MERUMUSKAN PERADILAN ADAT DALAM SISTEM P

MERUMUSKAN PERADILAN ADAT DALAM SISTEM PERADILAN
NASIONAL1
Rikardo Simarmata2

‘Pemberdayaan hukum melalui akses terhadap keadilan
tidak melalui penolakan melainkan mengkaji ulang
peradilan adat sehingga peradilan adat tidak hanya
sebagai solusi idiologis melainkan juga solusi praktis’
(Harper 2011)

Tema seminar ini mengingatkan saya pada sebuah artikel yang
ditulis oleh seorang teman. Teman saya ini telah bekerja sekian tahun
untuk isu reformasi peradilan di Indonesia. Tulisan tersebut dimuat
sebagai salah satu artikel dalam sebuah buku kumpulan artikel. Buku
tersebut diterbitkan pada tahun 2007. Dalam tulisan tersebut, teman saya
mengamati bahwa reformasi peradilan masih menyisakan sebuah
pekerjaan rumah yang fundamental yaitu menentukan status peradilan
adat dalam sistem peradilan nasional. Menurutnya, agenda tersebut
masih menjadi pekerjaan rumah karena selama ini reformasi sistem
peradilan kurang kreatif dan dengan sengaja dijauhkan dari upaya-upaya
untuk menyentuh sejumlah isu fundamental.

Secara kebetulan, seminar ini mengajak para audiens untuk
memikirkan pekerjaan rumah tersebut. Sebuah pekerjaan rumah yang
menurut teman saya bersifat fundamental. Tulisan ini saya buat dengan
intensi untuk turut membantu audiens memikirkan kembali pekerjaan
rumah tersebut. Sumbangan tulisan ini adalah menunjukan pemikiranpemikiran teoritik yang membahas mengenai peran dan kedudukan
peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Berbagai pilihan opsional
mengenai peran dan kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan
nasional akan merupakan bagian dari gambaran pemikiran teoritik
tersebut.
Pada kesempatan kali akan dikemukakan dua pemikiran yang bisa
dirujuk bila membincangkan peranan dan kedudukan peradilan adat
dalam menyediakan keadilan atau menyelenggarakan administrasi
peradilan. Pemikiran yang pertama berkenaan dengan hubungan hukum
1

Disampaikan pada seminar ‘Merumuskan Kedudukan Peradilan Adat dalam Sistem
Peradilan Nasional. Diselenggarakan bersama oleh Perkumpulan HUMA dan Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Jakarta, 10 Oktober 2013.
2
Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.


1

dan pembangunan. Dalam pemikiran ini dikemukakan sebuah preposisi
bahwa bentuk (sistem) hukum sangat menentukan kemampuan untuk
bisa mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Adapun pemikiran yang
kedua membicarakan peluang atau kesempatan bagi rakyat untuk bisa
mendapatkan keadilan. Salah satu yang ide yang berkembang dalam
pemikiran ini adalah menggali sekaligus menguatkan sumberdaya hukum
rakyat dalam menyediakan keadilan. Nama yang diberikan kepada
pemikiran ini adalah akses terhadap keadilan dan penguatan hukum
(legal empowerment).
Di luar dua pemikiran konseptual tersebut, peranan peradilan adat
dapat juga didiskusikan tatkala membahas mengenai manajemen perkara
pengadilan formal. Salah satu preposisi dalam pemikiran ini bahwa
peradilan adat/informal dapat mengurangi beban peradilan formal dengan
cara memberikan kewenangan kepada peradilan adat/informal untuk
menangani perkara atau kasus tertentu.
Memikirkan kembali pekerjaan rumah sebagaimana dikatakan
sebelumnya serta sekaligus merumuskan agenda dan aksi-aksi konkrit,

sungguh diperlukan dan merupakan keharusan. Alasan pokoknya adalah
untuk menghindari perilaku-perilaku diskresif dan eksesif penyelenggara
administrasi peradilan formal dan peradilan adat yang semakin
melemahkan kemampuan sistem hukum untuk menyediakan kepastian
dan keadilan.

