TRAUMA TUMPUL PADA KEPALA INDONESIA

TRAUMA TUMPUL PADA KEPALA
I.

PENDAHULUAN
Pengertian trauma (injury) dari aspek medikolegal sering berbeda dengan
pengertian medis. Pengertian medis menyatakan trauma atau perlukaan adalah
hilangnya diskontinuitas dari jaringan. Dalam pengertian medikolegal trauma adalah
pengetahuan tentang alat atau benda yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
seseorang. Artiya orang yang sehat, tiba-tiba terganggu kesehatannya akibat efek
dari alat atau benda yang dapat menimbulkan cedera. Aplikasinya dalam pelayanan
Kedokteran Forensik adalah untuk membuat terang suatu tindak kekerasan yang
terjadi pada seseoang.1 Trauma tumpul adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan
luka pada permukaan tubuh yang disebabkan oleh benda-benda yang mempunyai
permukaan tumpul seperti batu, kayu, bola, martil, jatuh dari tempat tinggi,
kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya.4

Trauma tumpul pada kepala adalah

kekerasan tumpul pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks
di kulit kepala, tulang tengkorak, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri.2
Menurut Brain Injury Assosiation of America, trauma kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik..2
II.

INSIDEN
Pada kasus kematian karena cedera, trauma kepala merupakan jenis trauma

terbanyak yang ditemukan yakni lebih dari 50% trauma. Pada pasien uang mengalami
trauma multipel, kepala adalah bagian yang paling sering mengalami cedera, dan

pada kecelakaan lalu-lintas yang fatal, otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak
ditemukan pada 75% penderita.2
Setiap tahun, diperkirakan sekitar 0,3-0,5% penduduk dunia mengalami
trauma kapitis dan otak. Di Amerika Serikat, insiden cedera otak karena trauma
diperkirakan 180-220 kasus per 100.000 populasi. Dengan jumlah popuasi yang
mencapai 300 juta jiwa, kira-kira 600.000 mengalami cedera kepala traumatik
pertahunnya.6
Cedera kepala biasa terjadi pada dewasa muda antara 15- 44 tahun. Pada

umumnya rata-rata usia adalah sekitar 30 tahun. Laki-laki dua kali lebih sering
mengalaminya.7 Statistik negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma
kapitis mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan, yang mengakibatkan
seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang.
Kurang lebih 33 % kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut trauma
kapitis. Di luar medan peperangan lebih dari 50% dari trauma kapitis terjadi karena
kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang
mati karena kecelakaan, 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah
sakit. Dari mereka yang dimasukkan rumah sakit dalam keadaan masih hidup 40%
meninggal dalam satu hari dan 35% meninggal dalam satu minggu perawatan.8
Penyebab kematian dan cacat yang menetap yang diakibatkan oleh trauma
kepala yaitu 50% oleh trauma secara langsung dan 50% oleh gangguan peredaran
darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada trauma.
Komplikasi itu berupa perubahan tonus pembuluh darah serebral, perubahanperubahan yang menyangkut sistem kardiopulmonal yang bisa menimbulkan
gangguan pada tekanan darah, PO2 arterial atau keseimbangan asam-basa.8
III.

ANATOMI
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu:


a) skin atau kulit yang mengandung rambut dan kelenjar keringat
(kelenjar sebasea)
b) connective tissue atau jaringan penyambung di mana sebagian besar
saraf sensorik berada di lapisan ini.
c)

aponeurosis atau galea aponeurotika yang merupakan jaringan ikat
berhubungan langsung dengan tengkorak di mana melekat 3 otot
yakni ke anterior m. frobtalis, posterior : m. occipitalis dan lateral :
m. temporalis.

d) loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar yang
memisahkan galea dari perikranium. Lapisan ini kaya akan
pembuluh darah sehingga pada trauma kepala dapat terjadi
perdarahan yang hebat (hematom subgaleal).
e) Pericranium yaitu bagian yang berhubungan dengan tabula eksterna
dari skull atau tengkorak..

Gambar 1. Anatomi Kulit Kepala

(Dikutip dari kepustakaan 3)

2. Tulang Tengkorak
Ruang tengkorak (cavum cranii) merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intrakranial. Tulang tengkorak sebenarnya terdiri dari
dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut
tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula interna. Struktur demikian
memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang
lebih ringan. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan arteri meningea
anterior, media dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan
terkoyaknya salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang diakibatkannya,
yang tertimbun dalam ruang epidural, dapat menimbulkan akibat yang fatal kecuali
bila ditemukan dan diobati dengan segera. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa
tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio
temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :
fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum. 10


3. Meningen
Meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a) Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri
atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Dura mater terdiri dari 2 lamina yakni lamina endostealis dan meningealis. Pada
encephalon. Lamina endostealis melekat kuat pada permukaan inferior cranium,
terutama sutura, basis crania, dan tepi foramen magnum. Lamina meningealis
mempunyai permukaan yang licin dan membentuk 4 septa yaitu falx cerebri,
tentorium cerebella, falx cerebelli, dan diafragma sellae.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut bridging veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari

kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fosa media).
b) Arachnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah
luar yang meliputi otak

3,6

. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang

potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam . Membrana ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.

