponen masjid
yang berupa mimbar. Mimbar dan mihrab adalah dua komponen masjid yang
19
sangat penting, dimana satu sama lain saling berpengaruh dan menentukan
terjadinya transformasi bentuk mihrab.
Transformasi teknis mihrab memperlihatkan kecenderungan ukuran
mihrab memiliki perbandingan proporsi lebar terhadap panjangnya yang semakin
kecil. Perkembangan waktu membuktikan mihrab semakin efektif dan efisien,
dengan proporsi ruang yang semakin kecil.
Identifikasi estetika paling mudah dilakukan terhadap relung mihrab.
Transformasi estetika mihrab terjadi dengan pendekatan ikonografi. Pendekatan
ini menunjukkan bahwa bentuk relung mihrab menjadi elemen masjid yang
memiliki kekuatan, bahkan ada yang menjadi simbol, yang turun temurun ada dan
terus menerus muncul, bahkan menjadi model dan diikuti oleh mihrab-mihrab lain
sesudahnya.
Eklektik menjadi ciri masjid pada umumnya. Campuran gaya
arsitektur terlihat jelas dari bentuk-bentuk relung jendela dan serambi serta
mihrab. Bahkan akhirnya muncul kesan tidak ada kesatuan bentuk antara interior
dan eksterior.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Apabila penggunaan mihrab tidak dapat dihindarkan keberadaannya
pada sebuah masjid, diharapkan agar nilai indeks proporsi dapat dibuat sekecil
mungkin, artinya bahwa lebar harus jauh lebih panjang daripada panjangnya, agar
mendekati bentuk yang seolah tidak ada cerukan atau hampir datar.
Munculnya mihrab dengan transformasi atau perkembangan bentuk
menunjukkan bahwa 1) efisiensi bentuk mihrab mudah diterima masyarakat, atau
2) karena keyakinan masyarakat tentang perlunya mihrab atau 3) karena
menganggap mihrab adalah suatu keumuman. Bagaimanakah ketiga hal tersebut
dapat diluruskan dengan pendekatan syariah dan kontekstual arsitektural, maka
perlu penelitian lanjutan yang dapat merumuskan suatu konsep bentuk mihrab
yang dapat diterima oleh masyarakat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Terjemahan, 1993, Departemen Agama Republik Indonesia
Al Qaradhawi, Yusuf, 2000, Tuntunan Membangun Masjid, Gema Insani, Jakarta
Abu Bakar Jabir al Jazairi, 2003, Ensiklopedi Muslim (Edisi Indonesia), Judul asli
Minhajul Muslim, Penerjemah Fadhli Bahri, Lc, Darul Falah, Jakarta
Abdullah Eben Saleh, Mohammad Eben, 1999, The Historic and Urban
Development of Mosque Architecture, College of Architecture and
Planning, King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia
Abu Ibrahim Muhammad bin Abdul Wahhaab bin Ali bin Muhammad Al
Washoobi Al’Abdalli (penulis), 1413 H/ 1993 M, Al-Qaulus Shawab Fi
Hukmil Mihrab (judul asli), Perkataan yang Benar tentang Hukum
Mihrab (terjemahan), Muhammad Na’im,Lc (penterjemah), 2006,
Kerajaan Saudi Arabia
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik
(Pentahkiq),Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsir (Judul asli), Tafsir Ibnu
Katsir (terjemahan) , 2005, M.Abdul Ghoffar E.M (Penterjemah), Cetakan
III, Jakarta, Pustaka Imam Asy Syafi’I, halaman 59-62
Arnold, Sir Thomas, 2003, The Islamic Art and Architecture, Goodwork
Publisher, New Delhi
Anonim, 2004, Proseding Simposium Nasional Arsitektur Islam, Jurusan Teknik
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
E. Ayub, Mohammad, dkk, 1996, Manajemen Masjid, Gema Insani, Jakarta
Gazalba, Sidi, 1962, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Antara,
Jakarta
Germen, Aydin, 1983, Islamic Architecture and Urbanism, papers from A
Symposium Organized by the College of Architecture and Planning 5-10
January 1980, King Faisal University, Dammam
Grabar, Oleg, 1983, The Iconography of Islamic Architecture, papers from A
Symposium Organized by the College of Architecture and Planning 5-10
January 1980, King Faisal University, Dammam, p. 6-15
Hillenbrand, Robert, 1983, Some Observations on the Use of Space in Medieval
Islamic Buildings, papers from A Symposium Organized by the College of
Architecture and Planning 5-10 January 1980, King Faisal University,
Dammam, p. 17-29
Herusatoto, Budiono, 2001, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Cetakan IV,
Hinindita Graha Widia, Yogyakarta
Ischak,Mohammad,2004, Memahami Keselarasan (Harmony) pada Bangunan
Islam. Study Kasus : Masjid Lingkungan di Pesisir Utara Jawa Tengah,
makalah dalam Proseding Simposium Nasional Arsitektur Islam, Jurusan
Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
Krier, Rob, 2001, Komposisi Arsitektur, Edisi Terjemahan, Erlangga Indonesia,
Jakarta
Mangunwijaya,YB, 1992, Wastu Citra, Cetakan II, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka
Utama
21
Michell, George, 1991, Architrecture of The Islamic World, Thames and Hudson
Ltd, London
Muhammad Nashirudin Al Albani, 2000, Sifat Sholat Nabi (Edisi Indonesia),
Penerjemah Muhammad Thalib, Media Hidayah, Yogyakarta
Noe’man Ahmad, 2003, Arsitektur Islam, Bandung: Makalah tidak diterbitkan
Pressman, Andi, 2001, Architectural Design Portable Handbook, Mc Graw Hill,
New York
Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qathani, 2005, Tata Cara Sholat Nabi (Edisi
Indonesia), Irsyad Baitus Salam, Bandung
Snyder, C.James and Anthony J. Catanese, 1991, Introduction to Architecture
(judul asli), Pengantar Arsitektur (terjemahan), Hendro Sangkoyo
(penterjemah), Cetakan III, Jakarta, Erlangga
Sumalyo, Yulianto, 2000, Arsitektur Masjid, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 2003, Tuntunan Tanya Jawab
Akidah, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji (Edisi Indonesia), Judul Asli
Fatawa Arkanul Islam, Penerjemah Munirul Abidin, M.Ag, Darul Falah,
Jakarta
Tim Masjid 2000, Masjid 2000 Sebuah Rekaman Sejarah, Pusat Studi dan
Dokumentasi Masjid Nusantara, Jurusan Teknik Arsitektur ITB, Bandung
Utaberta, Nangkula, 2003, Makna dan Arti Keindahan dalam Arsitektur Islam,
Pusat Kajian Alam Bina Dunia Melayu (Kalam), Fakulty Alam Bina,
University Technology Malaysia, Malaysia
Ven, Cornelis van de, 1991, Space in Architecture (judul asli), Ruang dalam
Arsitektur (terjemahan), Imam Djokomono dan Mc.Prihminto Widodo
(penterjemah), Cetakan III (Revisi), Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Walmsley, Alan & Damgaard, Kristoffer,2005, The Umayyad Congregational
Mosque of Jarash in Jordan and Its Relationship to Early Mosques,
Journal ANTIQUITY 79 (2005): 362-378
22
DALAM ARSITEKTUR MASJID
MELALUI IDENTIFIKASI FUNGSI, TEKNIS DAN ESTETIKA
Studi Kasus : Masjid-masjid Jami’ di Surakarta
Oleh :
Nur Rahmawati Syamsiyah,ST,MT1
Wisnu Setiawan, ST, M. Arch2
Ir. Widyastuti Nurjayanti, MT3
1,2,3
Staf pengajar Prodi Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Muhammadiyah Surakarta
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian
1. Masjid
Masjid adalah salah satu bentuk arsitektur yang merupakan ungkapan
fisik bangunan dari budaya masyarakat pada tempat dan jaman tertentu, dalam
rangka memenuhi suatu tuntutan kegiatan ritual/peribadatan. Arsitektur masjid di
Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi dan budaya, dan merupakan
peninggalan kejayaan kerajaan-kerajaan Islam. Sebelum abad ke-20 bentuk masjid
sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi dan budaya masyarakat setempat, dan bentuk
masjid ini diistilahkan ‘masjid lama’. Masyarakat di Indonesia hingga saat ini,
yang masih memegang teguh tradisi dan budaya peninggalan nenek moyang, tetap
mempertahankan bentuk masjid lama.
