PEMETAAN MODAL SOSIAL DALAM UPAYA MENGEN (1)

PEMETAAN MODAL SOSIAL
DALAM UPAYA MENGENTASKAN KEMISKINAN
PADA DAERAH PESISIR DAN PEGUNUNGAN
(KASUS DI DESA SAWAI DAN SOLEA, SERAM UTARA, MALUKU TENGAH)

Semuel Limba* dan Felecia P. Adam**
Fakultas Pertanian,Universitas Pattimura
*Prodi Kehutanan, **Prodi Agribisnis
feleciaadam@yahoo.com
Abstrak
Upaya penanggulangan kemiskinan dan upaya membebaskan bangsa dari keterbelakangan hingga
saat ini tidak menghasilkan sesuatu yang optimal. Hal ini erat kaitannya dengan tidak dimasukkannya
modal sosial sebagai faktor penting dalam mempengaruhi efisiensi dan efektifitas kebijakan. Kenyataan
ini menumbuhkan kesadaran akan pentingnya dimensi kultural dan pendayagunaan peran lembagalembaga yang tumbuh dalam masyarakat untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses-proses
pembangunan. Fukuyama (2002) misalnya menyebutkan faktor kultural, khususnya modal sosial
menempati posisi yang sangat penting sebagai faktor yang menentukan kualitas masyarakat. Desa Sawai
terletak di pesisir dengan masyarakat yang heterogen, aksesibilitas cukup baik sehingga sistim
perekonomiannya cukup berkembang. Berbeda dengan desa Sawai yang terletak di pegunungan,
aksesibilitas terbatas sehingga perekonomiannya tidak berkembang.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan modal sosial yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat dan kemudian mengidentifikasi nilai, institusi dan mekanisme yang mendasari interaksi antar

individu dengan empat indikator yaitu ketersediaan kelompok dan jejaring kerja, kepercayaan dan
solidaritas, aksi kolektif dan kerjasama, informasi dan komunikasi.
Metode yang digunakan adalah metode survey. Penentuan responden secara sengaja yaitu 30
responden setiap desa. Data yang diperoleh adalah data primer maupun sekunder kemudian dianalisis
secara deskriptif kualitatif Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) status keluarga responden di Sawai
didominasi oleh KS-2 sebanyak 66 persen , berbeda dengan Solea yang berstatus pra sejahtera sebanyak
83 persen, 2). ketersediaan kelompok dan jejaring kerja berupa kelompok : keagamaan, pemuda,
tani/nelayan, pemerhati budaya, pemerhati kesehatan dan PGRI, 3). akumulasi kepercayaan di kalangan
masyarakat masih cukup tinggi (90.22 %), 4). aksi kolektif dan kerjasama yaitu secara sukarela terlibat
dalam kegiatan untuk kepentingan bersama menunjukan partisipasi yang sangat tinggi (55 %-95 %),
5). Komunikasi dan informasi masih menjadi kendala karena terbatasnya jaringan yang dimiliki. Desa
Solea masih sangat terisolasi karena tidak memiliki akses komunikasi maupun transportasi.
Kata kunci : Modal sosial, pengentasan, kemiskinan

PEMETAAN MODAL SOSIAL
DALAM UPAYA MENGENTASKAN KEMISKINAN
(KASUS DI DESA SAWAI DAN SOLEA, SERAM UTARA, MALUKU TENGAH)

Semuel Limba* dan Felecia P. Adam**
Fakultas Pertanian,Universitas Pattimura

*Prodi Kehutanan, **Prodi Agribisnis
feleciaadam@yahoo.com
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Berbagai model pembangunan dewasa ini bermunculan menjadi alternatif dalam beberapa
waktu belakangan ini, diantaranya adalah pengembangan komunitas lokal dan pembangunan
partisipatoris yang berpusat pada masyarakat . Secara substansial berbagai model pembangunan
alternatif yang ada meskipun memiliki variasi, pada dasarnya memiliki kesamaan umum
yang berorientasi pada kebutuhan pokok, bersifat dari dalam/lokal, bernuansa menghargai
lingkungan dan berdasar pada transformasi struktural. Misalnya model pembangunan
partisipatoris yang lebih dikenal dengan people centered development menjadi paradigma baru
yang dikembangkan dalam pembangunan di era otonomi.
Konsep modal sosial (social capital) menjadi salahsatu komponen penting untukmenunjang
pembangunan manusia. Dalam konsep ini, manusia ditempatkan sebagai subyek penting yang
menentukan arah penyelenggaraan pembangunan. Partisipasi dan kapasitas mengorganisasikan
diri menjadi penting agar masyarakat dapat berperan lebih aktif .Keberadaan modal sosial