Peradilan adat dalam pembangunan
Sebagai praktek dan pemikiran, ikhtiar-ikhtiar untuk mencari relasi
yang cocok antara pembangunan dengan hukum berkembang sejak
periode dekolonisasi pada dekade 50-an. Pemikiran dan gerakan ini
meraih kembali momentumnya pada dekade 70-an saat rute menuju
kemajuan ala negara-negara Barat hendak direplikasi pada negara-negara
berkembang. Sekalipun berlatar belakang idiologis yang relatif berbeda,
terdapat kesamaan antara pemikiran dan gerakan hukum dan
pembangunan pada dekade 50-an dengan 70-an, yaitu memandang peran
dan kedudukan hukum yang harus mendukung tujuan-tujuan
pembangunan.
Bagi negara-negara yang baru saja melepaskan diri dari kolonisasi
pembangunan diarahkan untuk mengejar ketertinggalan dengan negaranegara maju. Demikian tidak sabarnya para elit negara-negara baru
merdeka tersebut untuk mengejar ketertinggalannya, sejumlah prinsipprinsip diimport dari luar seperti emansipasi, sekularisasi dan liberalisasi

2

(Allot 1980). Salah satu syarat untuk bisa mengejar ketertinggalan
tersebut adalah meninggalkan keterbelakangan. Ada pemikiran dan
keyakinan yang kuat bahwa keterbelakangan tersebut merupakan
warisan negara kolonial yang secara sadar dilanggengkan.
Salah satu faktor sekaligus rupa dari keterbelakangan tersebut
adalah penggunaan hukum adat atau tradisi dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk kasus Indonesia, menurut sejumlah ilmuan (Lev 1985), kebijakan
pemerintah kolonial membiarkan golongan Pribumi diatur dengan hukum
adanya merupakan strategi untuk mencegah golongan Pribumi memasuki
sektor modern dan menjadi masyarakat modern. Tidak hanya sampai di
situ, pandangan ini juga menyimpulkan bahwa fakta pluralitas hukum
semasa kolonialisme yang diwariskan pasca dekolonisasi merupakan
kesengajaan untuk melanggengkan keterbelakangan bangsa jajahan.
Berangkat dari pemikiran semacam itu, jalan keluar yang
ditawarkan adalah memiliki (sistem) hukum yang meninggalkan tradisi
dan pluralitas. Sistem hukum yang demikian ditandai dengan
berkembangnya proses unifkasi yaitu memiliki satu (sistem) hukum yang
berlaku relatif sama untuk semua golongan penduduk. Logika yang

dibangun
untuk
mengkaitkan
tradisi
dan
pluralitas
dengan
keterbelakangan
bahwa
keduanya
menyebabkan
ketidakpastian.
Pluralisme hukum menciptakan kompleksitas yang pada akhirnya
membuat administrasi hukum menjadi sulit. Kompleksitas dan
kesulitan mengarah pada terciptanya ketidakpastian hukum yang
tidak dekehendaki oleh masyarakat modern (Cribb 2010). Selain
dengan alasan untuk meninggalkan ketertinggalan dan memajukan
bangsa, pemikiran yang mengusulkan unifkasi juga mengemukakan
kebutuhan melakukan integrasi bangsa sebagai alasan yang lain.
Salah satu instrumen yang dianggap efektif untuk mensegerakan

realisasi kemajuan dan integrasi tersebut adalah unfkasi peradilan.
Institusi peradilan dianggap penting karena merupakan salah satu simbol
otoritas, penjaga perdamaian serta penyedia keadilan (Lev 1973).
Berangkat dengan gagasan yang sama dengan para elit negaranegara bekas jajahan, pemikiran dan proyek hukum dan pembangunan
dekade 70-an, meyakini bahwa sistem hukum adalah elemen penting bagi
pembangunan karena hukum akan menjadi instrumen untuk mencapai
tujuan-tujuan pembangunan (Trubek dan Galanter 1974). Dengan metode
replikasi, pemikiran dan proyek ini bahkan menganggap bahwa hukum
berlaku universal dan karena itu tidak dipengaruhi oleh konteks lokal
(Watson 1993). Hukum dari satu tempat bisa dicangkokan kepada sistem
hukum di tempat lain. Konsep-konsep hukum Barat seperti rule of law

