PERAN DESAIN ARSITEKTUR DALAM PEMBENTUKA (1)

PERAN DESAIN ‘ARSITEKTUR’ DALAM PEMBENTUKAN KAWASAN KOTA
YANG AMAN, NYAMAN DAN ESTETIS.
(Studi Kasus : Kawasan Pusat Kota Sekitar Alun-Alun Kota Bandung)
Ir. Udjianto Pawitro, MSP., IAP., IAI.
Jurusan Teknik Arsitektur FTSP – Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung
Gedung 17 Lantai 1 – Jalan PH Hasan Mustopha 23 Bandung 40124
E-mail : [email protected]

ABSTRAK
Arsitek dalam mengerjakan proyek pada skala lebih luas (misalnya: kawasan perumahan, bangunan multifungsi, dsb.) wawasan dan cara pandangnya haruslah lebih luas dari sekedar batas-batas tapak yang menjadi
batasan fisik perencanaan bangunan yang dikerjakan. Arsitek dimaksud perlu untuk mengenal dan memahami
dua sub-bidang penting lain, yaitu : (a) ‘Arsitektur Kota’ (Architecture of City) dan (b) ‘Perancangan Kota’
(Urban Design). Dalam kedua bidang tersebut diatas pemahaman terhadap latar-belakang, kontekstual dan
aspek desain arsitektural menjadi hal penting untuk dimiliki. Proses pembentukan kawasan kota pada dasarnya
dapat terbentuk dari susunan atau tatanan massa bangunan yang dirancang baik secara sendiri-sendiri
maupun secara bersamaan oleh desain arsitektur.
Pembentukan kawasan kota setidaknya ditujukan pada tiga tujuan utama yaitu: (a) keamanan, (b)
kenyamanan dan (c) keindahan (estetika). Untuk mencapai rasa aman, kawasan kota hendaknya memenuhi
tuntutan akan keamanan dan pengamanan pada skala kawasan, sehingga para penghuni dan pemakainya
dapat terlindungi oleh kegiatan-kegiatan yang bersifat mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Aspek
kenyamanan cdalam kawasan kota – secara langsung berhubungan dengan kinerja penggunaan ruang atau

kawasan, sehingga para pengguna dan penghuninya merasa cocok / sesuai dengan kebiasaan dan
perilakunya. Hal tersebut dapat dicapai manakala kawasan telah menjaalankan fungsi kegiatannya seperti yang
telah ditetapkan dalam land-used planning. Yang terakhir pembentukan kawasan kota bertujuan untuk
mencapai aspek keindahan (estetika) bagi para penghuni maupun pemakainya.
Dalam penelitian ini digunakan metoda analisis ‘konstruksi pemetaan kawasan’ secara visual arsitektur –
dimana dalam pengumpulan data-data lapangan dipergunakan: (a) konstruksi kembali-peta kawasan di sekitar
kawasan Alun-alun kota Bandung, (b) pengambilan photo-photo (lapangan) dari bangunan-bangunan potensial
yang mendukung pembentukan kawasan kota. Sedangkan metoda analisis yang digunakan dengan
menekankan pada aspek ‘deskriptif secara topical’ dan ‘deskriptif analisis secara visual-arsitektural’ yang
didasarkan pada data-data lapangan yang diperoleh. Sedangkan studi kasus yang diangkat dalam penelitian ini
adalah kawasan pusat kota sekitar Alun-alun kota Bandung – dimana pada kawasan tersebut memiliki potensi
bangunan-bangunan lama dengan nilai sejarah.
Kata kunci : desain arsitektur, kawasan kota, aman, nyaman dan estetis.

ABSTRACT
An architect will be working on a project on a broader scale (example: residential area, multi-functional
buildings, etc.) it must be broader than the boundaries of the site, which became the physical planning and the
building was undertaken. Architects will need to know and understand two important fields, namely: (a) 'Urban
Architecture’ and (b) 'Urban Design’. In both fields the above understanding of the background, and contextual
aspects of 'architectural design' becomes important to have. The process of the formation of the city can

basically formed from the arrangement or order of the mass of buildings designed either individually or
simultaneously by architectural design.
The establishment of the urban district at least aimed at three main objectives, namely: (a) safety, (b)
comfort and (c) the aesthetics. To achieve a sense of security, the city should meet the demands of safety and
security at the regional level, so that the occupants and users can be protected by activities that are disturbing
public order and security. Aspect of comfort of the urban district - is directly related to the performance or the
use of space, so that users and occupants feel suit the habits and behavior. This can be achieved when the
function has run its activities as set in land-use-planning. The latter forming the city's aim to achieve aspects of
beauty (aesthetics) to the occupants and users
.

(*) Makalah diterbitkan dalam Majalah Ilmiah TRI-DHARMA Kopertis Wilayah IV Jabar & Banten,
Nomor : 11/Tahun XXV/ Juni 2013.

This study used a method of analysis 'construction mapping of areas' and ‘visual architecture’ - where in
the collection of field data used: (a) re-construction map of the area around the downtown of Bandung, (b) the
taking of field photos of potential buildings that support the establishment of the urban district. While the method
of analysis used by the emphasis on 'descriptive topically' and 'descriptive visual-architectural’' which is based
on field data obtained. While the case studies in this research is the area surrounding the downtown of
Bandung - where the region has the potential of old buildings with historical value.

Keywords: architectural design, urban district, safe, comfortibility, aesthetical.