menjadi penting dalam penanggulangan kemiskinan karena penanggulangan kemiskinan tidak
hanya terkait dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, tapi juga perluasan akses terhadap
sumber-sumber daya kehidupan yang ditentukan oleh ketersediaan jejaring kerja (network) dan
saling percaya (trust) di kalangan masyakat.
Provinsi Maluku yang masih memiliki penduduk miskin cukup banyak, sudah seharusnya
mengembangkan pembangunan berbasis modal sosial sehingga hasil pembangunan itu benarbenar dapat dinikmati oleh masyarakat itu sendiri. Pembangunan yang selama ini yang bersifat
tricle down effect belum banyak memberikan perubahan yang berarti dalam upaya menarik
masyarakt keluar dari jaringan kemiskinan yang terus membelenggu kehidupan mereka.
Tabel 1 menunjukkan masih banyaknya penduduk miskin di Maluku hingga tahun 2012.
Jumlah terbanyak dari warga miskin ini adalah mereka yang mendiami wilayah perdesaan. Di
Maluku hal utama yang menjadi kendala adalah orang miskin sangat jauh dari aksesibilitas baik
secara ekonomi, sosial maupun infra struktur.
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan
kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang
miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman
sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan
kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat
menimbulkan ketergantungan.


Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Maluku
Menurut Daerah Kota-Desa, 2002-2012
Tahun

Jumlah Penduduk Miskin
Kota
Desa
Kota+Desa
2002
40.200
378.600
418.800
2003
41.900
358.000
399.900
2004
41.100
356.500
397.600

2005
45.100
366.400
411.500
2006
46.200
372.400
418.600
2007
49.100
355.600
404.700
2008
44 700
346 700
391 300
2009
38.770
341.240
380.010

2010
36.350
342.280
378.630
2011
59.600
300.720
360.320
2012
58.470
291.760
350.230
Sumber : BPS Provinsi Maluku, 2013

Persentase Penduduk Miskin
Kota
Desa
Kota+Desa
12,76
42,82

34,78
12,53
40,56
32,85
11,99
39,86
32,13
13,57
38,89
32,28
13,86
39,87
33,03
14,49
37,02
31,14
12,97
35,56
29,66
11,03

34,30
28,23
10,20
33,94
27,74
10,24
30,54
23,00
9,78
28,88
21,78

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru
dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin
seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu
membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, programprogram bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah
lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas
sumberdaya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD)
dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat
kesehatan masyarakat (puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan
adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga
program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang
penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Demikian halnya dengan desa Sawai dan Solea di kecamatan Seram Utara, Maluku
Tengah. Kedua desa berada dalam kawasan Taman Nasional Manusela yang pada hakekatnya
memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah namun masyarakatnya masih berstatus
keluarga Pra Sejahtera hingga Sejahtera-2.
Penelitian ini dibatasi hanya untuk memetakan modal sosial di masyarakat yang dapat
digunakan sebagai kekuatan dalam rangka mengentaskan kemiskinan masyarakat sekitar hutan.
Penyebab kemiskinan ini antara lain karena tekanan struktur, relasi sosial, ketidakberdayaan dan
lemahnya akses ekonomi, daya dukung infrastruktur serta sosial budaya dalam masyarakat.
1.2.

1.3.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kondisi modal sosial di Sawai dan Solea ?
2. Bagaimana keterkaitan modal sosial dengan penanggulangan kemiskinan di Sawai

dan Solea?
Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi dan mengukur kondisi modal sosial di desa Sawai dan Solea
2. Menganalisis keterkaitan antara modal sosial dengan penanggulangan kemiskinan di
Desa Sawai dan Solea

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Modal Sosial
Modal sosial merupakan salah satu konsep yang dewasa ini dipandang penting dalam
memberikan kontribusi bagi pembangunan suatu masyarakat baik sebagai suatu bangsa (nation)
maupun komunitas (community). Gagasan dasar di dalam konsep ini adalah investment in sosial
relations with expected returns (Lin, Cook, and Burt (eds), 2001: 6).
Modal sosial terutama berkaitan dengan nilai-nilai dari suatu jaringan kerja (network)
yang mengikat orang-orang tertentu (yang biasanya memiliki kesamaan tertentu, seperti
kesamaan pekerjaan, kesamaan tempat tinggal, kesamaan suku, agama, dan sebagainya),
serta serta bersifat menjembatani (bridging) antar orang-orang yang berbeda, dengan suatu
norma norma pertukaran timbal balik (reciprocity). Modal sosial lebih menekankan pada potensi
kelompok dan pola hubungan antarindividu dalam suatu kelompok dan

