PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERTAMBANGA

PENEGAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERTAMBANGAN EMAS ILEGAL
BAGI KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Lingkungan
Yang diampu oleh: Ridwan Arifin, S.H., Ll.M

Oleh:
Taza Ratna Atika

8111416147

Desti Reka Hartiningrum

8111416167

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

1

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya

makalah

yang

berjudul

“Penegakan

Hukum

Pidana

dalam


Pertambangan Emas Ilegal Bagi Kelestarian Lingkungan Hidup dan Upaya
Penanggulangannya”. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih
atas dukungan moral dan materiil yang diberikan dalam penyusunan makalah
ini.
Makalah ini membahas tentang masalah pertambangan emas ilegal
meliputi berbagai peraturan perundang-undangan, peran pemerintah, dan
upaya penanggulangannya terhadap pertambangan ilegal.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca.

Semarang, 07 Oktober 2017

Pemakalah

2

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL......................................................................

i

KATA PENGANTAR........................................................................

ii

DAFTAR ISI..................................................................................

iii

DAFTAR TABEL.............................................................................

iv

DAFTAR PUTUSAN/KASUS.............................................................

v


BAB I PENDAHULUAN...................................................................

1

A. Latar Belakang.................................................................................

1

B. Rumusan Masalah............................................................................

2

C. Metode Penulisan.............................................................................

2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................

3


A. Peran Pemerintah terhadap Penegakan Hukum Pidana dalam
Kasus Pertambangan Emas Ilegal di Indonesia................................
.......................................................................................................3
B. Upaya Penanggulangan Permasalahan Pertambangan Emas Ilegal
di Indonesia......................................................................................
.......................................................................................................8
C. Analisis Hukum Putusan Kasus Pidana Mengenai Permasalahan
Pertambangan Emas Ilegal..............................................................
.....................................................................................................11
BAB III KESIMPULAN....................................................................
.............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................
.............................................................................................. 15

3

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Pandangan Responden tentang Kegiatan Penanggulangan
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup di Provinsi Maluku Utara. .
...................................................................................................................10


4

DAFTAR PUTUSAN/KASUS
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 002/PUU-1/2003. .
.....................................................................................................................5
Putusan Nomor 02/Pid.B/2014/PN.SWL..........................................................
..................................................................................................................12
Putusan Nomor 112/Pid.B/2012/PN.MR..........................................................
...................................................................................................................13
Putusan Nomor 55/Pid.B/2014/PN Bko...........................................................
...................................................................................................................13

5

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pertambangan tidak pernah terlepas dari bagian lingkungan
hidup yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib

dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap menjadi sumber
penunjang

hidup

bagi

manusia

dan

makhluk

hidup

lainnya

demi

kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.

Dewasa ini, kejahatan lingkungan sering terjadi di sekeliling lingkungan
kita, namun semua itu tidak kita sadari. Pengurasan sumber daya alam
(natural resource depletion) diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya
alam secara tidak bijaksana sehingga sumber daya alam itu baik kualitas
maupun kuantitasnya menjadi berkurang atau menurun dan pada akhirnya
habis

sama

sekali.1

Khususnya

masalah

pertambangan

ilegal.

Pertambangan merupakan usaha untuk menggali berbagai potensi-potensi

yang terkandung dalam perut bumi.2
Indonesia merupakan negara yang kaya akan bahan galian (tambang).
Bahan galian itu, meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi,
batu bara, dan lain-lain. Bahan galian itu dikuasai oleh negara. 3 Negara
menguasai secara penuh semua kekayaan yang terkandung di dalam bumi
dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi
kenyataannya rakyat melakukan kegiatan penambangan dengan tidak
memperhatikan aspek-aspek yang penting di dalamnya, seperti tidak
memperhatikan akibat yang ditimbulkan atau pengaruh dengan adanya
pertambangan

tersebut,

namun

tidak

menutup

kemungkinan


pertambangan juga dilakukan oleh perusahaan tambang yang telah
memiliki izin resmi. Sistem pengelolaan pertambangan di Indonesia bersifat
pluralistik,

hal

ini

disebabkan

beraneka

pertambangan yang berlaku saat ini.

ragam

kontrak

atau


izin

4

1 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2014) hlm. 2.
2 Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014)
hlm. 7.
3 Ibid., hlm. 1.
4 Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara (Jakarta: Sinar Grafika, 2014)
hlm. 1.