4. Otak
Menurut perkembangan embriologi, otak atau encephalon terbagi atas 3
bagian yaitu :
a) Proencephalon

yang

berkembang

menjadi

telencephalon

dan

diencephalon. Telencephalon selanjutnya menjadi hemisfer cerebri yang
menempati fossa crania anterior dan media.

b) Mesencephalon

c) Rhombencepahlon yang berkembang menjadi pons dan cerebellum.
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
fungsi

memori

tertentu.

Lobus

oksipital

bertanggungjawab

dalam


proses

penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.3

Gbr 2.
Lobus-lobus Otak
(Dikutip dari kepustakaan 3)

5. Cairan Cerebrospinalis dan Vaskularisasi

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen Monroe menuju ventrikel III, melalui akuaduktus
Sylvius menuju ventrikel IV. Setelah melalui 2 foramen Luschka di bagian
lateral dan foramen Magendi di medial, CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis

superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
Otak mendapat suplai darah dari arteri karotis interna dan arteri
vertebralis. Sedangkan darah dari parenkim otak bermuara ke dalam sinus-sinus
venosus yang kemudian dialirkan ke vena jugularis interna.

IV.

GEJALA DAN TANDA
Benda tumpul yang sering mengakibatkan luka antara lain adalah batu, besi,

sepatu, tinju, lantai, jalan dan lain-lain. Adapun definisi dari benda tumpul itu sendiri
adalah tidak bermata tajam, konsistensi keras / kenyal dan permukaan halus / kasar.
Kekerasan tumpul dapat terjadi karena 2 sebab yaitu alat atau senjata yang
mengenai atau melukai orang yang relatif tidak bergerak dan yang lain orang
bergerak ke arah objek atau alat yang tidak bergerak. Dalam bidang medikolegal
kadang-kadang hal ini perlu dijelaskan, walaupun terkadang sulit dipastikan. Luka
karena kererasan tumpul dapat berebentuk salah satu atau kombinasi dari luka


memar, luka lecet, luka robek, patah tulang atau luka tekan. Variasi mekanisme
terjadinya trauma tumpul adalah:
a) Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
b) Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.
Sekilas nampak sama dalam hasil lukanya namun jika diperhatikan lebih lanjut
terdapat perbedaan hasil pada kedua mekanisme itu. Organ atau jaringan pada tubuh
mempunyai beberapa cara menahan kerusakan yang disebabkan objek atau alat, daya
tahan tersebut menimbulkan berbagai tipe luka yakni abrasi, laserasi, kontusi/ruptur,
fraktur, kompresi, dan perdarahan.
Kekerasan benda tumpul pada kepala dapat mengenai bagian-bagian kepala
tertentu dengan efek yang masing-masing yaitu pada :
1) Kulit dapat menyebabkan :
a) L. Lecet
b) L. Memar
c) L. Robek
2) Tengkorak dapat terjadi :
a) Fraktur Basis Cranii
b) Fraktur Calvaria
3) Otak
a) Contusio Cerebri
b) Laceratio Cerebri
c) Oedema Cerebri
d) Commotio Cerebri
4) Selaput Otak
a) Epidural Haemorrhage

b) Sub dural Haemorrhage
c) Sub arachnoid Haemorrhage

A.

Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)
Beberapa klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan : 7,8

1.

Gambaran fraktur, dibedakan atas :

a.

Linier

b.

Diastase

c.

Comminuted

d.

Depressed

2.

Lokasi anatomis, dibedakan atas :

a.

Konveksitas (kubah tengkorak)

b.

Basis cranii (dasar tengkorak)

3.

Keadaan luka, dibedakan atas :

a.

Terbuka

b.

Tertutup
Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi dari ketiga klasifikasi
di atas. Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu : 7-9

a.

Besarnya energi benturan

b.

Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan, semakin
besar nilai perbandingan ini akan cenderung menyebabkan fraktur deppressed.

c.

Lokasi dan keadaan fisik tulang tengkorak

1.

Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh
ketebalan tulang. Umumnya disebabkan oleh benturan dengan objek yang keras
dengan ukuran sedang, yaitu dengan luas

lebih dari 5 cm 2. Pada benturan

yang terjadi, sebagian besar energi tidak digunakan untuk menimbulkan deformitas
lokal pada tulang tengkorak.7,8
Bila fraktur linier ini didapatkan melintasi daerah perdarahan a.meningea media,
perlu dicurigai terjadinya hematoma epidural arterial. Bila garis fraktur yang
dijumpai melintasi daerah sinus longitudinal superior atau sinus lateralis maka perlu
dicurigai adanya hematoma epidural vena.7,8

Gambar 3. Fraktur linier disebabkan oleh benturan keras pada kepala yang mengenai jalan raya
akibat kecelakaan lalu lintas. (dikutip dari kepustakaan No.10)

2.

Fraktur Diastase
Fraktur diastase adalah fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak, dan
berakibat terjadinya pemisahan sutura kranial tersebut. Fraktur ini sering terjadi pada
anak di bawah usia 3 tahun, sedangkan pada orang dewasa relatif lebih jarang.
Fraktur diastase yang terjadi pada sutura lambdoidea memiliki resiko terjadinya
hematoma epidural. 7-9

Gambar 4. Fraktur diastase pada Coronal Suture Line (CSL) dan Sagital Suture Line (SSL). Dikutip
dari kepustakaan No.10

3.

Fraktur Comminuted
Fraktur comminuted adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya lebih dari satu
fragmen patahan tulang, namun masih dalam satu bidang. Beberapa literatur tidak
membedakan fraktur ini dengan fraktur linier, karena diasumsikan merupakan
bentuk fraktur linier yang multipel. 7-9

Gambar 5. Gambaran fraktur comminuted. ( Dikutip dari kepustakaan No.11

4.