LATAR-BELAKANG
Arsitektur, perencanaan arsitektur dan perancangan arsitektur pada dasarnya punya fokus,
penekanan dan cakupan serta ruang-lingkup yang tertentu. Jika kita perhatikan secara tersendiri, bidang
arsitektur beserta kegiatan perancangan arsitektur – mempunyai focus dan penekanan pada hal-hal yang
berkaitan dengan : rencana, rancangan dan pendirian tentang bangungan. Atau daslam istilah Inggris-nya :
Architecture is the activities related with planning, designing and build about the buildings. Dari pengertian
tersebut diatas, kita dapat lihat bahwa fokus dan penekanan utama dari Arsitektur adalah kegiatan
perencanaan, perancangan dan pembangunan/pendirian dari bangun-bangunan.
‘Bangunan’ atau ‘the buildings’ dalam bidang arsitektur pada dasarnya merupakan objek bahasan
utama dan sekaligus objek kajian yang dilihat selalu menarik dan menantang untuk dikerjakan terutama
oleh para ‘arsitek’ atau ‘the building-designer’. Mengapa hal demikian dapat terjadi? ‘Bangunan’ adalah
‘ruang’ dimana manusia beraktifitas didalamnya dan sekaligus mengekspresikan ‘bentuk’ atau ‘wujud’
tertentu seiring dengan ‘fungsi’ yang dimilikinya. ‘Bangunan’ akan menjadi menarik dan sekaligus
menantang untuk diciptakan dan dibangun, manakala bangunan dimaksud berubah menjadi suatu ‘karya
arsitektur’. Bangunan yang berubah menjadi suatu ‘karya arsitektur’ akan memenuhi tiga tujuan utama,
yaitu: (a) kegunaan/fungsionalitas, (b) kekuatan/kekokohan, dan (c) keindahan atau estetika.
Dari skala atau besaran yang ditangani – dalam Arsitektur terdapat beberapa tingkatan penting
yang menyangkut besaran dari objek garapan yaitu ‘bangunan’yang kita sebut sebagai ‘skala’ ruang /

bangunan. Skala tingkatan mikro dalam arsitektur, dapat berupa: (a) skala bagian dari ruangan, (b) skala
satu ruangan (utuh), dan (c) skala bagian dari bangunan. Sedangkan tingkatan skala meso dalam
arsitektur, dapat berupa: (d) skala bangunan (utuh), dan (e) skala multi (banyak) bangunan dalam suatu
site/tapak. Dan tingkatan skala makro dalam arsitektur, dapat berupa: (f) skala lingkungan kawasan
(district) hingga (g) skala kawasan kota (urban areas). Dari tingkatan skala yang dipilih untuk
digarap/dilakukan, maka bidang Arsitektur pada dasarnya mempunyai ‘range’ (cakupan) yang cukup luas.
(lihat pula Snyder-Catanese – 1979).
Untuk lebih jelasnya dibawah ini diberikan gambaran atau ilustrasi yang berhubungan dengan
skala ruang yang dipilih oleh seorang ‘arsitek’ dalam menggarap / melaksanakan ‘proyek’ yang
dihadapinya. (1) pada tingkatan skala mikro – seorang arsitek dalam pengerjaan besaran ruangnya – akan
lebih banyak terlibat pada penanganan ‘ruang dalam’ (interior spaces)

secara lebih intens. (2) pada

tingkatan skala meso – seorang arsitek akan menjaga skala / besaran ruang pada tingkatan ‘bangunan
utuh’ dimana dibantu dengan gambar ‘perspektif eksterior dari bangunan’ yang dirancangnya. (3) pada
tingkatan skala makro – seorang arsitek bukan saja terlibat dalam perancangan bangunan secara utuh –
tetapi juga akan berhubungan dengan kegiatan ‘site-design’ bahkan ‘district-design’.
Ada keterkaitan antara bidang Arsitektur yang focus utamanya pada perencanaan dan
perancangan dari bangunan yang dibatasi oleh site / tapak dimana bangunan tersebut berada – dengan

skala ruang yang lebih besar atau lebih luas. Misalnya jika seorang arsitek akan mengerjakan ‘proyek’

pada skala lebih luas – misalnya: kawasan perumahan (residential district), bangunan multi-fungsi pada
kawasan perkotaan (the multi-function buildings in urban-areas), dsb. Maka wawasan dan cara pandang
ari ‘arsitek’ dimaksud haruslah lebih luas dari hanya sekedar batas-batas tapak

(site) yang menjadi

batasan fisik perencanaan bangunan yang dikerjakan. Arsitek dimaksud perlu untuk mengenal dan
memahami apa itu bidang ‘Arsitektur Kota’ (Urban Architecture) dan ‘Perancangan Kota’ (Urban Design).

Dalam bidang Arsitektur khususnya sub-bidang Perancangan Arsitektur dalam kenyataannya
dapat memberi pengaruh terhadap pembentukan kawasan kota (urban areas) yang ada di kota-kota besar.
Kaitan antara kegiatan perancangan bangunan atau perancangan arsitektur dengan lingkungan kawasan
perkotaan, pada pokoknya dibahas atau dikaji dalam dua bidang utama, yaitu: (a) Arsitektur Kota (Urban
Architecture) dan (b) Perancangan Kota (Urban Design). Di dalam kedua bidang tersebut diatas, dibahas
dan dikaji hal-hal yang berhubungan dengan: (1) apa peran dari kegiatan perancangan arsitektur dalam
skala kawasan kota, (2) bagaimana proses terbentuknya / terwujudnya suatu kawasan kota – dilihat dari
peran arsitekturnya, (3) pembentukan kawasan kota yang ditujukan untuk kondisi lingkungan yang aman,
nyaman dan estetis, serta (4) peran dari potensi arsitektur kota dalam peningkatan kualitas lingkungan

kawasan kota sehingga kota dapat lebih menarik.

PERMASALAHAN.
Untuk kota besar di negara-negara sedang berkembang seperti juga kota-kota besar di Indonesia,
peran desain arsitektur makin diperlukan guna membentuk kawasan perkotaan yang aman, nyaman dan
estetis (indah). Khusus untuk kawasan pusat kota Bandung, salah satunya yang dikenal dengan kawasan
‘Alun-alun’ pada kenyataannya mempunyai potensi yang cukup besar. Dengan peran desain arsitektur
kota, kawasan pusat kota diharapkan dapat menjadi kawasan yang aman untuk dipergunakan, nyaman
untuk dipakai oleh sebagai besar warga masyarakat dan yang terakhir kawasan dimaksud dapat menjadi
kawasan yang indah atau estetis secara visual arsitektural.

MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN.
Adapun maksud dan tujuan penelitian ini adalah dua hal penting yang berkaitan dengan : (a)
melihat peran

‘rancang arsitektur’ dalam pembentukan lingkungan kawasan kota, (b) kaitan antara

‘rancang arsitektur’ dan proses pembentukan kawasan kota, dan (c) bagaimana pembentukan / pewujudan
dari lingkungan kawasan kota yang aman, nyaman, estetik dan menarik.
Sebagai studi kasus dalam penelitian ini diambil: kawasan pusat kota di kota Bandung khususnya

kawasan kota di sekitar Alun-alun kota Bandung. Adapun alasan dan pertimbangan, studi kasus tersebut
diangkat adalah sbb. : (a) karena kawasan pusat kota khususnya sekitar Alun-alun kota Bandung –
memiliki potensi arsitektur kota yang banyak atau beragam, dan (b) karena kawasan pusat kota di sekitar
Alun-alun kota Bandung – memiliki nilai sejarah (historical values) yang cukup panjang. Dari kedua alasan /
pertimbangan tersebut maka kawasan pusat kota sekitar Alun-alun Bandung – mempunyai daya tarik
tersendiri untuk diamati dan dibahas.

METODE PENELITIAN.
Metode penelitian yang digunakan dalam kegiatan pengkajian yang dilakukan adalah: metode
analisis ‘konstruksi pemetaan kawasan’ secara visual arsitektur – dimana dalam pengumpulan data-data
lapangan dipergunakan: (a) konstruksi kembali-peta kawasan di sekitar kawasan Alun-alun kota Bandung,
(b) pengambilan photo-photo (lapangan) dari bangunan-bangunan potensial yang mendukung

pembentukan Arsitektur Kota. Sedangkan metoda analisis yang digunakan dengan menekankan pada
aspek ‘deskriptif secara topical’ dan ‘deskriptif analisis secara visual-arsitektural’ yang didasarkan pada
data-data lapangan yang diperoleh.
Hasil akhir kegiatan penelitian ini diharapkan terdapat masukan-masukan dan gambaran kondisi –
bagaimana seharusnya lingkungan kawasan kota dapat terbentuk atau terwujud sehingga aman, nyaman
dan estetis.
Berikut dibawah ini diagram alir metode penelitian yang dilakukan :


JUDUL / TOPIK
PENELITIAN

M ETODE
PENELITIAN

KAJIAN
TEORITIK :
(1) Peran
Desain Arst .
(2) Pembent ukan Kawasan Kot a.
(3) Kawasan
Yang Aman,
Nyaman &
Indah/ Est et is

PEM BAHASAN :
(1) Peran Desain
Arsit ekt ur


DATA-DATA
LAPANGAN

(2) Elemen
Pembent uk
Kaw asan Kot a

KESIM PULAN

(3) Kawasan Kota
Yang Aman,
Nyaman & Est et is

TINJAUAN / KAJIAN TEORITIK:
a) DESAIN ARSITEKTUR: PENEKANAN, RUANG-LINGKUP DAN PERAN YANG
DIBERIKAN.
Kegiatan perancangan (desain) arsitektur adalah kegiatan yang merupakan salah satu dari tiga
tugas utama seorang arsitek. Disamping melakukan kegiatan perancangan atau desain arsitektur, dalam
profesi arsitek juga dilakukan kegiatan perencanaan arsitektur dan sekaligus kegiatan pendirian/pewujudan

dari karya arsitektur yang berupa bangunan (buildings). Fokus utama dalam kegiatan perancangan atau
desain arsitektur adalah pada perancangan utuh dan menyeluruh dari ‘satu atau beberapa’ bangunan
dalam suatu tapak atau site. Profesi arsitek sering pula disebut sebagai ‘perancang bangunan’ atau ‘the
buildings designer’ – karena fokus utamanya pada kegiatan perancangan skala bangunan.
Sedangkan yang mencakup ‘ruang-lingkup’ dalam kegiatan perancangan arsitektur ini adalah:
semua aspek yang terkait erat dengan tiga tujuan utama Arsitektur seperti yang dikemukakan oleh Marcus
Vitrovius Follio. Dalam aspek kegunaan atau fungsionalitas – perancangan arsitektur menyangkut antara
lain: pemahaman fungsi/kegunaan dalam ruang atau bangunan, penentuan dimensi / kapasitas / besaran
ruang dalam bangunan, hingga penentuan bentuk ruang yang sesuai dengan pola perilaku atau kebiasaan
dalam berkegiatan (aktifitas) dari pengguna ruang. Dalam aspek kekuatan atau kekokohan – perancangan
arsitektur menyangkut antara lain: jenis struktur yang sesuai / cocok sehingga ruang atau bangunan kuat
dan kokoh berdiri, penentuan bahan bangunan serta cara atau system konstruksi – dimana bangunan agar
mudah dan cepat untuk dibangun atau didirikan, serta penentuan system dan jaringan utilitas guna
mendukung kinerja bangunan.
Dalam aspek keindahan atau estetika, sebagai aspek terakhir yang tidak dapat dihindari – kegiatan
perancangan arsitektur mencakup pula hal-hal seperti: pemilihan alternative bentuk bangunan, penentuan
bahan dan warna yang mencerminkan ekspresi dari bangunan, hingga penerapan prinsip-prinsip estetika

perancangan – agar bangunan yang dirancang dapat terkesan ‘indah’ atau ‘estetis’. Tujuan utama dalam
pencapaian aspek keindahan (estetis) adalah agar pengguna


