STUDI KONDISI HUTAN MANGROVE PRIMER DI

1

STUDI KONDISI HUTAN MANGROVE PRIMER
DI KAWASAN KONSERVASI MANGROVE MAMBURUNGAN

Oleh:
BURHANUDDIN. IHSAN
04.101020.002

SKRIPSI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BORNEO
TARAKAN
2009

2

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hutan mangrove selalu identik dengan perairan yang membentuk sebuah
komunitas ekosistem, yang mempunyai multi fungsi dan tidak bisa tergantikan
oleh ekosistem lain.

Secara fisik berfungsi sebagai penstabil lahan (land

stabilizer), yakni berperan dalam mengakumulasi substrat lumpur oleh perakaran
mangrove sehingga sering kali memunculkan tanah timbul yang mampu menahan
abrasi air laut dan menghadang intrusi air laut ke daratan. Fungsi biologisnya
sebagai tempat berlindung, bertelur dan berkembang biak bagi ikan. Sedangkan,
secara ekonomi hutan mangrove menghasilkan kayu yang nilai kalornya tinggi
sehingga sangat baik untuk bahan baku arang. Fungsi yang terakhir adalah fungsi
kimia yakni sebagai penetralisir limbah kimia beracun berbahaya.
Selain fungsi-fungsi tersebut di atas ekosistem mangrove sekarang ini juga
mulai difungsikan sebagai tempat rekreasi, ekosistem mangrove di Kota Tarakan,
telah difungsikan sebagai tempat rekreasi sejak tahun 2002 sampai dengan
sekarang. Selain itu juga, ekosistem mangrove dijadikan tempat pengembangan
ilmu pengetahuan melalui penelitian. Oleh karena itu, ekosistem mangrove perlu
kita jaga dan lestarikan sehingga semua fungsi dari ekosistem mangrove dapat
berjalan dengan baik.

Pembangunan tambak dan pemukiman serta penebangan hutan secara liar
(ilegal loging) menyebabkan terjadinya degradasi hutan mangrove dan
membawah dampak pada organisme-organisme disekitar, maka pemerintah
menjadikan hutan mangrove yang ada di Kelurahan Mamburungan menjadi
kawasan konservasi.

B. Permasalahan
Ekosistem mangrove di Kelurahan Mamburungan merupakan salah satu
hutan konservasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Tarakan sejak tahun
2006. Kondisi hutan mangrove di Kelurahan Mamburungan secara visual cukup
baik karena beberapa kali dilakukan program rehabilitasi, sehingga dapat
ditemukan beberapa jenis mangrove dengan kepadatan cukup baik. Disisi lain

3

hutan mangrove di kawasan ini terancam degradasi dengan adanya kegiatan
masyarakat diantaranya limba rumah tangga, pembangunan pemukiman
penduduk, tambak, jembatan dan lain sebagainya. Sebagai langkah awal dalam
upaya pengelolaan terhadap kawasan ini maka diperlukan ketersediaan informasi
yang akurat tentang kondisi mangrove Mamburungan saat ini.

Informasi aktual tentang kondisi hutan mangrove di Kawasan Konservasi
Mangrove Mamburungan belum begitu jelas apakah dalam kondisi baik, sangat
baik, atau kurang baik.

Maka atas dasar pemikiran tersebut perlu adanya

penelitian tentang kondisi hutan mangrove yang ada di Kelurrahan Mamburungan.

C. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kondisi mangrove berdasarkan jenis dan komposisi
hutan mangrove yang terdapat di Mamburungan.
2. Mengetahui Indeks Nilai Penting (INP) mangrove Mamburungan

D. Manfaat
Manfaat secara umum adalah untuk memberikan informasi kepada pihak
terkait (stekholders) tentang kondisi hutan mangrove Mamburungan dan informasi
ini dapat dijadikan data awal dan acuan untuk melaksanakan penelitian
selanjutnya.


4

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi dan Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2003), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi
pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangerove yang
mampu tumbuhdan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur.
Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal
yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus
pasang-surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak terdapat di pantaipantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung.
Hutan mangrove umumnya tumbuh pada:
1.

Daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempang atau berpasir.

2.

Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang
hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan
menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.


3.

Daerah yang menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.

4.

Daerah yang terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang
kuat. Air bersalinitas payau 2 – 22 permil hingga asin mencapai 38 permil.
Penyebaran

vegetasi

mangrove

ditentukan

oleh

berbagai


faktor

lingkungan, salah satu diantaranya adalah salinitas. Berdasarkan salinitas kita
mengenal zona-zona hutan mangrove adalah sebagai berikut (De Haan dalam
Russell & Yonge, 1968):
a.

Zona air payau hingga air laut salinitas berkisar 10 – 30 o/oo


Area yang terendan sekali atau dua kali sehari selama 20 hari selama
sebulan, hanya Rhizophora mucronata yang masih tumbuh.



Area yang terendam 10 – 19 kali perbulan, ditemukan Avicennia (A.
alba, A. marina), Sonneratia sp dan dominan Rhizophora sp.




Area yang terendam kurang dari 9 kali setiap bulan, ditemukan
Rhizophora sp, Brugueira sp.



Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun, Brugueira
gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apiculata masih dapat hidup.

5

b.

Zona air tawar hingga air payau salinitas berkisar 0 – 10 o/oo


Area yang kurang lebih masih dipengaruhi pasang surut, asosiasi Nypa.




Area yang terendam secara musiman, Hibiscus dominan.
Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia adalah sebagai berikut:



Daerah yang paling dekat dengan laut sering ditumbuhi Avicennia dan
Sonneratia. Sonneratia bisa tumbuh pada lumpur alam yang kaya bahan
organik.



Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora
spp. Di zona ini dijumpai Brugueira dan Xylocarpus.



Zona berikutnya didominasi oleh Brugueira spp.




Zona transisi antara hutan mangrove dan hutan daratan rendah yang
biasanya ditumbuhi olh Nypa (Nypa fruticans), dan pandan laut (Pandanus
spp).

Avicennia/Sonnerati

Rhizophora

Brugueira

Nypa fruticans

Gambar 1. Salah Satu Tipe Zonasi Hutan Mangrove Di Indonesia
(Nyoto, 2006)

B. Struktur vegetasi dan Daur Hidup mangrove


Hutan mangrove meliputi pohon- pohon dan semak yang terdiri atas 12
general tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Brugueira,

Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiatillis, Snaeda, dan
conocarpus) yang termaksud kedalam 8 famili.



Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang
tinggi, dengan jumlah jenis yang tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri
atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis

6

sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang
spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat
salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termaksud dalam 4
(empat) famili rhizophoraceae (Rhizophora, Brugueira dan Ceriops),
Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia) dan Meliaceae
(Xylocarpus).
Jenis mangrove tertentu, seperti bakau (Rhizophora sp) dan Tancang
(Bruguera sp) memiliki daur hidup yang khusus, diawali dari beni yang ketika
masih pada tumbuhan induk berkecamba dan mulai tumbuh di dalam semaian

tanpa istirahat.

