SIAPA MENDESAIN KARAKTER BERBATIK AKAN tersingkir

MAKALAH PENDAMPING SEMINAR NASIONAL

“EMPOWERING BATIK
DALAM MEMBANGUN KARAKTER BUDAYA BANGSA”

SIAPA MENDESAIN KARAKTER BERBATIK,
AKAN MENUAI KARAKTER BUDAYA BANGSA
YANG APIK DAN MENDIDIK
(dikirim sebagai makalah pendamping dalam acara Seminar & Pameran
Nasional Batik “Empowering Batik dalam Membangun Karakter Budaya
Bangsa”, di Ruang Sidang Rektorat UNY Lantai 2 Jl Colombo 1 Yogyakarta,
diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Seni Rupa – Fakultas Bahasa dan
Seni – Universitas Negeri Yogyakarta, Kamis 19 Mei 2011)

oleh:

Drs. Dwi Budi Harto, M.Sn.
NIP. 196704251992031003

JURUSAN SENI RUPA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
11 Maret 2011

Siapa Mendesain Karakter Berbatik,
Akan Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik
Oleh: Drs. Dwi Budi Harto, M.Sn.
(Dosen Prodi Desain Komunikasi Visual – Jurusan Seni Rupa – FBS – Universitas Negeri Semarang/Unnes)

I. PENDAHULUAN: Setitik Pemberdayaan Batik yang Masih Konvensional
Empowering batik dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai memberdayakan batik. Pertanyaannya, apakah batik saat ini memang tidak berdaya? Tampaknya generasi muda Indonesia saat ini jarang yang memahami batik secara
visual/bentuk, apalagi dari sisi filosofi. Budaya modern, post modern Barat
yang materialistik dan konsumtif tampaknya lebih banyak mempengaruhi pola
pikir para generasi muda saat ini, sehingga mereka tak mau mempelajari, melestarikan, apa lagi merevitalisasi sesuatu yang njlimet atau filosofis, maunya
serba praktis, cepat/instan, dan trendy. Dari kondisi ini, tampaknya disimpulkan
bahwa batik dalam kondisi tidak berdaya dan menjadi keprihatinan bersama.
Upaya empowering seni tradisi, tampaknya sudah menjadi bahasan yang
klise. Pro dan kontra pasti terjadi. Hal ini telah terjadi pada berbagai acara seminar, simposium, diskusi, sarasehan, dan pertemuan ilmiah lainnya1). Pertemuan-pertemuan ilmiah tersebut biasanya terkait dengan permasalahan: upaya
mencari jati diri bangsa, revitalisasi seni tradisi, kearifan lokal/local genius, dan
terkait dengan ciri khas budaya bangsa Indonesia. Walaupun terasa klise, namun sebagai negara yang ‘mengaku’ menghargai budaya, sudah selayaknya se-


bagai warga negara tidak bosan-bosannya mendengungkan semangat memberdayakan budaya bangsa, misalnya pemberdayaan batik.
Spirit pemberdayaan batik diharapkan tidak sekedar aji mumpung atau
tidak sekedar “hangat-hangat tahi ayam”, tetapi harus benar-benar batik menjadi berdaya. Batik diharapkan berdaya di negeri sendiri, maupun berdaya melawan rongrongan negara lain yang ingin memilikinya. Bersyukurlah, walaupun
melalui desakan masyarakat pecinta batik akhirnya pemerintah ‘menjadi berani’
mengusulkan batik sebagai milik bangsa Indonesia kepada UNESCO (United
Nations Educational, Scientific, and Culture Organization). Tanggal 28 September 2009 UNESCO mengakui batik sebagai salah satu warisan budaya dunia
tak benda milik Indonesia. Secara resmi penghargaan tersebut diberikan kepada bangsa Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi, terutama pe1) lihat kumpulan makalah pada Konggres Kesenian Indonesia ke-1 tahun 1995, Seminar Internasional
“Prospek Pengembangan Kajian Indonesia dalam Konteks Kemajemukan Budaya” diselenggarakan oleh
Unnes tahun 2002, dan makalah-makalah lain

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

1

nilaian atas keragaman motif batik dan makna filosofinya, serta upaya nyata
masyarakat Indonesia untuk memberdayakan (melestarikan dan merevitalisasi)
batik. Tanggal tersebut dapat dijadikan tonggak yuridis kultural untuk
melangkah secara mantap dalam pemberdayaan batik.
Sebagaimana penilaian yang telah dilakukan UNESCO bahwa bangsa Indonesia sudah berupaya untuk memberdayakan batik. Tetapi, tampaknya pemberdayaan batik hanya sebatas pengembangan yang menggunakan media
konvensional, misalnya: batik untuk tekstil, batik untuk busana, batik untuk lukisan, batik pada topeng, batik untuk tas, batik pada helm, dan lain-lain. Tampaknya hal ini masih perlu dikembangkan dalam bentuk lain. Salah satu bentuk

yang ditawarkan dalam tulisan ini adalah desain karakter pada berbagai media
DKV, karena saat ini generasi muda ada kecenderungan lebih banyak tertarik
pada bidang DKV, walaupun sebatas sebagai pengguna bukan pencipta.
II. PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup dan Perkembangan Fungsi Batik
Ruang lingkup batik sangat luas, yaitu mulai dari masa Prasejarah hingga
masa kini (post modern). Jika dibatasi maka ruang lingkup batik meliputi
batasan etimologis, historis, teknis, motif, dan filosofis. Secara etimologis
batik berasal dari kata-kata dalam bahasa Jawa, yaitu: mba + tik. Tidak ada
kata atau suku kata dalam bahasa manapun yang menggunakan kata “mba”.
Sisipan huruf “m” sebelum “ba”, merupakan kata-kata khas dalam bahasa
Jawa, yang diartikan “melakukan aktifitas”. Sedangkan “tik” diartikan sebagai
“titik”, “tik” juga diartikan sesuatu yang kecil. Jika digabungkan antara kata
“mba” dan “tik”, maka dapat diartikan sebagai “kegiatan/melakukan aktifitas”,
dalam hal ini diartikan sebagai “kegiatan membuat titik”. Sebagaimana
diketahui bahwa unsur terkecil dalam motif batik adalah titik (cecekan), yang
biasanya digunakan untuk isen-isen bidang (Harto, 2010: 126).
Secara historis batik sebagai warisan dunia milik Indonesia sudah tidak
bisa diragukan lagi. Hal ini terbukti dengan adanya motif-motif batik yang tergores pada batu, perunggu, dan lain-lain yang digunakan pada masa Prasejarah
dan masa Klasik Hindu-Budha-Islam. Contoh keberadaan motif batik pada

masa lalu adalah: tertoreh pada nekara perunggu, relief candi, arca dwarapala
Candi Panataran (Palah), dan tertulis dalam beberapa kitab lama/serat. Selain
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

2

itu terlihat pula pada beberapa adegan dalam relief candi dan arcanya,
misalnya arca dwarapala mengenakan motif batik kawung, arca dewa-raja
mengenakan motif gringsing, sedangkan rakyat jelata mengenakan kain polos
[lihat relief candi Surawana dan Tigawangi2)]. Tetapi, saat ini batik telah
digunakan oleh rakyat biasa, misalnya petani, kuli pelabuhan, tukang becak,
dan lain-lain karena batik telah dijual mulai dari galeri/art shop/show room yang
berkelas (high class) sampai ke lapak-lapak pedagang kaki lima dengan harga
terjangkau bagi ekonomi lemah (Harto, 2010: 125, 129).
Secara teknis, batik adalah proses pemberian motif dan warna pada kain
melalui proses halang rintang/buka tutup permukaan kain. Secara historis
halang rintang awalnya dilakukan menggunakan upo (butiran nasi) dan
sampai

dengan


saat

ini

menggunakan

malam.