antar
kelompok
dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan kepada sesama yang
lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. Inti dari
modal
sosial
adalah
bagaimana kemampuan kolektif masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk
bekerjasama membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial menunjuk
pada nilai dan norma yang dipercayai dan dijalankan oleh sebagian besar anggota masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari, yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
kualitas hidup individu dan keberlangsungan komunitas.
Ernan Rustiadi dan Nyoman Utari Vipriyanti (2009) yang meneliti tentang kemiskinan
wilayah sekitar hutan di Bali mengemukakan bahwa kemiskinan yang disebabkan oleh
kesenjangan pembangunan antara sektor dan wilayah adalah lebih berbahaya karena dapat
memicu kecemburuan sosial yang kemudian melemahkan modal sosial. Grootaert (2001)
meyakini bahwa kemiskinan memiliki kaitan erat dengan modal; artinya bahwa usaha
pemberantasan kemiskinan dapat dilakukan melalui revitalisasi modal sosial. Ciri-ciri sosial
untuk mengentaskan kemiskinan diharapkan dapat merevitalisasi budaya bersama melalui
penguatan kelembagaan, kepercayaan yang saling menguntungkan, perluasan jaringan, dan
penguatan norma-norma yang mengandung kearifan lokal.
Menurut Pariela (2008) untuk memahami modal sosial di mana gagasan dasar tersebut
tercakup di dalamnya, telah dirumuskan sejumlah definisi tentang modal sosial yang secara
substantif tidak terlalu mengandung perbedaan di antara satu dengan yang lainnya. Putnam
misalnya mendefinisikan modal sosial sebagai ... features of sosial organisation such as trust,
norms, and networks that can improve the efficiency of society by facilitating coordinated
actions (Productivity Commission, 2003: 8). Pandangan yang relatif sama dikemukakan oleh
Woolcock dan Narayan, yang mengatakan sosial capital refers to the norms and networks that
enable people to act collectively (Callois and Angeon, 2004:3). Begitu pula dengan Lang dan

Hornburg (1998:4), yang memaknai modal sosial sebagai ... commonly refers to the stocks of
sosial trust, norms, and networks that people can draw upon in order to solve common problems.
Merujuk pada gagasan dasar dalam modal sosial sebagaimana dikemukakan di atas,
secara tersirat tampak bahwa interaksi sosial memiliki fungsi yang sangat penting guna
membentuk indikator-indikator modal sosial seperti trust, norma-norma sosial dan jejaring.
Adanya interaksi sosial menyebabkan tumbuhnya relasi-relasi sosial antar individu, individu
dengan kelompok, atau antar kelompok, sehingga pada gilirannya membentuk jejaring di dalam
mana trust memperoleh ruang dan peluang untuk berkembang berdasarkan norma-norma sebagai
jaminan stabilitas di dalam masyarakat. Dengan kata lain, jejaring-jejaring berfungsi
menghubungkan orang-orang di dalam masyarakat dalam rangka tindakan bersama; normanorma dan nilai-nilai sosial menjadi pengikat di dalam jejaring dimaksud; sementara trust
merupakan sumber sekaligus hasil dari modal sosial yang mendukung kerjasama sosial (Kearns,
2004: 6). Ini berarti bahwa sanksi sosial sebagai bagian integral dari norma-norma sosial
merupakan aspek lain yang juga terkait di dalam manifestasi modal sosial, sebab dengannya
maka berbagai perilaku menyimpang yang potensial mengancam stabilitas struktur sosial dapat
dikontrol.
Modal sosial pada hakikatnya merupakan sumberdaya yang terletak di dalam struktur
sosial (Pantoja, March 2000: 17; Coleman dalam Dasgupta dan Serageldin, 1999: 16), dan oleh
karena itu dapat diakses atau dimobilisasi secara sengaja (Callois and Angeon, 2004: 3; Lin,
Cook, and Burt (eds), 2001: 12).
2.2. Kemiskinan
Pengertian kemiskinan bukan suatu hal yang mudah untuk dirumuskan. Faturochman
(2000), menjelaskan bahwa kemiskinan sebagai gejala ekonomi akan berbeda dengan
kemiskinan sebagai gejala sosial. Akan tetapi gejala kemiskinan dengan mudah dapat dikenali
seperti kekurangan gizi, buta huruf, rentan terhadap penyakit, lingkungan yang kotor, kematian
bayi yang tinggi, dan rendahnya angka harapan hidup. Konsep kemiskinan pada dasarnya
dihubungkan dengan perkiraan jumlah pendapatan dengan jumlah kebutuhan minimum. Jumlah
pendapatan minimum merupakan batas antara miskin dan tidak miskin atau dapat disebut dengan
garis kemiskinan. Konsep ini lebih dikenal dengan kemiskinan absolut (mutlak). Pada sisi lain,
jumlah pendapatan sudah mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih
rendah dibandingkan dengan kehidupan tetangga sekitar maka mereka masih tergolong miskin,
konsep ini lebih dikenal dengan kemiskinan relatif. Dalam pembahasan kemiskinan, yang
banyak digunakan adalah kemiskinan absolut yang ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan dasar
minimum untuk pangan dan non pangan yang dari waktu ke waktu berubah jumlahnya.
Empat dimensi kemiskinan yang saling berkait menurut Chambers (1987) yaitu ;
1) Kemiskinan adalah masalah kerentanan ; Kerentanan dapat dilihat dari ketidakmampuan
keluarga miskin menghadapi situasi darurat. Perbaikan ekonomi keluarga miskin yang dicapai
dengan susah payah, sewaktu waktu dapat lenyap ketika penyakit menghampiri keluarga merka
yang membutuhkan biaya pengobatan dalam jumlah besar. Keadaan ini seringkali memaksa
mereka mengorbankan harta bendanya yang paling berharga. Akibatnya mereka menjadi
semakin dalam memasuki lembah kemiskinan. Demikian juga, pembangunan infrastruktur
ekonomi pertanian mungkin dapat meningkatkan pendapatan mereka dalam jumlah yang cukup
memadai. Kerentanan kelompok miskin dapat bersumber dari meningkatnya bahan baku, inflasi,
dan perubahan ekonomi makro lainnya. 2) Kemiskinan adalah ketidakberdayaan ;
ketidakberdayaan disini tercermin dari ketidakmampuan mereka menghadapai kelompok elit dan

