Early Warning System Krisis Mata Uang In

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang mengalami krisis mata uang yang kemudian disusul dengan krisis moneter atau keuangan. Selanjutnya, krisis itu berubah menjadi krisis ekonomi yang hebat, baik dari cakupannya maupun dampak yang ditimbulkannya. Keparahan krisis ini diungkapkan oleh Haris (1998),

“adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dollar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita Indonesia secara drastik. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan indutri yang bakal collaps ataupun disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998. Ini berarti akan menghasilkan pengangguran baru dengan sederet persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang baru pula” (hal 54).

Krisis mata uang Rupiah terhadap Dollar AS di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 dianggap sebagian pihak merupakan fenomena yang mengagetkan. Mengingat Indonesia selama kurun waktu 1965-1990 mengalami laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang tinggi. Sehingga Indonesia sering disebut dengan negara dengan pertumbuhan yang menakjubkan (economic miracle). Selain itu krisis terjadi di tengah fundamental yang dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank : Bab 2 dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca Krisis mata uang Rupiah terhadap Dollar AS di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 dianggap sebagian pihak merupakan fenomena yang mengagetkan. Mengingat Indonesia selama kurun waktu 1965-1990 mengalami laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang tinggi. Sehingga Indonesia sering disebut dengan negara dengan pertumbuhan yang menakjubkan (economic miracle). Selain itu krisis terjadi di tengah fundamental yang dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank : Bab 2 dan Hollinger). Yang dimaksud dengan fundamental yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca

TABEL 1.1.

INDIKATOR UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990-1997

8,96 6,63 11,60 Neraca Pembayaran

Tingkat Inflasi (%) 9,93 9,93

(US$ Juta)

Perdagangan Neraca Berjalan

-6.76 -7,801 -2,103

Neraca Modal

Pemerintah (neto)

Swasta (neto)

PMA (neto)

Cadangan Devisa

Akhir Tahun (US$ Juta) (Bulan Impor Non Migas c&f)

Debt Service ratio

(%) Mata uang Des.

(Rp/US$) APBN*

(Rp.milyar) • Tahun Anggaran Sumber : BPS, Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan

Indonesia, World bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998

Akan tetapi, menurut Fisher (1998), sesungguhnya pada masa jaya tersebut, krisis di beberapa negara seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak bisa dipastikan. Ini artinya kondisi ekonomi Indonesia pada dasarnya rapuh namun dapat ditutupi dengan laju Akan tetapi, menurut Fisher (1998), sesungguhnya pada masa jaya tersebut, krisis di beberapa negara seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak bisa dipastikan. Ini artinya kondisi ekonomi Indonesia pada dasarnya rapuh namun dapat ditutupi dengan laju

Menyoal krisis ekonomi Indonesia dan faktor penyebabnya memang masih debatabel karena tergantung dari ketepatan diagnosis. Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution : 28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis yang mengarah kepada kebangrutan ekonomi (World Bank, 1998, pp. 1.7- 1.11). Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 - Juli 1997 dan jatuh temponya rata-rata hanyalah 18 bulan. Kedua, adalah kelemahan sistem perbankan. Ketiga, adalah governance, termasuk adalah ketidakmampuan pemerintah dalam menangani, dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan. Ini berimplikasi pada perilaku masyarakat yang melakukan bank runs, dan keengganan investor untuk menawarkan bantuan finansial secara cepat. Keempat, adalah ketidakpastian politik menjelang pemilu yang lalu dan ekspektasi mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu. Namun demikian, secara umum krisis mata uang yang terjadi di Indonesia merupakan akumulasi dari ketidakhati-hatian dan kecerobohan pelaku ekonomi yang tidak mempertimbangkan kerentanan ekonomi (economic vulnerability) makro Indonesia dari berbagai pengaruh baik internal maupun eksternal yang setiap saat dapat merusak tatanan perekonomian nasional.

Krisis mata uang bagaimanapun juga harus segera diantisipasi dan diatasi dengan kebijakan stabilitasi. Makro ekonomi yang rentan akan berdampak pada

rendahnya tingkat pertumbuhan, inflasi yang berfluktuasi, dan aktivitas ekonomi di bawah tingkat potensialnya. Peristiwa ini ditandai dengan pengangguran yang tinggi, kemiskinan merajalela, dan kontraksi output perekonomian. Menanggapi perkembangan mata uang rupiah terhadap dollar AS yang terus terdepresiasi, akhirnya Bank Indonesia menghapuskan rentang intervensi (intervention band) sehingga Rupiah terdepresiasi menjadi Rp 2.755 per dollar AS. Pada hari dan bulan berikutnya, tepatnya Maret 1998 nilai rupiah mencapai Rp 10.550 per 1 dollar AS. Sedangkan selama bulan Agustus 1997 - September 1998, mata uang tukar rupiah mencapai titik terendah (Juli 1998), yakni antara Rp 14.000-Rp 15.000.

Sumber : Tulus Tambunan (2001)

GRAFIK 1.1.

PERKEMBANGAN KURS TENGAH RUPIAH JANUARI 1997-DESEMBER 1998

Pada masa krisis, jumlah pengangguran meningkat, baik karena dirumahkan (PHK) maupun tenaga kerja baru yang tidak mendapat pekerjaaan. Menurut perkiraan Departemen Tenaga Kerja, angka pengangguran tahun 1998 akan mencapai 15,4 juta orang atau sekitar 17,1% dari jumlah angkatan kerja sebanyak 90 juta orang, sedangkan menurut Bank Dunia, jumlah pengangguran

Indonesia tahun 1998 akan mencapai sekitar 21%. Selanjutnya ILO (1998) memperkirakan open employment akan naik hingga mencapai 6-7 juta orang, atau dari 5% dari jumlah angkatan kerja sebelum krisis 1997 ke 7% pada pertengahan 1998.

Meningkatnya jumlah pengangguran dengan sendirinya menambah jumlah orang miskin, terutama mereka yang di PHK. Penambahan kemiskinan ini juga merupakan akibat dari menurunnya nilai riil pendapatan akibat inflasi yang terus membumbung tinggi. Pada tahun 1998 BPS merevisi patokan garis kemiskinan tahun 1996, yakni dari Rp 38,246 untuk perkotaan menjadi Rp 52,470 dan Rp 27,413 untuk pedesaan menjadi Rp 41,588. Peningkatan patokan garis ini mendorong angka kemiskinan meningkat tajam menjadi 79,4 juta jiwa (39,1%) dari total penduduk 202 juta (Sumber : BPS 1998).

