HUBUNGAN INTERNASIONAL DALAM ISLAM SEJAR

MAKALAH
SEJARAH IMAMAH DAN KHILAFAH
DALAM ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah HI Dalam Islam

DISUSUN OLEH :
RISKIYAH (2012130025)
ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
BAB I
1

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya islam merupakan agama yang universal, yaitu tidak ada batasannya dalam
interraksi dengan alam semesta. Terutama manusia yang merupakan dari isi alam tersebut.
Keuniversalan dalam masalah agam ini (Islam) tidak menutupi pengaruhnya dalam pengaruh
segala aspek kehidupan, termasuk politik. Secara garis besar, politik adalah berkenaan dengan
kekuasaan, pengaruh kewenangan, pengaturan, dan ketertiban. Dalam hal ini, penulis ingin
menjelaskan tentang kekuasaan, kewenangan, dan ketertiban kedalam jiwa kepemimpinan dan

tetntunya kepemimpinan dalam islam.
Mengutip dari ulama Sunni, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya menjelaskan bahwa
mengangkat pemimpin itu wajib hukumnya, dan hal ini sebagaimana ada dalam hukum
pandangan islam berdasarkan ‘Ijma (konsensus) para sahabat Nabi Muhammad. Dari situlah para
sahabat segera memilih pemimpin sebagai pengganti Nabi Muhammad yaitu Abu bakar untuk
menjalankan kewenangan kekuasaan atas rakyatnya.1
Beranjak dari abad klasik, tengah sampai modern, islam selalu dituntut dalam mengatasi
berbagai hal yang berkaitan dengan manusia dan alam semesta, termasuk dalam kekuasaan
politik. Banyak tokoh-tokoh islam memunculkan pemikiran-pemikirannya guna memecahkan
persoalan yang membelit umat islam. Pengaruh pemikir politik, baik dari kalangan Syi’ah
maupun Sunni beragam dan terbatas. Meski ada banyak perbedaan, namun pada hakekatnya
mereka (Syi’ah dan Sunni) sama-sama memiliki tujuan yang sama yakni menjadikan manusia
yang memiliki hak dan martabat seutuhnya serta menyingkirkan dari penindasan dan

1 Dr.M.Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 2001. Hlm.125

2

ketidakadilan dalam Negara, khususnya mengenai syarat dan kriteria dalam kepemimpinan
Islam.

Mengenai hal tersebut, yang menjadi persoalan utama pada dasarnya terdapat dalam
perbedaan siapa pemimpin pengganti Nabi Muhammad yang berhak berkuasa setelah wafatnya
beliau. Pertama, muncul pendapat dari kalangan Islam Sunni, yang mengatakan bahwa didalam
masalah kekhalifahan haruslah bersandar kepada konsep Syura (musyawarah). Sehingga mereka
meyakini bahwa pemilihan pemimpin haruslah berdasarkan musyawarah. Oleh karena itu,
Kalangan Sunni mensahkan kepemimpinan Abu Bakar melalui musyawarah di Bani Saqifah
Sa’idah.2 Sedangkan pandangan Kedua kalangan Syi’ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib
lah yang berhak mendapatkan gelar sebagai pemimpin (Imamah) setelah wafatnya Nabi
Muhammad sebagai penerus kekuasaan melaui wasiat Allah SWT. Akan tetapi, hal tersebut
muncul pertentangan dari kalangan Islam Sunni dengan mengatakan bahwa penunjukan atau
wasiat Nabi Muhammad terhadap Ali bin Abi Thalib untuk menjadi pemimpin sepeninggalan
Nabi dalam peristiwa Ghadir Khum itu tidak ada.
Bermula dari masalah tersebut memnculkan pertentangan diantara Islam sunni dan Islam
Syi’ah, dimana keduanya berpeda pandangan siapa yang sah menjadi penerus setelah wafatnya
Nabi Muhammad. Berangkat dari maasalah itu penulis mencoba ingin mencari latar belakang
terbentuknya sistim Imamah dan khilafah dalam kepemimpinan Islam.