bangunan dan orang yang melihat

‘bangunan’ dapat merasa puas atau bahagia secara visual. Hasil rancang arsitektur yang baik selain
memberi kepuasan kepada penggunanya, juga sekaligus dapat memberikan ‘rasa bahagia’ bagi orang
yang melihatnya. (lihat pula – Sumintardja – 1978).
Dalam skala yang lebih luas, kegiatan perancangan (desain) arsitektur dapat memberi peranan
yang cukup berarti terutama dalam lingkungan skala ruang yang lebih luas – seperti: kawasan perumahan,
kawasan pariwisata, kawasan pusat kota,dsb. Sub-bidang yang menekuni kajian atau bahasan yang terkait
dengan perencanaan dan perancangan skala kawasan perkotaan, dikenal : (a) Arsitektur Kota (Urban
Architecture) dan (b) Perancangan Kota (Urban Design). Dalam kedua sub-bidang tersebut diatas – latarbelakang, kontekstual dan pemahaman yang memadai dari aspek ‘desain arsitektural’ menjadi hal penting
untuk diketahui. Proses pembentukan kawasan kota pada dasarnya dapat terbentuk dari susunan atau
tatanan massa bangunan yang dirancang baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan (lihat
Shirvani – 1976).

b) PEMBENTUKAN KAWASAN KOTA (URBAN AREAS) DI KOTA-KOTA BESAR.
Kawasan kota atau kawasan perkotaan dalam istilah inggrisnya disebut ‘urban district’ adalah
suatu kawasan yang terletak biasanya di sekitar pusat dari sutu kota, dimana mssyarakat yang
menghuninya mempunyai mata pencaharian ‘urban’. Ciri dari mata pencaharian ‘urban’ adalah jenis
pekerjaan atau mata pencaharian yang lebih banyak didominasi oleh kegiatan non-pertanian, seperti:
perdagangan dan jasa (services). Karena jenis pekerjaan dari sebagian besar masyarakat kawasan kota
yang bersifat non-pertanian (non-agraris), salah satu cirri utamanya yaitu tingginya intensitas penggunaan
tanah dan tingginya nilai jual tanah akibat memiliki nilai-ekonomis yang tinggi.
Pembentukan kawasan kota terutama yang terjadi di kota-kota besar, pada pokoknya terjadi
seiring dengan berjalannya waktu atau masa (sejarah) pembentukan kota yang bersangkutan. Untuk kotakota besar dengan usia yang lebih dari 200 tahun, kondisi kawasan kota-nya memiliki corak atau warna
yang beragam. Biasanya kawasan kota yang berada di sekitar pusat-pusat kota, cenderung didominasi
oleh banyaknya bangunan-bangunan dengan fungsi komersial. Kawasan kota di sekitar pusat-pusat kota,
selain dibentuk oleh fungsi perumahan, namun tata-kota-nya menetapkan land-use dengan fungsi
komersial. Karena itu bangunan-bangunan yang banyak didapati adalah bangunan-bangunan, seperti:
kantor-kantor sewa, hotel-hotel, toko-toko bahkan pusat perbelanjaan, bangunan bank dan sejenisnya.
(lihat J-Nas – 1972).
Kawasan kota atau ‘urban district’ pada dasarnya mempunyai fungsi tertentu yang sesuai dengan
penetapan ‘land-use’ dominan pada kawasan dimaksud. Pemerintah Kota, dalam hal ini yang dijalankan
oleh Dinas Tata Kota dan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan) – melalui RTRK atau RDTRK
menentukan fungsi utama kawasan. Dalam aturan penetapan ‘land-use planning’ sebuah kawasan di suatu
kota biasanya dibagi menjadi: (a) kawasan pusat kota atau yang sering disebut CBD (Central Bussines
District), (b) kawasan sub pusat kota atau yang sering disebut pusat sekunder, dan (c) kawasan ‘pengisi’
kota yang keberadaannya di luar kawasan CBD maupun kawasan pusat-pusat sekunder. (lihat pula –
Djohara, 1979).
Khusus untuk kawasan pusat kota atau kawasan CBD, pemerintah kota biasanya menetapkan
land-use pada kawasan tersebut adalah untuk fungsi: pusat bisnis / kegiatan perdagangan & jasa, pusat-

pusat pemerintahan, serta fungsi-fungsi komersial lainnya yang dianggap relevan guna mendukung
kegiatan ekonomi kota. Kawasan pusat kota pada umumnya juga dijadikan icon atau gambaran atau
tanda-tanda yang dapat ‘mewakili’ kondisi kota secara keseluruhan. Ikon atau gambaran atau tanda-tanda
pada kawasan pusat kota ada kaitannya dengan memori masa lalu kota atau perjalanan sejarah kota yang
bersangkutan. Karena itu dalam mengkaji kawasan pusat kota – potensi dari arsitektur kota akan banyak
berpengaruh terhadap kondisi kualitas lingkungan kawasan kota. (lihat Speiregen - 1965).