Fraktur Deppressed
Fraktur ini disebababkan oleh benturan dengan beban tenaga yang lebih besar
daripada fraktur linier, dengan permukaan benturan yang lebih kecil. Misalnya
benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi, dll. Fenomena kontak yang terjadi disini
lebih terfokus dan lebih padat sehingga akhirnya melebihi kapasitas elastisitas tulang
dan terjadilah perforasi tulang. Fraktur deppressed diartikan sebagai fraktur dengan
tabula eksterna pecahan fraktur yang tertekan masuk ke dalam sehingga terletak di
bawah level anatomik tabula interna tulang tengkorak sekitanya yang utuh. Sebagai
akibat impaksi tulang ini, dapat terjadi penetrasi terhadap duramater dan jaringan
otak di bawahnya, dan dapat berakibat kerusakan struktural dari jaringan otak
tersebut.7,8

Gambar 6. Fraktur depressed pada tulang tengkorak
( Dikutip dari kepustakaan No.9 )

5.

Fraktur Konveksitas
Fraktur konveksitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang membentuk
konveksitas (kubah) tengkorak seperti os frontalis, os temporalis, os parietalis, dan
os occipitalis. Fraktur konveksitas dapat berupa fraktur linier, deppressed, kominutif,
atau diastase.7,8

Gambar 7. Fraktur konveksitas dengan hematoma subgaleal yang luas (pemeriksaan postmortem)
(Dikutip dari kepustakaan No.7)

6.

Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii adalah fraktur yang lokasinya terletak pada dasar cranium, yang
dapat terjadi pada fossa aterior, fossa media, maupun fossa posterior. Fraktur jenis
ini merupakan kondisi yang serius, dapat berakibat fatal, dan memiliki komplikasi
yang tidak ringan. Beberapa literatur memberikan perkiraan kasus fraktur basis
cranii mencapai 3 - 24 % dari total seluruh kasus cedera kepala. Fraktur basis cranii
sering disertai dengan robeknya lapsan duramater, sehingga terjadi kebocoran cairan
serebrospinal, yang akhirnya mengakibatkan terjadinya rhinorea dan otorhea.
Adanya kebocoran cairan serebrospinal memberikan resiko tinggi terjadinya infeksi
selaput otak maupun jaringan otak.7,8
Fraktur pada masing-masing fossa akan memberikan manifestasi berbeda :
a.

Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os sphenoid, processus clinoidalis
anterior dan jugum sphenoidalis. Manifestasi yang ditimbulkan adalah rhinorea
cairan serebrospinal, hematoma subkonjungtiva, dan ekimosis periorbita, bisa
bilateral, biasa disebut sebagai brill hematoma atau raccoon eyes. Ekimosis
periorbita disebabkan oleh adanya perdarahan pada struktur di belakangnya, bukan
karena cedera langsung pada derah orbital. Untuk membedakannya, dapat
diperhatikan bahwa pada tanda ini batasnya tegas, selalu terletak di bawah tepi orbita
dan tidak didapatkan cedera lokal pada lapisan kulit. 7,8

b.

Fraktur Basis Cranii Fossa Media
Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian
posterior dibatasi oleh pyramida petrosus os temporalis, processus clinoidalis
posterior dan dorsum sella. Manifestasi yang dapat ditemukan adalah ekimosis pada
mastoid (battle’s sign) yang muncul 24-48 jam setelah cedera kepala terjadi, otorhea,
dan hemotimpanum yaitu darah yang dijumpai pada canalis auricularis eksterna,
dapat terjadi bila membran timpani robek. 7,8

Gambar 8. Hematoma retroauriculer (battle’s sign) pada fraktur basis cranii

fossa media

(Dikutip dari kepustakaan No.7)

c.

Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior
Fossa posterior merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Fraktur pada
daerah ini kadang memberikan tanda battle’s sign, akan tetapi sering tidak disertai
dengan gejala dan tanda yang jelas, dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu
singkat karena penekanan terhadap batang otak. 7,8

B.

Trauma Serebrum ( Cedera Otak )
Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder. 7,8
1. Kerusakan Primer
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi
segera saat benturan terjadi sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang
menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus.
7,8

a. Kerusakan Fokal
Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari
otak, tergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang timbul
dapat berupa : 7,8


Kontusio serebri
Kontusio serebri adalah kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater.
Istilah kontusio digunakan untuk menyatakan adanya cedera atau gangguan pada

jaringan otak yang lebih berat dari konkusi (concussion), dengan memiliki
karakteristik adanya kerusakan sel saraf dan aksonal, dengan titik-titik perdarahan
kapiler dan edema jaringan otak. Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus karena
bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi
benturan. 7,8

Gambar 9. Kontusio pada dasar lobus temporal dan frontal, disebut juga

’burst lobe’ (Dikutip

dari kepustakaan No.7)

Kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan (coup contussion), di tempat lain
(countrecoup contussion) atau dapat pula terjadi diantara lesi coup dan countercoup
yang disebut sebgai intermediate-coup contussion. 7,8

Gambar 10. Lesi coup dan countrecoup sehubungan dengan mekanisme
Cedera kepala (Dikutip dari kepustakaan No.7)

Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik nekrosis, dan diikuti oleh edema
vasogenik. Kontusio tampak tidak terlalu berat, namun dapat mengakibatkan
kematian karena adanya komplikasi yang ditimbulkan, misalnya komplikasi
kardiopulmonal. 7,8


Laserasi serebri
Laserasi serebri adalah kontusio serebral yang berat, dimana mengakibatkan
gangguan kontinuitas jaringan otak yang kasat mata, dan dalam hal ini terdapat
kerusakan atau robeknya piamater. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat
dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan
oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen
fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laserasi tak langsung
disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis. 7,8



Perdarahan intrakranial
1) Hematoma Epidural
Hematoma epidural atau dalam beberapa literatur disebut pula sebagai hematoma
ekstradural, adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara duramater
dan tabula interna tulang tengkorak. Umumnya disebabkan oleh trauma tumpul
kepala, yang mengakibatkan terjadinya fraktur linier, namun dapat pula tanpa
disertai fraktur. Lokasi yang paling sering adalah di bagian temporal atau

temporoparietal ( 70 % ) dan sisanya di bagian frontal, oksipital, dan fossa serebri
posterior. Darah pada hematoma epidural membeku, berbentuk bikonveks.
Sumber perdarahan yang paling sering adalah dari cabang a.meningea media, akibat
fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun dapat pula dari arteri dan
vena lainnya, atau bahkan keduanya. Hematoma epidural yang tidak disertai fraktur
tulang tengkorak akan memiliki kecenderungan lebih berat, karena peningkatan
tekanan intrakranial akan lebih cepat terjadi. 7,8

Gambar 11. Hematoma epidural. (Dikutip dari kepustakaan No.10)

2) Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan duramater dan
arachnoidea. Perdarahan yang terjadi dapat berasal dari pecahnya bridging vein yang
melintas dari ruang subarachnoidea atau korteks serebri ke ruang subdural, dengan
bermuara dalam sinus venosus duramater. Selain itu dapat pula akibat robekan
pembuluh darah kortikal, subarachnoidea, atau arachnoidea yang disertai robeknya
lapisan arachnoidea. 7,8
Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi daripada hematoma epidural, dan
memiliki angka mortalitas yang tinggi, antara 60-70 % untuk yang sifatnya akut. 7,8

Gambar 12. Hematoma subdural ( Dikutip dari kepustakaan No.10 )

3) Hematoma Sub Arachnoid
Hematoma sub arachnoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang sub
arachnoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak. Robekan
pembuluh darah terjadi akibat gerakan dindingnya yang timbul kala otak bergerak
atau menggeser. Perdarahan terletak antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang
subarachnoid dan masuk ke dalam sistem cairan serebrospinalis. Umumnya lesi
disertai dengan kontusio atau laserasi serebri. Perdarahan subarachnoid yang terjadi
murni tanpa ada lesi lain hanya sekitar 10 %. Darah yang masuk ke dalam
subarachnoid dan sistem cairan serebrospinalis tersebut akan menyebabkan
terjadinya iritasi meningeal.7,8
Adanya darah dalam ruang subarachnoid ini akan berakibat arteri mengalami
spasme. Sebagai akibatnya aliran darah ke otak sangat berkurang, bahkan diduga
dapat turun hingga tinggal 40 %. Vasospasme biasanya mulai terjadi pada hari ketiga
dan mencapai puncaknya pada hari ke 6-8, dan akhirnya menghilang pada hari ke12. Vasospasme ini akan menyebabkan terganggunya mikrosirkulasi dalam otak dan
sebagai dampaknya akan terjadi edema otak. 7,8
Perdarahan subarachnoid yang terjadi pada cedera kepala dapat juga mengakibatkan
terjadinya hidrosefalus, baik tipe komunikan maupun non komunikan. Tipe
komunikan terjadi bila produk darah mengobstruksi villi arachnoid, sedangkan tipe
non komunikans dapat terjadi bila bekuan darah mengobstruksi ventrikel keempat
atau ketiga. 7,8

Gambar 13. Hematoma subarachnoid. (A) Hematoma subarachnoid pada lobus occipital pada kasus
Diffuse Axonal Injury. (B) Hematoma subarachnoid pada lobus frontal dan lobus parietal. (C)
Hematoma subarachnoid yang kecil pada fissura sylvii. (Dikutip dari kepustakaan No.9)

4) Hematoma intraserebri
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim
otak). Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Perdarahan dapat berlokasi di bagian mana saja, misalnya di substansia alba
hemisfer serebri, serebellum, diensefalon, atau mungkin juga di corpus callosum.
Akan tetapi lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). 7,8
Lesi dapat berupa fokus perdarahan kecil-kecil, namun dapat pula berupa perdarahan
yang luas. Perdarahan yang kecil-kecil umumnya sebagai akibat lesi akselerasideselerasi, sedangkan yang besar umumnya akibat laserasi atau kontusio serebri
berat. Beberapa sumber menyatakan definisi hematoma intraserebri adalah
perdarahan lebih dari 5 cc, sedangkan bila kurang maka disebut petechial
intraserebri (kontusio serebri). Perdarahan dapat terjadi segera, dapat pula beberapa
hari atau minggu kemudian, khususnya pada pasien lanjut usia. 7,8