para birokrat dalam menentukan keputusan yang menyangkut nasibnya, tanpa memberi
kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya. 3) Kemiskinan merupakan masalah lemahnya
ketahanan fisik karena rendahnya konsumsi pangan, baik kuantitas maupun kualitas sehingga
konsumsi gizi mereka sangat rendah yang berakibat pada rendahnya produktivitas mereka, 4)
Kemiskinan adalah masalah keterisolasian.
Konferensi dunia untuk pembangunan sosial telah mendefinisikan kemiskinan bahwa
kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan
sumberdaya produktif yang menjamin kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan
gizi; rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan
layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar da, kematian akibat pernyakit yang terus menigkat ;
kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak
aman;serta diskriminasi dan keterasingan sosial. Kemiskinan juga dicirikan oleh rendahnya
tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial, dan
budaya.
Dari berbagai konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa ; 1). Modal sosial merupakan
nilai, mekanisme, sikap, dan institusi yang mendasari interaksi antar individu dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial, 2 ). Kemiskinan merupakan kondisi ketidakberdayaan yang ditandai dengan lemahnya akses terhadap ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan
akses untuk mengaktualisasikan diri , 3). Pemetaan dan pemanfaatan modal sosial dalam
penangulangan kemiskinan merupakan upaya untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat
kepercayaan, keberfungsian nilai/norma jejaring kerja, institusi dan mekanisme yang berlaku
dalam masyarakat untuk mengatasi kondisi ketidakberdyaaan masyarakat.
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini di laksanakan selama tiga bulan di Desa Sawai dan Solea, Seram Utara,
Maluku Tengah
3.2. Sampel dan Data
Metode yang digunakan adalah metode survey, sampel ditentukan secara acak 30 KK dari
seluruh populasi pada setiap desa.
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dari wawancara langsung dengan responden dan pengisian daftar pertanyaan (kuesioner), sebagai
alat untuk mengumpulkan data dan pengamatan langsung dilokasi penelitian Sedangkan data
sekunder diperoleh dari kantor desa dan instansi terkait berupa keadaan alam, kondisi sosial
ekonomi dan sektor pertanian. Juga internet dan perpustakaan yang berhubungan dengan
penelitian ini.
3.4. Metode Analisis
Analisis yang digunakan adalah analisis diskriptif kualitatif dilakukan dengan tabulasi
frekuensi distribusi, persentase dan grafik. (Singarimbun, 1987)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Desa sampel
Sawai adalah desa pesisir dapat ditempuh dari Wahai berjarak 67 km dengan luas
1.082,20 km2, terletak di pesisir dan dapat ditempuh dari Wahai melalui jalan darat maupun laut.
Merupakan desa tua yang pada awalnya membawahi lebih dari 10 dusun, namun saat ini dusundusun tersebut telah berkembang menjadi desa. Meskipun demikian hubungan antar desa dalam
beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial masih tetap memelihara kebudayaan
setempat dan tetap menghormati desa Sawai sebagai kakak.
Penduduk Sawai berjumlah 5.272 jiwa yang terdiri atas 881 KK dengan rata-rata jumlah
anggota keluarga adalah 6 orang. Dalam penelitian ini responden di Sawai berjumlah 30 KK
yang terdiri atas 90 % laki-laki (27 KK) dan 10 % perempuan (3 KK). Status keluarga di Sawai
didominasi oleh KS-2.
Desa Sawai memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak, aktifitas social dan ekonomi
lebih hidup ditandai dengan adanya tujuh SD, empat SMP, satu SMA, satu Mesjid, 12 warung,
satu Pustu dan satu Posyandu. Selain itu Sawai merupakan daerah pengembangan pariwisata
dengan dua resort tujuan wisata. Memiliki keindahan laut dan tebing indah, bertetangga dengan
obyek wisata yang mendunia Ora Beach, menjadikan Sawai tidak pernah sepi dari kunjungan
wisatawan dalam negeri maupun manca negara.
Desa Solea dapat ditempuh dari Wahai dengan jarak 12 km, terletak didaerah
pegunungan. Di Solea terdapat 47 KK dengan 227 jiwa (BPS, 2013). Responden di Solea adalah
30 KK terdiri dari 76 % laki-laki (23 KK) dan 24 % perempuan (7 KK) yang didominasi oleh
keluarga Pra Sejahera.
Fasilitas jalan umum menuju Solea tidak beraspal dan dalam keadaan rusak berat
(berbatu, berlobang dan penuh belukar) sehingga tidak ada kendaraan umum yang melayani jalur
ini sehingga Solea menjadi terisolasi. Meskipun sepeda motor dapat menembus jalan ini, namun
hanya untuk kepentingan yang mendesak dan biaya mahal.
Hasil kebun tidak bisa langsung dipasarkan karena tidak ada alat transportasi. Masyarakat
harus berjalan dengan memikul hasil kebun sepanjang kira-kira 7 km menuju jalan utama yang
beraspal, kemudian melanjutkan perjalanan dengan menumpang kendaraan yang melintas di
jalan tersebut ke pasar di kota Wahai.
Fasilitas sosial yang dimiliki hanya satu SD, satu gereja dan satu Posyandu. Untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, anak-anak Solea harus pergi ke desa
tetangga ataupun ke kota Wahai dan tinggal menumpang di rumah saudara/kerabat ataupun
kenalan.
Potensi SDA yang dimiliki Solea adalah komoditi pertanian seperti tanaman kehutanan
dan taaman perkebunan. Pengelolaan usahataninya masih bersifat tradisonal dan subsisten,
masyarakat belum mengenal teknologi ataupun inovasi pertanian. Pelayanan dari institusi teknis
belum tersentuh.