Memburuknya kondisi ekonomi yang mengakibatkan penderitaaan rakyat Indonesia yang berupa peningkatan pengangguran dan kemiskinan sebenarnya tidak perlu terjadi. Pelemahan fundamental akibat krisis telah memaksa pemerintah mengeluarkan biaya penanggulangan krisis yang luar biasa besar. Biaya yang besar ini tak lepas dari komitmen dan keinginan pemerintah untuk semaksimal mungkin segera memulihkan kondisi perbankan dan peningkatan kembali kepercayaan pasar pada Indonesia. Memang pada saat krisis, 16 bank di likuidasi oleh pemerintah karena bangkrut dan tidak sehat sehingga untuk tetap memelihara ketahanan perbankan, BI memberikan talangan Rp 2,3 Trilyun untuk menalangi pembayaran para giran dan deposan dengan jumlah di bawah Rp 20 Memburuknya kondisi ekonomi yang mengakibatkan penderitaaan rakyat Indonesia yang berupa peningkatan pengangguran dan kemiskinan sebenarnya tidak perlu terjadi. Pelemahan fundamental akibat krisis telah memaksa pemerintah mengeluarkan biaya penanggulangan krisis yang luar biasa besar. Biaya yang besar ini tak lepas dari komitmen dan keinginan pemerintah untuk semaksimal mungkin segera memulihkan kondisi perbankan dan peningkatan kembali kepercayaan pasar pada Indonesia. Memang pada saat krisis, 16 bank di likuidasi oleh pemerintah karena bangkrut dan tidak sehat sehingga untuk tetap memelihara ketahanan perbankan, BI memberikan talangan Rp 2,3 Trilyun untuk menalangi pembayaran para giran dan deposan dengan jumlah di bawah Rp 20

Bi aya Rekapi tul asi Kr i si s

Per bankkan Thd GDP 70

Indone s ia

M alays ia

Thailand

Kor e a

Sumber : World Bank 2000

GAMBAR 1.1. BIAYA REKAPITULASI PERBANKAN TERHADAP GDP

Data World Bank (2000), menunjukkan bahwa biaya rekapitalisasi krisis perbankan yang mendalam pada krisis Asia 1998 menjadi sangat mahal, diantaranya Indonesia mencapai 58% dari GDP, Thailand 30%, Korea Selatan 10% dan Malaysia 10%. Studi IMF (1998) menunjukkan bahwa setelah krisis diperlukan waktu sekitar 3 tahun bagi perusahaan untuk produksi kembali pada posisi semula dan akumulatif kerugian produksi mencapai 12% dari GDP.

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh krisis menuntut dilakukannya upaya pencegahan (crisis prevention), khususnya oleh Indonesia. Terlebih lagi di suatu kawasan yang mempunyai risiko timbulnya efek tular (contagion effect) yang sangat besar. Upaya-upaya yang dilakukan dengan menjaga stabilitas sistem keuangan yang mencakup rangkaian kegiatan yang diawali dengan pemantauan Dampak negatif yang ditimbulkan oleh krisis menuntut dilakukannya upaya pencegahan (crisis prevention), khususnya oleh Indonesia. Terlebih lagi di suatu kawasan yang mempunyai risiko timbulnya efek tular (contagion effect) yang sangat besar. Upaya-upaya yang dilakukan dengan menjaga stabilitas sistem keuangan yang mencakup rangkaian kegiatan yang diawali dengan pemantauan

Kegiatan surveliance yang meliputi kegiatan monitoring, tukar informasi, dan pandangan, serta peer pressure terhadap kebijakan-kebijakan individual memungkinkan evaluasi untuk menilai apakah suatu kebijakan berjalan sesuai yang diharapkan atau terjadi penyimpangan (deviation). Penyimpangan memungkinkan terjadinya krisis sehingga perlu dikembangkan metode atau alat yang dapat menganalisis penyimpangan yang berimplikasi pada pencegahan krisis. Adapun metode yang dikembangkan dari monitoring activity ini adalah sistem peringatan dini (early warning sistem)

Dalam sistem peringatan dini, dikembangkan indikator-indikator makroekonomi yang dapat menperingatan kerentanan suatu negara terhadap ancaman terjadinya krisis. Penerapan metode EWS merupakan salah satu elemen kunci dalam upaya pencegahan krisis. Menurut Hawkins dan Klau (2000) dalam EWS dapat dilakukan dengan pendekatan parametrik, non parametrik, dan kualitatif.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Apakah indikator fundamental ekonomi salah satu diantaranya secara signifikan rentan (vulnerable) terhadap terjadinya krisis mata uang rupiah di Indonesia pada periode 1990.1-2006.12 sebagai sistem peringatan dini krisis (Early warning Sistem of Crises)?

2. Apakah krisis mata uang rupiah mengakibatkan terjadinya perbedaan perilaku variabel ekonomi selama periode 1990.1-2006.12 dan sejauh manakah perbedaan tersebut dalam menentukan pergerakan variabel makro ekonomi Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui indikator fundamental ekonomi yang rentan (vulnerable) terhadap terjadinya krisis mata uang rupiah di Indonesia pada periode 1990.1-2006.12 sebagai sistem peringatan dini terhadap krisis (Early warning Sistem of Crises)

2. Untuk mengetahui perbedaan perilaku variabel ekonomi selama periode 1990.1-2006.12 dan mengetahui sejauh manakah perbedaan tersebut dalam menentukan pergerakan variabel makro ekonomi Indonesia akibat krisis mata uang rupiah

1.4. Manfaat Penelitian

Dari pembahasan skripsi ini, maka manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

1. Bagi Ilmu Pengetahuan; diharapkan penelitian ini dapat menambah khasanah kajian ilmu ekonomi khususnya sistem peringatan dini di Indonesia (Early Warning Sistem) dan dapat menambah referensi untuk pengembangan ilmu selanjutnya terutama yang berkaitan dengan upaya pencegahan krisis (crisis prevention)

2. Bagi Pemerintah; diharapkan dapat membantu untuk pengambilan keputusan yang optimal bagi perekonomian yang terindikasi mengalami dan atau akan mengalami krisis.

3. Bagi penulis; diharapkan penelitian ini dapat semakin memperkaya khasanah pengetahuan sehingga dapat dijadikan referensi untuk pengembangan dan implementasinya dalam mewujukan perekonomian Indonesia yang sustainable.

4. Bagi Masyarakat; diharapkan sebagai sarana sosialisasi tentang sistem peringatan dini terhadap krisis sehingga masyarakat tidak cepat panik dan rasional dalam menghadapi dan mengatasi krisis

1.5. Sistematika Skripsi

Untuk memudahkan pembahasan dan penyampaian, maka skripsi ini tersusun atas lima bab, yaitu: BAB 1, PENDAHULUAN; berisi beberapa pendapat dan hal-hal yang selanjutnya akan dijadikan bahan bahasan serta acuan dalam mengkaji segala fenomena yang ada terkait dengan “Analisis Sistem Peringatan Dini Terhadap Krisis Mata Uang Di Indonesia Periode 1990.1-2006.12”. Selanjutnya diuraikan pula rumusan masalah, tujuan beserta manfaat pembahasan mengacu pada latar belakang skripsi ini disusun.