Perdarahan pada lobus temporal memberikan resiko besar terjadinya herniasi uncus
yang berakibat fatal. Hematoma intraserebral yang disertai dengan hematoma
subdural, kontusio atau laserasi pada daerah yang sama memiliki efek yang juga
fatal, dan disebut sebagai ”burst lobe”. Bentuk perdarahan lainnya adalah yang
disebut Bollinger’s apoplexy, yaitu hematoma intraserebral yang terjadi setelah
beberapa minggu (atau bulan) setelah cedera dan selama waktu tersebuut pasien
dalam keadaan neurologis yang normal. Hal ini berkaitan dengan keadaan hipotensi,
syok, DIC, dan konsumsi alkohol. 7,8

Gambar 14. Dua area hematoma intraserebral pada whhite matter (kiri) dan di ganglia basal (kanan).
(Dikutip dari kepustakaan No.12)

5) Hematoma Intraventrikuler
Hematoma intraventrikuler adalah adanya darah dalam sistem ventrikel, dalam hal
ini akibat trauma. Sumber perdarahan tidak selalu mudah diketahui, bahkan biasanya
sulit ditemukan, mungkin dari robekan vena di dinding ventrikel, korpus kalosum,
septum pelusidum, forniks, atau pada pleksus koroid. Dapat pula sebagai perluasan
dan perdarahan di lobus temporal atau frontal, atau ganglia basalis. 7,8
Biasanya hematoma ini didapatkan menyertai trauma kepala dengan hematoma
subarachnoid. Cedera kepala yang sampai menyebabkan perdarahan intraventrikel
ini merupakan cedera yang sangat berat, dan karenanya memiliki mortalitas yang
tinggi. 7,8

Gambar 15. hematoma intraventrikular. (Dikutip dari kepustakaan No.12)

b. Kerusakan Difus
Kerusakan difus adalah kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari
otak, dan umumnya bersifat mikroskopis. Kerusakan ini paling sering disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme
akselerasi dan deselerasi. Angulasi, rotasi, dan peregangan yang timbul
menyebabkan robekan serabut saraf pada berbagai tempat yang sifatnya menyeluruh.
Berdasarkan gambaran patologinya, kerusakan difus ini dibedakan


atas: 7,8

Diffuse Axonal Injury (DAI)
DAI adalah adanya kerusakan akson yang difus dalam hemisfer serebri, korpus
kalosum, batang otak, dan serebelum (pedunkulus). Awalnya, kekuatan renggang
pada saat benturan melebihi level ketahanan akson, sehingga terjadi sobekan atau

fragmentasi aksolemma, dan keteraturan susunan sitoskeleton akson akan menjadi
rusak. Terjadi pada saat benturan, tetapi ada yang memberi batas waktu dalam 60
menit sejak kejadian (primer axotomy). 7,8
Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh, walaupun susunan
sitoskeleton akson terganggu. Penghantaran aksoplasma akan terbendung pada
sitoskeleton yang mengalami kerusakan sehingga terjadi pembengkakan akson
(retraction ball), yang pada akhirnya akan menyebabkan putusnya akson. Terjadi
antara 12 – 48 jam (secondary axotomy). 7,8


Diffuse Vascular Injury (DVI)
DVI ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer,
khusunya massa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya
pasien segera meninggal dalam beberapa menit. Pada DVI, terjadi perubahan
struktur menyeluruh pada endotel mikrovaskular otak. Sehingga terjadi ekstravasasi
sel darah merah. 7,8
2. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, edema otak, TTIK
(Tekanan Tinggi Intrakranial), hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya,
kerusakan ini dapat dikelompokkan atas dua, yaitu : 7,8
a. Kerusakan hipoksik – iskemik menyeluruh ( Diffuse hypoxic-ischemic
damage)
Kerusakan ini sudah berlangsung pada saat antara terjadinya trauma dan awal
pengobatan. Kerusakan ini timbul karena : 7,8
- Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli
- Iskemia : berhetinya aliran darah
- Hipotensi arterial sistemik
b. Edema otak menyeluruh (Diffuse brain swelling)

Keadaan ini terjadi akibat peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau
peningkatan volume darah (intravaskuler), atau kombinasi keduanya. Pada diffuse
brain swelling sebenarnya belum jelas patogenesisnya, diperkirakan sebagai jenis
kongestif karena kehilangan tonus vasomotor. 7,8
V. Patofisiologi
A. Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)
Ketebalan dan elastisitas jaringan tulang menentukan kemampuan tulang
tersebut untuk menyesuaikan diri dengan proses perubahan bentuk (deformasi) saat
benturan. Hal ini juga dipengaruhi oleh umur, dengan pertambahan usia maka
elastisitas jaringan tulang akan berkurang. Keadaan tulang yang mempengaruhi
adalah tingkat elastisitas dan ketebalan tulang tengkorak.7,8
Pada saat terjadi benturan, terjadi peristiwa penekanan pada tabula eksterna di
tempat benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna. Peristiwa peregangan
tabula interna ini tidak hanya terbatas di bawah daerah kontak, tetapi meliputi
seluruh tengkorak. Jika peregangan ini melebihi kemampuan deformasi tulang
tengkorak, terjadilah fraktur. Oleh sebab itu, peristiwa fraktur pada tulang tengkorak
berawal dari tabula interna yang kemudian disusul oleh tabula eksterna. 7,8
Benturan pada tulang tengkorak menyebabkan perubahan elastisitas pada
tulang tengkorak, mencakup lekukan ke dalam (inbending) pada bagian tulang yang
terkena dan biasa pula terjadi variasi lain dimana terjadi lekukan ke arah luar
(outbending). Apabila kekuatan benturan mengenai area yang kecil (misal: pukulan
atau senjata) maka fraktur biasanya memberikan gambaran inbending, sedangkan
apabila area yang terkena benturan itu luas, maka biasanya akan memberikan
gambaran outbending. Bentuk konveks dari tulang tengkorak menyebabkan
penyebaran energi secara efisien dimana vertex merupakan puncak dari tulang
tengkorak. Pada banyak kasus, fraktur linier akan bercabang sepanjang diastase dan
membentuk fraktur diastase. Sebaliknya, energi yang terjadi pada basis tulang
tengkorak (basis cranii) akan menyebabkan fraktur linier yang akan mengakibatkan