3

dapat diberlakukan di negara-negara berkembang tanpa perlu
mengadaptasikannya dengan kodisi spesifk setempat.
Pemikiran yang mengkaitkan hukum dengan pembangunan, baik
yang menjadi bagian dari ambisi para elit negara-negara bekas jajahan
maupun sebagai gagasan para teoritisi dan praktisi hukum dan
pembangunan, telah menuai sejumlah kritik. Ambisi para elit negaranegara bekas jajahan untuk memodernisasi hukum dengan cara

memproduksi sejumlah legislasi dianggap gagal memahami batas-batas
kemampuan hukum (formal). Secara berlebihan mereka menempatkan
hukum sebagai benda ajaib atau merupakan kondisi yang diinginkan yang
akan terjadi di masa depan. Hukum berkarakter determinatif karena bisa
sebagai instrumen untuk mencapai perubahan-perubahan ekonomi dan
sosial yang diinginkan (Moore; 1973; F. Benda-Beckmann 1989).
Kenyataan di lapangan tidak mendukung hipotesa-hipotesa
tersebut. Di sejumlah negara Afrika, modernisasi hukum pertanahan,
menemui kegagalan atau tidak berlaku efektif karena berbenturan
dengan otoritas adat yang dalam banyak hal lebih berpengaruh pada
perilaku petani atau masyarakat adat (Ubink dan van Rooij 2011). Begitu
juga nasib proyek hukum dan pembangunan yang hanya berumur satu
dekade. Implementasi legislasi-legislasi baru menemui kendala karena
perilaku aparatur penyelenggara negara lebih ditentukan nilai dan aturan
main dengan jaringan-jaringan sosial mereka. Budaya patronase
membuat aparatur negara memilih untuk tidak menjalankan legislasilegislasi baru tersebut demi mengamankan kepentingan pribadi dan
jariangan patronasenya (Gray 1986; ). Tidak efektinya implementasi atas
legislasi-legislasi baru tersebut sebagian juga disebabkan oleh perilaku
para pelaksana lapangan yang mengembangkan kepekaan dan solidaritas
dalam melaksanakan dan menegakan hukum (Simarmata 2012).

Sebagai upaya untuk memperbaiki pemikiran mengenai relasi
hukum dan pembangunan, setelah melakukan kritik, sejumlah pihak
mencoba mengemukakan koreksi-koreksi. Terhadap konsep mengenai
negara hukum (rule of law), ada dua pemikiran korektif yang
dikemukakan. Pertama, meluaskan cakupan pengertian kata ‘hukum’
untuk juga mencakup hukum non negara selain hukum negara. Selain
untuk memberi ruang pada hukum-hukum non negara (utamanya hukum
adat), maksud lain dari usulan korektif ini adalah untuk memastikan
bahwa hukum-hukum non negara juga tidak menyebabkan pelanggaranpelanggaran hak asasi manusia.
Kedua, memaknai elemen legalitas formal (formal legality) dari
negara hukum tidak hanya kalau sudah tersedia dalam rupa teks-teks
hukum tetapi memastikan bahwa perilaku aparatus pelaksana dan
penegak hukum sesuai dengan bunyi teks tersebut. Dengan kata lain,
kepastian hukum tidak berhenti ketika substansi hukum (legislasi dan
4

putusan pengadilan) sudah menentukan sesuatu dengan jelas dan terang
melainkan berlanjut sejauhmana substansi hukum tersebut dijalankan
secara konsisten. Konsep yang disebut dengan real legal certainty ini
memberi peluang untuk memperhitungkan pengaruh-pengaruh sistemsistem normatif yang lain terhadap sistem normatif kreasi negara.