4.2. Karakteristik Responden
4.2.1. Umur

Tabel 2 menunjukkan bahwa umur responden berkisar antara 15-79 tahun dan
terakumulasi pada usia 40-49 tahun.
Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Kelompok Usia
Umur
Solea
Sawai
20-24
1
0
25-29
3
1
30-34
8
1
35-39
4
3
40-44
6
3
45-49
3
7
50-54
0
5
55-59
1
4
60-64
4
2
65-69
0
2
70-74
0
1
75-79
0
1
Jumlah
30
30
Sumber : Data Penelitian, 2014

Jumlah
1
4
9
7
9
10
5
5
7
2
1
1
60

4.2.2. Pendidikan
Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum hanya empat persen responden yang tidak
bersekolah. Bagian terbesar dari responden telah mengenyam pendidikan dasar yaitu 60 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat setempat telah sadar akan pentingnya pendidikan
namun mereka tidak mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Realitas menunjukkan
bahwa meskipun mereka telah mencapai pendidikan dasar namun hal ini belum memberikan
dampak yang signifikan terhadap perbaikan kondisi ekonomi karena sebagain besar masyarakat
masih berada pada status keluarga KS-1 dan KS-2.
Tabel 3. Distribusi Pendidikan Responden
Jenjang
Pendidikan
Tidak Sekolah
SD
SMP/sederajat
SMA/
sederajat
PT
Jumlah