tejadinya kelemahan, memberikan berbagai gambaran adanya udara dalam foramina
dan sinus. 7,8
B. Trauma Cerebrum (Otak)
Ruang intrakranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yag tidak dapat ditekan, otak 1400 gr, cairan
serebrospinal ± 75ml, dan darah ± 75 ml. Peningkatan volume salah satu diantara
ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan pada ruangan yang ditempati oleh
unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. Peningkatan Tekanan Intrakranial
(TIK) tudak hanya disebabkan oleh cedera kepala melainkan mempunyai banyak
penyebab lainnya.13
TIK normal berkisar antara 50-200 mmH2O atau 4-15 mmHg. TIK dalam
keadaan normal dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat melebihi
batas normal. Aktivitas tersebut antara lain pernapasan perut yang dalam, batuk, dan
mengedan. Kenaikan sementara TIK tidak menimbulkan kesukaran, tetapi kenaikan
TIK yang menetap mempunyai akibat merusak pada kehidupan jaringan otak.13
Mekanisme yang bekerja bila salah satu dari tiga elemen intrakranial
meningkat sangat penting untuk mempertahankan integritas otak. Perubahan
kompensatoris meliputi pengalihan cairan serebrospinal ke rongga spinal,
peningkatan aliran vena dari otak, dan sedikit tekanan pada jaringan otak. Tumor,
cedera otak, edema, dan obstruksi aliran cairan serebrospinalis semua dapat
meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi akan menjadi tidak efektif bila
menghadapi peningkatan TIK yang serius dan berlangsung lama. 13
Edema otak merupakan sebab yang paling lazim dari peningkatan TIK dan
memiliki banyak penyebab antara lain peningkatan cairan intrasel, hipoksia,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, iskemia serebral,meningitis, dan tentu saja
cedera kepala.
TIK pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera
kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36-48 jam untuk mencapai maksimum.

Peningkatan TIK sampai 33 mmHg ( 450 mmH 2O ) mengurangi Aliran Darah Otak
(ADO) secara bermakna. Iskemia yang timbul merangsang pusat vasomotor, dan
tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung
mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme
kompensasi ini dikenal sebagai refleks cushing yang membantu mempertahankan
ADO. Akan tetapi menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO 2 dan
mengakibatkan vasodilatasi otak yang mengakibatkan peningkatan TIK. Tekanan
darah sistemik akan terus meningkat sebanding dengan peningkatan TIK, walaupun
akhirnya dicapai suatu titik dimana TIK melebihi tekanan arteri dan sirkulasi otak
berhenti dengan akibat kematian otak. 13
Cedera otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak Sawar
Darah Otak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema.
Edema

menyebabkan

peningkatan

tekanan

pada

jaringan

dan

akhirnya

meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan Aliran Darah Otak
(ADO), iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan O 2 dan penigkatan CO2), dan
kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut hingga terjadi kematian
sel.13

Gambar 16. Siklus defisit neurologis progresif yang menyertai lesi massa
intrakranial yang membesar (Dikutip dari kepustakaan No.13)

Penatalaksanaan
1.

Penatalaksanaan jalan napas
Penatalaksanaan jalan napas bertujuan untuk menstabilkan jalan napas dan
menyediakan ventilasi oksigen yang cukup. Dapat dilakukan intubasi endotrakeal.
Intubasi nasal atau nasogastric tube sebaiknya dihindari terutama pada pasien yang
dicurigai fraktur basis cranial. Kegagalan pernapasan dapat terjadi karena cedera
neurologist atau cedera thoraks. 14

2.

Penatalaksanaan system kardiovaskular
Normotensi dan euvolemia adalah hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan
kardiovaskular. Resusitasi volume menggunakan larutan isotonic sebaiknya
dilakukan untuk mempertahankan tekanan pengisian yang adekuat, cardiac output
yang normal dan normotensi. 14

3.

Penatalaksanaan

terhadap

perfusi

serebral

dan

peningkatan

tekanan

intracranial. 14
Penatalaksanaan peningkatan intracranial termasuk diantaranya menaikkan posisi
kepala sehingga membentuk sudut 30° terhadap tempat tidur dan mempertahankan
kepala dan leher pada posisi midline. Obat-obat sedasi dan paralisis digunakan untuk
mencegah agitasi dan aktivitas muscular yang dapat menigkatkan tekanan
intracranial. Penggunaan loop diuretic atau osmotic diuretic ditujukan untuk
menurunkan produksi cairan serebrospinal. 14
4.

Penatalaksanaan Perdarahan.

Disseminated intravascular coagulopathy terjadi pada sepertiga pasien trauma kepala
dan membutuhkan manajemen yang aggresif dan koreksi factor-faktor pembekuan
untuk menurunkan resiko. 14
5.