Selama waktu tersebut, semaian memanjang dan distribusi

beratnya berubah sehingga menjadi lebih berat pada bagian terluar dan akhirnya
lepas.

Selnjutnya smaian ini jatuh dari pohon induk, masuk keperairan dan

mengapung di permukaan air. Semaian ini kemudian terbawah oleh aliran air ke
perairan pantai yang cukup dangkal, dimana ujung akarnya dapat mencapai dasar
perairan, untuk selanjutnya akar dipancangkan dan secara bertahap tumbuh
menjadi pohon.

Biji berkecamba
Pada pohon

Masuk ke
perairan

Gambar 2. Daur Hidup Pohon Mangrove (Nybakken, 1993)

7

C. Adaptasi Pohon Mangrove
a.

Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah
Pohon mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas (Gambar 3.):
1.

Bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora untuk mengambil
oksigen dari udara, (misalnya, Avicennia spp, Sonneratia spp,
Xylocarpus sp.).

2.

Bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai inti sel (misalnya,
Rhizophora spp).

AKAR PAPAN
Ceriops spp.
AKAR CAKAR AYAM
Avicennia spp
Sonneratia spp
Xylocarpus mollucensis

AKAR LUTUT
Brugueira spp
AKAR TONGKAT/PENYANGGA

Rhizophora SPP

Gambar 3. Bentuk Akar Pohon Mangrove
b.

Adaptasi terhadap Konsentrasi Garam Tinggi
Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove

dikelompokkan menjadi: (1). Salt-excreting mangrove (Avicennia, Aegiceras,
Aegialitis) dan (2). Non-salt excreting mangrove (Rhizophora, bruguera,
Sonneratia, dan lain-lain). Sehubungan dengan ini Huching dan Saenger (1987)
mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam sebagai berikut:
1.

Sekresi Garam (Salt extrusion/Salt Secretion)
Flora mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian

mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun.
Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis,

8

Achanthus, Laguncularia dan Rhizophora (melalui unsur-unsur gabus pada
daun).
2.

Mencegah Masuknya Garam (Salt exclusion)
Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam

melalui saringan (ultra filter) yang terdapat pada akar. Mekanisme ini
dilakukan oleh Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia,
Bruguera, Excoecaria, Aegiceras, Aegalitis dan Acrostichum.
3.

Akumulasi Garam (Salt accumulation)
Flora mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit

kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya
sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan
mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat
pertumbuhan buah.

Mekanisme adaptasi garam ini terdapat pada,

Excoecaria, Lumnitzera, Avicennia, Osbornia, Rhizophora, Sonneratia dan
Xylocarpus.

c.

Adaptasi Tanah Yang Kurang Stabil dan Adanya Pasang Surut
Mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk

jaringan horizontal yang lebar.

Di samping untuk memperkokoh pohon, akar

juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

D. Fauna Hutan Mangrove
Kelompok hewan dasar lautan yang dominan dalam hutan bakau adalah
molusca, udang-udang tertentu, dan beberapa ikan yang khas. Moluska diwakili
oleh sejumlah siput, suatu kelompok yang umumnya hidup pada akar dan batang
pohon bakau lainnya pada lumpur di dasar akar yang mencakup sejumlah detritus.
Kepiting dan udang merupakan hewan dasar yang membuat lubang di dalam
substrat dan biasanya memakan partikel detritus yang ditemukan di dalam lumpur.
Lubang kepiting-kepiting ini, seperti halnya udang, berfungsi sebagai tempat
perlindungan dari predator, sebagai tempat berkembang biak, sebagai bantuan
dalam mencari makan (Nybakken, 1988).

9

Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua
kelompok:
a.

Kelompok fauna daratan/trestrial (arboreal) yang umumnya menempati
bagian atas pohon mangrove, terdiri atas; insekta, ular, primata dan burung.
Kelompok ini tidak mempunyai adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan
mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar
jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat
mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut.

b.

Kelompok fauna perairan/akuatik terdiri atas dua tipe, yaitu:


Yang hidup di kolam air, terutama berbagai ikan, dan udang;



Yang menempati substrakbaik keras (akar dan batang mangrove)
maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis
avertebrata lainnya.

E. Rantai dan Jala Makanan di Ekosistem Mangrove
Tumbuhan mangrove sebagaimana tumbuhan lainnya mengkonversi
cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan
organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber
makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di
ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen
rantai dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan
mangrove itu sendiri, tapi serasa yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun,
ranting, buah dan batang).
Sebagian serasa mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi
zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton,
algae maupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian
lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting
sebagai makanannya.

Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan

tingkatan biota membentuk suatu jala makanan.

10

F. Fungsi Ekologis Mangrove
Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki
beberapa fungsi ekologis penting :
1.

Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi,
penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air
permukaan.

2.

Sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun
dan dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan deetritus, dan
sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang
berperan dalam penyuburan perairan.

3.

Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding
ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan
(ikan, udang, kepiting dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan
pantai maupun lepas pantai (Gambar. 4).

Gambar 4. Fungsi Ekosistem Mangrove

G. Dampak Kegiatan Manusia
Secara umum hutan mangrove dan ekosistem mangrove cukup tahan
terhadap berbagai gangguan dan tekanan lingkungan. Namun demikian mangrove
tersebut sangat peka terhadap pengendapan atau sedimentasi, tingginya rata-rata

11

permukaan air, dan tumpahan minyak. Keadaan ini mengakibatkan penurunan
kadar oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi, dan menyebabkan
kematian mangrove.

Perubahan faktor-faktor tersebut yang mengontrol pola

salinitas substrak dapat menyebabkan perubahan komposisi spesies, salinitas yang
lebih dari 90 ppt dapat mengakibatkan kematian biota dalam jumlah besar.
Perubahan salinitas dapat diakibatkan oleh perubahan siklus hidrologi, aliran air
tawar dan pencucian terus menerus seperti kegiatan pengerukan, bendungan dan
penyekatan.
Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat
mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi area hutan
mangrove menjadii areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial,
industri dan pertanian.

Selain itu, juga meningkatnya permintaan terhadap

produksi kayu menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah
pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan.

Kegiatan terakhir ini

memberikan kontribusi terbesar dalam perusakan ekosistem mangrove. Dalam
situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini
jauh lebih besar dari nilai penggantinya.

Secara umum, ada beberapa

permasalahan yang timbul karena ketidaktahuan akan nilai alamiah yang dapat
diberikan

oleh

ekosistem

mangrove

mengembangkan secara integral.

dan

ketiadaan

perencana

untuk

Dampak utama yang ditimbulkan akibat

berbagai kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove (Tabel 1).

Tabel 1. Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan

Dampak Potensial

Tebang habis.