Proses

pemberian

warna/pewarnaan awalnya menggunakan pewarna alam (misalnya berasal
dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari:
pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu,
serta garamnya dibuat dari tanah lumpur). Saat ini banyak pembatik yang
menggunakan pewarna kimiawi (indigosol, naptol, rapid, rhemasol, dll.).
Secara teknis kekhasan pewarnaan batik kimiawi adalah pewarnaan panas,
artinya proses mereaksikan bahan-bahan kimia menggunakan pencampur air

panas. Secara teknis pula membatik/batik tulis secara umum biasanya dimulai
dari perancangan motif pada kain, pencantingan (ngrengrengi/pemberian motif
pada

kain

dengan

canting),

nerusi,

pewarnaan

(colet

atau

celup),


nemboki/nglowongi, pewarnaan (biasanya celup), dan pelorodan (pelepasan
malam dari kain). Tetapi secara klasik, teknis membatik diawali dengan ritualritual khusus dan ada proses tertentu sebagai upaya mempersiapkan dan
memfinishing kain batik (misalnya: ngemplong, ngeloyor, mbabar, ngetel,
nyoga, nyareni, medel, mbironi, dll.). Secara teknis pula, biasanya batik
dibedakan menjadi: (1) batik tulis; (2) batik cap; (3) batik printing; dan (4) batik
lukis. Masing-masing jenis teknis memiliki kelebihan dan kekurangan, namun
sampai hari ini yang dianggap memiliki nilai estetis dan orisinalitas paling tinggi
adalah batik tulis [disarikan dari Hamzuri (1981) dan Anonim (1975)].
Jika ruang lingkup batik ditinjau dari motifnya, maka apapun teknisnya
yang penting menghasilkan sebuah motif batik, maka dapat dikatakan sebagai
batik. Sehingga dari sisi motif, ruang lingkup batik biasanya dibatasi pada motif
2) lihat hasil penelitian yang dilakukan Harto (1999) tentang Cara Wimba dan Tata Ungkapan relief candi Surawana
dan Tigawangi. Kedua relief candi tersebut ada yang menggambarkan pakaian polos/tanpa motif batik yang
dikenakan oleh rakyat jelata.

Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

3

klasik atau modern. Motif batik klasik misalnya: berbagai jenis kawung

(kawung pijetan, betonan, dll.), berbagai jenis parang/pilin (parang rusak,
parang barong, dll.), swastika/banji, gringsing, tumpal, meander (sungai
berkelok-kelok), mega mendung, dan lain-lain. Sedangkan motif modern
biasanya merupakan pengembangan dari motif klasik atau penciptaan motif
baru yang belum ada pada motif klasik. Ketika bicara motif batik klasik, yang
mengiringi dibalik motif adalah makna filosofi batik. Sehingga batik dipandang
tidak semata-mata sebagai teknis, tetapi tiap motif dapat berbicara kandungan
filosofisnya. Oleh karena itu dapat dipahami pula bila proses membatik secara
klasik diawali dengan ritual tertentu. Ritual ini merupakan laku yang harus
dijalani oleh pembatik sebagai upaya nglakoni dan membangun makna filosofi
yang legitimit dan solid. Hal inilah yang membedakan dengan proses
pembuatan motif tekstil pabrikan ala Barat. Sehingga seorang turis asing yang
bisa membatik dan menghasilkan motif klasik tertentu masih belum terasa
lengkap/utuh apabila tidak disertai laku/nglakoni melalui proses penghayatan
makna filosofinya. Dengan demikian ciri khas batik Indonesia salah satunya
adalah jalinan estetis-fungsional antara motif dan makna filosofi batik, motif
dan makna filosofi bagaikan 2 permukaan mata uang logam yang tidak bisa
dipisahkan. Dengan demikian antara motif dan makna filosofis batik
merupakan jalinan estetis-fungsional yang tidak dapat dipisahkan dalam
membangun jati diri batik Indonesia. Pada batik klasik kosmologi penciptaan

semacam ini bisa berlaku, sebagai upaya menjalankan fungsi filosofi-religi
batik. Sebagaimana dikemukakan Tabrani (2005) bahwa karya Seni Rupa
tradisi Indonesia tidak ada yang semata-mata hanya fungsional, tetapi
sekaligus estetis dan simbolis. Sesuatu yang bersifat religius biasanya
berhubungan erat dengan sistem yang berlaku di dalamnya. Sebagai ciri khas
religiusitas karya Seni Rupa tradisi Indonesia biasanya didalamnya terkandung
sistem hubungan yang harmonis, serasi, selaras, dan seimbang secara
vertikal kepada makrokosmos (pencipta alam semesta, hablum minallah) dan
hubungan horisontal sesama makhluk (manusia, binatang, dan tumbuhan,
jadi bukan semata-mata hablum minannas). Namun perkembangan batik
kemudian, sudah banyak yang melupakan fungsi religi batik, tetapi lebih
cenderung pada kepentingan profan yang pragmatik. Dengan demikian
semakin meninggalkan fungsi religi batik (Harto, 2010: 127-129).
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