2 Ibid, hlm.82

3


B. POKOK PERMASALAHAN
Pada hakikatnya, wacana politik islam khususnya perihal kekuasaan atas rakyat, sejatinya
telah banyak dipengaruhi sejarah yang panjang, dari ketidakcocokan dalam masalah Teologis
antara Syi’ah (Imamah) dan Sunni (khilafah). Dengan kata lain, baik Sunni maupun Syi’ah
mengklaim bahwa cara-cara mereka adalah yang terbaik. Dengan demikian, berangkat dari
seluruh uraian pada latar belakang dan pokok permasalahan tersebut, maka dapat dirinci masalah
khusus sebagai berikut :
1. Bagaimana terbentuknya sistim Imamah dan Khilafah dalam Islam?
C. KERANGKA TEORI
TEORI KEPEMIMPINAN ISLAM
Pada hekekatnya teori kepemimpinan atau kekuasaan dalam islam memiliki dua konsepsi
yang berbeda. Pertama, konsepsi kepemimpinan Imamah (kepemimpinan menurut syi’ah
khususnya syi’ah imamiyah). Kedua, konsepsi kepemimpinan khalifah (kepemimpinan menurut
sunni). Walaupun memiliki perbedaan dalam pemahamanya, namun keduanya (imamah dan
khalifah) sama-sama mengakui pentingnya suatu golongan atau umat dalam mengangkat
pemimpinya, baik itu mengurusi kepentingan agama maupun Negara meskipun dengan metode
pengangkatan atau pemilihan yang berbeda. Berikut adalah penjelasan teori-teori tersebut :
1). Teori Imamah
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata imam. Kata imam sendiri berasal

dari kata “amma” yang berarti “menjadi ikutan”. Kata imam berarti “pemimpin atau contoh
yang harus diikuti, atau yang mendahului”. Orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan
4

untuk diteladani sebagai contoh dan ikutan. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab
urusan umat.3
Sedangkan Imamah menurut bahasa ialah kepemimpinan. Dan setiap orang yang
menduduki kepemimpinan ataupun pemerintahan islami dinamakan imam. Hal serupa dikatakan
oleh Ahmed Vaezi, bahwa teori Imamah atau Imam merupakan sebuah unsur penting dari doktrin
politik Syi’ah.
Beliau menjelaskan;
“Status politik dari para imam adalah bagian yang esensial dalam mazhab Syi’ah
Imamiah. Mereka dionggap sebagai penerus yang sah dari Nabi Muhammad SAW yang
mulia, dan mereka yang mendukung islam perspektif ini percaya bahwa setiap penerus
harus ditunjuk Allah SWT oleh Nabi-Nya. Akan tetapi terdapat mereka yang mereduksi
imamiah sebagai sikap politik, sebuah kelompok yang mendukung Khalifah Ali Bin Abi
Thalib As, dan keluarganya sebagai penerus-penerus yang sah dari Rasulullah Saw yang
mulia.
Tetapi otoritas politik para Imam tidak mengandung arti bahwa peran dan serta mereka
terbatas pada pemerintahn ataupun kepemimpinan. Bagi para pengikut, mereka

mempresentasikan tingkat tertinggi dari kesalehan dan mereka mempunyai kualitas yang
sama seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw.4
Menurut Ulama besar fiqih Syafi’i, Abu Hasan Al-Mawardi mengatakan, bahwa;
“Keimamahan diletakkan untuk menggantikan posisi kenabian dalam memelihara agama dan
pokitik keduniaan”.5 Dalam perkara tersebut perlu adanya seorang khalifah atau pengganti Rasul.
Sedangkan tugas seorang Imam adalah “menjaga dan memelihara agama” yakni menjaga,
memelihara, dan membela agama, bukan menjelasakan atau mengadakan dalam pergantian
dalam agama.