 Berubahnya komposisi ekosistem hutan mangrove
 Hutan mangrove tidak berfungsin lagi sebagai daerah
mencari makan, asuhan dan pemijahan.

Pengalihan aliran air
tawar misalnya pada
pembangunan irigasi.

 Peningkatan salinitas hutan mangrove, sehingga ikan
dan udang dalam stadium larva tidak dapat
mentoleransi peningkatan salinitas.
 Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove

Konversi menjadi
lahan pertanian,
perikanan, pemukiman

 Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di
perairan lepas pantai yang memerlukan hutan
mangrove.

12

dan lain-lain.

 Terjadinya pencemaran laut oleh bahan pencemar
yang sebelumnya diikat oleh substrak hutan
mangrove.
 Pendangkalan perairan pantai.
 Erosi garis pantai.

Pembuangan sampah
cair.

 Penurunan kandungan oksigen, karena mengalami
dekomposisi anaerobik dan menghasilkan hidrogen
sulfat (H2S) dan amonia (NH3).

Pembuangan sampa
padat.

 Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang
mengakibatkan matinya pohon mangrove
 Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah
padat

Pencemaran minyak
yang tumpah dalam
jumlah besar.

 Kematian pohon-pohon mangroveakibat terlapisnya
pneumatofora oleh lapisan minyak.

Penambangan dan
ekstraksi mineral, baik
di dalam hutan
maupun maupun di
daratan sekitar hutan
mangrove.

 Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga
memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove
(daerah mencari makan, asuhan dan pemijahan).
 Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon
mangrove

H. Pedoman Pengelolaan
Konservasi dan pemanfaatan mangrove bergantung sepenuhnya pada
perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem
mangrove. Usulan pengembangan dan kegiatan insidental yang mempengaruhi
ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan pengelolaan
sebagai berikut:
1.

Peliharalah dasar dan karakter substrak hutan dan saluran-saluran air, Sebab
substrak memegang peranan sangat penting bagi kelangsungan hidup hutan
mangrove, seperti proses sedimentasi yang berlebihan, erosi dan
pengendapan harus dapat dihindari.

2.

Jaga kelangsungan pola-pola alamiah, skema aktifitas siklus pasang surut
serta limpasan air tawar. Untuk struktur pesisir dan pola pengembangan
yang berpotensi untuk mengubah pola-pola alami tersebut, harus didesain
untuk menjamin bahwa pola tersebut tetap terpelihara.

13

3.

Peliharalah pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan
air tanah karena dapat mengganggu keseimbangan salinitas pesisir.

4.

Peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan
sedimentasi.

Kegiatan di wilayah pesisir termaksud konstruksi sangat

potensial untuk mengubah keseimbangan antara pertumbuhan dan erosi.
5.

Tetapkan batas maksimum untuk seluruh hasil panen yang dapat diproduksi,
plotkan rencana kerja berdasarkan perencanaan yang mantap untuk
menjamin keberlanjutan (keseimbangan) ekosistem.

6.

Pada daerah-daerah yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan
beracun lainnya, harus memiliki rencana-rencana penanggulangan.

7.

Hindarkan semua kegiatan yang mengakibatkan pengurangan (impound)
areal mangrove.

Penghentian sirkulasi air permukaan mengakibatkan

kematian hutan mangrove.
I.

Pengklasifikasian Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove
Untuk menentukan tingkat kerusakan hutan mangrove digunakan beberapa

parameter yang dapat diamati secara praktis, Universitas Borneo dan Dinas
Kehutanan dan perkebunan (2006) yaitu;
1.

Jumlah pohon per Ha/N, berdasarkan hasil penelitian di hutan-hutan
mangrove alam yang masih utuh, diperoleh data bahwa pohon di hutan
tersebut umumnya sekitar 1.000 – 1.500 pohon lebih dengan penyebaran
yang cukup merata (frekuensi kehadiran sekitar 75% ke atas). Dalam hal ini
faktor kemerataan kehadiran merupakan hal penting untuk menjamin
kemerataan penutupan lahan oleh tajuk vegetasi di masa datang. Untuk
variabel jumlah pohon per Ha diklasifikasikan dalam lima kategori dengan
skoring sebagai berikut;
5 = N  1.500 pohon/ha, merata (F  75%)
4 = N  1.500 pohon/ha, tidak merata (F < 75%)
3 = N = 1.500 – 1.000 pohon/ha, merata (F  75%)
2 = N = 1.500 – 1.000 pohon/ha, tidak merata (F  75%)
1 = N < 1.000 pohon/ha

14

2.

Jumlah permudaan per Ha/Np, permudaan mempunyai peranan
sangat penting untuk menjamin kelestarian suatu hutan. Khusus di hutan
mangrove, umumnya permudaan ini cukup melimpah( 5.000 anakan/ha).
Banyaknya permudaan sekitar 5.000 semai/ha dan 2.500 pancang/ha yang
merata dapat dianggap sebagai stock permudaan yang dikategorikan baik.
Untuk variabel jumlah permudaan per Ha diklasifikasikan dalam lima
kategori dengan skoring sebagai berikut;
5 = N  5.000 semai/ha (F  40%)
N  2.500 pancang/ha (F  60%)
4 = N = 5.000 – 4.000 semai/ha (F  40%)
N = 2.500 – 2.000 pancang/ha (F  60%)
3 = N = 4.000 – 3.000 semai/ha (F  40%)
N = 2.000 – 1.500 pancang/ha (F  60%)
2 = N = 3.000 – 2.000 semai/ha (F  40%)
N = 1.500 – 1.000 pancang/ha (F  60%)
1 = N < 2.000 semai/ha (F  40%)
N < 1.000 pancang/ha (F  60%)
Yang dimaksud dengan permudaan dan pohon adalah sebagai berikut;

- semai

; anakan pohon mulai kecambah sampai dengan setinggi  1,5 m

- pancang

; anakan pohon dengan tinggi > 1,5 m sampai berdiameter < 10 cm

- pohon

; tumbuhan yang berkayu dengan diameter  10 cm.

Selain permudaan pohon, nipah akan dikategorikan sebagai tumbuhan bawah.

15

III. METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari 2009, di Kawasan
Konservasi Mangrove Mamburungan kota Tarakan.

Gambar 5. Lokasi Penelitian

B. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Alat dan Bahan
No

Nama Alat dan Bahan

Fungsi

1.

Tali Rapia

Untuk membuat plot

2.

Bambu/kayu

Tiang penyangga plot

3.

Meteran

Untuk mengukur

4.

Kamera

Dokumentasi

5.

Pohon mangrove

Bahan yang akan diteliti

6.

Buku Identifikasi

Untuk mengidentifikasi jenis mangrove

16

C. Teknik Pengumpulan Data
Adapun tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam Penelitian adalah
sebagai berikut:
1.