Gambar 1. Contoh masjid lama-atas (Masjid Kotagede)
dan masjid kontemporer-kiri (Masjid Teknik UGM)
(sumber : Abdullah Ebn Saleh,1999)
1
Khasanah arsitektur masjid saat ini di Indonesia sudah tampak
perkembangannya. Dimulai pada abad ke-20 disain masjid tersentuh oleh para
arsitek dan kaum akademisi. Sehingga muncul karakteristik bentuk tampilan
masjid yang berbeda dengan masjid-masjid lama. Dan muncul istilah ‘masjid
moderen’ atau ‘masjid kontemporer’. Bentuk masjid berbeda namun tetap
menampilkan komponen atau bagian masjid yang sama. Bagian-bagian masjid
tersebut adalah : ruang sholat/masjid utama, mihrab, mimbar, dan tempat wudlu.
Adapun bagian masjid yang selalu ada di masjid-masjid lama, namun tidak ada
dan belum tentu ada di masjid moderen adalah : maqsurah dan menara/minaret.
Dinamika perkembangan masjid hingga saat ini menunjukkan fenomena
fungsi masjid yang tidak sekedar menitikberatkan aktifitas yang bersifat akhirat.
Terutama masjid yang dibangun dewasa ini di era globalisasi memiliki
karakteristik sesuai menunjukkan fungsi identitas dan integritas umat Islam yang
mencerminkan tata nilai keislamannya. Sehingga sangat disayangkan bahwa
pembangunan masjid dewasa ini salah satunya untuk tujuan mengangkat harkat,
martabat dan derajat suatu kaum. Bagian dari masjid yang bisa mengangkat
harkat, martabat dan derajat suatu kaum dan umumnya menjadi simbol kesakralan
adalah mihrab (Ischak,2004).
2. Mihrab
Dalam sejarah kebudayaan Islam diketahui bahwa Masjid Nabawi
semasa Rasulullah SAW tidak memiliki mihrab dan tidak pernah dicontohkan
keberadaannya. Demikian juga pada masa Khulafaur-Rasyidin. Tidak ada sunnah
qauliah
(ucapan),
sunnah
amaliah
(perbuatan)
dan
sunnah
taqririyah
(persetujuan) dari Rasulullah SAW tentang mihrab (Al Qaradhawi,2000,h.83).
Mihrab adalah sebuah inovasi awal Arsitektur Islam khususnya
Arsitektur Masjid. Mihrab pertama kali masuk ke dalam khasanah Arsitektur
Masjid pada tahun 88 Hijriyah atau 708 Masehi. Orang yang pertamakali
meletakkan mihrab di dalam Masjid Nabawi adalah Umar bin Abdul Aziz, saat
menjabat Gubernur Madinah Munawarrah, pada masa kekhalifahan Walid bin
Abdul Malik. Pada masa jabatannya itu, Umar bin Abdul Aziz (708-711 M)
2
memerintahkan
untuk
merobohkan
Masjid
Nabawi
untuk
kemudian
memperbaharuinya dan memperluasnya. Proyek ini melibatkan para pekerja
Kristen Coptic yang membawa bentuk mihrab dari gereja mereka untuk
diterapkan di Masjid Nabawi (Creswell,1932,h.40). Proyek selesai tahun 91
Hijriyah atau 711 Masehi. Saat itu mihrab dibuat berbentuk ceruk pada dinding
dan berfungsi sebagai qibla‟axis atau petanda arah kiblat (Sumalyo,2000,h.30).
Bentuk ceruk yang dimaksud pada masa itu sesungguhnya memiliki istilah thooq.1
Rumah Rasulullah
SAW dan para
istrinya
Arah kiblat sholat
Tengah masjid untuk
muamalah
Gambar 2. Rekonstruksi Bentuk Masjid Nabawi
(sumber : Abdullah Eben Saleh,1999)
Pada umumnya mihrab berbentuk ruang yang dibatasi dinding, dan
ditandai dengan ornamen/hiasan yang beragam, yang akan lebih menguatkan
kedudukannya sebagai tempat terhormat. Bentuk ruang mihrab persegi empat.
Dimensi dinding mihrab (panjang dan lebar) berbeda-beda dan tidak ada
ketentuan tentang hal ini. Begitupun dengan penekanan ornamen/hiasan akan
berbeda pada setiap masjid. Ada mihrab yang dihiasi dengan plisiran atau ukiran
sederhana pada ketiga dindingnya atau pada pintu mihrab atau pada bagian plafon.
Ornamen bersifat masif/permanen dengan material batu/keramik dan ada pula
bersifat semi permanen dengan material kayu.
Mihrab dianggap memiliki dimensi sosial budaya, yang paling bisa
ditonjolkan secara visual. Wujud fisik mihrab memiliki peran sebagai media
pengungkapan nilai-nilai atau budaya dari individu pelaku atau perancangnya atau
merupakan refleksi masyarakat sekitarnya. Mihrab pula yang umumnya menjadi
bagian mesjid yang paling bisa memperlihatkan ketinggian derajat suatu kaum,
1
Thooq berarti juga lubang pendek dibagian tengah dinding (Abu Ibrahim,1993)
3
sehingga dihiasi dengan berbagai hiasan dan ornamen kaligrafi yang istimewa,
baik bentuk maupun materialnya. Bentuk ornamen umumnya menyesuaikan style
bentuk hiasan yang sudah mentradisi dalam budaya masyarakat. Sisi lain
keberadaan mihrab yang berornamentasi menonjol akan memperkuat kedudukan
mihrab sebagai penunjuk arah kiblat dan point of interest interior masjid.