3 Ibid, hlm. 74
4 Ahmad vaaezi, op.chit. hlm.68
5 Abu Hasan al mawardi, Op.chit. hlm.85

5

Sedangkan menurut ulama Syi’ah, Murtadha Murthahari mengatakan bahwa :
“Seorang Imam adalah seorang Marja’ (tempat merujuk) dalam menyelesaikan berbagai
perselisihan yang sebenarnya perselisihan itu bersumber dari Ulama itu sendiri. Dan
dapat menyelesaikan bahwa dalam berbagai riwayat Syi’ah yang berbunyi “Imam laksana
Ka’bah” imam itu seperti Ka’bah, Ka’bah tidak menuju umat melaikan umat yang

menuju Ka’bah.6
Pemahaman serupa juga datang dari seorang pemikir barat, Anthony Black, yang
menggambarkan pengertian Imam sebagai berikut :
“Kedua belas Imam berdiri, dan diatas segalanya Imam yang Kedua belas Imam yang
sekarang dianggap ghaib. Dianggap begitu penting bagi konstitusi jagat dan agama yang
benar. Imam adalah hujjah Tuhan, dia adalah pilar dari jagat raya, ‘Pintu gerbang yang
harus dilalui untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Pengetahun mengenal Wahyu Illahi
tergantung padanya".7
Dari pengertian ‘Imam atau Imamah’ diatas setidaknya memberikan penjelasan bahwa
Imam haruslah mengetahui hukum dan undang-undang agama. Seorang Imam harus mengetahui
setiap persoalan yang harus ditingkatkan kepemimpinanya sehingga hukum dan agama yang ada
disisinya tetap ada dan efektif dalam memberikan petunjuk dan mengelola masyarakat. Sehingga
jalan yang utama lurus dan menuju kebahagiaan, dapat ditempuh masyarakat.
2). Teori Khalifah
Meskipun ada kesepakatan umum diantara ketidaksepakatan (Syi’ah dan Sunni), ahli
fiqih Sunni secara tradisional mendukung sebuah teori pemerintahan yang spesifik yang dikenal
dengan Khilafah. Sebuah doktrin, baik sebagai teori politik maupun sebagai realitas historis yang
signifikan. Teori tersebut telah mendominasi pemikiran islam untuk waktu yang cukup lama.

6 Murthada murthahari, op.chit. hlm.65

7 Anthony Black.’Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi Hingga Masa Kini’.Jakarta: Serambi, 2001, hlm.41

6

Dalam kajian teori ini, adalah penting untung membedakan antara Konsep Khilafah dan Konsep
Imamah.
Para ulama fiqih Sunni umumnya menganggap bahwa Khalifah sebagai penguasa yang
yang sah yang memerintah dan mengatur rakyatnya. Penunjukanya tergantung pada kualitaskualitas spesifik yang harus dimiliki, seorang penguasa, akan tetapi tidak ada kesepakatan
universal tentag karakteristik-karakteristiknya.
Anthony Black berpendapat bahwa “Khalifah secara ilahiah (divinely) telah diberi
utoritas baik untuk urusan politik maupun agama”. 8 Untuk menguatkan pendapat tersebut,
Anthony Black meyakini bahwa Khalifah juga memiliki otoritas baik untuk urusan politik
maupun agama.
Seorang ilmuwan barat Montgomery Watt, juga berpendapat bahwa :
“khalifah secara esensial berarti penerus atau seseorang pemegang posisi yang
sebelumnya dipegang oleh orang lain. Akan tetapi konteks ini tidak terbatas pada politik
saja. Jadi, seorang khalifah (chaliph) bukan saja penerus dari pemerintahan terdahulu,
tetapi bisa juga seseorang yang definitive ditunjuk sebgai wakil dan diberi otoritas oleh
orang yang telah mennjukanya. Atau lebih kurang sma artinya dengan wakil, atau naib
(vicegerent).9


BAB II
8. Anthony Black.’Pemikiran Politik Islam: dari Masa Nabi Hingga Masa Kini’.Jakarta: Serambi, 2001, hlm.87
9 Montgomry Watt.op.chit.hlm.32 dikutip dari buku Ahmad vaezi.