1

Beberapa isu-isu penting permasalahan pada pertambangan adalah
ketidakpastian kebijakan, penambangan liar, konflik dengan masyarakat
lokal, konflik sektor pertambangan dengan sektor lainnya. Untuk itu, perlu
adanya penindakan oleh segenap komponen bangsa, termasuk bidang
penegakan hukum pidana. Perbuatan yang diancam dengan hukum pidana
adalah perbuatan yang diancam yang secara mutlak harus memenuhi
syarat formal, yaitu mencocokkan dengan rumusan undang-undang yang
telah ditetapkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan peraturanperaturan lain yang berdimensi pidana dan memiliki unsur material yaitu
bertentangan dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau
dengan kata pendek suatu sifat melawan hukum atau tindak pidana.5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diambil
dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran pemerintah terhadap penegakan hukum pidana dalam
kasus pertambangan emas ilegal di Indonesia?
2. Bagaimana upaya penanggulangan permasalahan pertambangan emas
ilegal di Indonesia?
3. Bagaimana

analisis

hukum

putusan

kasus

pidana

mengenai

permasalahan pertambangan emas ilegal?
C. Metode Penulisan
Untuk

mendapatkan

data

dan

informasi

yang

diperlukan,

kami

mempergunakan studi pustaka yaitu metode yang dilakukan dengan
mempelajari

dan

mengumpulkan

data

atau

referensi-referensi

dan

informasi dari pustaka yang berhubungan dalam pembahasan, baik berupa
buku pelajaran hukum lingkungan dan hukum pertambangan, jurnal ilmiah
edisi cetak maupun edisi online, artikel, dan media masa elektronik yang
berjangkauan internasional yaitu internet.

5 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana
(Yogyakarta: Bina Aksara, 1983) hlm. 24-25.

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran Pemerintah terhadap Penegakan Hukum Pidana dalam Kasus
Pertambangan Emas Ilegal di Indonesia
Istilah hukum pertambangan merupakan terjemahan dari bahasa
Inggris, yaitu minning law. Hukum pertambangan dalam Ensiklopedia
Indonesia

adalah

hukum

yang

mengatur

tentang

penggalian

atau

pertambangan bijih-bijih dan mineral-mineral dalam tanah. Definisi ini
hanya difokuskan pada aktifitas penggalian atau pertambangan bijih-bijih.
Padahal untuk menggali bahan tambang diperlukan perusahaan atau badan
hukum yang mengelolanya. Definisi lain dapat ditemukan dalam Blacklaw
Dictionary yaitu hukum pertambangan adalah ketentuan khusus yang
mengatur hak menambang (bagian dari tanah yang mengandung logam
berharga di dalam tanah atau bebatuan) menurut aturan-aturan yang telah
ditetapkan.
Definisi tersebut difokuskan pada hak masyarakat untuk melakukan
kegiatan penyelidikan dan hak untuk melakukan kegiatan eksploitasi. Tetapi
objek kajian hukum pertambangan tidak hanya mengatur hak penambang,
tetapi juga mengatur kewajiban penambang kepada negara. Oleh karena
itu, Salim HS mengartikan hukum pertambangan adalah keseluruhan kaidah
hukum yang mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan
galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum antara negara dengan
orang dan atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan
galian (tambang).6
Bahan galian berasal dari terjemahan bahasa Inggris yaitu mineral.
Dalam Article 3 angka 1 Japanese Minning Law No. 289, 20 December, 1950
Latest Amendment In 1962 mengartikan mineral adalah bijih-bijih dari
emas, perak, tembaga, timah, bismut, kaleng, logam putih, seng, besi,
sulpida, khrom, mangan, tangstan, molibdenum, arsen, nikel, kobal,
uranium, pospate, grafit, batu bara, batu bara mudah, minyak mentah,
aspal gas alam, sulfur, batu tahu, barit, alunit, flor, asbes, batu gamping,

6 Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014)
hlm. 7-8.

3

dolomit, silikon, peldpar, piropilet, talk, batu lempung, dan bijih tanah (bijih
emas, bijih besi, timah di sungai, dan berbagai metal lainnya).
Bahan galian adalah unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih,
dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan
endapan-endapan alam.7 Penggolongan bahan galian diatur dalam Pasal 3
UU No. 11 Tahun 1967, Pasal 1 PP No. 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan
Bahan Galian. Bahan galian dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Bahan galian strategis (golongan A), yang terbagi menjadi 6 golongan:
a. Minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam
b. Bitumen padat, aspal
c. Antrasit, batu bara, batu bara muda
d. Uranium, radium, thorium, dan bahan-bahan galian radioaktif
lainnya
e. Nikel, kobal
f. timah
2. Bahan galian vital (golongan B), yang terbagi menjadi 8 golongan:
a. Besi, mangan, molibden, khrom, wolfram, vanadium, titan
b. Bauksit, tembaga, timbal, seng
c. Emas, platina, perak, air raksa, intan
d. Arsin, antimon, bismut
e. Ytrium, rtutrnium, cerium, dan logam-logam langka lainnya
f. Berillium, korundum, zirkon, kristal warsa
g. Kriliot, flourspar, barit
h. Yodium, brom klor, belerang
3. Bahan galian yang tidak termasuk bahan galian strategi dan vital
(golongan C):
a. Nitrat-nitrat, pospat-pospat, garam batu (halite)
b. Asbes, talk, mika, grafit magnesit
c. Yarosit, leusit, tawas (alum), oker
d. Batu permata, batu setengah permata
e. Pasir kwarsa, kaolin, feldspar, gips, bentonit
f. Batu apung, tras, absdian, perlit, tanah diatome, tanah serap
g. Marmer, batu tulis
7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan Pasal 2 butir a (LN 1967 No. 22, TLN 2831).