Pertama-tama menentukan lokasi pengambilan plot tegak lurus dengan garis
pantai, mulai dari bibir pantai sampai pada ke daratan.

2.

setiap plot berukuran 10x10 meter dan pengambilan plot dengan cara selang
seling dengan jarak setiap plot 10 meter.

3.

Tiap-tiap plot yang berukuran 10x10 meter untuk menghitung jumlah pohon
mangrove kemudian di dalamnya diplot lagi dengan ukuran 5x5 meter untuk
menghitung jumlah anakan mangrove dan selanjutnya diplot lagi dengan
ukuran 1x1 meter untuk menghitung bibit/semai mangrove.

4.

selanjutnya mengidentifikasi jenis-jenis dan komposisi mangrove sesuai
dengan zonasinya.
Desain contoh unit vegetasi di lapangan dapat dilihat pada gambar berikut:
10 m
arah jalur

3
1

10 m
2
Gambar 6. Desain Unit Contoh Vegetasi

Keterangan: Elemen kluster berbentuk jalur; 1=petak semai, 2=petak pancang,
3 = petak pohon.
5.

Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap
jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan
ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove setinggi dada, sekitar 1,3
meter. (Gambar 7).

17

Gambar 7. Penentuan Lingkaran Batang Mangrove Setinggi Dada (Mentri
Negara Lingkungan Hidup, 2004)

D. Metode Analisis Data
1.

Potensi Ekosistem Mangrove
Data komposisi potensi ekosistem mangrove akan dianalisis dengan

formula Universitas Borneo dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan, (2006)
sebagai berikut;
a.

Kerapatan (K) = jumlah individu
luas contoh

b.

Kerapatan Relatif (KR) = kerapatan suatu jenis x 100%
kerapatan seluruh jenis

c.

Frekuensi (F) = jumlah plot ditemukannya suatu jenis
jumlah seluruh plot

d.

Frekuensi Relatif (FR) = frekuensi suatu jenis x 100%
frekuensi seluruh jenis

e.

Penutupan = luas bidang dasar
luas unit contoh

f.

Penutupan Relatif (DR) = Penutupan suatu jenis
x 100%
Penutupan seluruh jenis

18

g.

Indeks Nilai Penting (INP)=

KR + FR + PR

Nilai Penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai penting ini
memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis
tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove
Tabel 3. Kriteria Kondisi Hutan Mangrove

Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 tahun
2004.
2.

Analisis Deskriptif
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang

memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan atau kondisi tersebut tanpa
ada perlakuan terhadap objek yang diteliti, (Kountur, 2002 dalam Wishnu Hardi.
2006). Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat suatu
keadaan, gejala atau topik tertentu, atau untuk menentukan frekuensi adanya
hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lainnya. Pada penelitian tipe
ini kemungkinan sudah ada hipotesa-hipotesa, bergantung dari sedikit banyaknya
pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan.
Menurut (Dinas Kehutanan. 2006). Dalam menentukan kondisi ekosistem
hutan mangrove dapat dipengaruhi oleh proporsi penutupan vegetasi di lahan yang
bersangkutan. Semakin rendah proporsi penutupan vegetasi di suatu lahan, maka
secara alami lahan tersebut tergolong kurang baik. Untuk variabel kerapatan tajuk
diklasifikasikan dalam tiga kategori dengan skoring sebagai berikut;
3 = kerapatan tajuk lebat 70 – 100% (sangat baik)
2 = kerapatan tajuk sedang 50 – 70% (baik)
1 = kerapatan tajuk rendah < 50% (Kurang baik)

19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis lokasi penelitian berada di Pantai Selatan Pulau Tarakan.
Bentuk topografinya merupakan kelurahan pesisir yang membentang dari Tanjung
Batu sampai Kelurahan Kampung Empat. Secara admistrasi termasuk ke dalam
Kelurahan Mamburungan, Kecamatan Tarakan Timur. Kelurahan Mamburungan
berbatasan dengan: Sebelah Timur dengan Kelurahan Pantai Amal dan Kelurahan
Mamburungan Timur, sebelah Selatan dengan Laut Sulawesi, sebelah Barat
dengan Kelurahan Lingkas Ujung serta sebelah Utara dengan Kelurahan
Kampung Empat.
Luas Mangrove Mamburungan yaitu 32 Ha (Dinas Kehutanan, 2005).
Berbagai jenis biota yang hidup di kawasan ini, ada yang hidup di darat, substrat
lumpur, pasir dan air. Burung raja sering terlihat dan membuat sarang pada pohon
mangrove dan berbagai jenis burung lainnya, sedang jenis biota air yang ada
adalah beberapa jenis udang, ikan yang ada pada saat pasang naik maupun pada
genangan air pada saat pasang surut. Selain itu terdapat jenis ikan yang spesifik
yang membuat lubang di substrat lumpur dan berjalan seperti katak yakni ikan
glodok atau tempakul (Periothalmus sobrinus). Jenis biota lain yang menempati
substrat lumpur maupun pasir adalah beberapa jenis kepiting, siput-siput, serta
berbagai jenis kerang-kerangan.
Jumlah penduduk Kelurahan Mamburungan tahun 2001 yaitu 5.617 jiwa
dan tahun 2007 bertambah menjadi 8.100 jiwa (Badan Pusat Statistik). Penduduk
Mamburungan umumnya didominasi oleh penduduk asli yakni Suku Tidung yang
bermata pencaharian sebagai nelayan, petambak, PNS dan lain-lain. Disamping
itu juga dihuni oleh pendatang dari suku Bugis, Jawa, Mandar dan lain-lain
dengan mata pencaharian yang lebih bervariasi seperti: nelayan, petani, petambak,
TNI, PNS dan lain-lain.

20

B. Kondisi Hutan Mangrove di Mamburungan
Berdasarkan

pada

hasil

pengambilan

data

Hutan

Mangrove

di

Mamburungan, di ketahui bahwa paling tidak terdapat tiga jenis vegetasi
mangrove primer. Mangrove tersebut terdiri dari beberapa jenis yaitu Rhizopora
sp, Sonneratia sp, dan Avicennia sp. Secara lengkap keanekaragaman hayati
Hutan Mangrove dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 8. Diagram pohon, Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif dan
Penutupan Relatif

1.

Kerapatan Relatif
Berdasarkan diagram di atas, dari tiga jenis mangrove yang dominan di

Kota Tarakan, Avicennia sp mempunyai nilai penting yang paling tinggi yaitu
255,506% dibandingkan dengan jenis yang lain yaitu Sonneratia sp 44,031% dan
Rhizophora sp 39,457%.