4

Perkembangan fungsi batik lainnya dapat dilihat bergesernya fungsi batik
yang semula sebagai kesenian kraton/kerajaan, kini batik dimanfaatkan pula
untuk kepentingan rakyat jelata. Kegiatan membatik merupakan kegiatan

menggambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan
keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya
terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta
para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar
kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan
dikerjakan ditempatnya masing-masing (Harto, 2010: 129).
Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat
terdekat (di lingkungan kraton) dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi
pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria (Harto, 2010: 129).
Jika sebelumnya batik identik dengan busana. Maka, saat ini perkembangan
/pemberdayaan fungsi batik telah sedikit berubah dari busana sampai non busana misalnya: untuk topi, lukisan, sepatu, sandal, topeng batik, nampan, wadah tisu, tas laptop, bahkan saat ini helm, sepeda motor, hand phone, dan mobil ada yang diberi ornamen khusus berupa motif batik (Harto, 2010: 130). Contoh-contoh visual perkembangan fungsi batik lihat halaman 9 (poin B).
Berbagai kegiatan swadaya sebagai aksi nyata masyarakat akan
kepedulian batik setelah dicanangkan UNESCO sebagai warisan dunia,
tampak terjadi di mana-mana. Mercedes Benz Indonesia salah satunya,
meminta perancang busana Carmanita melukis satu mobil Mercedes Benz
C250 CGI dengan motif batik. Gubernur DKI Fauzi Bowo meluncurkan mobil
batik tersebut di Balaikota Jakarta pada 9 Februari 20103).
Carmanita adalah cucu seniman batik dan pencipta lagu anak Bintang Sudibjo atau Ibu Sud. Ia menerakan corak batiknya pada mobil bergaya sport itu.
Corak/motif batik yang diterakan Carmanita adalah titik-titik dengan inti motif
bunga. Hal ini didasarkan pada asal kata batik berasal dari kata titik. Selain itu

juga ada motif retak yang menunjukkan ciri batik tulis yang biasa menggunakan parafin sebagai efek retak. Untuk mewujudkan corak batik di atas badan
mobil, Carmanita bekerja sama dengan Tommy Dwi Djatmiko, pemilik
Mastomcustom Graphic Airbrush System Jakarta. Tommy memanfaatkan
3) disarikan
dari Kompas
situs
http:\\Budaya
mencatat-sejarah-lewat-batik-Indonesia-Proud.html.
Mendesain
Karakter
Berbatik,dalam
Menuai
Karakter
Bangsa yang Apik dan Mendidik

5

teknik airbrush dalam mengerjakan motif batik tersebut, selama hampir tiga
minggu. Tommy menggunakan warna merah marun untuk bagian depan dan
perak yang terlihat netral untuk bagian belakang, sebagai warna dasar4).
Wujud kepedulian masyarakat lainnya terlihat pada upaya mendokumentasikan batik dan cara batik dikenakan. Kolektor batik dan pemilik industri batik
print Kencana Wungu, bernama Hartono, memamerkan koleksi batik
pesisirannya untuk menyambut Imlek. Koleksi batik tersebut menunjukkan
bahwa masyarakat peranakan China sangat menghargai batik tulis. Batik asal
Lasem dari tahun 1890 hingga 1900 koleksi Hartono ini bermotif orang naik
kilin, teratai, ayam, dan menjangan. Hewan mitologi kilin melambangkan
sesuatu yang tinggi, bisa berupa jabatan atau tingkat spiritual. Teratai lambang
kesucian, ayam artinya rajin, dan menjangan rejekinya lancar5).
Pengaruh masa penjajahan dan terdapatnya peranakan Cina di Indonesia
terasa mempengaruhi perkembangan batik. Sebagai contoh di Rumah Rakuji,
Cipete Jakarta Selatan, Asmoro Damais dan Judi K. Achjadi dari Pusat Dokumentasi Wastra dan Busana Indonesia menyuguhkan pameran evolusi kain
batik dan kebaya. Pameran evolutif ini dimulai dari pemakaian batik oleh perempuan Belanda di Indonesia hingga lahirnya kebaya yang dikenakan peranakan China, lengkap dengan batiknya dari awal abad ke-20. Kebaya perempuan Eropa Belanda berbentuk persegi, longgar, berwarna putih, berhias renda di bagian tepi, serta dihiasi sulam tangan di bagian dalam. Model tersebut
ditiru oleh perempuan peranakan China, dengan modifikasi. Bentuk mengikuti
tubuh dan melebar di pinggul, memakai renda di bagian tepi dengan tambahan
hiasan yang dibordir mesin. Setelah tahun 1920, perempuan Eropa dianjurkan
tidak lagi memakai kebaya di luar rumah karena dianggap bukan baju, dress6).
Berikutnya, Judi menyatakan bahwa corak batik selalu mengandung makna tertentu, tergantung dari latar belakang sosial pemakai. Sebagai pemeluk
Konghucu yang mementingkan pendidikan, corak bunga teratai yang tumbuh
meninggi di atas lumpur melambangkan kedudukan tinggi yang berhubungan
dengan pendidikan, seperti menjadi pegawai negeri. Bunga teratai yang berbiji
banyak juga melambangkan kemakmuran. Di sisi lain Asmoro menyampaikan
bahwa dokumentasi kain batik sangat penting, karena kain batik merupakan
dokumen sosial, ekonomi, dan politik masyarakat saat itu7).
Pencarian motif batik sebagai identitas suatu daerah telah dilakukan oleh
beberapa daerah tingkat II di Indonesia, terutama daerah seputar Jawa dan
4) 5) 6) 7)Karakter
disarikan
dari Kompas
situs
http:\\Bangsa
mencatat-sejarah-lewat-batik-Indonesia-Proud.html.
Mendesain
Berbatik,
Menuaidalam
Karakter
Budaya
yang Apik dan Mendidik

6

Bali.

Misalnya,

melalui

beberapa

acara

ilmiah

dan

lomba/sayembara

perancangan motif batik, sebagai contoh pencarian ciri khas batik kota
Ponorogo, Pacitan, Demak, Kudus, Tuban, dan lain-lain. Kegiatan lomba yang
akan dilaksanakan adalah pencarian identitas batik untuk kota Semarang yang
diumumkan lewat ProTV Semarang. Kemudian upaya pendokumentasian,
pelestarian, dan pengkajian ilmiah tentang batik yang dilakukan oleh “Bokor
Kencono”, yang baru saja disiarkan melalui ProTV Semarang, awal bulan April
2010. Perkembangan Industri Kreatif batik dipandang penting, karena sebagai
salah satu upaya mendongkrak devisa negara non migas.
Perkembangan lain adalah dimasukkannya batik sebagai salah satu sektor
dari 14 sektor dalam Industri Kreatif. Meskipun telah dicanangkan 2 tahun yang
lalu oleh Presiden SBY, namun sampai hari ini Industri Kreatif masih hangat
dibicarakan dan menjadi bidang kajian dalam penelitian Strategi Nasional yang
diadakan oleh DP2M Dikti. Selain menjadi kajian penelitian, belakangan ini
batik semakin gencar dipromosikan, misalnya melalui Solo Batik Carnival 2010
dan 2011, Jember Carnival, dan Semarang Night Carnival 2011.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa hal,
diantaranya: (1) sebagai upaya pemberdayaan, pengembangan fungsi batik
saat ini sebagian besar masih terkait fungsi profan atau pragmatiknya, yaitu
pengembangan batik untuk keperluan sehari-hari, belum menyentuh ke aspek
filosofi; (2) pengembangan batik saat ini rata-rata hanya menghasilkan karya
batik/karya Seni Rupa 2D/2 Dimensi dan 3D/3 Dimensi; (3) pengembangan
batik sebagian besar dilakukan oleh swasta/sektor non formal, belum banyak
peran pemerintah untuk menghidupi para perajin batik (terutama dalam kucuran
modal dan pemasaran) dan belum banyak peran perguruan tinggi dalam upaya
pemberdayaan/pengembangan batik tersebut; (4) pasar dalam negeri/konsumen batik sangat terbatas yaitu hanya para pecinta batik dan kaum tua.
Generasi muda kurang peduli/tidak mau menggunakan batik dalam kehidupan
hariannya; dan (5) belum ada perancang yang berupaya memberdayakan batik
dengan cara mengembangkannya melalui proses perancangan karakter pada
berbagai media DKV. Tulisan ini mencoba menawarkan salah satu alternatif
pengembangan batik berupa desain karakter di berbagai media DKV.
B. Pemberdayaan Batik
Pemberdayaan atau empowerment adalah memberikan daya untuk
mampu memperbaiki kehidupan. Dalam sebuah institusi, maka pemberdayaan
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