4

Ketentuan-Ketentuan

Pokok

h. Batu kapur, dolomit, kalsit
i. Granit, andesit, basal, trakhit, tanah liat, tanah pasir (sepanjang
tidak mengandung unsur mineral golongan a maupun b dalam
jumlah berarti.8
Dari keempat belas macam golongan bahan itu, penggolongan yang
mendapat perhatian yang sangat serius dari pemerintah dan masyarakat
adalah penggolongan atas dasar nilai komersial. Golongan bahan galian
yang mempunyai komersial yang tinggi adalah minyak dan gas bumi, emas,
tembaga dan perak, serta batu bara karena mempunyai dampak positif
dalam

pembiayaan

pelaksanaan

eksplorasi

menimbulkan
masyarakat

pembangunan

konflik
dengan

dan

dalam

nasional.

Di

samping

itu,

dalam

itu

sering

terjadi

antara

eksploitasi,

bahan

galian

masyarakat.

Konflik

itu

perusahaan

tambang,

yang

berkaitan

dengan

pemanfaatan tanah untuk kepentingan pertambangan.9
Di Indonesia, negara diberi kewenangan untuk menguasai sumber
daya mineral dan batubara. Makna penguasaan negara ialah negara
mempunyai kebebasan atau kewenangan penuh (volldige bevoegdheid)
untuk menentukan kebijaksanaan yang diperlukan dalam bentuk mengatur
(regelen),

mengurus

(besturen),

dan

mengawasi

(toezichthouden)

penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional.10
Rumusan

penguasaan

negara

juga

ditemukan

dalam

Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang berbunyi “Pengertian
dikuasai oleh negara haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh
negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi
kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya
pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber
kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan UUD 1945
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid)
dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelen daad),
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk
8 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-Bahan
Galian Pasal 1 (LN 1980 No. 47, TLN 3174)
9 Salim HS, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) hlm
46.
10 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 219.

5

tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 11 Kewenangan negara dalam
putusan ini, meliputi:
a. membuat kebijakan (beleid) dan pengurusan (bestuursdaad);
b. pengaturan (regelendaad);
c. pengelolaan (beheersdaad); dan
d. pengawasan (toezichthoudensdaad).12
Dalam

hal

kewenangan

kebijakan

negara

demi

tercapainya

penegakan hukum, negara membuat beberapa peraturan nasional baik
berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun keputusan menteri
yang mengatur tentang pertambangan antara lain, Undang-Undang No. 4
tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan
Pemerintah No. 55 tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan dan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2012 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Selanjutnya beberapa isu-isu
penting

permasalahan

pada

pertambangan,

adalah

ketidakpastian

kebijakan, penambangan liar, konflik dengan masyarakat lokal, konflik
sektor pertambangan dengan sektor lainnya. Demikian juga pertambangan
emas liar yang terjadi di Gunung Botak, Desa Dafa, Dusun Wamsaid,
Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku dan beberapa lokasi
lagi yang ada di Indonesia bahwa banyak yang melakukan penambangan
tanpa izin sehingga mengakibatkan kerugian baik bagi masyarakat maupun
negara.
Untuk pencapaian penegakan hukum terhadap masalah-masalah
pertambangan khusunya pertambangan liar tentulah harus dilaksanakan
oleh segenap komponen bangsa, termasuk bidang penegakan hukum
pidana. Hukum dalam suatu masyakat bertujuan untuk menciptakan
adanya suatu ketertiban dan keselarasan dalam berkehidupan. Hukum itu
mempunyai sifat mengatur dan memaksa. Suatu peraturan hukum adalah
untuk keperluan penghidupan masyarakat, mengutamakan kepentingan
masyarakat, bukan untuk keperluan atau kepentingan perseorangan atau
golongan, hukum juga menjaga hak-hak dan menentukan kewajiban11 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 002/PUU-I/2003, hlm. 346.
12 Salim HS, Op. Cit., hlm. 18.