Adapun terhadap pemikiran-pemikiran yang super yakin dengan
kemampuan hukum sebagai instrumen, sejumlah temuan-temuan
lapangan dipakai untuk mempertanyakan kebenaran asumsi-asumsi
pemikiran ini. Laporan-laporan yang berisi temuan lapangan tersebut
menunjukan bahwa alih-alih kehilangan legitimasi akibat kehadiran
hukum negara, hukum adat tetap eksis. Khusus mengenai peradilan adat,
temuan-temuan lapangan tersebut menunjukan bahwa dalam beberapa
dekade terakhir, peradilan adat punya resiliensi yang tinggi. Di beberapa
negara Afrika, peradilan adat (customary justice system) bahkan kembali
tampil ke depan dan bahkan dominan (Ubink dan van Rooij 2011). Bukti
atas dominasi tersebut bisa dilihat pada kutipan pernyataan Sage and
Woolcock (2006) berikut ini:
‘Peradilan adat mengatur kehidupan keseharian lebih dari
tiga perempat masyarakat di sebagian besar negara-negara
di Afrika’.
Berangkat dari temuan-temuan lapangan tersebut sejumlah ilmuan
dan belakangan lembaga-lembaga donor internasional menganjurkan dan
mengadvokasi agar sistem peradilan nasional memberi tempat pada
sistem peradilan adat. Argumen-argumen yang dipergunakan untuk
mengemukakan anjuran dan melakukan advokasi tersebut akan

digambarkan pada bagian berikut ini.
Peradilan adat dan akses terhadap keadilan
Konsep atau teori mengenai akses terhadap keadilan saat ini telah
menjadi konsep atau teori sentral dalam menggambarkan realitas
sekaligus signifkansi sosial peradilan adat. Peran sentral tersebut tidak
lepas dari sejarah dan fokus konsep atau teori tersebut yaitu penyelesaian
sengketa secara informal oleh komunitas-komunitas lokal. Konsep atau
teori yang cikal-bakalnya dari kajian antropologik ini kemudian
berkembang dan menjadi obyek kajian disiplin ilmu lain seperti sosiologi
dan administrasi publik. Studi ilmu hukum sebenarnya juga memiliki
tradisi mendiskusikan akses terhadap keadilan. Tema akses terhadap
keadilan dibahas dalam konteks hak-hak tersangka dalam proses
penyidikan dan penuntutan. Salah satunya adalah hak untuk
mendapatkan bantuan hukum selama proses hukum berlangsung. Akses
terhadap keadilan bahkan dimasukan ke dalam salah satu elemen negara
hukum.
5

Dalam kajian antropologi dan sosiologi, akses terhadap keadilan
dikatakan ada apabila tersedia institusi dan mekanisme formal dan