Solea

Sawai

0
21
4
4
1
30

Sumber : Data Penelitian, 2014

4.2.3. Pekerjaan

Persentase

1
10
6
8

Jumla
h
1
31
10
12

5
30

6
60

10
100

3
51
16
20

Mata pencaharian penduduk pada desa sampel cukup beragam dan umumnya pada sector
informal dengan didominasi oleh petani sebanyak 50 %. Distribusi jenis pekerjaan seperti ini
memberikan indikasi kuat bahwa kemiskinan masih melekat erat dengan kehidupan masyarakat
karena ketidakpastian pendapatan yang diterima dengan nilai yang relative rendah. Struktur
pendapatan seperti ini memiliki kecenderungan tidak stabil sehingga akan sangat sangat mudah
mengalami goncangan terhadap tekanan-tekanan ekonomi yang dialami. Jika masyarakat tidak
memiliki sistim perlindungan untuk mengatasi kondisi yang ekstrim, bukan tidak mungkin
tingkat keparahan kemiskinan akan semakin tinggi.
Tabel 4. Distribusi Pekerjaan Responden
Pekerjaan
Solea
Sawai Jumla Persentase
h
Petani
22
5
30
50
PNS
2
7
9
15
Buruh bangunan
5
3
8
13
Pedagang
0
3
3
5
Nelayan
0
10
10
16
Pendeta
1
0
1
1
Imam
0
2
2
3
Jumlah
30
30
60
100
Sumber : Data Penelitian, 2014
4.2.4. Etnisitas
Komposisi masyarakat yang berdomisili pada ke-2 lokasi penelitian terdiri dari etnis yang
cukup beragam. Ini menandakan bahwa masyarakat setempat cukup terbuka terhadap lingkungan
luar namun seberapa besar tingkat adaptasi mereka terhadap kapasitas social yang dimiliki
menarik untuk dikaji lebih lanjut. Meskipun masih didominasi oleh etnis Seram yang merupakan
suku asli namun ternyata masyarakat pendatang tidak hanya berasal dari etnis yang ada di
Maluku saja karena terlihat bahwa ada orang Bugis dan orang Jawa juga menjadi bagian dari
komunitas setempat. Hal ini dapat terjadi karena diawali oleh perkawinan campur dan
perdagangan.
4.3. Pemetaan Modal Sosial
Pemetaan modal social untuk mengidentifikasi nilai, institusi dan mekanisme yang
mendasari interaksi antar individu yang kemudian akan berpengaruh pada pembangunan
ekonomi dan social dalam masyarakat setempat. Semuanya dapat dijelaskan melalui lima
indicator yaitu ketersediaan kelompok dan jejaring kerja, kepercayaan dan solidaritas, aksi
kolektif dan kerjasama, informasi dan komunikasi, kohesi dan inklusifitas social.
4.3. 1. Ketersediaan Kelompok dan Jejaring Kerja
Kelompok keagamaan (Kristen) memiliki organisasi secara struktural dan melembaga
pada komunitas paling kecil yaitu unit. Unit terdiri 20-30 KK yang tempat tinggalnya
berdekatan. Kegiatan Unit dilaksanakan satu kali dalam seminggu dalam bentuk
kebaktian/ibadah yang diikuti oleh seluruh anggota Unit. Anggota Unit terdiri dari KK dan
seluruh anggota KK-nya.

Kelompok pengajian juga menjadi bagian dari kelompok sosial di masyarakat berbasis
keagamaan.Kelompok ini beranggotakan para ibu rumah tangga di desa setempat.
Tabel 5. Ketersediaan dan Tingkat Partisipasi dalam Kelompok
di Lingkungan Permukiman
AK yang Partisipasi (%)
No
Tipe Kelompok
Desa
Ya
Tidak
terlibat
1
Kelompok Keagamaan
Solea
1-5
95
5
Pengajian
Sawai
1-5
90
10
2
Kelompok Pemuda
Angkatan Muda GPM
Solea
1-3
100
0
Remaja Mesjid
Sawai
1-2
90
10
3
Kelompok Tani/Nelayan
Sawai
1
25
75
4
Kelompok Pemerhati
Solea
1-2
41
59
Budaya
Sawai
1-2
54
46
5
Kelompok Pemerhati
Sawai
1
81
19
Kesehatan /Pos Yandu
6
PGRI
Solea
1-2
20
80
Sawai
1-2
34
66
Sumber : Data Penelitian, 2014
Banyaknya kelompok dimasyarakat tidak menjamin keaktifan mereka di kelompok
tersebut. Masyarakat cenderung menghabiskan waktunya untuk pekerjaan yang menghasilkan
uang karena mereka harus menafkahi keluarganya. Kelompok yang mereka ikuti hanya sebagai
sampingan saja jika mereka memiliki waktu luang. Sebagian besar masyarakat (48 %) hanya
mengikuti 4 - 10 kali pertemuan yang dilakukan kelompok, hanya di kelompok keagamaan
dan kelompok pemerhati kesehatan yang tingkat partisipasinya aktif.
4.3.2. Kepercayaan dan Solidaritas
Sebagian besar responden (90,20%) berpendapat bahwa sebagian besar masyara-kat
disekitarnya masih dapat dipercaya. Keadaan ini dapat memberikan gambaran bahwa akumulasi
kepercayaan di kalangan masyarakat masih cukup tinggi
Tabel 6. Persentase Tingkat Kepercayaan Responden
PERNYATAAN
SS
S
N
Anda dapat mempercayai sebagian besar orang50,12 19,92
0
orang yang tinggal di lingkungan permukiman
Anda harus waspada dalam bergaul dengan
orang-orang di lingkungan permukiman Anda,
0,25
0,10
40,80
agar tidak dimanfaatkan oleh orang lain
Sebagian besar orang di lingkungan permukiman 65,20 34,80
0
Anda bersedia menolong jika diperlukan
Di lingkungan permukiman Anda, orang-orang