3. Proses Identifikasi Masalah
Perkembangan masjid di negara-negara Islam, termasuk di Indonesia
hingga sekarang ini memang belum pernah terdengar ada pengingkaran tentang
pendirian mihrab (sebagai tempat imam sholat) di dalam masjid. Namun apabila
dikembalikan pada asal muasal masjid yang telah dicontohkan Rasulullah SAW,
maka akan menjadi sesuatu yang penting untuk dikaji tentang keberadaan mihrab,
apakah mihrab-mihrab yang ada selama ini sesuai dengan syariat (sesuai yang
dicontohkan Rasulullah SAW) ataukah tidak sesuai.
Apabila diperhatikan hadits berikut, maka menjadi jelas bahwa
karakteristik proporsi ruang mihrab yang ada selama ini, di mana umumnya luas
dan megah adalah suatu kemubaziran :
“Nabi SAW berdiri sholat dekat sutrah (pembatas) yang berjarak antara
beliau dengan sutrah di depannya adalah 3 hasta”(HR. Bukhari dan Ahmad)
“Bila seseorang di antara kamu sholat menghadap sutrah, hendaknya dia
mendekati sutrahnya sehingga setan tidak dapat memutus sholatnya”
(HR.Abu Dawud,Al Bazzar,Hakim)
Mihrab di masjid-masjid jami’2 pada umumnya membuat jarak imam
dengan dinding di depannya (sebagai sutrah) bisa mencapai 2-4 meter (bahkan
lebih). Bahkan mihrab (thooq) dibangun tidak lagi berbentuk ceruk pada dinding,
sebagai penanda kiblat, melainkan telah bergeser menjadi bentuk ruang yang luas
dan megah, dengan beragam fungsi. Sehingga apabila mihrab dibangun dengan
Masjid Jami‟ adalah masjid yang diperuntukkan bagi peribadatan massal atau masjid untuk
sholat Jum’at (dan sholat fardhu), digunakan untuk ibadah mingguan, normalnya berukuran lebih
besar dari masjid-masjid lingkungan sekitar (masjid terdekat). Masjid Jami‟ dibangun untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat kota akan tempat ibadah dan pusat kegiatan serta pembinaan
umat Islam. Masjid Jami’ dikelola oleh masyarakat setempat dengan manajemen terstruktur.
Dengan begitu keberadaan masjid jami‟ terjaga kemakmurannya (Al Quradhawi,2000)
2
4
ukuran jarak imam dengan sutrah (dinding depan imam) melebihi 3 hasta atau
lebih kurang 120-150 cm, maka dapat dikatagorikan kemubaziran dan tidak sesuai
dengan syariat Islam.
Bagaimana sesungguhnya syariat (ilmu) tentang mihrab ini, sesungguhnya
sudah sangat jelas, yaitu tidak ada mihrab, tidak ada tempat yang dikhususkan
bagi imam. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya untuk kembali kepada
pengaplikasian kemurnian syariat Islam tentang bagaimana sebenarnya „mihrab‟
dalam sebuah masjid.
Islam menempatkan ilmu sebagai landasan pertama sebelum amal. Setiap
amalan/perbuatan yang dilakukan harus berdasarkan ilmu, termasuk amalan
membangun masjid. Bagaimana ilmu syariat menjelaskannya, maka itulah yang
diikuti. Salah satu syariat Islam menjelaskan tentang ‘mihrab‟, dan inilah
permasalahan masjid yang menjadi penting untuk diangkat dalam penelitian ini.
4. Masjid-masjid Jami’ di Surakarta
Surakarta adalah salah satu kota di Indonesia yang memiliki fenomena
menarik dalam hal perkembangan Islam. Ditandai dengan perkembangan masjidmasjid jami’ dengan keberagaman bentuknya, termasuk di dalamnya bentuk
mihrab. Beberapa bentuk mihrab menunjukkan adanya transformasi bentuk.
Transformasi bentuk ini sangat menarik untuk dikaji, terutama bila dilihat
berdasarkan nilai-nilai hakiki dalam proses perancangannya, yaitu fungsi, teknis
dan estetika.
B.
Perumusan Masalah
1.
Bagaimanakah identifikasi dan kategorisasi bentuk mihrab pada
masjid-masjid jami’ di Surakarta berdasarkan nilai-nilai arsitektural
fungsi, teknis dan estetik.
2.
Bagaimanakah konsep mihrab yang mendekati syariat Islam,
berdasarkan kategorisasi bentuk dan visualisasi konsep arsitekturalnya.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Transformasi Bentuk dalam Arsitektur
Transformasi bentuk dalam arsitektur terutama sekali merupakan hasil dari
proses sosial budaya. Termasuk didalamnya adalah perubahan-perubahan yang
paling berguna terhadap lingkungan fisik. Perubahan bentuk terjadi salah satunya
karena penetrasi (Krier,2001,h.46). Bangunan peribadatan mengambil prinsip
penetrasi untuk memperkuat keindahan visual dan kedudukan fungsi ruang. Salah
satu prinsip penetrasi yang sesuai untuk bangunan peribadatan adalah bentuk
struktur diafan atau struktur tembus cahaya (Ven,1991,h.25)
Perubahan bentuk atau transformasi terjadi karena perluasan, perbanyakan,
pemisahan, regenerasi dan pergandaan. Bentuk dapat diubah guna menanggapi
perubahan-perubahan lingkungan (eksternal) dan tuntutan dari dalam (internal).
Perubahan-perubahan lingkungan ini adalah ciri arsitektur, yang tidak lepas dari
unsur tradisi dan budaya masyarakat. Tradisi telah mengakar dan tetap, namun
budaya bisa berkembang, berubah sesuai tuntutan kebutuhan.
B. Arsitektur Islam
Lingkup arsitektur secara umum terbagi dalam dua tingkatan, yaitu
pertama lingkup fisik, yang langsung menentukan bentuk dan gaya. Kedua adalah
referensi kerangka sosial, budaya dan ekonomi, yang luas memberikan nilai-nilai
pada suatu bentuk arsitektur (Frishman dalam Sumalyo, 2000,h.24).
Ada pendapat bahwa arsitektur Islam mengambil / dipengaruhi oleh sosial
budaya masyarakat non Islam yang mana arsitektur Islam lebih hanya sebagai
pengguna atau peminjam gaya, yang sebenarnya tidak memiliki gaya asli. (Briggs
dalam Arnold, 2003, h. 155). Arsitektur Islam pada intinya bukan terletak pada
perwujudan bentuk fisiknya, melainkan nilai hakiki dan semangat moral yang
terkandung didalamnya, yang merujuk pada ayat-ayat Quraniyah (Al Qur’an) dan
ayat-ayat Kauniyah (bentuk hukum alam) serta sunnah Rasulullah SAW.