BAB 2 , TELAAH PUSTAKA; berisi teori-teori dan dasar-dasar yang akan digunakan sebagai acuan dalam pembahasan. Sehingga tidak terjadi kebiasan pedoman dalam menelaah isi dari skripsi ini sekaligus memperjelas arah penyusunan berdasar kerangka berpikir yang tersedia. Selanjutnya akan dijelaskan pendapat yang berkaitan dengan masalah yang dikaji

BAB 3, METODOLOGI PENELITIAN; berisi cara / intrumen pencarian data yang dipakai dan segala macam pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan yang tercantum dalam skripsi ini.

BAB 4, ISI DAN PEMBAHASAN; berisi penjelasan dan uraian tentang pokok-pokok yang menjadi rumusan masalah didasarkan pada data dan/informasi serta telaah pustaka untuk menghasilkan alternatif model pemecahan masalah atau BAB 4, ISI DAN PEMBAHASAN; berisi penjelasan dan uraian tentang pokok-pokok yang menjadi rumusan masalah didasarkan pada data dan/informasi serta telaah pustaka untuk menghasilkan alternatif model pemecahan masalah atau

BAB 5, KESIMPULAN DAN SARAN; berisi pokok pikiran dari rumusan permasalahan yang konsisten dengan analisis permasalahan dalam rangka lebih mempermudah pemahaman dan kejelasan dalam menelaah isi skripsi ini. Tidak lupa adanya saran menunjukkan kelemahan isi penulisan yang kemudian diharapkan para pembaca dapat menyempurnakannya berdasarkan hemat pembaca dan berkaca pula pada saran penyusun.

BAB 2 TELAAH PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Keseimbangan Eksternal dan Internal : Pendekatan Diagram Swan

Diagram Swan yang diprakarsai oleh Trevor W. Swan pada 1955 menggambarkan keseimbangan fundamental ekonomi makro internal dan eksternal (Grafik 2.1). Keseimbangan internal digambarkan dengan kurva Y* yang mencerminkan kombinasi mata uang riil (q) dan permintaan domestic (Yd = C+I+G), dimana perekonomian berada pada natural full employment. Natural full employment adalah suatu kondisi optimal dimana perekonomian mengalami tingkat inflasi dan pengangguran yang relatif rendah sedangkan GDP berada pada level output potensialnya. Kurva Y* yang menaik (upward sloping) dapat dijelaskan : apabila mata uang riil terapresiasi maka semakin banyak permintaan domestik yang beralih ke permintaan terhadap barang impor, apresiasi mata uang riil juga akan mengurangi bagian produk yang di ekspor. Oleh karenanya, diperlukan kebijakan ekonomi yang dapat mendorong permintaan domestik lebih besar. Titik disebelah kanan kurva Y* menunjukkan output aktual yang lebih tinggi dari potensialnya, dan sebaliknya.

Keseimbangan eksternal dicerminkan oleh kurva CA*, yang menggambarkan kombinasi mata uang riil dan permintaan domestik dimana neraca transaksi berjalan berada pada level equilibrium (CA=CA*) dan neraca pembayaran seimbang (CA*=-KA*). Kurva yang menurun (down-ward sloping) menunjukkan bahwa peningkatan permintaan domestik akan memperburuk neraca Keseimbangan eksternal dicerminkan oleh kurva CA*, yang menggambarkan kombinasi mata uang riil dan permintaan domestik dimana neraca transaksi berjalan berada pada level equilibrium (CA=CA*) dan neraca pembayaran seimbang (CA*=-KA*). Kurva yang menurun (down-ward sloping) menunjukkan bahwa peningkatan permintaan domestik akan memperburuk neraca

Mata uang Riil (q)

II Y<Y*; πd<πd* Y = Y*; πd=πd* CA<CA*

E q Y<Y* a

b Y>Y*

III πd<πd*

b a πd>πd* I CA>CA*

CA<CA*

Y>Y*; πd>πd* CA>CA* CA = CA=-KA*

IV

E Yd

Permintaan Domestik Riil (Yd = C+I+G)

Sumber : diadaptasi dari Clark et al. “Exchange Rate Economic Fundamental : A Framework of Analysis”, IMF Occasional Paper No.115, 1994

GAMBAR 2.1. DIAGRAM SWAN

Kondisi ketidakseimbangan ekonomi makro secara internal maupun eksternal direpresentasikan oleh wilayah kuadran I s.d IV. Pada kuadran I, kondisi perekonomian domestik berada di sebelah kanan kurva keseimbangan eksternal (Y>Y*), mencerminkan output gap positif dan terjadi inflasi di sisi permintaan ( πd > πd*). Sedangkan kondisi keseimbangan eksternalnya berada di sebelah Kondisi ketidakseimbangan ekonomi makro secara internal maupun eksternal direpresentasikan oleh wilayah kuadran I s.d IV. Pada kuadran I, kondisi perekonomian domestik berada di sebelah kanan kurva keseimbangan eksternal (Y>Y*), mencerminkan output gap positif dan terjadi inflasi di sisi permintaan ( πd > πd*). Sedangkan kondisi keseimbangan eksternalnya berada di sebelah

Pada kuadran 2, kondisi perekonomian domestik berada pada sebelah kiri kurva keseimbangan internal (Y<Y*), mencerminkan output gap yang negatif. Sedangkan kondisi eksternalnya berada di sebelah kanan kurva keseimbangan eksternalnya berada di sebelah kanan kurva keseimbangan eksternal seperti halnya kuadran I (CA<CA*), mencerminkan defisit pada neraca transaksi berjalan. Pada kuadran ini, terapresiasinya mata uang (overvalued) berdampak ekspor menurun dan permintaaan impor meningkat sehingga menyebabkan defisit pada neraca transaksi berjalan.

TABEL 2.1. PEMBAGIAN KUADRAN DIAGRAM SWAN PENDEKATAN NERACA TRANSAKSI BERJALAN

Kuadran

Kondisi Domestik

Kondisi Eksternal

Output gap positif; inflasi sisi permintaan

I CA defisit atau CA<CA*

Y>Y* ; πd > πd* Output gap negatif;

II CA defisit atau CA<CA*

Y>Y* ; πd < πd* Output gap negatif;

III CA surplus atau CA>CA*

Y>Y* ; πd < πd*

Output gap positif; inflasi sisi permintaan

IV CA suplus atau CA>CA*

Y>Y* ; πd > πd*

Kuadran 3 merupakan kondisi dimana terjadi output gap yang negatif (Y<Y*) dan surplus pada neraca transaksi berjalan (CA<CA*). Pada kuadran ini, mata uang yang undervalued mendorong ekspor yang menyebabkan surplus pada

domestik, µ = pertumbuhan domestik kredit, dan α = tingkat suku bunga domestik.

Persamaan (2.1) menyatakan keseimbangan pada pasar uang, sementara persamaan (2.2) menyatakan bahwa neraca bank sentral bersifat identik dimana suplai uang beredar sama dengan kredit domestik dan cadangan devisa. Persamaan (2.3) menyatakan tingkat harga domestik berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) dan persamaan (2.4) menyatakan keseimbangan suku bunga domestik dan suku bunga lain yang mengacu pada Uncovered Interest Parity (UIP). Persamaan (2.5) menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan kredit domestik konstan (sama dengan µ).