informal yang memiliki kemampuan untuk mendengar keluhan dari pihakpihak yang mengalami ketidakadilan dan kemudian menangani keluhan
tersebut secara tepat sehingga membuahkan keadilan bagi pihak pencari
keadilan. Proses mendengar dan menangani keluhan tersebut harus
didasarkan pada prinsip negara hukum atau hak asasi manusia (UNDP
2005; Bedner dan Vel 2011).
Ada dua poin penting yang perlu digarisbawahi terhadap defnisi di
atas. Pertama, institusi atau mekanisme penyelesaian sengketa yang
dimaksud tidak hanya institusi formal melainkan juga institusi non formal
seperti peradilan adat. Kedua, institusi dan mekanisme untuk mendengar
dan menangani keluhan tersebut tidak hanya institusi peradilan tetapi
juga lembaga-lembaga pemerintah (government agencies). Pengurusan
pemenuhan kebutuhan publik semacam KTP dan pemberian layanan
jaminan sosial saat ini dibahas juga dengan konsep akses terhadap
keadilan.
Pembahasan peradilan adat dalam tema akses terhadap keadilan
mendapat perhatian yang lebih besar. Hal ini merupakan konsekuensi dari
pandangan bahwa sistem peradilan adat lebih mampu menyediakan
keadilan bagi masyarakat atau komunitas lokal. Peradilan adat lebih
mudah diakses oleh anggota komunitas lokal dengan berbagai alasan baik
karena faktor jarak, bahasa, proses maupun faktor budaya. Selain empat
faktor tersebut, peradilan adat memiliki falsafah yang dianggap lebih
cocok dengan masyarakat adat atau kamonitas lokal. Tiga karakter
peradilan adat yang dianggap mewakili secara kuat falsafah tersebut
masing-masing pengutamaan harmoni, restoratif dan konsensual (Harper
2011, Simarmata 2013). Mengenai karakter pengutamaan harmoni Slaats
dan Portier (1992) mengatakan:
‘Di mata anggota masyarakat adat, signifkasi proses penanganan
sengketa bukan terletak pada isi putusan melainkan pada proses
menemukan solusi yang bisa diterima oleh para pihak yang
bersengketa dan yang memulihkan harmoni atau menciptakan
keseimbangan baru dalam relasi sosial antar anggota komunitas’.
Di daerah-daerah pasca konfik, peradilan adat dianggap yang paling
cocok karena karakternya yang mengambalikan atau memulihkan
integrasi.
Merujuk pada fakta kemampuan peradilan adat menyediakan akses
terhadap keadilan di satu sisi dan tidak efektifnya sistem peradilan negara
dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan komunitas adat pada sisi
6

yang lain, sejumlah negara, dengan bantuan lembaga donor internasional
dan LSM setempat, mengembangkan program dan kebijakan untuk
menguatkan sistem peradilan adat. Lewat program tersebut ditemukan
berbagai model bagaimana memberi peran sekaligus mendudukan sistem
peradilan adat dalam sistem peradilan negara. Pada kesempatan ini saya
akan menguraikan pengalaman Eritrea dan Bougainville (Papua Nugini).
Eritrea
Eritrea merupakan satu-satunya negara di Sub-Sahara Africa yang
hampir semua hukum adatnya dituliskan (23 dari 27 golongan hukum
adat). Pada tahun 1992 pemerintah Eritrea membentuk peradilan desa
sebagai peradilan tingkat pertama. Karena tidak efektif lalu
menggabungkannya dengan peradilan perdamaian (mediasi, konsiliasi)
yang memungkinkan penerapan hukum dan kebiasaan. Selanjutnya pada
tahun 2003 dibentuk Peradilan Komunitas sebagai kombinasi dari
peradilan adat dan peradilan perdamaian. Peradilan komunitas didudukan
sebagai peradilan tingkat pertama di bawah pengadilan distrik,
pengadilan tinggi dan mahkamah agung.
Setiap kasus pada Peradilan Komunitas ditangani oleh 3 orang,
masing-masing 2 laki-laki dan 1 perempuan. Kompetensi Peradilan
Komunitas adalah menangani kasus kehidupan sehari-hari yang tidak
kompleks seperti perdata (sengketa batas tanah, benda bergerak dan
tidak bergerak dengan nilai tertentu); dan pidana (intimidasi, kerusakan
harta milik disebabkan ternak, dll). Hukum yang dipakai oleh hakim dalam
menangani kasus atau perkara bisa hukum negara dan hukum adat.
Hakim mendahulukan mediasi atau konsiliasi dan baru akan mengadili
secara hukum bila mediasi dan konsiliasi gagal. Pihak yang tidak
menerima putusan Peradilan Komunitas dapat meneruskan kasusnya ke
pengadilan distrik. Sejak tahun 2003, sengketa yang diselesaikan di
Peradilan Komunitas sebanyak 60%.
Program dan kebijakan mengakui dan memberi tempat pada
Peradilan Komunitas dimaksudkan untuk memperluas partisipasi publik
dlm proses peradilan dan meringankan beban peradilan negara
menangani perkara. Peradilan komunitas dianggap mewakili sebuah
gagasan yaitu membawa sistem peradilan negara semakin dekat
dengan masyarakat dan pada saat yang sama mengintegrasikan
dan memformalisasi peradilan informal menjadi peradilan tingkat
bawah.