7

PEMBAHASAN
2.1. Sejarah Munculnya Politik Islam Syi’ah
Bagi kalangan Syi’ah guna menjaga dari kesucian dan kemurnian Al-Qur’an serta
upayanya dalam menjaga petunjuk Tuhan, terhadap semsta alam ini, maka Nabi Muhammad
tidak diutus sendirian ke dunia ini. Jikalau Nabi Harun diutuskan oleh Nabi Musa untuk
membantu dan menggantikan Nabi Musa, maka sepupu Nabi Muhammad, Ali Bin Abi Thalib
diberikan oleh Nabi Muhammad untuk menjadi wakil dan penerus Nabi Muhammad. 10 Dari
situlah awal garis silsilah para pemimipin yang diyakini sebagai keselamatan untuk kalangan
Islam Syi’ah khususnya, dan umat islam umumnya.
Menurut bahasa, Syi’ah berasal dari kata Sya’a yang brarti pengikut atau pendukung.
Sedangkan secara terminology, syi’ah pada umumnya merupakan setiap orang yag setia kepada
Ali Bin Abi Thalib dan Ahlulbait (keluarga nabi). Bentuk jamaknya adalah assya’ dan syiya’,
yang disebut Syi’ah.

Kalangan Islam Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berawal dari massalah
pengganti (Khalifah) Nabi Muhammad. Mereka menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan
Utsman, karena hanya Ali Bin Abi Thalib lah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad.
Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama haus merujuk kepadanya
serta mengajak masyarakat untuk mengikutinya. Meereka berpandangan seperti itu karena
berdasarka bukti utama atas sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khum.
2.2. Sejarah Munculnya Politik Islam Sunni

10 ‘husain the saviuour of islam’. Terj. Ilyas Hasan. Jakarta:lentera,2001. Hlm. 81

8

Pada umumnya Sunni adalah nama bagi kelompok muslim pendukung Sunnah. Sunnah
sendiri merupakan jejak yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad dan Khulafaur ar-rasyidin.
Selanjutnya yang disebut dengan Ahlussunah berarti pengikut atau penganut Nabi Muhammad
dan Jemaah berarti sahabat Nabi. Jadi, Ahlussunnah wal-Jama’ah mengandung Sunnah Nabi
dan para sahabat Nabi Muhammad.11
Pada dasarnya, terbentuknya institusi ini lahir sejak kepemimpinan Abu bakar. Terlepas
dari golongan Syi’ah Ali, adanya sikap penentangan yang menolak terhadap pembantaian Abu
Bakar sebagai pemimpin. Penentangan tersebut sebagaimana yang dilakukn oleh Sa’ad bin

Ubadah dan kelompoknya yang merupakan kandidat pemimpn paska wafat Nabi dari golongan
Anshar di saqifah bani Sa’adah.
Pada periode Umar, jamaah tidak menghadapi problem. Namun, pada saat kepemimpinan
Utsman, Umat islam mengalami masalah kembali hal tersebut disebabkan bahwa Utsman tidak
patut dan telah melakukan kesalahan dan penyimpangan. Meski demikian, mereka tidak ada
niatan untuk membunuhnya. Mereka kemudian membentuk kelompok yang dinalmakan
Utsmaniah. Sejak abad ketiga, kelompok utsmaniah berangsur mengganti nama Ahlussunah WalJama’ah, setuju dan mendudkung Ali.
2.3. Problem Suksesi
Sepeninggalan Nabi Muhammad SAW, diadakanlah pertemuan di Saqifah. Hal tersebut
mengingat Nabi tidak meninggalkan wasiat mengenai pergantian kepemimpinan atau suksesi. 12
Saat berita itu sampai kepada Abu Bakar, Umar r.a, dan beberapa orang sahabat dari kalangan
mujahirin. Mereka segera datang kepertemuan itu tidak menyadari bahwa