Dengan asumsi i* = p* =0, dan mensubtitusikan PPP dan UIP dalam hubungan pasar uang domestik, diperoleh persamaan

m – e =- αe e ………………………………………………………………………………………………... (2.6)

Ketika mata uang adalah tetap e = e 0 , maka e e = 0. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa uang beredar konstan karena m = e 0 , sehingga persamaan (2) menjadi

d+r=e 0 ………………………………………………………………………………………………………. (2.7)

Oleh karena itu, ketika d tumbuh sebesar µ, r turun dengan level yang sama pula, sehingga r = -µ. Dengan cadangan devisa yang lebih rendah dan µ > 0, mata uang tetap tidak dapat dipertahankan. Cadangan devisa akan semakin terkikis karena permintaan uang konstan. Permintaan domestik akan uang menurun dengan adanya ekses liquiditas akibat ekspansi kredit domestik, Oleh karena itu, ketika d tumbuh sebesar µ, r turun dengan level yang sama pula, sehingga r = -µ. Dengan cadangan devisa yang lebih rendah dan µ > 0, mata uang tetap tidak dapat dipertahankan. Cadangan devisa akan semakin terkikis karena permintaan uang konstan. Permintaan domestik akan uang menurun dengan adanya ekses liquiditas akibat ekspansi kredit domestik,

2.1.2.2. Second Generation Model of Crisis

Model krisis generasi kedua yang dikembangkan Obstfeald (1994, 1996) menekankan bahwa pengambil kebijakan sebagai pelaku ekonomi bersifat rasional dan mencoba meminimalisasi Loss function. Pengambil kebijakan harus memutuskan akan melepas atau mempertahankan mata uang tetap dengan memperhatikan kondisi perekonomian. Loss Function pengambil kebijakan adalah sebagai berikut :

L = [a (e*- e 2

0 )+b έ] +c( Δe) ………………………………………………... (2.8) Dimana [a (e*- e 2

0 )+b έ] mencerminkan selisih antara mata uang optimal pada kondisi ekonomi tertentu dan mata uang tetap (e*-e 0 ) ditambah dengan ekspektasi depresiasi ( έ), sedangkan c (Δe) mencerminkan biaya yang ditangggung akibat devaluasi. Lebih jauh, upaya menjaga mata uang tetap sangat riskan di mana pelaku usaha berekspektasi terjadi depresiasi, sehingga biaya dari mendevaluasi mata uang adalah sebagai berikut : C( Δe) = = 0 jika Δe = 0

Δe > 0 ……………..……………………………… (2.9) C jika

Dimana C > 0

Pengambil kebijakan memilih alternatif kebijakan yang terbaik, sementara sektor lainnya misalnya swasta berusaha memprediksi. Dari sektor swasta, ekspektasi pasar terhadap mata uang, dinyatakan sebagai e E , dimana diasumsikan Pengambil kebijakan memilih alternatif kebijakan yang terbaik, sementara sektor lainnya misalnya swasta berusaha memprediksi. Dari sektor swasta, ekspektasi pasar terhadap mata uang, dinyatakan sebagai e E , dimana diasumsikan

[ a (e*-e 2

0 )+b έ] ………….…………………………………………………. (2.10) Apakah nilainya lebih besar atau lebih kecil dari biaya akibat devaluasi C. Keputusan pemerintah untuk menjaga mata uang atau mendevaluasi menghasilkan tiga keseimbangan. Pertama, pemerintah akan mendevaluasi mata uang walaupun

pelaku ekonomi tidak berekspektasi terjadi devaluasi bila [a (e*- e 2

0 )+b έ] >C sebab pemerintah menyadari bahwa penetapan kebijakan mata uang yang tidak tepat akan berefek negatif bagi perekonomian. Kedua, pemerintah akan menjaga

mata uang meskipun pelaku ekonomi berekspektasi devaluasi jika [a (e*- e 0 )+b έ ] 2 < C. Pertimbangan pemerintah adalah biaya akibat devaluasi lebih besar dari

efek positif yang ditimbulkan bagi perekonomian. Sehingga, apabila kedua range itu disatukan akan diperoleh keseimbangan ketiga yakni :

2 [a (e*- e 2

0 )+b έ] < C < [ (a+b) (e*-e 0 )] , …………...……………………… (2.11) Pada kondisi di atas pemerintah akan bertindak sesuai ekspektasi pelaku usaha. Range di atas disebut multiple equilibria. Dalam range tersebut, diasumsikan apabila biaya menjaga mata uang meningkat, maka semakin besar pula tingkat depresiasi yang diekspektasikan oleh pelaku usaha.

2.1.2.3. Third Generation Model of Crisis

Pada krisis generasi ketiga, moral hazard dalam fungsi intermediasi yang tidak wajar ditengarai menjadi salah satu penyebab krisis. Krugman (1997) menjelaskan moral hazard yang menimbulkan overinvestment ini melalui fungsi produksi dengan mempertimbangkan dua periode ekonomi. Periode pertama diasumsikan perusahaan membeli modal, dan berproduksi dengan modal tersebut. Sehingga fungsi produksinya :

Q = (A + u) K-BK …………………………………………………………. (2.12) Dimana u adalah variabel random yang menjelaskan ketidakpastian dalam

keputusan berinvestasi dengan asumsi small open economy dan fixed world interest rate, sehingga real interest rate sama dengan nol. Manfaat yang diperoleh modal tersebut dinyatakan sebagai marginal produk sebesar R = A+u-2BK. Modal yang diinvestasikan terjadi dimana expected return (Eu) sama dengan biaya modal (u), sehingga diperoleh : K = (A+Eu)/2B ………………………………………………………………(2.13)

Model di atas berasumsi lembaga intermediasi lainnya dapat memiliki modal secara langsung dan kewajiban dijamin secara implisit oleh pemerintah. Karenanya menimbulkan moral hazard dalam penyaluran pinjaman dimana perbankan berada dalam pertimbangan imbal hasil modal (Eu) lebih besar dari world safe rate of interest rate. Pertimbangan yang terlalu mengedepankan kemungkinan terbaik berdampak pada permintaan investasi yang berlebihan dan kenaikan harga aset.