6

kewajiban anggota masyarakatnya agar terciptanya suatu masyarakat yang
teratur, adil, dan makmur.
Pada dasarnya, di dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara dikenal juga jenis tindak pidana yang
akan dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan kejahatan di bidang
pertambangan. Ada empat jenis tindak pidana di bidang pertambangan,
yaitu:
a. pidana penjara;
b. pidana denda;
c. pidana pemberatan; dan
d. pidana tambahan.13
Pengaturan

khusus

mengenai

sanksi

pidana

bagi

kegiatan

pertambangan yang berhubungan dengan lingkungan terdapat dalam
Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.

Penegakan

hukum

lingkungan

kepidanaan

di

bidang

pertambangan berupa pidana penjara dan denda atas tidak memiliki izin,
pemberian informasi palsu dan penerapan pidana tambahan yang berupa
perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. Ketentuan
pidana pokok ini diatur dalam Pasal 158-162, pidana pemberatan dalam
Pasal 163, dan ketentuan pidana tambahan diatur dalam Pasal 164 UndangUndang No. 4 Tahun 2009.
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” merupakan
konsep sentral yang dikenal ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan
pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika
pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan
dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally
blameworthy. Berdasar asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi
untuk

memidana

seseorang,

yaitu

13 Ibid., hlm. 293-294.

7

ada

perbuatan

lahiriah

yang

terlarang/perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela
(mens rea).14
Sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada orang perorangan, maupun
pengurus dan badan hukum. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada
subyek hukum orang perorangan telah ditentukan dalam Pasal 158-162
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Melakukan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK. Tanpa
adanya izin tersebut, maka orang yang melakukan usaha pertambangan
tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penambang tidak sah/penambang
liar (illegal mining). Sesuai dengan UU Minerba Pasal 160 Ayat (1) dan (2),
yaitu:
(1)Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau
IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau
denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah;
(2)Setiap orang yang mempunyai IUP

Eksplorasi tetapi melakukan

kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling
lama

5

(lima)

tahun

dam

denda

paling

banyak

Rp

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).15
Sedangkan sanksi pidana penjara dan denda yang dapat dijatuhkan
kepada pengurus badan hukum yang melakukan perbuatan pidana telah
ditentukan dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, dan Pasal 162
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009.16 Kelima Pasal itu berkaitan dengan
pelaksanaan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP,
IPR, atau IUPK tanpa izin dari pejabat yang berwenang. Sanksi pengurus
badan hukum yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin dari pejabat
yang berwenang, yaitu:
(1) pidana penjaranya, minimal 1 tahun penjara dan maksimal 10 tahun
penjara; dan
(2) sanksi dendanya, minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 10 miliar.

14 Hanafi, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”, Jurnal Hukum: Ius Quia
Iustum, Vol. 6, No. 11, 1999, hlm. 27.
15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasal 160 Ayat (1) dan (2) (LN 2009 No. 4, TLN 4959).
16 Salim HS, Op.Cit., hlm. 310.

8

Atas

dasar

konstruksi

pemikiran

Joseph

Goldstein,

memberi

pemahaman bahwa dalam implementasi atau penegakan hukum tidak
mungkin

dapat

enforcement.

dilaksanakan

Penegakan

sepenuhnya

(total

enforcement

karena

secara

hukum

enforcement)
adanya

total

tidak
tetapi

enforcement

mungkin
paling

pembatasan

dapat

maksimal

dalam

hukum

atau

full

dilakukan
adalah
itu

full

sendiri,

disamping pengaruh penegak hukum itu sendiri. Oleh karena itu ada ruang
dimana

tidak

dapat

dilakukan

penegakkan

hukum

(area

of

no

enforcement).17
B. Upaya Penanggulangan Permasalahan Pertambangan Emas Ilegal
di Indonesia
Pengelolaan dan permasalahan lingkungan hidup memerlukan suatu
bentuk pengendalian yang terdiri atas 3 (tiga) tahap yaitu:
a. upaya preventif;
b. upaya pre-emtif;
c. upaya represif.18
Upaya preventif yang harus dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup
agar tidak terjadi kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup
adalah penyuluhan (sosialisasi) bidang hukum kepada masyarakat dan para
pelaku industri yang berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Upaya

pre-emtif

yang

di

lakukan

Dinas

Lingkungan

Hidup

adalah

bekerjasama dengan masyarakat serta Lembaga Swadaya Masyarakat yang
berkaitan dengan masalah lingkungan. Upaya represif adalah upaya yang
lebih menekankan kepada pemulihan kembali keadaan semula dengan cara
identifikasi sumber kerusakan dan pertemuan dengan para penangggung
jawab sumber kerusakan serta peningkatan kemampuan aparat hukum
dalam menangani pengaduan kerusakan lingkungan hidup.
Dalam rangka mengoptimalkan upaya penanggulangan aktivitas
penambangan emas ilegal, maka dapat dilakukan langkah-langkah melalui
penerapan upaya penal meliputi penerapan sanksi pidana terhadap pihak17Lutfi Zaini Khakim, “Model Revitalisasi Lahan Dampak Pertambangan Pasir Besi
(Perspektif Implementasi Perda Kabupaten Cilacap Nomor 17 Tahun 2010)”, Pandecta:
Research Law Journal, Vol. 9, No. 1, Januari 2014, hlm. 116-117.
18 Syaiul Bahri Ruray, Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan
& Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup (Bandung: PT. Alumni, 2012) hlm. 196-202.
9