(Noe’man,2003).
6
Konsep Arsitektur Islam berkembang karena kecenderungan masuknya
budaya daerah (vernacularism). Bentuk setempat kadang menjadi ciri regionalism
arsitektur. Karya arsitektur yang paling banyak dibahas dan dianggap memiliki
konsep-konsep Arsitektur Islam adalah masjid (Sumalyo,2000,h.24).
C. Arsitektur Masjid
Masjid Nabawi yang dibangun Nabi Muhammad di Madinah tahun 622
adalah prototype awal dari masjid yang ada. Berbentuk persegi empat dengan
enam serambi yang bertiang, tertutup dikelilingi dinding bata dan batu. Masjid
dibangun tanpa mihrab.
Perkembangan arsitektur masjid didominasi oleh perkembangan gaya
arsitekturnya. Corak hypostyle berasal dari Arab dan mendominasi gaya arsitektur
masjid pada abad VII. Corak ini masih digunakan hingga kini, dan bercampur
dengan berbagai unsur seni dan budaya pada jaman dan tempat di mana masjid
didirikan (Sumalyo, 2000,h.24 dan Abdullah Eben Saleh,1999,h.58,59).
Gambar 3.Hypostyle, Pola typical
masjid-masjid di Arab pada periode
awal perkembangan masjid.
(sumber:Abdullah Ebn
Saleh,1999,h.59)
D. Mihrab dalam Syariat Islam
Mihrab dalam tata bahasa Arab berarti tempat yang tertutup, tempat
yang tersembunyi, dan bermakna diantaranya : kamar, masjid dengan seluruhnya,
rumah bagian depan, tempat yang paling mulia, tempat duduk paling depan,
tempat dimana para raja, penguasa dan orang-orang besar itu duduk, semua
tempat yang tinggi, bangunan dan istana yang tinggi, tempat tinggal,
yang
berfungsi sebagai tempat melakukan ibadah (tidak hanya ibadah sholat). Terdapat
ayat-ayat Al Qur’an yang menyebutkan kata mihrab, diantaranya adalah QS.Al
Imron ayat 37 dan 39. Sebagian orang awam menggunakan ayat ini sebagai dalil
7
digunakannya mihrab dalam masjid. Mihrab yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah tempat tertutup, di mana Siti Maryam (ayat 37) dan Zakariya (ayat 39)
berdiam diri untuk beribadah, menyendiri, dan bermunajat kepada Allah SWT
(Ibnu Katsir,jilid 2, 2005,h.42), bukan mihrab sebagaimana pengertiannya selama
ini (mihrab untuk tempat imam di masjid). Bagian di dalam masjid yang dipahami
selama ini berupa ceruk di dinding atau ruang yang relatif kecil sebenarnya dalam
syariat Islam disebut thooq, bukan mihrab. Kapan, bagaimana dan siapa yang
memunculkan penamaan mihrab untuk (yang sebenarnya) thooq belum diketahui
hingga saat ini.
Dalam Kitab Al-Qaulus Shawab Fi Hukmil Mihrab (Abu Ibrahim,1993)
disebutkan beberapa dalil yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah
membuat mihrab untuk masjidnya sendiri (baik Masjid Quba maupun Masjid
Nabawi). Mihrab adalah suatu perkara yang diada-adakan, tidak pernah
Rasulullah SAW mencontohkannya.
E. “Sutrah”, Pembatas Sholat
Sutrah adalah benda yang diletakkan di depan seseorang yang tengah
mengerjakan sholat. Sutrah dalam sholat menjadi kewajiban bagi imam dan
orang-orang yang sholat sendirian, sekalipun di dalam masjid besar/masjid jami’.
Sutrah yang dicontohkan Rasulullah SAW adalah berjarak 3 hasta dari posisi
berdiri. Apabila diandaikan, maka posisi sutrah dan posisi tempat sujud kurang
lebih cukup untuk dilewati seekor anak kambing (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW mencontohkan beberapa benda yang dapat digunakan sebagai
sutrah, tatkala beliau sholat di dalam masjid, maupun saat melakukan
safar/perjalanan, diantaranya adalah tombak, anak panah, tiang, tembok, pelana
kuda, kendaraan (hewan tunggangan seperti kuda atau onta), orang, tempat tidur
dan pohon. Diwajibkannya sutrah adalah agar sholat seseorang tidak terganggu
oleh orang yang lewat atau terganggu oleh syetan, karena syetan akan memutus
(membatalkan) sholat (HR. Abu Dawud, Al Bazzir, Hakim). Sutrah bagi makmum
dalam sholat berjamaah adalah imam.
8
F. Fungsi, Teknis, dan Estetika dalam Arsitektur
Organisasi arsitektur dapat disusun melalui nilai-nilai yang hakiki. yang
dipadukan dalam suatu proses perancangan, yaitu nilai fungsi, nilai teknis dan
nilai estetika (Snyder,1991,h.74). Ketiganya sama pentingnya dalam mewujudkan
disain.
Segala bentuk yang ada dalam arsitektur harus mempunyai fungsi. Suatu
bentuk fungsional yang sempurna tidak perlu diikuti oleh bentuk arsitektur yang
baik, moderen, atau mahal. Dalam hal ini perlu pendekatan estetika, sehingga ada
suatu keseimbangan bentuk. Bentuk dalam suatu fungsi bangunan adalah warisan
estetis yang berkesinambungan, dan mengandung konteks emosional kekaguman,
kesenangan, kepercayaan, kenyamanan dan sebagainya (Snyder,1991,h.74-80).
Ruang interior yang terbentuk dari kumpulan / susunan bentuk dasar
(geometris dan non-geometris) di atas bisa memiliki hubungan langsung dengan
bentuk eksteriornya (Krier, 2001, h.43). Bangunan dengan karakter ruang sakral
(seperti bangunan peribadatan) sering melibatkan konstruksi komposit atau
campuran yang darinya dapat ditampilkan sifat meruang yang paling kaya dan
menarik. Di dalamnya terdapat hirarki seremonial tertentu(Krier, 2001, h.56-57).
Ragam hias ini banyak digunakan pada bagian sekuen-sekuen ruang
dalam masjid, seperti mihrab, plisiran dinding, kolom. Berbentuk pengembangan
dari lingkaran atau bentuk dasar bujursangkar dengan delapan titik bintang.
Ragam hias berbentuk kaligrafi menempati posisi utama (penting), karena
merupakan visualisasi firman Allah SWT yang berupa ayat-ayat dalam Al Qur’an
(Michell,1991 ,h.148,169).