7

diartikan sebagai cara untuk melaksanakan kerjasama dalam organisasi/kelompok/institusi sehingga semua orang berpartisipasi penuh. Pemberdayaan sebagai sebuah gerakan, biasanya berpusat/mengarah pada kemandirian masyarakat. Jika dianalogikan dengan pemberdayaan batik maka keberhasilan pemberdayaan batik sangat bergantung dari partisipasi aktif masyarakat budaya pendukungnya. Pemberdayaan adalah proses membangun dedikasi dan komitmen
yang tinggi, sehingga pihak yang diberdayakan itu bisa menjadi sangat efektif
dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi. Keberhasilan
pemberdayaan batik akan efektif jika ada inisiatif dan kreativitas masyarakat
pendukungnya (dianalogikan dari Slamet, tt: 1-5).
Salah satu bentuk pemberdayaan batik adalah merevitalisasi batik. “Revitalisasi batik” mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali
arti penting batik secara proporsional dan kontekstual, dalam arti menyegarkan
kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan meningkatkan fungsi batik
dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain (diadaptasi dari presentasi Kepala Pusat Pengembangan Penyuluhan Pertanian). Saat
ini pemberdayaan batik dalam bentuk revitalisasi sangat dibutuhkan karena
agar eksistensinya tidak terdesak oleh arus globalisasi. Di era globalisasi ini semua negara terkena dampaknya, diharapkan Indonesia memiliki daya saing
terkait dengan ‘permainan global’ ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Lester
Thrurow (dalam Loedin, 2000: 1) menyatakan: “The world offers you two things,
you can lose or if you want to win, you have to change” (dunia ini menawarkan
dua hal, anda bisa kalah atau jika anda ingin menang, anda harus berubah).
Hanya manusia atau bangsa yang unggul dan kreatif yang dapat mengambil
manfaat besar dari globalisasi, menyesuaikan diri, dan mengantisipasi gejalagejala yang dihadapinya.
Berdasarkan beberapa uraian sebelumnya maka pemberdayaan batik dalam bentuk revitalisasi lebih mengarah pada bentuk pengembangan. Pengembangan batik dapat dilihat dari berbagai sisi, diantaranya dari sisi bentuk motif,
teknis, filosofis, fungsi, nilai estetis, dan pemasarannya. Pengembangan ini bertujuan agar batik dapat berbicara/survive di kancah global. Pemberdayaan
dalam konteks pengembangan batik sebagaimana disinggung pada uraian
sebelumnya, telah banyak dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Berikut
ini beberapa contoh visual bentuk pemberdayaan batik yang telah dilakukan:
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

8

Batik untuk sepatu

Batik untuk jaket

Batik untuk lukisan

Batik untuk sandal

Batik untuk mobil

Batik untuk hand phone/HP

Batik untuk topeng

Tulisan ini hanya memberikan sedikit usulan terhadap pemberdayaan/pengembangan batik dari sisi bentuk dan fungsi batik berkaitan dengan media DKV.
C. Pendidikan Karakter
Jika kita setuju dengan tesis dari Samuel P.Huntington tentang Clash of
Civilization, maka yang akan kita hadapi dengan istilah globalisasi adalah
interaksi budaya global dengan sekat-sekat yang hampir tidak dapat membendungnya. Huntington menjadikan indentitas budaya dan peradaban sebagai
persoalan penting dalam kehidupan manusia yang kini telah mengalami globalisasi. (Huntington dalam Fajar, 2005: 170, dalam http://www.muniryusuf.
com/search/bagaimana-kurikulum-tentang-pendidikan-karakter). Dalam wacana
keindonesian, tesis Huntington ini perlu dicermati mengingat bahwa Indonesia
adalah negara kepulauan dengan keragaman budaya dan masyarakat yang
sangat kaya. Huntington menegaskan bahwa persoalan yang dihadapi adalah
terjadinya konflik di sepanjang garis pemisah budaya (culture fault lines). Dalam
kasus Indonesia sering muncul dalam istilah “konflik berbau SARA”. Setuju atau
tidak setuju dengan tesis Huntington, kenyataan menunjukkan bahwa sebagian
tesis tesebut terbukti, dimana konflik-konflik horisontal sering muncul karena
adanya diferensiasi budaya, sejarah dan bahkan agama. Khusus yang terakhir,
Huntington percaya bahwa agama telah menimbulkan konflik selama berabadMendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

9

abad (Fajar, 2005 dalam http://www.muniryusuf.com/search/bagaimana-kuriku
lum-tentang-pendidikan-karakter). Masalahnya kemudian adalah bahwa arus
utama globalisasi terkait sangat erat dengan budaya dan masyarakat. Lalu apa
yang harus dilakukan oleh bangsa ini?
Persoalan real yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah bagaimana
membentuk karakter bangsa (Nation Character Building) yang kaya akan nilainilai kearifan lokal dan tradisional berhadapan dengan pusaran arus globalisasi yang demikian mengancam. Bagaimanapun juga khazanah keragaman budaya dan heterogenitas masyarakat Indonesia, di satu sisi merupakan keistimewaan namun di sisi lain menimbulkan kekhawatiran. Dalam diskursus pendidikan, hal tersebut harus dibahas, dan tidak dapat diabaikan begitu saja.
Oleh karena itu, salah satu upaya penyiapan kekayaan batin peserta didik
yang berdimensi agama, sosial, budaya, yang mampu diwujudkan dalam bentuk budi pekerti, baik dalam perbuatan, perkataan, pikiran, sikap, perasaan, dan
kepribadian, maka pemerintah memasukkan pendidikan budaya dan karakter
bangsa melalui penguatan kurikulum, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga
perguruan tinggi, sebagai bagian dari penguatan sistem pendidikan nasional.
Namun, pendidikan budaya dan karakter bangsa itu tidak dibuat dalam bentuk
mata pelajaran tersendiri. Artinya, tidak ada tambahan mata pelajaran, tetapi
cukup dengan memberikan penguatan pada masing-masing mata pelajaran
yang selama ini dinilai sudah mulai kendur. Mendiknas (Muhammad Nuh) ketika
membuka sarasehan “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa” di Jakarta (Kamis, 14-1-2010), menganalogikan pendidikan budaya
dan karakter bangsa sebagai zat oksigen yang menjadi bagian dari manusia
hidup. Manusia tidak akan hidup tanpa oksigen. Begitu juga dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa, kita seakan mati jika tidak berlaku sesuai
dengan budaya dan karakter bangsa. Karakter dan budaya bangsa itu begitu
melekat dalam diri seseorang. Jadi, pendidikan karakter dan budaya di sekolah
harus dilakukan secara holistik (admin, 2010).
Tujuan pendidikan karakter adalah: (1) mendorong kebiasaan dan
perilaku yang terpuji sejalan dengan nilai-nilai universal, tradisi budaya,
kesepaatan sosial dan religiositas agama; (2) menanamkan jiwa kepemimpinan
yang bertanggung jawab sebagai penerus bangsa; (3) memupuk ketegaran dan
kepekaan mental peserta didik terhadap situasi sekitarnya, sehingga tidak
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