c) KAWASAN KOTA YANG AMAN, NYAMAN DAN ESTETIS.
Sama halnya dengan skala dan tujuan dalam Arsitektur / Rancang Bangunan – tujuan utama
terbentuknya kawasan kota (urban district) adalah mencapai tiga tujuan utama, yaitu: (1) tujuan kegunaan
atau fungsionalitas, (2) tujuan kekuatan/ kekokohan/ keawetan, dan (3) tujuan akan keindahan atau
estetika. Dalam pandangan paul Speiregen….!!!, pembentukan kawasan kota juga mempunyai tujuan atau
diarahkan guna mencapai tiga tujuan utama tersebut diatas. Kawasan kota yang ‘berhasil’ atau dinilai
‘berfungsi dengan baik’ adalah kawasan kota yang didalamnya : pertama - kawasan kota yang dapat
memenuhi kegunaan / fungsi yang ditentukan bagi aktifitas pemakainya, kedua - kawasan kota tersebut
memiliki pola dan struktur serta kekokohan dalam jangka waktu lama untuk dipergunakan, serta ketiga –
kawasan kota dimaksud memiliki nilai estetik (keindahan) serta memberikan memori ‘tertentu yang khas /
unik / spesifik’ bagi masyarakat yang singgah atau tinggal di dalamnya.
Untuk mencapai rasa aman, kawasan kota hendaknya memenuhi tuntutan akan keamanan dan
pengamanan pada skala kawasan, sehingga para penghuni dan pemakainya dapat terlindungi oleh
kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal atau yang mengganggu keamanan / ketertiban umum. Aspek
nyaman atau ‘comfortibility’ dalam kawasan kota – secara langsung berhubungan dengan kinerja
penggunaan ruang atau kawasan, sehingga para pengguna dan penghuninya merasa cocok / sesuai
dengan kebiasaan dan perilakunya. Pada akhirnya kenyamanan kawasan kota akan tercapai jika fungsifungsi utama dalam land-use kawasan dapat terbentuk dan berjalan sebagaimana yang ditetapkan.
Secara fisikal dalam sub-bidang perancangan kota (urban design) – kegiatan penataan dan
pengelolaan kawasan tersebut dapat dipelajari melalui usaha perencanaan dan perancangan kawasan
kota – baik yang bertujuan untuk mengangkat rasa aman, kenyamanan hingga aspek keindahan visual dari
kawasan dimaksud. Setidaknya terdapat 8 (delapan) elemen pembentuk kawasan kota secara fisikal yang
dapat diangkat untuk meningkatkan nilai aman, nyaman dan estetis didalamnya. Ke delapan elemen
pembentuk kawasan kota dimaksud adalah: (a) bentuk massa bangunan (massing), (b) pola sirkulasi
(circulation), (c) jalur pedestrian (pedestrian ways), (d) ruang terbuka hijau (open spaces), (e) area tempat
parker kendaraan (parking areas), (f) tata-guna lahan kawasan (land use), dan (g) penanda pada kawasan
(signate). (lihat: Shirvani – 1976).

DATA LAPANGAN:
a) DESKRIPSI KAWASAN - STUDI KASUS KAWASAN PUSAT KOTA SEKITAR ALUN-ALUN
KOTA BANDUNG.
Kawasan Pusat Kota sekitar Alun-alun Kota Bandung:
Batas Daerah Pengamatan:
-Sebelah Barat

: Jalan Alketeri dan Jalan/Gang Kebon Kembang.

-Sebelah Utara

: Jalan ABC dan Jalan Banceuy

-Sebelah Selatan

: Jalan Kepatihan dan Jalan Lengkong Kecil

-Sebelah Timur

: Jalan Homman Dalam dan Jalan Braga. (lihat peta kawasan / daerah

pengamatan).
Fungsi Utama Kawasan:
Dari penetapan tata-guna lahan (land-used) pada kawasan ini fungsi-fungsi yang ditetapkan antara lain
adalah : (a) Perdagangan dan Jasa, (b) Pusat Perkantoran, (c) Pusat Pemerintahan, (d) Rekreasi dan
Pariwisata, dan (e) Fungsi Peribadatan. Disamping fungsi Perumahan / Tempat-Tinggal (Residential)
sebagai pengisi sebagian besar kawasan.
Berikut Bangunan-bangunan yang mempunyai
potensi Arsitektur ‘tinggi’ di kawasan Alun-alun
Bandung:
(Urutan bangunan searah jarum jam) :
1) Masjid Agung Bandung.
2) Bangunan Toko Swarha.
3) Kantor Pos Besar Bandung.
4) Kantor Bank Dagang Negara (BDN) – Bandung.
5) Kantor Asuransi Jiwa Sraya.
5) BRI Tower.
6) Kantor PLN – Jawa Barat.
7) Pertokoan Miramar.
8) Pertokoan Palaguna.
9) Bioskop Dian.
10) Pertokoan Parahiyangan Plaza.

b) BANGUNAN-BANGUNAN POTENSIAL PEMBENTUK ‘KAWASAN PUSAT KOTA’.
(1) Karakteristik Kawasan:
Kawasan Pusat Kota sekitar Alun-alun kota Bandung – memiliki perjalanan (sejarah) yang
panjang, hal tersebut dapat dilihat dari antara lain: (a) Jalan Asia-Afrika yang membentang dari arah timur
ke barat – merupakan jalan peninggalan zaman Deandles (merupakan penggalan jalan utama lintas Jawa
dari Anyer ke Panarukan, (b) bangunan-bangunan lama potensial yang memiliki nilai sejarah (historical
buildings) diantaranya: (1) Ex Kantor Bupati Bandung, Gedung Kantor Pos Asia-Afrika, Kantor PLN
perwakilan

Jawa

Barat,

Gedung

Kantor

Asuransi

Jiwa

Sraya,

Gedung

Merdeka

(tempat

diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika tahun 1955), dan Bangunan Mesjid Raya Bandung.

(2) Potensi Bangunan Bersejarah Pada Kawasan Pusat Kota.
Pada kawasan pusat kota sekitar Alun-alun kota Bandung,, kondisi potensi bangunan-bangunan
bersejarah banyak didapat terutama bangunan-bangunan peninggalan pemerintah Hindia Belanda (yang
didirikan sekitar tahun 1880 hingga 1930-an). Dilihat dari langgam atau gaya Arsitektural pada bangunanbangunan potensial yang mempunyai nilai sejarah – terlihat cukup beragam sehingga dinilai potensial bagi
peningkatan ‘arsitektur kawasan kota’ yang bersangkutan.

(3) Photo-photo Data Langanan dari Kawasan Pusat Kota.

Photo 01 : Kantor Pos Besar Asia-

Photo 02 : Kantor Asuransi Jiwa

Photo 03 : Parahiyangan Plaza.

Afrika.

Sraya.

Photo 04 : Bangunan Kantor Jiwa

Photo 05 : Bangunan Toko ‘Swarha’.

Photo 06 : Masjid Agung Bandung.