Pembedahan
Dekompresi melalui pembedahan dibutuhkan pada keadaan epidural dan subdural
hematoma yang berkembang sangat cepat yang menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial dan kompresi fokal. 14
Hasil Pemeriksaan Autopsi

1. Fraktur tulang tengkorak. Pada pemeriksaan luar fraktur basis crania dapat ditemukan
adanya

lebam

periorbital

(raccoon

eyes),

perdarahan

sclera,

perdarahan

retroauricular (Battle’s sign) dan perdarahan dari telinga. 9

Gambar: Manifestasi eksternal fraktur basis cranii. (A) Lebam periorbital (raccoon
eyes). (B) Perdarahan sclera. (C) Perdarahan dari telinga. (D) Lebam dibelakang
telinga (Battle’s sign).

2. Epidural Hematom. Temuan autopsi pada epidural hematom yang tidak ditangani
sangat jelas. Terdapat kontusio

pada kulit kepala temporal di sisi hematom,

hematom yang besar pada ruang epidural dapat terlihat ketika tulang tengkorak
dibuka. Edema serebral berat difus yang hebat sebagai efek okupansi ruang
intracranial oleh hematom dapat diamati, termasuk herniasi subfalcine, yang meluas
dari sisi hematom ke arah yang berlawanan, dan herniasi transtentorial, yang biasa
lebih terlihat pada sisi yang hematom. Pembengkakan hemisfer serebral dibawah
hematom menyebabkan permukaan otak tampak mulus. 9
3. Subdural hematom.
a. Subdural hematom akut. Temuan luar pada kasus subdural hematom akut dapat
mencerminkan penyebab trauma. Banyak kasus pada pada subdural hematom akut,
baik apakah disebabkan oleh serangan atau jatuh, memiliki tanda trauma benda
tumpul pada pemeriksaa luar, lebih umum terdapat di wajah daripada di kepala.
Fraktur tengkorak umum terjadi. Pada kasus di hematom yang tidak ditangani,
hematom yang terjadi meluas pada ruang dibawah duramater karena sifat dari
duramater yang kaku. Hematoma

tercetak pada permukaan otak di bawahnya

sehingga undulasi kortikal normal tetap terjaga bahkan ketika terjadi udem otak
berat (berkebalikan dengan permukaan otak yang mulus dibawah epidural hematom.
Kecembungan girus pada hemisfer pada arah yang berlawanan mendatar dan sulcus
di dekatnya tertekan, mencerminkan suatu efek space-occupying dari hematom dan
udem otak sekunder. Herniasi transtentorial dan herniasi tonsillar sering terjadi. 9
b. Subdural hematom kronik. Pada subdural hematom kronik, terdapat berbagai variasi
penampakan yang berhubungan dengan ukuran dan lamanya. Umumnya, kavitas
hematom sempit dan mengandung darah cair atau cairan yang bercampur dengan
darah. Hematom ditutup oleh lapisan tipis membrane dalam dan lapiran tebal
membrane luar. Penampilannya bermacam-macam, terbentuk dari perdarahan baru,
perdarahan lama yang kelabu, hemosidering kuning dan kolagen pucat serta jaringan
fibrotic lainnya. Jika hematom merupakan penyebab kematian, efek dari spaceoccupancy akan terlihat pada herniasi subfalcine, uncal dan tonsillar. 9

4. Perdarahan subarachnoid. Perdarahan pada ruang subarachnoid yang diakibatkan oleh
trauma kranioserebral sering ekstensif karena cairan serebrospinal dan darah
subarachnoid yang tidak membeku mengalir bebas pada ruang subarachnoid. Jumlah
perdarahan subarachnoid proporsional terhadap interval antara waktu trauma dan
kematian (dapat minimal apabila kematian terjadi segera setelah trauma) dan ukuran
dari sumber perdarahan, dan, meskipun jejas darah subarachnoid dapat menyebar
luas, biasa yang paling jelas terletak dekat dengan sumbernya. 9
5. Perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral dapat terjadi dalam bentuk
kontusio-hematom,

perdarahan

batang

otak

yang

menyebabkan

herniasi

transtentorial, himatom jauh di dalam otak terpisah dari konveksitas hemisfer,
hematom ekstraganglion atau lobar yang soliter dan berukuran sedang-besar,
hematom serebral yang terisolasi, dan tipe yang jarang di mana terjadi robekan
antara korpus kalosum dorsolateral dan girus cingulated menyebabkan perdarahan ke
dalam ventrikel dan hematom yang membelah white matter antara dasar lateral
korpus kalosum dan girus cingulate. 9
6. Perdarahan intraventrikular. Keberadaan darah yang berlebihan pada ventrikel
keempat, terlihat melalui foramen Luschka dan Magendie sebelum pengirisan otak,
dapat diambil pada saat autopsy sebagai bukti tidak langsung dari perdarahan
intraventrikular. 9
7. Kontusi.
a. Kontusi akut. Penampakan umum dari kontusi akut pada permukaan otak bervariasi
dari permukaan otak yang pucat ke kerusakan disertai perdarahan dan nekrosis pada
area yang luas. Perubahan tersebut dapat terletak pada gray matter atau meluas
dengan derajat dan karakteristik yang bervariasi ke white matter di dekatnya. Pada
irisan otak, kontusi yang kecil atau kontusi dengan interval antara trauma dan
kematian yang dekat, tampak sebagai perdarahan linear yang sejajar dengan
permukaan pial, mencerminkan jalur pembuluh darah kortikal dan menggambarkan
bagaimana robekan pembuluh darah tersebut mempengaruhi kontusi. Kontusilaserasi yang besar tampak sebagai area perdarahan yang terpisah-pisah dengan