Krugman juga menjelaskan bahwa perilaku terlalu optimistis ini berimplikasi pada pemerintah tidak lagi menjamin kewajiban perbankan dan ini membuat penurunan kepercayaan terhadap perbankan dan berujung pada jatuhnya lembaga intermediasi tersebut. Selain mengamati faktor moral hazard, dalam menganalisis krisis generasi ketiga, Krugman (1999b) juga mengembangkan model dengan menggunakan pendekatan jalur neraca (balance sheet channel), baik neraca agregat maupun sektoral. Fokus utamanya adalah pada risiko yang timbul dari masalah utang jatuh tempo (maturity), mata uang, mismatch struktur permodalan. Pendekatan balance sheet effect yang dikembangkan Krugman (1999) dengan maksud untuk melihat pengaruh krisis terhadap investasi domestik melalui pelemahan di sisi neraca baik perbankan maupun perusahaan domestik. Dalam pendekatan ini dikembangkan 3 persamaan sederhana yaitu : Y = D (y, i) + nx (eP*/P, y) ………………………………………………… (2.14) M/P = L(y, i) …………………………………………………………………(2.15)

i = i* ………………………………………………………………………….(2.16) dimana y = pendapaatan, M/P = permintaan uang domestik relatif terhadap harga, dan eP*/P = depresiasi. Selanjutnya, dengan mensubtitusikan persamaan (2.14), (2.15) dan (2.16), diperoleh : y = D(y, i*) + nx(eP*/P, y)………………………………..………………….(2.17) M/P = L (y, i*) ……………………………………………………………….(2.18) Dengan asumsi mata uang mempengaruhi investasi domestik melalui sisi neraca perusahaan, Krugman (1999) menunjukkan pengaruh langsung ketergantungan permintaan domestik terhadap mata uang riil, sehingga persamaannya :

Y = D (y, I, eP*/P) + nx (eP*/P,y) ...……………………..………………….(2.19) Persamaan ini menunjukkan kemungkinan terjadinya multiple equilibria. Di satu sisi, mata uang riil terapresiasi, dimana depresiasi (eP*/P) rendah maka utang berdominasi valaspun menurun dan investasi tidak terpengaruh situasi pada neraca perusahaan. Disisi lain, apabila mata uang terdepresiasi secara signifikan, terjadi tekanan terhadap sisi neraca perusahaan akibat utang berdenominasi valas, sehingga pertumbuhan investasi terganggu dan bisa dikatakan nol. Namun sisi positif akibat depresiasi adalah peningkatan ekspor. Namun, efek positif dengan peningkatan ekspor lebih kecil dari pada tekanan mata uang terhadap investasi domestik sehingga kurva GG mengalami kemiringan negatif.

2.1.3. Definisi Mata uang (Kurs)

2.1.3.1. Kurs Nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Dengan demikian mata uang akan berfluktuasi sebesar jumlah yang cukup untuk menutupi efek inflasi domestik pada mata uang riil. Sehingga kita bisa menulis kurs nominal sebagai :

e = E x (P*/P) ………………………………………………………………..(2.20) persamaan ini menunjukkan bahwa kurs nominal bergantung pada kurs riil dan tingkat harga di kedua negara. Berdasarkan nilai kurs riil, jika tingkat harga domestik P meningkat, maka kurs nominal e akan turun: karena dollar berkurang nilainya, maka satu dollar akan membeli sedikit rupiah. Disisi lain, jika tingkat harga rupiah P* meningkat, maka kurs nominal akan meningkat: karena Rupiah berkurang nilainya, satu dollar akan membeli lebih banyak rupiah.

Dengan memperhatikan perubahan kurs sepanjang waktu, maka persamaan kurs bisa ditulis : Perubahan dalam e = Perubahan % dalam E + Perubahan % dalam P* - Perubahan % dalam P………………………………...…………………………….(2.21) Perubahan persentase dalam E adalah perubahan dalam kurs riil. Perubahan persentase dalam P adalah tingkat inflasi domestik π, dan perubahan persentase dalam P* adalah tingkat inflasi negara lain π*. Jadi, perubahan persentase dalam kurs nominal adalah : Perubahan % dalam e = Perubahan % dalam E + ( π* - π)………………….(2.22) Perubahan % = Perubahan % dalam + Selisih dalam dalam kurs nominal Kurs Riil Tingkat Inflasi …….(2.23) persamaan di atas menyatakan bahwa perubahan persentase dalam kurs nominal antara mata uang dari kedua negara sama dengan persentase perubahan dalam kurs riil ditambah selisih dalam tingkat inflasinya. Jika suatu negara memiliki tingkat inflasi yang relatif tinggi terhadap misal AS, satu dollar akan membeli jumlah mata uang asing yang semakin lama semakin banyak sepanjang waktu. Sebaliknya jika suatu negara memiliki tingkat inflasi yang rendah terhadap AS, satu dollar akan membeli jumlah mata uang asing yang semakin lama semakin sedikit sepanjang waktu.

antara 2 negara. Kurs riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan antara 2 negara. Kurs riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan

Perhitungan kurs riil untuk barang tunggal menjelaskan bagaimana seharusnya mendefinisikan kurs riil untuk kelompok barang. Maka kurs riil : Kurs Riil = Kurs Nominal x Rasio Tingkat harga ………………………………(2.24) Dari equasi tersebut dapat diinterpretasikan jika kurs riil tinggi, barang-barang luar negeri relatif lebih murah, dan barang-barang domestik relatif lebih mahal. Jika kurs riil rendah, barang-barang luar negeri relatif mahal, dan barang-barang domestik relatif lebih murah.

2.1.3.3. Kurs Riil dan Neraca Perdagangan

Untuk dapat mengetahui bagaimana kurs riil mempengaruhi neraca perdagangan anggaplah kurs riil rendah. Dalam hal ini, karena barang-barang domestik relatif lebih murah, penduduk domestik hanya akan membeli sedikit barang impor. Sehingga untuk alasan yang sama orang asing akan membeli produk domestik dan ini berdampak pada ekspor neto akan meningkat. Hal sebaliknya terjadi jika kurs riil tinggi mengakibatkan barang-barang domestik relatif lebih mahal terhadap barang-barang luar negeri, dan penduduk domestik berkeinginan membeli lebih banyak barang impor sehingga jumlah ekspor neto akan berkurang. Sehingga hubungan kurs riil dan ekspor neto sebagai NX = NX (E) ………………………………………………………………...(2.25)

2.1.4. Permintaan Aggregat dalam Perekonomian Terbuka

Ketika menjalankan kebijakan fiskal dan moneter, para pembuat kebijakan haruslah mengamati apa yang terjadi di mancanegara. Meskipun kemakmuran domestik merupakan satu-satunya tujuan, namun perlu dipertimbangkan perkembangan global. Arus barang dan jasa internasional serta aliran modal internasional bisa mempengaruhi perekonomian dalam banyak hal.

Dalam menyikapi perkembangan perekonomian global Mundel-Fleming mengembangkan model yang mengawinkan IS-LM dalam perekonomian terbuka kecil dan mobilitas modal sempurna. Artinya, perekonomian dapat meminjam atau memberi pinjaman sebanyak yang diinginkan oleh pasar keuangan dunia, dan ini berakibat pada tingkat bunga perekonomian akan ditentukan oleh tingkat bunga dunia. Hal lain yang dipelajari dari Model Mundell-Fleming adalah perilaku perekonomian tergantung pada sistem kurs yang diadopsi.