pihak yang terlibat dalam aktivitas penambangan emas ilegal sesuai
dengan ketentuan yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan
maupun non penal dengan mendorong pemerintah untuk meningkatkan
upaya pembinaan, pengawasan dan pengendalian pengelolaan kegiatan
usaha pertambangan serta mengubah pola pikir masyarakat dalam
melaksanakan aktivitas penambangan melalui program kemitraan usaha
dengan perusahaan pemegang izin usaha

pertambangan, sehingga

mampu mendorong terlaksananya good mining practice yang berwawasan
lingkungan

hidup.

Goodland

menjelaskan

makna

dari

kelestarian

lingkungan, yaitu:19
Environmental sustainability as the maintenance of natural capital. It
implies the unimpaired maintenance of human life support systems.
The need for environmental sustainability has arisen due to the
recognition that, there are unborn generations who will depend on
the environment. Therefore, if the present abuse of the environment
is not checked that will lead to biophysical degradation. The move for
environmental sustainability is urgent, due to the deterioration of
global life support systems.
Dari
lingkungan

pernyataan
sebagai

pemeliharaan

tersebut

dapat

pemeliharaan

lingkungan

dipahami

modal

merupakan

alam

sistem

bahwa
yang

pendukung

kelestarian
menyiratkan
kehidupan

manusia. Kebutuhan akan kelestarian lingkungan muncul karena adanya
pengakuan bahwa ada generasi yang belum lahir yang kelak akan
bergantung pada lingkungan. Karena itu, jika saat ini kelestarian lingkungan
diabaikan maka akan menyebabkan degradasi biofisik. Pendapat lain
mengenai 4 faktor yang dapat berdampak pada lingkungan karena
penambangan emas diungkapkan oleh Ashton dkk, yaitu:20
Four factors impact on the environment, as a result of gold mining
operations. These are the;
-

type of rock ore being mined,

-

the type of mining operation and scale of operations,

19 R Goodland, “The Concept of Environmental Sustainability”, Annual Review of
Ecology and Systematic, Vol. 26, No. 1, November 1995, hlm. 3.
20 Kwaku D Kessey and Benedict Arko, “Small Scale Gold Mining and Environmental
Degradation, in Ghana: Issue of Mining Policy Implementation and Challenges”, Journal of
Studies in Social Sciences, Vol. 5, No. 1, 2013, hlm. 16.

10

-

the efficiency and effectiveness of the environmental management
system put in place,

-

the sensitivity of the receiving environment.
4 faktor tersebut adalah jenis bijih batu yang ditambang, jenis operasi

penambangan dan skala operasi, efisiensi dan efektivitas manajemen
lingkungan yang diberlakukan, dan sensitivitas lingkungan penerima.
Kegiatan

penanggulangan

dalam

pengelolaan

dan

perlidungan

lingkungan hidup juga dapat dilakukan dengan cara pemberian informasi
peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada
masyarakat; pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup; penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup; cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Terhadap kegiatan penanggulangan yang dilakukan oleh pihak
pemerintah daerah di Provinsi Maluku Utara, berikut adalah pandangan
para responden.21
Tabel 2.1
Pandangan Responden tentang Kegiatan Penanggulangan
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup di Provinsi
Maluku Utara
No

Kategori

.

jawaban

1
2

Optimal
Kurang

3

Optimal
Tidak Optimal
Tidak

Kategori Responden
Pemda
Pengus Masyara

F

P

11
9

aha
12

kat
-

11
21

11
21

-

-

68
-

68
-

68
-

68

100

100

menjawab
Jumlah
20
12
Sumber: Data Primer yang telah diolah, 2010.

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa ada 11 responden atau 11% responden
yang menyatakan bahwa kegiatan pengendalian dalam pengelolaan dan
perlindungan lingkungan hidup di Provinsi Maluku Utara telah berjalan
optimal. Seluruh responden yang menyatakan optimal adalah responden
dari pihak pemerintah daerah. Alasan para responden adalah seluruh
kegiatan penanggulangan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 32
21Syaiul Bahri Ruray, Op. Cit., hlm. 208.