10

terjerumus ke dalam perilaku yang menyimpang, baik secara individu maupun
social; (4) meningkatkan kemampuan menghindari sifat tercela yang dapat
merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan; dan (5) agar siswa memahami
dan menghayati nilai-nilai yang relevan bagi pertumbuhan dan pengahargaan
harkat dan martabat manusia. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan
karakter adalah: (1) nilai keutamaan; (2) nilai kerja; (3) nilai cinta tanah air
(patriotisme); (4) nilai demokrasi; (5) nilai kesatuan; (6) menghidupi nilai moral;
(7) nilai-nilai kemanusiaan, dan lain-lain (http://niamw.wordpress.com/2010/03/
20/perencanaan-kurikulum-pendidikan-karakter/#sdfootnote3anc).
Dr Anita Lie (pengamat pendidikan dari KID Jakarta) berpendapat bahwa
setelah dicanangkannya pendidikan karakter di sekolah, ternyata selama ini pelaksanaannya kebanyakan hanya berbentuk konseling oleh guru Bimbingan
dan Penyuluhan (BP), belum menyentuh secara optimal dalam kurikulum. Hal
tersebut tidak bisa dipungkiri, karena guru BP memang tidak bisa meraih
semuanya sehari-hari di sekolah. Biasanya guru BP kalau ada masalah datang,
kalau tidak ada masalah, ya tidak datang. Selain itu, tidak jarang keberadaan
guru BP dirangkap oleh guru mata pelajaran. Akibatnya konsep pendidikan karakter sampai sejauh ini tidak pernah optimal. Mayoritas guru belum punya kemauan untuk melakukan itu. Kesadaran sudah ada, hanya saja belum menjadi
sebuah aksi nyata (http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/15/14150236/Mayoritas.Guru.Belum.Terapkan.Pendidikan.Karakter).
D. Mendesain Karakter Berbatik
1. Pengertian Desain Karakter
Kata karakter barangkali sudah sangat akrab di telinga banyak orang,
tetapi dimungkinkan bahwa tiap orang akan memberikan pengertian berbeda.
Pengertian karakter bagi orang IT akan disamakan dengan huruf atau tanda
baca yang bisa diketikkan di komputer, namun bagi kaum humanis dan budayawan barangkali karakter akan diartikan sebagai ciri/watak manusia atau ciri
khas budaya. Dalam DKV (Desain Komunikasi Visual) khususnya dalam perancangan animasi, biasanya dihubungkan dengan istilah desain karakter.
Desain karakter dalam DKV adalah perancangan bentuk dan watak tokoh komik (ilustrasi), game, film animasi, dll. utamanya dibuat secara visual dan dilengkapi dengan deskripsi verbal, baik tokoh antagonis, protagonis, maupun tokoh netral, tokoh/peran utama maupun tokoh/peran pembantu. Deskripsi verMendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

11

bal/tertulis biasanya berisi: (1) nama tokoh; (2) jenis kelamin; (3) umur; (4) tinggi tubuh; (5) ciri fisik; (6) ciri psikis/watak psikologis; (7) asesoris; (8) kostum;
(9) peralatan, dan lain-lain.
2. Aspek-Aspek yang Dipertimbangkan dalam Desain Karakter
Desain karakter yang menjadi fokus pembahasan ini lebih cenderung
pada produk DKV, dalam hal ini perancangan grafis pada multimedia. Karya
multimedia dalam perancangannya biasanya mempertimbangkan 3 aspek
(trikotomi) perancangan diantaranya: (1) aspek Isi (Content); (2) aspek Software/Aplikasi Program/RPL (Rekayasa Perangkat Lunak); dan (3) aspek
Estetika/Komunikasi Visual (Harto, 2008: 1-7)
Aspek Estetika/Komunikasi Visual dalam perancangan desain karakter,
dapat ditampilkan dengan berbagai sudut pandang atau angle yakni: de face
(tampak depan), de profile (tampak samping), de trois quart (tampak ¾) dan
angle-angle lainnya. Semakin lengkap maka semakin bagus. Selain itu desain
karakter tersebut sebaiknya dibuat tampak sedang beraksi (in action). Jika
perlu tambahkan latar belakang atau property yang sesuai. Masing-masing
angle dalam tampilan akan membawa pesan/isi (content) yang berbeda.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain karakter: (1)
desain karakter biasanya menampilkan tokoh/figur manusia, binatang, tumbuhan, atau benda pakai yang penampilkan secara visual watak tokoh/figur tersebut apakah: tinggi, rendah, kekar, gemuk, kurus, bongkok, berkaki pincang,
bermata satu dan ciri fisik lainnya. Pertimbangan ini lebih mengarah pada aspek Estetika/Komunikasi Visual dan aspek isi (content); (2) tokoh tersebut
dilengkapi dengan: costum, accessories, equipment, dan lain sebagainya dalam bentuk full body (http://sayembara.dagraphic.com/index.php?modul=faq). Pertimbangan ini lebih mengarah pada paduan aspek Estetika/Komunikasi Visual dan aspek isi (content); (3) selain nampak secara visual ciri fisiknya, tokoh/
figur tersebut juga harus terdiskripsikan ciri psikis/wataknya secara verbal/tertulis. Pertimbangan ini lebih mengarah pada aspek aspek isi (content); (4)
gaya gambar/karakter, apakah dekoratif, naturalistik, kartunal, distorsif, simple,
dan lain-lain. Pertimbangan ini lebih mengarah pada aspek Estetika/Komunikasi Visual; (5) dengan ciri-ciri fisik dan psikis tersebut perjelas/perkuat karakternya secara visual apakah tokoh tersebut laki atau perempuan, peramah
atau pemarah, antagonis, protagonis, atau netral, dan lain-lain. Pertimbangan
ini merupakan paduan antara aspek Estetika/Komunikasi Visual dan aspek
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

12

isi (content); (6) selain berdasarkan bentuk visual, ciri fisik dan psikis tersebut
perjelas/perkuat karakternya dengan pilihan-pilihan warna (http://blog.antownholic.com/chara-design-untuk-animasi-e-learning/). Pertimbangan ini merupakan pa-

duan antara aspek Estetika/Komunikasi Visual dan aspek isi (content).