TS
0

STS
0

49.50

0

0

0

tidak saling percaya dalam hal pinjam-meminjam
uang
Sumber : Data Penelitian, 2014

10,12

20,65

5,09

20,64

43,50

Ket. : SS = Sangat Setuju, S = Setuju, N = Netral,
TS = Tidak Setuju, TS = Tidak Setuju, STS = Sangat Tidak Setuju

Dalam pergaulan sehari-hari, tingkat kepercayaan ini masih menunjukkan tingkat
yang
positif hingga dalam hal pinjam-meminjam uang, kecuali di desa Sawai. Fenomena yang berbeda
seperti ini juga dapat terjadi karena keragaman etnis dan ekonomi uang mulai memasuki
kehidupan bermasyarakat.
Responden juga memiliki tingkat kepercayaan yang cukup tinggi terhadap mereka yang
berasal dari luar daerah (etnis yang berbeda). Orang-orang dengan etnis yang berbeda ini adalah
mereka yang sudah tinggal dan menetap bergenerasi di masing-masing desa. Karena itu
kehidupan social dan budaya mereka telah menyatu dengan system social setempat.
Meskipun kepercayaan antar warga masih terpelihara dikalangan masyarakat namun
menurut responden tingkat kepercayaan ini mengalami penurunan, baik terhadap orang-orang
dalam system social yang sama maupun berbeda. Terutama terhadap mereka yang berasal dari
luar system social yang datangnya dan kedatangannya hanya pada waktu-waktu tertentu.
4.3.3. Aksi Kolektif dan Kerjasama
Sebagian besar responden memberikan respon yang sangat baik terhadap aksi kolektif
dan kerjasama yaitu secara sukarela terlibat dalam kegiatan untuk kepentingan bersama. Sikap
kolektif ini menjadi ciri utama masyarakat pedesaan karena perasaan in group yang kuat. Hal ini
ditunjukkan dengan tingginya partisipasi mereka (50 % -95 %) dalam berbagai kegiatan.
Loyalitas terhadap komunitas yang cukup tinggi dapat disebabkan karena secara individu
mereka memiliki keterikatan yang kuat sehingga dalam melakukan sesuatu, mereka tetap merasa
bahwa mereka juga adalah bagian dari apa yang dikerjakan. Misalnya saat membangun tempat
ibadah, tidak saja dilakukan oleh masyarakat yang beragama tertentu, tetapi seluruh masyarakat
dari berbagai golongan agama akan turut mengambil bagian dalam pekerjaan ini. Karena itu,
kekuatan ini dapat didorong untuk melaksanakan program-program pembangunan di daerah
setempat.
4.4. Modal Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan
4.4.1. Perluasan Akses Ekonomi
Dari hasil identifikasi, modal sosial yang ada belum dimanfaatkan secara optimal.
Kelompok yang terbentuk cukup beragam namun anggota yang terlibat menunjukkan sikap yang
pasif sehinga kelompok belum berkembang. Hal ini ditandai dengan ketidakmampuan dalam
mengembangkan jejaring dengan pihak lain.
Kebiasaan barter masih banyak dijumpai dalam kehidupan responden. Terdapat 80%
responden yang masih melakukan barter, 2% tidak lagi melakukan dan 18% kadang-kadang.
Barter biasanya dilakukan dalam bentuk tukar menukar hasil kebun, ketika mereka tidak
memiliki uang. Barter dilakukan pada lingkup keluarga inti (20 %), tetangga (65,40 %), kerabat
(14,6 %).
Menurut responden tidak banyak orang yang dapat memberikan bantuan ekonomi bila
diperlukan. Hal ini mengindikasikan keterbatasan jaringan/koneksi yang dimiliki responden,
sehingga kemampuan untuk membantu responden dalam keadaan mendesak sangat terbatas.