11

tahun 2009 telah dilaksananakan oleh pihak dan instansi terkait. 21
responden atau 21% responden menyatakan bahwa kegiatan pengendalian
dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di Provinsi Maluku
Utara kurang optimal. Alasan para responden adalah sampai saat ini telah
terjadi beberapa kerusakan lingkungan hidup di beberapa daerah di Maluku
Utara, tetapi belum ada upaya pemerintah untuk melakukan penutupan
terhadap pihak pelaku perusakan lingkungan hidup. 68 responden atau 68%
responden

menyatakan

bahwa

pemanaatan

dalam

pengelolaan

dan

perlindungan lingkungan hidup di Provinsi Maluku Utara tidak berjalan
optimal. Seluruh responden yang menyatakan tidak optimal berasal dari
kalangan

masyarakat.

Alasan

responden

adalah

dalam

tahap

penanggulangan, pihak pemerintah daerah tidak melakukan satu pun dari
ketiga upaya yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009.
Selain itu, upaya penanggulangan terhadap pertambangan emas
ilegal

di

Indonesia

juga

bisa

dilakukan

melalui

jalan

penutupan

pertambangan liar tersebut. Seperti upaya penutupan yang telah dilakukan
oleh

pemerintah

daerah

kabupaten

Buru

Provinsi

Maluku.

Upaya

penutupan lokasi pertambangan liar ini dapat dilihat dari surat Bupati
Kabupaten

Buru

kepada

Ketua

persekutuan

adat

dataran

Waeapo

masyarakat adat petuanan kayeli serta kepada Hinolong Baman. Surat
Bupati Buru kepada Hinolong/Ketua Persekutuan Adat Dataran Waeapo
Nomor

047/23

Tanggal

21

Februari

2013

Perihal

Pemberitahuan

Penghentian Pungutan dan Penutupan Lokasi Tambang, dan Surat Bupati
Buru kepada Hinolong/Ketua Persekutuan Adat Dataran Waeapo Nomor
047/24 Tanggal 22 Februari 2013.22 Dengan dikeluarkan surat Bupati ini
diharapkan dapat menutup dan menghentikan usaha pertambangan liar ini
namun sampai saat ini kegiatan usaha tersebut masih dijalankan dan
pungutan biaya masuk maupun pungutan premanisme masih ditemukan di
lokasi Gunung Botak atau Leabumi. Hal ini dikarenakan kurang tegasnya
pemerintah dalam penegakan hukum yang berlaku.

22 U Selvi Tuaputy, E Intan Kumala Puti, dan Z Anna, “Eksternalitas Pertambangan Emas
Rakyat di Kabupaten Buru Maluku”, JAREE: Jurnal Ekonomi Pertanian, Sumberdaya Dan
Lingkungan, Vol.1, No. 1, April 2014, hlm. 76.

12

C. Analisis Hukum Putusan Kasus Pidana Mengenai Permasalahan
Pertambangan Emas Ilegal
Kasus Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)
A. Peristiwa
Seseorang bernama Guswandra melakukan kesepakatan dengan
Asril

untuk

melakukan

penambangan

emas

tanpa

izin.

Dalam

kesepakatan ini, Guswandra bersedia menyediakan alat berat berupa
escavator, sementara Asril menyediakan lokasi yaitu di Sawah Gadang
Jorong Rantau Jambu Kenagarian Koto Tuo, Kecamatan IV Nagari,
Kabupaten Sijunjung serta menyediakan alat penambang lainnya dan
tenaga kerja. Setelah kesepakatan, kemudian Guswandra meminjam
alat escavator pada Jhon Reflita yang merupakan pemilik CV Bara Mitra
Kencana yang bergerak di bidang sewa-menyewa alat berat. Sementara
Asril menyediakan tenaga kerja sebanyak 4 orang, yaitu Yolan, Yos,
Restu, Yandi dan alat lain berupa mesin dompeng, box/kotak untuk
menampung tanah, dan karpet untuk menyaring tanah. Kemudian pada
hari Sabtu tanggal 28-30 September 2013 , Guswandra bersama Asril
memerintahkan pekerja dan operator alat beratnya untuk melakukan
penambangan emas tanpa izin.
Namun kemudian, pada 01 Oktober 2013, Elwis, Lovan, dan
Zulhandi yang merupakan anggota Kapolres melakukan razia penertiban
Penambangan Emas