mereka sedang

11 Muhammad Baqir Shadr.op.chit.hlm 102
12 Dikutip dari buku ‘Sejarah Politik Islam’. hlm.30

9


mengadakan pertemuan atau muktamar terpenting dalam seluruh sejarah islam. Pertemuan itu
mirip dengan pertemuan nasional atau muktamar luar biasa yang membicarakan nasib umat
dalam perjalananya pada masa mendatang, dan meletakkan dustur bagi institusi politik yang baru
itu, yang menjadi landasan operasional institusi itu dimasa mendatang. Hasil terbesar pertemuan
itu adalah berdirinya institusi kekhalifahan yang sejak saat itu menjadi model pemerintahan
islam, baik dalam bentuk yang sama maupun yang sedikit berbeda, hingga era dua puluh.
Berdirinya institusi politik islam ini alam bentuk yang disepakati oleh para peserta pertemuan
mengandung makna-makna yang mempunyai hasil-hasil perundungan yang besar, yang akan
ketahui nanti. Saat masalah inidianalisis secara mendetail bersamaan dengan kajian tentang
mazhab-mazhab politik islam yang beragam. Hal itu mendorong seorang penulis Barat,
Prof.D.B. Macdonald,13 memberikan kesaksian sebagai berikut, “Pertemuan itu mengingatkan
secara dekat kepada muktamar politik di era modern yang didalamnya berlangsung pedebatanpedebatan politik yang menggunakan metode-metode perdebatan modern.”
Teori-teori pemikiran terpenting yang dilontarkan dalam pertemuan itu, sebagai berikut:
Pertama, teori membela kalangan Anshar yang mengklaim diri mereka sabagai pihak
yang berhak untuk memegang jabatan kekhalifahan, dengan alasan merekalah yang membela
islam, menjaganya dengan jiwa dan harta mereka, yang memberikan tempat dan pertolongan,
dan merekalah penduduk asli Madinah. Kami dapat berkata, ini adalah teori politik pertama yang
timbul dalam sejarah pemikiran politik islam.
Kedua, merupakan bantahan atas teori pertama tadi, berupa pembelaan atas hak kaum
Muhajirin atas jabatan kekhalifahan, dan membuktikan bahwa mereka lebih berhak atas jabatan
kekhalifahan dibandingkan dengan yang lain, dengan alasan merekalah seperti diungkapkan
13 Dr.M.Dhiauddin Rais.’teori politik islam. Jalkarta:gema insani press 2001.hlm.14

10

dalam pidato Abu Bakar r.a. dalam pertemuan itu. Pihak yang pertama kali menyembah Allah
SWT diatas permukaan bumi. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasul dan keluarga
beliau, dan yang bersabar bersama beliau dalam menerima penganiayaan yang keras dari
kaumnya dan pendustaan mreka. Sementara manusia yang lain bersebrangan dengan mereka.
Mereka tidak merasa gentar dengan bilangan mereka yang sedikit, dan bersatuya kaum mereka
untuk memusuhi mereka.14 Dalam retorika pembelaan atas kaum Muhajirin itu, timbul pula
untuk perttama kalinpemikiran tentang keutamaan suku Quraisy: “ para imam (pemimpin) dari
kalangan Quraisy”. Dan hal itu akan menjadi landasan teori pemilikan kaum Quraisy atas
jabatan khalifah.15 Atau jabatan ini menjadi hak istimewa mereka. Di samping teori lain yang di
kemukakan oleh Habbab bin Mundzir bin Jamuh, berupa kemungkinan pemecahan kepemimpian
atau adanya beberapa kepala negara sekaligus. Misalnya dengan mengangkat dua khalifah
sekaligus, yaitu saat ia berkata, “ Dari kami ada pemimpin tersendiri, dan dari kalian ada
pemimpin tersendiri pula.” Namun, peserta pertemuan itu, meskipun titik pandang masingmasing kelompok berbeda, menyepakati konsep yang amat penting, yaitu pemilihan kepala
Negara dilakukan dengan baiat, atau dengan kata lain pemilihan. Dan mereka secara factual
mencampakkan metode pewarisan jabatan.
Para peserta pertemuan itu akhirnya sepakat untuk memilih Abu Bakar. Hal itu terjadi
bukan seperti yang dilukiskan oleh Prof. Arnold-sesuai dengan pemikirannya yang salah,seperti
telah kita lihat sebelumnya kesalahannya itu, yang menganalogikan system masyarakat yang
baru itu dengan system kekabilahan. Juga bukan karena mengikuti adat istiadat yang berlaku di
kalangan bangsa Arab, sejak lama, dengan melihat usia dan kekuasaan. Namun, karena melihat
Abu Bakar r.a. mempunyai kedudukan keagamaan yang tinggi dibandingkan dengan sahabat
14 Ibid.hlm.15
15 Ibid.hlm.16