Photo 07 : Pusat Perbelanjaan

Photo 08 : Pusat Perbelanjaan

Photo 09 : Bioskop ‘Dian’.

Kepatihan.

Palaguna.

Sraya.

PEMBAHASAN DAN ANALISIS.
a) Peran Desain Arsitektur Pada Kawasan Kota.
Ragam hasil rancangan arsitektur atau rancangan bangunan yang membentuk kawasan kota,
pada dasarnya dapat dikaji atau dibahas tidak-lah sebatas satu periode pengamatan, tetapi didalamnya
termuat serangkaian perjalanan dari waktu ke waktu dalam proses pembentukan kawasan kota. Dalam
rentang perjalanan sejarah proses pembentukan kawasan (pusat) kota, peran dari desain arsitektur dapat
berdiri sendiri sebagai suatu bangunan potensial yang bersejarah dan sekaligus bangunan yang punya
ragam gaya arsitektur tertentu. Peran dari desain arsitektur pada proses pembentukan kawasan kota, pada

dasarnya dapat dilihat dari: (a) kondisi satu persatu bangunan potensial yang berada di kawasan kota
dimaksud, dan (b) kondisi kumpulan bangunan-bangunan yang pada akhirnya membentuk ‘image’ atau
‘citra’ visual pada kawasan kota dimaksud.
Pada kawasan pusat kota sekitar Alun-alun kota Bandung ini, terdapat rentang perjalanan sejarah
pembentukan kawasan kota yang relative panjang (lama). Bangunan-bangunan potensial yang memiliki
nilai sejarah, secara periode terjadi atau didirikan antara tahun 1880 hingga 1930-an. Jika diambil rata-rata
tahun pendirian bangunan potensial bernilai sejarah adalah tahun 1905, maka hingga saat sekarang ini
(saat pengamatan kawasan kota pada tahun 2012), rata-rata usia bangunan dimaksud berkisar antara 80
tahun hingga 105 tahun. Namun dalam perjalanan sejarah pada kawasan pusat kota sekitar Alun-alun kota
Bandung, terdapat pula langgam atau gaya arsitektur modern dan pasca-modern, kebanyakan bangunan
baru tersebut dibangun sekitar tahun 1985 hingga 2005.
Karena itu jika dilihat dan diamati kondisi kawasan pusat kota dari segi ragam atau gaya arsitektur
yang ada di kawasan ini, terdapat gaya-arsitektur mulai darI: (a) gaya Indish-Europe, (b) gaya Kolonial, (c)
gaya Neo-Classic, (d) gaya Art-neuvo, (e) gaya Art-deco, hingga (f) gaya modern awal, dan (g) gaya
modern akhir (mendekati periode Post-modern). Pengamatan lingkungan visual arsitektural pada kawasan
(pusat) kota dimaksud secara dominan, bangunan-bangunan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda –
memiliki nilai yang unik lagi menarik ditinjau dari ragam atau gaya arsitektur yang ada. Karena itu dalam
mengamati kawasan pusat kota di sekitar Alun-alun kota Bandung ini – pengamatan lingkungan kawasan –
tidak dapat lepas dari kawasan sekitar yang melingkupinya. Sebagai contoh misalnya: kawasan jalan
Braga, kawasan jalan Banceuy, kawasan jalan Balonggede dan kawasan jalan Oto-iskandardinata – juga
mempengaruhi kondisi visual-arsitektural kawasan sekitar Alun-alun kota Bandung.

b) Potensi Yang Dimiliki Kawasan Pusat Kota Dilihat Dari ‘Elemen Pembentuk Kawasan
Kota’.
Pada dasarnya terletak atau berada di site (tapak) dengan luasan yang cukup besar. Akibat dari
hal tersebutbentuk massa bangunan maupun ekspresi bangunan eksterior secara keseluruhan dapat
dengan mudah untuk dilihat atau diamati. Dari elemen ‘sirkulasi’ – kawasan pusat kota sekitar Alun-alun
kota Bandung, pada dasarnya tetap atau tidak banyak mengalami perubahan, hal ini dikarenakan jalanjalan yang ada merupakan jalan di kawasan kota yang sudah terbentuk lama sebelumnya. Pola sirkulasi
yang terbentuk kebanyakan memiliki bentuk ‘grid-iron’ atau gemetrik ‘lurus’ dan ‘tegak-lurus’.
Dari elemen ‘parking areas’, perencanaan kawasan pusat kota – pada periode awal
pembentukannya memilih pola parking area yang terpusat di sekitar Alun-alun kota Bandung, terutama
untuk kendaraan roda empat (mobil). Sedikit dari bangunan-bangunan potensial yang ada juga
menyediakan area parking yang cukup memenuhi dari segi kapasitas maupun jumlah-nya. Sedangkan dari
elemen ‘ruang terbuka’ (open space), pada kawasan pusat kota ini – terlihat sangatlah terbatas. Ruang
terbuka yang ada – berada di kawasan atau areal Alun-alun, halaman depan Gedung Kantor Pos Besar
Asia-Afrika, dan halaman depan dari Ex Kantor Bupati Bandung (atau sebelah selatan dari Alun-alun
Bandung). Diperkirakan luas area terbuka atau open space yang ada sekitar 10& hingga 15% dari seluruh
areal kawasan kota (yang diamati).
Dari elemen tata-guna lahan atau ‘land-use planning’, kawasan pusat kota yang diamati
mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (a) Perdagangan dan Jasa, (b) Pusat Perkantoran, (c) Pusat
Pemerintahan, (d) Rekreasi dan Pariwisata, dan (e) Fungsi Peribadatan. Disamping fungsi-fungsi tersebut

diatas juga terdapat fungsi Perumahan / Tempat-Tinggal (Residential) sebagai pengisi pada sebagian
besar kawasan. Dari elemen ‘signage’ atau ‘penanda kawasan’ terlihat bahwa penanda-penanda penting
untuk mendukung informasi tentang kawasan kota terlihat kurang begitu dominan. Yang terlihat dominan
pada kawasan pusat kota tersebut adalah berupa ‘iklan-iklan’ atau ‘papan reklame’ yang terlihat hingarbingar dan terkesan semrawut (tidak tertata dengan rapih).