G. Simbolisasi dalam Arsitektur
Suatu elemen (dalam bangunan) merupakan simbol, manakala dapat
dipersepsikan secara visual dan memiliki asosiasi budaya yang serta merta dapat
diterima (Grabar,1980,h.7). Pendekatan ikonografi menunjukkan adanya kekuatan
elemen bangunan (kadang dianggap sebagai simbol), yang turun temurun menjadi
model bagi bangunan-bangunan lain yang sukses dan menirunya (contoh adalah
sebuah mihrab dalam masjid).
9
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi fungsi, teknis (proporsi) dan estetika mihrab pada
masjid-masjid jami’ di Surakarta
2. Mengidentifikasi dan membuat kategorisasi bentuk mihrab pada masjidmasjid jami’ di Surakarta, dengan pendekatan bentuk yang sesuai syariat
Islam.
3. Menemukan dan merumuskan konsep mihrab yang mendekati syariat
berdasarkan identifikasi dan kategorisasi bentuk mihrab pada masjidmasjid jami’ di Surakarta
B. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Bermanfaat dalam pengembangan ilmu Arsitektur Islam, terutama
dalam memberikan khasanah ilmu pengetahuan tentang komponen dalam
Arsitektur Masjid.
2. Manfaat Praktis
a. Bermanfaat dalam rangka dakwah bagi masyarakat luas, sebagai suatu
langkah revisi terhadap konsep mihrab, yang selama ini diyakini
keberadaannya, sekaligus memberikan pengetahuan tentang ‘mihrab’
dalam arti sebenarnya.
b. Mendapatkan konsep mihrab yang sesuai dengan syariat Islam.
10
IV. METODE PENELITIAN
A. Bahan Penelitian
Bahan penelitian tersebut adalah transformasi atau pergeseran atau
perubahan suatu bentuk (mihrab). Transformasi ini dilihat dari karakteristik
bentukan berdasarkan aspek fungsi, teknis dan estetis. Transformasi bentuk dilihat
pula dari sesuatu yang melatarbelakanginya, yang didukung faktor sosial budaya.
B. Materi/Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah mihrab, yaitu suatu bentuk ruang (space) yang
menjadi komponen utama dalam masjid. Mihrab yang dibahas adalah yang
terdapat pada masjid-masjid jami’ di Surakarta, yang dianggap telah mewakili
masjid-masjid di kota Surakarta. Masjid-masjid tersebut adalah : Masjid Agung
Surakarta, Masjid Pura Mangkunegaran (Al Wustho), Masjid Al Fatih, Masjid
Assagaf, Masjid Tegalsari, Masjid Sholihin, Masjid Mujahidin dan Masjid As
Shodiq.
C. Langkah Penelitian
1. Pendataan Masjid
a. Metode Penentuan Objek Penelitian
Masjid-masjid
jami’
yang
menjadi
subjek
penelitian
dipilih
berdasarkan pemikiran latarbelakang pendirian masjid, yang bisa diidentifikasi
dari
karakteristik kegiatannya. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan
informasi pengelola masjid, masjid terpilih memiliki latar belakang pendirian
dan kegiatan yang didasari pemikiran (fikroh).
b. Sumber Data
Data primer langsung pada mihrab, berupa dimensi, proporsi,
ornamentasi,
konstruksi,
fungsi,
jarak
antara imam
berdiri
dengan
sutrah/pembatas, eksisting mihrab dari aspek cahaya dan udara. Data sekunder
berupa data pendukung, yaitu data fisik (gamba)r maupun data non fisik
(sejarah, struktur organisasi, status, kegiatan dan kemakmuran masjid)
11
c. Teknik Pengumpulan Data
Observasi lapangan, Interview terbuka dan terstruktur dengan takmir
masjid, arsitek/perancang masjid, tokoh masyarakat sekitar masjid, jamaah
masjid, narasumber bidang syariat Islam dan narasumber bidang Arsitektur
Islam, Studi Pustaka, Studi kearsipan melalui pengamatan gambar masjid,
pengambilan foto interior dan eksterior serta foto komponen masjid.
2. Pemeriksaan Validitas Data
Validitas data merupakan langkah pemantapan perolehan data, untuk
meningkatkan kepercayaan dan kebenaran data. Langkah yang diambil adalah:
mencari informasi dari sumber lain (informan/narasumber) dengan cara yang
sama atau berbeda, perpanjangan waktu penelitian, terutama saat pencarian
data, dan overlaping waktu pencarian data dan analisis data, sehingga dapat
dilakukan pengecekan/pemeriksaan data secara berulang.
3. Analisis Data
a. Analisis dilakukan sejak awal pencarian data secara terus menerus
hingga selesai penelitian
b. Data fungsi meliputi : fungsi utama mihrab tempat sholat imam dan
fungsi tambahan meliputi tempat mimbar, sound system, rak/lemari
kitab, dan tempat menyimpan petunjuk waktu/jam. Data teknis
meliputi : dimensi ruang mihrab yaitu panjang, lebar dan tinggi,
konstruksi ruang mihrab yaitu bentuk plafon dan elemen jendela. Data
estetis meliputi keberadaan ornamentasi atau ragam hias kaligrafi dan
flora. Data disusun dalam bentuk matriks untuk mempermudah proses
analisa identifikasi. Hasil identifikasi selanjutnya diinterpretasikan.
c. Hasil interpretasi berupa kategorisasi masjid, yaitu kategori masjid
yang sesuai syariat Islam dan kategori yang tidak sesuai syariat Islam.
d. Dari kategorisasi akan muncul konsep mihrab. Konsep mihrab sesuai
materi penelitian diverifikasi atau dibandingkan dengan konsep mihrab
dalam syariat Islam (seperti yang telah dicontohkan Rasulullah SAW).
12
e. Apabila ditemukan pergeseran fungsi, teknis dan estetis mihrab dari
konsep mihrab dalam syariat Islam dan konsep mihrab yang diteliti,
maka dilakukan identifikasi seberapa jauh pergeseran terhadap konsep
awal mihrab.
D. Metode Penelitian
1. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menjelaskan terjadinya
transformasi atau pergeseran bentuk mihrab, melalui identifikasi fungsi
dan estetika, yang ditafsirkan dari latar belakang berdirinya masjid.
2. Metode kuantitatif digunakan menunjukkan proporsi mihrab secara
teknis berdasarkan ukuran-ukurannya, sehingga ditemukan seberapa jauh
penyimpangan konsep mihrab tersebut dari konsep awalnya. Proporsi
diteliti dengan cara membandingkan proporsi panjang, lebar, dan indeks
perbandingan keduanya. Dari indeks ini dapat diketahui kecenderungan
dan simpangan terhadap parameter tolok ukurnya. Sebagai tolok ukur,
digunakan masjid dengan tanpa mihrab yang berarti memiliki panjang dan
lebar masing-masing 0 (nol). Di sini, proporsi diambil dengan membagi
lebar dengan panjangnya. Khusus untuk proporsi acuan, ditentukan
nilainya adalah 0, karena apabila diambil hasil pembagian lebar dengan
panjang akan menghasilkan nilai tak terhingga.