bentuk yang irregular. Kontusi koup memiliki bentuk menyempit dengan dasarnya
pada permukaan pial. Udem otak terlokalisasi disekitar kontusi yang setara dengan
ukuran kontusi. 9
b. Kontusi lama. Resorpsi darah dan jaringan nekrotik dari kontusi meninggalkan
kavitas dan kistik yang jelas. 9
8. Diffuse Axonal Injury. Cedera kontak pada kulit kepala dan tulang jarang ditemukan,
tetapi bila ada dapat dihubungkan antara cedera aksonal dan kontak pada kepala.
Temuan pada permukaan otak juga jarang. Irisan otak sulit dinilai melalui mata
telanjang atau mengandung robekan perdarahan dengan dimensi yang bervariasi
pada korpus kalosum, pada sudut dorsal dari hemisfer serebral, dan pada kuadran
dorsolateral dari batang otak rostral pada sekitar pedunkel serebellar superior dan
tengah. Perdarahan pada thalamus dan ganglia basalis sering terjadi. 9
9. Diffuse Vascural Injury. Diffuse vascular injury biasanya fatal, korban dapat
meninggal pada tempat kejadian atau bertahan hidup hanya beberapa jam. Cedera
kontak pada kepala mungkin tidak tampak jelas. Pemeriksaan pada otak
menunjukkan perdarahan subarachnoid yang jarang dan perdarahan petechi yang
tersebar luas. Hal yang terakhir dapat terlihat dibawah mikroskop.Perdarahan
tampak nyata pada banyak daerah subependymal, pons lateral dan otak tengah, dan
garis tengah hipotalamus dan batang otak rostral. 9
10. Hypoxic-Ischemic Brain Injury. Otak tampak normal atau terlihat pembengkakan
difus atau local non-spesifik dan tampak pucat. Penampakan yang jelas hanya dapat
terlihat di bawah mikroskop dalam bentuk neuron dengan noda sitoplasmik merah
terang dan nuclei hiperkromatik menyusut pada area dengan hematoksilin dan eosin.
Gambaran diagnosis histologis pada nekrosis neuronal iskemik tidak tampak
sebelum 6-12 jam setelah cedera. 9
11. Brain Swelling. Gambaran patologis awal dari udem otak adalah pendataran dari
permukaan girus dan penyempitan sulcus. Efek keseluruhan dari udem otak adalah
gambaran umum otak yang mulus dan datar pada undulasi normal pada permukaan
hemisfer serebral. Gambaran otak dari dewasa muda normalnya tampak full

sehingga kadang-kadang sulit untuk membedakan apakah terjadi udem otak atau
tidak. 9
Daftar Pustaka
1. Windi, dkk. Traumatologi Forensik. Cited from:
http://www.freewebs.com/traumatologie2/traumatologi.htm. 2006.
2. Bedong Muhammad Ali. Cidera Jaringan Otak: Pengenalan dan Kemungkinan
Penatalaksanaannya.
3. Akhyar
Yayan.
Cedera
Kepala
(Head
Injury).
Cited
from:
http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/04/25/cedera-kepala-head-injury/. 2008.
4. Mardjono Mahar, Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. PT. Dian Rakyat.
Jakarta. 2003.
5. Anonimous. Cedera Kepala. Cited from: http://info.medicastore.com/index.php?
mod=penyakit&id=687.
6. Luhulima JW. Anatomi Susunan Saraf Pusat. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 2003.
7. Japardi, Iskandar, Cedera Kepala, PT Buana Ilmu Populer, Jakarta Barat, 2004, p. 727, 67-76.
8. Wahjoepramono, Cedera Kepala, ISBN 979-98173-2-3, 1 Agustus 2005, p.21-89,
137-43.
9. Shkrum Michael J, David A.Ramsay, ‘ Craniocerebral Trauma and Vertebrospinal
Trauma’, Forensic Pathology of Trauma, Humana Press, New Jersey, 2007, p. 51973
10. Oemichen, M, R. N. Auer, H.G. Konig, ‘Injuries of the Brain’s Coverings’, Forensic
Neuropathology and Associated Neurology, Springer, Germany, 2006, p. 112-47
11. Dolinak, David, Evan W. Matshes, Emma O. Lew, ’Forensic Neuropathology’,
Forensic Pathology Principles and Practise, Elsevier Academic Press, USA, 2005,
p.423-52
12. Oemichen, M, R. N. Auer, H.G. Konig, ‘Closed Brain Injury’, Forensic
Neuropathology and Associated Neurology, Springer, Germany, 2006, p. 178-210.
13. Lombardo, Mary Carter, ‘Cedera Susunan Saraf Pusat’, Price, Sylvia A, Lorraine M.
Wilson, Patofisiologi, Buku 2, Edisi 4, EGC, Jakarta, p. 1010-2
14. Singh Jagvir, Arabela Stock. Head Trauma: Treatment & Medication. Cited from:
http://emedicine.medscape.com/article/907273-treatment. 2006.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENGARUH GLOBAL WAR ON TERRORISM TERHADAP KEBIJAKAN INDONESIA DALAM MEMBERANTAS TERORISME

57 269 37

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25