Tanpa

Izin

(PETI)

melakukan pengamanan

escavator, box/kotak, serta karpet yang disembunyikan tidak jauh dari
lokasi penambangan emas milik Guswandra. Sehingga pada hari kamis
tanggal 07 November 2013, Guswandra ditangkap dengan dugaan
melakukan penambangan emas tanpa izin.
B. Dakwaan PU
Di persidangan, terdakwa Guswandra didakwa oleh penuntut
umum dengan dakwaan umum dengan dakwaan tunggal, yaitu: Pasal
158 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
C. Putusan Pengadilan Negeri
Setelah perkara

diperiksa

di

persidangan Pengadilan Negeri

Sawahlunto dan kemudian perkaranya diputus dengan putusan No.
13

02/Pid.B/2014/PN.SWL tanggal 13 Januari 2014 dengan pertimbangan
dakwaan yang terbukti, dan amar putusan selengkapnya sebagai
berikut:
1. Menyatakan terdakwa GUSWANDRA Pgl. AGUS Bin SAIDI telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Secara bersama-sama melakukan usaha penambangan tanpa Izin
Usaha Pertambangan (IUP)”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa GUSWANDRA Pgl. AGUS Bin
SAIDI dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan denda
sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama
2 (dua) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan;
4. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) unit alat berat berupa excavator merk Hitachi warna orange;
type/jenis ZX 210 MGF No. AUK 2-0077931;
“Dikembalikan kepada pemiliknya saksi Jhon Reflita;
- Emas urai yang dibungkus dengan kain warna hitam yang diikat karet
dengan berat bersih 7,77 (tujuh koma tujuh puluh tujuh) gram;
“Dirampas untuk Negara”
- 2 (dua) buah karpet yang digunakan untuk kegiatan penambangan
mineral jenis emas tanpa izin;
“Dirampas untuk dimusnahkan”
6. Menetapkan agar terdakwa

dibebani membayar biaya

perkara

sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).
D. Analisis
Dalam peristiwa di atas, dapat dilihat bahwa sistem perumusan
pidana

penjara

kumulatif
dirumuskan

pada

dengan
secara

UU

Minerba

pidana

denda,

alternatif

mayoritas

dirumuskan

sedangkan

dengan

pidana

pidana
denda.

secara

kurungan
Sistem

pengancaman pidana ini tidak mengenal pidana minimum khusus tetapi
ancaman pidana maksimum khusus. Untuk pidana penjara paling lama
14

10 tahun, untuk pidana kurungan paling lama 1 tahun, dan untuk pidana
denda paling banyak 10 miliar. Selain itu, pemberatan ancaman pidana
bagi badan hukum berupa pemberatan 1/3 kali dari ketentuan
maksimum pidana denda yang dijatuhkan. Namun demikian, sistem
denda sulit diimplementasikan dalam praktik dan bersifat imperatif
karena UU Minerba tidak mengatur mengenai aturan pelaksanaan
pidana. misalnya seperti kasus di atas, hakim menjatuhkan pidana
denda 3 juta, tetapi karena tidak mau atau tidak mampu membayarnya,
maka pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kurungan
selama 2 bulan. Oleh karena UU tersebut tidak mengatur jika denda
tidak dibayar oleh pelaku, maka yang berlaku sesuai dengan hubungan
antara ketentuan umum Buku I KUHP mulai Pasal 1 sampai 85 dengan
perundang-undangan pidana di luar KUHP, adalah Pasal 30 KUHP, yakni
pidana kurungan pengganti denda paling lama 6 bulan, sebanyakbanyaknya 8 bulan. Contoh kasus lain yang terjadi pada putusan kasus
Nomor 112/Pid.B/2012/PN.MR, pada kasus ini terdakwa dijatuhi pidana
penjara 6 bulan, ditambah denda 2 juta, dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan
selama 2 bulan. Dalam putusan lain Nomor 55/Pid.B/2014/PN Bko,
terdakwa I dan terdakwa II dijatuhi pidana masing-masing selama 1
tahun dan terdakwa III pidana penjara 8 bulan dengan denda masingmasing 500 ribu dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan masing-masing 1 bulan.
Dengan logika seperti ini, maka pelaku usaha lebih memilih
kurungan daripada harus membayar denda. Tidak diaturnya aturan
pelaksanaan

pidana

juga

mengandung

masalah

apabila

yang

dinyatakan bersalah adalah badan hukum. Karena tidak mungkin
perusahaan dijatuhi pidana kurungan untuk mengganti pidana denda.
Ketentuan pidana di atas sekalipun diorientasikan pada jaminan
perlindungan hak atas rasa aman tetapi justru dilanggar oleh negara
karena membuat regulasi terkait entitas bisnis pertambangan yang
tidak dapat dilaksanakan.23

23 Mahrus Ali dan Ayu Izza Elvany, Hukum Pidana Lingkungan “Sistem Pemidanaan
Berbasis Konservasi Lingkungan Hidup” (Yogyakarta: UII Press,2014) hlm. 123-124.

15

BAB III
KESIMPULAN
1. Di Indonesia, negara diberi kewenangan untuk menguasai sumber daya
mineral dan batubara. Kewenangan negara dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi

meliputi

membuat

kebijakan

(beleid)

dan

pengurusan

(bestuursdaad); pengaturan (regelendaad); pengelolaan (beheersdaad);
dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Dalam hal kewenangan demi
tercapainya penegakan hukum, negara membuat beberapa peraturan
nasional baik berupa UU, peraturan pemerintah, maupun keputusan
menteri

yang

mengatur

tentang

pertambangan.