Rasio Proporsi : Lebar / Panjang
Jika dianggap kondisi tanpa mihrab secara teknis adalah yang paling ideal
dari sisi kaidah, maka masjid yang memiliki proporsi lebar dibagi panjang
yang semakin mendekati angka nol adalah yang semakin baik.
Dari angka skore yang ditemukan, dilakukan penjenjangan dengan
membagi nilai rasio menjadi 4 kategori nilai, dengan nilai maksimal 20
untuk kategori paling baik dan minimal 5 untuk kategori paling buruk.
No.
1
2
3
4
Parameter Penilaian
Tanpa mihrab
Indeks Proporsi 0 < R < 0,5
Indeks Proporsi 0,5 < R < 1,0
Indeks Proporsi 1,0 < R < 1,5
Bobot Nilai
20
15
10
5
Skala
Sesuai dengan syariah
Mendekati sesuai
Agak sesuai
Tidak sesuai syariah
13
E. Kerangka Pemikiran
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran
(sumber : analisis peneliti, 2006)
14
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Masjid-masjid Jami’ di Surakarta
Terdapat 461 masjid yang menyebar di wilayah Surakarta (Kanwil Depag
Jawa Tengah,2005). Lebih kurang 87% termasuk dalam kategori masjid jami’.
Masjid sebagai subjek penelitian dipilih delapan masjid, yaitu Masjid Agung
Surakarta, Masjid Al Wustho, Masjid Al Fatih, Masjid Assagar, Masjid Tegalsari,
Masjid Sholihin, Masjid Mujahidin dan Masjid As Shodiq, dengan pertimbangan
sudah mewakili masjid-masjid yang menyebar di wilayah Surakarta, dilihat dari
bentuk mihrabnya. Pertimbangan lain adalah latarbelakang pendirian masjid atau
latarbelakang kegiatan dakwah, yang diduga setiap masjid memiliki perbedaan.
Keterangan :
1. Masjid Assagaf
2. Masjid Agung Surakarta
3. Masjid Al Fatih
4. Masjid As Shodiq
5. Masjid Al Wustho
6. masjid Sholihin
7. Masjid Tegalsari
8. Masjid Mujahidin
Gambar 5. Peta Surakarta dan Letak Masjid Jami’ sebagai Objek Penelitian
(sumber : dokumentasi peneliti,2006)
B. Data Masjid dan Analisis Identifikasi Fungsi dan Estetika
Adapun data-data masjid objek penelitian sebagaimana tercantum dalam
lampiran 1, merupakan data sekaligus analisis identifikasi fungsi dan estetika.
Analisis dilakukan secara kualitatif. Sementara itu analisis identifikasi teknis
dibuat terpisah dan dilakukan dengan cara kuantitatif.
15
1. Landasan Utama Analisa
Konsep awal adalah bahwa mihrab dalam sebuah masjid itu sebenarnya
tidak ada dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Konsep dasar
fungsi adalah bahwa mihrab hanyalah untuk imam. Konsep dasar estetika adalah
dilarangnya berlebihan dalam menghias masjid (termasuk mihrab), karena
termasuk tindakan pemborosan, kemubaziran, dan akan mengganggu konsentrasi
sholat.
2. Parameter Identifikasi Fungsi, Teknis dan Estetika
Tabel 1. Parameter Penilaian Aspek Fungsi
(sumber : analisis peneliti, 2006)
No
Parameter Penilaian
Bobot
Nilai
Skala
1.
Efektifitas fungsi : hanya untuk sholat imam
20
2.
Fungsi tambahan sebagai tempat mimbar
(efektifitas ruang)
Fungsi tambahan sebagai tempat petunjuk
waktu (jam), tempat menyimpan kitab (rak
buku)
Fungsi utama dan tambahan, namun
memiliki ornamen atau elemen bercorak
dengan warna yang seharusnya dihindari,
yaitu kuning dan merah (kadang akhirnya
mihrab hanya berfungsi sebagai simbol)
15
Mendekati
syariah
Kurang
mendekati
syariah
3.
4.
10
5
Tidak
mendekati/
tidak
sesuai
Tabel 3. . Parameter Penilaian Aspek Teknis (Proporsi)
(sumber : analisis peneliti,2006)
No.
1
2
3
4
Parameter Penilaian
Tanpa mihrab
Indeks Proporsi 0 < R < 0,5
Indeks Proporsi 0,5 < R < 1,0
Indeks Proporsi 1,0 < R < 1,5
Bobot Nilai
20
15
10
5
Skala
Sesuai syariah
Mendekati sesuai
Agak sesuai
Tidak sesuai syariah
Tabel 4. Parameter Penilaian Aspek Teknis (Jarak Sutrah 150 cm)
(sumber : analisis peneliti,2006)
No.
1
2
3
4
Parameter Penilaian
Jarak 0 m
Jarak 0 - 0.50 m
Jarak 0.50 – 1.00 m
Jarak > 1.00 m
Bobot Nilai
20
15
10
5
Skala
Sesuai syariah
Mendekati sesuai
Agak sesuai
Tidak sesuai syariah
16
Tabel 4. Parameter Penilaian Aspek Estetika
(sumber : analisis peneliti, 2006)
No
Parameter Penilaian
Bobot
Nilai
Skala
1.
Tanpa ornamen/ ragam hias, baik di dalam
dan di luar mihrab serta tanpa relung
Konstruksi dan elemen penutup dinding
sebagai pembeda dari elemen masjid yang
lain (dinding tanpa ornamen)
Penggunaan gaya Ornamen/ Ragam hias
(termasuk ragam hias kaligrafi) hanya pada
satu sisi/bagian mihrab (arah hadap sholat)
Penggunaan gaya Ornamen/ Ragam hias
(termasuk ragam hias kaligrafi) di seluruh
bagain mihrab (bahkan seluruh interior
masjid)
20
Mendekati
syariah
Tidak
mendekati/
tidak sesuai
syariah
2.
3.
4.
15
10
5
3. Analisa
25
20
20
20
20
Nilai
15
15
10
10
10
10
5
5
th
o
18
Al
78
Fa
tih
18
As
91
sa
ga
f
19
Te
23
ga
ls
ar
i
19
Sh
28
ol
ih
in
19
M
uj
54
ah
id
in
As
19
62
Sh
od
iq
20
01
Al
W
us
Ag
un
g
17
57
0
Nama Masjid dan Tahun Berdiri
Diperoleh
hasil
bahwa
mihrab
masjid
yang
mendekati syariat adalah
Masjid Agung Surakarta dan
Masjid Assagaf, dan As
Shodiq, dengan masingmasing point 20, karena
fungsi mihrab masih murni,
yaitu hanya diperuntukkan
bagi imam (untuk memimpin
sholat).