Secara teknis (aspek Software/Aplikasi Program/RPL/Rekayasa Perangkat Lunak) desain karakter dapat berupa gambar manual hand-drawn,
computer illustration, 2D modeling, 3D modeling, atau kombinasi, dan
lain-lain. Selain dengan cara manual (manual hand-drawn), software yang biasa digunakan untuk merancang model/desain karakter diantaranya: (1) desain karakter 2D, diantaranya: Macromedia/Adobe Flash, Adobe Photoshop,
Adobe Illustrator, Corel Draw, Corel Photo Paint, Corel Rave, Macromedia
Freehand, Moho, Toon Boom, Swish, dll; (2) desain karakter 3D, diantaranya
adalah hampir semua software yang digunakan untuk merancang model/desain karakter 2D ditambah dengan software yang khusus untuk 3D diantaranya:
3DS Max, Poser, Swift, Corel Rave, Blender, dan lain-lain. Desain karakter
adalah konsep dasar dalam penuangan ide komik, game, animasi, dan karya
multimedia lainnya. Oleh karena itu desain karakter agar memiliki kekuatan hukum dan juga mencontoh kebiasaan industri kreatif di Barat, maka desain karakter wajib di daftarkan hak ciptanya (diadaptasi dari http://textandpictstudio.
blogspot.com/2005/08/buku-peliput-komik.html).
Desain karakter adalah tahapan yang harus dilakukan jika hendak membuat/memproduksi komik, game, animasi, dan karya multimedia naratif lainnya
(diadaptasi dari http://blog.antownholic.com/chara-design-untuk-animasi-e-learning/).
Tahapan mendesain karakter harus dilakukan setelah naskah cerita komik, game, atau film animasi dibuat. Berdasarkan naskah tersebut maka dapat diketahui berapa jumlah tokoh utama, jumlah tokoh pembantu, watak/karakteristik
fisik, psikis dan kemungkinan ciri-ciri bentuk visualnya.
3. Desain Karakter Berbatik pada Cerita (Naratif)
1) Ideologi dalam Cerita (Naratif)
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

13

Ideologi adalah adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar
tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak
menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk
menyebarkannya. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy
pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Tujuan
utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses
pemikiran normatif (disarikan dari http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi).
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa tawaran pada tulisan
ini adalah cerita naratif yang akan diangkat menjadi ide visual dalam bentuk
komik, game, multimedia interaktif, animasi, desain web dan produk DKV
naratif lainnya. Produk-produk multimedia ini memiliki content/isi. Content/
isi produk multimedia ada yang hanya bersifat mengandalkan alur cerita
saja, namun ada pula yang bersifat ideologis. Ideologi bisa bersifat positif
bisa juga bersifat negatif. Content/isi produk multimedia yang diharapkan/ditawarkan adalah bersifat positif. Artinya, produk multimedia yang membawa
ideologi/pesan filosofis yang terdapat pemikiran/mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan, dan menawarkan perubahan dalam kehidupan
melalui pemikiran normatif. Pemikiran normatif tentunya mengandung nilai
kebenaran, kebersamaan, kedamaian, kesejahteraan, dan hal-hal positif lainnya dalam kehidupan. Singkatnya, content/isi produk multimedia yang ditawarkan membawa pesan edukatif/mendidik, yang mengakibatkan perubahan positif dalam kehidupan sesuai norma yang ada.
Sebuah keuntungan besar bagi Indonesia karena mendapat warisan
budaya dunia berupa batik. Karena, batik diturunkan oleh nenek moyang
terdahulu membawa makna filosofi hidup sangat tinggi. Sebagaimana telah
disinggung pada uraian sebelumnya, bahwa batik selain estetis sekaligus
filosofis. Sehingga makna filosofi batik dapat dipandang sebagai ideologi
budaya yang membawa pemikiran normatif bagi kehidupan, jadi bukan
hanya sekedar mengandung nilai estetis secara visual.
Berdasarkan uraian ini maka batik dan produk multimedia yang ditawarkan, dapat membawa pesan-pesan multimedia yang mengandung makna
filosofi normatif yang berguna dalam kehidupan. Karena memiliki pesan filosofis yang sama, maka dalam sebuah perancangan produk DKV, keduanya
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

14

secara metodologis dapat dikolaborasikan secara mutualistik. Berikut ini
beberapa kemungkinan kolaborasi antara filosofi batik dan teknik multimedia
yang dapat dikembangkan menjadi desain karakter yang apik dan mendidik.

2) Pengembangan desain karakter berbatik pada ilustrasi komik
Awam menyebut komik sebagai cerita bergambar (cergam). Secara
Etimologis kata komik berasal dari Bahasa Perancis comique, kata comique
berasal dari Bahasa Yunani K mikos dari K mos ‘revel’ dengan kata
dasar kosmos, yang muncul sekitar abad ke 16 yang artinya “bersukaria”,
“bercanda”, "terkait dengan komedi", “lucu” atau “menggelikan” (Ensiklopedi
Indonesia, 1983: 1938; Gumelar, 2007). Dalam Bahasa Belanda, komik
berasal dari kata komiek yang artinya pelawak. Di sisi lain komik dalam
bahasa Inggeris disebut comics artinya “cerita bergambar”, “lucu” (Echols
dan Shadily, 1994: 120). Pada awalnya komik memang ditujukan untuk
membuat gambar-gambar yang bertema kelucuan. Namun dalam perkembangannya, sudah tidak bertema kelucuan lagi, tetapi lebih meluas ke tema
lainnya mulai dari aksi, horror, fiksi ilmiah, dan lain-lain.
Pada perkembangan berikutnya komik dibagi menjadi 3 jenis yaitu
comic-strip (komik strip), comic books (biasanya disebut komik), dan Graphic Novels. Pada awalnya komik justru dimulai dari Comic Strip ada di beberapa majalah atau koran-koran dimasa lalu, dan seiring dengan perkembangannya, maka komik tidak lagi dibuat secara Comic Strip (Gumelar, 2007;
Bonneff, 1998: 9 dalam Sikumbang, 2008:192; http://digilib.petra.ac.id/viewer.
php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high&fname=/jiunkpe/s1/jdkv/2002/jiu
nkpe-ns-s1-2002-42498058-863-postmodern-chapter2.pdf). Pada abad 19 komik

dikembangkan oleh seorang seniman Swis yang bernama Rodolphe Töpffer. Perkembangan berikutnya dari sisi media, komik yang dulunya dibuat
untuk media kertas kini mulai merambah pula ke dunia internet hingga disebut dengan webcomic, e-comic, mobile comic, atau format elektronik lainnya (Gumelar, 2007). Dari sisi teknis, paling tidak ada 3 cara perkembangan teknis dalam membuat komik, yaitu dari cara tradisional, digital, dan
akhirnya hybrid/gabungan. Tentunya perkembangan komik pada sisi yang
lain masih banyak, dan tidak diuraikan pada ruang yang terbatas ini.
Berikut ini contoh visual tawaran pengembangan komik yang berbasis
motif dan filosofi batik agar menjadi tatanan yang apik/estetis dan mendidik.
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