2.1.4.1. Model Mundell-Fleming 2.1.4.1.1. Asumsi Penting : Perekonomian Terbuka Kecil dengan Mobilitas Modal Sempurna

Dengan asumsi perekonomian terbuka kecil dengan mobilitas modal sempurna, ini berarti bahwa tingkat bunga dalam perekonomian ini r ditentukan oleh tingkat bunga dunia r*. Secara matematis r = r*………………………………………………………………………….(2.26) tingkat bunga dunia diasumsikan tetap secara eksogen karena perekonomian tersebut relatif kecil dibandingkan perekonomian dunia sehingga bisa menjamin Dengan asumsi perekonomian terbuka kecil dengan mobilitas modal sempurna, ini berarti bahwa tingkat bunga dalam perekonomian ini r ditentukan oleh tingkat bunga dunia r*. Secara matematis r = r*………………………………………………………………………….(2.26) tingkat bunga dunia diasumsikan tetap secara eksogen karena perekonomian tersebut relatif kecil dibandingkan perekonomian dunia sehingga bisa menjamin

Meskipun gagasan tentang mobilitas modal sempurna merupakan hal yang biasa, namun beberapa proses canggih dan normal akan meningkatkan tingkat bunga (seperti, penurunan dalam tabungan domestik). Dalam perekonomian terbuka kecil, tingkat bunga domestik mungkin naik sedikit selama jangka pendek, tetapi dalam sekejap, pihak asing akan melihat tingkat bunga yang lebih tinggi itu dan mulai memberi pinjaman ke negara lain (dengan, misalnya, membeli obligasi negara ini). Aliran modal masuk akan mendorong tingkat bunga domestik kembali menuju r*. Demikian juga, jika setiap peristiwa yang menggerakkan tingkat bunga domestik ke bawah akan mendorong modal mengalir ke luar untuk menghasilkan pengembalian yang lebih tinggi. Jadi, persamaan r = r* menunjukkan asumsi bahwa aliran modal internasional cukup memadai untuk mempertahankan tingkat bunga domestik sama dengan tingkat bunga dunia.

2.1.4.1.2. Pasar Barang dan Kurva IS

Model Mundell-Fleming menjelaskan pasar untuk barang dan jasa sebagaimana model IS-LM, tetapi model ini menambahkan simbol baru untuk ekspor neto. Biasanya, pasar barang ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut : Y = C ( Y-T) + I(r*) + G + NX (e)…………………………………………...(2.27)

Persamaan ini menyatakan bahwa jika e adalah kurs nominal, maka kurs riil E sama dengan eP/P*, dimana P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga luar negeri. Namun demikian, model Mundell-Fleming mengasumsikan bahwa tingkat harga dalam dan luar negeri adalah tetap, sehingga kurs riil proporsional terhadap kurs nominal. Yaitu, ketika kurs nominal terapresiasi, barang-barang luar negeri lebih murah dibandingkan dengan barang domestik, dan ini menyebabkan ekspor turun serta impor naik.

2.1.4.1.3. Pasar Uang dengan Kurva LM

Model Mundell-Fleming menunjukkan pasar uang dengan model IS-LM, dengan asumsi bahwa tingkat bunga domestik sama dengan tingkat bunga dunia. M/P = L (r*, Y) …………………………………………………………..…..(2.28) Persamaan ini menyatakan bahwa penawaran keseimbangan uang riil, M/P, sama dengan permintaan, L (r,Y). permintaan terhadap keseimbangan uang riil bergantung secara negatif pada tingkat bunga, yang sekarang ditetapkan sama dengan tingkat bunga dunia r*, dan secara positif pada pendapatan Y. Jumlah uang beredar M adalah variabel eksogen yang dikendalikan oleh bank sentral, dan karena model Mundell-Fleming dirancang untuk menganalisis fluktuasi jangka pendek, maka tingkat harga P juga diasumsikan tetap secara eksogen.

2.1.4.2. Perekonomian Terbuka Kecil dengan Kurs Mengambang

Dalam menganalisis dampak kebijakan dalam perekonomian terbuka, haruslah diketahui sistem moneter internasional dimana negara tersebut memilih Dalam menganalisis dampak kebijakan dalam perekonomian terbuka, haruslah diketahui sistem moneter internasional dimana negara tersebut memilih

2.1.4.2.1. Kebijakan Fiskal dalam Kurs Mengambang

Anggaplah pemerintah mendorong pengeluaran domestik dengan meningkatkan belanja pemerintah atau memotong pajak. Karena meningkatnya pengeluaran yang direncanakan, kebijakan fiskal ekspansioner menggeser kurva IS ke kanan. Akibatnya, kurs terapresiasi, sedangkan tingkat pendapatan tetap sama. Tidak berubahnya tingkat pendapatan pada kurs mengambang karena begitu tingkat bunga berusaha naik melebihi tingkat bunga dunia r*, modal mengalir dari luar negeri. Aliran masuk modal ini mendongkrak permintaan terhadap mata uang dalam negeri di pasar valuta asing, sehingga meningkatkan nilai mata uang domestik. Apresiasi kurs membuat mata uang domestik relatif mahal terhadap produk asing, dan ini mengurangi ekspor neto. Penurunan ekspor neto mengoffset dampak kebijakan fiskal ekspansioner terhadap pendapatan.

Ketidakmampuan kebijakan fiskal untuk mempengaruhi pendapatan dapat dijelaskan dengan persamaan M/P = L (r,y). Dalam perekonomian terbuka, jumlah keseimbangan uang riil yang ditawarkan M/P adalah tetap, dan jumlah yang diminta harus sama dengan penawaran tetap. Sehingga r tetap pada r* dan itu mengakibatkan hanya ada 1 tingkat pendapatan yang memenuhi persamaan itu. Jadi, ketika pemerintah meningkatkan pengeluaran atau memotong pajak, Ketidakmampuan kebijakan fiskal untuk mempengaruhi pendapatan dapat dijelaskan dengan persamaan M/P = L (r,y). Dalam perekonomian terbuka, jumlah keseimbangan uang riil yang ditawarkan M/P adalah tetap, dan jumlah yang diminta harus sama dengan penawaran tetap. Sehingga r tetap pada r* dan itu mengakibatkan hanya ada 1 tingkat pendapatan yang memenuhi persamaan itu. Jadi, ketika pemerintah meningkatkan pengeluaran atau memotong pajak,

2.1.4.2.2. Kebijakan Moneter dalam Kurs Mengambang

Dalam kebijakan moneter meningkatkan jumlah uang beredar berarti kenaikan dalam keseimbangan uang riil. Kenaikan keseimbangan akan menggeser kurva LM ke kanan. Jadi, kenaikan jumlah uang beredar berarti meningkatkan pendapatan dan menurunkan kurs.

Meskipun kebijakan moneter mempengaruhi pendapatan dalam perekonomian terbuka, sebagaimana perekonomian tertutup, mekanisme transmisi moneternya berbeda. Dalam perekonomian tertutup kenaikan jumlah uang beredar menaikkan tingkat bunga dan mendorong investasi. Akan tetapi dalam perekonomian terbuka kecil, tingkat bunga ditentukan oleh tingkat bunga dunia sehingga ketika suku bunga domestik naik, maka investor akan mencari pengembalian yang lebih tinggi ke tempat lain. Hal ini melindungi tingkat bunga domestik tidak turun namun demikian mendorong peningkatan penawaran uang domestik di pasar valuta asing sehingga kurs mengalami depresiasi. Penurunan kurs membuat barang-barang domestik relatif murah terhadap barang luar negeri dan meningkatkan ekspor neto.