Hal ini disebabkan oleh posisi Avicennia sp dalam

zonasi hutan mangrove yang berhadapan langsung dengan laut sedangkan jenis
lain berada di belakan dari zonasi Avicennia sp, (De Haan dalam Russell &
Yonge, 1968) sehingga eksploitasi terhadap jenis Avicennia sp masih kurang, dan
karena posisi ini juga ia dijadikan sebagai Green Belt, sesuai dengan Keppres 32
tahun 1990 tentang kawasan lindung yang menetapkan minimal kawasan pantai

21

berhutan bakau minimal 130 meter kali nilai rata-rata perbedaan air pasang
tertinggi air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut
terendah kearah darat. Selain itu juga nilai INP yang tinggi, menunjukkan jenis
mangrove Avicennia sp memiliki peranan yang besar bagi wilayahnya,
dibandingkan kedua jenis lain di wilayahnya masing-masing.
Kerapatan relatif pada lokasi Mamburungan untuk jenis Avicennia sp
relatif tinggi terlihat dari hasil penelitian dengan nilai kerapatan yaitu, 80,392%
sedangkan jenis mangrove Sonneratia sp dan Rhizophora sp relatif sangat rendah
dengan nilai 9,803% dan 7,843%, ini disebabkan karena letak zonasi Avicennia sp
Berada paling depan sehingga sedikit sekali terjadinya penebangan, sedangkan
sonneratia sp dan Rhizophora sp berada di belakang Avicennia sp dalam zonasi
hutan mangrove karena itu yang rawan sekali terjadinya degradasi untuk kedua
jenis tersebut.
Jumlah pohon mangrove yang ada di Mamburungan terdapat sekitar 519
pohon/Ha, Menurut Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup No. 201,
(2004). Kondisi hutan mangrove yang sangat baik adalah ≥1500 pohon/Ha lihat
tabel 3.

Dengan hasil tersebut bisa di pastikan bahwa kondisi kawasan

mamburungan tergolong kurang baik, ini menunjukan karena kawasan konservasi
mangrove Mamburungan sebelumnya dijadikan tempat pembangunan tambak dan
pemukiman sehingga terjadinya degradasi hutan mangrove.

2.

Frekuensi Relatif
Dari gambar 8, menunjukkan bahwa frekuensi relatif untuk lokasi

Mamburungan dengan jenis Avicennia sp sangat tinggi mencapai 93,603
sedangkan jenis Sonneratia sp dan Rhizophora sp relatif rendan dengan nilai
25,585 dan 24,137 ini menunjukkan bahwa lokasi mamburungan lebih di
dominasi oleh jenis Avicennia sp dengan demikian salah satu yang menyebabkan
terjadinya hal ini adalah karena jenis Sonneratia sp dan Rhizophora sp merupakan
jenis yang terdegradasi akibat adanya pemukiman warga yang makin meningkat.
Selain itu kedua jenis ini juga memiliki nilai frekuensi relatif rendah pada tajuk
yaitu Sonneratia sp 21,427% dan Rhizophora sp 35,714% ini menunjukkan
beberapa tahun kedepan kedua jenis ini juga diprediksikan memiliki nilai

22

frekuensi relatif rendah, sedangkan pada jenis Avicennia sp nilai frekuensi relatif
pada tajuk sangat tinggi yaitu 92,856%.

3.

Penutupan Relatif
Penutupan relatif di kawasan konservasi mangrove Mamburungan sangat

di pengaruhi oleh ekosistem mangrove jenis Avicennia sp karena dari hasil
penelitian, jenis ini mempunyai nilai yang paling tinggi di antara jenis-jenis yang
lain seperti Sonneratia sp dan Rhizophora sp. Jenis Avicennia sp mempunyai nilai
penutupan relatif adalah 81,551% sedangkan nilai pada Sonneratia sp dan
Rhizophora sp adalah 8,643% dan 7,477%.
Proporsi penutupan lahan oleh tajuk mangrove di Kawasan Konservasi
Mangrove Mamburungan untuk jenis Avicennia sp adalah 68,376 %. Kisaran ini
dikategorikan dalam ukuran sedang (50 – 70 %) sesuia dengan pendapat Dinas
Kehutanan dan Perkebunan (2006). Penutupan tajuk ini tidak merata di semua
pantai, sedangkan jenis Sonneratia sp dan Rhizophora sp mempunyai nilai 12,665
% dan 18,275%, Rendahnya kerapatan diakibatkan oleh kurangnya jumlah pohon
dan jarak antara pohon yang satu dengan lain relatif renggang. Areal mangrove
yang ada sebagian besar telah dikonfersi menjadi pemukiman. Dari data di atas
didapatkan bahwa kerapatan tajuk terbesar adalah Avicenna sp.

Hal ini

disebabkan oleh jumlah pohon memang terbanyak dari jenis yang lain.
Disamping itu jenis ini merupakan tumbuhan pionir mangrove di suatu kawasan
maka kemungkinan yang tumbuh duluan adalah dari jenis Avicennia sp.

4.

Indeks Nilai Penting
Berdasarkan hasil

perhitungan,

Indeks

Nilai

Penting di

daerah

Mamburungan dengan jenis Avicennia sp mempunyai nilai yang paling tinggi
yaitu 255,506% sedangkan Sonneratia sp dan Rhizophora sp adalah 44,031% dan
39,457%. Dengan hasil ini ternyata ekosistem mangrove di Mamburungan sangat
di pengaruhi oleh jenis Avicennia sp, (Bengen, 2003) terlihat dari Indeks Nilai
Penting (INP) yang sangat tinggi lihat gambar 9.

23

Gambar 9. Indeks Nilai Penting

Diagram di atas menunjukkan bahwa terjadinya perbedaan yang sangat
jauh antara ketiga jenis tersebut, ini disebabkan karena Avicennia sp merupakan
jenis mangrove yang sangat tahan/rentah terhadap gangguan dari luar sehingga
kurang terjadinya degradasi untuk jenis ini sedangkan jenis yang lain seperti
Sonneratia sp dan Rhizophora sp rentan terjadinya degradasi karena zonasinya
yang berada di belakang sehingga rentang terjadinya penebangan pada jenis ini,
dengan demikian kedua jenis mangrove ini mempunyai Indeks Nilai Penting
(INP) yang sangat rendah.
Kerusakan yang terjadi pada kedua jenis mangrove tersebut banyak
disebabkan oleh faktor manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kerusakan dari kegiatan ekonomi diantaranya adalah pembuatan tambak dan
pemukiman, dimana kecenderungan kegiatan bertambak dan pemanfaatan hutan
mangrove secara tidak terkendali yang tidak seimbang dengan usaha perlindungan
dan peremajaannya. Selain itu faktor yang ikut andil dalam kerusakan hutan
mangrove adalah peningkatan jumlah penduduk desa, status pemilikan tanah,
pengetahuan yang terbatas tentang silvikultur dan ekologi hutan mangrove, lihat
gambar 10.