15

Pengembangan komik pada desain karakter komik, dapat merubah karakter tokoh yang semula ‘ala Barat’ men-

jadi lebih membumi sesuai budaya Indonesia. Motif batik dapat diterakan pada kulit wajah, tangan, dan kaki, ser-

ta baju, asesoris, alat-alat, dan perlengkapan lainnya.
Desain karakter diberi nama sesuai dengan nama motif batiknya, dimungkinkan pula background dan foreground juga bisa diterakan motif
batik, dengan pilihan motif sesuai dengan content ceritanya. Karakteristik keindonesiaan dikuatkan pula oleh filosofi batik yang diterakan,
diadaptasi menjadi watak dan content cerita komik itu.
Tentunya filosofi batik yang dipilih adalah yang mengandung pendidikan yang bermanfaat bagi pembaca.
3) Pengembangan desain karakter berbatik pada CD Interaktif
Dengan teknik digital yang sama dengan pengembangan desain karakter pada komik, maka
pada CD Interaktif pun dapat dilakukan perancangan karakter. Karakter yang didesain didasari
oleh konsep/ideologi CD Interaktif, tentunya dipi-

lih content yang naratif/bercerita, misalnya pada MPI (Multimedia Pembelajaran Interaktif), CD tutorial, CD Company Profile, dan lain-lain.
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

16

4) Pengembangan desain karakter berbatik pada game multimedia
Game multimedia yang baik biasanya mengikuti naskah yang telah dibuat, misalnya game Aladin, yang pada akhir ceritanya harus bertemu dengan putri Yasmin sebagai puncak kemenangan dari pemain game tersebut. Selain ada naskah/cerita naratif juga memiliki desain karakter yang
khas. Untuk karakteristik Indonesia dengan semangat yang sama pada perancangan desain karakter pada komik yang telah dicontohkan sebelumnya, maka berikut ini dicontohkan secara visual desain karakter tersebut.

Contoh tersebut adalah desain karakter dari situs game “nusantara
online”, yang berisi game online 3D dengan karakter cerita tentang
kerajaan-kerajaan nusantara, misalnya Majapahit. Selain berkonten cerita
nusantara, game ini akan semakin kuat karakternya apabila mengangkat
batik sebagai ciri dalam desain karakternya, sekaligus memasukkan makna
filosofi batik sesuai kontek ceritanya. Jadi, masih bisa dikembangkan.
5) Pengembangan desain karakter berbatik pada film animasi
Cerita dalam film animasi biasanya bersifat naratif. Pada karya tradisi
(misalnya cerita pada relief candi/sastra klasik), desain karakter yang
diciptakan cenderung mendasarkan identifikasi tokohnya melalui ciri-ciri aseMendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

17

soris yang dikenakan, bukan pada ciri khas wajah tokohnya. Dengan demikian
sifat naratif pada cerita biasanya terefleksikan pula pada asesoris tokohnya.
Asesoris pada wayang dan cerita relief biasanya terlihat pada mahkota, klat
bahu, sumping, jamang, upawita, urna, gelang tangan, gelang kaki, sampur,
dodot, uncal, badong, prabha, gelung, kalung dan sebagainya. Berdasarkan
kenyataan ini maka desain karakter yang ditawarkan sebagai solusi adalah
menggantikan peran asesoris dengan berbagai motif batik yang berkembang di
nusantara ini. Sehingga tokoh dalam film animasi ini akan mengenakan asesoris
bermotif batik tertentu. Dengan demikian kearifan lokal batik dapat teraplikasikan
pada desain karakter film animasi yang direncanakan (Harto, 2010: 146-147).
Selain itu penerapan motif batik, dimungkinkan dapat diterakan pada kulit tokoh film animasi tersebut. Sehingga seakan desain karakter tersebut seperti bertato motif batik. Tentunya peran warna pada tiap-tiap karakter sangat menentukan tampilan visualisasinya. Di sisi
lain dengan teraplikasikannya motif batik pada kulit tokoh
dan asesoris tokoh, akan semakin memudahkan untuk
memberikan watak tokoh tersebut sesuai dengan jenis
motif batik yang terterakan. Sehingga tiap-tiap karakter tokoh harus menggambarkan ciri motif batik tertentu sebagai nama dan sifat/wataknya, misalnya: Si Kawung dengan
watak yang mudah ‘kawung’ dengan temannya. Dengan
kata lain, desainer bisa memberikan muatan makna filosofi
(sebagai content animasi) pada tiap tokoh yang akan dianimasikan. Selain didasarkan

atas

motif

batiknya, watak tokoh juga dimungkinkan didasarkan atas
warna motif batik
yang diaplikasikannya
(Harto, 2010: 147).

6) Pengembangan desain karakter berbatik pada desain web
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

18

Perancangan web/desain web pada dasarnya juga mempertimbangkan 3
aspek (trikotomi perancangan) sebagaimana diuraikan sebelumnya. Pada aspek content, desainer dapat memberikan muatan filosofi batik pada desain
karakter yang mungkin ada pada web tersebut. Selain aspek content tentunya aspek Estetika sangat berpeluang besar untuk menampung ideologi batik
sebagai tampilan visual desain karakternya
(berikut contoh penerapan motif batik kertas tempel pada desain karakter web).

7) Pengembangan desain karakter berbatik pada Cover Majalah
Contoh cover majalah
berikut diambil dari sebuah
event “1001 Inspiration Design Festival 2008” atau dikenal dengan “lomba 1001
Cover Concept” yang diadakan oleh Majalah Concept. Lomba ini bertema
“1001 Indie Smile/senyum
Indonesia” yang diadakan
sekitar

bulan

Maret-April

2008. Pemenangnya adalah Daud Budi, ia sangat
cerdas memilih konsep berkarya (media dan content),
yaitu memilih batik sebagai
motif untuk mengangkat dongeng/cerita rakyat “Timun
Emas”. Semua bidang dipe-

nuhi dengan motif batik. Ketika desain grafis saat itu sedang trend dengan
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