2.1.4.2.3. Kebijakan Perdagangan dalam Kurs Mengambang

Dalam kurs mengambang misalkan pemerintah melakukan kouta impor yang berarti akan meningkatkan ekspor neto. Kenaikan ekspor neto akan meningkatkan pengeluaran yang direncanakan dan menggeser kurva IS ke kanan. Karena LM vertikal, berarti hambatan perdagangan hanya akan meningkatkan kurs tetapi tidak mempengaruhi pendapatan. Karena tidak mengurangi pendapatan, maka hambatan perdagangan tidak mempengaruhi neraca perdagangan.

2.1.4.3. Kurs Tetap dalam Perekonomian Terbuka Kecil 2.1.4.3.1. Kebijakan Fiskal dalam Kurs Tetap

Kebijakan kurs tetap dapat diamati pada kebijakan ekspansioner pemerintah misal dengan peningkatan pengeluaran atau pemotongan pajak. Kebijakan ini menggeser kurva IS ke kanan sehingga mendorong kurs ke atas atau mengalami apresiasi. Tetapi karena bank sentral siap mempertukarkan mata uang domestik dan mata uang asing pada kurs tetap, maka pialang atau pasar valas dengan cepat menanggapi kenaikan kurs dengan menjual valas ke bank sentral, yang menyebabkan automatic monetary expansion atau menggeser kurva LM ke kanan. Jadi, ekspansi fiskal dengan kurs tetap meningkatkan pendapatan

2.1.4.3.2. Kebijakan Moneter dalam Kurs Tetap

Dalam kebijakan moneter bank sentral berusaha meningkatkan jumlah uang beredar, misal dengan membeli obligasi dari masyarakat. Pada awalnya Dalam kebijakan moneter bank sentral berusaha meningkatkan jumlah uang beredar, misal dengan membeli obligasi dari masyarakat. Pada awalnya

2.1.4.3.3. Kebijakan Perdagangan dalam Kurs Tetap

Seperti halnya pada kasus kurs mengambang, pemerintah melakukan kouta impor atau tarif pada barang impor. Kebijakan ini menggeser kurva ekspor neto dan kurva IS ke kanan serta menaikkan kurs. Agar kurs terjaga pada rentang tetap maka jumlah uang beredar harus naik dengan menggeser kurva LM ke kanan. Dalam kasus kurs tetap hambatan perdagangan meningkatkan ekspor neto karena mendorong ekspansi moneter, dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan aggregat.

Direct Monetary Transmission

Money Supply-Demand

Money

Credit Channel

Bank Lending Loan Supply-Demand

Firm Balance Sheet Ext. Financial Leverage

Interest Rate Channel

Cost of Capital

Substitution Effect Real Interest Channel

Income Effect

Asset Price Channel Monetary Final

Net Export-Cap Flows Policy Objective Base Exchange rate

: Price Imported Price Money and Real

Interest Output Tobin’s q

Equity-Property Prices Wealth Effect

Expectation Effect

Expectation

Real Interest Rate

Gambar 2.2. Saluran Transmisi Moneter – Inside The Black Box Uncertainty Moral Hazard, Adverse Selection

Sumber : Bank Indonesia

GAMBAR 2.2.

SALURAN TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER

TABEL 2.2.

MODEL MUNDELL-FLEMING : RINGKASAN DAMPAK KEBIJAKAN

KEBIJAKAN

REZIM KURS

MENGAMBANG TETAP Y E NX Y E NX

↑00 Ekspansi Moneter

Ekspansi Fiskal

↑000 Hambatan Impor

0 ↑0↑0↑ Catatan : Tabel ini menunjukkan arah dan pengaruh berbagai kebijakan ekonomi

terhadap Y, e, dan NX. “ ↑” menunjukkan bahwa variabel meningkat : tanda “↓”

menunjukkan variabel menurun ; tanda 0 menunjukkan tidak ada dampak. Kurs didefinisikan sebagai jumlah mata uang asing per unit dari mata uang domestik.

2.1.5. Saluran Transmisi Kebijakan Moneter

Terdapat lima saluran mekanisme transmisi kebijakan moneter (monetary policy transmission channel) (Miskhin, 1995, 1996; Bank For International Settlement, 1997; Kakes, 2000; De Bondt; 2000; Bofinger, 2001), yaitu saluran moneter langsung (direct monetary channel), saluran suku bunga (interest rate channel), saluran harga aset (aset price channel), saluran kredit (credit channel), dan saluran ekspektasi (expectation channel).

2.1.5.1. Saluran Uang

Transmisi kebijakan moneter melalui saluran uang (money channel) mengacu pada dominasi peranan uang dalam perekonomian. Teori ini menggambarkan kerangka kerja langsung antara pertumbuhan uang beredar dan inflasi yang dinyatakan dengan “ The Equation of Exchange” yaitu MV = PT.

Mekanisme transmisi moneter melalui saluran uang merupakan konsekuensi langsung dari proses perputaran uang dalam perekonomian. Bank sentral melakukan operasi moneter untuk mengendalikan uang beredar (M1, dan

M2) melalui pencapaian sasaran operasional base money (B). Pelaku ekonomi menyimpan dan menggunakan uang beredar (M1,M2) untuk kegiatan ekonominya, dengan mekanisme seperti berikut :

Bank Sentral PERBANKAN

NFA Uang Primer NFA Uang Beredar Pasar Uang NCG OPT Reserve (M1,M2) Rupiah

NCB NOI SB&PUAB Kredit Modal

Pelaku

Ajj Kegiatan Ekonomi Ekonomi Giro, Tabungan, Deposito

Sumber : Bank Indonesia

GAMBAR 2.3. MEKANISME TRANSMISI SALURAN UANG

Secara Matematis, mekanisme melalui saluran uang dalam 2 tahap proses perputaran uang sebagai berikut :

1. Tahapan pertama, interaksi antara bank sentral dengan perbankan pada pasar uang rupiah ditunjukkan dengan money multiplier (m) antara Base Money (B) dengan uang beredar (M), yaitu : m = MB

2. Tahap kedua, interaksi melalui fungsi intermediasi antara perbankan dan pelaku ekonomi ditunjukkan dengan hubungan antara jumlah uang beredar dengan transaksi ekonomi seperti pada Quantity Theory of Money, yang dihitung dengan M = PT/V

2.1.5.2. Saluran Kredit Dalam transmisi kebijakan moneter melalui saluran kredit didasarkan pada asumsi bahwa tidak semua simpanan masyarakat berupa uang beredar (M1,M2) oleh perbankan selalu disalurkan pada dunia usaha. Dengan demikian, kenaikan simpanan tidak berjalan normal atau proporsional dengan kenaikan jumlah kredit.