Bougainville
7

Secara kultural Bougainville merupakan bagian dari Kepulauan
Salomon namun secara administratif merupakan bagian dari Papua
Nugini. Sejak tahun 2005 Bougainville menjadi daerah otonom. Tahun
1989
pemerintah
Papua
Nugini
mengadakan
asesmen
yang
menyimpulkan bahwa peradilan formal tidak memadai untuk merespon
kebutuhan masyarakat dan tidak memberdayakan masyarakat dalam
penyelesaian sengketa. Berdasarkan asesmen tersebut, pemerintah
menunjuk Pusat Perdamaian dan Rekonsiliasi Bougainville untuk melatih
masyarakat mengenai penyelesaian konfik terutama lewat mediasi.
Peserta pelatihan menjadi mediator dalam Forum Penyelesaian
Sengketa. Forum ini dibedakan dengan peradilan desa (village court
magistrate) yang merupakan bagian dari peradilan formal. Masyarakat
merasakan dampak positif dari pelatihan-pelatihan tersebut karena
sejumlah alasan berikut: (i) para pihak merasa mendapat informasi yang
memadai mengenai hak-haknya; (ii) peradilan informal/adat dianggap
obyektif dan tidak bias; (iii) peradilan informal/adat dianggap mampu
memulihkan keharmonisan kelompok; dan (iv) terdapat perubahan
kesadaran dan perilaku mengenai kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan.
Berbagai opsi kedudukan peradilan adat
Tidak dapat disangkal bahwa perbincangan mengenai kedudukan
peradilan adat dalam sistem peradilan nasional relatf sepi. Tidak seramai
diskusi mengenai kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional.
Perbincangan mengenai adat yang dikaitkan dengan peradilan formal
tidak berkenaan dengan peradilan adat melainkan hukum adat. Dikatakan
bahwa putusan-putusan peradilan formal menjadi salah satu sumber
hukum adat dalam kurun Indonesia merdeka (Hooker 1978). Sepertinya
ada dua sebab mengapa perbincangan mengenai peradilan adat dalam
sistem peradilan nasional sepi.
Pertama, ada asumsi bahwa topik mengenai hukum adat secara
otomatis mencakup topik mengenai peradilan adat. Lebih lanjut, menurut
logika ini, bila hukum adat diakui dalam produk legislasi dan putusan
peradilan maka dengan sendirinya peradilan adat diakui. Kedua, berbeda
dengan pengakuan legislasi atas hukum adat, pengakuan legislasi atas
peradilan adat sudah tertutup semenjak kebijakan unifkasi peradilan
dibuat sejak tahun 1951. Setelah unifkasi sistem peradilan, kebijakankebijakan yang keluar lebih mendorong ‘peradilan adat’ sebatas forumforum penyelesaian sengketa atau forum perdamaian. Kebijakan
semacam ini misalnya bisa dilihat pada UU Pemerintahan Desa dan
berbagai peraturan organiknya. Kebijakan serupa berlanjut di Era
8