11

yang lain, dan hal itu diakui oleh semua umat islam, juga karena dia adalah kelompok yang
pertama masuk islam, telah berjasa besar dalam membela islam, bersahabat sejak lama dengan
Rasulullah saw.,keikhlasannya yang demikian besar, imannya yang teguh,serta sifat-sifat akal
dan akhlaknya yang jarang, yang membuat dirinya menjadi pribadi teladan yang sempurna bagi
insan muslim. Hal itu digambarkan oleh Umar r.a dalam ucapannya yang ringkas, “ Tidak ada di
antara kalian yang dapat menundukkan semua orang seperti Abu Bakar.”16

Seandainya

pemilihan itu dilakukan sesuai dengan adat istiadat bangsa Arab, niscaya mereka akan memilih
Ibnu Ubadah, pemimpin kalangan Khazraj, atau Abu Sufyan, pemimpin tertua Bani Umayyah,
atau juga Abbas, petinggi keluarga Bani Hasyim. Diantara mereka juga ada yang lebih tua dari
pada Abu Bakar. Seandainya demikian, niscaya mereka tidak akan berpaling dari keluargakeluarga yang kuat itu untuk kemudian memilih salah seorang keturunan suku Taim yang lemah.
2.4. Kekuasaan Politik Islam Sunni: Khilafah sebagai Implementasi Kekuasaan Politik
melalui Musyawarah (syura’)
Konsep kekuasaan dalam politik islam pada dasarnya merupakan sarana sebagai
implementasi hukum-hukum Tuhan yang tentunya berlandaskan Al-Qur’am dan Hadist. Dengan
demikian para pemegang kekuasaan islam adalah amanat dari Tuhan. Antara syi’ah dan sunni
sebenarnya terlihat secara jerlas, yaitu sama-sma wajib bagi umat muslim untuk mengangkat
seorang pemimpin yang kompeten dan layak untuk dijadikan sebagai pemimpin.
Bagi Islam Sunni, mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad meninggalkan rakyat beliau
tanpa menentukan sebagai pengganti sumber rujukan hukum. Nabi juga tidak menjelaskan
kepada rakyat, siapa yang melaksanakan tugas-tugas kedunawian selayaknya yang dilakukan
oleh beliau. Kaum sunni juga mengatakan bahwa pemilihan pemimpin pertama dan utama adalah
16 Ibid.hlm.16

12

terletak pada pemilihan masyarakat. Sehingga jika rakyat memilh individu tertentu dan menjadi
pemimpin harus ditaati. Dan hal itulah yang kemudian disebut dengan konsensus (ijma’) bentuk
musyawarah mengenai suksesi kepemimpinan paska Nabi.
Dalam islam dapat kita temui banyak arti lain dari beberapa arti pemimpin, yakni
Khilafah, Imamah, Imarah atau Shulthan. Kesemuanya dalam istilah yang berbeda tetapi
mempunyai makna konotasi yang sama. Untuk menyebut kedudukan yang sma yaitu institusi
yang memimpin kaum muslmin. Abu bakar adalah orang yang pertama kali disebut dngan
sebutan Khalifah ar-rasul atau pengganti Nabi. Umar bin al-khatabb adalah orang yang
mendapat gelar amirul Mu’minin atau pemimpin orang-orang mu’min. sedangkan Shultan
merupakan sebutan untuk pemimpin setelah khulafa ar-rasyidin.
Khalifah secara etimologis adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang
sebelumnya. Menurut terminology islam Khalifah diartikan sebagai kepemimpinan umum, yang
menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hokum islam dan
mengembangkan dakwah islam di dunia. Batasan kepemimpian umum mempunyai konotasi
bahwa khalifah islam bertugas mengurusi semua urusan yang melliputi semua urusan hokum
islam terhadap rakyat, tanpa kecuali muslm dan non-muslm, mulai dari masalah aqidah, ibadah,
pendidikan politik dalam dan luar negeri, semua diurus oleh khilafah islam.
2.5. Kesuasaan Politik Islam Syi’ah : Imamah Sebagai Implementasi Kekuasaan Politik
Melalui Wasiat
Menurut kaum Syi’ah ke-imamahan merupakan suatu hal yang terpenting, bahkan wajib
bagi penguasa dalam menjaga amanah Tuhan, baik menjaga hubunganya dengan Sang Pencipta
maupun dengan sesame makhluk (manusia).
13