Grafik 1. Grafik Penilaian Identifikasi Fungsi Mihrab
(sumber : analisis peneliti,2006)
25
20
20
Nilai
15
15
10
10
10
10
10
10
5
5
0
Agung
1757
Al
Wustho
1878
Al Fatih
1891
Assagaf Tegalsari Sholihin
1923
1928
1954
Nama Masjid
Mujahidin
1962
As
Shodiq
2001
Penggunaan ornamen dan
pemakaian konstruksi serta
material yang berbeda, dan
dikhususkan bagi mihrab,
rata-rata digunakan di masjid
penelitian.
Umumnya
ornamen kaligrafi. Hanya
masjid Ash Shodiq yang
lebih
mendekati
syariat
Islam,
karena
tidak
mengunakan ornamen.
Grafik 2. Penilaian Identifikasi Estetika Mihrab
(sumber : analisis peneliti,2006)
17
Tabel 5. Analisa Proporsi dan Jarak Sutrah Mihrab
(sumber : analisis peneliti,2006)
Panjang Lebar Rasio Nilai
Jarak Nilai
(m)
(m)
L/P proprs sutrah sutrah
No
Masjid
1
2
3
4
5
6
7
8
Masjid Agung
Masjid Al Wustho
Masjid Al Fatih
Masjid Assagaf
Masjid Tegalsari
Masjid Solikhin
Masjid Mujahiddin
Masjid As Shodiq
1.55
3.30
2.00
1.00
4.00
2.65
2.00
0
2.22
3.10
2.00
1.50
1.50
1.35
1.50
0
25
1.432
0.939
1.000
1.500
0.375
0.509
0.750
0
5
10
10
5
15
10
10
20
10
5
15
20
20
20
20
20
25
20
20
20
20
20
20
20
Mujahidin
As
Shodiq
20
15
15
15
10
10
10
10
Nilai
Nilai
0.72
1.60
0.5
0
0
0
0
0
10
5
15
10
10
5
5
5
5
Masjid As
Shodiq
Masjid
Mujahiddin
Masjid
Solikhin
Masjid
Tegalsari
Masjid
Assagaf
Masjid Al
Fatih
Masjid Al
Wustho
Masjid
Agung
0
0
Agung
Grafik 3. Analisis Proporsi Mihrab
(sumber : analisis peneliti,2006)
40
35
Nilai
15
25
10
20
15
10
5
5
10
0
Agung
10
15
5
20
20
20
10
10
20
20
20
Mujahidin
As
Shodiq
5
Al
Wustho
Al Fatih
Assagaf
Tegalsari Sholihin
Nama Masjid
Al Fatih
Assagaf
Tegalsari Sholihin
Grafik 4. Analisis Identifikasi Jarak Sutrah
(sumber : analisis peneliti,2006)
45
30
Al
Wustho
Nama Masjid
Nama Masjid
Grafik 5. Analisis Proporsi dan Jarak Sutrah
(sumber : analisis peneliti,2006)
Masjid yang sesuai syariat, baik
proporsi maupun jarak sutrah
adalah Masjid As Shodiq. Masjid
Tegalsari
mendekati
syariat,
sedangkan masjid yang lain tidak
sesuai. Ketidaksesuaian karena
proporsi
yang
besar,
yang
disebabkan kedalaman atau lebar
mihrab yang lebih panjang dari
panjangnya, sehingga jarak sutrah
melebihi ketentuan
4. Hasil
Berdasarkan hasil analisa terhadap identifikasi fungsi, teknis dn estetika,
maka diperoleh hasil kategori masjid yang sesuai syariat, masjid yang
mendekati sesuai dan masjid yang tidak sesuai syariat Islam.
18
Tabel 6. Hasil Analisis Identifikasi Fungsi, Teknis, Estetika
(sumber : analisis peneliti, 2006)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Nama Masjid
Masjid Agung
Masjid Al Wustho
Masjid Al Fatih
Masjid Assagaf
Masjid Tegalsari
Masjid Sholihin
Masjid Mujahiddin
Masjid As Shodiq
Nilai
55
30
45
50
55
55
55
80
Kategori
Mendekati sesuai Syariat Islam
Tidak sesuai Syariat Islam
Tidak sesuai Syariat Islam
Tidak sesuai Syariat Islam
Mendekati sesuai Syariat Islam
Mendekati sesuai Syariat Islam
Mendekati sesuai Syariat Islam
Sesuai Syariat Islam
Tabel 7. Penilaian Kategori
(sumber : analisis peneliti, 2006)
No
1
2
3
Range Nilai
80
55 - 80
30 < 55
Kategori
Sesuai Syariat Islam
Mendekati sesuai Syariat Islam
Tidak sesuai Syariat Islam
180
160
140
Nilai
120
80
100
80
55
40
20
0
50
45
60
20
10
5
20
30
Agung
Al
Wustho
5
20
5
20
10
15
10
10
10
5
10
5
Al Fatih
55
55
55
10
20
15
10
10
20
10
15
15
20
10
10
20
Mujahidin
As
Shodiq
20
Assagaf Tegalsari Sholihin
20
20
Nama Masjid
Fungsi
Proporsi
Jarak sutrah
Estetika
Total
Grafik 6. Total Penilaian Identifikasi Fungsi,
Teknis dan Estetika
(sumber : analisis peneliti, 2006)
Masjid yang sesuai syariat
adalah Masjid As Shodiq,
yang tidak sesuai syariat
Islam adalah Masjid Al
Wustho, Masjid Al Fatih,
Masjid
Assagaf,
dan
masjid yang mendekati
sesuai syariat Islam adalah
Masjid Agung Surakarta,
Masjid Tegalsari, Masjid
Sholihin,
dan
Masjid
Mujahidin.
5. Interpretasi Hasil
Mihrab adalah komponen masjid, yang secara umum senantiasa muncul di
dalam setiap perencanaan masjid. Mihrab akan memiliki fungsi manakala
kehadirannya dikaitkan dengan komponen masjid yang lain. Hal ini terbukti
dengan pengidentifikasian terhadap terjadinya transformasi atau pergeseran fungsi
mihrab. Transformasi fungsi mihrab karena kebutuhan efektifitas dan efisiensi
ruang secara arsitektural. Dalam hal ini indikatornya adalah komponen masjid
yang berupa mimbar. Mimbar dan mihrab adalah dua komponen masjid yang
19
sangat penting, dimana satu sama lain saling berpengaruh dan menentukan
terjadinya transformasi bentuk mihrab.
Transformasi teknis mihrab memperlihatkan kecenderungan ukuran
mihrab memiliki perbandingan proporsi lebar terhadap panjangnya yang semakin
kecil. Perkembangan waktu membuktikan mihrab semakin efektif dan efisien,
dengan proporsi ruang yang semakin kecil.