Reformasi seperti yang bisa dibaca pada UU No. 22/1999 dan UU No.
32/2004. Pengecualiannya adalah UU Otsus Papua No. 21/2001 yang
eksplisit mengakui peradilan adat yang diberikan kompetensi
menyelesaikan kasus perdata dan pidana.
Berbeda dengan rute yang dipilih oleh pemerintah Eritera yaitu
membentuk Pengadilan Komunitas atau otoritas Bougainville yang
memperkuat Forum Penyelesaian Sengketa, Mahkamah Agung Republik
Indonesia memilih cara lain untuk mengatasi tumpukan perkara di
pengadilan. Cara lain tersebut adalah melahirkan kebijakan yang
membolehkan pengadilan negara menyelesaikan kasus dengan cara
mediasi. Kebijakan ini dapat ditemui pada Peraturan Mahkamah Agung
No. 1/2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sejauh ini negara
atau
Mahkamah
Agung
belum
secara
serius
melirik
atau
mempertimbangkan peradilan adat sebagai institusi yang bukan saja bisa
membantu mengurangi tumpukan perkara di peradilan formal tapi juga
institusi yang mampu menyelenggarakan administrasi keadilan.
Sebelum masuk ke dalam usulan opsi-opsi mengenai kedudukan
peradilan adat dalam sistem peradilan nasonal, ada baiknya menoleh
masa lalu peradilan adat di Nusantara. Lewat kebijakan membiarkan
golongan penduduk Hindia Belanda diatur dengan hukum yang berbeda,
hukum adat dan peradilan-peradilan adat diakui. Hukum adat diakui dan
dipakai dalam penanganan kasus di pengadilan negara seperti Landraad.
Hakim pada peradilan Landraad merupakan hakim negara namun
menggunakan hukum adat dengan bantuan fungsionaris adat yang
diundang resmi dalam persidangan (Ball 1982). Di daerah-daerah yang
tidak diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, peradilan adat
(inheemscherechtspraak) diakui sekalipun perangkat peradilan tidak
diadministrasi oleh negara atau pemerintah. Di daerah-daerah yang
diperintah langsung, peradilan adat bahkan diatur oleh peraturan formal
sejak 1938. Pada tahun yang sama, atas perjuangan Ter Haar putusan
Landraad bahkan bisa dibanding ke Raad van Justitie di Batavia (Hooker
1978).
Dari gambaran sangat singkat mengenai kedudukan peradilan adat
pada masa pemerintahan kolonial tersebut, kita disuguhi sebuah
pengetahuan bahwa Indonesia pernah memiliki periode sejarah mengenai
bagaimana mendudukan peradilan adat dalam sistem peradilan formal
atau nasional. Seperti pengalaman Eritrea, pemerintah kolonial Belanda
menjadikan peradilan adat (landraad) sebagai bagian dari sistem
peradilan formal. Konsekuensinya, hakim pengadilan adat oleh
pemerintah dan dengan demikian peradilan adat diadministrasi oleh

9

pemerintah. Konsekuensi kedua bahwa putusan peradilan adat dapat
dibanding ke pengadilan formal yang lebih tinggi.
Namun khusus di daerah-daerah yang tidak diperintah langsung
oleh pemerintah Hindia Belanda, peradilan adat bukan merupakan bagian
dari peradilan formal dan karena itu tidak diadministrasi oleh pemerintah.
Konsekuensinya, putusan peradilan adat di daerah-daerah ini tidak bisa
dibanding ke pengadilan negara karena peradilan adat tidak
diintegrasikan ke dalam peradilan formal.
Sebagai pemikiran awal, kebijakan atau tindakan yang diambil oleh
pemerintah Eritrea, otoritas Bougainville dan pemerintah Hindia Belanda
dapat dijadikan bahan untuk menentukan opsi sekaligus memilih bentuk
kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Hal terpenting
yang perlu diingat adalah seberapa jauh perbincangan tersebut melihat
peradilan adat sebagai solusi idiologis atau solusi praktis. Salah satu
bahaya bila terlalu kental melihatnya sebagai solusi idiologis adalah
tumpulnya kepekaan melihat realitas-realitas seperti yang digambarkan
dalam diskusi akses terhadap keadilan. Dalam konteks ini baik rasanya
membuka kembali apa yang pernah ditulis oleh Robert Cribb (2010)
mengenai cara berpikir hukum warisan kolonial Belanda. Menurut Cribb,
sebagian orang Indonesia terjebak dalam pemikiran hukum kolonial yang
tidak melihat hukum sebagai representasi nilai-nilai universal melainkan
sebagai representasi identitas (kultural) dan beraspek kekuasaan. Ada
dua pesan penting dari pernyataan tersebut untuk diskusi mengenai
kedudukan peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Pertama,
mengakui dan memberikan kedudukan pada peradilan adat pada hukum
adat tidak lantas berbanding lurus dengan kurangnya kekuasaan negara
atas administrasi keadilan dan terfasilitasinya identitas-identitas kultural
yang sempit. Kedua, pengakuan dan pemberian kedudukan peradilan
adat dlam sistem peradilan nasional seyogyanya dengan ikhtiar untuk
menjadikan hukum (baik hukum negara maupun hukum adat) sebagai
representasi nilai-nilai universal, bukan representasi nilai-nilai kelompokkelompok kepentingan yang sempit.