24

Gambar 10. Degradasi Hutan Mangrove

Ekosistem hutan mangrove yang terletak di Kawasan Konserpasi
Mangrove Mamburungan telah terdegradasi terlihat dari gambar 10, di mana
masyarakat telah membangun jembatan, tambak, pemukiman serta di jadikan
sebagai tempat persinggahan kapal-kapal nelayan, sehingga banyak terjadinya
penebangan-penebangan

hutan

di

kawasan

tersebut.

Dengan

melihat

perkembangan jumlah penduduk yang meningkat dan faktor ekonomi yang harus
dipenuhi maka banyak masyarakat yang memanfaatkan hutan mangrove baik
sebagai lahan pemukiman maupun sebagai bahan kontruksi. Untuk mencegah
terjadinya

degradasi

mangrove

yang

berkepanjangan

maka

pemerintah

menetapkan kawasan tersebut menjadi kawasan konserpasi.
Selain itu faktor lain adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
manfaat hutan mangrove, oleh karna itu perlu adanya pelatihan-pelatihan tentang
manfaat dan peranan ekosistem hutan mangrove.

a.

Tajuk
Berdasarkan pengambilan data tajuk mangrove di Kawasan Konservasi
Mangrove Mamburungan maka didapatkan nilai Kerapatan, Frekuensi,
Penutupan dan Indeks Nilai Penting pada table 4.

25

Tabel 4.

No

Tajuk, Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR),
Penutupan Relatif (PR) dan Indeks Nilai Penting (NP) Hutan
Mangrove Mamburungan
JENIS

KR (%)

RF (%)

PR (%)

INP (%)

1

Avicennia sp

66,145

92,856

68,376

234,652

2

Sonneratia sp

14,062

21,427

12,665

49,031

3

Rhizophora sp

19,270

35,714

18,725

75,793

Dalam pelaksanaan penelitian didapatkan nilai INP untuk tajuk
234,652%, ini membuktikan bahwa kawasan konservasi mamburungan
memiliki

gambaran dan peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam

komunitas mangrove itu sangat mempengaruhi dan kerapatan ini berbeda
antara satu jenis dengan jenis yang lainnya. Kerapatan ini dipengaruhi oleh
jumlah tajuk dan diameter cakupan daun, (Universitas Borneo dan Dinas
Kehutanan & Perkebunan, 2006). Dari data dilapangan didapatkan bahwa
kerapatan tajuk terbesar adalah Avicenna.
Dengan melihat data diatas menunjukan bahwa kawasan ini bisa di
prediksikan untuk beberapa tahun kedepan dapat pulih kembali dengan
melihat kondisi yang sekarang ini menunjukan jumlah pancang yang cukup
banyak di Kawasan Konservasi Mangrove Mamburungan.

b. Semai
Semai pada ekosistem mangrove Mamburungan memiliki jumlah yang
cukup banyak dengan melihat hasil penelitian, dengan nilai yang lebih
didominasi oleh jenis Avicennia, untuk lebih jelasnya nilai semai dari ketiga
jenis mangrove tersebut dapat dilihat pada table 5.

26

Tabel 5.

No

Semai, Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR),
Penutupan Relatif (PR) dan Indeks Nilai Penting (NP) Hutan
Mangrove Mamburungan
JENIS

KR (%)

FR (%)

PR (%)

INP (%)

1

Avicennia sp

93,104

93,548

84,000

270,457

2

Sonneratia sp

3,439

9,677

4,667

17,783

3

Rhizophora sp

3,439

6,541

9,667

19,557

Peluang untuk mengembalikan/memulihkan kawasan hutan mangrove
Mamburungan secara alami bisa terjadi. Ini dapat diketahui dengan melihat
kelimpahan jumlah permudaan (semai dan pancang) pada beberapa areal
hutan mangrove Mamburungan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa

terdapat sekitar 56.129 semai dan 1935 pancang per hektar liat lampiran 4.
Dengan melihat jumlah permudaan yang begitu melimpah maka
harapan untuk merehabilitasi dan mengembalikan hutan mangrove ke
keadaan semula bisa berjalan dengan baik dan cepat. Jika kondisi ini terus
berjalan maka kemungkinan garis pantai bergeser ke depan bisa saja terjadi.
Hal ini bisa terjadi karena mangrove utamanya Avicennia

merupakan

penahan sedimen dan sampah-sampah dengan baik. Penumpukan sedimen
dan sampah-sampah ini nantinya menjadi media atau habitat yang baik bagi
pertumbuhan mangrove, (Universitas Borneo & Dinas Kehutanan dan
Perkebunan, 2006) Proses ini bisa menjadi lebih cepat terjadi mengingat
perairan di Sekitar Mamburungan yang landai.

27

V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1.

Kawasan konservasi hutan mangrove Mamburungan memiliki jumlah pohon
sekitar 519 pohon/Ha, artinya kondisi kawasan tersebut tergolong rusak.
Dan jenis-jenis mangrove yang terdapat di Kawasan Konservasi Mangrove
Mamburungan

yaitu

Avicennia,

Sonneratia,

Rhizophora

Bruguera

Xylocarpus dan Nypa. dan lebih didominasi oleh jenis Avicennia.
2.

Jenis Mangrove Avicennia mempunyai peranan yang sangat penting di
wilayah kawasan konservasi hutan mangrove Mamburungan karena
memiliki nilai INP yang tinggi yaitu 255,506%.

B. Saran
Dengan hasil penelitian dan pelaporan yang telah dilaksanakan, maka
saran yang bisa disampaikan penulis adalah sebagai berikut;
1.

Perlu adanya penelitian lanjutan untuk membuktikan apakah peningkatan
jumlah penduduk, status kepemilikan tanah, pengetahuan dan pencemaran
memberikan kontribusi terhadap kerusakan mangrove.

2.

Perlu adanya pengelolaan agar kelangsungan hidup tajuk dan semai dapat
dioptimalkan, melihat banyaknya jumlah tajuk dan semai mangrove yang
ada di Mamburungan kemungkinan kawasan ini dapat pulih kembali

28

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). 2007. Tarakan Dalam Angka. BPS. Tarakan.
Bengen. D. G. 2003. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan lautan (PKSPL) Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Begen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Institut Pertanian Bogor PKSPL-IPB, Bogor. 66 Halaman
Dahuri, R. Dkk. 2001. Sumberdaya Wilaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
PT Pradnya Paramita, Jakarta. 328 Halaman.
Dinas Kehutanan & Universitas Borneo. 2006. Laporan Penelitian Degradasi
Hutan Mangrove Kota Tarakan Dinas Kehutanan, Tarakan
Dinas Kehutanan. 2005. Luas Mangrove Mamburungan
Hardi. W. 2006 Conspectus Model in Library Science. http://.www.conspectus
reload.tripod.com
Hutching, P. And P. Saenger, 1987. Ecology of Mangrove. University of
Queensland Press, Queensland Australia.
Mentri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan
Kerusakan Mangrove
Nybakken, JM. 1988. Biologi Laut “Suatu Pendekatan Ekologis”. Gramedia.
Jakarta.
Russell, F.S.& M. Yonge (Eds.). 1968. Advences in Marine Biology. Volume 6.
Academic Press, Inc., New York, USA.