c) Peran Desain Arsitektur dalam Pembentukan Kawasan Kota Yang Aman, Nyaman dan
Estetis.
Secara fisikal dalam kegiatan perancangan kawasan kota terdapat tiga tujuan utama dalam
pembentukan kawasan kota. Tujuan-tujuan utama tersebut adalah: (a) kawasan kota yang ‘aman’, (b)
kawasan kota yang ‘nyaman’ dan (c) kawasan kota yang ‘indah/estetis’. Untuk mencapai tujuan
‘keamanan’ dari kawasan kota, dalam kegiatan perancangan kota telah ditentukan parameter-parameter
perancangan kawasan kota, yang meliputi: BCR (Building Coverage Ratio), FAR (Floor Area Ratio) dan
ROW (Right Of Way), disamping adanya ketentuan tentang GSB (Garis Sempadan Bangunan). Semua
parameter tersebut diatas ditujukan agar tata-bangunan yang terbentuk selain rapi, juga tertib dan bahkan
untuk tujuan keamanan. Keamanan yang dimaksud dapat berupa aman untuk digunakan / dipakai, bahkan
aman dari berbagai kemungkinan bahaya yang akan mengancam.
Secara fisikal dalam kegiatan perancangan kawasan kota, tujuan mencapai ‘kenyamanan’
(comfortibility) suatu kawasan kota, pada tingkatan makro adalah terselenggaranya fungsi-fungsi atau jenis
kegiatan yang telah ditentukan / ditetapkan dalam ‘tata-guna lahan’ (land-used planning). Suatu kawasan
kota akan ditetapkan jenis fungsi atau kegiatan yang paling dominan, dengan demikian pada kawasankawasan tertentu akan dapat dibangun atau didirikan jenis atau type bangunan yang dinilai sesuai (=cocok
/ tepat) dengan ketetapan ‘tata-guna lahan’. Pada tingkatan mikro – suatu bangunan perlu-lah
memperhatikan aspek ‘zonning’ atau penetapan kegiatan dalam bangunan, yang biasanya berupa: (a)
kegiatan public, (b) kegiatan private, dan (c) kegiatan service atau penunjang. Tujuan dari penetapan landused planning dan zoning – adalah untuk mendapatkan ketertiban penggunaan pada bangunan ataupun
kawasan – sehingga para penghuni dan penggunnya dapat merasa nyaman atau ‘betah’.
Secara fisikal dalam kegiatan perancangan kawasan kota, tujuan mencapai aspek ‘keindahan’
atau ‘estetis’ pada kawasan kota, salah satunya dengan melihat potensi Arsitektur Kota yang dimilikinya.
Dalam sub-bidang Arsitektur Kota, dapat dilihat dan dibahas antara lain: (a) bentuk dan wujud 3 dimensi
dari tata-bangunan, (b) bentukan pada façade atau kulit bangunan, (c) penetapan ragam atau gaya
arsitektur pada kawasan, hingga (d) potensi dan masalah preservasi – konservasi pada bangunan lama
yang bernilai sejarah. Pada kota-kota besar yang menaruh perhatian pada upaya perancangan kota, maka
didalamnya telah ditetapkan apa yang dikenal sebagai UDGL (= Urban Design Guide-Lines). Salah satu isi
atau substansi dari UDGL adalah penetapan tentang gaya arsitektur (the architectural styles) yang
mungkin dipakai beserta alternatifnya dalam suatu kawasan kota.

PENUTUP DAN KESIMPULAN.
Tujuan utama terbentuknya kawasan kota (urban district) adalah untuk mencapai tiga tujuan utama
(Vitrovius dan Speiregen) yaitu: (1) tujuan kegunaan atau fungsionalitas, (2) tujuan kekuatan/ kekokohan/
keawetan, dan (3) tujuan akan keindahan atau estetika. Paul Speiregen mengutarakan pendapatnya
bahwa pembentukan kawasan kota juga mempunyai tujuan utama atau diarahkan untuk mencapai tiga
tujuan utama tersebut diatas. Kawasan kota yang ‘berhasil’ atau dinilai ‘berfungsi dengan baik’ adalah