Bank Sentral

PERBANKAN

NFA Uang Primer NFA Uang Beredar Pasar Uang NCG OPT Reserve (M1,M2) Rupiah NCB NOI SB&PUAB

Kredit Modal

Kegiatan Ekonomi

Pelaku Ekonomi

Kredit Modal Kerja&Investasi

Sumber : Bank Indonesia

GAMBAR 2.4.

MEKANISME TRANSMISI SALURAN KREDIT

Saluran kredit manapun yang diyakini lebih berperan, yang jelas tahapan selanjutnya dari transmisi ini dipengaruhi oleh kondisi pada pasar kredit. Perkembangan kredit akan berpengaruh pada sektor riil (output) melalui 2 hal, yaitu : (1) melalui perkembangan investasi, yaitu pengaruh volume kredit perbankan dan pengaruh suku bunga kredit sebagai bagian dari biaya modal (cost of capital) terhadap permintaan investasi dan aktivitas produksi perusahaan, dan (2) melalui perkembangan konsumsi, yaitu pengaruh kredit perbankan terhadap konsumsi sektor rumah tangga dengan meningkatkan permintaan aggregat.

2.1.5.3. Saluran Suku Bunga

Saluran suku bunga menekankan pentingnya aspek harga di pasar keuangan terhadap ekonomi di sektor riil. Sehingga kebijakan bank sentral akan mempengaruhi tingkat inflasi dan sektor riil.

Suku Bunga

Kebijakan

Suku Bunga

Deposito

Transmisi di

Suku Bunga

Tranmisi di Sektor Riil

Output Gap

Permintaan Agregat

Investasi

Sumber : Bank Indonesia

GAMBAR 2.5 MEKANISME TRANSMISI SALURAN SUKU BUNGA

Dalam konteks interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan para pelaku ekonomi, transmisi ini melalui 2 tahapan yaiitu :

1. Kebijakan moneter oleh bank sentral akan mempengaruhi perkembangan suku bunga jangka pendek misal PUAB dan SBI di pasar uang rupiah. Selanjutnya kebijakan ini akan mempengaruhi suku bunga deposito yang diberikan perbankan kepada simpanan masyarakat dan suku bunga kredit pada debitur

2. Transmisi suku bunga dari keuangan ke sektor riil tergantung pada permintaan konsumsi dan investasi dalam perekonomian. Pengaruh suku bunga pada konsumsi terjadi karena bunga deposito merupakan komponen dari pendapatan masyarakat dan bunga kredit sebagai pembiayaan konsumsi. Sedangkan pengaruh suku bunga terhadap investasi terjadi karena suku bunga kredit merupakan komponen biaya modal

2.1.5.4. Saluran Mata uang

Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui mata uang (exchange rate channel) menekankan pada pentingnya pengaruh perubahan harga aset finansial terhadap aktivitas ekonomi. Pengaruhnya tampak pada besaran aliran dana yang masuk dan keluar karena aktivitas perdagangan maupun aliran modal investasi dalam neraca pembayaran. Selanjutnya perkembangan mata uang dan aliran dana luar negeri tersebut akan berpengaruh pada output dan inflasi negara yang bersangkutan. Sehingga semakin terbuka perekonomian yang disertai dengan sistem mata uang mengambang dan devisa bebas, maka semakin besar pula pengaruh mata uang dan aliran modal luar negeri tersebut.

Dalam konteks interaksi antara bank sentral dan pelaku ekonomi, maka transmisi jalur mata uang akan mempengaruhi valuta asing pasar bursa. Secara langsung maka kebijakan otoritas moneter adalah dengan intervensi stabilisasi nilai valas dan secara tak langsung dengan instrument interest rate differential.

Aliran modal Kebijakan

Perbedaan

LN&Supply-Demand Moneter

Suuku Bunga

DN-LN

Transmisi di Risiko

Nilai Tukar

Sektor Keuangan

Harga-harga

Inflasi

Traded Goods

Transmisi di Sektor Riil

Output gap Sumber : Bank Indonesia

Ekspor Netto

PDB

GAMBAR 2.6.

MEKANISME TRANSMISI SALURAN MATA UANG

Operasionalisasi kebijakan mata uang otomatis akan mempengaruhi inflasi baik langsung maupun tak langsung. Secara langsung hal ini akan mempengaruhi pola pembentukan harga oleh perusahaan dan ekspektasi inflasi di masyarakat, khususnya untuk barang yang diimpor. Sedangkan secara tak langsung mempengaruhi komponen ekspor dan impor dalam permintaan agregat. Sehingga hal ini akan berdampak pada besarnya output riil dalam ekonomi yang tentunya menentukan tekanan inflasi.

2.1.5.5. Saluran Harga Aset

Transmisi jalur aset terjadi karena penanaman dana oleh para investor dalam portofolio investasinya tidak hanya berupa simpanan, dan intrumen investasi dalam bentuk valas, tetapi juga dalam bentuk saham, obligasi, dan aset Transmisi jalur aset terjadi karena penanaman dana oleh para investor dalam portofolio investasinya tidak hanya berupa simpanan, dan intrumen investasi dalam bentuk valas, tetapi juga dalam bentuk saham, obligasi, dan aset

Kebijakan

Suku Bunga

Harga Aset Financial

Tranmisi di

Moneter - SBI

- Yield Obligasi

Sektor

- PUAB

- Harga Saham

Keuangan

- Deposito - Kredit

Konsumsi

Inflasi

Permintaan Sektor Riil

Tranmisi di Harga Asset Fisik

Harga Preperti

Agregat

Harga Emas Investasi

Output Gap

Sumber : Bank Indonesia

GAMBAR 2.7 MEKANISME TRANSMISI SALURAN HARGA ASET

2.1.5.6. Saluran Ekspektasi

Dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dalam ekonomi dan keuangan, maka perlu diarahkan dalam kerangka transmisi kebijakan moneter. Para pelaku ekonomi mendasarkan kegiatannya pada prospek ekonomi dan Dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dalam ekonomi dan keuangan, maka perlu diarahkan dalam kerangka transmisi kebijakan moneter. Para pelaku ekonomi mendasarkan kegiatannya pada prospek ekonomi dan

Dalam upaya mengarahkan ekspektasi inflasi, maka yang perlu diperhatikan adalah ekspektasi inflasi yang terjadi (inersia) dan inflasi karena kebijakan pemerintah dan bank sentral

a. Kebijakan pada sektor keuangan, dimana kebijakan pemerintah akan mempengaruhi perkembangan suku bunga jangka pendek (SBI dan PUAB) yang selanjutnya mempengaruhi kebijakan suku bunga perbankan. Melalui transmisi mata uang akan mempengaruhi perkembangan mata uang. Semakin kredibel kebijakan moneter yang ditunjukkan kemampuan dalam mengendalikan suku bunga dan stabilisasi mata uang, semakin kuat pula dampaknya terhadap ekspektasi inflasi masyarakat. Sehingga dalam kondisi demikian ekspektasi inflasi masyarakat akan cenderung mendekati sasaran inflasi yang ditetapkan bank sentral dalam kebijakan moneternya.