29

Lampiran 1. Hasil Pengambilan Data Mangrove Mamburungan (Lokasi I)
LOKASI I

3

1

5

1

5

13

5

Pohon

4

Pancang

8

semai

4

Pohon

1

Pancang

11

Plot IX

semai

6

Plot VIII
Pohon

7

Pancang

5

semai

4

Pohon

4

Pancang

Pohon

2

Plot VII

semai

Pancang

4

Plot VI
Pohon

semai

7

Pancang

Pohon

4

Semai

Pancang

8

Sonneratia spp

7

5

5

10

11

5

6

5

5

10

11

5

6

2

Rhizopora spp
Jumlah

Plot V

semai

12

Plot IV

Pohon

Pohon

Pancang

1

Plot III

Pancang

16

Plot II
semai

Avicenna spp

Plot I
semai

JENIS
MANGROV
E

1
16

1

12

8

4

8

1
4

3

4

4

5

1

5

10

5

2
6

13

1

3
3

10

30

Lampiran 2. Hasil Pengambilan Data Mangrove Mamburungan (Lokasi II)
LOKASI II

3

Pohon

8
2

2

11

1

7
1

4

9

1

4

2

2

3

6

2

1

1

1

3

1

5

2

1

1

1

6

3

15

9

4

20

3
2

6

11

5

6

11

5

6

semai

Pancang

1

1

Pohon

Semai

2

semai

Pohon

3

Pohon

3

1

Plot IX
Pancang

5

4

Pancang

3

1

semai

3

1

Pohon

Jumlah

4

Pancang

1

1

semai

Rhizopora spp

3

Plot VIII

Pohon

1

2

Plot VII

Pancang

Sonneratia spp

Pancang

1

semai

3

Plot VI

Pohon

5

Plot V

Pancang

Pancang

3

Plot IV

semai

semai

3

Plot III
Pohon

Pohon

Plot II

Pancang

Avicenna spp

Plot I
semai

JENIS
MANGROV
E

2
2

2

4

31

Lampiran 3. Hasil Pengambilan Data Mangrove Mamburungan (Lokasi II)
LOKASI III

14

5

1

19

2

1

9

3

8

1

1

2

4

1

4

2

2

1

8

Pohon

semai

3

Pancang

Pohon

6

semai

Pancang

1

Plot XIII
Pohon

semai

2

Pancang

Pohon

Plot XII

Pancang

Plot XI

semai

Plot X

Sonneratia spp
Rhizopora spp
Jumlah

4

2

15

5

4

3

2

15

5

4

3

1

LOKASI III

Avicenna spp

10

Pohon

6

Pancang

2

semai

semai

3

Pohon

Pohon

2

Pancang

Pancang

1

semai

semai

3

Plot IX

Pohon

Pohon

2

Pancang

Pancang

1

Plot VIII

2

Rhizopora spp

JENIS
MANGROVE

Plot VII

1

Sonneratia spp

Jumlah

Plot VI

Semai

8

Plot V
Pohon

3

Pancang

semai

9

Plot IV
Pohon

1

Pancang

semai

19

Plot III
Pohon

1

Pancang

5

semai

Pohon

14

Plot II

Pancang

Avicenna spp

Plot I
semai

JENIS
MANGROV
E

6

4

9

4

6

4

9

2

3

4

3

3

1

2

3

2

6

10

5

32

Lampiran 4. Perhitungan Kerapatan dan Kerapatan Relatif
1.

Kerapatan
a. Avisennia
 Kerapatan (10 x 10)
Kerapatan Keseluruhan

= Jumlah Keseluruhan
Luas Contoh
=

161

=

10x10 (31)

161
3100

= 0,051%
Kerapatan (K)

= Jumlah Individu
Luas Contoh
=

130

=

10x10 (31)

130
3100

= 0,041%
Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan Suatu Jenis

X 100 %

Kerapatan Seluruh Jenis
= 0,041 X 100 %
0,051
= 80,392%
 Kerapatan (5 x 5)
Kerapatan Keseluruhan

= Jumlah Keseluruhan
Luas Contoh
=

149

=

5 x 5 (31)

775

= 0,192 %
Kerapatan (K)

= Jumlah Individu
Luas Contoh
=

99
5 x 5 (31)

= 0,127%

149

=

99
775

33

Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan Suatu Jenis

X 100 %

Kerapatan Seluruh Jenis
= 0,127 X 100 %
0,192
= 66,145%
 Kerapatan (1 x 1)
Kerapatan Keseluruhan

= Jumlah Keseluruhan
Luas Contoh
=

174

=

1 x 1 (31)

174
31

= 5,612%
Kerapatan (K)

= Jumlah Individu
Luas Contoh
=

162

=

1 x 1 (31)

162
31

= 5,225%
Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan Suatu Jenis

X 100 %

Kerapatan Seluruh Jenis
= 5,225 X 100 %
5,612
= 93,104%
b. Rhizophora
 Kerapatan (10 x 10)
Kerapatan (K)

= Jumlah Individu
Luas Contoh
=

15
10x10 (31)

= 0,004%

=

15
3100

34

Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan Suatu Jenis

X 100 %

Kerapatan Seluruh Jenis
= 0,004 X 100 %
0,051
= 7,843%
 Kerapatan (5 x 5)
Kerapatan (K)

= Jumlah Individu
Luas Contoh
=

29

=

5 x 5 (31)

29
775

= 0,037%
Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan Suatu Jenis

X 100 %

Kerapatan Seluruh Jenis
= 0,037 X 100 %
0,192
= 19,270%
 Kerapatan (1 x 1)
Kerapatan (K)

= Jumlah Individu
Luas Contoh
=

6

=

1 x 1 (31)

6
31

= 0,193%
Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan Suatu Jenis

X 100 %

Kerapatan Seluruh Jenis
= 0,193 X 100 %
5,612
= 3,439%

35

c. Sonneratia
 Kerapatan (10 x 10)
Kerapatan (K)

= Jumlah Individu
Luas Contoh
=

18

=

10x10 (31)

18
3100

= 0,005%
Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan Suatu Jenis

X 100 %

Kerapatan Seluruh Jenis
= 0,005 X 100 %
0,051
= 9,803%
 Kerapatan (5 x 5)
Kerapatan (K)

= Jumlah Individu
Luas Contoh
=

21

=

5 x 5 (31)

21
775

= 0,027%
Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan Suatu Jenis

X 100 %

Kerapatan Seluruh Jenis
= 0,027 X 100 %
0,192
= 14,062%
 Kerapatan (1 x 1)
Kerapatan (K)

= Jumlah Individu
Luas Contoh
=

6
1 x 1 (31)

= 0,193%

=

6
31

36

Kerapatan Relatif (KR)

= Kerapatan Suatu Jenis

X 100 %

Kerapatan Seluruh Jenis
= 0,193 X 100 %
5,612
= 3,439%

37

Lampiran 5. Perhitungan Frekwensi dan Frekwensi Relatif
2.