Dengan cara yang sama, bahwa kenabian menyiratkan serangkaian atribut dan kondisi,
demikian juga penguasa yang datang setelah Nabi, juga harus disertai dengan sosok atau kualitas
tertentu. Hal tersebut timbul dari kenyataan bahwa syi’ah menolak untuk menerima sebagai
penguasa komunitas orang yang kurang keadilan, kepintaran/kepakaran. Perintah yang tepat dari
ilmu agama, kemampuan untuk memberitakan hukum Allah SWT, dan ketepatanya untuk
menerapkan kedalam masyarakat secara tepat. Hal tersbut sangatlah tidak mungkin, karena pada
dasarnya tidak ada makhluk yang melebihi kesempurnaan ataupun menyerupai Allah SWT.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

14

Islam merupakan agama yang universal. Sejak abad Klasik, tengah, hingga modern, islam
mengalami sejarah panjang mengenai kepemimpinan politik Islam. Adanya pandangan yang
berbeda mengenai Imamah (syi’ah Imamiyah) dan Khilafah (Sunni) menjadi problem tersendiri
bagi umat Islam. Dimana terjadi pertentangan antara golongan Syi’ah dan Sunni mengenai siapa
penerus atau pemimpin setelah wafatnya Nabi Muhammad.
Kemunculan Islam syi’ah berawal dari masalah pengganti (Khalifah) Nabi Muhammad.
Mereka menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, karena menganggap hanya Ali
Bin Abi Thalib lah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad. Mereka berkeyakinan bahwa
semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat
untuk mengikutinya. Mereka berpandangan seperti itu karena berdasarka bukti utama atas sahnya
Ali sebaagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khum. Sedangkan kemunculan Islam Sunni
merupakan kelompok muslim pendukung Sunnah. Sunnah sendiri merupakan jejak yang
ditinggalkan oleh Nabi Muhammad dan Khulafaur ar-rasyidin, yang disebut dengan Ahlussunah
berarti pengikut atau penganut Nabi Muhammad dan Jemaah berarti sahabat Nabi. Jadi,
Ahlussunnah wal-Jama’ah mengandung Sunnah Nabi dan para sahabat Nabi Muhammad.
Dalam pemilihan pemimpin pun kedua golongan tersebut berbeda, Syi’ah berpendapat
bahwa implentasi kepemimpinan berdasarkan Wasiat dan Syi’ah juga menolak untuk menerima
sebagai penguasa komunitas orang yang kurang keadilan, kepintaran/kepakaran. Perintah yang
tepat dari ilmu agama, kemampuan untuk memberitakan hokum Allah SWT, dan ketepatanya
untuk menerapkan kedalam masyarakat secara tepat. Hal tersbut sangatlah tidak mungkin, karena
pada dasarnya tidak ada makhluk yang melebihi kesempurnaan ataupun menyerupai Allah SWT.
Sedangkan pandangan serta pemikiran dari Islam Sunni, dimana pemimpin bahwa pemilihan
pemimpin pertama dan utama adalah terletak apada pemilihan masyarakat. Sehingga jika rakyat
15

memilh individu tertentu dan menjadi pemimpin harus ditaati. Dan hal itulah yang kemudian
disebut dengan konsensus (ijma’) bentuk musyawarah mengenai suksesi kepemimpinan paska
Nabi. Dan dari situlah awal terbentuknya sistim Imamah dan Khilafah.

16