19

ruang kosongnya, tampaknya desainer cover ini berani mengambil ciri
yang berbeda dengan trend pasar tersebut. Karakter Buto Ijo dan Timun
Emas dibuat dengan tekstur batik, demikian pula backgroundnya.
E. Pesan Pendidikan Karakter pada Desain Karakter Berbatik
Berdasasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pesan utama dari pendidikan karakter adalah pembentukan manusia Indonesia seutuhnya/MIS (meminjam istilah Orba). Pendidikan karakter ini diharapkan
dapat mengembangkan potensi yang ada pada diri manusia secara optimal, adanya keseimbangan otak kiri dan otak kanan dan menempatkan kedudukan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam istilah populer sekarang,
diharapkan manusia berkembang ESQ-nya (Emosional Spritual Quetient). ESQ
adalah istilah yang berasal dari Indonesia, diperkenalkan oleh Ary Ginanjar Agustian. Menurut Agustian, ESQ merupakan satu konsep yang terintegrasi/penggabungan antara kecerdasan intelektual (IQ = Intellegence Quotient), kecerdasan emosional (EQ = Emotional Quotient), dan kecerdasan spritual (SQ = Spiritual Quotient). (http://gempakz.forumotion.com/t621-program-esq-adalah-haram).
Pesan pendidikan karakter ini dimungkinkan dapat tersampaikan kepada
manusia (dalam DKV dianalogikan sebagai khalayak sasaran) apabila desainer
memahami pesannya dan dapat mengolah menjadi pesan visual. Pesan visual
terutama ‘ditipkan’ pada filosofi batik yang memiliki makna pada tiap jenis motifnya. Jenis motif batik yang memiliki filosofi ini, dalam proses penciptaan karya
DKV akan bergabung dengan cerita naratif yang juga memiliki filosofi. Cerita naratif dimiliki oleh beberapa produk DKV seperti komik, animasi, game multimedia,
dan lain-lain. Sehingga dalam kasus ini, proses pengolahan pesan pendidikan karakter, filosofi motif batik, dan cerita naratif bersimbiosis-simulacrom, dikemas
menjadi desain karakter pada media/produk-produk DKV. Sehingga dapat diterapkan pada media/produk-produk DKV dan akan menghasilkan desain karakter
berbatik pada: ilustrasi komik, CD interaktif, game multimedia, film animasi, desain web, desain cover majalah, dan lain-lain.
III. PENUTUP: Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa goal akhir dari pembentukan karakter bangsa adalah menciptakan MIS. Pada kasus ini, perancangan karakter
atau desain karakter yang diciptakan memiliki tujuan khusus, diantara banyak tujuan pada pendidikan karakter, yaitu khusus pada upaya mewujudkan karakter
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

20

budaya bangsa yang dapat diperhitungkan dalam percaturan global. Tentunya dalam proses penciptaan ini tidak lupa mempertimbangkan tujuan-tujuan lain dalam
pendidikan karakter (mengandung muatan ESQ). Batik yang banyak memiliki bentuk motif dan filosofi serta sebagai warisan budaya dunia diharapkan bisa memunculkan desain karakter yang khas milik Indonesia, sehingga diakui dunia. Jika keunggulan ini ditambah dengan muatan cerita dalam produk DKV naratif (komik,
animasi, game multimedia, dll.) yang juga memiliki filosofi tinggi, tentunya menjadi
harapan besar bahwa desain karakter yang diciptakan akan menjadi produk budaya yang apik/estetis sekaligus mendidik. Harus dicatat, bahwa pembentukan
karakter bangsa dan pembentukan karakter budaya bangsa yang apik dan mendidik bukanlah semudah membalikkan telapak tangan dan juga bukan proses ‘cetak foto kilat’ tetapi perlu proses dan merupakan investasi jangka panjang. Generasi berikutnyalah barangkali yang bisa menuai dan menikmati investasi ini, diantaranya investasi yang berupa (1) industri desain grafis dan multimedia yang apik
dan medidik; (2) perubahan watak dan sikap mental generasi berikutnya menuju
sikap positif. Apalagi jika nantinya tampilan produk DKV dapat menerapkan bahasa rupa tradisi (versi Tabrani/lihat Tabrani, 1991, 2005), dimungkinkan akan menghasilkan budaya bangsa yang khas dan semakin apik sekaligus mendidik.

DAFTAR PUSTAKA
Admin, 2010. Depdiknas Masukkan Pendidikan Karakter Bangsa dalam Kurikulum (dalam
WordPress di http://www.budayanilai.com/?p=67 diakses 20 Januari 2011 jam 21.30 WIB)
Anonim. 1975. Buku Petunjuk Batik. Balai Penelitian Baik dan Kerajinan Yogyakarta. Yogyakarta.
Echols, John Mc dan Hassan Shadily. 1994. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Gumelar, Michael. 2007. Comic Making Part 1 (diposting oleh ICArt / Indonesian Comic Artist,
pada tanggal 23 Januari 2008 dalam http://icart-iseeart.blogspot.com/2008/01/comicmaking-oleh-michael.html).
Hamzuri. 1981. Batik Klasik (Classical Batik). Djambatan. Jakarta.
Harto, Dwi Budi. 2008. Trikotomi dalam Perancangan Pembelajaran Multime-dia Interaktif
Bidang Seni (makalah pendamping dalam Seminar Nasional “Meraih Sukses Pembelajaran
dengan Optimalisasi Multimedia Interaktif”, tanggal 01 Maret 2008). Pasca Sarjana Udinus.
Semarang.
Harto, Dwi Budi. 2010. Fungsi Batik Masih Bisa Diothak-Athik: Sebuah Tawar-an Revitalisasi
Batik Untuk Film Animasi Khas Indonesia (makalah da-lam Proceeding Seminar Nasional
Batik ”Revitalisasi Batik Melalui Dunia Pendidikan, 18 Mei 2010). Jurusan Pendidikan Seni
Rupa FBS UNY bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Yogyakarta. Yogyakarta.
http://blog.antownholic.com/chara-design-untuk-animasi-e-learning/ diakses 8 Mei 2011 jam 20.21
WIB.
Mendesain Karakter Berbatik, Menuai Karakter Budaya Bangsa yang Apik dan Mendidik

21

http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit.x=0&submit.y=0&qual=high&fname=/jiunkpe/s
1/jdkv/2002/jiunkpe-ns-s1-2002-42498058-863-postmodern-chapter2.pdf diakses 9 Mei 2011
jam 19.21 WIB.
http://edukasi.kompas.com/read/2010/01/15/14150236/Mayoritas.Guru.Belum.Terapkan.Pendidika
n.Karakter diakses 3 Mei 2011 jam 20.43 WIB.
http://gempakz.forumotion.com/t621-program-esq-adalah-haram diakses 9-5- 2011 jam 22.21 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi diakses 6 Mei 2011 jam 22.11 WIB.
http://mencatat-sejarah-lewat-batik-Indonesia-Proud.html. diakses 4 Mei 2011 jam 20.35 WIB
http://niamw.wordpress.com/2010/03/20/perencanaan-kurikulum-pendidikankarakter/#sdfootnote3anc diakses 5 Mei 2011 jam 22.33 WIB
http://sayembara.dagraphic.com/index.php?modul=faq diakses 6 Mei 2011 jam 21.52 WIB
http://textandpictstudio.blogspot.com/2005/08/buku-peliput-komik.html diakses 9 Mei 2011 jam
22.22 WIB
http://www.muniryusuf.com/search/bagaim