10

Referensi
Allot, Antony (1980), The Limits of Law. London: Butterworths.
Assegaf, Rifqi S (2007), ‘‘Judicial Reform in Indonesia 1998-2006, dalam Naoyuki
Sakumoto dan Hikmahanto Juwana (eds.), Reforming Laws and Institutions in
Indonesia: An Assessment. Institute of Developing Economies Japan External
Trade Organization.
Ball, John (1982)
‘Indonesian Legal History 1602-1848. Sydney: Oughtershaw
Press.
Bedner, Adriaan dan Jacqueline A.C. Vel (2011), ’An analytical framework for
empirical research on access to justice. Law, Social Justice and Global
Development 1-29.
Cribb, Robert (2010), ‘Legal Pluralism and Dutch Criminal Law and Colonial
Order. Indonesia 90: 47-66.
Gray, Williamson Cheryl (1986), Indonesian Public Administration and Policy
Reform and
the Legal Process. PhD thesis at Harvard University.
Lev, Daniel S (1973), ‘ Judicial Unifcation in Post-Colonial Indonesia. Indonesia,
Vol. 16: 1-37.
__________ (1985), ‘Colonial Law and the Genesis of the Indonesian State.
Indonesia, 40:57-74.
Harper, Erica (2011), Customary Justice: From Program Design to Impact
Evaluation. Rome: IDLO.
Hooker, M.B (1978) ‘Adat Law in Modern Indonesia. Kuala Lumpur: Oxford
University Press.
Moore, Sally Falk (1973), ‘Law and social change: the semi-autonomous social
feld as an appropriate subject of study’. Law and society review 7(4):719-746.
Slaats, Herman dan Karen Portier (1992) ‘Traditional decision-making and law:
institutions and processes in an Indonesian context. Yogyakarta; Gadjah Mada
University Press.
Simarmata, Rikardo (2011), Indonesian Law and Reality in the Delta A SocioLegal Inquiry into Laws, Local Bureaucrats and Natural Resources Management
in the Mahakam Delta, East Kalimantan. Leiden: Leiden University Press.
________________ (2013) ‘Filosof dan Prinsip Peradilan Adat. Makalah pada
workshop, ‘Memperkuat Kapasitas Peradilan Adat Melalui Penyusunan Pedoman
Peradilan Adat di Kalimantan Tengah, diselenggarakan oleh Kementerian
PPN/Bappenas dan SAJI Project UNDP, Palangkaraya, 18 Juli 2013.
Trubek, David M., dan Marc Galanter (1974), ‘Scholars in Self-Enstrangement:
Some Refections on the Crisis in the Law and Development Studies in United
States, Wisconsin Law Review 4: 1062-1102.
Trubek, David (2007), ‘The Owl and the Pussy-cat: Is there a future for law and
development? Wisconsin International Law Journal 235.

11

Van Benda-Beckmann, Franz (1989), ‘Scape-Goat and Magic Charm Law in
development theories and practice’. Journal of legal pluralism and unofcial law
28:129-148.
Watson, Alan (1993), Legal Transplants: an approach to comparative law. Athens
dan London: The University of Georgia Press.

12