Identifikasi estetika paling mudah dilakukan terhadap relung mihrab.
Transformasi estetika mihrab terjadi dengan pendekatan ikonografi. Pendekatan
ini menunjukkan bahwa bentuk relung mihrab menjadi elemen masjid yang
memiliki kekuatan, bahkan ada yang menjadi simbol, yang turun temurun ada dan
terus menerus muncul, bahkan menjadi model dan diikuti oleh mihrab-mihrab lain
sesudahnya.
Eklektik menjadi ciri masjid pada umumnya. Campuran gaya
arsitektur terlihat jelas dari bentuk-bentuk relung jendela dan serambi serta
mihrab. Bahkan akhirnya muncul kesan tidak ada kesatuan bentuk antara interior
dan eksterior.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Apabila penggunaan mihrab tidak dapat dihindarkan keberadaannya
pada sebuah masjid, diharapkan agar nilai indeks proporsi dapat dibuat sekecil
mungkin, artinya bahwa lebar harus jauh lebih panjang daripada panjangnya, agar
mendekati bentuk yang seolah tidak ada cerukan atau hampir datar.
Munculnya mihrab dengan transformasi atau perkembangan bentuk
menunjukkan bahwa 1) efisiensi bentuk mihrab mudah diterima masyarakat, atau
2) karena keyakinan masyarakat tentang perlunya mihrab atau 3) karena
menganggap mihrab adalah suatu keumuman. Bagaimanakah ketiga hal tersebut
dapat diluruskan dengan pendekatan syariah dan kontekstual arsitektural, maka
perlu penelitian lanjutan yang dapat merumuskan suatu konsep bentuk mihrab
yang dapat diterima oleh masyarakat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Terjemahan, 1993, Departemen Agama Republik Indonesia
Al Qaradhawi, Yusuf, 2000, Tuntunan Membangun Masjid, Gema Insani, Jakarta
Abu Bakar Jabir al Jazairi, 2003, Ensiklopedi Muslim (Edisi Indonesia), Judul asli
Minhajul Muslim, Penerjemah Fadhli Bahri, Lc, Darul Falah, Jakarta
Abdullah Eben Saleh, Mohammad Eben, 1999, The Historic and Urban
Development of Mosque Architecture, College of Architecture and
Planning, King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia
Abu Ibrahim Muhammad bin Abdul Wahhaab bin Ali bin Muhammad Al
Washoobi Al’Abdalli (penulis), 1413 H/ 1993 M, Al-Qaulus Shawab Fi
Hukmil Mihrab (judul asli), Perkataan yang Benar tentang Hukum
Mihrab (terjemahan), Muhammad Na’im,Lc (penterjemah), 2006,
Kerajaan Saudi Arabia
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik
(Pentahkiq),Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsir (Judul asli), Tafsir Ibnu
Katsir (terjemahan) , 2005, M.Abdul Ghoffar E.M (Penterjemah), Cetakan
III, Jakarta, Pustaka Imam Asy Syafi’I, halaman 59-62
Arnold, Sir Thomas, 2003, The Islamic Art and Architecture, Goodwork
Publisher, New Delhi
Anonim, 2004, Proseding Simposium Nasional Arsitektur Islam, Jurusan Teknik
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
E. Ayub, Mohammad, dkk, 1996, Manajemen Masjid, Gema Insani, Jakarta
Gazalba, Sidi, 1962, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pustaka Antara,
Jakarta
Germen, Aydin, 1983, Islamic Architecture and Urbanism, papers from A
Symposium Organized by the College of Architecture and Planning 5-10
January 1980, King Faisal University, Dammam
Grabar, Oleg, 1983, The Iconography of Islamic Architecture, papers from A
Symposium Organized by the College of Architecture and Planning 5-10
January 1980, King Faisal University, Dammam, p. 6-15
Hillenbrand, Robert, 1983, Some Observations on the Use of Space in Medieval
Islamic Buildings, papers from A Symposium Organized by the College of
Architecture and Planning 5-10 January 1980, King Faisal University,
Dammam, p. 17-29
Herusatoto, Budiono, 2001, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Cetakan IV,
Hinindita Graha Widia, Yogyakarta
Ischak,Mohammad,2004, Memahami Keselarasan (Harmony) pada Bangunan
Islam. Study Kasus : Masjid Lingkungan di Pesisir Utara Jawa Tengah,
makalah dalam Proseding Simposium Nasional Arsitektur Islam, Jurusan
Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Surakarta
Krier, Rob, 2001, Komposisi Arsitektur, Edisi Terjemahan, Erlangga Indonesia,
Jakarta
Mangunwijaya,YB, 1992, Wastu Citra, Cetakan II, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka
Utama
21
Michell, George, 1991, Architrecture of The Islamic World, Thames and Hudson
Ltd, London
Muhammad Nashirudin Al Albani, 2000, Sifat Sholat Nabi (Edisi Indonesia),
Penerjemah Muhammad Thalib, Media Hidayah, Yogyakarta
Noe’man Ahmad, 2003, Arsitektur Islam, Bandung: Makalah tidak diterbitkan
Pressman, Andi, 2001, Architectural Design Portable Handbook, Mc Graw Hill,
New York
Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qathani, 2005, Tata Cara Sholat Nabi (Edisi
Indonesia), Irsyad Baitus Salam, Bandung
Snyder, C.James and Anthony J. Catanese, 1991, Introduction to Architecture
(judul asli), Pengantar Arsitektur (terjemahan), Hendro Sangkoyo
(penterjemah), Cetakan III, Jakarta, Erlangga
Sumalyo, Yulianto, 2000, Arsitektur Masjid, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, 2003, Tuntunan Tanya Jawab
Akidah, Sholat, Zakat, Puasa dan Haji (Edisi Indonesia), Judul Asli
Fatawa Arkanul Islam, Penerjemah Munirul Abidin, M.Ag, Darul Falah,
Jakarta
Tim Masjid 2000, Masjid 2000 Sebuah Rekaman Sejarah, Pusat Studi dan
Dokumentasi Masjid Nusantara, Jurusan Teknik Arsitektur ITB, Bandung
Utaberta, Nangkula, 2003, Makna dan Arti Keindahan dalam Arsitektur Islam,
Pusat Kajian Alam Bina Dunia Melayu (Kalam), Fakulty Alam Bina,
University Technology Malaysia, Malaysia
Ven, Cornelis van de, 1991, Space in Architecture (judul asli), Ruang dalam
Arsitektur (terjemahan), Imam Djokomono dan Mc.Prihminto Widodo
(penterjemah), Cetakan III (Revisi), Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Walmsley, Alan & Damgaard, Kristoffer,2005, The Umayyad Congregational
Mosque of Jarash in Jordan and Its Relationship to Early Mosques,
Journal ANTIQUITY 79 (2005): 362-378
22