Berdasarkan identifikasi modal sosial yang telah dilakukan maka kelompok-kelompok
masyarakat yang ada dapat ditingkatkan kapasitasnya sehingga kualitas hidup mereka bisa lebih
baik. Kelompok yang telah ada dapat dimanfaatkan dengan jalan mengintroduksi teknologi
pertanian yang menjadi andalan dan sangat akrab dengan kehidupan petani.
4.4.2. Perluasan Akses Pendidikan
Mayoritas responden menyatakan hanya beberapa orang yang dapat diandalkan untuk
membantu bila menghadapi masalah pendidikan (seperti putus sekolah atau kesulitan biaya).
Umumnya responden mengandalkan pada keluarga/kerabat untuk memberikan bantuan pendidikan. Status sosial ekonomi dari pihak yang diandalkan dapat membantu adalah mereka yang
lebih kaya. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan relatif mahal, sehingga responden lebih banyak mengandalkan pada orang lain yang status sosial-ekonominya lebih kaya
dibanding mereka.
Beberapa catatan khusus tentang pendidikan yang bisa dijelaskan adalah masih terjadi
kekurangan guru. Di Solea jumlah murid banyak tetapi mengalami kekurangan guru. Guru yang
ada sekarang hanya 2 orang, melayani 6 kelas.
4.4.3. Perluasan Akses Kesehatan
Seperti juga pelayanan ekonomi dan pendidikan, hanya beberapa orang yang dinilai
responden dapat memberikan bantuan bila responden tiba-tiba sakit parah. Responden dapat
dapat mengandalkan pihak keluarga/kerabat (56,05%) maupun pihak lain di luar keluarga
(43,95%) untuk memberikan bantuan bila menghadapi masalah kesehatan.
Upaya peningkatan kesehatan dapat dilakukan melalui kelompok-kelompok yang telah
ada di masyarakat karena tingkat kohesitasnya cukup tinggi dan mengikat dalam kelompok.
Dengan isu pemenuhan kesehatan dasar maka hal-hal yang harus menjadi perhatian dan dapat
dilaksanakan adalah penyediaan sarana air bersih, penyediaan obat murah, biaya berobat ke
Puskesmas atau Rumah Sakit, pemeriksaan kesehatan rutin, pemeriksaan kehamilan, imunisasi,
KB, pembuangan dan pengolahan sampah, ataupun usaha kreatif lainnya.

BAB V. KESIMPULAN
1. Hasil identifikasi modal sosial di Solea dan Sawai diperoleh ;
a. Kelompok dan jejaring kerjayang tersedia di dalam masyarakarat adalah kelompok
keagamaan, kelompok pemuda, kelompok tani/nelayan, kelompok pemerhati budaya,
kelompok pemerhati kesehatan dan PGRI.
b. Sebagian besar responden (90,20%) berpendapat bahwa sebagian besar masyara-kat
disekitarnya masih dapat dipercaya. Keadaan ini dapat memberikan gambaran bahwa
akumulasi kepercayaan di kalangan masyarakat masih cukup tinggi
c. aksi kolektif dan kerjasama yaitu secara sukarela terlibat dalam kegiatan untuk
kepentingan bersama. Sikap kolektif ini menjadi ciri utama masyarakat pedesaan karena
perasaan in group yang kuat. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya partisipasi mereka
(50 % -95 %) dalam berbagai kegiatan.

2. Pengentasan kemiskinan dengan memanfaatkan modal sosial yang tersedia dapat diintervensi
melalui perluasan akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan

DAFTAR PUSTAKA
Callois, J. M and V. Angeon. 2004, on the Role of Sosial Capital on Local Economic
Development – An Econometric Investigation on Rural Employment Areas in France,
AES Conference 2004, http://www.aes.org/events/25, download Nopember 2005.
Chambers. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. LP3ES-UI. Jakarta
Faturochman dan Agus Dwiyanto.2000. Reorientasi Kebijakan Kependudukan. Aditya Media
Yogyakarta.
Lin, N, Karen Cook, and Ronald S. Burt (eds). 2001, Sosial Capital – Theory and Research, New
York, Aldine De Gruyter.
Nyoman Utari Vipriyanti dan Erman Rustiadi, 2009. Merevitalisasi Modal Sosial, Memberdayakan Potensi Lokal: Mengurangi Kemiskinan Pada Wilayah Hutan Di Provinsi Bali.
Jurnal Kritis Universitas Kristen Satya Wacana dan Learning Communities AustraliaEdisi Khusus Bahasa Indonesia “ Pengelolaan Ketahanan Hayati Berbasis Masyarakat”.
Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga
Pariela Tony,D., 2008. Plural Sosial Capital Sebagai Basis Sistem Manajemen Ketahanan
Hayati. Jurnal Kritis Universitas Kristen Satya Wacana dan Learning Communities
Australia-Edisi Khusus Bahasa Indonesia Pengelolaan Ketahanan Hayati Berbasis
Masyarakat. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga
Singarimbun Masri dan Sofyan Effendi, 1987. Metode Penelitian Survei. LP3S,
Yogyakarta