Frekuensi
a. Avisennia
 Frekuensi (10 x 10)
Frekuensi Keseluruhan

= Jumlah plot ditemukan seluruh jenis
Jumlah seluruh plot
= 29
31
= 93,548%

Frekuensi (K)

= Jumlah plot ditemukan seluruh jenis
Jumlah seluruh plot
= 27
31
= 87,096%

Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi Suatu Jenis

X 100 %

Frekwensi Seluruh Jenis
= 87,096 X 100 %
93,548
= 93,603%
 Frekuensi (5 x 5)
Frekuensi Keseluruhan

= Jumlah plot ditemukan seluruh jenis
Jumlah seluruh plot
= 28
31
= 90,322%

Frekuensi (K)

= Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot
= 26
31
= 83,870%

38

Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi Suatu Jenis

X 100 %

Frekuensi Seluruh Jenis
= 83,870 X 100 %
90,322
= 92,856%
 Frekuensi (1 x 1)
Frekuensi Keseluruhan

= Jumlah plot ditemukan seluruh jenis
Jumlah seluruh plot
= 31
31
= 100%

Frekuensi (F)

= Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot
= 29
31
= 93,548%

Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi Suatu Jenis

X 100 %

Frekuensi Seluruh Jenis
= 93,548 X 100 %
100
= 93,548%
b. Rhizophora
 Frekuensi (10 x 10)
Frekuensi (F)

= Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot
=

7
31

= 22,580%

39

Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi Suatu Jenis

X 100 %

Frekuensi Seluruh Jenis
= 22,580 X 100 %
93,548
= 24,137%
 Frekuensi (5 x 5)
Frekuensi (F)

= Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot
= 10
31
= 32,258%

Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi Suatu Jenis

X 100 %

Frekuensi Seluruh Jenis
= 32,258 X 100 %
90,322
= 35,714%
 Frekuensi (1 x 1)
Frekuensi (F)

= Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot
=

2
31

= 6,451%
Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi Suatu Jenis

X 100 %

Frekuensi Seluruh Jenis
= 6,451 X 100 %
100
= 6,451%

40

c. Sonneratia
 Frekuensi (10 x 10)
Frekuensi (F)

= Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot
=

8
31

= 25,806%
Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi Suatu Jenis

X 100 %

Frekuensi Seluruh Jenis
= 25,806 X 100 %
93,548
= 27,585%
 Frekuensi (5 x 5)
Frekuensi (F)

= Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot
=

6
31

= 19,354%
Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi Suatu Jenis

X 100 %

Frekuensi Seluruh Jenis
= 19,354 X 100 %
90,322
= 21,427%
 Frekuensi (1 x 1)
Frekuensi (F)

= Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Jumlah seluruh plot
=

3
31

= 9,677%

41

Frekuensi Relatif (FR)

= Frekuensi Suatu Jenis

X 100 %

Frekuensi Seluruh Jenis
= 9,677 X 100 %
100
= 9,677%

42

Lampiran 6. Perhitungan Penutupan dan Penutupan Relatif
3.

Penutupan
a. Avicennia
 Penutupan (10 X 10)
Penutupan
= Luas bidang dasar
Plot I

Luas unit contah
= 0,628 X 12

= 0,075%

10 X 10
Penutupan
Plot II

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 1,004 X 7

= 0,070%

10 X 10
Penutupan
Plot III

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 1,009 X 4

= 0,043%

10 X 10
Penutupan
Plot IV

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,816 X 7

= 0,057%

10 X 10
Penutupan
Plot V

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,785 X 11

= 0,086%

10 X 10
Penutupan
Plot VI

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 1,004 X 8
10 X 10

= 0,080%

43

Penutupan
Plot VII

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,960 X 7

= 0,048%

10 X 10
Penutupan
Plot VIII

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,628 X 10

= 0,062%

10 X 10
Penutupan
Plot IX

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,753 X 6

= 0,045%

10 X 10
Penutupan
Plot X

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,942 X 5

= 0,047%

10 X 10
Penutupan
Plot XI

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 1,004 X 1

= 0,010%

10 X 10
Penutupan
Plot XII

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,816 X 1

= 0,008%

10 X 10
Penutupan
Plot XIII

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,753 X 3
10 X 10

= 0,020%

44

Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XIV

Luas unit contah
= 0,816 X 1

= 0,008%

10 X 10
Penutupan
Plot XV

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,753 X 3

= 0,022%

10 X 10
Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XVI

Luas unit contah
= 0,816 X 6

= 0,048%

10 X 10
Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XVII

Luas unit contah
= 0,69 X 1

= 0,006%

10 X 10
Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XVIII

Luas unit contah
= 0,879 X 1

= 0,008%

10 X 10
Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XIX

Luas unit contah
= 0,973 X 3

= 0,039%

10 X 10
Penutupan
Plot XX

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,785 X 1
10 X 10

= 0,007%

45

Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XXI

Luas unit contah
= 0,785 X 1

= 0,007%

10 X 10
Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XXII

Luas unit contah
= 0,533 X 4

= 0,021%

10 X 10
Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XXIII

Luas unit contah
= 0,471 X 3

= 0,014%

10 X 10
Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XXIV

Luas unit contah
= 0,659 X 6

= 0,039%

10 X 10
Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XXV

Luas unit contah
= 0,628 X 1

= 0,006%

10 X 10
Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XXVI

Luas unit contah
= 0,722 X 6

= 0,043%

10 X 10
Penutupan

= Luas bidang dasar

Plot XXVII

Luas unit contah
= 0,816 X 9
10 X 10

= 0,073%

46

Penutupan Relatif (DR)

= Penutupan suatu jenis X 100%
Penutupan seluruh jenis
= 0,992 X 100%
1.217
= 81,511%

 Penutupan (5 x 5)
Penutupan
Plot I

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,219 X 1

= 0,008%

5X5
Penutupan
Plot II

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,188 X 4

= 0,030%

5X5
Penutupan
Plot III

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,219 X 2

= 0,017%

5X5
Penutupan
Plot IV

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,251 X 5

= 0,050%

5X5
Penutupan
Plot V

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,251 X 6

= 0,060%

5X5
Penutupan
Plot VI

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,251 X 4
5X5

= 0,040%

47

Penutupan
Plot VII

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,188 X 3

= 0,022%

5X5
Penutupan
Plot VIII

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,251 X 3

= 0,030%

5X5
Penutupan
Plot IX

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,219 X 5

= 0,043%

5X5
Penutupan
Plot X

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,251 X 3

= 0,030%

5X5
Penutupan
Plot XI

= Luas bidang dasar
Luas unit contah
= 0,251 X 1

= 0,010%

5X5
Penutupan
Plot