kawasan kota yang didalamnya : (a) kawasan kota yang dapat memenuhi kegunaan / fungsi yang
ditentukan dalam tata-guna lahan (land used planning) bagi aktifitas pemakainya, (b) kawasan kota
tersebut memiliki pola dan struktur tertentu serta memiliki kekokohan sehingga dapat dipergunakan dalam
jangka waktu yang relatif lama, (c) kawasan kota dimaksud juga memiliki nilai estetik (= keindahan) serta
dapat memberikan memori ‘tertentu’ yang khas / unik / spesifik’ bagi masyarakat yang pernah singgah atau
tinggal / berhuni di dalamnya.
Rancangan arsitektur atau rancangan bangunan yang membentuk kawasan kota atau ‘urban
district’, pada dasarnya dapat diamati dan dibahas tidak-lah sebatas satu periode pengamatan, tetapi
didalamnya termuat serangkaian perjalanan dari waktu ke waktu proses pembentukan kawasan kota
dimaksud. Dalam rentang perjalanan sejarah proses pembentukan kawasan kota, peran ‘desain arsitektur’
dapat diamati secara berdiri sendiri sebagai suatu bangunan potensial yang ada di kawasan, atau dapat
diamati sebagai susunan bangunan-bangunan potensial yang mempunyai ragam / kekayaan gaya
arsitektur tertentu. Dalam skala kawasan kota, peran dari desain arsitektur adalah melihat : (a) kondisi satu
persatu bangunan potensial yang berada di kawasan kota, dan (b) kondisi kumpulan bangunan-bangunan
yang pada akhirnya membentuk ‘image’ atau ‘citra’ visual pada kawasan kota.
Pada kawasan pusat kota sekitar Alun-alun kota Bandung ini, terdapat rentang perjalanan sejarah
pembentukan kawasan kota yang relatif panjang atau lama. Bangunan-bangunan potensial yang memiliki
nilai sejarah, secara periode terjadi atau didirikan antara tahun 1880 hingga 1930-an. Jika diambil rata-rata
tahun pendirian bangunan potensial bernilai sejarah adalah tahun 1905, maka hingga saat sekarang ini
(saat pengamatan kawasan kota yaitu tahun 2012), maka rata-rata usia bangunan dimaksud berkisar
antara 80 tahun hingga 105 tahun. Namun dalam perjalanan sejarah pada kawasan pusat kota sekitar
Alun-alun kota Bandung, terdapat pula langgam atau gaya arsitektur modern dan pasca-modern, dimana
kebanyakan bangunan-bangunan baru tersebut dibangun sekitar tahun 1985 hingga 2005.
Jika dilihat dan diamati tentang kondisi kawasan pusat kota dari segi ‘langgam atau gaya
arsitektur’ yang ada di kawasan ini, terdapat gaya-arsitektur mulai darI: (a) gaya Indish-Europe, (b) gaya
Kolonial, (c) gaya Neo-Classic, (d) gaya Art-neuvo, (e) gaya Art-deco, hingga (f) gaya modern awal, dan (g)
gaya modern akhir (mendekati periode Post-modern). Pengamatan lingkungan visual arsitektural pada
kawasan (pusat) kota dimaksud secara dominan, bangunan-bangunan peninggalan pemerintahan Hindia
Belanda – memiliki nilai yang unik lagi menarik ditinjau dari ragam atau gaya arsitektur yang ada. Karena
itu dalam mengamati kawasan pusat kota di sekitar Alun-alun kota Bandung ini – pengamatan kondisi
lingkungan kawasan – tidak dapat lepas dari kawasan sekitar yang melingkupinya. Misalnya: kawasan
jalan Braga, kawasan jalan Banceuy, kawasan jalan Balonggede dan kawasan jalan Oto-iskandardinata
juga turut mempengaruhi kondisi visual-arsitektural kawasan sekitar Alun-alun kota Bandung.

Dalam kegiatan perancangan kawasan kota terdapat tiga tujuan utama dalam pembentukan
kawasan kota mestilah mencapai tujuan-tujuan: (a) kawasan kota yang ‘aman’, (b) kawasan kota yang
‘nyaman’ dan (c) kawasan kota yang ‘indah/estetis’. Untuk mencapai tujuan ‘keamanan’ dalam kegiatan
perancangan kota telah ditentukan parameter-parameter perancangan kawasan kota, yang meliputi: BCR
(Building Coverage Ratio), FAR (Floor Area Ratio) dan ROW (Right Of Way), disamping adanya ketentuan
tentang GSB (Garis Sempadan Bangunan). Semua parameter tersebut diatas ditujukan agar tatabangunan yang terbentuk selain rapi, juga tertib dan bahkan untuk tujuan keamanan. Untuk mencapai
‘kenyamanan’ pada suatu kawasan kota, pada tingkatan makro adalah dengan terselenggaranya fungsifungsi atau jenis kegiatan yang telah ditentukan / ditetapkan dalam ‘tata-guna lahan’ (land-used planning)

dari kogta yang bersangkutan. Suatu kawasan kota akan ditetapkan jenis fungsi atau kegiatan yang paling
dominan, dengan demikian pada kawasan-kawasan tertentu akan dapat dibangun atau didirikan jenis atau
type bangunan yang dinilai sesuai / cocok / tepat dengan ketetapan ‘tata-guna lahan’-nya.
Dalam kegiatan perancangan kawasan kota mencapai tujuan aspek ‘keindahan’ pada kawasan
kota, salah satunya dengan melihat potensi Arsitektur Kota yang dimilikinya. Dalam bidang Arsitektur Kota,
dapat dilihat dan dibahas antara lain: (a) bentuk dan wujud 3 dimensi dari tata-bangunan, (b) bentukan
pada façade atau kulit bangunan, (c) penetapan ragam atau gaya arsitektur pada kawasan, hingga (d)
potensi dan masalah preservasi – konservasi pada bangunan lama yang bernilai sejarah. Pada kota-kota
besar yang menaruh perhatian pada upaya perancangan kota (urban design), maka didalamnya telah
ditetapkan apa yang dikenal sebagai UDGL (Urban Design Guide-Lines). Salah satu isi atau substansi
penting dalam UDGL adalah penetapan gaya arsitektur beserta alternatifnya yang mungkin untuk dipakai
dalam suatu kawasan kota.

DAFTAR KEPUSTAKAAN.
Djauhari, Sumintardja (1978), A r s i t e k t u r, Yayasan LPMB (Lembaga Penelitian Masalah Bangunan),
Bandung.
th

Gallion, Arthur (1986), The Urban Pattern : City Planning and Design, [5

Edition], Van Norstrand -

Reinhold, Co., New York.
Paul D. Speiregen (1965), The Architecture Of Towns And Cities, Mc. Graw Hill Book, Co., New York.
Shirvani, Hamid (1976), Urban Design Process, Van Norstrand-Reinhold,Co., New York.
Snyder-Catanesse (1979), Introduction To Architecture, Mc Graw Hill Book, Co., New York.
Snyder-Catanesse (1979), Introduction To Urban Planning, Mc. Graw Hill Book, Co., New York.
Udjianto Pawitro (2008), Melihat Potensi Arsitektur Kota di Kawasan Jalan Braga Kota Bandung,
(Makalah), Seminar Mansoer Wiratmadja, Jurusan Teknik Sipil FTSP – Itenas, Bandung.