Untuk

pencapaian

penegakan hukum terhadap masalah-masalah pertambangan khusunya
pertambangan liar harus dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa,
termasuk bidang penegakan hukum pidana. Pengaturan khusus mengenai
sanksi pidana bagi kegiatan pertambangan yang berhubungan dengan
lingkungan terdapat dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara.
2. Pengelolaan dan permasalahan lingkungan hidup memerlukan suatu
bentuk pengendalian yang terdiri atas 3 (tiga) tahap yaitu: upaya
preventif;

upaya

pre-emtif;

dan

upaya

represif.

Dalam

rangka

mengoptimalkan upaya penanggulangan aktivitas penambangan emas
ilegal, maka dapat dilakukan melalui penerapan upaya penal meliputi
penerapan sanksi pidana terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
aktivitas penambangan emas ilegal sesuai dengan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan maupun non penal dengan mendorong
pemerintah untuk meningkatkan upaya pembinaan, pengawasan dan
pengendalian pengelolaan kegiatan usaha pertambangan serta mengubah
pola pikir masyarakat dalam melaksanakan aktivitas penambangan
melalui program kemitraan usaha dengan perusahaan pemegang izin
usaha pertambangan, sehingga mampu mendorong terlaksananya good
mining practice yang berwawasan lingkungan hidup.
3. Sistem perumusan pidana penjara pada UU Minerba mayoritas dirumuskan
secara kumulatif dengan pidana denda, sedangkan pidana kurungan
dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda. Sistem pengancaman
16

pidana ini tidak mengenal pidana minimum khusus tetapi ancaman pidana
maksimum khusus. Selain itu, sistem denda sulit diimplementasikan dalam
praktik dan bersifat imperatif karena UU Minerba tidak mengatur
mengenai aturan pelaksanaan pidana. yakni ketika hakim memutuskan
pidana denda, pidana tersebut dapat dapat diganti dengan pidana
kurungan apabila tidak mau atau tidak bisa membayar sejumlah pidana
denda yang diputuskan.

17

DAFTAR PUSTAKA
A.

UNDANG-UNDANG

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penggolongan BahanBahan Galian, PP No. 27 Tahun 1980, LN No.47 Tahun 1980, TLN No.
3174.
_______, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003.
_______, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,
UU No. 11 Tahun 1967, LN No. 22 Tahun 1967, TLN No. 2831.
_______, Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU
No. 4 Tahun 2009, LN No.4 Tahun 2009, TLN No. 4959.
B.

BUKU

Ali, Mahrus dan Ayu Izza Elvany. Hukum Pidana Lingkungan “Sistem
Pemidanaan Berbasis Konservasi Lingkungan Hidup”. Yogyakarta: UII
Press, 2014.
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana.
Yogyakarta: Bina Aksara, 1983
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014.
Ruray, Syaiul Bahri. Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Daerah Dalam
Pengelolaan &

Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup. Bandung: PT

Alumni, 2012.
Saleng, Abrar. Hukum Pertambangan. Yogyakarta: UII Press, 2004.
Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2014.
__________, Hukum Pertambangan Mineral & Batubara. Jakarta: Sinar Grafika,
2014.
C.

JURNAL

Goodland, R. “The Concept of Environmental Sustainability”, A.nual Review
of Ecology and Systematic. Vol. 26 No. 1, November 1995. hlm. 1-24.
Hanafi. “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana”. Jurnal Hukum: Ius
Quia Iustum. Vol. 6 No. 11, 1999. hlm. 26-43.
Khakim, Lutfi Zaini. “Model Revitalisasi Lahan Dampak Pertambangan Pasir
Besi (Perspektif Implementasi Perda Kabupaten Cilacap Nomor 17 Tahun

18

2010)”. Pandecta: Research Law Journal. Vol. 9 No. 1, Januari 2014, hlm.
113-119.
Tuaputy, U Selvi, E Intan Kumala Puti, dan Z Anna. “Eksternalitas
Pertambangan Emas Rakyat di Kabupaten Buru Maluku”. JAREE: Jurnal
Ekonomi Pertanian, Sumberdaya Dan Lingkungan. Vol.1 No.1 , April
2014, hlm. 71-86.
Kessey, Kwaku D and Benedict Arko. “Small Scale Gold Mining and
Environmental

Degradation,

in

Ghana:

Issue

of

Mining

Policy

Implementation and Challenges”. Journal of Studies in Social Sciences.
Vol. 5 No. 1, 2013. hlm. 12-30.

19